Ruang Tarung dan Strategi Aktor di Arena

Ruang Pertarungan dan Strategi Aktor di Arena Ekonomi Politik Lokal
(The Space of Clash and Actor Strategy in Local Political Economic Arena)
Sofyan Sjaf,1
ABSTRACT
Ketika kebijakan desentralisasi diberlakukan, tidak jarang aktor yang berbeda latar belakang
dan identitas saling berlomba untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik
lokal. Dalam perebutan tersebut, antar aktor melakukan pertarungan dan menerapkan strategi
agar memangkan pertarungan dan mengukuhkan kekuasaan aktor. Untuk itu, pertanyaan
yang diajukan adalah apa saja faktor yang membentuk ruang pertarungan aktor di arena
ekonomi politik lokal? Kemudian, siapa dan bagaimana pertarungan yang terjadi antar aktor
di arena ekonomi politik lokal? Selanjutnya bagaimana strategi yang dilakukan aktor untuk
memenangkan pertarungan yang terjadi di arena ekonomi politik lokal?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif
berparadigma non-positivistik dengan perspektif strukturalisme-konstruktivisme. Unit analisis
penelitian adalah aktor yang berlokasi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Adapun data diperoleh
melalui wawancara mendalam, wawancara terstruktur, dan Focus Grup Discussion (FGD)
kepada aktor dari latar belakang etnik (Tolaki, Muna, Buton, dan Bugis) dan profesi (politisi,
birokrasi, akademisi, dan aktivis NGO) yang berbeda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui pertarungan, makan penting
memahami praktik aktor di arena ekonomi politik lokal. Terdapat tiga praktik aktor yang
dimaksud, yaitu praktik kultur kekuasaan etnik, praktik pengorganisasian ekonomi identitas,

dan praktik politik identitas. Dengan demikian, terdapat tiga ruang pertarungan aktor: (1)
ruang pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis; (2) ruang pertarungan kekuasaan politik
simbolis; dan (3) ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik. Selanjutnya untuk
memenangkan pertarungan, maka akor menerapkan strategi agar mampu tampi sebagai
pemenang dalam pertarungan tersebut. Adapun strategi yang dimaksud, antara lain reproduksi
simbolik, investasi simbolik, reproduksi wacana, membangun aliansi, invasi ekonomi,
dukungan wacana, penyusupan simbolik, perlawanan, invasi kekuasaan, dukungan simbolik.
Key words: ruang pertarungan, strategi aktor, dan arena ekonomi politik lokal.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun oleh semangat
nasionalisme berdasarkan struktur masyarakat majemuk (polietnik) dan keyakinan
(polireligius). Realitas kondisi obyektif ini, diingatkan sekaligus dikritisi Furnivall sebelum
Indonesia diproklamirkan. Furnivall mengingatkan akan terjadinya ancaman serius, apabila
realitas tersebut tidak dijawab dengan baik. Namun perlahan-lahan,
Tetapi, peringatan Furnivall perlahan-lahan menjadi kenyataan di Indonesia. Ledakan
kekerasan komunal mulai terjadi diakhir tahun 50-an dan 1965, yang lebih parah lagi,
Indonesia diguncang oleh kekerasan etnorelegius yang getir dari 1996 sampai 2001. Sebagian
besar sosiolog dan antropolog berpendapat bahwa kekerasan komunal pasca Orde Baru,

akibat dari tekanan rezim yang tidak memberikan “ruang ekspresi” bagi identitas masyarakat
                                                        
1

Pengajar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat FEMA IPB.

2

 

majemuk di Indonesia. Politik identitas 2 seakan “bangkit” menjadi isu sentral dan
mengemuka pasca kepemimpinan Orde Baru.
Belajar dari kesalahan rezim sebelumnya, pemerintah transisi menerbitkan Undangundang (UU) Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU
Nomor 32/2004. Besar harapan, otonomi daerah yang memberikan ruang desentralisasi
kekuasaan dan pengelolaan daerah di tingkat kabupaten dapat meredam konflik dan
mensejahterakan rakyat di daerah, tetapi kenyataannya jauh dari harapan. Otonomi Daerah
malah menjadi “pintu masuk” kebangkitan politik identitas etnik di arena ekonomi politik
lokal. Dalam kondisi inilah, maka aktor yang memiliki perbedaan bertarung untuk
memperbutkan sumber-sumber ekonomi maupun politik dengan berbagai strategi yang
digunakannnya. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mengenali pola pertarungan

dan bentuk-bentuk strategi yang dilakukan oleh aktor.
Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah apa saja faktor yang
membentuk ruang pertarungan aktor di arena ekonomi politik lokal? Kemudian, siapa dan
bagaimana pertarungan yang terjadi antar aktor di arena ekonomi politik lokal? Selanjutnya
bagaimana strategi yang dilakukan aktor untuk memenangkan pertarungan yang terjadi di
arena ekonomi politik lokal? Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan
memberikan informasi tentang faktor yang membentuk ruang pertarungan aktor, dinamika
pertarungan, dan strategi yang dilakukan aktor. Diharapkan studi ini berguna untuk mengenali
bentuk-bentik pertarungan dan strategi yang dilakukan oleh aktor.

METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif berparadigma non-positivistik. Sifat
penelitian adalah subyektivisme, obyektivisme, dan historis yang dijadikan sebagai panduan
menentukan responden. Agar terhindar dari “jebakan” subyektivisme versus obyektivisme,
peneliti menggunakan perspektif strukturalisme-konstruktivisme. Strukturalis dimaksudkan
bahwa sosiologi berusaha mencari proses pola relasi yang bekerja dibelakang aktor,
sedangkan konstruktivisme berarti sosiologi menyelidiki persepsi commonsense dan tindakan
aktor. Dengan demikian, membaca aktor harus bolak balik antara struktur obyektif dan
subyektif (Mutahir 2011: 56).

