buku 2012 Indonesia Bergerak Pembangunan

Dalam buku Indonesia Bergerak! (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)

Pembangunan di Negara Berkembang
oleh Sayfa Auliya Achidsti
Penjualan salah satu perusahaan makanan legendaris di Inggris, Cadbury, kepada
perusahaan makanan ringan Amerika Serikat besar, Kraft, pada awal tahun 2010 menjadi sebuah
ironi. Memang, dari sudut pandang ekonomi, penjualan memiliki arti penting berhubungan
dengan ekspansi aktivitas perusahaan dan permodalan. Namun, Cadbury bukan hanya persoalan
buruh, aktivitas, makanan, dan modal. Bagi masyarakat Inggris, Cadbury adalah sebuah ikon
yang melekat dari beberapa sisi, emosional, sejarah, ekonomi kelas bawah, dan patriotisme.
Momen tersebut menjadi saat menyedihkan bagi ribuan pekerja Cadbury di Inggris yang
memahami perjalanan perusahaan tersebut. Pada Perang Dunia I, pekerja Cadbury bergabung
dalam angkatan perang yang dimasukkan dalam berbagai divisi. Selain mengirimkan sekitar
2000 pekerjanya itu, berbagai bantuan logistik juga disumbangkan Cadbury sebagai pendukung
tambahannya. Tidak cukup hanya itu, Cadbury turut serta dalam peran aktivitas pemerintahan
dengan ikut menambah subsidi pemerintah bagi keluarga yang ditinggalkan oleh anggota
keluarganya yang lain karena kepergiannya ke medan perang pada saat itu. Begitu pun setelah
perang usai, Cadbury mempersilakan para mantan pekerja yang telah menjadi prajurit saat
perang untuk kembali bekerja. Perang Dunia II, Cadbury menunjukkan dukungannya lagi dengan
cara yang lebih ekstrem. Pabrik yang biasa digunakan sebagai tempat produksi komoditasnya
dipersilakan untuk digunakan sebagai tempat produksi alat-alat peperangan. Lapangan dan tanah

kosonglah yang akhirnya digunakan sebagai pendukung dalam hal logistik makanan, dengan
penanaman tanaman pangan untuk disalurkan pada prajurit.
Perekonomian Negara Berkembang
Gambaran berkaitan dengan contoh tersebut adalah adanya integrasi industri dengan
masyarakat sekitar, begitu pula masyarakat yang menyadari bahwa adanya industri tersebut
adalah agan dari hidup mereka. Hal tersebut menjadi sebuah kasus yang agak unik di mana
kebanyakan industri seringkali hanya menjadi elemen dalam masyarakat di mana masyarakat
setempat melihat industri tersebut sebagai tempat mencari keuntungan materi tanpa hubungan
emosional.
Sisi-sisi semacam itu menunjukkan sudut pandang yang lain dari sebuah aktivitas
perekonomian yang berkaitan erat dengan kompleksitas perkembangan masyarakat setempat.
Kasus Cadbury di Inggris sedikit banyak dapat terlihat sebagai gambaran pertanian masyarakat
tradisional, yang hingga hari ini masih banyak ditemui di Indonesia dan negara-negara
berkembang lain. Pertanian sendiri merupakan sebuah aktivitas ekonomi, namun dalam banyak
hal, lebih cenderung pada perbincangan yang lebih kompleks mencakup kondisi sosial-politik,
ekonomi, dan budaya.
Pertanian, dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan aktivitas produksi bahan
pangan, memiliki beberapa pemaknaan. Pertama, pertanian lebih dari persoalan menanam,
namun juga pada pemeliharaan. Hal ini pada perkembangannya tentu berkaitan dengan persoalan
teknologi. Kedua, pertanian merupakan alternatif aktivitas masyarakat dalam hal wisata agro.

1

Agrowisata ini membutuhkan prasyarat dalam masyarakat terlebih dahulu, mencakup juga
mengenai keterbukaan informasi dan komunikasi dalam masyarakat tani bersangkutan. Ketiga,
pertanian sebagai pemasok bahan pangan dan perbagai produk turunannya. Keempat, pertanian
sebagai jalur konservasi alam, penghasil biofarma, dan bioenergi.
Namun, selain keempat pemaknaan pertanian tersebut, dalam masyarakat tradisional
pertanian merupakan aktivitas yang eksis secara sangat tipikal. Seperti di Indonesia misalnya,
aktivitas pertanian dalam banyak kasus bisa dilihat sebagai aktivitas subsisten. Walaupun pada
dasarnya pertanian merupakan aktivitas ekonomi yang berorientasi pada profit, pertanian adalah
kegiatan yang cenderung hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan dasar petaninya. Hal ini
disebabkan antara lain karena keterbatasan pengetahuan, tingkat pendidikan, teknologi, dan
organisasi petani. Dengan adanya beberapa hal tersebut, menyebabkan keterbatasan petani dalam
mengembangkan lahan pertaniannya menjadi lebih produktif, sehingga hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan yang benar-benar dasar untuk menyambung hidup (subsisten).
Di Indonesia, banyak terdapat upacara adat dalam hubungannya dengan pertanian.
Upacara “Ngruwat Bumi” yang diadakan di daerah Ciater (Kabupaten Subang bagian selatan) di
Jawa Barat misalnya. Upacara adat masyarakat setempat itu telah berusia ratusan tahun dan telah
menjadi rutinitas yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat dan erat kaitannya dengan
pemeliharaan alam sekaligus ikatan sosial di sana. Hampir sama, upacara Saren taun yang sering

