Sistem DAlam Pengendalian Nasional Indonesia

Sistem Pengendalian Nasional
Indonesia
Muchsan1 dalam Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan
Aparat

Pemerintah

Indonesia,

dan

menyatakan

Peradilan
bahwa

Tata

Negara

Usaha

Republik

Negara

Di

Indonesia

Berdasarkan UUD 1945, termasuk negara yang bertipe Welfare
(kesejahteraan). Welfare state (negara kesejahteraan) yang
sebagaimana

telah

menitikberatkan

diketahui

pada


ialah

pemerataan

tipe

negara

kesejahteraan

yang
dalam

kehidupan masyarakat, dengan tuntutan untuk berperan aktif
dalam menciptakan kesejahteraan, misalnya pengaturan lewat
perijinan, penciptaan kebijaksanaan lewat deregulasi dalam
bidang-bidang tertentu, dan sebagainya.
Dalam teori kenegaraan, dikenal juga tipe negara lain yang
dapat dibedakan dari negara bertipekan welfare. Ialah Negara
yang bernafaskan pada liberalisme atau yang biasa disebut

dengan istilah Negara penjaga malam (Nachtwakersstaat), yang
merupakan negara yang lebih banyak menyerahkan urusan
kesejahteraan pada masyarakat itu sendiri, sehingga fungsi
negara terbatas karena hanya dituntut menciptakan suatu situasi
yang dapat melancarkan kesejahteraan tersebut.
Dari segi fungsi yang dijalankan oleh negara itu sendiri,
secara teori telah dikenal luas bahwa Negara dalam menjalankan
kekuasaannya mempunyai beberapa Fungsi, yang diantaranya
ialah Fungsi Reguler dan Fungsi Pembangunan. Kategorisasi
suatu negara kedalam tipe negara yang bertipekan Welfare atau
1

Muchsan,2007, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah
dan Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, Hlm. 8.

Bertipekan Nachtwakersstaat, bisa kita lihat daripada fungsi
yang mana yang lebih dominan dijalankan oleh suatu negara.
Pada negara-negara yang telah maju (Development countries)
seperti Amerika ataupun sebagainya, Fungsi yang dijalankan
lebih banyak menyoal fungsi Reguler seperti fungsi politik, fungsi

diplomatik, fungsi yuridis dan fungsi administratif, daripada
menjalankan fungsi pembangunannya. Berbeda halnya dengan
negara yang berkembang (Developing countries), antara fungsi
reguler dengan fungsi pembangunan dijalan sedemikian rupa,
sehingga menjadi seimbang, dengan kata lain pelaksanaan
fungsi reguler di negara Developing countries biasanya dituntut
untuk

menunjang

pelaksanaan

fungsi

pembangunan

dan

sebaliknya fungsi pembangunan harus dapat meningkatkan
kualitas pelaksanaan fungsi reguler. Yang juga tidak jarang, pada

level tertentu, fungsi pembangunan ini mendapatkan prioritas
yang lebih besar daripada fungsi reguler
Seperti

yang

dinyatakan

sebelumnya

pada

paragraf

pertama, Indonesia menurut Muchsan, merupakan negara yang
bertipekan

Welfare

state


(Negara

Kesejahteraan).

Sebagai

konsekuensi dari pelaksanaan negara bertipekan welfare state,
dikenal adanya dua konsekuensi logis yang akan muncul, yang
pertama

dimungkinkannya

Intervensi

atau

campur

tangan


Negara yang cukup luas terhadap aspek kehidupan masyarakat
serta yang kedua digunakannya asas diskresi, dalam hal ini
diberikannya kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana
mengartikan (menangkap maksud dan tujuan) dari kewenangan
untuk

menyelenggarakan

kepadanya,
menimbulkan

yang

tak

dilema

pemerintahan


jarang
dalam

dalam

yang

banyak

penerapannya.

dibebankan
hal

Apabila

tertentu
kedua

konsekuensi tersebut tidak dilaksanakan fungsi administratif


akan terhambat, yang berarti akan menghambat terwujudnya
kesejahteraan

dalam

kehidupan

masyarakat.