Penggunaan perspektif strukturalisme-konstruktivisme juga ditujukan agar pembacaan
realitas sosial oleh peneliti mencerminkan sebuah proses “dialektika internalisasi-eksternalitas
dan eksternalisasi-internalitas”. Proses dialektika tersebut adalah upaya memahami struktur
obyektif yang ada di luar pelaku sosial (eksterior) dan segala sesuatu yang melekat pada diri
pelaku sosial (interior). Adapun pendekatan pengumpulan data, peneliti menggunakan
penelusuran dokumen, studi sejarah, studi kasus, dan riwayat hidup. Pendekatan tersebut,
ditujukan kepada aktor dari berbagai latar belakang identitas etnik (Tolaki, Muna, Bugis, dan
Buton) dan profesi (politisi, akademisi, swasta, dan NGO/LSM) yang berbeda. Studi ini
melibatkan 32 informan. Baik informan maupun responden ditempatkan sebagai aktor yang
dianalisis. Adapun lokasi penelitian dipilih Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan
pertimbangan: (1) terdapat kurang lebih 28 etnik; (2) lokasi penelitian memiliki historis
                                                        
2

Politik identitas mencerminkan sebuah proses dialektika dalam memahami identitas itu sendiri. Oleh karena
itu, membaca realitas sosial –dimana politik identitas adalah suatu realitas sosial, maka pemahaman politik
identitas perlu ditempatkan dalam bingkai pemahaman dialektika internalitasasi-ekternalitas (eksterior) dan
eksternalitasasi-internalitas (interior). Dengan demikian, politik identitas adalah tindakan politis aktor yang
bertitik tolak pada habitus yang dimiliki aktor.


3

 

masyarakat majemuk berbasis kerajaan tradisional; (3) lokasi penelitian mencerminkan
konteks ekologi Indonesia, yakni “daratan” dan “kepulauan”; dan (4) lokasi penelitian
menggambarkan terjadinya pergulatan politik identitas etnik.

LANDASAN TEORITIK
Pertarungan dan Strategi
Dalam pertarungan, strategi memegang peranan yang sangat penting. Konflik selalu
terjadi di dalam sebuah arena, dan hal itu telah menjadi sesuatu yang lumrah. Dalam sebuah
arena, selalu saja ada pihak, baik individu maupun kelompok, yang mendominasi dengan
kekuatan modal yang dimiliki. Mereka yang bukan kelompok yang mendominasi, harus
berusaha keras agar modal yang dimiliki bisa bertahan, berkembang, dan kemudian bisa
dilestarikan (Calhoun, 1993: 72). Menurut Rusdiarti (2004:57-60) terdapat beberapa bentuk
strategi dari Bourdieu, pertama, strategi investasi biologis. Strategi ini memiliki kaitan erat
dengan pelestarian keturunan dan jaminan atas pewarisan modal bagi generasi yang
selanjutnya dengan tujuan mempersiapkan generasi berikutnya yang lebih baik lagi.
Kedua, strategi suksesif, yaitu usaha untuk mewariskan harta bagi generasi berikutnya.

Pewarisan harta ini biasanya terkait dengan pewarisan modal ekonomi dan modal budaya;
ketiga, strategi edukatif, yaitu usaha yang dilakukan oleh suatu aktor untuk menghasilkan
pelaku-pelaku sosial baru yang bisa dengan cakap mewarisi modal yang dimiliki oleh aktor
tersebut; keempat, strategi invasi ekonomi atau disebut strategi kapital ekonomi bertujuan
untuk mempertahankan dan meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya;
dan kelima, strategi investasi simbolik. Strategi ini berkaitan dengan semua tindakan
pelestarian kapital simbolik. Strategi ini bertujuan agar seorang individu ataupun kelompok
sosial mendapatkan pengesahan dalam kehidupan sosialnya. Strategi ini menjadi hal penting
karena menyangkut pengakuan seseorang terhadap posisinya. Semakin besar kapital simbolik
yang dimilikinya, maka semakin besar pulalah pengaruhnya pada kelompok sosial yang lain.
Arena Ekonomi Politik Lokal
Arena ekonomi politik lokal adalah kondisi obyektif dimana terjadi pertarungan antar
aktor untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dengan kekuasaan (politik) atau
sebaliknya di tingkat lokal. Istilah “pertarungan” diambil dari definisi arena yang dirujuk dari
pendapat Bourdieu (Boudieu dan Wacquant 1992). Menurutnya arena adalah field of struggle,
di mana para aktor berjuang meningkatkan posisi objektif mereka. Karena berada di arena
pertarungan, 3 para aktor menerapkan berbagai strategi, yaitu “the active deployment of
objectively oriented ‘lines of action’ that obey regularities and form coherent and socially
intelligible patterns” (Wacquant 2002: 25). Namun, pilihan-pilihan strategi yang tersedia bagi
aktor dibatasi kondisi objektif mereka di arena. Di arena, terdapat distribusi modal4 tertentu

dan cara pandang mereka terhadap arena tersebut (Bourdieu dan Wacquant 1992). Hal ini
dikarenakan di dalam arena masing-masing memiliki aturan.
Adapun aturan yang dimaksud adalah aturan yang berlaku dalam arena ekonomi politik.
Agar pemahaman menjadi utuh tentang arena ekonomi politik lokal, maka konsepsi teoritik
Granovetter (sosiologi ekonomi baru) dan Nordholt dan Klinken5 (politik lokal) menjadi
diskursus yang menarik. Diskursus diorientasikan untuk menemukenali konteks arena
                                                        
3

Di arena pertarungan aktor melakukan (re)produksi doxa (wacana dominan), orthodoxy (wacana
pendukung), dan heterodoxy (wacana tandingan).
4
Munurut Bourdieu, modal yang diperebutkan aktor/agen adalah ekonomi, social, simbolik, dan budaya.
5
Nordholt dan Klinken adalah ilmuwan sosial yang menginisiasi dilakukannya beberapa penelitian
tentang “Politik Lokal di Indonesia”.

4

 


ekonomi politik lokal yang di dalamnya terdapat aturan-aturan. Untuk itu, apabila disusun
matrik antar area sosiologi ekonomi baru dengan politik lokal, maka terdapat sembilan
tipologi arena ekonomi politik lokal. Kesembilan arena ekonomi politik lokal, sebagai
berikut: jaringan pemekaran wilayah, peng-organisasian ekonomi pemekaran wilayah, kultur
kekuasaan etnik (basis pemekaran wilayah), jejaring shadow state, pengorganisasian ekonomi
shadow state, kultur dalam shadow state, jaringan politik identitas, pengorganisasian ekonomi
identitas, dan identitas etnik dalam demokrasi atau politik lokal.

