Mengapa Harus dipahami dengan Bermadzab

Haruskah kita bermazhab? Ini menjadi pertanyaan orang yang baru menapaki dunia fikih.
Sayangnya, mereka yang bertanya semacam ini, malas belajar agama.
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Saya mau bertanya, haruskah kita fokus ke satu madzhab?
Dari: Fajar
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
Bismillah, was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,
Pertama, Pertanyaan semacam ini bagi sebagian kalangan mungkin layak dikatakan abangabang lambe. Betapa tidak, banyak diantara kita yang mempertanyakan hal ini, namun sejatinya
belum bisa memahami konsekuensinya. Kebanyakan orang yang kebingungan harus memilih
madzhab tertentu, dia sendiri sebenarnya tidak memahami isi madzhab-madzhab itu.
Sebagai contoh misalnya, ada orang yang menyarankan agar kita memilih madzhab Syafii. Dan
kita pun yakin bahwa itu lebih dekat dengan kebenaran. Kemudian, setelah kita merasa mantap
untuk memilih madzhab Syafii, apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Diam saja, tanya
ustadz, baca buku, atau bagaimana?
Kita sangat yakin, kebanyakan orang yang menghadapi semacam ini, dia hanya akan mengambil
sikap diam saja. Karena dia sendiri tidak tahu apa yang harus dia lakukan ketika ingin mengikuti
madzhab Syafii. Anehnya, dia sendiri enggan untuk kemudian mempelajari buku-buku dan karya
ulama bermadzhab Syafii. Ujung-ujungnya, dia hanya bisa bertanya kepada ustadz atau kiyai
yang dia yakini bermadzhab Syafii. Anda tahu bagaimana hasilnya?

Ya, sejatinya orang ini tidak menganut madzhab Imam Syafii, tapi menganut madzhab sang kiyai
atau ustadznya. Dus.., omong kosong ketika dia mengaku-aku dan merasa bangga dengan
madzhab Syafii, sementara dia sendiri tidak mengenal madzhab Imam Syafii. Karena itu, Anda
tidak perlu heran, ketika banyak pendapat masyarakat syafiiyah di tempat kita, yang justru
bertentangan dengan pendapat imam madzhabnya. Salah satu contohnya adalah dalam masalah
peringatan kematian. Mereka yang membela dan melestarikannya, semuanya mengaku
bermadzhab Syafii. Padahal Imam Syafii dan ulama madzhab syafiiyah sendiri menentangnya.
Anda bisa baca keterangan ini lebih panjang di: Menghadiahkan Pahala Sedekah untuk Mayit
Karena itu, yang lebih penting bukan Anda mengaku bermadzhab apa. Tapi yang lebih penting
adalah belajar dan belajar. Memahami agama ini dari sumber-sumbernya. Dengan demikian,

Anda akan bisa menimbang, manakah diantara semua pendapat itu yang lebih mendekati
kebenaran. Dengan demikian Anda bisa mengambil sikap dengan penuh keyakinan, karena Anda
tahu dasarnya. Dari pada menjadi orang awam, yang kebingungan dan terombang-ambing dalam
lautan perselisihan.
Kedua, makna kata madzhab
Agar kita bisa memahami lebih sempurna, terlebih dahulu kita pahami makna kata madzhab.
Secara bahasa, madzhab artinya tujuan keberangkatan. Kemudian kata ini mengalami perubahan,
sehingga digunakan untuk menyebut kesimpulan hukum yang menjadi tujuan akhir pembahasan,
sebagaimana keterangan al-Munawi dalam at-Tawqif.

