Sistem DAlam Pengendalian Nasional Indonesia
Sistem Pengendalian Nasional
Indonesia
Muchsan1 dalam Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan
Aparat
Pemerintah
Indonesia,
dan
menyatakan
Peradilan
bahwa
Tata
Negara
Usaha
Republik
Negara
Di
Indonesia
Berdasarkan UUD 1945, termasuk negara yang bertipe Welfare
(kesejahteraan). Welfare state (negara kesejahteraan) yang
sebagaimana
telah
menitikberatkan
diketahui
pada
ialah
pemerataan
tipe
negara
kesejahteraan
yang
dalam
kehidupan masyarakat, dengan tuntutan untuk berperan aktif
dalam menciptakan kesejahteraan, misalnya pengaturan lewat
perijinan, penciptaan kebijaksanaan lewat deregulasi dalam
bidang-bidang tertentu, dan sebagainya.
Dalam teori kenegaraan, dikenal juga tipe negara lain yang
dapat dibedakan dari negara bertipekan welfare. Ialah Negara
yang bernafaskan pada liberalisme atau yang biasa disebut
dengan istilah Negara penjaga malam (Nachtwakersstaat), yang
merupakan negara yang lebih banyak menyerahkan urusan
kesejahteraan pada masyarakat itu sendiri, sehingga fungsi
negara terbatas karena hanya dituntut menciptakan suatu situasi
yang dapat melancarkan kesejahteraan tersebut.
Dari segi fungsi yang dijalankan oleh negara itu sendiri,
secara teori telah dikenal luas bahwa Negara dalam menjalankan
kekuasaannya mempunyai beberapa Fungsi, yang diantaranya
ialah Fungsi Reguler dan Fungsi Pembangunan. Kategorisasi
suatu negara kedalam tipe negara yang bertipekan Welfare atau
1
Muchsan,2007, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah
dan Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, Hlm. 8.
Bertipekan Nachtwakersstaat, bisa kita lihat daripada fungsi
yang mana yang lebih dominan dijalankan oleh suatu negara.
Pada negara-negara yang telah maju (Development countries)
seperti Amerika ataupun sebagainya, Fungsi yang dijalankan
lebih banyak menyoal fungsi Reguler seperti fungsi politik, fungsi
diplomatik, fungsi yuridis dan fungsi administratif, daripada
menjalankan fungsi pembangunannya. Berbeda halnya dengan
negara yang berkembang (Developing countries), antara fungsi
reguler dengan fungsi pembangunan dijalan sedemikian rupa,
sehingga menjadi seimbang, dengan kata lain pelaksanaan
fungsi reguler di negara Developing countries biasanya dituntut
untuk
menunjang
pelaksanaan
fungsi
pembangunan
dan
sebaliknya fungsi pembangunan harus dapat meningkatkan
kualitas pelaksanaan fungsi reguler. Yang juga tidak jarang, pada
level tertentu, fungsi pembangunan ini mendapatkan prioritas
yang lebih besar daripada fungsi reguler
Seperti
yang
dinyatakan
sebelumnya
pada
paragraf
pertama, Indonesia menurut Muchsan, merupakan negara yang
bertipekan
Welfare
state
(Negara
Kesejahteraan).
Sebagai
konsekuensi dari pelaksanaan negara bertipekan welfare state,
dikenal adanya dua konsekuensi logis yang akan muncul, yang
pertama
dimungkinkannya
Intervensi
atau
campur
tangan
Negara yang cukup luas terhadap aspek kehidupan masyarakat
serta yang kedua digunakannya asas diskresi, dalam hal ini
diberikannya kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana
mengartikan (menangkap maksud dan tujuan) dari kewenangan
untuk
menyelenggarakan
kepadanya,
menimbulkan
yang
tak
dilema
pemerintahan
jarang
dalam
dalam
yang
banyak
penerapannya.
dibebankan
hal
Apabila
tertentu
kedua
konsekuensi tersebut tidak dilaksanakan fungsi administratif
akan terhambat, yang berarti akan menghambat terwujudnya
kesejahteraan
dalam
kehidupan
masyarakat.
Akan
tetapi
sebaliknya, apabila kedua konsekuensi tersebut terlaksana,
lebih-lebih apabila tidak terkendali, mudah terjadinya perbuatan
Pemerintah
yang
tercela,
yang
tendensinya
menimbulkan
kerugian pada pihak tertentu.
Maka
dari
itu,
Negara
akan
selalu
berusaha
untuk
mengendalikan aparatnya, jangan sampai melakukan perbuatan
tercela ini. Sehingga sehubungan dengan ini, diadakanlah suatu
sistem pengawasan (Control System) terhadap perbuatan aparat
Pemerintah,
dengan
tujuan
untuk
menghindari
terjadinya
perbuatan yang merugikan pihak tertentu, ataupun setidaktidaknya
menekan
kemungkinan
(possibilities)
terjadinya
perbuatan tersebut.