PEMBAHASAN
Ruang Pertarungan Aktor

MASSA

Ruang pertarungan aktor (the space of actor clash) merupakan tempat bertemunya aktor
untuk memperebutkan dan melanggengkan kuasa (simbolis, ekonomi, dan politik) di arena
ekonomi politik lokal. Untuk mengidentifikasi ruang pertarungan aktor dan aktor yang
melakukan pertarungan tersebut, maka penting memahami keberadaan aktor yang memiliki
distingsi baik identitas etnik, profesi, maupun kepentingan. Pemahaman ini penting
dikarenakan setiap aktor yang memiliki perbedaan, akan memiliki orientasi yang berbeda

ketika menggunakan kuasa yang dimilikinya.
Untuk memberikan gambaran lebih lanjut tentang hal tersebut, maka penting untuk
mengetahui tempat praktik aktor di
Ruang Pertarungan
arena ekonomi politik lokal. Adapun
Kekuasaan Ekonomi
tempat praktik aktor di arena ekonomi
Simbolis
politik lokal adalah praktik kultur
kekuasaan etnik yang mencerminkan
Praktik
Praktik Kultur
moda praktik kekuasaan simbolis,
Pengorganisasian
Kekuasaan Etnik
Ekonomi Identitas
praktik pengorganisasian ekonomi
1
Modal Simbolik
Modal Ekonomi

identitas yang mencerminkan moda
Modal Budaya
praktik kekuasaan ekonomi, dan
Prinsip
Hierarki
Prinsip Hierarki
Heteronom
Otonom
praktik
politik
identitas
yang
Aktor
Aktor
mencerminkan
moda
praktik
kekuasaan
3
2

intelektual
Pengusaha
& NGO/
politik. Kemudian dari ketiga tempat
LSM
praktik aktor tersebut, memiliki irisan
sehingga membentuk kategori ruang
Modal Simbolik
pertarungan antar aktor di arena
Modal Sosial
Prinsip Hierarki
ekonomi politik lokal. Adapun kategori
Aktor Politisi
Otonom
dan Birokrasi
ruang pertarungan tersebut, didasarkan
Praktik Politik
pada prinsip hieraki, kekuatan modal,
Identitas Etnik
Ruang Pertarungan
Ruang Pertarungan
relasi, dan habitus aktor.
Kekuasaan Politik
Kekuasaan
Simbolis
Ekonomi-Politik
Dengan demikian, kategori ruang
pertarungan aktor di arena ekonomi
Gambar 1. Ruang Pertarungan Aktor di Arena
politik lokal dibedakan menjadi tiga
Ekonomi Politik Lokal. 
bagian, pertama, ruang pertarungan
kekuasaan ekonomi simbolis, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik
kultur kekuasaan etnik dengan pengorganisasian ekonomi identitas. Di ruang ini, aktor yang
terlibat adalah aktor kampus, LSM, dan pengusaha.S ebelum terbentuknya ruang pertarungan
ini, aktor kampus dan LSM dengan prinsip hierarki otonomnya mendominasi modal simbolik
dan modal budaya. Sebaliknya aktor pengusaha dengan prinsip hierarki heteronomnya
mendominasi modal ekonomi. Namun demikian, ketika dua kelompok aktor yang memiliki
prinsip hierarki yang berbeda dan bertemu dalam ruang pertarungan kekuasaan ekonomi

5

 

simbolis, maka terjadi subordinasi prinsip otonom (modal simbolik dan budaya) dan
mendominasinya prinsip heteronom (modal ekonomi).
Kedua, ruang pertarungan kekuasaan politik simbolis, yaitu ruang pertarungan aktor
yang terjadi diantara praktik kultur kekuasaan etnik dengan praktik politik identitas. Di ruang
pertarungan ini, aktor yang terlibat adalah mereka yang memiliki latar belakang intelektual
kampus, NGO/LSM, politisi, dan birokrat. Seperti ruang pertarungan sebelumnya, aktor
kampus dan NGO/LSM terdominasi oleh politisi dan birokrat. Meski dalam ruang
pertarungan ini, belaku prinsip otonom yang mengutamakan modal simbolik, akan tetapi
aktor politisi dan birokrat memiliki sedikit banyak modal ekonomi yang lebih dibandingkan
aktor kampus maupun NGO/LSM. Dalam posisi seperti ini, maka distingsi identitas etnik
memainkan peran penting; dan ketiga, ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik, yaitu
ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik pengorganisasian ekonomi identitas
dengan praktik politik identitas. Di ruang ini, terjadi transaksi antar politisi atau birokrat
dengan pengusaha. Aktor politik atau birokrat bertindak sebagai produsen yang memiliki
prinsip otonom (modal simbolik) dan modal sosial yang dijadikan sebagai instrumen (tools)
kekuasaan aktor. Dikarenakan masing-masing pihak (aktor) memiliki kepentingan yang sama,
maka relasi terbangun cenderung equal/setara. Terbangunnya relasi yang setara tersebut,
dikarenakan masing-masing aktor memiliki kekuatan modal yang dapat saling dipertukarkan
(lihat Gambar 1).
 
(a) Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi Simbolis
Pada bagian ini, peneliti akan menguraikan aktor dengan distingsi identitas etnik dan
profesi melakukan pertarungan di ruang ini. Di awal sub bab ini, telah dikemukakan bahwa
subyek yang bertarung dalam ruang ini adalah aktor kampus, NGO/LSM, dan pengusaha.
Adapun obyek yang dipertarungkan adalah sumberdaya ekonomi yang terdapat di lokasi
studi. Diantara tiga aktor tersebut, aktor pengusaha didominasi Bugis, Buton, dan Cina.
Sedangkan aktor kampus dan NGO/LSM cenderung merata dan tidak satupun etnik yang
mendominasi. Dengan kata lain, semua aktor ini berasal dari basis etnik yang terdapat di
lokasi studi. Jika demikian halnya, lalu bagaimana relasi yang terbangun antar aktor yang
memiliki distingsi identitas etnik dan latar belakang profesi? Kemudian bagaimana pola
pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis yang dilakukan antar aktor yang memiliki
perbedaan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka determinasi prinsip heteronom yang
berorientasi keuntungan menentukan relasi dan pola pertarungan antar aktor. Dikarenakan
orientasi ruang pertarungan ini adalah keuntungan, menyebabkan modal ekonomi lebih
mendominasi daripada modal simbolis. Oleh karena itu, relasi yang terbangun cenderung
bersifat transaksional, dimana aktor kampus dan NGO/LSM bertindak “konsumen” dan aktor
pengusaha sebagai “produsen”. Adapun distingsi identintas etnik digunakan sebagai
instrumen aktor untuk melakukan mobilisasi [identitas] etnik atau menarik dukungan massa
berbasis etnisitas.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pada masyarakat polietnik (majemuk), pertarungan
kekuasaan ekonomi simbolis senantiasa melibatkan mobilisasi etnik (massa berbasis etnisitas)
untuk memperebutkan dan melanggengkan kuasa sumberdaya ekonomi yang ditentukan
regulasi pemerintah, seperti: ekonomi perdagangan (khususnya properti), berkembang, dan
terbelakang. 6 Sedangkan ekonomi perdagangan distributor, eceran, dan produksi jarang
ditemukan pertarungan. Dalam konteks studi ini, maka terbentuklah afiliasi pengusaha
dengan aktor kampus dan NGO/LSM yang masing-masing memiliki kemampuan
argumentatif ilmiah dan memobilisasi atau menggerakkan massa berbasis etnisitas untuk
                                                        
6

Untuk jelasnya, uraian ini dapat dilihat pada Bab V, hal. 142-146.