Akan

tetapi

sebaliknya, apabila kedua konsekuensi tersebut terlaksana,
lebih-lebih apabila tidak terkendali, mudah terjadinya perbuatan
Pemerintah

yang


tercela,

yang

tendensinya

menimbulkan

kerugian pada pihak tertentu.
Maka

dari

itu,

Negara

akan

selalu


berusaha

untuk

mengendalikan aparatnya, jangan sampai melakukan perbuatan
tercela ini. Sehingga sehubungan dengan ini, diadakanlah suatu
sistem pengawasan (Control System) terhadap perbuatan aparat
Pemerintah,

dengan

tujuan

untuk

menghindari

terjadinya

perbuatan yang merugikan pihak tertentu, ataupun setidaktidaknya

menekan

kemungkinan

(possibilities)

terjadinya

perbuatan tersebut.
Dalam ruang-ruang kuliah yang telah dilewati, beberapa
model pengawasan terhadap telah dijabarkan, yang diantaranya
dapat dibedakan dari segi subyek yang mengawasi sebagai
berikut;
1. Pengawasan melekat
2. Pengawasan fungsional
3. Pengawasan oleh lembaga kehakiman (peradilan)
4. Pengawasan masyarakat
5. Pengawasan politis

secara
administratif

sistem
pengawasasan

oleh kekuasaan
kehakiman

pengawasan
melekat
intern
pengawasan
fungsional
ekstern

pengawasan
politis
pengawasan
masyarakat

Pengawasan melekat dan fungsional, bisa kita golongkan
pada pengawasan yang sifatnya secara administratif. Maksud
dari pengawasan secara administratif, karena baik keduanya
berada dalam wilayah eksekutif, kecuali terhadap pengawasan
fungsional yang sifatnya ektsternal, entitasnya terpisah dari
tubuh eksekutif.

(1) Pengawasan Melekat
Pengawasan melekat atau yang biasa disebut dengan
waskat ialah suatu pengawasan yang tidak dapat dipisahkan dari
fungsi pimpinan yang harus mengawasi semua anak buahnya.
Dengan kata lain, fungsi melekat ini menjadi satu dengan fungsi
kepemimpinan. Siapapun yang menjabat sebagai pemimpin,
otomatis

akan

berkewajiban

melaksanakan

pengawasan

terhadap yang dipimpinnya.
Pengawasan melekat itu sendiri diatur pertama kali dalam
inpres No. 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengawasan. Terdapat dua istilah dalam peraturan ini yang
dianggap sama artinya namun penjelasan mengenai keduanya
tidak dibahas secara tuntas, yaitu pengawasan melekat dan

pengawasan oleh atasan langsung. Tapi jika dilihat secara
mendalam dalam uraian penjelasan yang ada pada peraturan ini,
bisa kita ambil suatu kesimpulan bahwa pengawasan melekat itu
lebih luas cakupannya. Hal itu dikarenakan pengawasan melekat
(waskat)

cakupannya

mencakupi

pengawasan

oleh

atasan

langsung (PAL) dan sistem pengendalian manajemen (SPM)
Terdapat keunggulan dan efektiftas tersendiri pada model
pengawasan ini dalam pengendalian aparat pemerintah yang
dikarenakan oleh tiga sifat bawaannya, yakni bersifat tepat,
cepat dan murah.
Dikatakan bersifat tepat, karena aparat pengawas atau
pimpinan mengetahui benar lingkup tugas atau mengetahui
secara normatif kegiatan sehari-hari dan kewajiban aparat yang
diawasi. Dikatakan cepat karena pengawasan melekat ini tidak
terlalu

bersifat

prosuderal.

Demikian

pihak

pengawas

mengetahui ada kekeliruan yang dilakukan oleh bawahannya,
secara langsung dapat disegerakan dilakukan perbaikan yang
dikarenakan

oleh

proses

pengawasan

yang

berjalanan.

