Pilkada langsung melanggar kaidah fundam
PILKADA LANGSUNG MELANGGAR KAIDAH FUNDAMENTAL NEGARA (2)
Oleh: Drs. A. Surjadi *)
Pembahasan bagian (2) ini sedikit menyimpang (side track) dari masalah
pokok “Pilakada Langsung” karena ingin mengelaborasi isi paragraph-paragraph
terakhir bagian (1), yaitu mengapa elit politik Orde Reformasi berani melanggar
Kaidah Fundamental Negara, padahal “demokrasi Pancasila” (Sila ke-4) tegas-tegas
mengamanatkan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Dengan perkataan lain “demokrasi Pancasila” adalah
demokrasi perwakilan bukan demokrasi liberal one man one vote. Berdasarkan
rumors yang luas beredar baik di media sosial maupun talks show TV, pelanggaran
itu disebabkan oleh adanya intervensi asing. Menurut bapak Aburizal Bakrie, Ketua
Umum Partai Golkar, hal itu karena pengaruh Memorandum of Understanding IMF
tahun 1998. Bahkan Dr. Kwik Kian Gie dalam Lawyers Club TV One tanggal 21
Oktober 2014 cenderung membenarkan rumors yang luas beredar bahwa kubu
Jokowi-JK dikendalikan oleh 9 taipan. Opo tumon, mas ?
Dalam artikel bagian (1) kita menganalisa bahwa akibat semakin kuat dan
gencarnya tuntutan negara-negara berkembang (negara-negara Selatan atau Dunia Ketiga)
yang dipelopori Indonesia untuk menciptakan Tata Ekonomi Dunia Baru (TEDB) yang lebih
adil, maka untuk membendung gejolak ekonomi politik tersebut Amerika Serikat – didalangi
Inggris – pada tahun 1970 merubah strategi perangnya dari perang militer (gunboat
diplomacy) menjadi perang ekonomi (economic diplomacy) dengan senjata pamungkasnya
“Globalisasi, Demokratisasi dan Penegakan HAM (disingkat GDH)”. Namun sebelum senjata
pamungkas GDH diluncurkan secara resmi, tahap pertama perang ekonomi tersebut dimulai
dengan mereformasi/meliberalisasi sistim moneter internasional “Bretton Woods” yang
berdasarkan “fixed exchange rate” dirubah menjadi “floating exchage rate” pada tahun
1971. Setelah strategi tahap pertama mencapai sasarannya, maka pada tahun 1992/1993
barulah strategi GDH di-inaugurasikan melalui forum PBB. Mengapa tahun 1970 dijadikan
starting point dan mengapa Amerika menggunakan tangan PBB sebagai operator ?
Tahun 1970 merupakan turning point yang sangat menentukan masa depan politik
imperial Amerika Serikat, apakah superpower itu bisa mempertahankan hegemoninya diseluruh dunia atau akan mengikuti jejak Inggris yang turun gunung pada abad 19 atau
Spanyol pada abad 16/17 yang lalu. Disamping karena tantangan dari Dunia Ketiga dan
kekalahan telak Amerika dalam perang Vietnam yang memakan biaya sangat besar,
ekonomi dalam negeri Amerika mulai menghadapi masa slump sehingga keresahan sosial
didalam negerinya semakin meluas. Dalam periode 1950 – 1970 sebagai pemenang Perang
Dunia II dan ekonominya sedang “boom”, menurut James D. Davidson dan Lord William
Rees-Mogg dalam buku “The Great Reckoning”, ekonomi Amerika Serikat mengalami masa
keemasan. Dalam periode itu, Amerika mengalami tingkat perumbuhan ekonomi sangat
tinggi sehingga selama 20 tahun itu GDP-nya meningkat tidak kurang dari 400%. Namun
pada tahun 1970 masa boom tersebut mencapai puncaknya (full employement), sehingga
boom (up swing) segera berubah menjadi slump (down swing). Dan bersamaan dengan itu
di era balance of power, Amerika menghadapi eskalasi perlombaan senjata. Superpower Uni
Soviet tidak hanya sanggup menandingi Amerika dalam perlombaan senjata nuklir,
melainkan juga dalam perang bintang.
1
Namun agar tidak membangunkan ular tidur, strategi atau tipu muslihat Amerika –
Inggris tersebut diluncurkan secara bertahap sejak tahun 1970 dimulai dengan liberalisasi
sistim moneter internasional (SMI) “Brettonwoods”, yaitu: pertama melepaskan standar
emas Dollar Amerika pada tahun 1971; kedua, merubah sistim nilai tukar valuta dari fixed
exchange rate menjadi floating exchange rate. Tujuannya adalah : menumbuh-kembangkan
pasar derivative (pasar berjangka) yang sangat spekulatif – terutama valuta asing dan
minyak bumi – agar bisa dikendalikan oleh oligari keuangan internasional (OKI) pimpinan
Amerika dan Inggris melalui bursa Wallstreet di New York dan City of London. Perdagangan
derivatif adalah perdagangan berjangka baik valas, sekuriti/efek, emas, komoditi maupun
interest rate dan currency swaps, yang bertujuan untuk meredam resiko dimasa depan
(hedging), memperbaiki penghasilan atau sekedar spekulasi mengenai harga pasar.