6

 

mendukung kepentingan pengusaha. Kondisi ini sebagaimana diungkapan informan berinisial
SAI:
“...tidak sedikit orang kampus dan NGO/LSM disini bergandengan tangan dengan
pengusaha. Ada keuntungan yang diperoleh dari kedua pihak tersebut. Jika orang
kampus atau NGO/LSM mendapatkan keuntungan uang karena memiliki
kemampuan argumentatif ilmiah dan memobilisasi massa berbasis etnisitas, maka
pengusaha dengan kekuatan uang yang dimilikinya mendapatkan keuntungan
untuk memperluas kekuasaan ekonominya. Meski demikian, aktor-aktor yang pro
pengusaha tersebut adalah mereka dengan latar belakang besar di lokal...”
(Wawancara tanggal 5/01/2012).
Berangkat dari penjelasan di atas, maka terdapat dua kelompok aktor yang bertarung
dalam ruang kekuasaan ekonomi simbolis. Adapun kedua kelompok aktor yang dimaksud,
pertama, afiliasi golongan aktor kampus yang berasal dari out-actor dengan NGO/LSM besar
(memiliki jaringan nasional); versus kedua, afiliasi golongan aktor kampus yang berasal dari
in-actor dengan NGO/LSM lokal yang memiliki jaringan terbatas atau lokal. Tentunya kedua
kelompok yang bertarung tersebut memiliki perbedaan habitus ketika memaknai kondisi
obyektif identitas etnik di lokasi studi.
Selanjutnya pengkategorian kelompok aktor di atas, memberikan gambaran bahwa inactor (aktor dalam) cenderung berafiliasi dengan NGO/LSM lokal yang di dalamnya terdiri
dari [individu] aktor dari etnik tertentu. Kemudian melakukan mobilisasi [identitas] etnik
(mobilisasi massa berbasis etnisitas) untuk mendukung kepentingan pengusaha. Sebaliknya,
out-actor (aktor luar) cenderung berafiliasi dengan NGO/LSM besar yang di dalamnya terdiri
dari berbagai [individu] aktor dengan perbedaan identitas etnik yang melakukan penolakan
atas kepentingan pengusaha. Dengan demikian, pola pertarungan kekuasaan ekonomi
simbolis antar aktor terdiri atas: pertama, pertarungan wacana, yaitu pertarungan antar aktor
yang mendukung dan menolak kepentingan aktor pengusaha dengan mengusung wacanawacana tertentu. Mereka yang beroposisi dengan kepentingan aktor pengusaha mengusung
wacana kerusakan ekologi dan lingkungan, serta dampaknya terhadap masa depan sosioekonomi warga (massa) di lokasi studi.
Sedangkan aktor yang mendukung kepentingan pengusaha, mengusung wacana
peningkatan ekonomi warga lokal dan serangkaian argumentatif ilmiah yang menyatakan
bahwa aktivitas pengusaha tidak bermasalah dengan persoalan ekologi dan lingkungan; dan
kedua, pertarungan terbuka, yaitu pertarungan yang bersifat terbuka antar aktor yang
mendukung dan menolak kepentingan pengusaha. Dalam hal ini, aktor yang beroposisi
dengan pengusaha melakukan pernyataan terbuka (pers confrence) penolakan segala hal
terkait kepentingan pengusaha melalui media massa. Berbeda dengan aktor yang mendukung
pengusaha, cenderung melakukan mobilisasi massa dan terkadang melakukan kekerasan
simbolik, seperti intimidasi, tekanan, dan lain-lain.
(b) Ruang Pertarungan Kekuasaan Politik Simbolis
Seperti halnya ruang pertarungan sebelumnya, pertarungan kekuasaan politik simbolis
melibatkan beberapa aktor yang memiliki distingsi identitas etnik dan profesi. Adapun aktor
yang dimaksud adalah aktor kampus, NGO/LSM, politisi, dan birokrat. Kemudian diantara
aktor-aktor tersebut, aktor birokrat cenderung didominasi etnik Tolaki. Sedangkan aktor
lainnya (aktor kampus, NGO/LSM, dan politisi) tidak terkesan didominasi oleh etnik tertentu.
Di ruang pertarungan tersebut, aktor berkepentingan untuk mempertahankan dan
memperluas kekuasaan politiknya. Oleh karena itu, instrumen (tools) yang mudah digunakan
adalah simbol etnisitas, walau terkesan longgar. Dari keempat aktor tersebut, politisi/birokrat
cenderung memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk menarik aktor kampus dan NGO/LSM.

7

 