diadakan di daerah Ciptagelar (Kabupaten Sukabumi) dan Cigugur (Kabupaten Kuningan). 1
“Larung”, upacara adat di daerah Yogyakarta, dilakukan tiap tahunnya selepas masa panen dan
sebelum panen dengan melepaskan sejumlah bahan makanan ke laut.
Peneliti indonesianis, J.H. Boeke meneliti kondisi pedesaan di Indonesia dan memiliki
kesimpulan bahwa masyarakat desa di wilayah Indonesia ini memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini
sangat berbeda dengan kondisi di negara Barat, bahkan jika dibandingkan dengan pedesaan yang
ada di Barat. Perbedaan perkembangan sejarah dalam membentuk adat-tradisi, serta perbedaan
keadaan geografis menimbulkan adanya sistem sosial-ekonominya tersendiri. 2 Dalam
penelitiannya tersebut, secara lebih lanjut Boeke mengembangkan satu gambaran mengenai
konsepsi ekonomi di Indonesia di mana bisa dilihat kondisi yang ada antara lain: 1) Tidak adanya
faktor produksi yang jelas dalam kegiatan perekonomian masyarakat, kalaupun ada, maka faktor
produksi tersebut tidak bergerak dengan baik; 2) Belum terdapat pandangan dalam pembangunan
yang mengarah pada industrialisasi; 3) Terdapat campur tangan pemerintah pusat yang
berlebihan dalam pembangunan desa, sehingga mengakibatkan desa tidak leluasa dalam
mengembangkan pola perekonomiannya; 4) Perbedaan sumber daya manusia dan akses modal
yang sangat anjlok antara pedesaan dan perkotaannya; 5) Belum siapnya infrastruktur
masyarakat dalam menjalankan perekonomian finansial dan riil sekaligus; dan 6) Tidak bisanya
diterapkan konsep perekonomian Barat di Indonesia karena perbedaan pola produksi dan
konsumsi. Kondisi ini tidak berubah hingga sekarang.
Oleh Boeke, pola tersebut memang ditempatkan sebagai penjelasan dari kondisi riil di

Indonesia. Namun, menurutnya pula, dalam masyarakat negara lain yang disebutnya sebagai
negara “underdeveloped” atau belum terjamah pembangunan yang dilakukan secara intensif,
keenam hal tersebut bisa dilihat sebagai sebab keterbelakangan perekonomian negara. Sudut
pandang Boeke yang melihat dualisme ekonomi dalam sebuah negara adalah alasan
1
2

Reportase “Warisan Budaya Agraris”, dalam Kompas, 17 Mei 2010.
Lihat J.H. Boeke, “Tropisch Koloniale Staathuishoudkunde: Het Probleem”, sebagai Disertasi (1910).

2

ketidakberkembangan perekonomian ini menjadi lebih populer pada saat diterbitkannya
penelitian J.S. Furnivall yang membahas tipikalitas perekonomian Hindia-Belanda.
Furnivall, dalam bukunya, Netherlands Indie: A Study of Plural Economy (1939),
mengatakan bahwa Hindia-Belanda merupakan sebuah masyarakat yang majemuk (plural).
Dalam hal ini, masyarakat terbentuk dari beberapa tatanan sosial yang berdampingan dan
membentuk mekanisme kompromi, tetapi sebenarnya belum berbaur dalam satu unit politik.
Furnivall juga mengatakan bahwa Hindia-Belanda adalah satu gambaran yang memperlihatkan
penguasa dan rakyatnya dari golongan yang tidak sama. 3 Walaupun dalam beberapa hal tesis