Berlainan dengan perdagangan riil (spot) yang perhitungannya rasional berdasarkan
penawaran dan permintaan pada saat terjadinya transaksi, perdagangan berjangka
(derivative) perhitungannya hanya berdasarkan spekulasi/harapan atau angan-angan
semata-mata sehingga pasar derivative dapat dijadikan ajang perjudian – SMI dijadikan
semacam kasino raksasa – dimana OKI menjadi bandar. Perdagangan derivatif bisa
menghasilkan pertambahan kekayaan jauh lebih cepat dibandingkan dengan perdagangan
riil, karena perdagangan derivatif hanya memperdagangkan kertas/promes dan harapan
atau spekulasi, sedangkan perdagangan riil harus bertumpu kepada kekuatan ekonomi yang
riil. Akan tetapi, keuntungan yang diperoleh dari perdagangan derivatif itu sebenarnya
hanya menambah kekayaan uang bukan kekayaan riil, sebab perdagangan derivatif hanya
memperdagangkan kertas/promes bukan barang riil, sehingga perdagangan derivatif hanya
menghasilkan tambahan kekayaan uang bukan tambahan barang riil sehingga pasar
derivatif menjadi sumber penggelembungan balon uang panas dunia (financial bubbles).
Tujuan spekulasi/permainan judi tersebut, adalah: (a) merepatriasi Dollar Amerika
yang beredar secara global masuk kembali ke negaranya guna menutup defisit neraca
berjalan Amerika yang terus-menerus membengkak akibat perlombaan senjata dan biaya
mempertahankan hegemoni Amerika diseluruh dunia; dan (b) menjadi sumber
penggelembungan balon uang panas dunia/financial bubbles yang sangat besar, sehingga
menyebabkan hyperinflasi global dan destabilisasi SMI yang tidak bisa dikontrol oleh otoritas
moneter dengan tujuan mengacaukan perekonomian superpower Uni Soviet dan menggiring
negara-negara berkembang masuk perangkap penjarahan hutang.
Lyndon la Rouche, seorang pengamat pasar uang dari Schiller Institute di Amerika
Serikat, memperkirakan pada tahun 1995 saja telah terjadi ketidak-seimbangan sektor
moneter dan sektor riil dunia sekitar 10 berbanding 1. Kekayaan uang (financial bubbles)
diperkirakan sudah mencapai US$ 1 quadrilyun (seribu trilyun) sedangkan total GDP dunia
hanya mencapai sekitar US$ 100 trilyun. Situasi yang sangat timpang ini jelas merupakan
ancaman bagi stabilitas ekonomi, terutama bagi negara-negara berkembang yang landasan
ekonominya belum cukup kuat, karena balon uang panas itu merupakan kekuatan spekulasi
yang bisa menyambar kemana-mana tanpa bisa diantisipasi. John Hoefle dari Schiller
Institute juga mencatat bahwa perdagangan derivatif dunia dalam 10 tahun terakhir
(sebelum 1995) meningkat hampir 4500% yaitu dari US$ 1.1 trilyun pada tahun 1986
menjadi US$ 45 trilyun pada tahun 1994. Jika perdagangan riil kita asumsikan mencapai
perkembangan rata-rata 20% per tahun atau meningkat sekitar 200% dalam 10 tahun,
suatu angka yang saya rasa cukup optimistis, berarti perdagangan derivatif berkembang
sedikitnya 22 kali lebih cepat dari perdagangan riil.
Dari gambaran tersebut diatas terbukti bahwa dampak liberalisasi SMI itu sangat
dahsyat. Pasar derivative “valuta asing dan minyak bumi” yang sangat spekulatif
berkembang pesat dan menjadi sumber penggelembungan balon uang panas dunia
(financial bubbles) yang sangat besar. Financial bubbles yang luar biasa besarnya ini telah
2
menyebabkan berkobarnya hyperinflasi yang tidak terkontrol lagi oleh otoritas moneter.
Akibatnya pada tahun 1987 bursa Wallstreet di New York mengalami crash sehingga negaranegara besar – termasuk Amerika Serikat sendiri – dilanda depressi ekonomi cukup parah.
Financial armageddon ini telah menyebabkan revolusi megapolitik global yang tidak ada
taranya dalam sejarah dunia, yaitu:
(a) Negara superpower Uni Soviet bubar dan terhapus dari peta bumi. Perang dingin
tiba-tiba berakhir seperti embun pagi kena sinar matahari; era bipolar berubah
menjadi multipolar kembali dan menurut Samuel P. Huntington, dalam buku “ The
Clash of CIVILIZATIONS And The Remaking of World Order” TOUCHSTONE BOOKS
@ 1996, polarisasinya tidak lagi berdasarkan politik/ideologi, melainkan berdasarkan
peradaban; revolusi teknologi informatika membuat perang irreguler bertambah
gencar (perang irriguler ialah : subversi, teror, pembunuhan/assesinations, gerakan
separatis, perang gerilya dan lain-lain).