Namun diantara aktor tersebut, terdapat share kepentingan diantara mereka. Biasanya share
tersebut, berupa akses terhadap proyek-proyek pemerintah (penelitian dan pemberdayaan
masyarakat) yang diberikan aktor politisi/birokrat (sebagai produsen) kepada aktor kampus
dan NGO/LSM (sebagai konsumen).
Berbeda dengan pertarungan kekuasaan simbolis yang cenderung berprinsip heteronom
dengan kekuatan modal ekonominya, pertarungan kekuasaan politik simbolis lebih
menitikberatkan afiliasi berdasarkan kesamaan identitas etnik atau sejarah etnisitas. Artinya
politisi/birokrat akan berafiliasi dengan aktor kampus atau NGO/LSM, apabila memiliki
kesamaan etnisitas atau sejarah etnik. 7 Akan tetapi tak dapat dipungkiri bahwa modal
ekonomi memainkan pengaruh yang cukup penting dalam ruang pertarungan kekuasaan
politik simbolis ini. Sehingga afiliasi antar aktor tidak ditentukan berdasarkan kesamaan dan
sejarah etnisitas.
Oleh karena itu, pengaruh modal ekonomi menyebabkan relasi yang terbangun antar
aktor bersifat transaksional dikarenakan aktor memiliki orientasi kepentingan keuntungan.
Disini, politisi/birokrat berkepentingan mempertahankan dan memperluas kekuasaan politik
simbolis, sedangkan aktor kampus (khususnya in-actor) dan NGO/LSM (lokal)
berkepentingan memperoleh modal ekonomi dan akses terhadap kekuasaan politik lokal.
Kondisi tersebut menggambarkan fenomena maraknya aktor kampus atau NGO/LSM yang
masuk ke dalam praktek politik identitas. Sebagaimana diungkapkan responden peneliti
berinisial AIM:
“...HDY adalah mantan aktivis kampus dari etnik Muna. Dia sekarang sebagai
salah satu anggota KPU Kota Kendari. Dulunya aktivis ini memimpin salah satu
LSM yang sering berdemo. Karena dianggap keras, intimidasi sering dia peroleh.
Perkenalannya dengan salah satu penguasa di kota ini mengantarkannya masuk
sebagai anggota KPU. Beginilah cara aktivis untuk masuk ke dunia politik...”
(Wawancara tanggal 2/12/2011).
Dari penjelasan di atas, maka ruang pertarungan kekuasaan politik simbolis merupakan
pertarungan yang terjadi antara kelompok-kelompok afiliasi. Setidaknya terdapat dua
kelompok afiliasi, yaitu: (1) afiliasi politisi/birokrat – in-actor – NGO/LSM lokal yang
memiliki basis etnik sama atau sejarah etnisitas; dan (2) afiliasi out-actor – NGO/LSM yang
memiliki jaringan nasional dan [individu] aktor yang bergabung tidak didasarkan atas
kesamaan etnik. Dari kedua kelompok afiliasi tersebut, maka pertarungan antar aktor di
ruang ini dibagi atas: (1) pertarungan aktor dari kelompok afiliasi pertama yang memiliki
distingsi identitas etnik; dan (2) pertarungan aktor dari kelompok afiliasi kedua dengan
kelompok afiliasi pertama. Umumnya, kelompok afiliasi pertama bertindak sebagai penguasa
lokal.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pertarungan kekuasaan politik simbolis antar aktor,
senantiasa melibatkan kondisi obyektif distingsi identitas etnik dan juga mobilisasi massa
berbasis etnik. Sebagai misal, kelompok afiliasi pertama yang mana aktor politisi/birokrat
memanfaatkan in-actor untuk melegitimasi kekuasaan politik dan kebijakan yang disusunnya.
Sedangkan aktor NGO/LSM lokal dimanfaatkan untuk memobilisasi [identitas] etnik (massa
berbasis etnik) untuk mendukung dan melegitimasi kekuasaan aktor, serta mendelegitimasi
kekuatan yang berlawanan dengan kekuasaan politisi/birokrat. Adapun konsekuensi dukungan
tersebut, adalah in-actor atau aktor NGO/LSM lokal memperoleh proyek-proyek pemerintah
dari pendanaan APBD dan akses terhadap kekuasaan politik lokal.
                                                        
7

Sejarah etnik yang dimaksud disini adalah pola afiliasi etnik mayoritas yang terdapat di lokasi studi
(Kendari – Sultra). Adapun kecenderungan pola afliasi etnik tersebut, yakni Muna-Tolaki versus Buton-Bugis.

8

 

Fenomena di atas berbeda dengan aktor yang tidak berafiliasi dengan politisi/birokrat
manapun. Kelompok afiliasi ini senantiasa melakukan penolakan (oposisi) atas segala hal
yang terkait dengan kekuasaan dan kebijakan dari para politisi/birokrat. Walau demikian,
pertarungan yang dilakukan tersebut tidak lain bertujuan memperkuat pengaruh kekuasaan
aktor di tengah-tengah masyarakat.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka pola pertarungan kekuasaan politik simbolis
cenderung berupa pertarungan kekuasaan simbolik, yaitu pertarungan yang terjadi antar aktor
yang mendukung dan menolak kekuasaan politisi/birokrat lokal. Aktor yang mendukung
merupakan kelompok afiliasi yang memiliki kesamaan etnik atau warisan sejarah etnisitas.
Berbeda dengan sebelumnya, aktor yang beroposisi adalah aktor yang berbeda identitas etnik
dengan kelompok afiliasi sebelumnya. Juga mereka yang beroposisi adalah aktor kampus
(khususnya out-actor) dan NGO/LSM besar karena tidak bersesuaian dengan kebijakan
penguasa (aktor politisi/birokrat). Baik aktor yang mendukung maupun beroposisi memiliki
tujuan merebut pengaruh massa dan meraik kekuasaan politik lokal.
 
(c) Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi-Politik
Berbeda dengan dua ruang pertarungan sebelumnya, pertarungan kekuasaan ekonomipolitik menempatkan posisi yang equal antar aktor. Hal ini dikarenakan masing-masing aktor
memiliki kekuatan modal yang dapat saling dipertukarkan. Dimana pengusaha memiliki
kekuatan modal ekonomi dan politisi/birokrat memiliki kekuatan modal simbolik, serta modal
sosial. Namun demikian, orientasi kedua aktor tersebut tetap sama, yaitu memperoleh
keuntungan dalam konteks yang berbeda. Aktor politisi atau birokrat berkepentingan
mempertahankan dan memperluas kekuasaan miliknya, sedangkan aktor pengusaha
berkepentingan untuk mengamankan dan mengakumulasi kekuasaan ekonomi. Dengan
demikian, relasi kedua aktor tersebut lebih bersifat transaksional yang menyebabkan ruang
pertarungan ini mensubordinasi prinsip otonom yang dimiliki politisi maupun birokrat.
Dengan kata lain, prinsip heteronom lebih mendominasi ruang pertarungan kekuasaan
ekonomi-politik.
Selanjutnya dalam ruang pertarungan ini, mereka yang terlibat adalah pengusaha dan
politisi maupun birokrat. Lebih khusus, pengusaha yang terlibat adalah mereka yang usaha
ekonominya bersentuhan dengan regulasi pemerintah (seperti: properti, pertambangan, dan
kontraktor). Untuk itu, sebagian besar mereka adalah pengusaha dari etnik Cina ketimbang
empat etnik mayoritas. Meski ditemukan beberapa (dalam jumlah kecil) pengusaha dari etnik
Bugis dan Buton terlibat dalam ruang pertarungan ini. Sebagian besar mereka yang terlibat
adalah pengusaha yang mencoba masuk di ekonomi berkembang (pertambangan) dan
terbelakang (kontraktor).
Berbeda dengan di atas, aktor politisi maupun birokrat berasal dari empat etnik
mayoritas di Kendari maupun Sultra. Kemudian untuk mempertahankan dan memperluas
kekuasaannya, aktor politisi/birokrat membangun afiliasi dengan pengusaha agar memperoleh
“bantuan” modal ekonomi dalam bentuk uang. Fenomena ini begitu nampak ketika
berlangsungnya pilkada, dimana aktor politisi membutuhkan sejumlah uang untuk
memenangkan pertarungan politik lokal. Dikarenakan warisan sejarah etnik dan kepentingan
yang sama antar pengusaha, maka afiliasi cenderung terpola berdasarkan doxa pertentangan
antar etnik. Kondisi ini sebagaiamana diungkapkan responden berinisial ZNL:
“...meski pengusaha Cina masuk ke seluruh kandidat kepala daerah, akan tetapi dia
punya prioritas. Prioritas pengusaha Cina ditentukan siapa pengusaha yang merapat
pada kandidat. Jika yang merapat adalah rivalnya, maka umumnya pengusaha Cina
akan menarik diri. Atau paling tidak memberikan bantuan ala kadarnya kepada

9

 
kandidat. Polarisasi etnik disini memberikan keuntungan bagi pengusaha Cina...”
(Wawancara tanggal 28/12/2011).