tersebut tampak bias dalam melihat politik kolonial karena terkesan mengaburkan politik
kolonial yang berusaha merangsek masuk dalam struktur tradisi di Nusantara, paling tidak
Furnivall memberikan gambaran perekonomian yang rapuh di satu sisi sekaligus lentur di sisi
yang lain. Rapuh dalam sudut pandang Barat yang melihat keberagaman yang “tidak berbaur” ini
sebagai hal yang mudah terberai, sekaligus lentur dengan kemandirian tiap-tiap tatanan yang
terpisah tersebut.
Kompleksitas Pertanian
Beberapa mengatakan mengenai Indonesia dalam kaitannya sebagai negara agraris dan
maritim. Memang, terdapat banyak tanggapan mengenai hal ini. Sejumlah pihak mengatakan
bahwa penonjolan aspek agraria dalam “semboyan” mengenai Indonesia adalah sebuah hal
menutup mata yang kita lakukan. Ironi, itulah yang mereka bilang mengenai hal ini. Menurut
mereka, dengan kekayaan laut yang sangat luas dan memiliki sumber daya tidak terbatas ini,
mengapa justru aspek lain yang menjadi konsentrasinya? Kita bisa dengan lebih mudah dan
adaptatif jika saja mau untuk menengok kelautan kita untuk digarap.
Namun, pihak yang lain mengatakan bahwa bukan suatu masalah mengembangkan
agraria. Hal ini karena agraria (pertanian) telah mengakar kuat dalam pola perilaku masyarakat.
Pertanian pun relatif lebih mudah dilakukan oleh mayoritas masyarakat plus dengan ketersediaan
sumber daya tanah kita yang subur dan potensial. Namun, pada dasarnya antara pertanian onshore maupun off-shore merupakan perhatian dalam hal bahan pangan, makna dari pertanian itu
sendiri. Hal yang membuat sedikit membuat dikotomi antara keduanya mungkin ada pada
persoalan yang selalu membayangi pertanian laut (ikan, dan berbagai sumber dayanya) oleh

karena pengemplangan yang selalu dilakukan oknum ilegal dari luar wilayah Indonesia. Jika ini
yang terjadi, persoalan kelautan menjadi erat kaitannya dengan perhatian masalah keamanan
laut, yang sedang diprihatinkan sudah sejak lama; berikut soal ketegasan diplomasi kita terhadap
negara lain.
Akan lebih bijak kiranya jika kita melihat kedua hal tersebut bukan sebagai dua pendapat
dan konsep yang saling menegasikan. Bahkan sangat mungkin untuk kedua paradigma tersebut
untuk bekerja bersama dalam aplikasinya untuk lebih mendorong laju pertumbuhan ekonomi
masyarakat dan negara. Namun, jika mau untuk adil dalam menanggapi adanya perbedaan itu,
mungkin memang masuk akal juga mengenai kekecewaan dari golongan pertama yang pro pada
pembangunan kelautan. Hal yang harus dipahami adalah, munculnya anggapan mengenai hal ini
besar kemungkinannya disebabkan oleh karena kekecewaan terhadap pembangunan pertanian
yang terkesan “malas” dan tidak mengalami perkembangan sampai sekarang.
3

Lihat J.S. Furnivall, Hindia-Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk, terj., (Jakarta: Freedom Institute, 2009),
hal. 471.

3

Ada satu bagian yang menarik dalam kajian mengenai kelautan Indonesia yang ditulis

dalam jurnal Prisma dengan tema pertahanan Indonesia. Walaupun secara garis besar lebih
cenderung melihat persoalan pertahanan secara militer, ada satu bagian yang mengkritik
paradigma yang pro pada agraria yang menutup mata pada masalah kelautan Indonesia.
Argumennya mengatakan bahwa, tidak masuk akal dengan adanya wilayah laut yang lebih luas
dari daratan ini pengamanan kelautannya justru paling minim; dan, pemanfaatannya paling
lemah.4
Jika tadi telah dibilang bahwa kita harus adil dalam menanggapi dua pendapat yang
berbeda, mungkin dalam argumen yang pro-laut ini kita dapat melihat bahwa sebenarnya
kekecewaan lebih dikarenakan (benar-benar) tidak maksimalnya pengembangan agraria yang
ada. Padahal, pola pengembangan inilah yang telah “dipilih” oleh para penentu kebijakan di
ranah elit, yang sudah seharusnyalah dapat dilakukan dengan konsisten.
Memang, pada satu sisi kita harus mengakui bahwa “pilihan” kita akan pembangunan
pertanian daripada kelautan adalah hal yang sangat disayangkan dengan adanya hasil yang tidak
maksimal di akhirnya. Namun, kita pun tidak dapat menutup mata akan adanya beberapa
persoalan mendasar yang kita hadapi dalam komitmen pengembangan suatu hal; begitu pun
dalam pengembangan pertanian ini. Yang jelas, tidak ada satu hal pun yang rasa-rasanya dapat
benar-benar bebas dari hambatan. Namun apa yang sebenarnya terjadi dalam pertanian kita?
Dalam kaitannya dengan pola pikir para pemangku kebijakan misalnya, yang sangat
menampakkan tidak adanya sinergisitas pembangunan antarsektor. Isu kapling laut, menjadi isu
yang membuat para elit dan pemodal kebingungan. Namun, itu belum sepadan dengan