(b) Negara-negara berkembang/Dunia Ketiga semakin terpuruk kedalam perangkap
penjarahan hutang (debt looting), sehingga tuntutan mereka untuk terciptanya TEDB
menjadi tidak menentu (stalemate), hidup enggan tapi mati tak hendak.
(c) Amerika Serikat walaupun keluar sebagai pemenang Perang Dingin tapi ekonominya
berada dalam kondisi lame duck. Satu-satunya superpower ini sekligus juga
kehilangan ligitimasi moral sebagai polisi dunia, akibat politik luar negerinya yang
ambivalent/bermuka-dua, brutal, imprudent, unilateral, arogan dan pelanggar HAM
berat.
Setelah strategi perang ekonomi tahap pertama – liberalisasi SMI – mencapai
sasaran tepat pada waktu yang dijadwalkan, yaitu bubarnya negara imperial Uni Soviet pada
tahun 1991/1992 dan dikrangkengnya negara berkembang dalam perangkap hutang,
barulah Amerika menggunakan forum PBB menginaugurasikan strategi GDH melalui pidato
Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros Ghali di Dewan Keamanan PBB pada tahun
1992/1993. Sebagai operator lapangan ditunjuk IMF dan IBRD (Bank Dunia). Amerika
sengaja menggunakan forum PBB untuk meluncurkan strategi GDH, agar strategi tersebut
tidak kentara sebagai politik imperial Amerika.
Tujuan utama strategi Globalisasi, Demokratisasi dan Penegakan HAM adalah
merampas kedaulatan negara-negara nasional atas sumberdaya alamnya. Negara nasional
boleh tetap merdeka dan berdaulat secara politik, tapi kedaulatan atas sumberdaya alamnya
sudah tergadaikan kepada MNC kaki tangan OKI yang dikendalikan oleh bursa Wallstreest di
New York, Amerika Serikat dan City of London, Inggris. Perang ekonomi tidak dilakukan
oleh aktor negara (serdadu militer) melainkan dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional (MNC), sehingga negara-negara berkembang yang akan dimangsanya tidak
sadar bahwa negaranya sedang diinvasi dan digrogoti sumberdaya alamnya oleh negaranegara Utara. Ironinya, invasi mereka bukannya diwaspadai atau berusaha dihambat,
melainkan Indonesia (Orde Reformasi) – yang menjadi incaran utama OKI karena
sumberdaya alamnya kaya raya – malah menyambut gembira kedatangan mereka sebagai
penyelamat negara kita dari kehancuran akibat krisis ekonomi multidimensional. OKI telah
bermurah hati (?) memberi bantuan ekonomi (ODA) untuk biaya pembangunan, dan MNC
telah menanamkan modal dan teknologinya sabagai investor yang baik untuk mengexploitasi sumberdaya alam kita yang kaya raya. Bravo OKI.
Sebagai tuan rumah yang baik kita wajib berterima kasih dan menyambut
kedatangan mereka dengan tangan terbuka dan memberi mereka konsesi yang amat lunak
dan fasilitas fiskal yang menyenangkan agar mereka semakin berlomba-lomba datang ke
Indonesia. Alangkah naifnya regim ini, tidak menyadari bahwa GPH adalah strategi untuk
3
menipu (decieved) penguasa atau elite politik kita yang bermental korup dan untuk
menjarah (plunder) sumberdaya alam Indonesia yang kaya raya. Diatas permukaan
rumusan strategi GDH nampak sebagai usaha bersama (concerted actions) guna
meningkatkan volume perdagangan internasional; meningkatkan partisipasi rakyat dalam
pengelolaan negara dan menghormati kedaulatan individu (invidual souvereignity). Padahal
dibalik itu, strategi GDH tersebut penuh dengan agenda tersembunyi dan tipu daya, antara
lain :
1. Globalisasi : mengkampanyekan perdagangan bebas guna meningkatkan volume
peragangan internasional dan pemberian bantuan ekonomi berupa pinjaman untuk
pembangunan infrastruktur, perumahan dan lain-lain.
Dalam alam nyata “perdagangan bebas” tersebut justeru bertujuan untuk
menghentikan tuntutan negara-negara berkembang yang terus mendesak (negging)
untuk mendapatkan preferensi tarif (general system of preferences/GSP) bagi
komoditi ekspor negara-negara berkembang. Dan pemberian bantuan ekonomi itu
bukan karena kebaikan hati OKI, melainkan supaya kita semakin terlibat hutang
yang tidak terbayarkan selamanya. Menurut economic hit man John Perkins
pemberian bantuan ekonomi itu mengandung pengertian “provide loans the country
can never repay”.
