karya ilmiah Dan DEWI CAHYANI.pdf

BAB I. PENDAHULUAN

Degradasi kualitas air terjadi akibat adanya perubahan pada parameter yang
mendukung suatu ekosistem perairan. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh adanya
aktivitas pembuangan limbah, baik limbah pabrik, pertanian maupun limbah domestik ke
dalam badan perairan. Perairan merupakan satu kesatuan (perpaduan) antara komponen
fisika, kimia, dan biologi dalam suatu media air pada wilayah tertentu. Ketiga komponen
tersebut saling berinteraksi, jika terjadi perubahan pada salah satu komponen maka akan
berpengaruh pula terhadap komponen lainnya (Basmi, 2000). Contoh pengaruhnya
adalah masuknya berbagai limbah yang dapat dikatakan sebagai sampah yang memiliki
potensi mencemari lingkungan perairan, salah satunya yaitu sungai (Rusdiyanti, 2009)
Sungai merupakan suatu ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam
siklus hidrologi yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment water) bagi
daerah sekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sanga dipengaruhi oleh karakteristik
yang dimiliki oleh lingkungan dan sekitarnya. Sebagai suatu ekosistem, perairan sungai
mempunyai berbagai komponen abiotic dan bioik yang saling berinteraksi membentuk
suatu jalinan fungsional yang saling mempengaruhi (Setiawan, 2009).
Organisme yang memiliki nilai toleransi yang luas akan memiliki penyebaran
yang luas juga. Sebaliknya, organisme yang memiliki nilai toleransi yang rendah, maka
penyebarannya juga sempit. Sebagai contoh, makrozoobentos yang memiliki toleransi
yang lebih tinggi, maka tingkat kelangsungan hidupnya akan semakin tinggi. Oleh karena

itu, tingkat pencemaran suatu perairan dapat dilihat dari keanekaragaman dan kelimpahan
makrozoobentos yang terdapat di suatu perairan sungai (Purnomo, 2013).
Larva serangga bangsa Ephemeroptera atau Lalat Capung adalah salah satu ragam
bentos yang menempati berbagai macam perairan air tawar yang berarus cukup deras
(Merrit dan Communis, 2002). Sensitivitas bangsa ini menjadi faktor utama yang sering
digunakan untuk penelitian kualitas suatu perairan (Lenat, 1998; Metcalfe, 1989; Kerrans
dan Karr, 1994). Pengetahuan mengenai keanekaragaman jenis larva serangga bangsa
Ephemeroptera dari pola distribusinya adalah langkah pertama yang dimasukkan ke

1

dalam bioassasement atau biomonitoring. Keanekaragaman jenis bangsa ini diwakili oleh
lebih dari 42 suku, 400 marga dan kurang lebih 3000 spesies (Barber-James et al., 2008).
Suku Baetidae merupakan satu dari sekian suku dalam bangsa Ephemeroptera yang
menjadi salah satu fokus bahasan ilmiah dalam 10 tahun terakhir di Amerika (Buffagni
et al., 2004).
Suku Baetidae sering digunakan dalam penelitian bioindikator perairan untuk
mengukur

dampak


antropogenik,

karena

suku

ini

merupakan

kelompok

makroinvertebrata yang cukup melimpah di dalam perairan, serta sering ditemukan
kehadirannya dalam berbagai macam substrat yang dapat meningkatkan kemampuan
deteksi dampak (Buss et al., 2004). Keberadaan suku Baetidae dalam suatu ekosistem
perairan masuk ke dalam Indeks EPT (Ephemeroptera-Plecoptera-Trichoptera) guna
untuk menentukan kualitas suatu perairan. Indeks ini akan membantu dalam menentukan
nilai kualitas perairan dengan melihat nilai dan tingkat pencemarannya. Berdasarkan latar
belakang permasalahan di atas, tujuan penulisan karya ilmiah ini ialah untuk memberikan

informasi mengenai bioekologi larva serangga akuatik suku Baetidae dan potensinya
sebagai bioindikator perairan sungai.

2

BAB II. BIOLOGI LARVA SERANGGA SUKU BAETIDAE

A. Morfologi
Pada umumnya, morfologi serangga terdiri dari 3 bagian yaitu caput (kepala),
toraks (dada), abdomen (perut) dan 3 pasang kaki (Gulland & Craston, 2005). Suku
Baetidae tubuhnya memiliki 2 antena; toraks yang terdiri dari protoraks, mesotoraks dan
metatoraks; beberapa suku darinya memiliki wing-bud; abdomen yang bersegmen; insang
dan ekor (Gambar 1).

toraks
abdomen

Gambar 1. Larva Ephemeroptera: Baetidae (Kriska, 2013)

Bagian kepala larva serangga suku Baetidae terdapat sepasang antena, sepasang

mata majemuk, mulut, dan setae. Serangga ini memiliki tipe kepala Hypognathus, yaitu
bentuk kepala dengan posisi organ mulut menghadap ke bawah. Antenna pada hewan ini
memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan panjang dan lebar kepalanya denagn
kedudukan berada di marjin distolateral kepalanya. Selain itu, hewan ini memiliki tipe
mulut menggigit dan mengunyah yang terdiri dari labrum atau bibir atas yang berfungsi
untuk memasukkan makanan ke dalam mulut, epifaring atau lidah yang berfungsi sebagai
alat pengecap, mandibulla atau rahang bagian atas untuk mengunyah, memotong dan
melunakkan makanan, maksilla atau rahang bagian bawah untuk mengambil makanan,
hipofaring atau hampir sama dengan epifaring, dan labium atau bibir bawah yang
berfungsi untuk membuka dan menutup mulut. Sebagian besar bagian kepala seranga ini
terdapat setae atau bulu halus (Nieto, 2010)

3

Sama seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada bagian toraks terdiri dari 3
segmen yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks yang dimana masing-masing bagian
tersebut terdapat sepasang tungkai (Borror e al, 1996). Tungkai serangga pada umumnya
terdiri dari coxa (pangkal paha), femur (paha), tibia (betis), dan tarsal (ruas-ruas jari).
Pada larva suku Baetidae, femur terdapat 6 setae di bagian punggung femur yang
berbentuk runcing, berjarak dan panjang di bagian distal (Ohio EPA, 2013).