Dalam ruang-ruang kuliah yang telah dilewati, beberapa
model pengawasan terhadap telah dijabarkan, yang diantaranya
dapat dibedakan dari segi subyek yang mengawasi sebagai
berikut;
1. Pengawasan melekat
2. Pengawasan fungsional
3. Pengawasan oleh lembaga kehakiman (peradilan)
4. Pengawasan masyarakat
5. Pengawasan politis
secara
administratif
sistem
pengawasasan
oleh kekuasaan
kehakiman
pengawasan
melekat
intern
pengawasan
fungsional
ekstern
pengawasan
politis
pengawasan
masyarakat
Pengawasan melekat dan fungsional, bisa kita golongkan
pada pengawasan yang sifatnya secara administratif. Maksud
dari pengawasan secara administratif, karena baik keduanya
berada dalam wilayah eksekutif, kecuali terhadap pengawasan
fungsional yang sifatnya ektsternal, entitasnya terpisah dari
tubuh eksekutif.
(1) Pengawasan Melekat
Pengawasan melekat atau yang biasa disebut dengan
waskat ialah suatu pengawasan yang tidak dapat dipisahkan dari
fungsi pimpinan yang harus mengawasi semua anak buahnya.
Dengan kata lain, fungsi melekat ini menjadi satu dengan fungsi
kepemimpinan. Siapapun yang menjabat sebagai pemimpin,
otomatis
akan
berkewajiban
melaksanakan
pengawasan
terhadap yang dipimpinnya.
Pengawasan melekat itu sendiri diatur pertama kali dalam
inpres No. 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengawasan. Terdapat dua istilah dalam peraturan ini yang
dianggap sama artinya namun penjelasan mengenai keduanya
tidak dibahas secara tuntas, yaitu pengawasan melekat dan
pengawasan oleh atasan langsung. Tapi jika dilihat secara
mendalam dalam uraian penjelasan yang ada pada peraturan ini,
bisa kita ambil suatu kesimpulan bahwa pengawasan melekat itu
lebih luas cakupannya. Hal itu dikarenakan pengawasan melekat
(waskat)
cakupannya
mencakupi
pengawasan
oleh
atasan
langsung (PAL) dan sistem pengendalian manajemen (SPM)
Terdapat keunggulan dan efektiftas tersendiri pada model
pengawasan ini dalam pengendalian aparat pemerintah yang
dikarenakan oleh tiga sifat bawaannya, yakni bersifat tepat,
cepat dan murah.
Dikatakan bersifat tepat, karena aparat pengawas atau
pimpinan mengetahui benar lingkup tugas atau mengetahui
secara normatif kegiatan sehari-hari dan kewajiban aparat yang
diawasi. Dikatakan cepat karena pengawasan melekat ini tidak
terlalu
bersifat
prosuderal.
Demikian
pihak
pengawas
mengetahui ada kekeliruan yang dilakukan oleh bawahannya,
secara langsung dapat disegerakan dilakukan perbaikan yang
dikarenakan
oleh
proses
pengawasan
yang
berjalanan.
Sedangkan bersifat murah, karena proses pengawasan ini
merupakan “built in control”, jadi tidak memerlukan anggaran
biaya tersendiri kewajiban pengawasan ini otomatis melekat
pada fungsi pimpinan.
Namun walaupun demikian,
dikenal juga
kekurangan
dalam model pengawasan ini, seperti pucuk pimpinan tertinggi
tidak bisa diawasi dengan jenis pengawasan melekat oleh karena
itu pengawasan juga dilakukan oleh organisasi (pengawasan
melekat yang ada pada orang), pengawasan yang terbawah
menjadi
tumpuan
pengawasan,
disini
tanpa
diberikan
kesempatan untuk memberi tanggapannya. Apapun perintah
atasan, itulah yang harus dilaksanakan . padahal aturan yang
baik harus mencakup aspirasi pegawai . dalam hal ini ada
pelaksanaan asas partisipasi.
Selain itu dalam pelaksanaannya, pengawasan melekat ini
tak jarang juga akan mengalami inefektivitas disebabkan oleh
hal-hal yang bersifat intern baik itu disebabkan melemahnya
pengawasan
melemahnya
atasan
langsung
sistem
(PAL)
pengendalian
ataupun
dikarenakan
menejemen
(SPM).
Melemahnya pengawasan atasan langsung seperti pimpinan
tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan yang cukup, baik
dari segi menegerial maupun dari segi kemampuan teknis,
kelemahan mental pimpinan sehingga tidak memiliki sifat
kepemimpinan dan pengawasan tidak berjalan, adanya budaya
pekewuh yang mengakibatkan pimpinan secara berlebihan
dalam memberikan teguran dan sanksi terhadap bawahannya,
terjadinya
nepotisme
yang
mengakibatkan
objektiftas
pengawasan sulit terwujud, kemudian juga jika perangkat
peraturan perundangan-undangan kurang mendukung. Adapun
inefektivitas pengawasan melekat yang disebabkan oleh sistem
pengendalian menejemen seperti, mutu atau kualitas sistem
pengendalian menejemen kurang baik, dan kesungguhan dan
kualitas kerja para pegawai kurang baik, misalnya banyak
pegawai yang melakukan tindakan indispliner.