2. Demokratisasi : agar rakyat mendapat kebebasan seluas-luasnya berpartisipasi dan
ikut mengatur pengelolaan negara sesuai dengan norma demokrasi modern one man
one vote (lantas demokrasi Pancasila mau dibuang kemana, mas ? Pen.)
Padahal agenda yang sebenarnya adalah untuk membangkitkan perlawanan rakyat
terhadap pemerintah/penguasa yang tidak disukai oleh Amerika. Oleh karena itu,
OKI (baca: Amerika) aktif memberi bantuan (gizi) kepada LSM-LSM anti-kemapanan
3. Penegakan HAM: untuk membela dan menghormati harkat/martabat manusia
individu yang berdaulat. (Padahal Amerika Serikat sendiri adalah pelanggar HAM be
rat – ingat invasi Amerika ke Iran, Irak dan lain-lain. Pen.).
Agenda tersembunyi strategi ini tidak lain adalah untuk membangkitkan kedaulatan
individu (individual souvereignity), sehingga setiap orang berani bertindak semenamena terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan pendirian/kemauannya sendiri
atau kelompoknya; mereka mengambil hukum ditangannya sendiri walaupun tidak
sesuai/melanggar hukum negara. Akibat meluasnya kampanye “Penegakan HAM” ini
maka menjamurlah kelompok-kelompok teroris, kelompok sempalan agama dan
kelompok anti-kemapanan (baca: anti-pemerintah yang sah).
Kapan kita bisa menjadi bangsa yang pintar dan berjiwa patriot ya ?
Intervensi asing dalam urusan dalam negeri Indonesia
Ketika presiden Soekarno mulai konsisten menjalankan politik luar negeri bebas
aktif dan menjalin hubungan yang aktif, baik dengan Blok Barat maupun Blok Timur pada
tahun 1950an, nampak kedutaan besar/perwakilan negara-negara Blok Barat dan Blok
Timur aktif dan berusaha mempengaruhi kepemimpinan nasional Indonesia dimasa Orde
Lama, terutama dalam periode 1958 – 1965. Walaupun saya tidak punya bukti emperis
mengenai konspirasi negara-negara imperial ini, tapi buku-buku yang ditulis John Parkins
“Confessions of an Economic Hit Man” dan “HOODWINKED” membuktikan bahwa sejak
1950an para pemimpin dan elit politik Indonesia memang selalu digelembuki dan
dikendalikan oleh Economic Hit Man Amerika. Sejak saat itu Indonesia tidak pernah lepas
dari intaian “economic hit man” Amerika yang selalu menggunakan tangan PBB/IMF-IBRD
sebagai sutradara dan MNC sebagai bala tentaranya. Di Indonesia sasaran ekonomi yang
4
diincarnya adalah sumbnerdaya alam strategis, seperti pertambangan: minyak dan gas,
tembaga/emas, uranium, nikel, batubara dan lain-lain.
Orde Baru yang menerima tongkat estafet dari Orde Lama dalam keadaan pundipundi keuangan negara kosong dan hyperinflasi diatas 650%, merupakan makanan empuk
bagi predator OKI pimpinan Amerika – Inggris untuk dimasukkan kedalam perangkap
penjarahan hutang (debt looting) IMF/IBRD. Namun Tim Ekonomi “the magnificient seven”
pimpinan Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, walaupun terpaksa berhutang untuk mempertahankan
ekonomi Indonesia tetap mengambang tapi tetap membuat perencanaan ekonomi yang
integral dan berimbang (antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan penghasilan) sesuai
rekomendasi yang dibuat oleh Kelompok 77 pimpinan Indonesia bersama UNCTAD. Selama
tiga dekade Tim “the magnificient seven” berhasil menahan laju financial armageddon yang
diciptakan oleh Amerika melalui liberalisasi SMI untuk merontokkan lawan-lawan politiknya
termasuk melumpuhkan tuntutan negara-negara berkembang Dunia Ketiga.
Trilogi pembangunan “stabilisasi, pertumbuhan dan pemerataan” yang dilaksanakan
regim Orde Baru benar-benar merupakan prestasi yang patut diacungi jempol. Regim Orde
Baru sebetulnya sudah hampir merampungkan potret “doktrin ekonomi Pancasila” yang
sesungguhnya. Sayang strategi trilogi pembangunan yang dilaksanakan melalui rangkaian
Repelita tersebut dicampakkan begitu saja oleh regim Orde Reformasi yang datang di
persada ibu pertiwi Indonesia seperti orang yang minum sepicis mabuk setalen.
Marilah kita berdoa siang malam dengan tulus agar regim Joko Widodo – Jusuf
Kalla dapat melepaskan diri dari cengkeraman Economic Hit Man Amerika dan 9 Taipan,
agar program Trisakti – terutama program ”Berdikari”nya – segera menjadi kenyataan
supaya tidak keburu masuk angin menjadi “Berdikarang” (berdiri diatas kaki orang).
*) A. Surjadi, alumni Fakultas Ekonomi Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta 1963, mantan Duta Besar LBBP RI untuk
Republik Argentina merangkap Paraguay dan Uruguay.
