Pengaruh Mekanisme GCG terhadap Underpri
UG Jurnal Vol.11 No.03
2017
Sukmawati dan Pasaribu (2017)
PENGARUH MEKANISME GOOD CORPORATE GOVERNANCE
TERHADAP UNDERPRICING (Studi Pada Perusahaan Yang
Melakukan Initial Public Offering di BEi Periode 2010-2014)
Kartika Sukmawati
([email protected])
Rowland Bismark Fernando Pasaribu
([email protected])
Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma
Jl. Margonda Raya No.100
Pondok Cina, Depok
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh antara mekanisme Good Corporate
Governance (GCG) yang diproxykan dengan jumlah Dewan Komisaris, proporsi
Dewan Komisaris Independen dan proporsi Dewan Komisaris Independen terhadap
fenomena underpricing yang diproxykan dengan nilai
(IR) pada
perusahaan yang terdaftar di BUI dan melakukan
(IPO) sekaligus
mengalami
selama tahun 2010*2014). Penelitian ini didasarkan pada teori
sinyal (
) yang menyatakan bahwa mekanisme GCG yang baik akan
memberikan sinyal kualitas perusahaan yang baik pula sehingga akan direfleksikan
harga saham pada IPO akan tinggi, sehingga akan menghindari terjadinya
underpricing. Pengujian Hipotesis dilakukan dengan menggunakan model regresi
berganda dengan sampel 39 perusahaan yang terdaftar di BEI. Hasil penelitian
memberikan bukti empiris bahwa ternyata hanya jumlah Dewan Komisaris saja yang
berpengaruh terhadap terjadinya
.
Kata kunci : Initial Public Offering, underpricing, Initial Return
PENDAHULUAN
Dalam menjalankan usaha, terkadang sebuah perusahaan memerlukan dana yang
jumlahnya cukup besar, sementara seorang manajer keuangan perlu memutuskan
suatu keputusan pendanaan dimana manajer keuangan harus menentukan struktur
modal yang tepat, sehingga tingkat pengembalian dan risiko usaha berada pada posisi
optimal. Sumber dana yang berasal dari internal perusahaan sangat terbatas
jumlahnya, sehingga saat perusahaan memerlukan sumber dana yang cukup besarnya,
perusahaan lebih memilih untuk mendapatkannya dari eksternal perusahaan. Tidak
jarang perusahaan melakukan penerbitan saham baru untuk memperoleh sumber dana
yang diperlukan. Perusahaan yang menjual sahamnya (
) umumnya bertujuan
untuk memperbaiki struktur modal, meningkatkan kapasitas produk, memperluas
pemasaran dan hubungan bisnis dan meningkatkan kualitas manajemen (Samsul,
2006).
Tempat untuk penjualan saham yang pertama kali diperdagangkan disebut
dengan pasar perdana atau dikenal dengan
(IPO). Setelah saham
dipasarkan pada pasar perdana, maka selanjutnya saham diperjual belikan pada pasar
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 2
sekunder. Penentuan harga saham perdana merupakan faktor penting yang
menentukan keberhasilan proses
suatu perusahaan. Harga saham IPO
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara emiten dan
(penjamin emisi).
Terdapat perbedaan kepentingan diantara emiten dan
dalam menentukan
harga saham perdana, dimana pihak emiten menginginkan harga perdana yang tinggi
dengan harapan perusahaan dapat memaksimalkan penerimaan dana dari proses
, sementara penjamin emisi cenderung menetapkan harga perdana yang rendah
untuk meminimalisir risiko penjaminan atas saham yang tidak dapat terjual.
Perbedaan kepentingan inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya fenomena
saat proses IPO.
merupakan fenomena yang umumnya sering terjadi saat proses
IPO di berbagai pasar modal dunia (Handono, 2010) tidak terkecuali di pasar modal
Indonesia, bahkan penelitian Aini (2013) mencatat bahwa tingkat
IPO
perusahaan di Indonesia selalu di atas 60% selama tahun 2007*2011.Johnson (2013)
menyatakan bahwa
adalah selisih positif antara harga saham dibursa efek
dengan harga saham di pasar perdana pada saat IPO, yang sering diwakilkan dengan
besaran Initial Return (IR). Hal ini berarti fenomena
terjadi ketika harga
saham perdana lebih rendah dibanding harga penutupan saham IPO pada hari
pertama di pasar sekunder (Ali dan Hartono, 2003). Kondisi
saat proses
IPO merugikan perusahaan, karena dana yang diperoleh dari penjualan saham
perusahaan kepada publik tidak maksimal (Handayani, 2008) untuk itu pemilik
perusahaan berusaha meminimalkan
(Prastiwi dan Kusuma, 2001).
Beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan fenomena underpricing
adalah
dimana fenomena
terjadi karena adanya konflik
kepentingan antara agen (
) dan
(perusahaan) akibat asimetri
informasi kedua belah pihak di pasar perdana (Suyatmi dan Sujadi, 2006). Teori
lainnya adalah
dimana fenomena underpricing merupakan tindakan
rasional yang dilakukan perusahaan untuk memberikan sinyal positif kepada calon
investor bahwa
dianggap sebagai pemberian potongan harga saham
perdana yang artinya perusaaan memiliki kondisi keuangan yang kuat untuk
memulihkan kerugian atas penjualan saham perdananya.
Penelitian tentang fenomena
di Indonesia sudah banyak
dilakukan, termasuk meneliti faktor*faktor yang mempengaruhi terjadinya fenomena
underpricing, tak terkecuali yang disebabkan oleh tata kelola perusahaan (
). Hasil yang diperoleh dari penelitian terdahulu diperoleh hasil yang tidak
konsisten, sehingga perlu dilakukan peneliian kembali guna membuktikan secara
empiris pengaruh
terhadap tingkat
Tata kelola perusahaan yang baik atau
adalah salah
satu syarat untuk menciptakan pasar modal yang berkualitas, bahkan tata kelola
perusahaan juga dinilai menjadi salah satu hal yang mempengaruhi tingkat
pada IPO, karena dapat memancing timbulnya asimetri informasi yang
dapat berdampak pada terjadinya
.
diartikan sebagai
struktur yang diterapkan perusahaan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dalam
rangka meningkatkan nilai pemegang saham (Sidharta dan Cynthia, 2003 dalam Sari,
2010). Penerapan
saat ini menjadi fokus perhatian para
dalam lingkungan bisnis hampir di setiap pasar saham di seluruh dunia.
Pelaksanaan GCG dalam perusahaan memberikan sinyal kepada pihak luar
(investor) bahwa perusahaan memiliki kinerja dan kualitas yang bagus. Sesuai
, underpricing merupakan tindakan rasional yang dilakukan emiten
untuk memberikan sinyal positif kepada calon investor atas kualitas baik perusahaan.
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 3
Dalam kasus
, mekanisme
dapat digunakan untuk
mengatasi
yang timbul akibat adanya asimetri informasi yakni dengan
melakukan monitoring baik secara internal maupun eksternal (Jensen dan Meckling,
1976). Dalam tata kelola perusahaan yang baik pemisahan struktur dewan komisaris
dan direksi serta proporsi struktur kepemilikan dinilai menjadi salah satu faktor
penting. Hal ini dinilai dapat mempengaruhi asimetri informasi yang akan berdampak
pada harga saham perusahaan di pasar modal.
Adanya pengawasan melalui struktur dewan melalui
(jumlah
Dewan Direksi) dan
(proporsi Dewan Komisaris Independent) dan
struktur kepemilikan melalui proporsi Kepemilikan Manajemen yang optimal
merupakan salah satu sinyal bahwa perusahaan dalam pengawasan yang baik dan
kinerja kualitas perusahaan yang baik (Yatim, 2011) sehingga informasi ini memicu
pasar untuk menetapkan harga yang tinggi terhadap saham*saham tersebut, tidak
terkecuali dalam IPO dan pada akhirnya akan mengurangi fenomena
.
Dari penjelasan*penjelasan tersebut menunjukkan bukti bahwa mekanisme
memiliki pengaruh terhadap fenomena
.
Penelitian terdahulu, Rahmida (2012) serta hasil penelitian Sasongko dan
Juliarto (2014) menyatakan bahwa jumlah dewan komisaris berpengaruh terhadap
, sementara Mnif, 2010); Auliya dan Januarti (2015) menyimpulkan bahwa
terdapat pengaruh
terhadap tingkat
g.
