Motivasi Pembelajaran Bahasa Arab dalam

MOTIVASI PEMBELAJARAN BAHASA ARAB
DALAM PERSPEKTIF SOSIODINAMIKA
Pembelajaran bahasa asing terkait dengan motivasi.
Terdapat asumsi yang menyebutkan bahwa orang yang
memiliki keinginan, dorongan atau tujuan yang ingin dicapai
dalam belajar bahasa asing cenderung akan lebih berhasil
dibandingkan dengan orang yang belajar tanpa dilandasi
motivasi tersebut. Demikian juga dengan motivasi
pembelajaran bahasa Arab di Indonesia yang dianggap
sebagai bahasa asing. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa
motivasi pembelajaran bahasa Arab tidak bisa terlepas dari
konteks dan perspektif sosiodinamika yang mengiringi
perkembangannya.
A. Kompleksitas Makna Motivasi
Motivasi merupakan salah satu faktor yang harus
diperhatikan dalam proses pembelajaran. Kata motivasi
(motivation) diturunkan dari kata kerja bahasa Latin movere
yang berarti ‘to move’ (bergerak). Pertanyaan inti dari teori
maupun riset tentang motivasi adalah apa yang
menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu,
berusaha dan terlibat dalam suatu kegiatan.1 Motivasi

mengacu pada “alasan terjadinya sesuatu”.2 Motivasi juga
digambarkan sebagai kekuatan pendorong yang memberikan
energi dan mengarahkan perilaku manusia. Variabel-variabel
internal
yang
dimiliki
seseorang
termasuk
emosi,
pembelajaran, pemecahan masalah, dan pemrosesan
informasi sangat terkait dengan motivasi.3
Satu hal yang mungkin disepakati para peneliti
motivasi adalah mengenai arah atau gerak dari perilaku
manusia yang meliputi pilihan dari tindakan tertentu,
1

Zoltan Dörnyei dan Ema Ushioda, Teaching and Researching
Motivation (Harlow: Pearson Education Limited, 2011), 3.
2
Frederic Guay, Chanal, J., Catherine F. Ratelle, C. F., Marsh, H. W.,

Larose, S., & Boivin, M. (2010). “Intrinsic, identifed, and controlled types
of motivation for school subjects in young elementary school children.”
British Journal of Educational Psychology, 80 (4), 711–735.
3
Lihat Eva Dreikurs Ferguson, “Motivation” dalam W. Edward
Craighead and Charles B. Nemerof (eds),
The Concise Corsini
Encyclopedia of Psychology and Behavioral Science: Third Edition (New
Jersey: John Wiley & Sons, 2004), 585-587.

1

keseriusan dalam menekuni pilihan itu, dan usaha yang
ditempuh untuk mewujudkan pilihan itu. Dengan kata lain,
motivasi bertanggung jawab dalam hal mengapa seseorang
memutuskan untuk melakukan sesuatu, seberapa lama ia
mempertahankan aktivitasnya, dan seberapa gigih ia
mengejar tujuannya.
Teori motivasi di masa lalu yang lebih memfokuskan
pada faktor-faktor internal bawah sadar atau emosi dan

insting yang membentuk perilaku manusia dipengaruhi oleh
temuan Freud (sekitar tahun 1966). Periode itu merupakan
masa pertengahan abad ke-20, saat pengetahuan tentang
motivasi seseorang terfokus pada proses kognitif sadar
seperti tujuan dan harapan, kepercayaan diri dan penafsiran
atas kejadian yang membentuk perilaku manusia. Oleh
karena itu, fokus kajian terbagi antara proses motivasional
sadar atau tidak sadar, sebagaimana halnya peranan kognisi
dan afeksi dalam motivasi, dengan sedikit sekali teori yang
mengintegrasikan afeksi dan kognisi dalam kerangka teori
yang utuh.
Para peneliti juga memberikan perhatian selektif pada
tahapan yang beragam dari proses motivasi dengan
memfokuskan pada fase motivasional awal dalam memilih
dan menentukan perilaku atau pada dampak dari perilaku
maupun pengalaman motivasi. Terbaginya fokus perhatian
ini merefeksikan sejarah perdebatan antara dunia
pendidikan yang menganggap bahwa motivasi adalah ‘sebab’
atau ‘dampak’ dari pembelajaran, dengan konsensus umum
tentang fungsi motivasi dalam hubungan belajar yang

siklikal.
Hal ini diteorikan dengan istilah siklus positif dimana
motivasi yang tinggi akan berdampak pada prestasi tinggi
dan akan menghasilkan motivasi tinggi lagi. Demikian juga
denga siklus negatif dimana motivasi yang rendah akan
berdampak pada pencapaian yang rendah juga dan pada
akhirnya menghasilkan motivasi yang rendah. Sebagian
besar fokus penelitian tertuju pada bagaimana siklus negatif
tadi bisa diputus dengan memodifkasi proses kognitif seperti
persepsi diri si pembelajar yang dapat menghubungkan
antara motivasi dan pembelajaran.4
4

Dörnyei dan Ushioda, Teaching and Researching Motivation, 6.

2

Dalam kaitannya dengan motivasi pembelajaran
bahasa kedua, Dörnyei dan Otto mendefnisikan motivasi
sebagai sejumlah faktor pendongkrak yang dinamis dalam

diri
seseorang
yang
menginisiasi,
mengarahkan,
mengkoordinasikan,
menguatkan,
menegaskan,
dan
mengevaluasi proses kognitif dan motorik saat keinginan dan
harapan dipilih, diprioritaskan, dioperasionalisasikan dan
diaktualisasikan, baik berhasil maupun tidak.5
Terdapat
dua
perspektif
dalam
dunia
sosial:
individualistik dan sosial. Para ahli psikolog mengamati
bahwa hubungan antara pribadi seseorang dengan

lingkungan sosial termasuk ke dalam salah satu tipikal dari
dua perspektif tersebut. Dalam perspektif individualistik,
kompleksitas lingkungan sosial adalah satu-satunya hal
penting yang tercermin dalam proses mental individu dan
sikap, keyakinan dan nilai-nilai yang terbentuk. Perspektif ini
memandang dinamika sosial melalui sudut pandang individu
dan hal ini sering dieksploitasi oleh teori kognisi sosial yang
mendalami bagaimana individu berproses dan menghasilkan
informasi tentang orang lain dan bagaimana proses mental
mempengaruhi interaksi seseorang dengan orang lain.6
Di sisi lain, perspektif sosial lebih memfokuskan
perhatiannya
pada
proses
sosial
dan
faktor-faktor
makrokontekstual, seperti norma-norma sosiokultural, relasi
antar kelompok, proses akulturasi dan asimilasi serta konfik
antaretnik. Dari perspektif ini, individu biasanya dipandang

sebagai ‘pion’ yang perilakunya diatur oleh kekuatan yang
begitu besar dalam konteks lebih luas. Paradigma yang
paling berpengaruh dalam konteks ini adalah teori identitas
sosial. Pertentangan antara dua perspektif ini telah menjadi
salah satu dilema yang paling mendasar dalam psikologi
sosial sehingga membagi para peneliti ke dalam dua kubu
yang berseberangan.7
Terkait kompleksitas motivasi pembelajar, Weiner
berpandangan bahwa teori motivasi pembelajar harus
memasukkan berbagai konsep dan relasi yang saling
terhubung. Teori apapun yang berdasarkan pada konsep
5

Zoltan Dörnyei dan Istvan Otto, “Motivation in action: A process
model of L2 motivation. Working Papers in Applied Linguistics (Thames
Valley University, London), 1998, 4: 43-69.
6
Dörnyei dan Ushioda, Teaching and Researching Motivation, 7.
7
Dörnyei dan Ushioda, Teaching and Researching Motivation, 7.