Gambar 2. Morfologi Baetidae (http://www.entomology.umn.edu/midge
/VSMIVP%20Key/English/VSMIVP.htm)

Pada abdomen berwarna coklat terang dengan terbagi menjadi 11-12
segmen dengan setiap segmennya terdapat sepasang gills (insang) yang berbentuk seperti
helaian daun (Gambar 3).

Gambar 3. Bentuk Insang Berdasarkan Beberapa Spesies Baetidae (Kriska,2013)

4

B. Klasifikasi
Klasifikasi Baetidae menurut Kluge (1992) dalam Mc. Cafferty & Edmunds
(2008) adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Animal

Phylum


: Arthropode

Class

: Insect

Order

: Ephemeroptera

Superfamily

: Baetoidae

Family

: Baetidae

C. Siklus Hidup

Suku Baetidae merupakan serangga yang memiliki siklus hidup tipe
Hemimetabola. Dimana, seluruh individu pada saat fase larva berada di dalam dasar
perairan kemudian pada fase dewasa bermetamorfosis memiliki sayap sehingga hidupnya
berada di atas permukaan perairan dan terbang. Saat kawin, suku Baetidae melakukannya
saat terbang. Setelah siap untuk bertelur, individu betina dewasa memerlukan media air
untuk mengeluarkan telurnya dengan membenamkan sebagian posteriornya.

Gambar 4. Siklus Hidup Ephemeroptera (Martynov, 2013)

Studi mengenai siklus hidup Baetidae memang masih jarang dilakukan atau dikaji
secara terperinci (Sroka et al., 2012). Namun, sebuah penelitian yang dilakukan oleh A.
V. Martynov di Ukraina dapat memberikan penjelasan dan gambaran mengenai siklus

5

hidup serangga Baetidae. Dari hasil yang ia dapat dinyatakan bahwa populasi serangga
tersebut tidak mampu bertahan di musim dingin. Larva tidak mengalami pertumbuhan
dan perkembangan dalam suhu di musim dingin. Pada saat bertelur, individu betina
berjalan mencari persinggahan seperti bebatuan atau benda lain di sekitarnya untuk
membantu saat betina membenamkan sebagian tubuhnya dan mengeluarkan telur. Dalam

sekali bertelur, individu betina dapat menghasilkan sekitar 3000 hingga 3500 telur.
Setelah bertelur individu tersebut mati (Martynov, 2013).
Menurut Raddum dan Fjellheim (1993); Brittain (1991), informasi mengenai
siklus hidup dicatat untuk berbagai jenis studi ekologi invertebrata air tawar. Perubahan
dalam deskripsi siklus hidup (kelangsungan hidup atau kematian, fekunditas, tingkat
pertumbuhan, tahap perkembangan, ukuran dan umur) dari berbagai jenis semakin
digunakan dalam penilaian ekologi sebagai indikator terhadap stress lingkungan.
Informasi mengenai siklus hidup dapat sangat berguna untuk menilai dampak perubahan
terhadap suhu air dan intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan (Buffagni et al.,
2002). Kedua komponen tersebut dianggap sebagai faktor penting terhadap siklus hidup
invertebrate air (Vannote dan Sweeny, 1980).
Menurut Buffagni (2002), suhu dan intensitas cahaya berpengaruh terhadap
penetasan telur invertebrate perairan. Ada hubungan yang jelas antara keberhasilan
penetasan dan suhu air. Untuk beberapa jenis yang ada pada sungai di Eropa, penetasan
biasanya tetap tinggi pada suhu menengah dan dibandingkan suhu rendah (Humpesch,
1984). Parameter lain yang dianggap penting dalam strategi siklus hidup yaitu oksigen
terlarut, pH, substrat dan parameter biotik yaitu melibatkan predator dan persaingan.
Sedangkan pengaruh suhu air pada siklus hidup ada secara langsung dan tidak langsung.
Contoh, regulasi produksi PLTA dapat mempengaruhi lingkungan fisik perairan seperti
debit dan suhu air. Hal ini yang menyebabkan perubahan atau modifikasi substrat, kondisi

kimia, serta kondisi biologis perairan. (Armitage dan Pardo, 1995).

6

BAB III. EKOLOGI LARVA SERANGGA SUKU BAETIDAE

A. Makanan
Pada umumnya, larva serangga yang tergolong di dalam bangsa Ephemeroptera
merupakan tipe kolektif, grazer, yang memakan berbagai macam alga (macrophyta) serta
hewan (Nieto, 2010). Menurut sebuah penelitian oleh Hadisusanto dan Kristanto (2009),
terdapat tiga perilaku makan pada bangsa Ephemeroptera yaitu Detritivore, Gatherer, dan
Scrapper (Table 1). Pada penelitian tersebut mereka mengklaim bahwa Suku Baetidae
masuk ke dalam kelompok makan detritivor atau pemakan detritus, yaitu bahan organik
bebas dari sisa-sisa makhluk hidup. Sedangkan menurut Hart dan fuller (1974), Suku
Baetidae memiliki sifat makan yang tergolong scaper atau tipe hewan pemakan
organisme yang menempel pada substrat perairan, berada wilayah perifiton. Biasanya
pada golongan ini akan mengalami penurunan kelimpahan jika terdapat sedimen serta
polusi organik.
Tabel 1. Kelompok makan semua anggota Ephemeroptera berdasarkan penelitian (ICBS
2009 BIO-UGM Hadisusanto dan Kristanto, 2009)