Ad-Dasuqi dalam hasyiahnya untuk asy-Syarhul Kabir mengatakan,
‫كاةم اةلاججةتيهاةدي يةة‬
‫ب إل يي جةه ةمجن ال جأ يجح ي‬
‫ب يمالةكك يمثيللا ةعيبايرةة ي‬
‫ع يما يذيه ي‬
‫يمجذيه ي‬
Madzhab Malik berarti ungkapan untuk menyebut semua hukum hasil ijtihad yang menjadi
pendapat Imam Malik (Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir, 1:49).
Atau denagn kalimat yang lebih ringkas, madzhab = pendapat. Bermadzhab, berarti mengikuti
pendapat. Bermadzhab Syafii, artinya mengikuti pendapat Imam asy-Syafii, dst.
Dengan demikian, seorang mungkin saja mengikuti banyak madzhab, dalam berbagai ibadahnya.
Bahkan dalam satu kali shalat yang dia lakukan. Bisa saja orang shalat dengan cara takbir
menurut madzhab Hanafi, sedekap menurut madzhab Maliki, rukuk dengan madzhab Syafii, dan
i’tidal dengan madzhab Hambali. Kita tentu yakin, ada salah satu dari sekian tata cara dari
masing-masing madzhab tersebut yang lebih mendekati kebenaran. Sehingga kita bisa
mengambil kesimpulan, tidak mungkin ada satu madzhab yang pendapatnya benar secara
mutlak.
Ketiga, kita sepakat bahwa Imam yang empat, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin
Idris asy-Syafii, dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah, mereka semua adalah imam dan
panutan bagi kaum muslimin generasi setelahnya. Allah jadikan pendapat mereka diterima di hati

kaum muslimin, dari generasi ke generasi.
Namun kita juga sepakat bahwa ijtihad tidak hanya terbatas pada empat ulama ini. Karena Islam
tidak mungkin hanya berkutat pada pendapat empat imam ini. Masih banyak ulama lain yang
sekelas dengan mereka, semacam ats-Tsauri, al-Auza’I, Ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahuyah, Ibnu
Uyainah, Ibnu Mahdi, Yahya bin Qathan, dll.
Untuk itulah, para imam tersebut tidak pernah berharap agar madzhabnya disikapi sebagaimana
syariah yang maksum dari kesalahan. Demikian pula, mereka sama sekali tidak bermaksud untuk
memaksa orang lain agar mengikuti pendapatnya. Bahkan mereka menolak ketika ada orang lain
yang mengambil pendapatnya, tanpa mengetahui dalil yang menjadi dasar mereka.
Berikut diantara wasiat mereka,

Imam Abu Hanifah mengatakan,
‫إذا قلت قول يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول صلى الله عليه و سلم فاتركوا قولي‬
“Jika saya menyampaikan pendapat yang bertentangan denagn Al-Quran dan hadis Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku.” (Iqadzul Himam al-Fallani,
hlm. 50, dari Shifat Shalat Nabi, hlm. 48).
Imam Malik pernah berpesan:
‫ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه و سلم إل ويؤخذ من قوله ويترك إل النبي صلى الله عليه و سلم‬
Siapapun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pendapatnya layak diambil atau ditolak.
Kecuali keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (al-Jami’ Ibnu Abdil Bar, 2:91, dari

Shifat Shalat Nabi, hlm. 49).
Imam asy-Syafii mangatakan,
‫كل ما قلت فكان عن النبي صلى الله عليه و سلم خلف قولي مما يصح فحديث النبي أولى فل تقلدوني‬
Semua pendapatku, namun keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan
dengan pendapatku maka hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih layak diikuti dan
janganlah taqlid kepadaku. (Riwayat Ibnu Asakir dengan sanad shahih, dari Shifat Shalat Nabi,
hlm. 52)
Imam Ahmad berpesan,
‫ل تقلدني ول تقلد مالكا ول الشافعي ول الوزاعي ول الثوري وخذ من حيث أخذوا‬
“Janganlah kalian taqlid kepada aku, jangan pula taqlid kepada Malik, As-Syafii, Al-Auzai, AtTsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.” (I’lam al-Muwaqi’in, 2:201).
Kita bisa memastikan, bagaimana semangat mereka dalam mengajarkan kebaikan kepada umat.
Sama sekali bukan dalam rangka membangun kelompok baru, bukan pula menciptakan
perbedaan di kalangan umat.
Keempat, mengapa hanya 4 ini yang terkenal?
Diantara balasan yang kebaikan yang Allah berikan kepada mereka, atas jasa besar mereka bagi
kaum muslimin, Allah abadikan karya mereka dan pendapat mereka melebihi ulama lainnya.
Sebagaimana yang dinyatakan Imam Malik,
‫ما كان لله بقي‬
“Sesuatu yang murni untuk Allah maka akan lebih langgeng”


