Konflik Sumbawa Bali Akibat Miscommunic

Konflik Sumbawa – Bali: Akibat Miscommunication antar etnis

Konflik yang terjadi antara etnis satu dengan etnis lainnya di Indonesia memang bukan
menjadi masalah baru lagi. Mengapa tidak , mengingat Negara kita adalah salah satu Negara
yang mendapat julukan sebagai Negara dengan tingkat kemajemukannya sangat tinggi, karena
wilayah Negara yang terbagi menjadi beberapa pulau besar. Sehingga tidak dapat dipungkiri
bahwa dari kemajemukan tersebut kemudian muncul beberapa perbedaan pendapat karena
kepentingan berbeda, yang pada satu titik akan memicu terjadinya konflik. Salah satu konflik
antar etnis yang pernah terjadi atau bahkan sudah beberapa kali terjadi adalah konflik antara etnis
Sumbawa dan etnis Bali.
Sumbawa dan Bali sama-sama merupakan daerah bagian timur Indonesia, hanya saja
berada di pulau berbeda. Sumbawa berada di pulau Nusa Tenggara Barat, sementara Bali berada
dalam wilayah pulau Denpasar. Akan tetapi, jarak antar pulau yang terbilang cukup dekat,
memungkinkan terjalin hubungan dekat dalam beberapa hal, salah satunya adalah kegiatan
ekonomi. Bali, yang notabenenya merupakan daerah pariwisata terkenal di Indonesia, membawa
dampak yang begitu besar bagi penduduknya. Mulai dari dampak positif, dengan di kenalnya
Bali hingga ke penjuru dunia, sampai ke dampak negatif yang mengharuskan beberapa warga
Bali berpindah tempat atau bermigrasi ke wilayah atau daerah terdekat karena tidak mampu
bersaing dengan para pendatang. Dan itulah yang menjadi alasan kenpa banyaknya warga Bali
yang kemudian memulai kehidupan di tanah Sumbawa.
Konflik antar etnis Bali dan Sumbawa pertama kali terjadi pada 17 November 1980, yang

dimulai oleh sebuah perkelahian antar pemuda Bali dan pemuda Sumbawa. Dilanjutkan dengan
maraknya kasus kawin lari yang dilakukan oleh pemuda Bali dengan perempuan Sumbawa, serta
peristiwa penembakan oleh pejabat/aparat yang diduga berasal dari Bali yang mengakibatkan
korban luka parah dan meninggal dunia.

Masalah - masalah muncul yang seolah-olah

mengkambing hitamkan warga yang berasal dari etnis Bali, juga isu SARA (suku-agama-ras)
yang sengaja dihembuskan oleh kelompok kepentingan yang ingin menjadi Bupati Sumbawa
periode berikutnya akhirnya memicu kemarahan yang begitu besar dikalangan warga lokal
(Sumbawa). Tidak tanggung-tanggung, amukan massa Sumbawa pada saat itu dilampiaskan

dengan cara membakar berbagai tempat yang diketahui sebagai milik etnis Bali, seperti hotel,
toko, hingga beberapa rumah.
Seperti halnya masa lalu, konflik etnis Sumbawa- Bali kembali terjadi pada tanggal 23
Januari 2013 yang juga dipicu oleh sebuah isu, yakni kematian seorang perempuan Sumbawa
yang diisukan dibunuh oleh pacarnya sendiri yang tidak lain adalah seorang polisi berasal dari
Bali. Berdasarkan laporan yang diberikan oleh pihak polres Sumbawa, bahwa korban meninggal
dunia murni karena kecelakaan lalu lintas. Akan tetapi, isu berbeda mulai berhembus di kalangan
masyarakat, yang mengatakan bahwa korban meninggal dunia dikarenakan penganiayaan oleh

sang pacar. Isu pertama kali berkembang dari pihak keluarga korban yang merasa ada yang aneh
dari kematian putri mereka, melihat luka lebam dibeberapa bagian tubuh korban yang tidak
mungkin disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Sampai pada titik, dimana beberapa mahasiswa beserta massa berunjuk rasa meminta
penjelasan pada pihak kepolisian dan juga pihak tersangka. Merasa tidak puas dengan jawaban
yang diberikan, amukan massa kembali terjadi. Kali ini yang menjadi korban adalah hotel
Tambora, hotel yang bisa dikatakan sebagai hotel terbesar di wilayah kabupaten Sumbawa,
kurang lebih 35 rumah dan beberapa toko, satu supermarket, hingga motor dan mobil box
angkutan barang. Selain pembakaran, massa juga mengambil beberapa barang elektronik yang
berasal dari toko-toko tersebut.
Tampaknya luka masa lalu dibenak masyarakat Sumbawa, diturunkan hingga ke generasi
sekarang, yang tertanam bahwa etnis Bali tidak dapat dipercaya. Jika mengingat kembali
bagaimana konflik yang sebenarnya bersumber dari isu semata , maka dapat disimpulkan bahwa
konflik antar etnis ini semata-mata terjadi hanya karena miscommunication. Pertama, jika kita
analisa dari kasus yang terjadi pada tahun 1980, contohnya perkelahian dan juga kasus kawin
lari, sebenarnya kedua kasus tersebut dapat diselesaikan hanya dengan negosiasi antar keluarga.
Dengan cara tersebut tidak akan mungkin sampai menyulut kemarahan warga lokal. Jelas bahwa
disini tidak terjalin komunikasi yang baik antar pihak keluarga, atau etnis Bali dan juga etnis
lokal (Sumbawa) .
Begitu pun untuk kasus yang kedua, kecelakaan yang berubah menjadi isu penganiayaan.