Feeding Group

Family

Genera

Detritivore

1. Baetidae

a. Centropilum
b. Baetis

Gatherer

2. Tricorythidae

c. Leptohyphea


3. Leptophlebidae

d. Atalophlebia
e. Genus A

4. Siplonuridae

f. Siplonurus

Scrapper

5. Heptagenidae

g. Heptagenia

Detritivore, Gatherer and Scrapper

6. Caenidae

h. Caenis

Berdasarkan hasil penelitian Hadisusanto dan Kristanto tersebut , mereka
menelaah bahwa adanya korelasi terhadap substrat atau tipe ekosistem karena badan air
yang diteliti dengan kondisi terdapat banyak batuan gamping di dalamnya. Selain
substrat, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam kasus feeding group seperti ini sebagai
7

parameter lingkungannya adalah suhu air, kecepatan arus, pH air, kandungan C-organik,
substrat Nitrat (N) dan Fosfat (P), serta kandungan Kalsium (Ca) pada badan air.
Menurut Brittain (1990), suhu air merupakan faktor yang membatasi keberadaan
keberadaan organisme serangga akuatik karena suhu adalah faktor utama yang
berpengaruh terhadap perkembangan dari siklus hidupnya. Kulkula (1997) menyatakan
bahwa Baetidae merupakan hewan yang sensitif terhadap suhu.
B. Distribusi dan Habitat
Karakteristik lingkungan tempat hidup suku Baetidae, menurut Nieto (2010) yaitu
memiliki pH berkisar antara 5,6 sampai 8,5 ; memiliki kadar oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen) antara 4-14 ppm ; kandungan ammonium sekitar 0,01 – 5,00 ppm ; kandungan
Nitrat antara 0,03-15,4 ppm serta Fosfat kurang dari 0,01-0,62 ppm ; nilai BOD antara
0,3 – 15,4 ppm dan nilai kekeruhan air antara 3-lebih dari 72.000 ppm. Tipe substrat pun
juga menjadi bahasan dalam ekologi organisme larva serangga tersebut, karena substrat
masuk ke dalam faktor yang mempengaruhi keberadaan suatu organisme.
Substrat merupakan bagian dasar perairan yang terdiri dari batuan besar, kerikil
lumpur, dan tanah liat berpasir. Substrat dasar perairan berupa batuan besar atau kerikil
yang ditempati oleh banyak organisme, sedangkan substrat berupa lumpur dan tanah liat
berpasir ditempati sedikit organisme. Tipe substrat dasar suatu perairan dipengaruhi oleh
letak geografik dan dari partikel organik dan non-organik yang dapat tersebar oleh arus
air. Partikel-partikel dapat berpindah tempat atau terikat kuat di dasar, akibatnya
penyebaran sedimen terjadi pada daerah yang mengalir. Dasar perairan yang menggenang
(lentic) bersifat lunak seperti pasir atau lumpur, sedangkan pada perairan yang mengalir
(lotic) bersifat keras seperti bebatuan. Tipe substrat perairan akan mempengaruhi
keanekaragaman komposisi hewan bentos (Dordevic at al., 2015). Menurut Merrit dan
Communis (2002), larva serangga suku Baetidae senang berada atau hidup di bebatuan
sungai dasar perairan.
Berdasarkan sebuah studi distribusi dari fauna Ephemeroptera di Republic Cekko
(Zahradkova et al., 2009), ia mengklaim bahwa ketika spesies mempertimbang- kan
kekayaan melihat kepada devasi gradient, dengan daerah submontane yang paling
signifikan. Sungai di daerah sub pegunungan umumnya memberikan kondisi lingkungan

8

yang optimal bagi kelangsungan hidup banyak spesies dari suku Baetidae. Kombinasi
jenis yang berbeda biasanya direpresentasikan dalam aliran daerah pegunungan dan
dataran rendah menciptakan berbagai mikro dan mesohabitat, sehingga memberikan
kontribusi untuk kekayaan taksa. Selain itu, karakteristik fisik dan kimia air sungai
pegunungan yang pada umumnya menguntukan bagi kelangsungan hidup dan
perkembangan larva serangga Baetidae (Bauerfeind dan Solda, 2012).
C. Peran Dalam Ekosistem
Serangga pada umumnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi
ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tanpa kehadiran suatu serangga,
maka kehidupan suatu ekosistem akan terganggu dan tidak akan mencapai suatu
keseimbangan. Peranan serangga dalam ekosistem diantaranya adalah sebagai polinator,
dekomposer, predator (pengendali hayati), parasitoid (pengendali hayati), hingga sebagai
bioindikator bagi suatu ekosisitem (Williams I.H, 2002).
Serangga bioindikator merupakan hewan yang sangat sensitif/responsif terhadap
perubahan atau tekanan pada suatu ekosisitem dimana ia hidup. Penggunaan serangga
sebagai indikator kondisi lingkungan atau ekosistem yang ditempatinya telah lama
dilakukan. Jenis serangga ini mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui
kondisi kesehatan suatu ekosistem. Serangga akuatik selama ini paling banyak digunakan
untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu daerah, diantaranya adalah beberapa
spesies serangga dari bangsa Ephemeroptera. Tidak adanya serangga Ephemeroptera
menandakan lingkungan tersebut telah tercemar, karena serangga ini tidak bersifat toleran
terhadap polusi organik sekalipun. (Shahabuddin, 2003).
Ephemeroptera merupakan exopterigotes dan hemimetabolous. Bangsa ini
seluruhnya adalah serangga air seperti nimfa. Nimfa hidup sampai dengan satu tahun di
bawah air, tetapi ketika dewasa biasanya hanya hidup selama satu hari atau beberapa hari
saja. Ephemeroptera adalah satu-satunya bangsa serangga yang mengalami molting
setelah sayapnya tumbuh. Fase ini disebut subimago. Kebanyakan nimfa hidup dengan
memakan vegetasi yang telah membusuk dan detritus (Popoola dan Otalekor, 2011).
Baetidae merupakan anggota dari Bangsa Ephemeroptera yang memiliki fungsi
ekologi sama seperti suku dalam bangsa Ephemeroptera lainnya, dimana organisme