3

tunggal, baik itu konsep penguatan, kepercayaan diri,
motivasi optimal, atau yang lainnya, tidak akan cukup untuk
mengantisipasi kompleksitas proses belajar mengajar di
kelas.8
Sementara
itu,
Ushioda
menegaskan
tentang
interdependensi motivasi dalam belajar bahasa asing dengan
materi lainnya. Para peneliti cenderung menempatkan
motivasi pembelajaran bahasa dalam ruang isolasi. Berbagai
kajian menekankan distingsi dari motivasi mempelajari
bahasa dengan mengidentifkasi implikasi perilaku dan
kejiwaan dari penguasaan seperangkat kebiasaan baru dan
masuknya‘elemen budaya lain ke dalam kehidupan pribadi
seseorang’.

Namun, mungkin yang terlupakan dalam prosesnya
adalah realitas bahwa pembelajar bahasa ibu pada saat yang
sama adalah pembelajar matematika, sejarah, sains atau
mata pelajaran lain. Perspektif relatif ini boleh jadi bersifat
instrumental
dalam
membantu
menentukan
atau
memodifkasi struktur tujuan dari motivasi pembelajaran
bahasa
di
kalangan
siswa,
sebagaimana
halnya
mempertimbagkan pro dan kontra dalam hal menentukan
pilihan yang khusus dan menentukan arah keterampilan yang
beragam.9
Sementara itu, Dörnyei menawarkan konsep yang lebih

dinamis tentang motivasi. Pada umumnya, motivasi dianggap
sebagai penggunaan efek linier dalam perilaku yang
kemudian bisa digambarkan secara kuantitatif melalui
analisis berbasis korelasi. Meski demikian, motif-motif
tersebut ditafsirkan sebagai faktor penarik yang tidak perlu
memiliki hubungan linear dengan tindakan yang dilakukan.
Tarikan atau dorongan motif tersebut dipengaruhi oleh
beragam tarikan dan dorongan lainnya, dan kekuatan relatif
tarikan atau dorongan itu akan tercermin melalui konstelasi
khusus dari lingkungan dan faktor-faktor temporer. Ini
8

Bernard Weiner, “Principles for a theory of a student motivation
and their application within an attributional framework” dalam Ames, R
dan Ames, C (eds), Research on Motivation in Education: Student
Motivation. Vol 1. San Diego: Academic Press, 1984: 15-38, 18.
9
Ema Ushioda, “Efective motivational thinking: A cognitive
theoretical approach to study of language learning motivation,” dalam
Soler, E.A dan Espurz, V.C. (eds), Current Issue in English Language

Methodology. Castello de la Plana: Universitat Jaume I, 1998: 77-89, 83.

4

berarti, misalnya, sesuatu yang sudah tidak signifkan
beberapa waktu yang lalu bisa dianggap sudah lewat atau
masih berlangsung sampai sekarang, tergantung dari
lingkungan sekitarnya. Karena itulah, konsep dinamis ini
membutuhkan pendekatan baru dalam menguji berbagai
indikasi perilaku yang termotivasi.10
Dari perspektif psikologi, Deci sebagaimana dikutip
Dörnyei & Ushioda menyatakan bahwa motivasi intrinsik
memberikan kekuatan dan mempertahankan aktivitas
melalui kepuasan spontan yang inheren dalam keinginan
yang efektif. Hal ini terwujud dalam perilaku seperti
pencarian permainan, eksplorasi dan tantangan yang sering
orang kerjakan untuk apresiasi dari luar. Para peneliti sering
mengkonfrontasikan motivasi intrinsik dengan motivasi
ekstrinsik yang mana motivasi ini dipengaruhi oleh berbagai
kemungkinan penguatan. Pada umumnya, para pendidik
mempertimbangkan motivasi intrinsik sebagai hal yang
diinginkan dan memicu hasil pembelajaran yang lebih baik
dibanding motivasi ekstrinsik.11 Motivasi intrinsik masih
menjadi
konstruksi
penting
dalam
mencerminkan
kecenderungan manusia untuk belajar dan berbaur.
Sedangkan motivasi ekstrinsik mencerminkan kontrol
eksternal atau pengendalian diri yang sebenarnya. 12
Perdebatan seperti inilah yang pada akhirmya menjadikan
makna motivasi semakin kompleks untuk dipahami.
B. Motivasi Belajar Bahasa Asing: Tinjauan Sejarah
Terdapat perbedaan mendasar antara bahasa asing
dengan bahasa kedua. Bahasa asing adalah bahasa yang
digunakan oleh orang asing di luar lingkungan masyarakat
atau bangsa. Sedangkan bahasa kedua adalah bahasa yang
digunakan di masyarakat luas, atau bahasa yang diperoleh
seseorang dalam pergaulannya di masyarakat setelah
mempelajari bahasa ibu. Selanjutnya proses pembelajaran

10

Zoltan Dörnyei, The Psychology of Second Language Acquisition
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 210–211.
11
Dörnyei dan Ushioda, Teaching and Researching Motivation, 5.
12
Richard M. Ryan and Edward L. Deci, “Intrinsic and Extrinsic
Motivations: Classic Defnitions and New Directions, Contemporary
Educational Psychology 25, (2000): 54–67.

5

bahasa asing ini setidaknya melibatkan tiga disiplin ilmu,
yaitu linguistik, psikologi dan pendidikan.13
Salah satu kajian psikologi dalam pembelajaran bahasa
asing
adalah
motivasi.
Dalam
kaitannya
dengan
pembelajaran bahasa, Gardner menyatakan bahwa motivasi
memegang peranan penting dengan beragam caranya dalam
proses pembelajaran bahasa asing.14 Dörnyei, sebagaimana
dikutip Khodady dan Khajavy, menyebutkan bahwa motivasi
merupakan daya dukung utama untuk menginisiasi
pembelajar bahasa asing dan kemudian menjadi kekuatan
pendorong untuk bertahan pada saat proses pembelajaran
bahasa sering kali membuat bosan. 15 Sementara itu,
MacIntyre menyebutkan bahwa motivasi memiliki pengaruh
yang penting dalam mengkombinasikan strategi belajar yang
harus dilakukan siswa dalam belajar bahasa.16 Meskipun pada
beberapa kasus, peranan motivasi dalam proses belajar
bahasa kedua belum dapat dipastikan.17
Dari tinjauan psikologi sosial, motivasi merupakan
salah satu faktor utama dalam pembelajaran bahasa dan
kunci sukses untuk meningkatkan intensitas belajar dan
memilih strategi belajar.18 Penelitian tentang motivasi
pembelajaran bahasa asing tertuju pada apa yang
menjadikan seseorang ingin mempelajari bahasa asing dan
apa yang menjaga dia untuk senantiasa termotivasi untuk
mempelajari bahasa asings tersebut. Meski demikian,
motivasi mempelajari bahasa asing merupakan masalah
yang kompleks, mengingat bahasa selalu terikat konteks
13
Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 31.
14
Robert C. Gardner, “Motivation and Second Language
Acquisition,” Porta Linguarum 8 (2007): 9-20.
15
Ebrahim Khodady dan Gholam Hassan Khajavy, “Exploring the
Role of Anxiety and Motivation in Foreign Language Achievement: A
Structural Equation Modeling Approach”, Porta Linguarum 20 (2013): 269286.
16
Peter MacIntyre, “Toward a social psychological model of
strategy use,” Foreign Language Annals 27 (2) (1994): 185-195.
17
Abdul Chaer, Psikolinguistik: Kajian Teoretik (Jakarta: Rineka
Cipta, 2009), 252.
18
Martha Nyikos dan Rebbeca Oxford. “A Factor Analytic Study of
Language Learning Strategy Use: Interpretations from InformationProcessing Theory and Social Psychology.” Modern Language Journal 77,
(1993): 11-22.