Seandainya keluarga korban kecelakaan mendapat penjelasan yang spesifik dari pihak tersangka

maupun kepolisian. Amukan massa pun pasti tidak akan terjadi. Dalam ilmu sosiologi, atau ilmu
yang mempelajari tentang kehidupan sosial, miscommunicasion bisa dikatakan sebagai awal dari
sebuah perpecahan. Dan miscommunication sangat rentan terjadi ditengah masyarakat yang
memang pada hakikatnya heterogen atau majemuk.
Jika dianalisa menggunakan pendekatan Multikulturarisme, dalam pendekatan ini,
dikatakan bahwa salah satu ciri dari masyarakat Multikultural adalah lambatnya proses Integrasi
serta adanya dominasi ekonomi, politik maupun sosial budaya. Yang dimaksud dengan integrasi
adalah proses penyatuan sosial didalam masyarakat yang memiliki banyak perbedaan, baik cara
berpakaian, bertingkah laku, dan lain sebagainya. Menurut analisa saya, melihat konflik yang
bisa terjadi kapan saja karena hal kecil, dapat disimpulkan bahwa Integrasi antara etnis Bali dan
Sumbawa masih sangat jauh. Dengan integrasi yang masih jauh, maka tingkat saling percaya
antara kedua etnis pun masih sangat jauh. Sehingga sangat mudah bermunculan berbagai
prasangka-prasangka yang merujuk pada terjadinya miscommunication sehingga rentan
terjadinya konflik. Selain itu, dominasi yang dilakukan oleh etnis Bali terhadap perekonomian
yang ada di daerah Sumbawa juga bisa dikatakan sebagai penyulut, mengingat hal tersebut
secara tidak langsung melahirkan persaingan yang ketat antara warga lokal dan pendatang.
Sedangkan jika dilihat menggunakan teori Konflik, konflik antar Sumbawa-Bali
tergolong ke dalam jenis konflik non-realistis yang dicetuskan oleh Lewis A Coser, dimana

dikatakan bahwa konflik non-realistis, yaitu konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan
saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari
salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam
biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat
maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok
yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Dari konflik yang terjadi antara etnis Sumbawa dan Bali, meski samar-samar, tetapi
dapat dipastikan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengkambing hitamkan etnis Bali
dan menggunakan amukan massa sebagai senjata untuk mencapai tujuan tertentu. Dan hal
tersebut sangat memungkinkan mengingat pernah dihembuskannya dengan sengaja mengenai isu
SARA oleh kelompok kepentingan yang ingin menjadi Bupati Sumbawa. Terlebih mengingat

bahwa kegiatan ekonomi di Sumbawa yang dominan dikuasai oleh etnis Bali, seperti beberapa
hotel dan pusat-pusat perbelanjaan.
Selain karena proses Integrasi yang melamban dan persaingan ekonomi di tengah
masyarakat etnis Bali, dan etnis Sumbawa, konflik yang rentan terjadi juga disebabkan karena
kinerja aparat kepolisian, atau dengan kata lain, Pranata sosial yang ada di masyarakat tersebut
tidak melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik. Seperti yang dijelaskan dalam
pendekatan struktur sosial, bahwa pranata sosial bertugas menjaga keutuhan masyarakat yang
bersangkut sekaligus menjadi pedoman pada anggota masyarakat. Akan tetapi, jika melihat