(2) Pengawasan Fungsional
Selain
pengawasan
melekat
yang
dikenal
secara
administratif dalam pemerintahan, dikenal juga pengawasan
Fungsional, yang juga ketentuannya diatur pertama kali dalam
inpres No. 15 tahun 1983 dalam pasal 2 ayat 2 bahwa terdapat
juga “pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparat
pengawas”.
Dari
apa
yang
ada
pada
peraturan
tersebut
dapat
disimpulkan bahwa pengawasan fungsional adalah pengawasan
yang dilakukan oleh aparat yang diadakan khusus untuk
membantu
pimpinan
(manajer)
dalam
menjalankan
fungsi
pengawasan dilingkungan organisasi yang menjadi tanggung
jawabnya.
Kemudian pengertian pengawasan fungsional ini juga
terdapat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun
2001
tentang
Penyelenggaraaan
pengertian
Pembinaan
dan
Pemerintah
Daerah,
pengawasan
fungsional
Pengawasan
yang
atas
memberikan
sebagai
kegiatan
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang
mempunyai tugas melakukan pengawasan melalui pemeriksaan,
pengujian, pengusutan dan penilaian.
Jika pada pengawasan melekat sifatnya Mutlak, artinya
harus ada. Maka pada pengawasan fungsional ini, sifatnya relatif,
artinya apabila diadakan lebih baik, tidak diadakan tidak
mengapa,
karena
pengawasan
ini
merupakan
kegiatan
pengawasan pembantu.
Jika dilihat dari subjek yang melaksanakan pengawasan,
pengawasan fungsional ini terbagi atas 2, yaitu pengawasan
yang bersifat intern dan ekstern. Pengawasan fungsional yang
bersifat intern (berdasarkan dari subjek yang melaksanakan
pengawasan), bisa diacu pada pasal 4 ayat 4 Inpres No. 15 tahun
1983, yang diantaranya ialah (1) Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan, (2) Inspektorat Jendral Departemen dan
Aparat
Pengawasan
Lembaga
Pemerintah
Non
Departemen/Instansi Pemerintah lainnya, (3) Inspektorat Wilayah
Provinsi dan (4) Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya.
Kemudian
ada
juga
pengawasan fungsional
yang
sifatnya
ekstern, yaitu Badan Pengawas Keuangan (Berdasarkan UU. No.
15 Tahun 2004 dan UU. No. 15 Tahun 2006).
Pengawasan Fungsional, jika dilihat tugas dan wewenang
dibentuknya suatu pengawasan fungsional, sebenarnya lebih
menjamin profesionalitas pengawasan jika itu dibandingkan
dengan model pengawasan sebelumnya, yakni pengawasan
melekat yang melekat dengan pimpinan. Pengawasan fungsional
lebih
menjamin
dilakukan
oleh
dikhususkan
profesionalitas,
suatu
untuk
dikarenakan
lembaga/badan/unit
mengawasi,
apalagi
pengawasan
khusus
jika
yang
pengawasan
fungsional itu bersifat ekstern maka lebih bisa menjamin
obyektiftas pengawasan.
namun
kelemahannya
jika
dibandingkan
dengan
pengawasan melekat, pengawasan fungsional bersifat prosuderal
sehingga jika terdapat suatu kesalahan pada yang diawasi, maka
perbaikannya memerlukan waktu yang agak lama. Selain itu juga
memerlukan
biaya
tersendiri
jika
dibandingkan
dengan
pengawasan melekat yang tidak memerlukan biaya.
(3) Pengawasan oleh Kekuasaan Kehakiman (badan peradilan)
Salah satu konsekuensi timbulnya pengawasan dibidang
kekuasaan
kehakiman
(yudikatif)
terhadap
pemerintah
(eksekutif) timbul diakibatkan prinsip Cheks and balances yang
di praktekkan di negara-negara Negara Modern yang Demokratis
Konstitusional, termasuk Indonesia.
Dalam
melaksanakan
fungsinya,
aparat
Pemerintah
(ekskutif) sering dan pastinya akan berhubungan dengan pihak
individu ataupun badan hukum, baik privat maupun publik. Hal
ini terjadi khususnya dalam rangka pemerintah menyediakan
pelayanan umum bagi masyarakat. Hubungan hukum ini dapat
bersifat keperdataan (privatatrechtelijk) ataupun yang bersifat
publik (publiekrechlijk). Tak jarang terjadi, timbulnya hubungan
hukum ini justru menimbulkan kerugian bagi pihak individu.
Apabila
pihak
yang
merasa
terugikan
ini
tidak
dapat
menerimanya maka timbullah sengketa hukum antar aparat
pemerintah dengan individu yang bersangkutan. Jika sengketa
tersebut dimintakan penyelesaiannya kepada Hakim timbullah
peradilan. Disinilah perbuatan Pemerintah diuji dan dinilai oleh
kekuasaan kehakiman yang menjalankan pengawasan.