Hubungan Jumlah Dewan Komisaris Terhadap Underpricing
Adanya dewan komisaris dalam struktur dewan perusahaan, pengawasan terhadap
kinerja manajemen perusahaan lebih efektif, bahkan menurut Dalton et al (1999) dan
Coles et al (2008) mengatakan bahwa jumlah dewan komisaris yang besar pada
perusahaan yang sudah kompleks akan memberi keuntungan kepada perusahaan,
dimana dewan komisaris yang pastinya memiliki banyak pengalaman dan keahlian
bisa memberikan banyak masukan dan arahan bagi perkembangan perusahaan. Hal
ini akan memberikan sinyal positif atas kualitas perusahaan yang pada gilirannya akan
meningkatkan nilai perusahaan sehingga dapat menarik calon investor potensial.
Dalam hal perusahaan melakukan proses IPO, maka perusahaan tidak akan pernah
menetapkan harga saham perdana yang rendah karena pasar pasti akan berani
membeli saham perusahaan yang berkualitas baik dengan harga yang tinggi.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa jumlah Dewan Komisaris
berpengaruh secara signifikan terhadap
, seperti pada penelitian Rahmida
(2012), Darmadi dan Gunawan (2013), Sasongko dan Juliarto (2014) dan Auliya dan
Januarti (2015), sementara penelitian Yatim (2011) mengarah pada hasil yang
berkebalikan. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis pertama dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Komposisi Dewan Komisaris Independen (DKI) memiliki peran penting dalam
menjalankan fungsi pengendalian keputusan
(Williamson,1985).Tata kelola
perusahaan dapat terlaksana dengan baik jika fungsi monitoring dilakukan oleh tidak
hanya dari pihak internal, tetapi juga pihak eksternal karena pihak eksternal yang
tidak memiliki hubungan khusus dengan pihak manajemen perusahaan sehingga
dipercaya proses memonitoring akan berjalan lebih objektif. Informasi tentang sudah
dijalankannya praktik
melalui monitoring pihak eksternal yang
baik akan memberi sinyal baik kepada pasar, sehingga saat perusahaan melakukan
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 4
peluncuran saham perdana (IPO), harga yang ditetapkan perusahaan dan harga yang
dapat diterima pihak investor potensial akan tinggi sehingga mengurangi
.
Hasil penelitian terdahulu menemukan adanya pengaruh signifikan antara
dan
(Mnif, 2010) bahkan penelitian Auliya dan Januarti
(2015) dan Lin dan Chuang (2011) juga menunjukkan hal yang sama pada pasar di
Taiwan. Sementara penelitian dari Sasongko dan Juliarto (2014), Rahmida (2012) dan
Yatim (2011) menunjukkan hasil yang sebaliknya, dimana tidak adanya pengaruh
antara proporsi Dewan Komisaris Independen terhadap
. Berdasarkan
uraian diatas, hipotesis kedua dapat dirumuskan sebagai berikut :
Leland dan Pylc (1977) menyatakan bahwa investor rasional akan memperhitungkan
besarnya proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak manajerial sebagai
sinyal berharga yang mencerminkan nilai perusahaan. Penurunan dalam proporsi
kepemilikan saham dari pemilik lama yang ditujukan oleh penawaran saham baru
kepada investor luar melalui proses IPO merupakan sinyal negatif yang pada akhirnya
akan menurunkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang menurun akan berimbas
pada turunnya penilaian pasar terhadap kualitas perusahan dan akhirnya pasar akan
menetapkan harga saham yang rendah terhadap perusahaan tersebut, khususnya
harga pada saat IPO sehingga terjadi
. Kondisi sebaliknya semakin tinggi
persentase saham yang dimiliki pihak manajerial, merupakan sinyal positif bagi pasar,
karena pasar dianggap dapat mengelola perusahaan dengan baik sehingga dapat
meningkatkan nilai perusahaan karena menyangkut kesejahteraanya sebagai pemilik
perusahaan sejak belum dilakukannya IPO (Agulina, 2014).
Disisi lain, prosentase kepemilikan saham oleh pihak manajemen yang tinggi
(mayoritas) memiliki kekuatan untuk memutuskan penetapan harga penawaran
saham perdana dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Jika penetapan harga
saham perdana diputuskan dengan harga rendah, maka akan sangat besar
kemungkinan terjadi
dan sebaliknya. Oleh sebab itu dapat dikatakan
bahwa terdapat hubungan antara kepemilikan manajerial terhadap
.
Hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan untuk melihat pengaruh
proporsi kepemilikan manajerial terhadap
seperti yang dilakukan oleh
Agulina (2014) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap
. Namun, hasil penelitian tersebut bertolak belakang dengan hasil
penelitian Kurniasih dan Arif (2008), Sasongko dan Juliarto (2014), serta Auliya dan
Januarti (2015) yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
terhadap
Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis ke*3 dapat
dirumuskan sebagai berikut :
!"
# $ %&!&'$
#
#
(
Prosedur penetapan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik
purposive sampling di mana sample diambil dari perusahaan*perusahaan yang tedaftar
di BEI sebanyak 124 perusahaan, dimana perusahaan tersebut melakukan IPO
sekaligus mengalami fenomena
selama periode 2010*2014 yang pada
akhirnya diperoleh sampel sebanyak 39 perusahaan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Sukmawati dan Pasaribu
UG Jurnal Vol.11 No.03
2017, Halaman 5
a.
Fenomena Underpicing (UP) dengan menghitung nilai Initial Return (IR) dengan
membandingkan antara harga saham pada penawaran perdana (IPO) dan harga
penutupan pada hari pertama di pasar sekunder yang diperoleh dari
b. Jumlah Dewan Komisaris (DK), Proporsi Dewan Komisaris Independen (DKI)
dan Proporsi Kepemilikan Manajerial (KM) dihitung dengan menjumlah dewan
komisaris yang ada dalam sebuah perusahaan diperoleh dari laporan tahunan
emiten melalui website dari perusahaan yang bersangkutan.
Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
!
)
"
#
*
Variabel
Penelitian
Underpricing
Definisi
Variabel
Selisih positif antara harga saham pada hari
pertama penutupan (closing price) pada
pasar sekunder dibagi dengan harga
penawaran perdana / IPO (offering price)
yang dihitung melalui besaran Initial
Return
Dewan Komisaris (X2)
Jumlah dewan komisaris yang ada dalam
sebuah perusahaan yang melakukan IPO
(Vafeas, 2000) dalam (Rahmida, 2012).
Jumlah dewan komisaris independen pada
struktur organisasi sebuah perusahaan yang
melakukan IPO (Rahmida, 2012) dalam
(Purwanto et al, 2015).
Persentase kepemilika saham oleh pihak
manajemen yang terlibat secara aktif dalam
pengambilan
keputusan
perusahaan
dibanding total seluruh saham yang beredar
di pasar.
(Kurniasih dan Santoso, 2008).
Dewan Komisaris
Independen(X1)
Kepemilikan
Manajerial (X3)
Rumus
Pengukuran
1− 0
=
100%
0
IR : initial return
Pt0 : harga penawaran perdana
Pt1: harga penutupan (closing
price) pada hari pertama di
secondary market
ℎ
ℎ
ℎ
ℎ
ℎ
Teknik Analisis
Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi linier berganda dengan aplikasi
SPSS Versi 20,00untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut adalah statistik deskriptif dari data dalam penelitian ini :
Tabel 2 : Statistik Deskriptif
UP
DK
DKI
KM
Valid N (listwise)
N
39
39
39
39
39
Min
0,01
2,00
0,20
0,00
Max
0,70
8,00
0,67
0,74
Mean
0,27
3,82
0,38
0,14
Std. Deviation
0,22
0,10
1,64
0,23
Sumber : Hasil output SPSS 20.0 yang telah diolah
Sebelum melakukan analisis regresi linier berganda terlebih dahulu dilakukan uji
asumsi klasik untuk memastikan model regresi layak untuk digunakan. Pengujian
data dalam penelitan ini menggunakan software SPSS versi 20.0.
Sukmawati dan Pasaribu
UG Jurnal Vol.11 No.03
2017, Halaman 6
+ '
Sebelum melakukan reg si berganda maka data perlu melewati uji asumsi klasik,
yang secara keseluruhan diperoleh bahwa data sudah lulus uji klasik (Tabel 3),
yaitu :
, + $
Dengan uji
!
"
#!
$ diperoleh nilai Asymp. Sig. sebesar
0,60 yang lebih besar dari 0.05 yang berarti data berdistribusi normal
, +
Dilihat dari nilai
atau%
&
(VIF), disimpulkantidak
adanya multikolinearitas karena nilai
≥ 0,10 atau nilai VIF ≤ 10
, + '
Uji Autokorelasi yang dinilai dari Durbin*Watson sebesar 1,93 menunjukkan
bahwa data terbebas dari autokorelasi
-, +
Uji Heteroskedastisitas yang dinilai dengan uji White menunjukkan bahwa
nilai probabilitas ( # '
) besar 0,065 (yang lebih tinggi dari 0,05)
menunjukkan bahwa data tidak mengandung masalah heteroskedastisitas
Tabel 3 Rekap Hasil Uji Klasik
,766
,600
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Model
Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
(Constant)
DKI
,885
DK
,827
KM
,891
Durbin-Watson
Probablitias (chi-square) pada Uji White
1,130
1,209
1,123
1
1,935
0, 065
Sumber : Hasil olahan SPSS
'
.