6

sosial dan budaya, dan karena itu sedikit berbeda dari kajian
lain. Lebih spesifk lagi, penguasaan bahasa asing juga
merupakan peristiwa sosial yang selalu diiringi oleh unsurunsur kebudayaan dari bahasa asing itu sendiri.19
Terkait
pembelajaran
bahasa
asing,
motivasi
mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi integratif dan fungsi
instrumental. Fungsi integratif dimaknai sebagai motivasi
yang mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa
karena adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan
masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota
masyarakat bahasa tersebut. Sementara itu, motivasi
menjadi berfungsi instrumental ketika seseorang memiliki
kemauan untuk mempelajari bahasa kedua karena tujuan
yang bermanfaat atau karena ingin mendapatkan suatu
pekerjaan
atau
status
sosial
pada
strata
atas
20
masyarakatnya.
Secara umum, penelitian tentang motivasi dalam
pembelajaran bahasa asing terbagi menjadi tiga periode.
Dörnyei menjelaskan tiga periode tersebut sebagai berikut:
1. The social psychological period (1959–1990) yang
ditandai dengan temuan Gardner berikut para murid dan
koleganya di Kanada.
2. The cognitive-situated period (sepanjang tahun 1990-an)
yang ditandai dengan temuan-temuan tentang teori
kognitif dalam psikologi pendidikan.
3. The process-oriented period (lima tahun terakhir) ditandai
dengan minat terhadap perubahan motivasi yang diinisasi
oleh temuan Dörnyei, Ushioda, dan kolega-kolega mereka
di Eropa.21
Sementara itu, Ramage menemukan bahwa motivasi
intrinsik memiliki kontribusi lebih besar terhadap penguasaan
bahasa asing dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik. 22
Pada tahun 1996, Schmidt, Boraie & Kassabgy melalui
19

Jenni Muhonen, “Second Language Demotivation: Factors That
Discourage Pupils From Learning The English Language,”tesis di
University Of Jyväskylä, 2004, 5.
20
Abdul Chaer, Psikolinguistik: Kajian Teoretik (Jakarta: Rineka
Cipta, 2009), 251.
21
Dörnyei & Ushioda, Teaching and Researching Motivation, 39-40.
22
Katherine Ramage, “Motivational Factors and Persistence in
Foreign Language Study”, dalam Language Learning, 40, (1990): 189219.

7

penelitiannya mengidentifkasi dua fenomena yang saling
terkait antara motivasi dan demotivasi yang diteliti dari
warga Arab yang mempelajari bahasa Inggris. Dalam
penelitian tentang motivasi di kalangan warga Mesir yang
mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa asing, diantara
faktor yang lain, maka tiga dimensi motivasi yaitu pengaruh
(afect), orientasi tujuan (goal orientation) dan harapan
(expectancy) menjadi faktor utama motivasi.23
Malcolm melakukan survei tentang bagaimana para
mahasiswa
kedokteran
Arab
terus
meningkatkan
kemampuan bahasa Inggris setelah mereka menyelesaikan
kursus bahasa Inggris yang diwajibkan oleh program studi
mereka. Sebagai pembelajar bahasa yang sukses, tidaklah
mengejutkan bahwa hampir semua dari mereka merasa
bahwa bahasa Inggris sangat penting bagi kepentingan studi
mereka saat ini dan karir di masa depan. Yang lebih menarik
adalah bahwa 80% dari mereka menyebutkan beberapa
alasan yang bersifat personal, seperti berkomunikasi dengan
teman, yang menjadikan bahasa Inggris penting bagi
mereka. Malcolm menyimpulkan bahwa kelompok mahasiswa
kedokteran ini memiliki motivasi yang kuat untuk bisa
berbahasa Inggris dengan baik.24
Dalam penelitian lainnya, Keblawi meminta para siswa
Palestina untuk membuat tulisan tentang faktor yang
membuat mereka mengalami penurunan motivasi dalam
mempelajari bahasa Inggris. Hasil analisis menunjukkan
bahwa dua kategori umum terlihat dominan: faktor
demotivasi kontekstual lebih dipengaruhi oleh guru dan
teman kelas, sedangkan faktor demotivasi dari sisi subjek
pembelajaran berasal dari kesulitan tatabahasa dan kosakata
bahasa Inggris.25 Di Uni Emirat Arab, Qashoa menguji
23

Richard Schmidt, Deena Boraie, & Omneya Kassabgy, “Foreign
Language Motivation: Internal Structure and External Connections.”
dalam Rebbeca Oxford (Ed.), Language Learning Motivation: Pathways to
the New Century. (Technical Report 11) Honolulu: University of Hawai‘i,
Second Language Teaching & Curriculum Center (1996): 9–70.
24
Malcolm, “Investigating Successful English Learners in Arab
Medical Schools,” Supporting Independent Learning in the 21st Century:
Proceedings of the Inaugural Conference of the Independent Learning
Association, Melbourne (2003): 13–14.
25
Faris Keblawi. “Demotivation among Arab Learners of English as
a Foreign Language.” dipresentasikan pada the Second International
Online Conference on Second and Foreign Language Teaching and