5
Oleh: Drs. A. Surjadi *)
Pembahasan bagian (2) ini sedikit menyimpang (side track) dari masalah
pokok “Pilakada Langsung” karena ingin mengelaborasi isi paragraph-paragraph
terakhir bagian (1), yaitu mengapa elit politik Orde Reformasi berani melanggar
Kaidah Fundamental Negara, padahal “demokrasi Pancasila” (Sila ke-4) tegas-tegas
mengamanatkan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Dengan perkataan lain “demokrasi Pancasila” adalah
demokrasi perwakilan bukan demokrasi liberal one man one vote. Berdasarkan
rumors yang luas beredar baik di media sosial maupun talks show TV, pelanggaran
itu disebabkan oleh adanya intervensi asing. Menurut bapak Aburizal Bakrie, Ketua
Umum Partai Golkar, hal itu karena pengaruh Memorandum of Understanding IMF
tahun 1998. Bahkan Dr. Kwik Kian Gie dalam Lawyers Club TV One tanggal 21
Oktober 2014 cenderung membenarkan rumors yang luas beredar bahwa kubu
Jokowi-JK dikendalikan oleh 9 taipan. Opo tumon, mas ?
Dalam artikel bagian (1) kita menganalisa bahwa akibat semakin kuat dan
gencarnya tuntutan negara-negara berkembang (negara-negara Selatan atau Dunia Ketiga)
yang dipelopori Indonesia untuk menciptakan Tata Ekonomi Dunia Baru (TEDB) yang lebih
adil, maka untuk membendung gejolak ekonomi politik tersebut Amerika Serikat – didalangi
Inggris – pada tahun 1970 merubah strategi perangnya dari perang militer (gunboat
diplomacy) menjadi perang ekonomi (economic diplomacy) dengan senjata pamungkasnya
“Globalisasi, Demokratisasi dan Penegakan HAM (disingkat GDH)”. Namun sebelum senjata
pamungkas GDH diluncurkan secara resmi, tahap pertama perang ekonomi tersebut dimulai
dengan mereformasi/meliberalisasi sistim moneter internasional “Bretton Woods” yang
berdasarkan “fixed exchange rate” dirubah menjadi “floating exchage rate” pada tahun
1971. Setelah strategi tahap pertama mencapai sasarannya, maka pada tahun 1992/1993
barulah strategi GDH di-inaugurasikan melalui forum PBB. Mengapa tahun 1970 dijadikan
starting point dan mengapa Amerika menggunakan tangan PBB sebagai operator ?
Tahun 1970 merupakan turning point yang sangat menentukan masa depan politik
imperial Amerika Serikat, apakah superpower itu bisa mempertahankan hegemoninya diseluruh dunia atau akan mengikuti jejak Inggris yang turun gunung pada abad 19 atau
Spanyol pada abad 16/17 yang lalu. Disamping karena tantangan dari Dunia Ketiga dan
kekalahan telak Amerika dalam perang Vietnam yang memakan biaya sangat besar,
ekonomi dalam negeri Amerika mulai menghadapi masa slump sehingga keresahan sosial
didalam negerinya semakin meluas. Dalam periode 1950 – 1970 sebagai pemenang Perang
Dunia II dan ekonominya sedang “boom”, menurut James D. Davidson dan Lord William
Rees-Mogg dalam buku “The Great Reckoning”, ekonomi Amerika Serikat mengalami masa
keemasan. Dalam periode itu, Amerika mengalami tingkat perumbuhan ekonomi sangat
tinggi sehingga selama 20 tahun itu GDP-nya meningkat tidak kurang dari 400%. Namun
pada tahun 1970 masa boom tersebut mencapai puncaknya (full employement), sehingga
boom (up swing) segera berubah menjadi slump (down swing). Dan bersamaan dengan itu
di era balance of power, Amerika menghadapi eskalasi perlombaan senjata. Superpower Uni
Soviet tidak hanya sanggup menandingi Amerika dalam perlombaan senjata nuklir,
melainkan juga dalam perang bintang.
1
Namun agar tidak membangunkan ular tidur, strategi atau tipu muslihat Amerika –
Inggris tersebut diluncurkan secara bertahap sejak tahun 1970 dimulai dengan liberalisasi
sistim moneter internasional (SMI) “Brettonwoods”, yaitu: pertama melepaskan standar
emas Dollar Amerika pada tahun 1971; kedua, merubah sistim nilai tukar valuta dari fixed
exchange rate menjadi floating exchange rate. Tujuannya adalah : menumbuh-kembangkan
pasar derivative (pasar berjangka) yang sangat spekulatif – terutama valuta asing dan
minyak bumi – agar bisa dikendalikan oleh oligari keuangan internasional (OKI) pimpinan
Amerika dan Inggris melalui bursa Wallstreet di New York dan City of London. Perdagangan
derivatif adalah perdagangan berjangka baik valas, sekuriti/efek, emas, komoditi maupun
interest rate dan currency swaps, yang bertujuan untuk meredam resiko dimasa depan
(hedging), memperbaiki penghasilan atau sekedar spekulasi mengenai harga pasar.