%
/
Setelah lulus uji klasik, maka analisis regresi berganda dapat dilanjutkan dengan uji
hipotesis secara parsial ataupun simultan. Hasil uji hipotesis dapat dilihat dari tabel 4 :
Tabel 4 : Hasil Uji Hipotesis Secara Parsial
Unstandardized Coefficients
Model
B
Std. Error
1 (Constant)
0,187
0,178
DKI
0,681
0,357
DK
-0,048
0,021
KM
0,011
0,146
Sumber : Hasil Olahan SPSS versi 20.00
Standardized
Coefficients
Beta
0,293
-0,354
0,012
T
1,053
1,907
-2,227
0,078
Dari tabel 3 diperoleh persamaan regresi sebagai berikut :
!" = #, %&' − #, #(&)* + #, ,&%)*- + #, #%%*. + /
Sig.
0,300
0,065
0,032
0,938
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 7
&
#
.
1. Nilai Konstanta
Nilai konstanta sebesar 0,187 menunjukkan bahwa jika variable*variabel
independen yaitu dewan komisaris independen (DKI), Jumlah Dewan Komisaris
(DK), jumlah Dewan Komisaris Independen (DKI) serta Perssentase Kepemilikan
Manajerial (KM) nilainya tetap (konstan) maka nilai Initial Return*nya akan
sebesar 0,187%
2. Jumlah Dewan Komisaris (DK)
Berdasarkan persamaan regresi diatas diperoleh nilai koefisien regresi untuk
variabel jumlah dewan komisaris (DK) adalah bernilai sebesar *0,048. Hal ini
menunjukkan bahwa jika ada penambahan 1 orang dewan komisaris (DK), maka
Initial Return akan berkurang sebesar 0,048% yang artinya dengan menambah 1
orang dewan komisaris akan menurunkan tingkat
sebesar 0,048%.
Semakin banyak jumlah Dewan Komisaris yang dimiliki oleh perusahaan maka
semakin baik pengawasan yang ada di perusahaan, yang akhirnya akan membuat
pasar bereaksi secara positif yang pada akhirnya akan membuat harga saham
perusahaan menjadi naik.Jika perusahaan sedang melakukan IPO, maka harga
saham yang terbentuk saat IPO bisa ditetapkan sedikit tinggi sehingga fenomena
bisa dihindari. Hingga hubungan antara jumlah Dewan Komisaris
dan fenomena
berjalan secara berbanding terbalik. Teori ini sejalan
dengan hasil yang dilakukan dalam penelitian ini, dimana jumlah Dewan
Komisaris semakin banyak akan mengurangi terjadinya
pada IPO.
3. Dewan Komisaris Independen (DKI)
Berdasarkan persamaan regresi diatas bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel
Dewan Komisaris Independen (DKI) bernilai sebesar 0,681. Hal tersebut
menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan proporsi jumlah Dewan Komisaris
Independen (DKI) sebesar 1%, maka
akan bertambah sebesar
0,681% yang artinya dengan menambah 1% proporsi jumlah Dewan Komisaris
Independen akan meningkatkan tingkat
sebesar 0,681%.
4. Kepemilikan Manajerial
Berdasarkan persamaan regresi diatas bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel
Kepemilikan Manajerial (KM) bernilai 0,011. Hal tersebut menunjukkan bahwa
jika terjadi kenaikan 1% proporsi saham yang dimiliki oleh pihak manajerial
(KM) dibanding jumlah keseluruhan saham yang beredar, maka Initial Return
akan bertambah sebesar 0,011% atau dengan kata lain dengan menaikkan 1%
proporsi kepemilikan saham oleh pihak Manajerial akan meningkatkan tingkat
sebesar 0,011%
Hasil uji hipotesis penelitian ini diperoleh seperti pada tabel 5 dan 6 di bawah ini :
Tabel 5 :Hasil Uji Parsial
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Model
B
Std. Error
Beta
1(Constant)
0,187
0,178
DK
*0,048
0,021
*0,354
DKI
0,681
0,357
0,293
KM
0,011
0,146
0,012
Sumber : Hasil Output SPSS 20.0 yang telah diolah
t
1,053
*2,227
1,907
0,078
Sig.
0,300
0,032
0,065
0,938
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 8
Dari tabel 5 di atas terlihat bahwavariasi fenomena
hanya dipengaruhi
oleh naik*turunnya jumlah Dewan Komisaris (DK) yang dilihat dari nilai signifikan
sebesar 0,032 yang kurang dari 0,05 sementara variabel proporsi Dewan Komisaris
Independen (DKI) dan proporsi Kepemilikan Manajerial (KM) tidak mempengaruhi
variasi fenomena dilihat dari nilai signifikansi yang lebih dari 0,05 yaitu 0,065 untuk
proporsi Dewan Komisaris Independen (DKI) dan 0,938 untuk proporsi Kepemilikan
Manajerial (KM).
Tabel 6 : Hasil Uji Simultan
Model
Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
,499
3
,166
4,286
,011b
Residual
1,357
35
Total
1,856
38
Sumber : Hasil olahan Output SPSS versi 20
,039
Regression
1
Dari hasil uji F (untuk melihat pengaruh semua variabel independen terhadap variabel
dependen) menunjukkan nilai signifikan sebesar 0,011 yang lebih kecil dari nilai 0,05.
Hal ini menunjukkan bahwa secara bersama*sama semua variabel independen dapat
mempengaruhi variasi fenomena
yang dinyatakan dengan
.
Sementara hasil uji koefisien derterminasi seperti pada tabel 7 berikut :
Model
1
Tabel 7 : Hasil Uji Koefisien Determinasi
R
R Square Adjusted R Square
,518a
,269
,206
Dari tabel 7 di atas menunjukkan bahwa hanya sekitar 20,6% variasi fonemana
dipengaruhi oleh variabel jumlah Dewan Komisaris (DK), proporsi
Dewan Komisaris Independen (DKI) dan proporsi Kepemilikan Manajerial (KM),
sementara sebesar 79,4% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ditiliti dalam dalam
penelitian ini seperti komite audit, ukuran perusahaan, tingkat profitabilitas dan
reputasi
.
#
/' '('$
#
0
Hasil perhitungan empiris dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah Dewan
Komisaris berpengaruh terhadap
yang ditandai dengan semakin besar
jumlah dewan komisaris dalam sebuah perusahaan maka akan menurunkan tingkat
saat perusahaan tersebut melakukan IPO.Keberadaan dewan komisaris
dalam jumlah yang optimal dalam perusahaan dapat meningkatkan pengawasan yang
lebih efektifterhadap kinerja perusahaan sehingga dapat mengurangi
serta asimetri informasi antara manajemen dengan pemegang saham.
Jumlah Dewan komisaris yang optimal juga dapat dijadikan sinyal calon
investor potensial menilai perusahaan telah dikelola dengan baik melalui pengawasan
yang lebih efektif dimana perusahaan akan bertindak adil untuk kepentingan prinsipal
dan bukan hanya semata untuk kepentingannya sendiri. Selain itu Dewan Komisaris
akan menurunkan munculnya
atau informasi*informasi yang
berlebihan, sehingga hal ini akan memancing reaksi pasar yang positif dimana pasar
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 9
akan lebih percaya akan informasi*informasi yang tersebar di pasar berhubungan
dengan
yang dilakukan perusahaan, dimana informasi yang baik akan
membentuk harga saham perusahaan menjadi lebih tinggi. Jika perusahaan sedang
melakukan IPO, maka harga saham yang terbentuk saat IPO bisa ditetapkan sedikit
tinggi sehingga fenomena
bisa dihindari. Hingga dapat dikatakan bahwa
besarnya jumlah Dewan Komisaris dapat mempengaruhi terjadinya
.