8

motivasi instrumental dan integratif di kalangan siswa
sekolah menengah yang mempelajari bahasa Inggris.
Penelitian ini menemukan bahwa motif instrumental lebih
tinggi preferensinya dibanding motif integratif. Temuan ini
juga mengindikasikan bahwa kesulitan mempelajari aspek
bahasa Inggris seperti kosa kata, struktur bahasa dan ejaan
dianggap sebagai faktor utama dalam penurunan motivasi.26
Di tempat lain, Trang and Baldauf Jr. menemukan
bahwa di antara empat kategori yang berhubungan dengan
guru, metode penyampaian guru merepresentasikan sumber
utama turunnya motivasi para siswa Vietnam untuk
mempelajari bahasa Inggris. 27Sementara itu, Ghaith and Diab
mempelajari pengaruh faktor spesifk dalam perkembangan
kemampuan para mahasiswa Saudi. Temuan yang menarik
dari kajian ini adalah adanya hubungan antara motivasi
dengan partisipasi kelas. Temuan ini juga menekankan
perlunya latihan-latihan yang sesuai dengan perkembangan
siswa dengan mengacu pada bahan ajar yang menarik,
memotivasi dan mudah dipelajari.28
Pada tahun 2009, al-Tami>mi> and Shuib meneliti
beberapa siswa Yaman dalam hal motivasi dan sikap mereka
terhadap bahasa Inggris sebagai persyaratan masuk
universitas. Hasil temuannya adalah para siswa lebih
termotivasi secara instrumental namun tidak terlalu
termotivasi secara integratif.29 Sementara itu, dalam konteks
turunnya motivasi pembelajaran bahasa Arab di Malaysia,
Aladdin menyebutkan sembilan faktor pemicunya, masingmasing adalah: karakter bahasa Arab itu sendiri, guru,
lingkungan kelas, sikap negatif terhadap bahasa asing, bahan
Research, United States: The Reading Matrix Inc, (2005): 49-78.
26
Suleiman Hussein Qashoa,“Motivation among Learners of English
in the Secondary Schools in the Eastern Coast of UAE, disertasi pada
British University, Dubai, UAE, 2006.
27
Trang & Baldauf Jr., “Demotivation: Understanding resistance to
English language learning – the case of Vietnamese students.” The
Journal of Asia TEFL, 4(1), (2007) :79–105.
28
Ghaith & Diab,“Determinants of EFL Achievement among Arab
College-Bound Learners.”Education, Business and Society Contemporary
Middle Eastern Issues, 1(4)(2008): 278–286.
29
Al-Tamimi& Shuib, “Motivation and attitudes towards learning
english: A study of petroleum engineering undergraduates at Hadhramout
University of Sciences and Technology.” GEMA Online Journal of Language
Studies, 9(2)(2009): 29–55.

9

ajar, kewajiban mempelajari bahasa Arab, durasi waktu,
kurangnya kesempatan untuk berkomunikasi dalam bahasa
Arab dan kurangnya kemampuan berbahasa. 30
Dari berbagai penelitian di atas, dapat dikemukakan
bahwa faktor yang mempengaruhi motivasi pembelajaran
bahasa asing bukan hanya berasal dari faktor individual
semata, tetapi juga oleh ruang sosiodinamika yang
melingkupi proses pembelajaran bahasa asing itu sendiri.
C. Motivasi Pembelajaran Bahasa Arab di Indonesia:
Perspektif Sosiodinamik
Bahasa dalam perspektif pakar linguistik deskriptif
didefnisikan sebagai satu lambang bunyi yang bersifat
arbitrer dan digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat
untuk berinteraksi dan mengidentifkasikan diri.31 Pengertian
ini mengandung dua hal, hakekat bahasa dan fungsi bahasa.
Pada hakekatnya, bahasa merupakan sejumlah subsistem
yang membangun suatu sistem, terdiri dari subsistem
fonologi, sintaksis dan leksikon. Sistem lambang bahasa
bersifat arbitrer yang mengandung makna bahwa antara
lambang yang berupa bunyi tidak memiliki hubungan wajib
dengan konsep yang dilambangkannya. Sementara
itu
fungsi bahasa dalam perspektif linguistik deskriptif adalah
alat interaksi dan komunikasi dalam masyarakat.32
Dalam konteks pembelajaran bahasa asing, terdapat
dua teori utama yang berkembang dan berpengaruh, yaitu
teori behaviorisme dan teori mentalisme. Teori behaviorisme
digagas oleh Skinner yang menetapkan dan mengakui
adanya penguatan. Ia menyimpulkan bahwa apabila sesuatu
perbuatan lebih sering terjadi, maka itu disebut sebagai
penguatan yang positif, dan apabila perbuatan itu tidak
terulang lagi, maka penguatan tersebut bersifat negatif.33
Teori mentalisme yang digagas Chomsky kemudian muncul
sebagai kritik atas teori behaviorisme. Chomsky menyatakan
bahwa tingkah laku manusia jauh lebih rumit daripada
30

Ashinida Aladdin, “Demotivating factors in the Arabic language
clasroom: What demotivates non-Muslim Malaysian learners when it
comes to learning Arabic?” Procedia - Social and Behavioral Sciences 93
( 2013), 1652 – 1657.
31
Chaer, Psikolinguistik …, 30.
32
Chaer, Psikolinguistik …, 31.
33
Hermawan, Metodologi Pembelajaran …, 49.

10

tingkah laku binatang sehingga pemerian stimulus eksternal
dan respons tidak akan mampu menentukan tingkah laku
bahasa dan yang mampu memikul tanggung jawab tingkah
laku bahasa hanyalah kemampuan bawaan.34
Penguasaan dan pembelajaran bahasa asing terkait
dengan studi tentang cara seseorang menjadi mampu
menggunakan satu atau lebih bahasa yang berbeda dengan
bahasa ibu. Proses tersebut dapat mengambil tempat dalam
setting alami atau melalui instruksi kelas yang formal dan
meskipun tingkat kefasihan yang dikuasai masih menjadi
topik kontroversial, penguasaan itu dapat dimulai sejak masa
kanak-kanak atau selama masa dewasa.
Keberhasilan dalam penguasaan bahasa kedua
tergantung dari banyak faktor. Faktor usia dan motivasi
termasuk dalam faktor terpenting. Dalam berbagai kajian
ditemukan bahwa jika seorang pembelajar memiliki
kompetensi dalam bahasanya sendiri, maka ia lebih
mendapatkan keuntungan berbahasa dibanding orang yang
tidak menuntaskan bahasa ibunya.
Begitu juga dengan
motivasi, seorang pembelajar yang termotivasi lebih berhasil
dalam penguasaan bahasa asing dibanding mereka yang
tidak termotivasi.35
Salah satu bahasa asing yang dipelajari di Indonesia
adalah bahasa Arab. Dalam peraturan Menteri Agama RI
nomor 2 tahun 2008 tentang Standar Kompetensi dan
Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab
disebutkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa asing. Adapun
tujuan mata pelajaran bahasa Arab itu adalah: (1)
mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa
Arab, baik lisan maupun tulis, yang mencakup empat
kecakapan berbahasa, yaitu menyimak (istima>‘), berbicara
(kala>m), membaca (qira>’ah), dan menulis (kita>bah), (2)
menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya bahasa Arab
sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama
belajar, khususnya dalam mengkaji sumber-sumber ajaran
Islam, dan (3) mengembangkan pemahaman tentang

34

Hermawan, Metodologi Pembelajaran …, 49.
Mehmet Nuri Gömleksiz, “The Efects Of Age And Motivation
Factors On Second Language Acquisition,” Sosyal Bilimler Dergisi (2001)
11 (2).
35