9

tersebut memiliki peranan sebagai sumber makanan bagi hewan air seperti ikan, amfibi,
burung-burung air, dan sebagainya. Maka dari itu, organisme ini merupakan salah satu
penghubung utama dalam jaring makanan dalam suatu perairan. Selain itu, seperti yang
dijelaskan sebelumnya bahwa suku ini masuk ke dalam kelompok makan Detritivor,
dimana kelompok ini memakan sisa-sisa bahan organik. Namun ada pula yang
mengklaim bahwa kelompok ini memakan sisa-sisa makhluk hidup, maka kelompok
tersebut dapat dianggap sebagai pengurai (Kluge, 1996).
Selain memiliki fungsi dalam jaring makanan, pada fase nimfa individu Baetidae
menghabiskan waktu hidupnya berada di dalam perairan dengan substrat berbatu yang
memiliki sifat intoleran terhadap perubahan kondisi lingkungan habitatnya (Dordevic et
al., 2015). Suku ini sensitif terhadap meningkatnya sedimen polusi organik atau limbah
organik. Karena sifat yang dimilikinya, Baetidae dapat digunakan sebagai indikator
biologis suatu perairan.

10

BAB IV. BIOINDIKATOR

A. Suku Baetidae Dalam Indeks EPT (Ephemeroptera-Plecoptera-Trichoptera)
Dalam menentukan indeks kualitas air, suatu perairan dibutuhkan beberapa faktor
pendukung yang dapat menggambarkan kondisi perairan tersebut secara keseluruhan.
Indeks penentuan kualitas air secara fisik dan kimia merupakan indeks yang paling
banyak digunakan oleh para peneliti. Namun, untuk menentukan kualitas secara
keseluruhan diperlukan pula indeks biologi yang ada di perairan.
Di Kanada telah diterapkan metode Survey Invertebrata Sungai (SIS) yang
digunakan untuk memantau kondisi sungai yang ada di Negara tersebut. Metode ini
merupakan monitoring yang mencakup hewan makrozoobentos dari golongan intoleran,
fakultatif, dan toleran terhadap polusi (Departemen Perikanan dan Kelautan Kanada,
2000).
Berbeda dengan Negara Kanada, Indonesia juga memiliki cara dalam menentukan
kualitas dari suatu perairan berdasarkan keberadaan benthos yang disebut dengan
BIOTILIK. Biotilik berasal dari kata bio atau makhluk hidup dan tilik atau
menilik/memantau, yang berarti pemanfaatan makhluk hidup untuk memantau suatu
kondisi lingkungan yang menjadi dua golongan indeks yaitu EPT dan non EPT (Kemen
LH, 2013). EPT merupakan bangsa dari hewan bentos yang intoleran atau tidak dapat
beradaptasi dengan lingkungan air tercemar sedangkan Non EPT merupakan golongan
hewan bentos yang toleran atau mampu menerima kondisi tercemar sekalipun.
Bangsa-bangsa dari taksa hewan yang tergolong peka (intoleran) terhadap
perubahan kondisi lingkungan perairan merupakan ordo hewan invertebrata yang
termasuk ke dalam kelas Insekta yaitu Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera
(USEPA, 1998). Keberadaan suku Baetidae dalam suatu ekosistem sungai memiliki
kontribusi dalam menghitung indeks kekayaan EPT karena berdasarkan taksonominya
suku tersebut merupakan anggota dari bangsa Ephemeroptera. Seperti yang tertera pada
gambar bahwa terdapat beberapa jenis dari suku Baetidae yang biasa ditemukan di
perairan sungai (Gambar 5). Jika dalam suatu pelaksanaan biotilik menemukan kehadiran
individu dari suku tersebut, kemudian dijumlah, maka jumlah individu itulah yang akan

11

dimasukkan ke dalam kolom indeks EPT guna membantu dalam perhitungan menentukan
kualitas air di sungai tersebut.
Tabel 2 Kriteria kualitas air berdasarkan jumlah EPT (NCDEHNR, 1997)

Rating

Amat Baik

Baik

Cukup Baik

Cukup

Buruk

Jumlah EPT

> 27

21-27

14-20

7-14

0-6

Berdasarkan ketentuan yang digunakan oleh North Carolina Department of
Environment, Health, and Natural Resources (NCDEHNR, 1997), mengenai cara untuk
mengetahui kualitas suatu perairan sungai, ditentukan berdasarkan total dari jumlah
individu EPT dalam sekian kali melakukan pengambilan sampel, Sebagai contoh, dalam
5 kali pengambilan sampel benthos di beberapa titik badan sungai, didapatkan sampel
sebanyak 11 individu Ephemeroptera, 5 individu Plecoptera, dan 8 individu Trichoptera.
Jika dijumlah, total dari keseluruhan sampel yang didapat sebesar 24 individu. Lalu,
jumlah tersebut disesuaikan dengan tabel kriteria kualitas air berdasarkan jumlah EPT
(Tabel 2) untuk menentukan kualitasnya. Angka 24 berdasarkan tabel tersebut
menunjukkan kriteria kualitas perairan di titik tersebut adalah baik, yang menandakan
bahwa kondisi lingkungan ekosistem sungai yang ada masih terjaga.