Hasil pengujian empiris pada penelitian ini menunjukkan bahwa benar ada
pengaruh jumlah Dewan Komisaris dengan fenomena
. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Rahmida (2012), Darmadi dan
Gunawan (2013), Sasongko dan Juliarto (2014) yang menyatakan bahwa jumlah
dewan komisaris berpengaruh terhadap
. Di sisi lain hasil penelitian ini
tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih dan Santoso (2008),
Yatim (2011), Auliya dan Januarti (2015) dan Purwanto
(2015) yang menyatakan
bahwa jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dewan komisaris independen tidak
berpengaruh terhadap
. Hal ini menunjukkan bahwa besar kecilnya dewan
komisaris independen dalam perusahaan tidak mempengaruhi
pada saat
perusahaan melakukan IPO. Tidak berpengaruhnya dewan komisaris independen
dalam perusahaan terhadap
saat perusahaan melakukan IPO diduga dapat
dikarenakan investor menilai keberadaan dewan komisaris independen di Indonesia
masih belum cukup efektif, investor menilai perusahaan akan lebih efektif apabila
diawasi oleh dewan komisaris yang lama yang lebih mengetahui mengenai kondisi
perusahaan yang sesungguhnya dibandingkan dengan dewan komisaris independen
yang notabenenya merupakan pihak eksternal perusahaan. Hal lain yang dapat
mendasari hasil penelitian ini yang menyebabkan dewan komisaris independen tidak
berpengaruh terhadap
, kemungkinan dibentuknya dewan komisaris
independen dalam perusahaan diduga hanya untuk memenuhi kebijakan yang
dibentuk oleh BAPEPAM sehingga keberadaan dewan komisaris independen dalam
perususahaan dinilai kurang efektif oleh calon investor. Sehingga hal tersebutlah yang
menyebabkan dewan komisaris independen tidak dapat mempengaruhi
pada saat perusahaan melakukan IPO.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmida
(2012), Sasongko dan Juliarto (2014), serta Purwanto
. (2015) yang menyatakan
bahwa dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap
Namun,
hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian Auliya dan januarti (2015) yang
menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh terhadap
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
terhadap
. Dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen
maka pihak manajemen akan berupaya untuk meningkatkan kualitas serta kinerja
perusahaan guna meningkatkan nilai perusahaan dikarenakan manajemen juga
memiliki porsi kepemilikan saham dalam perusahaan. Namun, secara umum
kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari perusahaan sampel yang digunakan
dalam penelitian menunjukkan rata*rata sebesar 14,36% yang berarti bahwa
kepemilikan manajerial rata*rata < 50% sehingga sebagian besar kepemilikan saham
dari pihak manajerial merupakan kepemilikan minoritas saat perusahaan akan
melakukan IPO. Rendahnya kepemilikan saham dari pihak manajemen tidak terlalu
mempengaruhi dalam kebijakan pengambilan keputusan penetapan harga penawaran
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 10
saham perdana pada saat RUPS. Sehingga hanya pihak yang memiliki porsi saham
yang tinggi yang memiliki kekuatan untuk memasukkan kepentingannya serta dapat
mempengaruhi kebijakan pengambilan keputusan penetapan harga penawaran saham
perdana, kondisi tersebut menunjukan bahwa kepemilikan manajerial tidak dapat
mempengaruhi
pada saat perusahaan melakukan IPO.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Kurniasih dan
Santoso (2008), Sasongko dan Juliarto (2014), serta hasil penelitian Auliya dan
Januarti (2015) yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
terhadap
. Namun, hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian
yang dilakukan oleh Kurniasih dan Arif (2008) yang berpengaruh tetapi tidak
signifikan dan Agulina (2014) bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap
(& #+%'$
Dari hasil perhitungan empiris 39 emiten terdaftar di BEI yang melakukan IPO
sekaligus mengalami
, dapat disimpulkan bahwa ternyata hanya jumlah
Dewan Komisaris yang mempengaruhi variansi fenomena
. Sehingga jika
perusahaan melakukan IPO untuk mencari sumber*sumber dana yang sangat
dibutuhkan untuk ekspansi usaha maka agar dana yang dapat dikumpulkan optimal
maka disarankan untuk tidak meremehkan jumlah Dewan Komisaris yang dimiliki,
sementara proporsi Dewan Komisaris Independen dan proporsi Kepemilikan
Manajerial cukup hanya pada ukuran yang ditetapkan regulasi agar dipenuhi.
Sementara itu juga faktor lain masih bisa dipertimbangkan seperti komite audit,
ukuran perusahaan, profitabilitas dan reputasi underwriter karena underwriter adalah
salah satu pihak penentu penetapan harga saham saat IPO.
'0!'. #+(!' '
Aini, Shoviyah Nur. 2013. Faktor*Faktor yang Mempengaruhi
Perusahaan IPO di BEI Periode 2007*2011. (
)
89.
*
Saham Pada
, Vol.1, No. 1, Hal.
Ali Syaiful, Hartono dan Jogiyanto. 2003. Pengaruh Pemilihan Metode Akuntansi terhadap
Tingkat
Saham Perdana. (
+
. Vol 6: 41*53.
Auliya, R., dan Januarti, I., 2015, Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap
Tingkat Underpricing IPO. !
,
,
.
/001#/0234 Thesis, Fakultas Ekonomika dan Bisnis.
Coles, J. L., Daniel, N. D. and Naveen, L. 2008. Boards: Does one size fit all? (
&
,
, 87, 329*356.
Darmadi, S., and Gunawan, R, 2012. Underpricing, Board Structure, and Ownership : An
Empirical Examination of Indonesian IPO firm. !! 5 ,
(
, pp. 1*36
Dalton, D.R., Daily, C.M., Ellstrand, A.E. and Johnson, J.L. 1999. Number of directors and
Financial performance: a meta*analysis, . +
)
(
, Vol. 42 No.
6,pp. 674*686.
Handayani, Sri Retno. 2008. Analisis Faktor*Faktor yang Mempengaruhi Underpricing pada
Penawaran Umum Perdana. . . Program Pascasarjana Magister Manajemen.
Universitas Diponegoro
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 11
Handono, Dora Bunga Roostarica. 2010. Analisis Faktor*Faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Underpricing Saham Perdana di Bursa Efek Indonesia. !
. Universitas Pasundan.
Bandung.
Jensen, M., and Meckling, W. 1976. Theory of The Firm : Managerial Behavior, Agency Cost
and Ownership Structure. (
&
,
, Vol. 3(4). pp. 350*360
Johnson, 2013. Analisis Faktor*Faktor yang Memperngaruhi Underpricing Harga Saham IPO
Perusahaan yang Terdaftar di BEI”, Skripsi
Kurniasih, Lulus dan Arif. L.S. 2008. Bukti Empiris Fenomena Underpricing dan Pengaruh
Mekanisme Corporate Governance (
,
"
, Vol. 8, No. 1,
Hal.1–15
Leland, H.E., and Pyle, D.H. 1997. Informational Asymmetries, Financial Structure, and
Financial Intermediation, . (
&
, Vol. XXXII(2). Pp. 371*387
Lin C.P., and Chuang, C.M, 2011. Principal*pricipal Confilcts and IPO Pricing in an
Emerging Economy.
6+
, Vol. 19(6), pp. 585*
600.
Mnif Anis, 2010. Broad of Directors and The Pricing of Initial Public Offerings : Does The
Exixtence of A Properly Structure Board Matter? Evidence From France. France : La
place de la dimension européenne dans la Comptabilité Contrôle Audit, Strasbourg
Prastiwi, A., dan Kusuma, 2001. Analisis Kinerja Surat Berharga setelah Penawaran Perdana
(IPO) di Indonesia. (
,
, Vol. 16(2). pp 177*187
Purwanto, Sri Wahyu Agustiningsih, Salman Faris Insani, dan Budi Wahyono. 2015.
Fenomena Underpricing pada Perusahaan yang
di Indonesia. ,
7
"
, 3 (1): hal. 22*43.
Rahmida, A.R. 2012. Pengaruh Karateristik Dewan Komisaris, Keberadaan Komite Audit,
Kualitas Auditor Eksternal, dan Monitoring Bank terhadap Underpricing saat Initial
Public Offering. .
Magister Manajemen Universitas Indonesia. Hal 1*11.
Samsul, Mohammad. 2006. Pasar Modal dan Manajemen Portofolio. Jakarta: Erlangga.
Sari, Ardhini Yuma. 2010. Analisis Faktor*Faktor yang Mempengaruhi Underpricing pada
Penawaran Umum Perdana. !
Program Sarjana Fakultas Ekonomi.Universitas
Diponegoro
Sasongko, Bangkit. 2014. Analisis Pengaruh Tata Kelola Perusahaan Terhadap Tingkat
Underpricing Penawaran Umum Perdana Saham. 8
(
+
,
Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 1*1.
Suyatmi dan Sujadi, 2006. Faktor*Faktor yang MempengaruhiUnderpricing pada Penawaran
Umum Perdana di Bursa Efek Jakarta. , Vol. 10, No.1.
Williamson, O.E. 1985. The Economic Institutions of Capitalism, The Free Press, New York,
NY.