11

keterkaitan antara bahasa dan budaya serta memperluas
cakrawala budaya.
Dari sisi orientasi pembelajaran bahasa Arab di
Indonesia, sekurang-kurangnya ada empat orientasi yang
berkembang di kalangan pembelajar, masing-masing sebagai
berikut: (1) orientasi relijius, yaitu belajar bahasa Arab untuk
kepentingan memahami dan memahamkan ajaran Islam, (2)
orientasi akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan
memahami ilmu-ilmu dan keterampilan berbahasa Arab, (3)
orientasi professional/praktis dan pragmatis, yaitu belajar
bahasa Arab untuk kepentingan profesi, praktis atau
pragmatis seperti mampu berkomunikasi lisan dalam bahasa
Arab untuk menjadi TKI, dan (4) orientasi ideologis dan
ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab untuk memahami dan
menggunakan bahasa Arab sebagai media bagi kepentingan
orientalisme, kapitalisme dan sebagainya.36
Pada bulan November 2013, British Council merilis
sebuah laporan tentang fenomena menurunnya motivasi
belajar bahasa asing di kalangan orang Inggris.Worne dari
British Council mengemukakan bahwa Inggris membutuhkan
orang yang menggunakan bahasa baru seperti Arab, Cina
dan Jepang. Sebuah jajak pendapat di Inggris menemukan
bahwa 75% orang dewasa di Inggris tidak menguasai satu
pun dari sepuluh bahasa asing yang dianggap penting untuk
dipelajari. Sekitar 15% dari populasi Inggris mengatakan
mereka dapat berbicara dalam bahasa Prancis.Tapi hanya 6%
yang juga bisa bercakap-cakap dalam bahasa Jerman, 4%
dalam bahasa Spanyol dan 2% dalam bahasa Italia.37
Yang menarik dari laporan tersebut adalah bahasa Arab
dianggap sebagai bahasa kedua yang penting untuk
dipelajari oleh warga Inggris setelah bahasa Spanyol. Dalam
laporan bertajuk The Languages for the Future, British
Council menyebutkan bahasa Spanyol, Arab, Perancis,
Mandarin, Jerman, Portugis, Italia, Rusia, Turki dan Jepang
36

Muhbib Abdul Wahab, Epistemologi dan Metodologi Pembelajaran
Bahasa Arab (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008),
105-106. Lihat juga Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa
Arab, 89-90
37
Lihat “Inggris kekurangan tenaga ahli bahasa,”BBC Indonesia, 20
November
2013,http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2013/11/131120_majalahlai
n_ahlibahasa.shtml. (diakses pada 13 Desember 2013).

12

sebagai bahasa yang paling penting bagi warga Inggris untuk
20 tahun ke depan. Bahasa-bahasa ini dipilih berdasarkan
faktor ekonomi, geopolitik, budaya dan pendidikan termasuk
kebutuhan bisnis negara Inggris, target perdagangan luar
negeri Inggris, prioritas keamanan dan diplomatik, serta
prevalensi di internet.38
Dalam konteks internasional, bahasa Arab semakin
diakui eksistensinya. Sebagai contoh, pada tahun 2012,
UNESCO menetapkan tanggal 18 Desember sebagai World
Arabic Language Day. Inisiatif ini diprakarsai oleh Maroko and
Saudi Arabia. Bahasa Arab merupakan bahasa dari 22 negara
anggota UNESCO dan termasuk salah satu bahasa resmi
organisasi tersebut. Bahasa Arab juga termasuk dalam
bahasa yang paling banyak digunakan di dunia dengan
kurang lebih 422 juta penutur yang mayoritas tinggal di
Timur Tengah dan Afrika Utara. Bahasa Arab mulai menjadi
bahasa resmi PBB sejak tanggal 18 Desember 1973.39
Belum lagi jika eksistensi bahasa Arab dikaitkan
dengan Alquran, Ibn Rasla>n menyebutkan bahwa salah satu
karakteristik bahasa Arab adalah korelasinya dengan Alquran
sejak empat belas abad yang lalu. Melalui bahasa Arab yang
menjadi bahasa pengantar Alquran, peradaban bangsa Arab
dibangun dengan berbagai peristiwa yang mengiringinya.40
Dalam konteks Indonesia, relasi bahasa Arab dengan
bangsa Indonesia sudah terjalin sejak beberapa abad lalu.
Steenbrink mengutip Natsir menyebutkan bahwa terdapat
hubungan orang Indonesia sejak berabad-abad lamanya
38

Lihat
http://www.britishcouncil.org/organisation/publications/languages-future
(diakses 13 Desember 2013). Untuk laporan selengkapnya, lihat Teresa
Tinsley dan Kathryn Board, Languages for the Future:Which Languages
the UK Needs Most and Why(British Council, 2013), 3.
39
Untuk lebih memperkuat keanekaragaman bahasa dan budaya,
maka pada tanggal 19 Februari 2010, PBB melalui Department of Public
Information mengumumkan peringatan hari internasional untuk keenam
bahasa resmi PBB, masing-masing Prancis (setiap 20 Maret), Inggris (23
April), Rusia (6 Juni), Spanyol (12 Oktober), China (13 November) dan
Arab (18 Desember), lihat “18 December - World Arabic Language Day,”
24 Oktober 2012, http://www.unesco.org/new/en/media-services/singleview/news/world_arabic_language_day/ (diakses pada 14 Desember 2013,
11:27).
40
Muh}ammad ibn Sa‘i>d ibn Rasla>n, Fad}l al- ‘Arabiyyat wa
wuju>bu ta ‘allumiha> ‘ala al-Muslimi>na (Menofa, 2010), 164.

13

dengan bahasa Arab dan frekuensi studi bahasa Arab di
Indonesia. Dalam hubungan ini terdapat beberapa alasan
yang dikemukakan untuk menunjukkan pentingnya bahasa
Arab di luar motif agama, antara lain: (1) Bahasa Arab kaya
sekali dengan kosa kata dan struktur bahasanya; (2) Bahasa
Arab mempunyai referensi besar di semua bidang ilmu
pengetahuan; (3) Bahasa Arab merupakan tempat
pertemuan ilmu pengetahuan dan sastra modern baik dalam
bahasa asli maupun terjemahan; (4) Bahasa Arab merupakan
bahasa dari kelompok terbesar dunia ketiga; dan (5) Bahasa
Indonesia mempunyai banyak kata serapan yang berasal dari
bahasa Arab.41
Mengenai bentuk dan lembaga pembelajaran Bahasa
Arab di Indonesia, Efendy menyebutkan beberapa bentuk
dan lembaga pendidikan bahasa Arab di Indonesia, yaitu: 1)
pembelajaran bahasa Arab verbalistik yang bertujuan untuk
menguasai
keterampilan
membaca
Al-Qur’an;
2)pembelajaran bahasa Arab yang berkaitan erat dengan
pemahaman keilmuan bahasa Arab dan agama; 3)
pembelajaran bahasa Arab secara utuh yang bertujuan untuk
mengajarkan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi
disamping sebagai bahasa agama; 4) pembelajaran dengan
kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah, yaitu di MI, MTs
dan MA; 5) pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan
keahlian dan profesionalisme, dan 6) pembelajaran Bahasa
Arab untuk tujuan khusus (li al-aghra>d} al-kha>s}s}ah).42
Dari perspektif teoretis, Fakhrurrozi menyebutkan
bahwa paling tidak ada dua problem yang sedang dan akan
terus kita hadapi dalam pembelajaran bahasa Arab, yaitu
problem kebahasaan dan problem nonkebahasaan. 43 Problem
kebahasaan dalam pengajaran bahasa tidak serumit problem
nonkebahasaan,
karena
problem-problem
kebahasaan
tersebut cenderung lebih gampang untuk diidentifkasi dan
dibatasi, karena hanya terkait dengan faktor kebahasaan
saja. Sedangkan problem nonkebahasaan tidak demikian,
41

Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan
Islam dalam Kurun Moderen (Jakarta: LP3ES, 1986), 176-177.
42
Lihat Ahmad Fuad Efendy, Metodologi Pembelajaran Bahasa
Arab (Malang: Misykat, 2009), 22-27.
43
Aziz Fakhrurrozi dan Erta Mahyudin, Pembelajaran Bahasa Arab
(Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama,
2012), 6.