kebingungan masyarakat dalam mencari penghidupan dari sumber daya laut yang sebenarnya
mereka miliki. UU Pemerintahan Daerah No. 22/1999 yang direvisi menjadi UU No 32/2004
mengatur aktivitas penggunaan sumber daya laut. UU tersebut mengkapling laut menjadi banyak
bagian.5 Pertama, laut terbagi dalam tiga bagian besar: (1) dari garis pantai sampai 1/3 dari
maksimum 12 mil; (2) dari batas luar kapling pertama sampai 12 mil; dan (3) dari batas luar zona
ekonomi ekslusif (ZEE). Kedua, karena kapling pertama diserahkan hak pengelolaannya kepada
pemkab/kota pesisir, itu akan mengkapling-kapling lagi sesuai jumlah kabupaten/kota yang ada
di pesisir. Itu pun masih harus ditambah kerumitannya dengan adanya SK Menteri Pertanian No.
392/1999 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan. SK ini membagi laut menjadi tiga bagian: Jalur
I (0-6 mil) yang merupakan wilayah operasi eksklusif untuk perahu di bawah 5 gros ton (GT);
Jalur II (6-12 mil) untuk 5-60 GT; dan Jalur III (di atas 12 mil) untuk di atas 60 GT.
PP No. 54/2004 yang memberikan kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk
memberikan ijin pada usaha perikanan yang beroperasi dengan perahu sampai dengan 10 GT dan
kewenangan pemerintah provinsi untuk kapal 10-30 GT. Perahu/kapal di atas 30 GT perlu ijin
dari pemerintah pusat. Kesemua peraturan tersebut berdampingan dengan UU Perikanan No.
31/2004 dan Pedoman Pambangunan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan. UU ini menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dan
budidaya harus memperhatikan hukum adat, kearifan lokal, dan partisipasi masyarakat (Pasal 6
ayat [2]). Dalam Pedoman Pengembangan, negara mengakui keberadaan pengelolaan pulaupulau kecil berbasis adat.


4
5

Lihat jurnal Prisma, Vol. 29 No. 1/2010 (Januari 2010).
Dedi Supriadi Adhuri, “Rumitnya ‘Pengaplingan’ Laut”, dalam Kompas, 22 Maret 2010.

4

Semua peraturan tersebut pada dasarnya tergolongkan dalam definisi kapling laut dalam
kebijakan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 5/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. HP3 ini memberikan peluang bagi
pelaku ekonomi dalam mengelola sumber daya pesisir, yang berimplikasi pada kapling-kapling
yang akan terjadi. Peraturan mengenai Usaha Perikanan Tangkap itulah yang juga
mempopulerkan istilah “kluster” dalam perikanan, yang pada dasarnya adalah kapling laut.
Ekonomi subsisten masih menjadi mental masyarakat Indonesia dalam berbagai aktivitas
yang mendasarinya. Pada dasarnya, hal ini bukanlah sebuah masalah. Namun, dalam sebuah
konsep pengembangan dan pembangunan, kondisi yang demikain ini menimbulkan beberapa
implikasi yang agak rumit. Beberapa abad lalu, Indonesia sendiri pernah menjadi pasar
internasional para pedagang berbagai kerajaan di seluruh belahan dunia. Terlebih karena
mempunyai daerah Malaka, perkembangan perekonomian Nusantara berkembang sangat pesat.

Hal ini disebabkan oleh banyak faktor strategis, salah satunya tentu karena Malaka pada saat itu
berperan sebagai semacam pintu masuk bagi pedagang dari Timur Tengah dan India yang
menuju ke arah Asia Timur, dan juga sebaliknya, bagi para pedagang Cina yang memilih jalur
laut yang akan berlayar menuju Nusantara dan Timur Tengah. Malaka menjadi tempat
peristirahatan bagi para pedagang tersebut, sekaligus menjual beberapa barangnya di pelabuhan.
Selain Malaka, Samudera Pasai sebagai sebuah kerajaan di ujung utara pulau Sumatera pun
menjadi semacam portal bagi para pedagang yang akan lewat. Menurut penelitian Lombard, pada
perkembangannya wilayah Asia Tenggara ini maju pesat dalam hal perdagangan. Lalu lintas
yang sangat strategis memungkinkan beberapa tempat memonopoli dari segi wilayah dan
regulasi perdagangan.6 Paradigma perdagangan ekspansif pedagang Nusantara mengalami
perubahan menjadi paradigma agraria dengan adanya era kolonial. Banyak kajian antropologi
telah mengakui kebiasaan membagi-bagikan seluruh harta sebagai warisan untuk para
keturunannya secara adil (dengan proporsi tertentu). Pembagian ini juga meliputi harta yang
berupa tanah, yang akan dibagi menurut jumlah keturunan penerima warisan.
Hal ini, dalam implikasinya akan begitu mempengaruhi kebijakan pembangunan
pertanian yang pada dasarnya sangat berkaitan erat dengan persoalan lahan. Memang, di satu
sisi, pola tradisi pembagian harta seperti itu memungkinkan masing-masing keturunan untuk
bertahan hidup dengan harta yang didapat. Namun, dilihat dari sisi kepemilikan lahan, ini akan
menjadi persoalan yang khas dengan terpecahnya lahan di wilayah Indonesia dalam amat banyak
pemilik. Masing-masing individu memiliki lahan, yang masing-masingnya memiliki luas lahan