Gambar 5. Suku Baetidae dalam Lembar Panduan Identifikasi Biotilik
(http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2013/05/PANDUAN-BIOTILIKPEMANTAUAN-KESEHATAN-SUNGAI-11.pdf)

12

Sesuai pada Lembar Panduan Identifikasi Biotilik (terlampir), terdapat gambar
organisme-organisme

makrozoobentos

yang

digunakan

sebagai

alat

bantu

mengidentifikasi sampel. Dalam lembar tersebut gambar yang menunjukkan jenis suku
Baetidae lebih banyak dibandingkan gambar suku organisme lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan organisme suku tersebut dalam suatu perairan sungai
lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan suku lainnya dan memiliki kontribusi
terhadap kelangsungan hidup di ekosistem perairan sungai tersebut. Adapun cara
perhitungan yang digunakan dalam uji Biotilik seperti yang tertera pada Gambar 6,
menggunakan tabel pemeriksaan .

Gambar 6. Tabel Pemeriksaan Biotilik (Vincent H. Resh, 2010)

Tabel pemeriksaan biotilik berguna dalam menentukan skor keragaman taksa EPT
maupun non EPT yang kemudian akan disesuaikan pada tabel pemeriksaan kualitas air
(Gambar 7) untuk menentukan kualitas perairan yang diuji.

13

Gambar 7. Tabel Penilaian Kualitas Air Sungai dengan BIOTILIK
(Vincent H. Resh, 2010)

B. Perbandingan Kuantitas Keberadaan Larva Serangga Suku Baetidae Antara
Hulu Dengan Hilir Sungai
Menurut Asdak (2007), ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) biasanya dibagi
menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu merupakan daerah
konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, dengan kemiringan lereng lebih
besar, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan
jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah
pemanfaatan dengan kemiringan lereng kecil, pada beberapa tempat merupakan daerah
banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi
didominasi oleh tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didomansi hutan
gambut/bakau.
Karakteristik alami jenis sungai di dataran rendah (tipe substrat, kecepatan aliran,
keragaman mikrohabitat, fitur fisikokimia air, sedimen, dll) merupakan konsekuensi dari
adanya faktor stress lingkungan (Simic, 2003). Sungai yang berada di daerah pegunungan
ataupun perbukitan masih memiliki kepadatan manusia dan industrialisasi yang cukup
rendah sehingga kecilnya dampak antropogenik terhadap perairan tersebut. Dengan
demikian, ekosistem perairan tersebut tidak berada di bawah pengaruh stress lingkungan
yang timbul dari aktivitas manusia. Dibandingkan dengan daerah perbukitan maupun
pegunungan (hulu), dataran rendah (hilir) berada dalam tekanan antropogenik yang lebih
tinggi (ICPDR WFD Roof Report 2004 ; SCG ICPDR Laporan Nasional, 2004), karena
kegiatan populasi manusia terutama kegiatan industrial berlokasi di daerah dataran rendah
dalam suatu Negara (CORINE Lan Cover, 2006).

14

Dari perbedaan kedua bagian sungai di atas, dapat dibedakan kualitas pada
masing-masing bagian tersebut dengan melakukan Biotilik atau metode biomonitoring
lainnya. Pada hal ini, Baetidae memiliki kontribusi dalam membantu menentukan kualitas
perairan yang ada dengan memasukan total individu pada sampel yang didapat ke dalam
tabel indeks EPT yang kemudian dilakukan perhitungan untuk menentukan kuaalitas
perairan tersebut.
Selain menggunakan Indeks EPT, dengan mengukur parameter fisika dan kimia
perairan yang ada dapat membantu dalam studi ekologi larva serangga akuatik suku
Baetidae. Menurut Thani dan Phalaraksh (2008), parameter tersebut yang perlu diukur
terdiri dari:

1. Suhu
Suhu menjadi faktor pembatas dalam ekosistem perairan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Suhu perairan berasal dari radiasi matahari yang mengalami
perubahan transformasi energi cahaya dari matahari berubah menjadi energi panas
sehingga mempengaruhi suhu di perairan (Gufhran, 2007).

2. Arus
Kecepatan arus air akan mempengaruhi substrat dasar dari suatu perairan, sumber
makanan melalui perpindahan nutrien dan adaptasi organisme yang hidup di badan air
atau di dasar perairan. Menurut Allan (1995), organisme yang hidup di perairan yang
berarus deras akan memiliki adaptasi dari segi ukuran, bentuk, dan kebiasaan hidup yang
khusus. Biasanya insekta akuatik yang hidup di daerah berarus deras akan memiliki tubuh
pipih dorsoventral dan merayap di substrat dasar perairan, contohnya pada bangsa
Ephemeroptera (Asdak, 2007).

3. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan salah satu unsur pokok sebagai regulator pada proses
metabolisme organisme, terutama untuk proses respirasi dan dibutuhkan sebagai petunjuk
kualitas air. Kandungan oksigen terlarut di perairan berasal dari fotosintesis dan difusi
langsung dari udara. Kedalaman sungai juga berpengaruh pada konsentrasi oksigen

15

terlarut. Semakin dalam kedalam suatu semakin kecil pula oksigen terlarutnya. (Salmin,
2005)
Tingkat kelarutan oksigen dalam perairan alami dan air limbah tergantung dari
aktivitas fisik, biologi dan biokimia dalam badan air (APHA, 1989). Konsentrasi dari
oksigen terlarut merupakan salah satu parameter penting sebagai indikator pencemaran
pada sungai dan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan mahluk hidup.
Oksigen dari udara diserap dengan cara difusi langsung atau agitasi permukaan air oleh
angin dan arus. Oksigen yang terlarut dalam air dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial
gas yang ada di udara maupun di dalam air, kadar garam serta senyawa atau unsur yang
mudah teroksidasi air (Salmin, 2000).