Yatim, 2011. Underpricing and Board Structures : An Investigation of Malaysian Initial
Public Offering (IPOs). +
+
)
(
+
&
,
Vol. 7(1), pp. 73*93
2017
Sukmawati dan Pasaribu (2017)
PENGARUH MEKANISME GOOD CORPORATE GOVERNANCE
TERHADAP UNDERPRICING (Studi Pada Perusahaan Yang
Melakukan Initial Public Offering di BEi Periode 2010-2014)
Kartika Sukmawati
([email protected])
Rowland Bismark Fernando Pasaribu
([email protected])
Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma
Jl. Margonda Raya No.100
Pondok Cina, Depok
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh antara mekanisme Good Corporate
Governance (GCG) yang diproxykan dengan jumlah Dewan Komisaris, proporsi
Dewan Komisaris Independen dan proporsi Dewan Komisaris Independen terhadap
fenomena underpricing yang diproxykan dengan nilai
(IR) pada
perusahaan yang terdaftar di BUI dan melakukan
(IPO) sekaligus
mengalami
selama tahun 2010*2014). Penelitian ini didasarkan pada teori
sinyal (
) yang menyatakan bahwa mekanisme GCG yang baik akan
memberikan sinyal kualitas perusahaan yang baik pula sehingga akan direfleksikan
harga saham pada IPO akan tinggi, sehingga akan menghindari terjadinya
underpricing. Pengujian Hipotesis dilakukan dengan menggunakan model regresi
berganda dengan sampel 39 perusahaan yang terdaftar di BEI. Hasil penelitian
memberikan bukti empiris bahwa ternyata hanya jumlah Dewan Komisaris saja yang
berpengaruh terhadap terjadinya
.
Kata kunci : Initial Public Offering, underpricing, Initial Return
PENDAHULUAN
Dalam menjalankan usaha, terkadang sebuah perusahaan memerlukan dana yang
jumlahnya cukup besar, sementara seorang manajer keuangan perlu memutuskan
suatu keputusan pendanaan dimana manajer keuangan harus menentukan struktur
modal yang tepat, sehingga tingkat pengembalian dan risiko usaha berada pada posisi
optimal. Sumber dana yang berasal dari internal perusahaan sangat terbatas
jumlahnya, sehingga saat perusahaan memerlukan sumber dana yang cukup besarnya,
perusahaan lebih memilih untuk mendapatkannya dari eksternal perusahaan. Tidak
jarang perusahaan melakukan penerbitan saham baru untuk memperoleh sumber dana
yang diperlukan. Perusahaan yang menjual sahamnya (
) umumnya bertujuan
untuk memperbaiki struktur modal, meningkatkan kapasitas produk, memperluas
pemasaran dan hubungan bisnis dan meningkatkan kualitas manajemen (Samsul,
2006).
Tempat untuk penjualan saham yang pertama kali diperdagangkan disebut
dengan pasar perdana atau dikenal dengan
(IPO). Setelah saham
dipasarkan pada pasar perdana, maka selanjutnya saham diperjual belikan pada pasar
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 2
sekunder. Penentuan harga saham perdana merupakan faktor penting yang
menentukan keberhasilan proses
suatu perusahaan. Harga saham IPO
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara emiten dan
(penjamin emisi).
Terdapat perbedaan kepentingan diantara emiten dan
dalam menentukan
harga saham perdana, dimana pihak emiten menginginkan harga perdana yang tinggi
dengan harapan perusahaan dapat memaksimalkan penerimaan dana dari proses
, sementara penjamin emisi cenderung menetapkan harga perdana yang rendah
untuk meminimalisir risiko penjaminan atas saham yang tidak dapat terjual.
Perbedaan kepentingan inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya fenomena
saat proses IPO.
merupakan fenomena yang umumnya sering terjadi saat proses
IPO di berbagai pasar modal dunia (Handono, 2010) tidak terkecuali di pasar modal
Indonesia, bahkan penelitian Aini (2013) mencatat bahwa tingkat
IPO
perusahaan di Indonesia selalu di atas 60% selama tahun 2007*2011.Johnson (2013)
menyatakan bahwa
adalah selisih positif antara harga saham dibursa efek
dengan harga saham di pasar perdana pada saat IPO, yang sering diwakilkan dengan
besaran Initial Return (IR). Hal ini berarti fenomena
terjadi ketika harga
saham perdana lebih rendah dibanding harga penutupan saham IPO pada hari
pertama di pasar sekunder (Ali dan Hartono, 2003). Kondisi
saat proses
IPO merugikan perusahaan, karena dana yang diperoleh dari penjualan saham
perusahaan kepada publik tidak maksimal (Handayani, 2008) untuk itu pemilik
perusahaan berusaha meminimalkan
(Prastiwi dan Kusuma, 2001).
Beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan fenomena underpricing
adalah
dimana fenomena
terjadi karena adanya konflik
kepentingan antara agen (
) dan
(perusahaan) akibat asimetri
informasi kedua belah pihak di pasar perdana (Suyatmi dan Sujadi, 2006). Teori
lainnya adalah
dimana fenomena underpricing merupakan tindakan
rasional yang dilakukan perusahaan untuk memberikan sinyal positif kepada calon
investor bahwa
dianggap sebagai pemberian potongan harga saham
perdana yang artinya perusaaan memiliki kondisi keuangan yang kuat untuk
memulihkan kerugian atas penjualan saham perdananya.
Penelitian tentang fenomena
di Indonesia sudah banyak
dilakukan, termasuk meneliti faktor*faktor yang mempengaruhi terjadinya fenomena
underpricing, tak terkecuali yang disebabkan oleh tata kelola perusahaan (
). Hasil yang diperoleh dari penelitian terdahulu diperoleh hasil yang tidak
konsisten, sehingga perlu dilakukan peneliian kembali guna membuktikan secara
empiris pengaruh
terhadap tingkat
Tata kelola perusahaan yang baik atau
adalah salah
satu syarat untuk menciptakan pasar modal yang berkualitas, bahkan tata kelola
perusahaan juga dinilai menjadi salah satu hal yang mempengaruhi tingkat
pada IPO, karena dapat memancing timbulnya asimetri informasi yang
dapat berdampak pada terjadinya
.
diartikan sebagai
struktur yang diterapkan perusahaan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dalam
rangka meningkatkan nilai pemegang saham (Sidharta dan Cynthia, 2003 dalam Sari,
2010). Penerapan
saat ini menjadi fokus perhatian para
dalam lingkungan bisnis hampir di setiap pasar saham di seluruh dunia.
Pelaksanaan GCG dalam perusahaan memberikan sinyal kepada pihak luar
(investor) bahwa perusahaan memiliki kinerja dan kualitas yang bagus. Sesuai
, underpricing merupakan tindakan rasional yang dilakukan emiten
untuk memberikan sinyal positif kepada calon investor atas kualitas baik perusahaan.
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 3
Dalam kasus
, mekanisme
dapat digunakan untuk
mengatasi
yang timbul akibat adanya asimetri informasi yakni dengan
melakukan monitoring baik secara internal maupun eksternal (Jensen dan Meckling,
1976). Dalam tata kelola perusahaan yang baik pemisahan struktur dewan komisaris
dan direksi serta proporsi struktur kepemilikan dinilai menjadi salah satu faktor
penting. Hal ini dinilai dapat mempengaruhi asimetri informasi yang akan berdampak
pada harga saham perusahaan di pasar modal.
Adanya pengawasan melalui struktur dewan melalui
(jumlah
Dewan Direksi) dan
(proporsi Dewan Komisaris Independent) dan
struktur kepemilikan melalui proporsi Kepemilikan Manajemen yang optimal
merupakan salah satu sinyal bahwa perusahaan dalam pengawasan yang baik dan
kinerja kualitas perusahaan yang baik (Yatim, 2011) sehingga informasi ini memicu
pasar untuk menetapkan harga yang tinggi terhadap saham*saham tersebut, tidak
terkecuali dalam IPO dan pada akhirnya akan mengurangi fenomena
.
Dari penjelasan*penjelasan tersebut menunjukkan bukti bahwa mekanisme
memiliki pengaruh terhadap fenomena
.
Penelitian terdahulu, Rahmida (2012) serta hasil penelitian Sasongko dan
Juliarto (2014) menyatakan bahwa jumlah dewan komisaris berpengaruh terhadap
, sementara Mnif, 2010); Auliya dan Januarti (2015) menyimpulkan bahwa
terdapat pengaruh
terhadap tingkat
g.
Hubungan Jumlah Dewan Komisaris Terhadap Underpricing
Adanya dewan komisaris dalam struktur dewan perusahaan, pengawasan terhadap
kinerja manajemen perusahaan lebih efektif, bahkan menurut Dalton et al (1999) dan
Coles et al (2008) mengatakan bahwa jumlah dewan komisaris yang besar pada
perusahaan yang sudah kompleks akan memberi keuntungan kepada perusahaan,
dimana dewan komisaris yang pastinya memiliki banyak pengalaman dan keahlian
bisa memberikan banyak masukan dan arahan bagi perkembangan perusahaan. Hal
ini akan memberikan sinyal positif atas kualitas perusahaan yang pada gilirannya akan
meningkatkan nilai perusahaan sehingga dapat menarik calon investor potensial.