Sedangkan bersifat murah, karena proses pengawasan ini
merupakan “built in control”, jadi tidak memerlukan anggaran
biaya tersendiri kewajiban pengawasan ini otomatis melekat
pada fungsi pimpinan.
Namun walaupun demikian,

dikenal juga

kekurangan

dalam model pengawasan ini, seperti pucuk pimpinan tertinggi
tidak bisa diawasi dengan jenis pengawasan melekat oleh karena
itu pengawasan juga dilakukan oleh organisasi (pengawasan
melekat yang ada pada orang), pengawasan yang terbawah
menjadi

tumpuan

pengawasan,

disini

tanpa

diberikan

kesempatan untuk memberi tanggapannya. Apapun perintah
atasan, itulah yang harus dilaksanakan . padahal aturan yang

baik harus mencakup aspirasi pegawai . dalam hal ini ada
pelaksanaan asas partisipasi.
Selain itu dalam pelaksanaannya, pengawasan melekat ini
tak jarang juga akan mengalami inefektivitas disebabkan oleh
hal-hal yang bersifat intern baik itu disebabkan melemahnya
pengawasan
melemahnya

atasan

langsung

sistem

(PAL)

pengendalian

ataupun

dikarenakan

menejemen

(SPM).

Melemahnya pengawasan atasan langsung seperti pimpinan
tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan yang cukup, baik
dari segi menegerial maupun dari segi kemampuan teknis,
kelemahan mental pimpinan sehingga tidak memiliki sifat
kepemimpinan dan pengawasan tidak berjalan, adanya budaya
pekewuh yang mengakibatkan pimpinan secara berlebihan
dalam memberikan teguran dan sanksi terhadap bawahannya,
terjadinya

nepotisme

yang

mengakibatkan

objektiftas

pengawasan sulit terwujud, kemudian juga jika perangkat
peraturan perundangan-undangan kurang mendukung. Adapun
inefektivitas pengawasan melekat yang disebabkan oleh sistem
pengendalian menejemen seperti, mutu atau kualitas sistem
pengendalian menejemen kurang baik, dan kesungguhan dan
kualitas kerja para pegawai kurang baik, misalnya banyak
pegawai yang melakukan tindakan indispliner.
(2) Pengawasan Fungsional
Selain

pengawasan

melekat

yang

dikenal

secara

administratif dalam pemerintahan, dikenal juga pengawasan
Fungsional, yang juga ketentuannya diatur pertama kali dalam
inpres No. 15 tahun 1983 dalam pasal 2 ayat 2 bahwa terdapat
juga “pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparat
pengawas”.

Dari

apa

yang

ada

pada

peraturan

tersebut

dapat

disimpulkan bahwa pengawasan fungsional adalah pengawasan
yang dilakukan oleh aparat yang diadakan khusus untuk
membantu

pimpinan

(manajer)

dalam

menjalankan

fungsi

pengawasan dilingkungan organisasi yang menjadi tanggung
jawabnya.
Kemudian pengertian pengawasan fungsional ini juga
terdapat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun
2001

tentang

Penyelenggaraaan
pengertian

Pembinaan

dan

Pemerintah

Daerah,

pengawasan

fungsional

Pengawasan
yang

atas

memberikan

sebagai

kegiatan

pengawasan yang dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang
mempunyai tugas melakukan pengawasan melalui pemeriksaan,
pengujian, pengusutan dan penilaian.
Jika pada pengawasan melekat sifatnya Mutlak, artinya
harus ada. Maka pada pengawasan fungsional ini, sifatnya relatif,
artinya apabila diadakan lebih baik, tidak diadakan tidak
mengapa,

karena

pengawasan

ini

merupakan

kegiatan

pengawasan pembantu.
Jika dilihat dari subjek yang melaksanakan pengawasan,
pengawasan fungsional ini terbagi atas 2, yaitu pengawasan
yang bersifat intern dan ekstern. Pengawasan fungsional yang
bersifat intern (berdasarkan dari subjek yang melaksanakan
pengawasan), bisa diacu pada pasal 4 ayat 4 Inpres No. 15 tahun
1983, yang diantaranya ialah (1) Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan, (2) Inspektorat Jendral Departemen dan
Aparat