Pengujian dan peniliaian ini dapat bersifat keperdataan
maupun bersifat administratif, bisa juga terhadap peraturan
kebijakan dibawah undang-undang yang tidak sesuai dengan
undang-undang, dan undang-undang yang diinisiasi pemerintah
terhadap undang-undang dasar tergantung pada sengketa yang
diajukannya. Apabila sengketa tersebut merupakan sengketa
keperdataan, maka hakim biasa/perdata (Hakim pada Pengadilan
Negeri) yang berwenang untuk mengadili, sedangkan apabila
sengketanya merupakan sengketa Tata Usaha Negara, maka
hakim
peradilan
Tata
Usaha
Negara
yang
berwenang
mengutusnya, juga jika sengketanya berupa ada pihak tertentu
yang merasa dirugikan akibat tidaksinkonnya suatu peraturan
kebijakan tertentu dibawah undang-undang terhadap UndangUndang, maka yang berwenang mengujinya ialah Mahkamah
Agung, dan jika itu merupakan peraturan perundang-undangan
dalam
bentuk
Undang-Undang
yang
Undang-Undang
Dasar
dirugikan
konstitusionalnya,
hak
sehingga
tidak
membuat
maka
mengujinya ialah Mahkamah Konstitusi.
sesuai
dengan
pihak
tertentu
yang
berwenang
(4) Pengawasan Politis
Timbulnya pengawasan dari lembaga politis ini juga
sebenarnya dari konsekuensi prinsip Checks and Balances dari
lembaga politis (Legislatif) tehadap pemerintah (eksekutif).
Yang
dimaksud
oleh
pengawasan
politis
disini
ialah
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga politis seperti Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
ataupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bentuk
pengawasan politis bisa kita lihat sendiri dalam ketentuan yang
diatur
oleh
Undang-Undang
Dasar
yang
memberikan
kewenangan kepada lembaga politis khususnya DPR untuk
melaksanakan pengawasan sesuai dengan fungsi yang telah
diberikan (fungsi pengawasan pasal 20A ayat 1 UUD NRI 1945).
Kemudian dalam menjalankan fungsinya tersebut secara kolektif,
Anggota diberikan hak-hak berupa hak interpelasi, Hak Angket
dan hak menyatakan pendapat (pasal 20A ayat 2 UUD NRI 1945).
Sehingga dengan demikian, diharapkan lembaga politis dapat
mencegah
atau
setidaknya
meminimalisir
bentuk-bentuk
tindakan pemerintah yang bersifat merugikan atau menyimpang.
Dengan model pengawasan yang berasal dari lembaga
politis,
model
pengawasan
ini
cenderung
bisa
dikatakan
maksimal atau tidak, tergantung bagaimana suasana dan kondisi
perpolitikan yang hidup dalam suatu masa pemerintahan. karena
kembali terhadap sifatnya yang politis, maka pengawasan ini
juga walaupun idealnya
merupakan pelaksaan prinsip “checks
and balances” namun tidak dipungkiri pelaksanaannya juga sarat
akan kepentingan yang mungkin pelaksanaannya bisa dikatakan
sukar
untuk
pengawasan.
diharapkan
bisa
obyektif
dalam
melakukan
(5) Pengawasan Masyarakat
Yang
di
maksud
dengan
pengawasan
masyarakat
merupakan pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap
aparatur
pemerintah
yang
dapat
berupa
kritik,
saran,
pertanyaan, permintaan informasi, dan lain-lain yang datang dari
masyarakat
mengenai
pelaksanaan
tugas-tugas
umum
pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada suatu
organisasi/unit kerja tertentu langsung atau tidak langsung.
Adapun Bentuk-bentuk pengawasan masyarakat sesuai
dengan jalur yang dipergunakan, dapat dibedakan atas dua,
yaitu
pengawasan
yang
dilakukan
secara
langsung
dan
pengawasan yang tidak langsung. pengawasan yang dilakukan
secara
langsung
oleh
warga
masyarakat,
menyampaikan informasi pada pegawai
ialah
dengan
pelaksana/pimpinan
yang bersangkutan. Informasi pada umumnya disampaikan
secara
tertulis
melalui
surat
(melalui
kotak
saran),
pemberitahuan media massa di dalam surat kabar atau majalah,
termasuk juga rubrik pembaca, atau surat pembaca. Sedangkan
pengawasan tidak langsung, ialah dengan melalui jalur legal
yang
ditetapkan
melaui
peraturan
DPR ,DPD,
pengawas
perundang-undangan,
misalnya
DPRD, Komisi Omsbudman, pada aparat
fungsional,
ataupun
bisa
juga
informasi
dapat
disampaikan melalui penyampaian pendapat di muka umum.
Adapun
masukannya
terhadap
pengawasan
disampaikan
dalam
tidak
langsung
bentuk
yang
Penyampaian
Pendapat Di Muka Umum menurut Undang-undang No. 9 tahun
1998 meliputi: Demonstrasi, Pawai, Unjuk rasa, Rapat umum dan
Mimbar bebas.