Merujuk penjelasan di atas, maka afliasi dalam ruang pertarungan kekuasaan ekonomipolitik terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) kelompok afiliasi pengusaha Cina dengan
aktor politisi/birokrat asal etnik Muna dan Tolaki (Cina-Muna-Tolaki); dan (2) kelompok
afiliasi pengusaha Bugis dan Buton dengan aktor politisi atau birokrat dari etnik yang sama.
Terpolarisasinya kelompok afiliasi tersebut, kemudian membentuk pola pertarungan
antar aktor dalam bentuk pertarungan modal ekonomi, dimana aktor (baik pengusaha maupun
politisi atau birokrat) mempertahankan dan meningkatkan modal ekonomi yang sudah
dimiliki sebelumnya. Pertarungan tersebut, disatu sisi memberikan keuntungan bagi aktor
pengusaha (baik Cina, Buton, dan Bugis) karena dapat mengakumulasi modal ekonomi tanpa
adanya rivalisasi dengan etnik lainnya, disisi lain, aktor politik atau birokrat mampu menjaga
eksistensinya di tengah-tengah massa (masyarakat) karena memiliki modal yang dapat
digunakan untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan politiknya. Dengan demikian,
penelitian ini menunjukkan bahwa pertarungan kekuasaan ekonomi-politik antar aktor
senantiasa terkait dengan sejarah etnisitas dan rivalitas ekonomi. Dalam sejarah ini, aktor
yang terdominasi akan berusaha melakukan “perlawanan” agar dapat mendominasi kekuasaan
ekonomi-politik.
Strategi-strategi Aktor
Bagian sebelumnya, telah ditunjukkan bahwasanya ruang pertarungan aktor didominasi
prinsip hierarki heteronom yang mengutamakan kekuatan modal dan berorientasi pada
keuntungan yang diperoleh aktor. Artinya, prinsip hierarki otonom yang mengutamakan
kekuatan modal simbolis tersisihkan dan hanya ditempatkan sebagai instrumen (tools) aktor
untuk mewujudkan kepentingannya. Jika demikian halnya, maka pertarungan-pertarungan
tersebut hanyalah sebentuk permainan aktor yang digunakannya untuk mempertahankan dan
melanggengkan kekuasaannya di arena ekonomi politik lokal. Tentang hal tersebut, Bourdieu
menyatakan “...strategi adalah produk dari rasa praktis seperti halnya rasa permainan buat
suatu permainan yang partikular dan historis –rasa yang diperoleh semasa kanan-kanak,
dengan cara berpartisipasi dalam aktivitas sosial...” (Bourdieu 2011:82)
Mencermati pendapat Bourdieu di atas, maka strategi aktor dapat dilacak dari modus
ruang pertarungan aktor yang berlangsung di arena ekonomi politik lokal. Dalam konteks
studi ini, mereka yang bertarung adalah aktor kampus, politisi dan birokrat, NGO/LSM, dan
pengusaha yang memiliki masing-masing habitus dan kekuatan modal berbeda-beda. Namun,
hampir semua aktor (terkecuali out-actor dan NGO/LSM besar) senantiasa menempatkan
distingsi identitas etnik sebagai instrumen (tools) untuk memenangkan pertarungan. Untuk
itu, penempatan strategi akan tidak dibedakan berdasarkan basis etnisitas aktor.
Dengan demikian, pada sub bab ini peneliti akan mengidentifikasi strategi-startegi yang
dimainkan aktor dengan terlebih dahulu memetakan strategi yang diproduksi dari relasi antar
aktor. Setidaknya, terdapat empat strategi yang diproduksi dari relasi antar aktor, yaitu: (1)
strategi yang diproduksi dari relasi aktor kampus – NGO/LSM; (2) strategi yang diproduksi
dari relasi aktor kampus – politisi/birokrat – pengusaha; (3) strategi yang diproduksi dari
relasi aktor NGO/LSM – pengusaha – politisi/birokrat; dan (4) strategi yang diproduksi dari
relasi aktor politisi/birokrat – pengusaha. Adapun uraian keempat hal tersebut, sebagaimana
dijelaskan pada bagian berikut tulisan ini.
Aktor Kampus – NGO/LSM

10

 

Relasi antar aktor kampus dengan aktor NGO/LSM cenderung terpolarisasi menjadi dua
bagian. Pertama, relasi antar aktor NGO/LSM lokal dengan kategori in-actor dalam aktor
kampus; dan kedua, relasi antar aktor NGO/LSM besar (memiliki jaringan nasional) dengan
out-actor yang merupakan kategori lainnya aktor kampus. Polarisasi tersebut dikarenakan
perbedaan habitus dan pemaknaan aktor atas distingsi identitas etnik yang begitu kental di
lokasi studi (telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya).
Akibat dari polarisasi tersebut, menyebabkan masing-masing kelompok relasi
menciptakan dan memainkan strategi berdasarkan kekuatan modal yang dimilikinya.
Setidaknya terdapat dua bentuk strategi yang diproduksi dari relasi aktor NGO/LSM lokal –
in-actor, yaitu: (1) strategi reproduksi simbolik, merupakan proses pemeliharaan atau
pelestarian symbolic power (berisi sejarah pertentangan antar etnik) yang dimiliki oleh
masing-masing entitas etnik dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tabel 1. Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor Kampus – NGO/LSM.
Aktor NGO/LSM
Lokal

Besar (Jaringan
Nasional)

In-Actor (Aktor Dalam)

Aktor Kampus
Out-Actor (Aktor Luar)

• Strategi reproduksi
simbolik; dan
• Strategi investasi simbolik.
• Strategi reproduksi wacana;
• Strategi membangun aliansi strategis;
dan
• Strategi edukatif.