Pengawasan

Lembaga

Pemerintah

Non

Departemen/Instansi Pemerintah lainnya, (3) Inspektorat Wilayah
Provinsi dan (4) Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya.
Kemudian

ada

juga

pengawasan fungsional

yang

sifatnya

ekstern, yaitu Badan Pengawas Keuangan (Berdasarkan UU. No.
15 Tahun 2004 dan UU. No. 15 Tahun 2006).
Pengawasan Fungsional, jika dilihat tugas dan wewenang
dibentuknya suatu pengawasan fungsional, sebenarnya lebih
menjamin profesionalitas pengawasan jika itu dibandingkan
dengan model pengawasan sebelumnya, yakni pengawasan
melekat yang melekat dengan pimpinan. Pengawasan fungsional
lebih

menjamin

dilakukan

oleh

dikhususkan

profesionalitas,
suatu

untuk

dikarenakan

lembaga/badan/unit

mengawasi,

apalagi

pengawasan
khusus

jika

yang

pengawasan

fungsional itu bersifat ekstern maka lebih bisa menjamin
obyektiftas pengawasan.
namun

kelemahannya

jika

dibandingkan

dengan

pengawasan melekat, pengawasan fungsional bersifat prosuderal
sehingga jika terdapat suatu kesalahan pada yang diawasi, maka
perbaikannya memerlukan waktu yang agak lama. Selain itu juga
memerlukan

biaya

tersendiri

jika

dibandingkan

dengan

pengawasan melekat yang tidak memerlukan biaya.
(3) Pengawasan oleh Kekuasaan Kehakiman (badan peradilan)
Salah satu konsekuensi timbulnya pengawasan dibidang
kekuasaan

kehakiman

(yudikatif)

terhadap

pemerintah

(eksekutif) timbul diakibatkan prinsip Cheks and balances yang
di praktekkan di negara-negara Negara Modern yang Demokratis
Konstitusional, termasuk Indonesia.
Dalam

melaksanakan

fungsinya,

aparat

Pemerintah

(ekskutif) sering dan pastinya akan berhubungan dengan pihak
individu ataupun badan hukum, baik privat maupun publik. Hal
ini terjadi khususnya dalam rangka pemerintah menyediakan
pelayanan umum bagi masyarakat. Hubungan hukum ini dapat

bersifat keperdataan (privatatrechtelijk) ataupun yang bersifat
publik (publiekrechlijk). Tak jarang terjadi, timbulnya hubungan
hukum ini justru menimbulkan kerugian bagi pihak individu.
Apabila

pihak

yang

merasa

terugikan

ini

tidak

dapat

menerimanya maka timbullah sengketa hukum antar aparat
pemerintah dengan individu yang bersangkutan. Jika sengketa
tersebut dimintakan penyelesaiannya kepada Hakim timbullah
peradilan. Disinilah perbuatan Pemerintah diuji dan dinilai oleh
kekuasaan kehakiman yang menjalankan pengawasan.
Pengujian dan peniliaian ini dapat bersifat keperdataan
maupun bersifat administratif, bisa juga terhadap peraturan
kebijakan dibawah undang-undang yang tidak sesuai dengan
undang-undang, dan undang-undang yang diinisiasi pemerintah
terhadap undang-undang dasar tergantung pada sengketa yang
diajukannya. Apabila sengketa tersebut merupakan sengketa
keperdataan, maka hakim biasa/perdata (Hakim pada Pengadilan
Negeri) yang berwenang untuk mengadili, sedangkan apabila
sengketanya merupakan sengketa Tata Usaha Negara, maka
hakim

peradilan

Tata

Usaha

Negara

yang

berwenang

mengutusnya, juga jika sengketanya berupa ada pihak tertentu
yang merasa dirugikan akibat tidaksinkonnya suatu peraturan
kebijakan tertentu dibawah undang-undang terhadap UndangUndang, maka yang berwenang mengujinya ialah Mahkamah
Agung, dan jika itu merupakan peraturan perundang-undangan
dalam

bentuk

Undang-Undang

yang

Undang-Undang

Dasar

dirugikan

konstitusionalnya,

hak

sehingga

tidak

membuat
maka

mengujinya ialah Mahkamah Konstitusi.