yang kecil. Hal inilah salah satu hal menonjol dari perwujudan semangat subsisten dalam
aktivitas kehidupan masyarakatnya. Yang terjadi kemudian adalah sulitnya pembangunan
pertanian secara masal dikarenakan terpecahnya lahan kepada banyak tangan.
Pembangunan yang Malas
Terlepas dari berbagai perdebatan antara pihak yang mendukung laut dengan tanah, yang
jelas sekarang bahwa pertanian adalah salah satu hal yang menjadi konsentrasi dari pemerintah
dalam melakukan pembangunan. Dengan adanya komitmen ini, sudah seharusnyalah pemerintah
memiliki konsep, yang akan diturunkan dalam tataran strategi dan taktiknya, untuk meraih tujuan
pembangunan.
6

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jaringan Asia, terj., (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008),
hal. 29-34.

5

Namun, seperti yang kita lihat, pemerintah seakan-akan belum memiliki konsep yang
visioner dalam pembangunan pertanian Indonesia. Seakan-akan, kita hanya dihadapkan dengan
romantisme masa lalu yang selalu menutup mata masyarakat akan ketidakmampuan pemerintah
dalam mengadakan kemajuan pertanian; bahkan, tidak juga dalam hal, paling tidak, kedaulatan
pangan. Revolusi hijau yang terjadi pada sekitar tahun 1950-1980 tidak juga berimbas positif
bagi pembangunan pertanian. Justru, hal ini menjadi alat politik segelintir golongan untuk
melakukan pencitraan, lobi-lobi politik, dan penyimpangan anggaran dalam pelaksanaannya di
lapangan. Mungkin memang dalam beberapa hal sederhana, revolusi agraria ini cukup menjadi
referensi petani untuk sedikit mengubah tata-cara bertaninya. Namun revolusi yang memiliki
empat pilar ini (irigasi, pupuk kimia, pestisida, dan varietas unggul), dalam kaitannya dengan
pembangunan sektor pertanian yang pro-masyarakat secara luas, nol; tidak memiliki dampak
signifikan. Bahkan, dalam tingkatan sebagai referensi untuk para penentu kebijakan saja,
revolusi hijau tidak memiliki kontribusi apapun dalam mengubah sistem pembangunan pertanian
kita.
Satu lagi indikator yang terllihat, bagi kalangan akademis, yang menjadi keprihatinan
tersendiri mengenai pembangunan pertanian adalah tidak diminatinya lagi fakultas pertanian di
perguruan tinggi. Kalaupun masih ada peminat yang memilih konsentrasi ini—bahkan jika ada
golongan yang akan membuktikan bahwa peminatnya masih banyak—pada kenyataannya
lulusan dari bidang ini hanya berapa persennya yang mau untuk menggeluti pertanian secara riil.
Golongan akademisi mandul dalam pengembangan pertanian, tidak ada satu pun pemikiran baru
mengenai “pertanian Indonesia”. Walaupun agaknya ini terjadi di semua fakultas—tidak hanya
pertanian—dengan kemiskinan pemikiran orisinil mengenai model khas Indonesia, namun cukup
ironi jika dalam hal yang satu ini sedikit kemajuan signifikan tidak tampak. Tentunya hal ini
bukan sepenuhnya “kesalahan” pihak perguruan tinggi yang masih dipertanyakan komitmennya
dalam kajian terkait, namun dalam hal insentif dari pemerintah, agaknya juga mengalami
kerumitan. Karir dalam bidang pertanian hari ini adalah pilihan yang benar-benar diposisikan
paling bawah dalam strata alternatif pilihan pekerjaan.
Jika beberapa pihak mengatakan bahwa komitmen lulusan pertanian tidak memiliki
komitmen dengan bidangnya dan tidak menjadikannya sebagai the way of life, itu adalah
pandangan yang naif. Para lulusan adalah manusia rasional yang tidak bisa dianggap sebagai
para filantropis idealis. Jika pada kenyatannya prospek dalam karir pertanian tidak dapat mengisi
kantong, lalu untuk apa tetap keras kepala menggelutinya?
Pertanian sendiri, yang di Indonesia identik sebagai kehidupan pedesaan, mengalami
permasalahan dalam pembangunannya yang integral dengan permasalahan dalam konteks
pembangunan pedesaan. Banyak prasangka yang salah kaprah yang merintangi hubungan dengan
kemiskinan desa pada umumnya, dan dengan kemelaratan pada khususnya. Hal ini bukan hanya
berlaku di kalangan wisatawan, namun juga di kalangan para peneliti dan pemerintahan yang
memiliki kewenangan kebijakan pembangunan.7 “Pola pikir keruangan” yang berkaitan dengan
kota, terminal, dan jaringan jalan raya misalnya. Sudut pandang perkotaan yang berorientasi
bisnis dan sarat dengan mekanisme padat modal membuat perihal keterbatasan fasilitas publik di
pedesaan menjadi halangan dalam melakukan pembangunan kreatif di wilayah pedesaan. Hal ini
merupakan logika yang terbalik, di mana kurangnya fasilitas publik di pedesaan justru
disebabkan karena tidak meratanya proyek pembangunan dilakukan.
7

Lihat Robert Chambers, Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang, terj., (Jakarta: LP3ES, 1932), hal. 17.