14

karena hal ini sangat kompleks dan variatif, terkait dengan
banyak faktor dan banyak pihak.44
Problem nonkebahasaan atau musykila>t ghayr
lughawiyyah yang dimaksud adalah persoalan-persoalan
yang tidak terkait langsung dengan bahasa yang dipelajari
siswa tetapi ikut berperan bahkan dominan mempengaruhi
tingkat kesuksesan dan kegagalan dari pembelajaran bahasa.
Diantara problem nonkebahasaan dalam pembelajaran
bahasa adalah masalah yang terkait dengan faktor psikologi
seperti motivasi (dawa>f’) dan minat belajar(muyu>l).45
Rendahnya minat dan motivasi belajar merupakan
salah satu tantangan dalam pengembangan pendidikan
bahasa Arab. Muhbib menyatakan bahwa faktor penyebab
kesulitan belajar bahasa Arab lebih disebabkan faktor
psikologis, edukatif dan sosial.46 Hal ini didasarkan pada hasil
penelitian yang dilakukan oleh Jamsuri Muhammad
Syamsuddin dan Mahdi Mas’ud terhadap 30 mahasiswa Ilmu
Politik (Humaniora) pada International Islamic University
Malaysia mengenai kesulitan belajar bahasa Arab. Hasil
temuan ini menunjukkan bahwa penyebab kesulitan belajar
bahasa Arab ternyata bukan sepenuhnya pada substansi atau
materi bahasa Arab, melainkan pada ketiadaan minat
(100%), tidak memiliki latar belakang belajar bahasa Arab
(87%), materi/kurikulum perguruan tinggi (83%), kesulitan
memahami materi bahasa Arab (57%), dan lingkungan kelas
yang tidak kondusif (50%).47
Fenomena rendahnya motivasi belajar bahasa Arab
juga terjadi di kalangan madrasah.48 Dalam pidato
44

Fakhrurrozi & Mahyudin, Pembelajaran Bahasa Arab, 9.
Fakhrurrozi& Mahyudin, Pembelajaran Bahasa Arab, 9.
46
Wahab, Epistemologi dan Metodologi …, 114-115.
47
Wahab, Epistemologi dan Metodologi …, 115.
48
Madrasah atau dalam bahasa Inggris dieja dengan kata madrasa
merujuk kepada sekolah keagamaan yang memiliki jenjang kelas dan
kurikulum terstandar yang sebagian besar berisikan mata pelajaran
umum (Lihat Martin van Bruinessen,”Traditionalist and Islamist
Pesantrens in Contemporary Indonesia” dalam Farish A. Noor, Yoginder
Sikand & Martin van Bruinesssen (eds), The Madrasa in Asia: Political
Activism and Transnational Linkages (Amsterdam: Amsterdam University
Press, 2008), 222). Lihat juga Robert W. Hefner, “Islamic Schools, Social
Movements, and Democracy in Indonesia”Robert W. Hefner (ed.) dalam
Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast
Asia (Honolulu: Universityof Hawai’i Press, 2009), 59.
45

15

pengukuhan guru besarnya, Ainin menyebutkan bahwa
dalam konteks realitas pembelajaran bahasa Arab di
Indonesia, belakangan ini disinyalir sedang terjadi fenomena
demotivasi dalam pembelajaran bahasa Arab pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah, terutama di Madrasah
Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah
(MA).49
Lebih lanjut Ainin menjelaskan bahwa pada tahun
sebelum
sembilanpuluhan,
keberadaan
matapelajaran
bahasa Arab di madrasah merupakan matapelajaran
prestisius. Mata pelajaran bahasa Arab selalu mendapat
apresiasi yang tinggi dari pihak madrasah sekaligus sebagai
mata pelajaran kebanggaan. Akan tetapi, setelah tahun
sembilanpuluhan, secara perlahan namun pasti, keberadaan
mata pelajaran bahasa Arab di madrasah, baik di MI, MTs,
maupun
MA
kurang
mendapatkan
apresiasi
yang
proporsional. Gejala demotivasi ini lebih terlihat pada
madrasah-madrasah negeri dengan adanya pengurangan
alokasi jam pelajaran dari yang semula 4 jam menjadi 2-3
jam per minggu.50\
Ainin menyebutkan fenomena lain demotivasi yang
tercermin dari hasil survei terbatas pada MTs dan MA Negeri
dan swasta di Kota Malang. Hasil survei terbatas yang
dilaksanakan pada pertengahan tahun 2010 menunjukkan
bahwa bahasa asingyang menjadi pilihan utama adalah
bahasa Inggris (79%), bahasa Arab (20%) danbahasa Jepang
(1%). Alasan pemilihan bahasa Inggris sebagai pilihan utama
lebih bersifat pragmatis-instrumental, yakni untuk bekerja,
studi lanjut, dan karena bahasa Inggris merupakan salah satu
mata pelajaran yang di-UN-kan. Sementara itu, alasan
pemilihan bahasa Arab lebih dekat sebagai motivasi
integratif, yakni untuk melanjutkan studi bahasa Arab ke
perguruan tinggi dan bahasa Arab sebagai bahasa agama.51
Tidak berlebihan bila Suprayogo menyebutkan bahwa bahasa
Arab di berbagai negara yang mayoritas penduduknya
49

Moch. Ainin, Fenomena Demotivasi dalam Pembelajaran Bahasa
Arab di Madrasah: Penyebab dan Alternatif Pemecahannya, pidato
pengukuhan guru besar sebagai Guru Besar dalam bidang Pembelajaran
Bahasa Arab pada Fakultas Sastra (FS) Universitas Malang (UM), Kamis,
28 April 2011, 3.
50
Ainin, Fenomena Demotivasi …, 3.
51
Ainin, Fenomena Demotivasi …, 3.