Dikarenakan sebagian besar aktor atau aktivis NGO/LSM lokal merupakan lulusan
kampus negeri maupun swasta daerah, maka in-actor (aktor yang lahir dan besar di daerah)
melakukan “kadernisasi” dengan menggunakan media kampus (sekolah); dan (2) strategi
investasi simbolik, merupakan tindakan aktor untuk melestarikan modal simbolik 8 yang
dimilikinya. Strategi ini bertujuan agar aktor mendapatkan pengakuan terhadap posisinya dan
pengesahan dalam kehidupan sosialnya.
Berbeda dengan di atas, relasi aktor NGO/LSM besar (memiliki jaringan nasional) –
out-actor memproduksi tiga strategi, yaitu: (1) strategi reproduksi wacana, merupakan
heterodoxy yang mempertentangkan realitas simbolik yang kaku dengan wacana-wacana
multikukturalisme dan kondisi aktual sebagai dampak dari relasi-relasi yang dibangun atas
dasar etnisitas. Strategi ini bertujuan agar setiap orang berhak memperoleh akses yang sama
terhadap kekuasaan politik maupun ekonomi; (2) strategi membangun aliansi strategis, adalah
strategi yang dilakukan aktor untuk membangun agenda kolektif yang lebih bersifat praksis
dengan menitikberatkan pembauran aktor dari beragam latar belakang etnisitas. Adapun
strategi ini bertujuan untuk menciptakan kesadaran bersama akan bahaya kolektivitas etnik
yang masif; dan (3) strategi edukatif, adalah usaha yang dilakukan aktor untuk menghasilkan
pelaku-pelaku sosial baru yang bisa dengan cakap mewarisi modal yang dimiliki aktor
tersebut (lihat Tabel 1).
Aktor Kampus – Politisi/Birokrat – Pengusaha
Dibandingkan penjelesan sebelumnya, relasi antar aktor yang memproduksi strategi
cukup variatif. Meski demikian, terdapat beberapa kesamaan strategi yang diproduksi dari
relasi antar aktor. Sebagai misal relasi politisi/birokrat – in-actor memiliki bentuk strategi
                                                        
8

Sekedar mengingatkan bahwa modal simbolik yang dimiliki aktor, antara lain: keturunan bangsawan
(golongan atas dari pelapisan sosial tradisional), ketua paguyuban kelompok etnik, ketua organisasi masyarakat,
dan dosen/guru.

11

 

yang sama dengan relasi aktor NGO/LSM lokal – in-actor. Hal yang menarik dari penelitian
ini adalah ditemukannya bentuk strategi baru yang dilakukan aktor untuk melepaskan diri dari
tekanan struktur obyektif di lokasi studi.
Adapun strategi yang dimaksud adalah strategi penyusupan simbolik yang terbentuk
dari relasi out-actor – aktor politisi/birokrat. Strategi ini bertujuan melakukan penyusupan
dengan menggunakan instrumen kesamaan identitas etnik dengan politisi/birokrat. Ketika
penyusupan dianggap berhasil, maka out-actor melakukan reproduksi wacana dan edukatif di
institusi-institusi politik maupun birokrat yang sarat dengan distingsi identitas etnik. Kondisi
ini sebagaimana diungkapkan informan berinisial SAI, “tidak ada cara lain agar wacana
multikulturalisme dapat diterima disini, selain menyusup. Dengan menyusup, maka kita
dapat mendekonstruksi wacana yang ada dengan wacana yang baru, lalu melakukan edukasiedukasi” (Wawancara tanggal 22/12/2011, Sjaf 2012).
Tabel 2. Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor Kampus – Politisi/Birokrat –
Pengusaha.
Aktor
Politisi/Birokrat
Pengusaha

In-Actor (Aktor Dalam)

Aktor Kampus
Out-Actor (Aktor Luar)

• Strategi reproduksi simbolik;
• Strategi investasi simbolik.
• Strategi invasi ekonomi; dan
• Strategi dukungan wacana.

• Strategi penyusupan simbolik.
• Strategi perlawanan.

Selanjutnya bentuk strategi yang diproduksi dari relasi in-actor – aktor pengusaha
adalah strategi invasi ekonomi dan dukungan wacana. Strategi invasi ekonomi bertujuan
untuk mempertahankan atau meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya.
Bagi in-actor, relasi yang dijalin dengan pengusaha berdampak terhadap peningkatan modal
ekonomi yang dimilikinya. Sebaliknya, bagi pengusaha bahwa dukungan wacana yang positif
(argumentasi-argumentasi ilmiah) dari in-actor tentang usaha yang dibangunnya, memiliki
dampak terjadinya peningkatan modal ekonomi atau setidaknya bertahan seperti yang sudah
dimiliki sebelumnya. Kondisi tersebut berbeda ketika relasi yang terbangun antar pengusaha
– out-actor, strategi yang diproduksi adalah strategi perlawanan, dimana setiap usaha
ekonomi yang dilakukan aktor akan mendapatkan perlawanan dari out-actor. Biasanya, outactor melakukan perlawanan dalam bentuk gugatan atas kerusakan lingkungan dan sosioekonomi warga yang ditimbulkan dari pembangunan yang diiniasi oleh pengusaha (lihat
Tabel 2).
Aktor NGO/LSM – Politisi/Birokrat – Pengusaha
Seperti uraian dan penjelasan sebelumnya, relasi yang dibangun dari aktor-aktor ini
membentuk enam strategi berdasarkan konteks masing-masing relasinya. Relasi NGO/LSM
lokal – politisi/birokrat memproduksi dua strategi, yaitu strategi reproduksi simbolik dan
strategi invasi kekuasaan. Dari dua strategi tersebut, hal yang berbeda dengan sebelumnya
adalah strategi invasi kekuasaan. Strategi ini bertujuan mempertahankan dan memperluas
kekuasaan aktor dari kekuasaan yang dimiliki sebelumnya.
Dalam konteks ini, maka aktor politisi atau birokrat berkepentingan mempertahankan
kekuasaan yang dimilikinya. Bagi aktor politisi/birokrat, membangun relasi dengan
NGO/LSM lokal, maka akan memperoleh keuntungan ganda, yaitu: (1) kekuasaan aktor akan
bertahan karena memperoleh dukungan dari NGO/LSM lokal; dan (2) kemungkinan

12

 

kekuasaan aktor akan bertambah luas dikarenakan aktor politisi/birokrat memiliki
kemampuan mengakumulasi modal sosial yang dimiliki NGO/LSM lokal tersebut.
Tabel 3. Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor NGO/LSM – Politisi/Birokrat –
Pengusaha.
NGO/LSM

Aktor

Lokal

Besar (Jar. Luas)

• Strategi reproduksi simbolik; dan

Politisi/Birokrat
Pengusaha

• Strategi invasi kekuasaan.

• Strategi reproduksi wacana

• Strategi invasi ekonomi; dan

• Strategi perlawanan

• Strategi dukungan simbolik.