4. Derajat Keasaman (pH)
Salah satu faktor yang mempengaruhi sifat kimia air sungai adalah pH. Air yang
dianggap jernih misalnya air yang masih bersih dari pegunungan biasanya mempunyai
pH yang cenderung netral (pH = 7). Semakin ke arah hilir nilai pH akan semakin
berfluktuasi. Hal ini disebabkan karena adanya pertambahan bahan-bahan organik yang
dapat membebaskan karbondioksida (CO2) sehingga terjadi peningkatan dan penurunan
bilangan pH akibat terbentuknya garam karbonat dari ikatan antara CO2 dengan molekul
air (Barus, 2003).

5. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)
Uji BOD merupakan uji biokimia yang bertujuan mengukur jumlah zat organik
yang mungkin dioksidasi oleh bakteri-bakteri aerobik, yang biasanya diukur pada jangka
waktu lima hari pada suhu 20˚C. Hasil uji BOD dapat diterjemahkan sebagai jumlah
oksigen yang digunakan selama oksidasinya karena terdapat hubungan kuantitatif di
antara jumlah oksigen yang perlu untuk mengubah sejumlah campuran organik menjadi
karbondioksida dan air (Ghazali, 2013).
Dalam uji BOD, hilangnya oksigen terlarut yang utama adalah disebabkan oleh
penguraian dengan melihat perbandingan tingkat oksigen terlarut dalam sampel air tawar
dengan air yang sama setelah disimpan selama beberapa waktu pada ruang gelap.

16

Penurunan oksigen terlarut yang terukur membantu untuk menduga penurunan tingkat
oksigen terlarut di air alam (Michael, 1996).

6. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
Uji COD digunakan secara luas sebagai suatu ukuran kekuatan pencemaran dari
air limbah domestik maupun industri. Uji ini digunakan untuk mengukur oksigen yang
dibutuhkan pada saat mengoksidasi bahan-bahan organik. Bahan oksidasi yang
digunakan adalah kalium dikromat (K2Cr2O7) yang dapat diperoleh dalam keadaan yang
sangat murni. Kondisi sampel yang diuji harus dalam keadaan asam yang sangat kuat
sehingga kalium dikromat dapat mengoksidasi berbagai macam bahan organik secara
hampir keseluruhan menjadi karbondioksida dan air (Azizah dan Rahmawati, 2005).
Uji ini cocok digunakan dalam analisis tentang air limbah, selokan-selokan serta
air yang tercemar. Uji ini secara khusus bernilai apabila BOD tidak dapat ditentukan
karena terdapat bahan-bahan beracun (Michael, 1996).

7. Senyawa Amonium, Nitrit dan Nitrat
Amonium dilepaskan ke dalam air oleh penguraian zat organik dan juga sebagai
buangan metabolik organisme perairan. Amonium tergabung ke dalam rantai makanan
dalam bentuk nitrit dan nitrat yang penting bagi pertumbuhan tumbuhan. Dalam jumlah
besar, amonium dapat menjadi polutan yang berbahaya dan beracun bagi kehidupan
hewan karena mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, daya tahan fisik dan daya tahan
terhadap penyakit (Barus, 2003). Hanya bentuk amonium tidak terion yang beracun bagi
kehidupan perairan karena amonium terion tidak dapat terdifusi melalui jaringan sehingga
tidak dapat masuk ke hewan dari media luar kecuali bila pH di lingkungan lebih tinggi
dari yang ada di dalam tubuh maka amonium akan terbawa masuk ke dalam tubuh hewan.
Nitrat dan nitrit merupakan bentuk nitrogen teroksidasi dengan tingkat oksidasi
masing-masing +3 dan +5. Nitrat merupakan suatu unsur penting dalam sintesa protein
tumbuhan, namun pada badan perairan yang memiliki jumlah nitrat yang berlebih akan
menyebabkan kurangnya oksigen terlarut di perairan dan menyebabkan banyak
organisme yang mati. Sedangkan nitrit merupakan suatu tahapan sementara dari proses

17

oksidasi antara ammonium dan nitrat yang dapat terjadi pada badan-badan perairan
(Purnomo, 2013).

8. Senyawa Fosfat
Dalam limbah, fosfat dapat berasal dari limbah domestik, pertanian maupun
industri. Di daerah pertanian, ortofosfat dapat berasal dari pupuk yang larut bersama air
hujan dan masuk ke saluran drainase. Bila kadar fosfat di perairan terganggu, kondisi ini
dinamakan oligotrof. Namun, bila kadarnya sangat tinggi maka pertumbuhan tanaman
akan tidak terbatas sehingga menghabiskan oksigen yang ada di perairan tersebut (Alaerts
dan Santika, 1987)

18

BAB V. KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1.

Larva serangga suku Baetidae merupakan hewan yang hidup dan banyak ditemukan
di perairan air tawar dengan arus yang cukup deras.

2.

Kriteria habitat suku Baetidae mendeskripsikan bahwa kelompok organisme tersebut
hidup pada perairan yang memiliki kualitas yang baik.

3.

Suku Baetidae memiliki peran dalam indeks EPT sebagai bagian dari alat ukur
(parameter biologi) untuk menentukan kualitas perairan sungai.

4.

Perhitungan pada parameter fisika-kimia perairan juga dapat digunakan dalam studi
bioekologi larva serangga akuatik suku Baetidae.