Indonesia
Muchsan1 dalam Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan
Aparat
Pemerintah
Indonesia,
dan
menyatakan
Peradilan
bahwa
Tata
Negara
Usaha
Republik
Negara
Di
Indonesia
Berdasarkan UUD 1945, termasuk negara yang bertipe Welfare
(kesejahteraan). Welfare state (negara kesejahteraan) yang
sebagaimana
telah
menitikberatkan
diketahui
pada
ialah
pemerataan
tipe
negara
kesejahteraan
yang
dalam
kehidupan masyarakat, dengan tuntutan untuk berperan aktif
dalam menciptakan kesejahteraan, misalnya pengaturan lewat
perijinan, penciptaan kebijaksanaan lewat deregulasi dalam
bidang-bidang tertentu, dan sebagainya.
Dalam teori kenegaraan, dikenal juga tipe negara lain yang
dapat dibedakan dari negara bertipekan welfare. Ialah Negara
yang bernafaskan pada liberalisme atau yang biasa disebut
dengan istilah Negara penjaga malam (Nachtwakersstaat), yang
merupakan negara yang lebih banyak menyerahkan urusan
kesejahteraan pada masyarakat itu sendiri, sehingga fungsi
negara terbatas karena hanya dituntut menciptakan suatu situasi
yang dapat melancarkan kesejahteraan tersebut.
Dari segi fungsi yang dijalankan oleh negara itu sendiri,
secara teori telah dikenal luas bahwa Negara dalam menjalankan
kekuasaannya mempunyai beberapa Fungsi, yang diantaranya
ialah Fungsi Reguler dan Fungsi Pembangunan. Kategorisasi
suatu negara kedalam tipe negara yang bertipekan Welfare atau
1
Muchsan,2007, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah
dan Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, Hlm. 8.
Bertipekan Nachtwakersstaat, bisa kita lihat daripada fungsi
yang mana yang lebih dominan dijalankan oleh suatu negara.
Pada negara-negara yang telah maju (Development countries)
seperti Amerika ataupun sebagainya, Fungsi yang dijalankan
lebih banyak menyoal fungsi Reguler seperti fungsi politik, fungsi
diplomatik, fungsi yuridis dan fungsi administratif, daripada
menjalankan fungsi pembangunannya. Berbeda halnya dengan
negara yang berkembang (Developing countries), antara fungsi
reguler dengan fungsi pembangunan dijalan sedemikian rupa,
sehingga menjadi seimbang, dengan kata lain pelaksanaan
fungsi reguler di negara Developing countries biasanya dituntut
untuk
menunjang
pelaksanaan
fungsi
pembangunan
dan
sebaliknya fungsi pembangunan harus dapat meningkatkan
kualitas pelaksanaan fungsi reguler. Yang juga tidak jarang, pada
level tertentu, fungsi pembangunan ini mendapatkan prioritas
yang lebih besar daripada fungsi reguler
Seperti
yang
dinyatakan
sebelumnya
pada
paragraf
pertama, Indonesia menurut Muchsan, merupakan negara yang
bertipekan
Welfare
state
(Negara
Kesejahteraan).
Sebagai
konsekuensi dari pelaksanaan negara bertipekan welfare state,
dikenal adanya dua konsekuensi logis yang akan muncul, yang
pertama
dimungkinkannya
Intervensi
atau
campur
tangan
Negara yang cukup luas terhadap aspek kehidupan masyarakat
serta yang kedua digunakannya asas diskresi, dalam hal ini
diberikannya kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana
mengartikan (menangkap maksud dan tujuan) dari kewenangan
untuk
menyelenggarakan
kepadanya,
menimbulkan
yang
tak
dilema
pemerintahan
jarang
dalam
dalam
yang
banyak
penerapannya.
dibebankan
hal
Apabila
tertentu
kedua
konsekuensi tersebut tidak dilaksanakan fungsi administratif
akan terhambat, yang berarti akan menghambat terwujudnya
kesejahteraan
dalam
kehidupan
masyarakat.
Akan
tetapi
sebaliknya, apabila kedua konsekuensi tersebut terlaksana,
lebih-lebih apabila tidak terkendali, mudah terjadinya perbuatan
Pemerintah
yang
tercela,
yang
tendensinya
menimbulkan
kerugian pada pihak tertentu.
Maka
dari
itu,
Negara
akan
selalu
berusaha
untuk
mengendalikan aparatnya, jangan sampai melakukan perbuatan
tercela ini. Sehingga sehubungan dengan ini, diadakanlah suatu
sistem pengawasan (Control System) terhadap perbuatan aparat
Pemerintah,
dengan
tujuan
untuk
menghindari
terjadinya
perbuatan yang merugikan pihak tertentu, ataupun setidaktidaknya
menekan
kemungkinan
(possibilities)
terjadinya
perbuatan tersebut.