Berlainan dengan perdagangan riil (spot) yang perhitungannya rasional berdasarkan
penawaran dan permintaan pada saat terjadinya transaksi, perdagangan berjangka
(derivative) perhitungannya hanya berdasarkan spekulasi/harapan atau angan-angan
semata-mata sehingga pasar derivative dapat dijadikan ajang perjudian – SMI dijadikan
semacam kasino raksasa – dimana OKI menjadi bandar. Perdagangan derivatif bisa
menghasilkan pertambahan kekayaan jauh lebih cepat dibandingkan dengan perdagangan
riil, karena perdagangan derivatif hanya memperdagangkan kertas/promes dan harapan
atau spekulasi, sedangkan perdagangan riil harus bertumpu kepada kekuatan ekonomi yang
riil. Akan tetapi, keuntungan yang diperoleh dari perdagangan derivatif itu sebenarnya
hanya menambah kekayaan uang bukan kekayaan riil, sebab perdagangan derivatif hanya
memperdagangkan kertas/promes bukan barang riil, sehingga perdagangan derivatif hanya
menghasilkan tambahan kekayaan uang bukan tambahan barang riil sehingga pasar
derivatif menjadi sumber penggelembungan balon uang panas dunia (financial bubbles).
Tujuan spekulasi/permainan judi tersebut, adalah: (a) merepatriasi Dollar Amerika
yang beredar secara global masuk kembali ke negaranya guna menutup defisit neraca
berjalan Amerika yang terus-menerus membengkak akibat perlombaan senjata dan biaya
mempertahankan hegemoni Amerika diseluruh dunia; dan (b) menjadi sumber
penggelembungan balon uang panas dunia/financial bubbles yang sangat besar, sehingga
menyebabkan hyperinflasi global dan destabilisasi SMI yang tidak bisa dikontrol oleh otoritas
moneter dengan tujuan mengacaukan perekonomian superpower Uni Soviet dan menggiring
negara-negara berkembang masuk perangkap penjarahan hutang.
Lyndon la Rouche, seorang pengamat pasar uang dari Schiller Institute di Amerika
Serikat, memperkirakan pada tahun 1995 saja telah terjadi ketidak-seimbangan sektor
moneter dan sektor riil dunia sekitar 10 berbanding 1. Kekayaan uang (financial bubbles)
diperkirakan sudah mencapai US$ 1 quadrilyun (seribu trilyun) sedangkan total GDP dunia
hanya mencapai sekitar US$ 100 trilyun. Situasi yang sangat timpang ini jelas merupakan
ancaman bagi stabilitas ekonomi, terutama bagi negara-negara berkembang yang landasan
ekonominya belum cukup kuat, karena balon uang panas itu merupakan kekuatan spekulasi
yang bisa menyambar kemana-mana tanpa bisa diantisipasi. John Hoefle dari Schiller
Institute juga mencatat bahwa perdagangan derivatif dunia dalam 10 tahun terakhir
(sebelum 1995) meningkat hampir 4500% yaitu dari US$ 1.1 trilyun pada tahun 1986
menjadi US$ 45 trilyun pada tahun 1994. Jika perdagangan riil kita asumsikan mencapai
perkembangan rata-rata 20% per tahun atau meningkat sekitar 200% dalam 10 tahun,
suatu angka yang saya rasa cukup optimistis, berarti perdagangan derivatif berkembang
sedikitnya 22 kali lebih cepat dari perdagangan riil.
Dari gambaran tersebut diatas terbukti bahwa dampak liberalisasi SMI itu sangat
dahsyat. Pasar derivative “valuta asing dan minyak bumi” yang sangat spekulatif
berkembang pesat dan menjadi sumber penggelembungan balon uang panas dunia
(financial bubbles) yang sangat besar. Financial bubbles yang luar biasa besarnya ini telah
2
menyebabkan berkobarnya hyperinflasi yang tidak terkontrol lagi oleh otoritas moneter.
Akibatnya pada tahun 1987 bursa Wallstreet di New York mengalami crash sehingga negaranegara besar – termasuk Amerika Serikat sendiri – dilanda depressi ekonomi cukup parah.
Financial armageddon ini telah menyebabkan revolusi megapolitik global yang tidak ada
taranya dalam sejarah dunia, yaitu:
(a) Negara superpower Uni Soviet bubar dan terhapus dari peta bumi. Perang dingin
tiba-tiba berakhir seperti embun pagi kena sinar matahari; era bipolar berubah
menjadi multipolar kembali dan menurut Samuel P. Huntington, dalam buku “ The
Clash of CIVILIZATIONS And The Remaking of World Order” TOUCHSTONE BOOKS
@ 1996, polarisasinya tidak lagi berdasarkan politik/ideologi, melainkan berdasarkan
peradaban; revolusi teknologi informatika membuat perang irreguler bertambah
gencar (perang irriguler ialah : subversi, teror, pembunuhan/assesinations, gerakan
separatis, perang gerilya dan lain-lain).