19

20

DAFTAR PUSTAKA

Allan, JD. 1995. Stream Ecology: Structure and Function of Running Waters. Chapman
and Hall. London. Hlm: 12-281.
American Public Health Association (APHA). 1989. Standar Methods For The
Examination of Water an Waste Water. L-S. Clesceri, A.E. Greenberg, R.R
Trussel (Eds): 17th Edition. Washington D.C.
Armitage PD., Pardo I., 1995. Impact assesment of regulation at the reach level using
macroinvertebrate information from mesohabitats. Reguler. Rivers: Res. Mgmt.,
10: 147-158.
Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Azizah R, Rahmawati RAA. 2005. Perbedaan Kadar BOD, COD, TSS dan MPN
Coliform pada Air Limbah, Sbelum dan Sesudah Pengolahan di RSUD Nganjuk.
Vol 2, No. 1: 97-100
Baptista DF, Buss DF, Dias LG, Nessimian JL, Da Silva ER, De Moraes Neto AHA., et
al. 2006. Functional feeding groups of Brazilian Ephemeroptera nymphs:
Ultrastructure of mouthparts. Annales de Limnologie. International Journal of
Limnology, 42(2), 87–96.
Barber-James HM, Gattolliat JL, Sartori M. & Hubbard MD. 2008. Global diversity of
mayflies (Ephemeroptera, Insecta) in freshwater. Hydrobiologia 595: 339–350.
Barus, T. A, 2003. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi FMIPA USU. Medan
Basmi, J. 2000. Planktonologi : Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan.
Makalah Fakultas Perikanan Institusi Pertanian Bogor. Bogor.
Bauernfeind E dan T, Soldán . 2012. The Mayflies of Europe (Ephemeroptera). Ollerup,
Denmark: Apollo Books.
Borror DJ, Triplehorn CA dan Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi
Keenam. Soetiono Porto Soejono. Gajah mada university Press. Yogyakarta.
Brittain JE. 1991. Life History Characteristics As A Determinant Of The Response Of
Mayflies and Stoneflies To Man-made Environmental Disturbance
(Ephemeroptera and Plecoptera). J. Alba Tercedor & A Sandez-Ortega. Overview
and strategies of Ephemeroptera and Plecoptera. Sandhill Crane Press. 539-545.

21

Buffagni A., Erba S., Melissano L., 2004. Life cycles of Baetidae (Insecta:
Ephemeroptera) in a North Italian Prealpine stream. CNR - IRSA National
Research Council, Water Research Institute (Istituto di Ricerca Sulle Acque) 177185
Buss DF, Baptista DF, Nessimian JL., dan Egler, M. 2004. Substrate Specificity,
Environmental Degradation and Disturbance Structuring Macroinvertebrate
Assemblages in Neotropical Streams. Hydrobiologia, 518: 179–188.
CORINE Land Cover (CLC). 2000. Serbia and Montenegro 2006. Belgrad:
EvroGeomatika d.o.o; Podgorica: Geological Survey of Montenegro.
Dordevic N, Milosevic D, Paunosevic M, Petrovic A dan Simic V. 2015. New Data on
The Distribution and Ecology of The Mayfly Larvae (Insecta: Ephemeroptera) of
Serbia (Central Part of The Balkan Peninsula). Turkish Journal of Zoology. 39:
195-209
Imam Gazali, dkk, “Evaluasi Dampak Pembuangan Limbah Cair Pabrik Kertas Terhadap
Kualitas Air Sungai Klinter Kabupaten Nganjuk”, Jurnal Keteknikan Pertanian
Tropis dan Biosistem Vol. 1 No. 2:1-8.
Gufhran dkk. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta:
Jakarta
Gulland PJ & PS Cranston. 2005. The Insect. An Outline of Entomology. Malden.
Blackwell Publishing.
Hadisusanto, S dan Kristanto, A. 2009. Feeding Group Zonation of Ephemeroptera
(Insecta) at Plarar-Gunung Sewu River, Gunung Kidul, Yogyakarta. ICBS 2009
BIO-UGM: 290-294..
Humpesch UH. 1984. Egg Development of Nondiapausing Exopterygote Aquatic Insects
Occurring in Europe. In Kommission bei Springer-Verlag, Wien / New York: 329341.
International Commission for the Protection of the Danube River (ICPDR) WFD Roof
Report. 2004. The Danube River Basin. Part A – Basin-wide overview in
Cooperation with The Countries of The Danube River Basin District.
Jana et al. 2007. Diversity and community structure of aquatic insects in a pond in
Midnapore town, West Bengal, India. 30(2), hlm. 283-287.
Kerans, BL, Karr JR . 1994. A benthic index of biotic integrity (B-IBI) for rivers of the
Tennessee Valley. Ecol Appl 4: 768–785.

22

Kementrian Lingkungan Hidup RI. 2013. Pelatihan Pemantauan Kesehatan DAS
CILIWUNG dengan Metode Biotilik. http://www.menlh.go.id/pelatihanpemantauan-kesehatan-das-ciliwung-dengan-metode-biotilik/. 2016; 12 Januari.
Kluge NJ, novikova EA. 1992. Revision of The Palaearctic Genera and Sub Genera of
Mayflies of The Subfamily Cleoninae (Ephemeroptera; Baetidae) With
Description of New Species from The USSR. Entomologi, Obozr. 71(1): 38-55.
(English Translation in Entomol. Rev. 71(9): 29-54)
Kriska.

2009. Freshwater Invertebrate in Central Europe : Field Guide.
https://books.google.co.id/books?id=baetidae.+Freshwater+invertebrate+in+cent
ral+Europe&hl=onepage&q=baetidae.%20Freshwater%20invertebrate%20in%2
0central%20Europe&f=false. 2016; 27 Januari.