16

beragama Islam masih kalah populer dibandingan dengan
bahasa Inggris.52\
Terkait kegagalan siswa sekolah menengah dalam studi
bahasa asing, baik Arab maupun Inggris, Arsyad
menyimpulkan bahwa hal tersebut lebih disebabkan karena
para siswa tidak produktif dan sikap mereka yang terlalu
defensif. Selain itu, tidak adanya komunikasi humanistik
antara pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran di
dalam kelas, perhatian yang tidak terfokus dan tidak terlibat
secara utuh juga menjadi penyebab kegagalan pembelajaran
bahasa asing di tingkat menengah.53
Jika dihubungkan dengan prinsip sosiodinamika, maka
motivasi pembelajaran bahasa asing, dalam hal ini bahasa
Arab, tidak akan terlepas dari fenomena sosial yang terjadi di
seputar dunia pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Salah
satu prinsip sosiodinamika adalah manusia termotivasi oleh
apa yang telah terjadi pada mereka akhir-akhir ini.
Pernyataan ini kontras dengan prinsip lain yang menyatakan
bahwa seseorang termotivasi untuk bekerja demi kebaikan
manusia lainnya, dan menjadi sebuah keberuntungan jika
apa yang baik untuk manusia lain baik juga untuk orang
tersebut.54
Karena
itulah,
penataan
ulang
kembali
pembelajaran bahasa dalam kerangka sistem yang dinamis
berpotensi untuk menginterasikan dua pemikiran motivasi
yang selama ini berkembang, yaitu perspektif individual dan
sosial.55
Senada dengan hal di atas, Ellis menyatakan bahwa
bahasa adalah sistem dinamis yang kompleks tempat faktor
kognitif, sosial dan lingkungan terus berinteraksi, perilaku
komunikatif yang kreatif senantiasa muncul sebagai akibat
dari interaksi sosial, dan bahasa bukanlah kumpulan aturan

52

Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah: Pengajaran Iman Menuju
Madrasah Impian (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2007),1.
53
Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 132.
54
Daniel E. Koshland Jr, “The Laws of Sociodynamics.” Science
(1990),
Vol. 249 No. 4967, 341.
55
Zoltan Dörnyei, Motivation, Language Identity and the L2 Self,
(Bristol: Multilingual Matters, 2009), 354.

17

dan bentuk tujuan yang harus dikuasai, melainkan hasil dari
sebuah proses komunikatif.56
Dalam konteks inilah, pembelajaran bahasa Arab di
Indonesia harus dipandang sebagai satu sistem yang dinamis
dan kompleks, sehingga kendala apa pun yang mengiringi
pengembangan pembelajaran bahasa Arab harus dipecahkan
dengan melihat seluruh aspek terkait, baik psikologis,
pedagogis maupun sosiologis. Dörnyei menyatakan bahwa
peningkatan perhatian pada aspek temporal motivasi,
misalnya bagaimana proses motivasi bekerja dalam suatu
waktu, dapat memiliki implikasi penting baik secara teoretis
maupun praktis bagi studi motivasi pembelajar. 57
Pendekatan yang berorientasi proses telah menggeser
penekanan dari pilihan motivasi sebelum tindakan (yang
telah menjadi perhatian penelitian motivasi pada umumnya)
ke aspek kehendak pencapaian tujuan selama fase tindakan,
yaitu motivasi yang terjadi dalam kegiatan sosial seperti
pembelajaran di kelas. Model motivasi berorientasi proses
dalam pembelajaran bahasa Arab di Indonesia dimaksudkan
bukan hanya untuk menggambarkan potensi pendekatan
dalam mengintegrasikan berbagai tren penelitian independen
ke arah kerangka terpadu, tetapi juga menyoroti sejumlah
tantangan teoretis yang perlu ditanggapi dalam penelitian
masa depan.
D. Penutup
Dari pemaparan di atas, hal yang paling penting dalam
pendekatan sosiodinamik ini adalah menemukan level paling
tepat untuk mengamati motivasi dalam berbagai situasi yang
terjadi. Pada umumnya, kita mencoba untuk menemukan
motivasi dari bentuk paling sempit, berharap hal tersebut
menjadi faktor orisinal yang mempengaruhi keseluruhan
fenomena motivasi. Padahal pendekatan ini yang tidak lain
merupakan inti dari paradigma perbedaan individu telah
gagal dalam menemukan faktor motivasi. Hal ini dikarenakan
kompleksitas yang dinamis dan pengaruh dari proses mental
dan sikap tidak memberi ruang pada kita untuk tidak
56

Nick C. Ellis, “Dynamic systems and SLA: The wood and the
trees.” Bilingualism: Language and Cognition (2007) 10(1): 23–25.
57
Zoltan Dörnyei, “Motivation in action: Towards a process-oriented
conceptualisation of student motivation,” British Journal of Educational
Psychology (2000), 70, 519-538.

18

membedakan lebih dari tiga dimensi: motivasi, kognisi dan
afeksi. Tugas kita selanjutnya adalah mencari level analisis
yang bisa mencakup kombinasi yang tepat dari tiga
komponen tersebut dalam situasi yang terjadi. Tentunya
ketika seorang imigran belajar bahasa Inggris di Kanada akan
berbeda dengan seorang warga Jepang yang belajar bahasa
Inggris di sekolah menengah Osaka.58
Dalam kaitannya dengan motivasi pembelajaran
bahasa Arab di Indonesia, kombinasi antara motivasi, kognisi
dan afeksi merupakan informasi yang menarik untuk dikaji
para peneliti. Hal ini akan mendorong para peneliti dan
pemerhati untuk melakukan penelitian eksploratif kualitatif
terhadap para pembelajar bahasa Arab yang bisa jadi
mengandung sejumlah temuan yang cukup menguatkan
tentang aspek motivasi dan perilaku motivasi. Pendekatan
sistem yang dinamis memprediksikan bahwa tidak ada
fenomena perilaku yang hanya memiliki alasan tunggal,
tetapi bisa jadi karena didorong oleh berbagai faktor yang
melingkunginya.59
Fenomena turunnya motivasi pembelajaran bahasa
Arab di madrasah misalnya, bukan hanya dipengaruhi oleh
aspek dari internal pembelajaran itu sendiri, tetapi juga ada
sejumlah faktor eksternal misalanya kebijakan kurikulum dan
goodwill
dari
para
stakeholder
madrasah
dalam
mengembangkan pembelajaran bahasa Arab di lembaganya.
Pada akhirnya, pendekatan komprehensif yang melibatkan
faktor-faktor di seputar pembelajaran bahasa baik itu yang
bersifat lingusitis, psikologis, pedagogis maupun sosiologis
mutlak diperlukan untuk memotivasi kembali para individu
dan komunitas yang terlibat dalam pembelajaran bahasa
Arab di Indonesia.

58
59

Dörnyei dan Ushioda, Teaching and Researching Motivation, 99.
Dörnyei dan Ushioda, Teaching and Researching Motivation, 99-

100.

19

Daftar Pustaka
A. Buku, Jurnal dan Laporan Penelitian
Ainin, Moch. Fenomena Demotivasi dalam Pembelajaran Bahasa
Arab di Madrasah: Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,
pidato pengukuhan guru besar sebagai Guru Besar dalam
bidang Pembelajaran Bahasa Arab pada Fakultas Sastra (FS)
Universitas Malang (UM), Kamis, 28 April 2011.
Aladdin, Ashinida. “Demotivating factors in the Arabic language
clasroom: What demotivates non-Muslim Malaysian learners
when it comes to learning Arabic?” Procedia - Social and
Behavioral Sciences 93 (2013), 1652 – 1657.
Arsyad, Azhar. Bahasa Arab dan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Metode

Pengajarannya.