(b) Negara-negara berkembang/Dunia Ketiga semakin terpuruk kedalam perangkap
penjarahan hutang (debt looting), sehingga tuntutan mereka untuk terciptanya TEDB
menjadi tidak menentu (stalemate), hidup enggan tapi mati tak hendak.
(c) Amerika Serikat walaupun keluar sebagai pemenang Perang Dingin tapi ekonominya
berada dalam kondisi lame duck. Satu-satunya superpower ini sekligus juga
kehilangan ligitimasi moral sebagai polisi dunia, akibat politik luar negerinya yang
ambivalent/bermuka-dua, brutal, imprudent, unilateral, arogan dan pelanggar HAM
berat.
Setelah strategi perang ekonomi tahap pertama – liberalisasi SMI – mencapai
sasaran tepat pada waktu yang dijadwalkan, yaitu bubarnya negara imperial Uni Soviet pada
tahun 1991/1992 dan dikrangkengnya negara berkembang dalam perangkap hutang,
barulah Amerika menggunakan forum PBB menginaugurasikan strategi GDH melalui pidato
Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros Ghali di Dewan Keamanan PBB pada tahun
1992/1993. Sebagai operator lapangan ditunjuk IMF dan IBRD (Bank Dunia). Amerika
sengaja menggunakan forum PBB untuk meluncurkan strategi GDH, agar strategi tersebut
tidak kentara sebagai politik imperial Amerika.
Tujuan utama strategi Globalisasi, Demokratisasi dan Penegakan HAM adalah
merampas kedaulatan negara-negara nasional atas sumberdaya alamnya. Negara nasional
boleh tetap merdeka dan berdaulat secara politik, tapi kedaulatan atas sumberdaya alamnya
sudah tergadaikan kepada MNC kaki tangan OKI yang dikendalikan oleh bursa Wallstreest di
New York, Amerika Serikat dan City of London, Inggris. Perang ekonomi tidak dilakukan
oleh aktor negara (serdadu militer) melainkan dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional (MNC), sehingga negara-negara berkembang yang akan dimangsanya tidak
sadar bahwa negaranya sedang diinvasi dan digrogoti sumberdaya alamnya oleh negaranegara Utara. Ironinya, invasi mereka bukannya diwaspadai atau berusaha dihambat,
melainkan Indonesia (Orde Reformasi) – yang menjadi incaran utama OKI karena
sumberdaya alamnya kaya raya – malah menyambut gembira kedatangan mereka sebagai
penyelamat negara kita dari kehancuran akibat krisis ekonomi multidimensional. OKI telah
bermurah hati (?) memberi bantuan ekonomi (ODA) untuk biaya pembangunan, dan MNC
telah menanamkan modal dan teknologinya sabagai investor yang baik untuk mengexploitasi sumberdaya alam kita yang kaya raya. Bravo OKI.
Sebagai tuan rumah yang baik kita wajib berterima kasih dan menyambut
kedatangan mereka dengan tangan terbuka dan memberi mereka konsesi yang amat lunak
dan fasilitas fiskal yang menyenangkan agar mereka semakin berlomba-lomba datang ke
Indonesia. Alangkah naifnya regim ini, tidak menyadari bahwa GPH adalah strategi untuk
3
menipu (decieved) penguasa atau elite politik kita yang bermental korup dan untuk
menjarah (plunder) sumberdaya alam Indonesia yang kaya raya. Diatas permukaan
rumusan strategi GDH nampak sebagai usaha bersama (concerted actions) guna
meningkatkan volume perdagangan internasional; meningkatkan partisipasi rakyat dalam
pengelolaan negara dan menghormati kedaulatan individu (invidual souvereignity). Padahal
dibalik itu, strategi GDH tersebut penuh dengan agenda tersembunyi dan tipu daya, antara
lain :
1. Globalisasi : mengkampanyekan perdagangan bebas guna meningkatkan volume
peragangan internasional dan pemberian bantuan ekonomi berupa pinjaman untuk
pembangunan infrastruktur, perumahan dan lain-lain.
Dalam alam nyata “perdagangan bebas” tersebut justeru bertujuan untuk
menghentikan tuntutan negara-negara berkembang yang terus mendesak (negging)
untuk mendapatkan preferensi tarif (general system of preferences/GSP) bagi
komoditi ekspor negara-negara berkembang. Dan pemberian bantuan ekonomi itu
bukan karena kebaikan hati OKI, melainkan supaya kita semakin terlibat hutang
yang tidak terbayarkan selamanya. Menurut economic hit man John Perkins
pemberian bantuan ekonomi itu mengandung pengertian “provide loans the country
can never repay”.
2. Demokratisasi : agar rakyat mendapat kebebasan seluas-luasnya berpartisipasi dan
ikut mengatur pengelolaan negara sesuai dengan norma demokrasi modern one man
one vote (lantas demokrasi Pancasila mau dibuang kemana, mas ? Pen.)