Dalam ruang-ruang kuliah yang telah dilewati, beberapa
model pengawasan terhadap telah dijabarkan, yang diantaranya
dapat dibedakan dari segi subyek yang mengawasi sebagai
berikut;
1. Pengawasan melekat
2. Pengawasan fungsional
3. Pengawasan oleh lembaga kehakiman (peradilan)
4. Pengawasan masyarakat
5. Pengawasan politis
secara
administratif
sistem
pengawasasan
oleh kekuasaan
kehakiman
pengawasan
melekat
intern
pengawasan
fungsional
ekstern
pengawasan
politis
pengawasan
masyarakat
Pengawasan melekat dan fungsional, bisa kita golongkan
pada pengawasan yang sifatnya secara administratif. Maksud
dari pengawasan secara administratif, karena baik keduanya
berada dalam wilayah eksekutif, kecuali terhadap pengawasan
fungsional yang sifatnya ektsternal, entitasnya terpisah dari
tubuh eksekutif.
(1) Pengawasan Melekat
Pengawasan melekat atau yang biasa disebut dengan
waskat ialah suatu pengawasan yang tidak dapat dipisahkan dari
fungsi pimpinan yang harus mengawasi semua anak buahnya.
Dengan kata lain, fungsi melekat ini menjadi satu dengan fungsi
kepemimpinan. Siapapun yang menjabat sebagai pemimpin,
otomatis
akan
berkewajiban
melaksanakan
pengawasan
terhadap yang dipimpinnya.
Pengawasan melekat itu sendiri diatur pertama kali dalam
inpres No. 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengawasan. Terdapat dua istilah dalam peraturan ini yang
dianggap sama artinya namun penjelasan mengenai keduanya
tidak dibahas secara tuntas, yaitu pengawasan melekat dan
pengawasan oleh atasan langsung. Tapi jika dilihat secara
mendalam dalam uraian penjelasan yang ada pada peraturan ini,
bisa kita ambil suatu kesimpulan bahwa pengawasan melekat itu
lebih luas cakupannya. Hal itu dikarenakan pengawasan melekat
(waskat)
cakupannya
mencakupi
pengawasan
oleh
atasan
langsung (PAL) dan sistem pengendalian manajemen (SPM)
Terdapat keunggulan dan efektiftas tersendiri pada model
pengawasan ini dalam pengendalian aparat pemerintah yang
dikarenakan oleh tiga sifat bawaannya, yakni bersifat tepat,
cepat dan murah.
Dikatakan bersifat tepat, karena aparat pengawas atau
pimpinan mengetahui benar lingkup tugas atau mengetahui
secara normatif kegiatan sehari-hari dan kewajiban aparat yang
diawasi. Dikatakan cepat karena pengawasan melekat ini tidak
terlalu
bersifat
prosuderal.
Demikian
pihak
pengawas
mengetahui ada kekeliruan yang dilakukan oleh bawahannya,
secara langsung dapat disegerakan dilakukan perbaikan yang
dikarenakan
oleh
proses
pengawasan
yang
berjalanan.
Sedangkan bersifat murah, karena proses pengawasan ini
merupakan “built in control”, jadi tidak memerlukan anggaran
biaya tersendiri kewajiban pengawasan ini otomatis melekat
pada fungsi pimpinan.
Namun walaupun demikian,
dikenal juga
kekurangan
dalam model pengawasan ini, seperti pucuk pimpinan tertinggi
tidak bisa diawasi dengan jenis pengawasan melekat oleh karena
itu pengawasan juga dilakukan oleh organisasi (pengawasan
melekat yang ada pada orang), pengawasan yang terbawah
menjadi
tumpuan
pengawasan,
disini
tanpa
diberikan
kesempatan untuk memberi tanggapannya. Apapun perintah
atasan, itulah yang harus dilaksanakan . padahal aturan yang
baik harus mencakup aspirasi pegawai . dalam hal ini ada
pelaksanaan asas partisipasi.
Selain itu dalam pelaksanaannya, pengawasan melekat ini
tak jarang juga akan mengalami inefektivitas disebabkan oleh
hal-hal yang bersifat intern baik itu disebabkan melemahnya
pengawasan
melemahnya
atasan
langsung
sistem
(PAL)
pengendalian
ataupun
dikarenakan
menejemen
(SPM).
Melemahnya pengawasan atasan langsung seperti pimpinan
tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan yang cukup, baik
dari segi menegerial maupun dari segi kemampuan teknis,
kelemahan mental pimpinan sehingga tidak memiliki sifat
kepemimpinan dan pengawasan tidak berjalan, adanya budaya
pekewuh yang mengakibatkan pimpinan secara berlebihan
dalam memberikan teguran dan sanksi terhadap bawahannya,
terjadinya
nepotisme
yang
mengakibatkan
objektiftas
pengawasan sulit terwujud, kemudian juga jika perangkat
peraturan perundangan-undangan kurang mendukung. Adapun
inefektivitas pengawasan melekat yang disebabkan oleh sistem
pengendalian menejemen seperti, mutu atau kualitas sistem
pengendalian menejemen kurang baik, dan kesungguhan dan
kualitas kerja para pegawai kurang baik, misalnya banyak
pegawai yang melakukan tindakan indispliner.