bagaimana konflik yang terjadi dengan amukan massa yang tidak dapat dibendung, tentu selain
dari pihak yang berselisih, pihak aparat kepolisian atau pranata sosial perlu dipertanyakan.
Bagaimana bisa kejadian yang sama bisa terulang kembali, setelah selang 23 tahun lamanya,
terlebih masih dengan penyebab yang sama, yakni isu-isu tidak jelas yang beredar di tengah
masyarakat lokal maupun pendatang.
Pernyataan mengenai kinerja aparat yang kurang baik terbukti dari jawaban yang
diberikan untuk pertanyaan mahasiswa (massa) dan pihak keluarga mengenai lebam yang ada di
tubuh korban sebelum konflik Januari 2013 kemarin yang dirasa tidak masa akal. Hanya semata
karena kecelakaan. Tidak ada penjelasan lain mengenai lebam tersebut. Selain itu mengingat
kejadian yang sama pernah terjadi, seharusnya pihak kepolisian sudah mengantisipasi segala
memungkinan terburuk dengan berusaha untuk mencari jalan keluar, atau kata damai sebelum
amukan massa mulai memuncak.
Beralih dari masalah kurangnya kinerja Pranata Sosial yang ada, disisi lain konflik
Sumbawa- Bali juga bisa dikatakan sebagai suatu hal yang wajar, mengingat seperti yang
dijelaskan dalam teori Solidaritas Sosial, bahwa rasa solid diantara dua atau lebih etnis/kelompok
berbeda sangat sulit terjadi. Teori Solidaritas sosial membenarkan bahwa beberapa hal yang
menyebabkan sulitnya tercipta rasa solid adalah karena adanya kecendrungan pada masyarakat
kita, khususnya masyarakat desa transisi pada warga asli dan warga pendatang berupa
kecurigaan terhadap orang lain yang dianggap sebagai lawan berbahaya.
Itulah kenapa, konflik Sumbawa-Bali bisa kemudian menjadi sangat “besar” hanya

karena isu, sebab disini isu hanya dijadikan sebagai kambinghitam, karena sebenarnya yang ada

adalah kecemburuan sosial yang muncul ditengah masyarakat lokal (Sumbawa) terhadap
pendatang (Bali) dalam hal ekonomi khususnya. Dan hal tersebut semakin benar adanya melihat
bagaimana amukan massa yang tidak hanya membakar, melainkan seperti peribahasa
“Kesempatan dalam kesempitan”, mereka juga mengambil beberapa barang elektronik dari toko
tersebut sebelum dibakar. Rasa cemburu yang begitu besar yang kemudian menghilangkan akal
sehat sehingga menarik mereka yang tidak bersalah ke dalam konflik tersebut. Terbukti 35
rumah terbakar dalam aksi frontal itu. Padahal sebelumnya konflik tersebut hanya menyangkut
dua keluarga. Dan itu semua bermuara pada proses komunikasi. Dimana komunikasilah yang
menjadi poin penting terjalinnya suatu hubungan yang kondusif, baik antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. Seperti pepatah “tak
kenal maka tak sayang”, dan rasa cemburu tidak akan muncul begitu besar di kalangan
masyarakat lokal (Sumbawa) jika saja, hubungan yang kondusif sudah terjalin diantara kedua
masyarakat tersebut. Sekali lagi, terjadi miscommunication.
Miscommunication-lah yang menyebabkan adanya jarak yang jauh antara kedua etnis,
miscommunication

pula yang menyebabkan isu kecil dalam waktu kurang dari seminggu


menjadi sebuah krisis (konflik) besar. Serta rentetat peristiwa lainnya. Dari konflik ini, kita bisa
lihat betapa hal yang mungkin terdengar mudah dan sederhana, seperti komunikasi mampu
melahirkan konflik dengan kerugian mencapai angka milyaran. Dari sini pula kita dapat belajar
bahwa bukan perihal yang mudah untuk menyatukan berbagai perbedaan yang ada di tengah
kehidupan bermasyarakat. Melihat bagaimana konflik yang terjadi di antara kedua etnis berbeda
tersebut meski berada di lingkungan yang sama.
Konflik antar Sumbawa-Bali bisa dikatakan sebagai penggambaran Indonesia dalam versi
kecil. Karena tidak hanya di Sumbawa, melainkan di beberapa daerah di Indonesia pun tak luput
dari hal yang disebut konflik, sebut saja konflik yang terjadi di Lampung, konflik yang terjadi di
Aceh, Papua, Sampit, dan beberapa daerah lainnya. Konflik-konflik ini pun lahir hanya karena
masalah sepele. Dan itu tidak dapat kita pungkiri, karena sudah menjadi resiko dari sebuah
Negara Majemuk untuk terlibat perpecahan. Mengingat banyaknya perbedaan yang ada. Tapi
yang perlu saya tegaskan disini adalah, entah seberapa kecil atau besarnya sebuah konflik,
komunikasi selalu menempati tempat pertama baik dalam hal memulai maupun mengakhiri
konflik tersebut.

(http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/22/kerusuhan-sumbawa-akibat-kegagalankomunikasi-522048.html)