6

Pada kesempatan lain, terdapat “pola pikir proyek” yang menempatkan pembangunan di
pedesaan sebagai hal yang gampang. Dalam hal ini, adanya desa percontohan, misalnya,
merupakan wujud dari pola pikir sentralistis yang melihat bahwa persoalan di seluruh desa
adalah sama. Setelah melihat bahwa permasalahan di semua desa sama, pemerintah membuat
satu blueprint pembangunan ideal desa yang diterapkan pada desa terpilih yang dianggap siap
menerima percepatan pembangunan ini; harapannya supaya desa-desa lain bisa meniru. Proyek
pembangunan yang dipusatkan hanya pada beberapa wilayah ini, di satu sisi memilik implikasi
pembangunan tidak tepat bagi desa-desa lain, di sisi lain punya kelemahan pula, yaitu rentan
penyimpangan dana. Strategi serupa sering digunakan pada masa pemerintahan Soekarno dan
Soeharto di mana perhitungan produktivitas pedesaan sering dihitung hanya dengan luasan
beberapa hektar yang ditanami intensif lalu dikalikan dengan luas lahan pertanian total; dengan
demikian didapatkan angka produktivitas pertanian yang tinggi. Hal ini pada beberapa kasus juga
terjadi pada hari ini. Dalam kasus lain yang berhubungan dengan pola pikir proyek adalah
adanya pengembangan besar-besaran pada saat objek pengembangan itu sekiranya dapat
memancing banyak dana pengembangan. Kasus yang terakhir ini tidak lagi hanya sering ditemui
di jajaran birokrasi pemerintahan, namun sering pula terjadi di kampus di mana penelitian
dilakukan dengan motof dana dan donatur. Kesalahan sebelumnya, selain menimbulkan
implikasi yang langsung tampak, menimbulkan pula konsekuensi yang berkepanjangan dalam
kesalahan pola pikir berikutnya, yaitu “pola pikir kelompok sasaran”. Dengan adanya cara
pandang simplistis-sentralistis dalam pola pikir keruangan dan halangan internal dalam
penyelewengan proyek pembangunan oleh para birokrat pemerintahan dan kampus, akan
menimbulkan potensi kesalahan kelompok sasaran pembangunan.
Pemerintah, sebagai otoritas tertinggi dan penuh sumber daya, seharusnya memikirkan
hal ini dalam komitmennya memajukan pertanian secara holistik. Janji kementerian pertanian
yang akan menjalankan reformasi agraria dan visi BPN mengenai tata-guna lahan pun akan
mentah kembali jika tidak dibarengi dengan pemajuan dan kemitraan dengan ranah perguruan
tinggi. Seakan-akan menjadi komitmen pembangunan yang “malas” jika yang ada hanya konsep
yang tidak visioner dan parsial dalam menanggapi isu pertanian semacam ini. Aspek yang perlu
diperhatikan dalam pembangunan pertanian, selain persoalan lahan, mencakup beberapa hal.
Persoalan lahan, yang selama ini cenderung menjadi persoalan klasik, dengan sifatnya yang
populer untuk diperbincangkan dari dulu sampai sekarang, justru bukan yang determinan dalam
pengembangan pertanian hari ini, walaupun signifikansinya memang cukup mempengaruhi.
Satu hal yang perlu diingat adalah, pembangunan pertanian Indonesia tidak
memungkinkan penerapan model kapitalisme di dalamnya. Hal ini disebabkan, salah satunya,
karena adanya pola tradisi yang terlah disebutkan di atas, serta pola tindakan masyarakat yang
lebih luas selain itu. Keberpihakan pemerintah akan adanya pembangunan pertanian yang dapat
menghidupi dan, lebih lanjut, menyejahterakan masyarakat banyak merupakan agenda utama
pemerintah. Adanya konsep orisinil yang khas adalah salah satu hal yang paling utama dalam
pengembangan pertanian di Indonesia. Hal ini, jelas, bertumpu pada para akademisi dan
kerjasamanya dengan praktisi dalam bidang pertanian. Untuk merangsang perkembangan dalam
hal ini, perbaikan pencitraan dan insentif sangat diperlukan. Pencapaian pemikiran baru yang
orisinil mengenai pertanian Indonesia diharapkan dapat memunculkan ide baru mengenai
orientasi, formulasi, fokus, dan program yang akan dilakukan pemerintah beserta mitra yang
terkonsolidasi.