(2) Pengawasan Fungsional
Selain
pengawasan
melekat
yang
dikenal
secara
administratif dalam pemerintahan, dikenal juga pengawasan
Fungsional, yang juga ketentuannya diatur pertama kali dalam
inpres No. 15 tahun 1983 dalam pasal 2 ayat 2 bahwa terdapat
juga “pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparat
pengawas”.
Dari
apa
yang
ada
pada
peraturan
tersebut
dapat
disimpulkan bahwa pengawasan fungsional adalah pengawasan
yang dilakukan oleh aparat yang diadakan khusus untuk
membantu
pimpinan
(manajer)
dalam
menjalankan
fungsi
pengawasan dilingkungan organisasi yang menjadi tanggung
jawabnya.
Kemudian pengertian pengawasan fungsional ini juga
terdapat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun
2001
tentang
Penyelenggaraaan
pengertian
Pembinaan
dan
Pemerintah
Daerah,
pengawasan
fungsional
Pengawasan
yang
atas
memberikan
sebagai
kegiatan
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang
mempunyai tugas melakukan pengawasan melalui pemeriksaan,
pengujian, pengusutan dan penilaian.
Jika pada pengawasan melekat sifatnya Mutlak, artinya
harus ada. Maka pada pengawasan fungsional ini, sifatnya relatif,
artinya apabila diadakan lebih baik, tidak diadakan tidak
mengapa,
karena
pengawasan
ini
merupakan
kegiatan
pengawasan pembantu.
Jika dilihat dari subjek yang melaksanakan pengawasan,
pengawasan fungsional ini terbagi atas 2, yaitu pengawasan
yang bersifat intern dan ekstern. Pengawasan fungsional yang
bersifat intern (berdasarkan dari subjek yang melaksanakan
pengawasan), bisa diacu pada pasal 4 ayat 4 Inpres No. 15 tahun
1983, yang diantaranya ialah (1) Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan, (2) Inspektorat Jendral Departemen dan
Aparat
Pengawasan
Lembaga
Pemerintah
Non
Departemen/Instansi Pemerintah lainnya, (3) Inspektorat Wilayah
Provinsi dan (4) Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya.
Kemudian
ada
juga
pengawasan fungsional
yang
sifatnya
ekstern, yaitu Badan Pengawas Keuangan (Berdasarkan UU. No.
15 Tahun 2004 dan UU. No. 15 Tahun 2006).
Pengawasan Fungsional, jika dilihat tugas dan wewenang
dibentuknya suatu pengawasan fungsional, sebenarnya lebih
menjamin profesionalitas pengawasan jika itu dibandingkan
dengan model pengawasan sebelumnya, yakni pengawasan
melekat yang melekat dengan pimpinan. Pengawasan fungsional
lebih
menjamin
dilakukan
oleh
dikhususkan
profesionalitas,
suatu
untuk
dikarenakan
lembaga/badan/unit
mengawasi,
apalagi
pengawasan
khusus
jika
yang
pengawasan
fungsional itu bersifat ekstern maka lebih bisa menjamin
obyektiftas pengawasan.
namun
kelemahannya
jika
dibandingkan
dengan
pengawasan melekat, pengawasan fungsional bersifat prosuderal
sehingga jika terdapat suatu kesalahan pada yang diawasi, maka
perbaikannya memerlukan waktu yang agak lama. Selain itu juga
memerlukan
biaya
tersendiri
jika
dibandingkan
dengan
pengawasan melekat yang tidak memerlukan biaya.
(3) Pengawasan oleh Kekuasaan Kehakiman (badan peradilan)
Salah satu konsekuensi timbulnya pengawasan dibidang
kekuasaan
kehakiman
(yudikatif)
terhadap
pemerintah
(eksekutif) timbul diakibatkan prinsip Cheks and balances yang
di praktekkan di negara-negara Negara Modern yang Demokratis
Konstitusional, termasuk Indonesia.
Dalam
melaksanakan
fungsinya,
aparat
Pemerintah
(ekskutif) sering dan pastinya akan berhubungan dengan pihak
individu ataupun badan hukum, baik privat maupun publik. Hal
ini terjadi khususnya dalam rangka pemerintah menyediakan
pelayanan umum bagi masyarakat. Hubungan hukum ini dapat
bersifat keperdataan (privatatrechtelijk) ataupun yang bersifat
publik (publiekrechlijk). Tak jarang terjadi, timbulnya hubungan
hukum ini justru menimbulkan kerugian bagi pihak individu.
Apabila
pihak
yang
merasa
terugikan
ini
tidak
dapat
menerimanya maka timbullah sengketa hukum antar aparat
pemerintah dengan individu yang bersangkutan. Jika sengketa
tersebut dimintakan penyelesaiannya kepada Hakim timbullah
peradilan. Disinilah perbuatan Pemerintah diuji dan dinilai oleh
kekuasaan kehakiman yang menjalankan pengawasan.