Dalam hal perusahaan melakukan proses IPO, maka perusahaan tidak akan pernah
menetapkan harga saham perdana yang rendah karena pasar pasti akan berani
membeli saham perusahaan yang berkualitas baik dengan harga yang tinggi.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa jumlah Dewan Komisaris
berpengaruh secara signifikan terhadap
, seperti pada penelitian Rahmida
(2012), Darmadi dan Gunawan (2013), Sasongko dan Juliarto (2014) dan Auliya dan
Januarti (2015), sementara penelitian Yatim (2011) mengarah pada hasil yang
berkebalikan. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis pertama dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Komposisi Dewan Komisaris Independen (DKI) memiliki peran penting dalam
menjalankan fungsi pengendalian keputusan
(Williamson,1985).Tata kelola
perusahaan dapat terlaksana dengan baik jika fungsi monitoring dilakukan oleh tidak
hanya dari pihak internal, tetapi juga pihak eksternal karena pihak eksternal yang
tidak memiliki hubungan khusus dengan pihak manajemen perusahaan sehingga
dipercaya proses memonitoring akan berjalan lebih objektif. Informasi tentang sudah
dijalankannya praktik
melalui monitoring pihak eksternal yang
baik akan memberi sinyal baik kepada pasar, sehingga saat perusahaan melakukan
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 4
peluncuran saham perdana (IPO), harga yang ditetapkan perusahaan dan harga yang
dapat diterima pihak investor potensial akan tinggi sehingga mengurangi
.
Hasil penelitian terdahulu menemukan adanya pengaruh signifikan antara
dan
(Mnif, 2010) bahkan penelitian Auliya dan Januarti
(2015) dan Lin dan Chuang (2011) juga menunjukkan hal yang sama pada pasar di
Taiwan. Sementara penelitian dari Sasongko dan Juliarto (2014), Rahmida (2012) dan
Yatim (2011) menunjukkan hasil yang sebaliknya, dimana tidak adanya pengaruh
antara proporsi Dewan Komisaris Independen terhadap
. Berdasarkan
uraian diatas, hipotesis kedua dapat dirumuskan sebagai berikut :
Leland dan Pylc (1977) menyatakan bahwa investor rasional akan memperhitungkan
besarnya proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak manajerial sebagai
sinyal berharga yang mencerminkan nilai perusahaan. Penurunan dalam proporsi
kepemilikan saham dari pemilik lama yang ditujukan oleh penawaran saham baru
kepada investor luar melalui proses IPO merupakan sinyal negatif yang pada akhirnya
akan menurunkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang menurun akan berimbas
pada turunnya penilaian pasar terhadap kualitas perusahan dan akhirnya pasar akan
menetapkan harga saham yang rendah terhadap perusahaan tersebut, khususnya
harga pada saat IPO sehingga terjadi
. Kondisi sebaliknya semakin tinggi
persentase saham yang dimiliki pihak manajerial, merupakan sinyal positif bagi pasar,
karena pasar dianggap dapat mengelola perusahaan dengan baik sehingga dapat
meningkatkan nilai perusahaan karena menyangkut kesejahteraanya sebagai pemilik
perusahaan sejak belum dilakukannya IPO (Agulina, 2014).
Disisi lain, prosentase kepemilikan saham oleh pihak manajemen yang tinggi
(mayoritas) memiliki kekuatan untuk memutuskan penetapan harga penawaran
saham perdana dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Jika penetapan harga
saham perdana diputuskan dengan harga rendah, maka akan sangat besar
kemungkinan terjadi
dan sebaliknya. Oleh sebab itu dapat dikatakan
bahwa terdapat hubungan antara kepemilikan manajerial terhadap
.
Hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan untuk melihat pengaruh
proporsi kepemilikan manajerial terhadap
seperti yang dilakukan oleh
Agulina (2014) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap
. Namun, hasil penelitian tersebut bertolak belakang dengan hasil
penelitian Kurniasih dan Arif (2008), Sasongko dan Juliarto (2014), serta Auliya dan
Januarti (2015) yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
terhadap
Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis ke*3 dapat
dirumuskan sebagai berikut :
!"
# $ %&!&'$
#
#
(
Prosedur penetapan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik
purposive sampling di mana sample diambil dari perusahaan*perusahaan yang tedaftar
di BEI sebanyak 124 perusahaan, dimana perusahaan tersebut melakukan IPO
sekaligus mengalami fenomena
selama periode 2010*2014 yang pada
akhirnya diperoleh sampel sebanyak 39 perusahaan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Sukmawati dan Pasaribu
UG Jurnal Vol.11 No.03
2017, Halaman 5
a.
Fenomena Underpicing (UP) dengan menghitung nilai Initial Return (IR) dengan
membandingkan antara harga saham pada penawaran perdana (IPO) dan harga
penutupan pada hari pertama di pasar sekunder yang diperoleh dari
b. Jumlah Dewan Komisaris (DK), Proporsi Dewan Komisaris Independen (DKI)
dan Proporsi Kepemilikan Manajerial (KM) dihitung dengan menjumlah dewan
komisaris yang ada dalam sebuah perusahaan diperoleh dari laporan tahunan
emiten melalui website dari perusahaan yang bersangkutan.
Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
!
)
"
#
*
Variabel
Penelitian
Underpricing
Definisi
Variabel
Selisih positif antara harga saham pada hari
pertama penutupan (closing price) pada
pasar sekunder dibagi dengan harga
penawaran perdana / IPO (offering price)
yang dihitung melalui besaran Initial
Return
Dewan Komisaris (X2)
Jumlah dewan komisaris yang ada dalam
sebuah perusahaan yang melakukan IPO
(Vafeas, 2000) dalam (Rahmida, 2012).
Jumlah dewan komisaris independen pada
struktur organisasi sebuah perusahaan yang
melakukan IPO (Rahmida, 2012) dalam
(Purwanto et al, 2015).
Persentase kepemilika saham oleh pihak
manajemen yang terlibat secara aktif dalam
pengambilan
keputusan
perusahaan
dibanding total seluruh saham yang beredar
di pasar.
(Kurniasih dan Santoso, 2008).
Dewan Komisaris
Independen(X1)
Kepemilikan
Manajerial (X3)
Rumus
Pengukuran
1− 0
=
100%
0
IR : initial return
Pt0 : harga penawaran perdana
Pt1: harga penutupan (closing
price) pada hari pertama di
secondary market
ℎ
ℎ
ℎ
ℎ
ℎ
Teknik Analisis
Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi linier berganda dengan aplikasi
SPSS Versi 20,00untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut adalah statistik deskriptif dari data dalam penelitian ini :
Tabel 2 : Statistik Deskriptif
UP
DK
DKI
KM
Valid N (listwise)
N
39
39
39
39
39
Min
0,01
2,00
0,20
0,00
Max
0,70
8,00
0,67
0,74
Mean
0,27
3,82
0,38
0,14
Std. Deviation
0,22
0,10
1,64
0,23
Sumber : Hasil output SPSS 20.0 yang telah diolah
Sebelum melakukan analisis regresi linier berganda terlebih dahulu dilakukan uji
asumsi klasik untuk memastikan model regresi layak untuk digunakan. Pengujian
data dalam penelitan ini menggunakan software SPSS versi 20.0.
Sukmawati dan Pasaribu
UG Jurnal Vol.11 No.03
2017, Halaman 6
+ '
Sebelum melakukan reg si berganda maka data perlu melewati uji asumsi klasik,
yang secara keseluruhan diperoleh bahwa data sudah lulus uji klasik (Tabel 3),
yaitu :
, + $
Dengan uji
!
"
#!
$ diperoleh nilai Asymp. Sig. sebesar
0,60 yang lebih besar dari 0.05 yang berarti data berdistribusi normal
, +
Dilihat dari nilai
atau%
&
(VIF), disimpulkantidak
adanya multikolinearitas karena nilai
≥ 0,10 atau nilai VIF ≤ 10
, + '
Uji Autokorelasi yang dinilai dari Durbin*Watson sebesar 1,93 menunjukkan
bahwa data terbebas dari autokorelasi
-, +
Uji Heteroskedastisitas yang dinilai dengan uji White menunjukkan bahwa
nilai probabilitas ( # '
) besar 0,065 (yang lebih tinggi dari 0,05)
menunjukkan bahwa data tidak mengandung masalah heteroskedastisitas
Tabel 3 Rekap Hasil Uji Klasik
,766
,600
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Model
Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
(Constant)
DKI
,885
DK
,827
KM
,891
Durbin-Watson
Probablitias (chi-square) pada Uji White
1,130
1,209
1,123
1
1,935
0, 065
Sumber : Hasil olahan SPSS
'
.