7

Sekilas Salah Pandang Esensi Masalah
Hal yang terakhir disebutkan, mengenai mitra, mungkin juga harus menjadi hal yang
dipikirkan lebih lanjut dalam menganggapi pembangunan pertanian non-konvensional. Berbagai
model detail pembangunan pertanian dalam hal manajemen harus digali lagi. Agribisnis, menjadi
salah satu pilihan dalam aksi dan manajemen pertanian dewasa ini. Selain, tentunya, dalam
dukungan modal kepada petani, kemitraan dan kesatuan visi dengan pemangku kebijakan dalam
pembangunan infrastruktur layanan publik dan akses—baik informasi maupun transportasi—
menjadi aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan pertanian secara holistik dan
visioner.
Di sini, peran pemerintah pusat sebagai pengarah dan pengelola modal dan peran
pemerintah daerah sebagai unit paling terdekat dan eksekutor pembangunan desa menjadi perlu
diperhatikan. Belakangan, kementerian koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) mengadakan program yang mengadaptasi konsep pengembangan ekonomi desa di
Thailand di mana satu desa memaksimalkan spesialisasi produksinya pada satu produk saja.
Dengan satu desa yang menggeluti satu produk tertentu, maka harapannya akan dapat diperoleh
produk yang kualitasnya lebih baik dan memperkecil biaya produksi dengan memfokuskan pada
pengembangan kapasitas pada satu produk itu. Namun, pada kenyataannya hingga kini program
tersebut belum juga bisa berjalan.
Sekilas, memang program “satu desa satu produk” unggulan ini terlihat menarik. Namun,
jika kita lihat dari berbagai sudut pandang yang lebih cermat, program ini pada dasarnya hanya
menyerupai program-program lama yang tidak melihat permasalahan utama dalam masyarakat.
Mari jadikan program ini sebagai contoh kasus menjelaskan pola kerja pemerintah yang kurang
memahami permasalahan masyarakat dan kesalahan kebijakan. Program produk desa ini
merupakan penguatan ekonomi masyarakat dengan memproyeksikan produk buatannya diekspor
ke negara lain. Hingga sekarang, hubungan antarnegara dalam kaitannya dengan perdagangan,
posisi Indonesia justru berada dalam posisi yang kurang kondusif dalam mendorong ekspansi
produknya ke luar negeri. Area bebas perdagangan Asean-Cina yang telah ditetapkan mendorong
produk luar masuk daam negeri dengan harga murah, dan menyebabkan produk lokal kalah
saing.
Dari beberapa persoalan yang telah dijelaskan sebelumnya, kita bisa menarik beberapa
permasalahan dari sekian banyak lain yang sedang dialami di Indonesia. Di sini, kita lihat
problem kekurangan produk pangan dan pembangunan di desa, berikut beserta turunan lainnya
dalam penguatan perekonomian dalam negeri. Menarik untuk melihat arah besar pembangunan
Indonesia hingga pada hari ini, di mana era percepatan pembangunan diklaim pada awal naiknya
Soeharto sebagai presiden pada tahun 1969. “Pembangunanisme” dengan implementasi cara
pikir W.W. Rostow dalam Pelita dan Repelita-nya dikatakan sebagai peletak dasar perekonomian
Indonesia yang pada masa Soekarno tidak diperhatikan. Walaupun selepas tahun 1998 segala hal
yang bernuansa Orde Baru coba untuk ditinggalkan, pada kenyataannya keterkaitan
pembangunan Indonesia dengan peninggalan sistem Orde Baru tidak bisa diubah, berada dalam
mekanisme yang sudah mapan.
Memang, hingga hari ini, “pembangunanisme” ala Rostow tersebut telah disadari
ketidakcocokannya sebagai cara melihat ketebelakangan Indonesia dalam hal pembangunan.
Selepas Orde Baru, pembangunan dalam negeri diarahkan dalam kerangka pembangunan yang
bersih, desentralistis, dan pemerintahan yang sehat: “good governance” (pemerintahan yang
8