Kukula, K. 1997. The life cycles of three species of Ephemeroptera in two stream in
Poland. Hydrobiologia 353: 193 - 198.
Lenat DR 1988. Water Quality Assessment Of Streams Using A Qualitative Collection
Method For Benthic Macroinvertebrates. J N AM Benthol Soc 12: 222–233.
Martynov AV. 2013. THE LIFE CYCLES OF MAYFLIES OF THE EASTERN
UKRAINE SUBFAMILY BAETINAE (EPHEMEROPTERA, BAETIDAE).
Schmalhausen Institute of Zoology, NAS of Ukraine. Vol. 1: 36-44
McCafferty, W.P and G.F Edmunds, Jr. 1979. The Higher Classification of The
Ephemeroptera and Its Evolutionary Basis. Ann. Entomol. Soc. Amer. 72 : 5-12.
Merritt, R.W., Cummins, K.W. & Berg, M.B. 2002. An Introduction To The Aquatic
Insects of North America. Dubuque, Kendall/Hunt Publishing Company, 1214 p.
Metcalfe JL .1989. Biological Water Quality Assessment Of Running Waters Based on
Macroinvertebrate Communities: History and Present Status in Europe. Environ
Pollut 60: 101–139.
Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang Dan Laboratorium.
Diterjemahkan Oleh : Sahati Suharto, Penerbit Universitas Indonesia.
North Carolina Department of Environment, Health, and Natural Resources
(NCDEHNR). 1997. Standard Operating Procedures For Biological Monitoring.
Environmental Sciences Branch Biological Assessment Group. Division of
Water. Water Quality Section.
Nieto,Carolina. 2010. Cladistic analysis of the family Baetidae(Insecta: Ephemeroptera)
in South America. Systematic Entomology Vol. 35: 512–525

23

Ohio

EPA. 2013. Larval Key for the “two-tailed” Baetidae of Ohio.
www.epa.ohio.gov/Portals/35/documents/Baetid_key_2013.pdf. 2016; Februari

Popoola and A. Otalekor. 2011. Analysis of Aquatic Insects’ Communities of Awba
Reservoir and its Physico-Chemical Properties. Department of Zoology,
University of Ibadan, Oyo State, Nigeria
Purnomo, Tarzan, 2013. Kualitas Perairan Estuari Porong Sidoarjo Jawa Timur
Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos. LenteraBio. 2(1). 81–85.
LIPI, Bogor.
Riadi, M. 2012. Suhu dan Kekeruhan. http://www.kajianpustaka.com/2012/11/suhudan-kekeruhan-air.html. 2016; Maret
Rudiyanti SE, Ekasari DA. 2009. Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan Mas (Cyprinus
carpio) Pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 G. Jurnal Saintek
Perikanan. Vol. 5, No. 1: 39-42.
Setiawan, D. 2009. Studi Komunitas Makrozoobentos di perairan Hilir Sungai Lematang
Sekitar Daerah Pasar Bawah Kabupaten Lahat Dalam Mushtofa, A.
Muskananfola, MR. 2014. Analisis Struktur Komunitas Makrozoobentos Kualitas
Perairan Sungai Wedung Kabupaten Demak. Diponegoro Journal Of Maques.
Vol. 2, No. 1: 81-88.
Shahabuddin. 2003. Pemanfaatan Serangga Sebagai Bioindikator Kesehatan Hutan.
Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pascasarjana/S3 Institut Pertanian
Bogor. Oktober 2003
Simić, S. 2003. Macroalgae and Macrozoobenthos Of The Pčinja River. Arch Biol Sci
55: 121–132.
Thani, I., Phalaraksh, C., 2008. A Preliminary Study of Aquatic Insect Diversity and
Water Quality of Mekong River, Thailand. KKU Science Journal Vol. 36.
Thailand.
USDA-NRCS. Features of an EPT index Collecting samples to construct an EPT Index
EPT index score development : Exploring the value of the EPT Index to NRCS.
http://www.wcc.nrcs.usda.gov/ftpref/wntsc/strmRest/wshedCondition/EPTIndex
.pdf. 2016; 26 Februari.
US.EPA (U.S. Environmental Protection Agency). 1998. Condition of the Mid-Atlantic
Estuaries. EPA/600/R-98/147. Office of Research and Development, U.S.
Environmental Protection Agency, Washington, DC, USA.
US.EPA, 2002. Aquatic Resources Monitoring. http://www.epa.gov/nheerl/arm/.
2015;13 Desember.

24

Waltz, R.D. & Burian, S.K. 2008. Ephemeroptera, p. 181–236. In: Merritt, R.W.,
Cummins, K.W. & Berg, M.B. (eds.). An introduction to the aquatic insects of
North America. Dubuque, Kendall/Hunt Publishing Company, 1214 p.
Wang, T-Q and McCafferty, W.P. 1996. Redescription and Reclassification of The South
America Mayfly Melanemerella brasiliana (Ephemeroptera : Leptophlebidae).
Entomological News 107 : 99-107.
Wang, T-Q and W.P, McCafferty. 1996. New Diagnostic Characters For The Mayfly
Family Baetidae (Ephemeroptera). Entomological News 107 : 207-211.
Williams, I.H. 2002. Insect Pollination and Crop Production: A European Perspective.
IN: Kevan P & Imperatriz Fonseca VL (eds) – Pollinating Bees – The
Conservation Link Between Agriculture and Nature – Ministry of Environment /
Brasília.p.59-65
Zahrádková S, Soldán T, Bojková J, Helešic J, Janovská H, Sroka P (2009). Distribution
and Biology Of Mayflies (Ephemeroptera) Of The Czech Republic: Present Status
and Perspectives. Aquatic Insect 31: 629–652.

25

26

LAMPIRAN

27

28

GAMBAR LAMPIRAN

Gambar 1. Lembar Panduan Identifikasi (EPT) Biotilik

29