%
/
Setelah lulus uji klasik, maka analisis regresi berganda dapat dilanjutkan dengan uji
hipotesis secara parsial ataupun simultan. Hasil uji hipotesis dapat dilihat dari tabel 4 :
Tabel 4 : Hasil Uji Hipotesis Secara Parsial
Unstandardized Coefficients
Model
B
Std. Error
1 (Constant)
0,187
0,178
DKI
0,681
0,357
DK
-0,048
0,021
KM
0,011
0,146
Sumber : Hasil Olahan SPSS versi 20.00
Standardized
Coefficients
Beta
0,293
-0,354
0,012
T
1,053
1,907
-2,227
0,078
Dari tabel 3 diperoleh persamaan regresi sebagai berikut :
!" = #, %&' − #, #(&)* + #, ,&%)*- + #, #%%*. + /
Sig.
0,300
0,065
0,032
0,938
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 7
&
#
.
1. Nilai Konstanta
Nilai konstanta sebesar 0,187 menunjukkan bahwa jika variable*variabel
independen yaitu dewan komisaris independen (DKI), Jumlah Dewan Komisaris
(DK), jumlah Dewan Komisaris Independen (DKI) serta Perssentase Kepemilikan
Manajerial (KM) nilainya tetap (konstan) maka nilai Initial Return*nya akan
sebesar 0,187%
2. Jumlah Dewan Komisaris (DK)
Berdasarkan persamaan regresi diatas diperoleh nilai koefisien regresi untuk
variabel jumlah dewan komisaris (DK) adalah bernilai sebesar *0,048. Hal ini
menunjukkan bahwa jika ada penambahan 1 orang dewan komisaris (DK), maka
Initial Return akan berkurang sebesar 0,048% yang artinya dengan menambah 1
orang dewan komisaris akan menurunkan tingkat
sebesar 0,048%.
Semakin banyak jumlah Dewan Komisaris yang dimiliki oleh perusahaan maka
semakin baik pengawasan yang ada di perusahaan, yang akhirnya akan membuat
pasar bereaksi secara positif yang pada akhirnya akan membuat harga saham
perusahaan menjadi naik.Jika perusahaan sedang melakukan IPO, maka harga
saham yang terbentuk saat IPO bisa ditetapkan sedikit tinggi sehingga fenomena
bisa dihindari. Hingga hubungan antara jumlah Dewan Komisaris
dan fenomena
berjalan secara berbanding terbalik. Teori ini sejalan
dengan hasil yang dilakukan dalam penelitian ini, dimana jumlah Dewan
Komisaris semakin banyak akan mengurangi terjadinya
pada IPO.
3. Dewan Komisaris Independen (DKI)
Berdasarkan persamaan regresi diatas bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel
Dewan Komisaris Independen (DKI) bernilai sebesar 0,681. Hal tersebut
menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan proporsi jumlah Dewan Komisaris
Independen (DKI) sebesar 1%, maka
akan bertambah sebesar
0,681% yang artinya dengan menambah 1% proporsi jumlah Dewan Komisaris
Independen akan meningkatkan tingkat
sebesar 0,681%.
4. Kepemilikan Manajerial
Berdasarkan persamaan regresi diatas bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel
Kepemilikan Manajerial (KM) bernilai 0,011. Hal tersebut menunjukkan bahwa
jika terjadi kenaikan 1% proporsi saham yang dimiliki oleh pihak manajerial
(KM) dibanding jumlah keseluruhan saham yang beredar, maka Initial Return
akan bertambah sebesar 0,011% atau dengan kata lain dengan menaikkan 1%
proporsi kepemilikan saham oleh pihak Manajerial akan meningkatkan tingkat
sebesar 0,011%
Hasil uji hipotesis penelitian ini diperoleh seperti pada tabel 5 dan 6 di bawah ini :
Tabel 5 :Hasil Uji Parsial
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Model
B
Std. Error
Beta
1(Constant)
0,187
0,178
DK
*0,048
0,021
*0,354
DKI
0,681
0,357
0,293
KM
0,011
0,146
0,012
Sumber : Hasil Output SPSS 20.0 yang telah diolah
t
1,053
*2,227
1,907
0,078
Sig.
0,300
0,032
0,065
0,938
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 8
Dari tabel 5 di atas terlihat bahwavariasi fenomena
hanya dipengaruhi
oleh naik*turunnya jumlah Dewan Komisaris (DK) yang dilihat dari nilai signifikan
sebesar 0,032 yang kurang dari 0,05 sementara variabel proporsi Dewan Komisaris
Independen (DKI) dan proporsi Kepemilikan Manajerial (KM) tidak mempengaruhi
variasi fenomena dilihat dari nilai signifikansi yang lebih dari 0,05 yaitu 0,065 untuk
proporsi Dewan Komisaris Independen (DKI) dan 0,938 untuk proporsi Kepemilikan
Manajerial (KM).
Tabel 6 : Hasil Uji Simultan
Model
Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
,499
3
,166
4,286
,011b
Residual
1,357
35
Total
1,856
38
Sumber : Hasil olahan Output SPSS versi 20
,039
Regression
1
Dari hasil uji F (untuk melihat pengaruh semua variabel independen terhadap variabel
dependen) menunjukkan nilai signifikan sebesar 0,011 yang lebih kecil dari nilai 0,05.
Hal ini menunjukkan bahwa secara bersama*sama semua variabel independen dapat
mempengaruhi variasi fenomena
yang dinyatakan dengan
.
Sementara hasil uji koefisien derterminasi seperti pada tabel 7 berikut :
Model
1
Tabel 7 : Hasil Uji Koefisien Determinasi
R
R Square Adjusted R Square
,518a
,269
,206
Dari tabel 7 di atas menunjukkan bahwa hanya sekitar 20,6% variasi fonemana
dipengaruhi oleh variabel jumlah Dewan Komisaris (DK), proporsi
Dewan Komisaris Independen (DKI) dan proporsi Kepemilikan Manajerial (KM),
sementara sebesar 79,4% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ditiliti dalam dalam
penelitian ini seperti komite audit, ukuran perusahaan, tingkat profitabilitas dan
reputasi
.
#
/' '('$
#
0
Hasil perhitungan empiris dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah Dewan
Komisaris berpengaruh terhadap
yang ditandai dengan semakin besar
jumlah dewan komisaris dalam sebuah perusahaan maka akan menurunkan tingkat
saat perusahaan tersebut melakukan IPO.Keberadaan dewan komisaris
dalam jumlah yang optimal dalam perusahaan dapat meningkatkan pengawasan yang
lebih efektifterhadap kinerja perusahaan sehingga dapat mengurangi
serta asimetri informasi antara manajemen dengan pemegang saham.
Jumlah Dewan komisaris yang optimal juga dapat dijadikan sinyal calon
investor potensial menilai perusahaan telah dikelola dengan baik melalui pengawasan
yang lebih efektif dimana perusahaan akan bertindak adil untuk kepentingan prinsipal
dan bukan hanya semata untuk kepentingannya sendiri. Selain itu Dewan Komisaris
akan menurunkan munculnya
atau informasi*informasi yang
berlebihan, sehingga hal ini akan memancing reaksi pasar yang positif dimana pasar
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 9
akan lebih percaya akan informasi*informasi yang tersebar di pasar berhubungan
dengan
yang dilakukan perusahaan, dimana informasi yang baik akan
membentuk harga saham perusahaan menjadi lebih tinggi. Jika perusahaan sedang
melakukan IPO, maka harga saham yang terbentuk saat IPO bisa ditetapkan sedikit
tinggi sehingga fenomena
bisa dihindari. Hingga dapat dikatakan bahwa
besarnya jumlah Dewan Komisaris dapat mempengaruhi terjadinya
.