Chaer, Abdul. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta,
2009.
Dörnyei, Zoltan dan Istvan Otto. “Motivation in action: A process
model of L2 motivation. Working Papers in Applied Linguistics
(Thames Valley University, London), 4 (1998): 43-69.
Dörnyei, Zoltan dan Ema Ushioda, Teaching and Researching
Motivation. Harlow: Pearson Education Limited, 2011.
Dörnyei, Zoltan. “Motivation in action: Towards a process-oriented
conceptualisation of student motivation,” British Journal of
Educational Psychology 70, (2000): 519- 538.
Dörnyei, Zoltan. Motivation, Language Identity and the L2 Self.
Bristol: Multilingual Matters, 2009.
Dörnyei, Zoltan. The Psychology of Second Language Acquisition.
Oxford: Oxford University Press, 2009.
Efendy, Ahmad Fuad. Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab.
Malang: Misykat, 2009.
Ellis, Nick C. “Dynamic systems and SLA: The wood and the trees.
Bilingualism: Language and Cognition 10(1) (2007): 23–25.

20

Fakhrurrozi, Aziz dan Erta Mahyudin. Pembelajaran Bahasa Arab.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama, 2012.
Ferguson, Eva Dreikurs. “Motivation” dalam W. Edward Craighead
and Charles B. Nemerof (eds),
The Concise Corsini
Encyclopedia of Psychology and Behavioral Science: Third
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2004.
Gardner, Robert C. “Motivation and Second Language Acquisition,”
Porta Linguarum 8 (2007): 9-20.
Ghaith & Diab. “Determinants of EFL Achievement among Arab
College-Bound Learners.” Education, Business and Society
Contemporary Middle Eastern Issues, 1(4)(2008): 278–286.
Gömleksiz, Mehmet Nuri. “The Efects Of Age And Motivation
Factors On Second Language Acquisition,” Sosyal Bilimler
Dergisi 11 (2) (2001).
Guay, Frederic, Chanal, J., Catherine F. Ratelle, C. F., Marsh, H. W.,
Larose, S., & Boivin, M. “Intrinsic, identifed, and controlled
types of motivation for school subjects in young elementary
school children.” British Journal of Educational Psychology, 80
(4) (2010): 711–735.
Hefner (ed.), Robert W. Making Modern Muslims: The Politics of
Islamic Education in Southeast Asia. Honolulu: Universityof
Hawai’i Press, 2009.
Hermawan, Acep. Metodologi Pembelajaran
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Bahasa

Arab.

Ibn Rasla>n, Muh}ammad ibn Sa‘i>d. Fad}l al- ‘Arabiyyat wa
wuju>bu ta ‘allumiha> ‘ala al-Muslimi>na. Menofa, 2010.
Keblawi, Faris. “Demotivation among Arab Learners of English as a
Foreign Language.” dipresentasikan pada the Second
International Online Conference on Second and Foreign
Language Teaching and Research, United States: The Reading
Matrix Inc, (2005): 49-78.
Khodady, Ebrahim dan Gholam Hassan Khajavy, “Exploring the
Role of Anxiety and Motivation in Foreign Language

21

Achievement: A Structural Equation Modeling Approach”,
Porta Linguarum 20 (2013): 269-286.
Koshland Jr, Daniel E. “The Laws of Sociodynamics.” Science,
Vol. 249 No. 4967, (1990): 341.
MacIntyre, Peter. “Toward a social psychological model of strategy
use,” Foreign Language Annals 27 (2) (1994): 185-195.
Malcolm, “Investigating Successful English Learners in Arab
Medical Schools,” Supporting Independent Learning in the
21st Century: Proceedings of the Inaugural Conference of the
Independent Learning Association, Melbourne (2003): 13–14.
Muhonen, Jenni. “Second Language Demotivation: Factors That
Discourage Pupils From Learning The English Language,”tesis
di University Of Jyväskylä, 2004
.
Noor, Farish A., Yoginder Sikand & Martin van Bruinesssen (eds).
The Madrasa in Asia: Political Activism and Transnational
Linkages. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2008.
Nyikos, Martha dan Rebbeca Oxford. “A Factor Analytic Study of
Language Learning Strategy Use: Interpretations from
Information-Processing Theory and Social Psychology.”
Modern Language Journal 77, (1993): 11-22.
Qashoa, Suleiman Hussein. “Motivation among Learners of English
in the Secondary Schools in the Eastern Coast of UAE,
disertasi pada British University, Dubai, UAE, 2006.
Ramage, Katherine. “Motivational Factors and Persistence in
Foreign Language Study”, dalam Language Learning, 40,
(1990): 189-219.
Ryan, Richard M. and Edward L. Deci. “Intrinsic and Extrinsic
Motivations: Classic Defnitions and New Directions,
Contemporary Educational Psychology 25, (2000): 54–67.
Schmidt, Richard,Deena Boraie, & Omneya Kassabgy. “Foreign
Language Motivation: Internal Structure and External
Connections.” dalam Rebbeca Oxford (Ed.), Language
Learning Motivation: Pathways to the New Century. (Technical
Report 11) Honolulu: University of Hawai‘i, Second Language
Teaching & Curriculum Center (1996): 9–70.

22

Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan
Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES, 1986.
Suprayogo, Imam. Quo Vadis Madrasah: Pengajaran Iman Menuju
Madrasah Impian. Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2007.
Tamimi Al- dan Shuib. “Motivation and attitudes towards learning
english: A study of petroleum engineering undergraduates at
Hadhramout University of Sciences and Technology.” GEMA
Online Journal of Language Studies, 9 (2)(2009): 29–55.
Trang, & Baldauf Jr., “Demotivation: Understanding resistance to
English language learning – the case of Vietnamese
students.” The Journal of Asia TEFL, 4 (1), (2007):79–105.
Ushioda, Ema. “Efective motivational thinking: A cognitive
theoretical approach to study of language learning
motivation,” dalam Soler, E.A dan Espurz, V.C. (eds), Current
Issue in English Language Methodology. Castello de la Plana:
Universitat Jaume I, (1998): 77-89.
Wahab, Muhbib Abdul. Epistemologi dan Metodologi Pembelajaran
Bahasa Arab. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008.
Weiner, Bernard. “Principles for a theory of a student motivation
and their application within an attributional framework” dalam
Ames, R dan Ames, C (eds), Research on Motivation in
Education: Student Motivation. Vol 1. San Diego: Academic
Press (1984): 15-38.
B. Website
“Inggris kekurangan tenaga ahli bahasa.Website BBC Indonesia, 20
November 2013. Diakses pada 13 Desember 2013.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2013/11/131120_m
ajalahlain_ahlibahasa.shtml.
“Languages for the Future,”Website BritishCouncil. Diakses pada
13
Desember
2013.
\http://www.britishcouncil.org/organisation/publications/lang
uages-future.

23

“18

December - World Arabic Language Day.”Website
UNESCODiakses
pada
14
Desember
2013.http://www.unesco.org/new/en/media-services/singleview/news/world_arabic_language_day.

24