Selanjutnya relasi antar pengusaha – NGO/LSM lokal memproduksi dua bentuk
strategi, yaitu strategi invasi ekonomi dan strategi dukungan simbolik. Khusus strategi yang
terakhir, merupakan tindakan pendukungan aktor terhadap aktor lainnya dikarenakan adanya
share yang diperoleh dari relasi antar aktor. Dalam hal ini, pengusaha akan merasa tenang dan
dapat memperluas kekuasaan ekonominya dikarenakan LSM lokal yang memiliki
kemampuan memobilisasi [identitas] etnik (massa berbasis etnik) mendukung aktivitas
ekonomi yang dijalankan oleh aktor tersebut. Kemudian relasi antar NGO/LSM besar –
politisi/birokrat – pengusaha memproduksi dua bentuk strategi, yaitu strategi reproduksi
wacana dan strategi perlawanan (lihat Tabel 3).
Aktor Politisi/Birokrat – Pengusaha
Meski relasi antar aktor ini tidak sekompleks dengan sebelumnya, akan tetapi dari relasi
cenderung equal ini membentuk tiga strategi, yaitu strategi invasi kekuasaan, strategi invasi
ekonomi, dan strategi dukungan modal. Strategi invasi kekuasaan bertujuan mempertahankan
dan memperluas kekuasaan aktor dari kekuasaan yang dimiliki sebelumnya. Meski strategi ini
menguntungkan aktor politisi atau birokrat, akan tetapi pengusaha menganggap bahwa
dengan membantu mempertahankan atau memperluas kekuasaan politisi/birokrasi, maka akan
berdampak terhadap keamanan dan perluasan kekuasaan ekonomi yang akan dilakukan aktor
ini.
Tabel 4. Strategi yang Diproduksi dari Relasi Politisi/Birokrat – Pengusaha.
Aktor

Politisi/Birokrat
• Strategi invasi kekuasaan;

Pengusaha

• Strategi invasi ekonomi; dan
• Strategi dukungan simbolik

Selanjutnya telah disebutkan bahwa invasi ekonomi atau dapat juga disebut strategi
kapital ekonomi (Rusdiarti 2004:57-60) bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan
modal ekonomi yang sudah dimiliki aktor. Sifat ekspansif yang embedded dalam diri
pengusaha dan keingan politisi/birokrat untuk menambah modal ekonomi yang dimiliki
sebelumnya menempatkan strategi ini memainkan peran yang cukup penting. Sebagaimana
ditunjukkan dalam pesta demokrasi lokal, yakni pilkada. Kemudian strategi yang terakhir
adalah dukungan simbolik. Kekuasaan yang dimiliki aktor politisi dan birokrat untuk

13

 

memobilisasi massa berbasis etnik memberikan keuntungan tersendiri bagi pengusaha untuk
mengamankan asset dan memperluas usaha yang dimilikinya.

SIMPULAN
Untuk memahami ruang pertarungan dan strategi aktor di arena ekonomi politik lokal,
maka penting memahami praktik aktor di arena ekonomi politik lokal. Setidaknya terdapat
beberapa tempat praktik aktor di arena ekonomi politik lokal, yaitu praktik kultur kekuasaan
etnik, praktik pengorganisasian ekonomi identitas, dan praktik politik identitas. Kemudian
dari ketiga tempat praktik aktor tersebut, memiliki irisan sehingga membentuk kategori ruang
pertarungan antar aktor di arena ekonomi politik lokal. Adapun ruang pertarungan, didasarkan
pada prinsip hieraki, kekuatan modal, relasi, dan habitus aktor.
Di arena ekonomi politik lokal, terdapat tiga ruang pertarungan aktor, pertama, ruang
pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara
praktik kultur kekuasaan etnik dengan pengorganisasian ekonomi identitas; kedua, ruang
pertarungan kekuasaan politik simbolis, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara
praktik kultur kekuasaan etnik dengan praktik politik identitas; dan ketiga, ruang pertarungan
kekuasaan ekonomi-politik, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik
pengorganisasian ekonomi identitas dengan praktik politik identitas.
Selanjutnya untuk memenangkan pertarungan di atas, maka akor menerapkan strategi
agar mampu tampi sebagai pemenang dalam pertarungan tersebut. Setidaknya, terdapat
empat strategi yang diproduksi dari relasi antar aktor, yaitu: (1) strategi yang diproduksi dari
relasi aktor kampus–NGO/LSM, seperti: reproduksi simbolik, investasi simbolik, reproduksi
wacana, membangun aliansi; dan edukatif; (2) strategi yang diproduksi dari relasi aktor
kampus–politisi/birokrat–pengusaha, seperti: reproduksi simbolik, investasi simbolik, invasi
ekonomi, dukungan wacana, penyusupan simbolik, dan perlawanan; (3) strategi yang
diproduksi dari relasi aktor NGO/LSM–pengusaha–politisi/birokrat, seperti: reproduksi
simbolik, invasi kekuasaan, invasi ekonomi, dukungan simbolik, reproduksi wacana, dan
perlawanan; dan (4) strategi yang diproduksi dari relasi aktor politisi/birokrat–pengusaha,
seperti: invasi kekuasaan, invasi ekonomi, dan dukungan simbolik.

DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu, Pierre. 2011. Choses Dites: Uraian dan Pemikiran. Yogyakarta: Penerbit Kreasi
Wacana.
Bourdie, Pierre and Loic J. D. Wacquant, 1992. An Invitation to Reflexive Sociology.
Chicago: The University of Chichago Press.
Calhoun, Craig. 1993. Habitus, Field, and Capital: The Question of Historical Specifity.
Furnivall, J.S. 2009. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom
Institute.
Granovetter, M. and Swedberg, R. 1992. The Sociology of Economic Life. Westview Press,
San Francisco, USA.
Hardiman, F. Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta:
LKIS.
Mutahir, A. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah Gerakan untuk Melawan
Dominasi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

 

14

Nordholt, HS. dan Klinken [ed.]. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Rusdiarti, Suma Riella. 2004. Bahasa, Kapital Simbolik dan Pertarungan Kekuasaan:
Tinjauan Filsafat Sosial Pierre Bourdieu tentang Bahasa. Depok: Tesis
Pascasarjana Departemen Filsafat FIB [tidak dipublikasikan].
Swedberg, R. 1998. Max Weber and the Idea of Economic Sociology. New Jersey, USA:
Princeton University Press.
Tadjoeddin, MZ. 2002. Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi: Kasus Indonesia
1990-2001. Jakarta: United Nations Support Facility for Indonesian Recovery
(UNSFIR).
Wacquant, Loïc J. D. 2002. From Slavery to Mass Incarceration: Rethinking the “Race
Question” in the US. New Left Review 13. Pp. 41-60.
 

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24