Hasil pengujian empiris pada penelitian ini menunjukkan bahwa benar ada
pengaruh jumlah Dewan Komisaris dengan fenomena
. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Rahmida (2012), Darmadi dan
Gunawan (2013), Sasongko dan Juliarto (2014) yang menyatakan bahwa jumlah
dewan komisaris berpengaruh terhadap
. Di sisi lain hasil penelitian ini
tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih dan Santoso (2008),
Yatim (2011), Auliya dan Januarti (2015) dan Purwanto
(2015) yang menyatakan
bahwa jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dewan komisaris independen tidak
berpengaruh terhadap
. Hal ini menunjukkan bahwa besar kecilnya dewan
komisaris independen dalam perusahaan tidak mempengaruhi
pada saat
perusahaan melakukan IPO. Tidak berpengaruhnya dewan komisaris independen
dalam perusahaan terhadap
saat perusahaan melakukan IPO diduga dapat
dikarenakan investor menilai keberadaan dewan komisaris independen di Indonesia
masih belum cukup efektif, investor menilai perusahaan akan lebih efektif apabila
diawasi oleh dewan komisaris yang lama yang lebih mengetahui mengenai kondisi
perusahaan yang sesungguhnya dibandingkan dengan dewan komisaris independen
yang notabenenya merupakan pihak eksternal perusahaan. Hal lain yang dapat
mendasari hasil penelitian ini yang menyebabkan dewan komisaris independen tidak
berpengaruh terhadap
, kemungkinan dibentuknya dewan komisaris
independen dalam perusahaan diduga hanya untuk memenuhi kebijakan yang
dibentuk oleh BAPEPAM sehingga keberadaan dewan komisaris independen dalam
perususahaan dinilai kurang efektif oleh calon investor. Sehingga hal tersebutlah yang
menyebabkan dewan komisaris independen tidak dapat mempengaruhi
pada saat perusahaan melakukan IPO.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmida
(2012), Sasongko dan Juliarto (2014), serta Purwanto
. (2015) yang menyatakan
bahwa dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap
Namun,
hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian Auliya dan januarti (2015) yang
menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh terhadap
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
terhadap
. Dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen
maka pihak manajemen akan berupaya untuk meningkatkan kualitas serta kinerja
perusahaan guna meningkatkan nilai perusahaan dikarenakan manajemen juga
memiliki porsi kepemilikan saham dalam perusahaan. Namun, secara umum
kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari perusahaan sampel yang digunakan
dalam penelitian menunjukkan rata*rata sebesar 14,36% yang berarti bahwa
kepemilikan manajerial rata*rata < 50% sehingga sebagian besar kepemilikan saham
dari pihak manajerial merupakan kepemilikan minoritas saat perusahaan akan
melakukan IPO. Rendahnya kepemilikan saham dari pihak manajemen tidak terlalu
mempengaruhi dalam kebijakan pengambilan keputusan penetapan harga penawaran
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 10
saham perdana pada saat RUPS. Sehingga hanya pihak yang memiliki porsi saham
yang tinggi yang memiliki kekuatan untuk memasukkan kepentingannya serta dapat
mempengaruhi kebijakan pengambilan keputusan penetapan harga penawaran saham
perdana, kondisi tersebut menunjukan bahwa kepemilikan manajerial tidak dapat
mempengaruhi
pada saat perusahaan melakukan IPO.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Kurniasih dan
Santoso (2008), Sasongko dan Juliarto (2014), serta hasil penelitian Auliya dan
Januarti (2015) yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
terhadap
. Namun, hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian
yang dilakukan oleh Kurniasih dan Arif (2008) yang berpengaruh tetapi tidak
signifikan dan Agulina (2014) bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap
(& #+%'$
Dari hasil perhitungan empiris 39 emiten terdaftar di BEI yang melakukan IPO
sekaligus mengalami
, dapat disimpulkan bahwa ternyata hanya jumlah
Dewan Komisaris yang mempengaruhi variansi fenomena
. Sehingga jika
perusahaan melakukan IPO untuk mencari sumber*sumber dana yang sangat
dibutuhkan untuk ekspansi usaha maka agar dana yang dapat dikumpulkan optimal
maka disarankan untuk tidak meremehkan jumlah Dewan Komisaris yang dimiliki,
sementara proporsi Dewan Komisaris Independen dan proporsi Kepemilikan
Manajerial cukup hanya pada ukuran yang ditetapkan regulasi agar dipenuhi.
Sementara itu juga faktor lain masih bisa dipertimbangkan seperti komite audit,
ukuran perusahaan, profitabilitas dan reputasi underwriter karena underwriter adalah
salah satu pihak penentu penetapan harga saham saat IPO.
'0!'. #+(!' '
Aini, Shoviyah Nur. 2013. Faktor*Faktor yang Mempengaruhi
Perusahaan IPO di BEI Periode 2007*2011. (
)
89.
*
Saham Pada
, Vol.1, No. 1, Hal.
Ali Syaiful, Hartono dan Jogiyanto. 2003. Pengaruh Pemilihan Metode Akuntansi terhadap
Tingkat
Saham Perdana. (
+
. Vol 6: 41*53.
Auliya, R., dan Januarti, I., 2015, Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap
Tingkat Underpricing IPO. !
,
,
.
/001#/0234 Thesis, Fakultas Ekonomika dan Bisnis.
Coles, J. L., Daniel, N. D. and Naveen, L. 2008. Boards: Does one size fit all? (
&
,
, 87, 329*356.
Darmadi, S., and Gunawan, R, 2012. Underpricing, Board Structure, and Ownership : An
Empirical Examination of Indonesian IPO firm. !! 5 ,
(
, pp. 1*36
Dalton, D.R., Daily, C.M., Ellstrand, A.E. and Johnson, J.L. 1999. Number of directors and
Financial performance: a meta*analysis, . +
)
(
, Vol. 42 No.
6,pp. 674*686.
Handayani, Sri Retno. 2008. Analisis Faktor*Faktor yang Mempengaruhi Underpricing pada
Penawaran Umum Perdana. . . Program Pascasarjana Magister Manajemen.
Universitas Diponegoro
UG Jurnal Vol.11 No.03
Sukmawati dan Pasaribu
2017, Halaman 11
Handono, Dora Bunga Roostarica. 2010. Analisis Faktor*Faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Underpricing Saham Perdana di Bursa Efek Indonesia. !
. Universitas Pasundan.
Bandung.
Jensen, M., and Meckling, W. 1976. Theory of The Firm : Managerial Behavior, Agency Cost
and Ownership Structure. (
&
,
, Vol. 3(4). pp. 350*360
Johnson, 2013. Analisis Faktor*Faktor yang Memperngaruhi Underpricing Harga Saham IPO
Perusahaan yang Terdaftar di BEI”, Skripsi
Kurniasih, Lulus dan Arif. L.S. 2008. Bukti Empiris Fenomena Underpricing dan Pengaruh
Mekanisme Corporate Governance (
,
"
, Vol. 8, No. 1,
Hal.1–15
Leland, H.E., and Pyle, D.H. 1997. Informational Asymmetries, Financial Structure, and
Financial Intermediation, . (
&
, Vol. XXXII(2). Pp. 371*387
Lin C.P., and Chuang, C.M, 2011. Principal*pricipal Confilcts and IPO Pricing in an
Emerging Economy.
6+
, Vol. 19(6), pp. 585*
600.
Mnif Anis, 2010. Broad of Directors and The Pricing of Initial Public Offerings : Does The
Exixtence of A Properly Structure Board Matter? Evidence From France. France : La
place de la dimension européenne dans la Comptabilité Contrôle Audit, Strasbourg
Prastiwi, A., dan Kusuma, 2001. Analisis Kinerja Surat Berharga setelah Penawaran Perdana
(IPO) di Indonesia. (
,
, Vol. 16(2). pp 177*187
Purwanto, Sri Wahyu Agustiningsih, Salman Faris Insani, dan Budi Wahyono. 2015.
Fenomena Underpricing pada Perusahaan yang
di Indonesia. ,
7
"
, 3 (1): hal. 22*43.
Rahmida, A.R. 2012. Pengaruh Karateristik Dewan Komisaris, Keberadaan Komite Audit,
Kualitas Auditor Eksternal, dan Monitoring Bank terhadap Underpricing saat Initial
Public Offering. .
Magister Manajemen Universitas Indonesia. Hal 1*11.
Samsul, Mohammad. 2006. Pasar Modal dan Manajemen Portofolio. Jakarta: Erlangga.
Sari, Ardhini Yuma. 2010. Analisis Faktor*Faktor yang Mempengaruhi Underpricing pada
Penawaran Umum Perdana. !
Program Sarjana Fakultas Ekonomi.Universitas
Diponegoro
Sasongko, Bangkit. 2014. Analisis Pengaruh Tata Kelola Perusahaan Terhadap Tingkat
Underpricing Penawaran Umum Perdana Saham. 8
(
+
,
Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 1*1.
Suyatmi dan Sujadi, 2006. Faktor*Faktor yang MempengaruhiUnderpricing pada Penawaran
Umum Perdana di Bursa Efek Jakarta. , Vol. 10, No.1.
Williamson, O.E. 1985. The Economic Institutions of Capitalism, The Free Press, New York,
NY.
Yatim, 2011. Underpricing and Board Structures : An Investigation of Malaysian Initial
Public Offering (IPOs). +
+
)
(
+
&
,
Vol. 7(1), pp. 73*93