Padahal agenda yang sebenarnya adalah untuk membangkitkan perlawanan rakyat
terhadap pemerintah/penguasa yang tidak disukai oleh Amerika. Oleh karena itu,
OKI (baca: Amerika) aktif memberi bantuan (gizi) kepada LSM-LSM anti-kemapanan
3. Penegakan HAM: untuk membela dan menghormati harkat/martabat manusia
individu yang berdaulat. (Padahal Amerika Serikat sendiri adalah pelanggar HAM be
rat – ingat invasi Amerika ke Iran, Irak dan lain-lain. Pen.).
Agenda tersembunyi strategi ini tidak lain adalah untuk membangkitkan kedaulatan
individu (individual souvereignity), sehingga setiap orang berani bertindak semenamena terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan pendirian/kemauannya sendiri
atau kelompoknya; mereka mengambil hukum ditangannya sendiri walaupun tidak
sesuai/melanggar hukum negara. Akibat meluasnya kampanye “Penegakan HAM” ini
maka menjamurlah kelompok-kelompok teroris, kelompok sempalan agama dan
kelompok anti-kemapanan (baca: anti-pemerintah yang sah).
Kapan kita bisa menjadi bangsa yang pintar dan berjiwa patriot ya ?
Intervensi asing dalam urusan dalam negeri Indonesia
Ketika presiden Soekarno mulai konsisten menjalankan politik luar negeri bebas
aktif dan menjalin hubungan yang aktif, baik dengan Blok Barat maupun Blok Timur pada
tahun 1950an, nampak kedutaan besar/perwakilan negara-negara Blok Barat dan Blok
Timur aktif dan berusaha mempengaruhi kepemimpinan nasional Indonesia dimasa Orde
Lama, terutama dalam periode 1958 – 1965. Walaupun saya tidak punya bukti emperis
mengenai konspirasi negara-negara imperial ini, tapi buku-buku yang ditulis John Parkins
“Confessions of an Economic Hit Man” dan “HOODWINKED” membuktikan bahwa sejak
1950an para pemimpin dan elit politik Indonesia memang selalu digelembuki dan
dikendalikan oleh Economic Hit Man Amerika. Sejak saat itu Indonesia tidak pernah lepas
dari intaian “economic hit man” Amerika yang selalu menggunakan tangan PBB/IMF-IBRD
sebagai sutradara dan MNC sebagai bala tentaranya. Di Indonesia sasaran ekonomi yang
4
diincarnya adalah sumbnerdaya alam strategis, seperti pertambangan: minyak dan gas,
tembaga/emas, uranium, nikel, batubara dan lain-lain.
Orde Baru yang menerima tongkat estafet dari Orde Lama dalam keadaan pundipundi keuangan negara kosong dan hyperinflasi diatas 650%, merupakan makanan empuk
bagi predator OKI pimpinan Amerika – Inggris untuk dimasukkan kedalam perangkap
penjarahan hutang (debt looting) IMF/IBRD. Namun Tim Ekonomi “the magnificient seven”
pimpinan Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, walaupun terpaksa berhutang untuk mempertahankan
ekonomi Indonesia tetap mengambang tapi tetap membuat perencanaan ekonomi yang
integral dan berimbang (antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan penghasilan) sesuai
rekomendasi yang dibuat oleh Kelompok 77 pimpinan Indonesia bersama UNCTAD. Selama
tiga dekade Tim “the magnificient seven” berhasil menahan laju financial armageddon yang
diciptakan oleh Amerika melalui liberalisasi SMI untuk merontokkan lawan-lawan politiknya
termasuk melumpuhkan tuntutan negara-negara berkembang Dunia Ketiga.
Trilogi pembangunan “stabilisasi, pertumbuhan dan pemerataan” yang dilaksanakan
regim Orde Baru benar-benar merupakan prestasi yang patut diacungi jempol. Regim Orde
Baru sebetulnya sudah hampir merampungkan potret “doktrin ekonomi Pancasila” yang
sesungguhnya. Sayang strategi trilogi pembangunan yang dilaksanakan melalui rangkaian
Repelita tersebut dicampakkan begitu saja oleh regim Orde Reformasi yang datang di
persada ibu pertiwi Indonesia seperti orang yang minum sepicis mabuk setalen.
Marilah kita berdoa siang malam dengan tulus agar regim Joko Widodo – Jusuf
Kalla dapat melepaskan diri dari cengkeraman Economic Hit Man Amerika dan 9 Taipan,
agar program Trisakti – terutama program ”Berdikari”nya – segera menjadi kenyataan
supaya tidak keburu masuk angin menjadi “Berdikarang” (berdiri diatas kaki orang).
*) A. Surjadi, alumni Fakultas Ekonomi Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta 1963, mantan Duta Besar LBBP RI untuk
Republik Argentina merangkap Paraguay dan Uruguay.
5