baik). Konsep pembangunan Indonesia baru selepas 1998 adalah didasari oleh kemuakan pada
pengalaman 30 tahun penyalahgunaan kekuasaan penguasa. Good governance (GG) masuk
sebagai arah reformasi yang diharapkan mengubah kondisi bobroknya pemerintahan ke arah
yang lebih baik.
Dalam banyak hal, memang konsep yang ditawarkan dalam GG ini merupakan hal yang
menjadi keniscayaan yang harus ada dalam setiap pemerintahan: efektivitas, efisiensi,
transparansi, akuntabilitas, desentralisasi, inovasi, dan sebagainya. GG sendiri merupakan
konsep yang selalu disuarakan oleh Bank Dunia dan IMF untuk mengarahkan negara-negara
target bantuan untuk harus menerapkan syarat-syarat perubahan struktural (structural
adjustment) dalam negeri, baik berkaitan dengan undang-undang, struktur pemerintahan, maupun
sistem perekonomian. Kasus paling sederhana dalam problem internal negara sebagai bukti yang
menampakkan kelemahan negara terhadap mekanisme pasar adalah kisruh kenaikan harga bahan
bakar minyak. Selain itu, dapat kita amati bahwa UNDP menyuarakan GG dengan isu
pembangunan SDM melalui Bappenas, LSM, dan jasa pusat studi di kampus; ADB dengan
penguatan swasta; Inter-American Development Bank dengan isu civil society; EOCD dengan
akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan efektivitas, penegakan hukum; EBRD dengan HAM,
demokratisasi, dan sebagainya. Lembaga donor ini merupakan “support” bagi jalannya
pemerintahan.8
Hal yang harus diperhatikan di sini adalah kekurangan bahwa konsep pembangunan yang
menekankan aspek-aspek tersebut tidak menempatkan penguatan ekonomi lokal dan riil
masyarakat. Dilihat dari beberapa hal yang ditekankan dalam arah pembangunan yang dianut
oleh Indonesia, penguatan ekonomi lokal menjadi bertentangan dengan arah pembangunan
nasional yang telah terintegrasi kuat dengan GG sebagai konsepsi pembangunan ekonomi bebas
baru, dengan penguatan pasar internasional sebagai titik tolaknya. Baik pembangunan SDM,
pemberantasan korupsi, penguatan hukum, civil society, dan demokratisasi yang dijalankan tidak
ditujukan dalam kerangkan pembangunan ekonomi nasional berbasiskan pada masyarakat lokal.
Melainkan untuk kepentingan perkembangan sektor privat dalam setiap negara, karena dengan
adanya korupsi dan tidak kuatnya hukum maka memunculkan ekonomi biaya tinggi, tidak
adanya SDM maka daya beli masyarakat rendah, dan tanpa desentralisasi maka prosedur yang
dilalui sektor privat akan lama. Pembentukan UU Desa, berikut dengan UU lain yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyamakan struktur pemerintahan di
semua wilayah Indonesia adalah kesalahan fatal dalam penguatan masyarakat secara riil. Namun,
penyeragaman struktur ini memang menguntungkan sektor privat untuk berkembang, dengan
dikedepankannya isu efisiensi dan efektivitas. Memang, apa sisi positif dengan kemunculan
proses ekonomi institusional baru akan menimbulkan pengenalan struktur insentif dan kompetisi
pasar dalam proses penyediaan pelayanan publik, berikut dengan pembatasan peran birokrasi. 9
Namun, dengan penekanan pada mekanisme pasar yang berlangsung, dengan fakta adanya
berbagai peraturan (baik kesepakatan antarbegara maupun bahkan undang-undang dalam negeri)
yang bertujuan memperkecil posisi ideologis negara atas rakyatnya, penerapan konsep
pembangunan ini menjadi dilematis.

8

Lihat P. Panayiotopoulus dan G. Capps (Eds.), World Development: An Introduction (London: Pluto Press, 2001).
Lihat tulisan-tulisan yang mendukung adanya penerapan good governance, antara lain tulisan Will Barlet dan
Julian Le Grand, “The Theory of Quasi-Market”, dalam Will Barlet dan Julian Le Grand, (Eds.), Quasi-Market and
Social Policy (Hamshire&London: MacMillan Press Ltd., 1993).
9

9

Apa yang kemudian menjadi soal adalah bagaimana solusi untuk memecahkan masalah
ini, bahwa telah ada mekanisme yang telah mapan dan sulit bagi kita melepaskan diri dari
bantuan asing dan kebutuhan untuk menguatkan sektor riil dalam masyarakat. Kampus adalah
sebuah pusat penelitian dan pengembangan yang seharusnya bisa memahami masalah di
masyarakat dan melakukan gerakan dalam mengubahnya dengan berbasiskan pada intelektualitas
dan kearifannya. Pola institusionalisme dalam perubahan di masyarakat dengan meletakkan
sandaran hanya pada keluh-kesah sistem yang salah hanya membuang-buang waktu; menunggu
kebijakan publik yang harus menunggu pula disahkannya suatu undang-undang.
Daftar Pustaka
Boeke, J.H. 1910. “Tropisch Koloniale Staathuishoudkunde: Het Probleem”, sebagai Disertasi
(1910).
Chambers, Robert. 1932. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang, terj. Jakarta: LP3ES.
Furnivall, J.S. 2010. Hindia-Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk, terj. Jakarta: Freedom
Institute.
Kompas, 22 Maret 2010 dan 17 Mei 2010.
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jaringan Asia, terj. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Panayiotopoulus, P. dan Capps, G. (Eds.). 2001. World Development: An Introduction. London:
Pluto Press.
Prisma, Vol. 29 No. 1/2010 (Januari 2010).
Barlet, Will dan Le Grand, Julian. 1993. “The Theory of Quasi-Market”, dalam Barlet, Will dan
Le Grand, Julian (Eds.), Quasi-Market and Social Policy. Hamshire&London:
MacMillan Press Ltd.

10

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Perilaku Kesehatan pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakrta Angkatan 2012 pada tahun2015

8 93 81