sesuai

dengan

pihak

tertentu

yang

berwenang

(4) Pengawasan Politis
Timbulnya pengawasan dari lembaga politis ini juga
sebenarnya dari konsekuensi prinsip Checks and Balances dari
lembaga politis (Legislatif) tehadap pemerintah (eksekutif).
Yang

dimaksud

oleh

pengawasan

politis

disini

ialah

pengawasan yang dilakukan oleh lembaga politis seperti Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
ataupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bentuk
pengawasan politis bisa kita lihat sendiri dalam ketentuan yang
diatur

oleh

Undang-Undang

Dasar

yang

memberikan

kewenangan kepada lembaga politis khususnya DPR untuk
melaksanakan pengawasan sesuai dengan fungsi yang telah
diberikan (fungsi pengawasan pasal 20A ayat 1 UUD NRI 1945).
Kemudian dalam menjalankan fungsinya tersebut secara kolektif,
Anggota diberikan hak-hak berupa hak interpelasi, Hak Angket
dan hak menyatakan pendapat (pasal 20A ayat 2 UUD NRI 1945).
Sehingga dengan demikian, diharapkan lembaga politis dapat
mencegah

atau

setidaknya

meminimalisir

bentuk-bentuk

tindakan pemerintah yang bersifat merugikan atau menyimpang.
Dengan model pengawasan yang berasal dari lembaga
politis,

model

pengawasan

ini

cenderung

bisa

dikatakan

maksimal atau tidak, tergantung bagaimana suasana dan kondisi
perpolitikan yang hidup dalam suatu masa pemerintahan. karena
kembali terhadap sifatnya yang politis, maka pengawasan ini
juga walaupun idealnya

merupakan pelaksaan prinsip “checks

and balances” namun tidak dipungkiri pelaksanaannya juga sarat
akan kepentingan yang mungkin pelaksanaannya bisa dikatakan
sukar

untuk

pengawasan.

diharapkan

bisa

obyektif

dalam

melakukan

(5) Pengawasan Masyarakat
Yang

di

maksud

dengan

pengawasan

masyarakat

merupakan pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap
aparatur

pemerintah

yang

dapat

berupa

kritik,

saran,

pertanyaan, permintaan informasi, dan lain-lain yang datang dari
masyarakat

mengenai

pelaksanaan

tugas-tugas

umum

pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada suatu
organisasi/unit kerja tertentu langsung atau tidak langsung.
Adapun Bentuk-bentuk pengawasan masyarakat sesuai
dengan jalur yang dipergunakan, dapat dibedakan atas dua,
yaitu

pengawasan

yang

dilakukan

secara

langsung

dan

pengawasan yang tidak langsung. pengawasan yang dilakukan
secara

langsung

oleh

warga

masyarakat,

menyampaikan informasi pada pegawai

ialah

dengan

pelaksana/pimpinan

yang bersangkutan. Informasi pada umumnya disampaikan
secara

tertulis

melalui

surat

(melalui

kotak

saran),

pemberitahuan media massa di dalam surat kabar atau majalah,
termasuk juga rubrik pembaca, atau surat pembaca. Sedangkan
pengawasan tidak langsung, ialah dengan melalui jalur legal
yang

ditetapkan

melaui

peraturan

DPR ,DPD,

pengawas

perundang-undangan,

misalnya

DPRD, Komisi Omsbudman, pada aparat

fungsional,

ataupun

bisa

juga

informasi

dapat

disampaikan melalui penyampaian pendapat di muka umum.
Adapun
masukannya

terhadap

pengawasan

disampaikan

dalam

tidak

langsung

bentuk

yang

Penyampaian

Pendapat Di Muka Umum menurut Undang-undang No. 9 tahun
1998 meliputi: Demonstrasi, Pawai, Unjuk rasa, Rapat umum dan
Mimbar bebas.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157