Pengujian dan peniliaian ini dapat bersifat keperdataan
maupun bersifat administratif, bisa juga terhadap peraturan
kebijakan dibawah undang-undang yang tidak sesuai dengan
undang-undang, dan undang-undang yang diinisiasi pemerintah
terhadap undang-undang dasar tergantung pada sengketa yang
diajukannya. Apabila sengketa tersebut merupakan sengketa
keperdataan, maka hakim biasa/perdata (Hakim pada Pengadilan
Negeri) yang berwenang untuk mengadili, sedangkan apabila
sengketanya merupakan sengketa Tata Usaha Negara, maka
hakim
peradilan
Tata
Usaha
Negara
yang
berwenang
mengutusnya, juga jika sengketanya berupa ada pihak tertentu
yang merasa dirugikan akibat tidaksinkonnya suatu peraturan
kebijakan tertentu dibawah undang-undang terhadap UndangUndang, maka yang berwenang mengujinya ialah Mahkamah
Agung, dan jika itu merupakan peraturan perundang-undangan
dalam
bentuk
Undang-Undang
yang
Undang-Undang
Dasar
dirugikan
konstitusionalnya,
hak
sehingga
tidak
membuat
maka
mengujinya ialah Mahkamah Konstitusi.
sesuai
dengan
pihak
tertentu
yang
berwenang
(4) Pengawasan Politis
Timbulnya pengawasan dari lembaga politis ini juga
sebenarnya dari konsekuensi prinsip Checks and Balances dari
lembaga politis (Legislatif) tehadap pemerintah (eksekutif).
Yang
dimaksud
oleh
pengawasan
politis
disini
ialah
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga politis seperti Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
ataupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bentuk
pengawasan politis bisa kita lihat sendiri dalam ketentuan yang
diatur
oleh
Undang-Undang
Dasar
yang
memberikan
kewenangan kepada lembaga politis khususnya DPR untuk
melaksanakan pengawasan sesuai dengan fungsi yang telah
diberikan (fungsi pengawasan pasal 20A ayat 1 UUD NRI 1945).
Kemudian dalam menjalankan fungsinya tersebut secara kolektif,
Anggota diberikan hak-hak berupa hak interpelasi, Hak Angket
dan hak menyatakan pendapat (pasal 20A ayat 2 UUD NRI 1945).
Sehingga dengan demikian, diharapkan lembaga politis dapat
mencegah
atau
setidaknya
meminimalisir
bentuk-bentuk
tindakan pemerintah yang bersifat merugikan atau menyimpang.
Dengan model pengawasan yang berasal dari lembaga
politis,
model
pengawasan
ini
cenderung
bisa
dikatakan
maksimal atau tidak, tergantung bagaimana suasana dan kondisi
perpolitikan yang hidup dalam suatu masa pemerintahan. karena
kembali terhadap sifatnya yang politis, maka pengawasan ini
juga walaupun idealnya
merupakan pelaksaan prinsip “checks
and balances” namun tidak dipungkiri pelaksanaannya juga sarat
akan kepentingan yang mungkin pelaksanaannya bisa dikatakan
sukar
untuk
pengawasan.
diharapkan
bisa
obyektif
dalam
melakukan
(5) Pengawasan Masyarakat
Yang
di
maksud
dengan
pengawasan
masyarakat
merupakan pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap
aparatur
pemerintah
yang
dapat
berupa
kritik,
saran,
pertanyaan, permintaan informasi, dan lain-lain yang datang dari
masyarakat
mengenai
pelaksanaan
tugas-tugas
umum
pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada suatu
organisasi/unit kerja tertentu langsung atau tidak langsung.
Adapun Bentuk-bentuk pengawasan masyarakat sesuai
dengan jalur yang dipergunakan, dapat dibedakan atas dua,
yaitu
pengawasan
yang
dilakukan
secara
langsung
dan
pengawasan yang tidak langsung. pengawasan yang dilakukan
secara
langsung
oleh
warga
masyarakat,
menyampaikan informasi pada pegawai
ialah
dengan
pelaksana/pimpinan
yang bersangkutan. Informasi pada umumnya disampaikan
secara
tertulis
melalui
surat
(melalui
kotak
saran),
pemberitahuan media massa di dalam surat kabar atau majalah,
termasuk juga rubrik pembaca, atau surat pembaca. Sedangkan
pengawasan tidak langsung, ialah dengan melalui jalur legal
yang
ditetapkan
melaui
peraturan
DPR ,DPD,
pengawas
perundang-undangan,
misalnya
DPRD, Komisi Omsbudman, pada aparat
fungsional,
ataupun
bisa
juga
informasi
dapat
disampaikan melalui penyampaian pendapat di muka umum.
Adapun
masukannya
terhadap
pengawasan
disampaikan
dalam
tidak
langsung
bentuk
yang
Penyampaian
Pendapat Di Muka Umum menurut Undang-undang No. 9 tahun
1998 meliputi: Demonstrasi, Pawai, Unjuk rasa, Rapat umum dan
Mimbar bebas.