Allah ciptakan para murid yang menimba ilmu dari mereka, mengabadikan pendapat dan
perjalanan hidup mereka. Para murid itu mencatat pendapat mereka, penjelasan mereka, tanya
jawab bersama mereka, termasuk prinsip mereka dalam berijtihad. Sehingga sejarah kehidupan,
ideologi, dan pemahaman mereka dikenang oleh masyarakat generasi setelahnya.
Dalam perjalanannya, para ulama generasi selanjutnya, berusaha meniru metodologi mereka
dalam berijtihad dan mengambil kesimpulan hukum. Mereka lebih mengikuti pada prinsip para
imam dalam menyimpulkan pendapat, ketimbang mengikuti pendapat sang imam. Sehingga
terbentuklah metodologi menggali kesimpulan dalil yang membedakan mereka dengan madzhab
yang lainnya. Mengingat 4 orang ini yang lebih banyak pengikutnya, jadilah madzhab 4 imam ini
lebih dikenal dibandingkan ulama lain yang sezaman dengan mereka.
Kelima, haruskah kita taqlid kepada madzhab?
Ketika menjelaskan tentang hukum taqlid madzhab, Dr. Abdullah al-Judai mengatakan,
‫ وأ يما المقل يدد‬،‫ فأ يما المجتهدد فقجد امتنيع عليةه ال يتقليدد ما دايم قادلرا على الجتهاةد‬،‫ي مقلة يةد‬
‫عاةم ي ة‬
‫ يو ي‬،‫ عالمة مجتهةد‬،‫أ ين ال ينايس صنيفاةن‬
‫ وإ ينما هو كما يقودل بعدض‬،‫ ول يتقي يدد بمذهكب من المذاهةب الربيعةة‬،‫فإ ينه مأموةر بسؤاةل من يقددر على دسؤالةه من أهةل العلةم‬
‫ وعيلى هذا أكثدر أهةل العلةم‬، (‫ب من يجسيتفةتيةه‬
‫ )مذهبدده يمذه د‬:‫العلماةء‬.
Sesungguhnya manusia terbagi menjadi dua golongan: Alim mujtahid dan Awam yang taqlid.
Seorang mujtahid, dia tidak diperbolehkan untuk taqlid selama dia masih mampu untuk

berijtihad. Sementara orang yang taqlid, dia diperintahkan untuk bertanya kepada ulama yang
mampu menjawab pertanyaannya. Dan tidak harus terikat dengan madzhab tertentu dari empat
madzhab di atas. Statusnya sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama: “Madzhabnya orang
awam sama denagn madzhabnya orang yang dia mintai fatwa.” Inilah yang menjadi pegangan
para ulama.
Kemudian beliau melanjutkan,
‫ع صحيةح؛‬
‫لك ين ال يتتلدميذ لمن يقةصدد تحصييل آل يةة الجتهاةد على مذهةب من هذةه المذاهةب لجةل ما وقيع من الةعناي يةة بها مشرو ة‬
‫ة‬
‫ة‬
‫ ول ضدرويرية لتسمي يته تقليلدا‬،‫نظلرا لما ديحةيقدق من المصالةح العظييمةة في مراةتةب العلةم‬
Namun, orang yang berusaha menggali untuk mendapatkan metodologi berijtihad menurut salah
satu madzhab dalam rangka memberikan perhatian kepadanya, hukumnya disyariatkan dan
dibenarkan. Mengingat terwujudnya kemaslahatan yang besar dengan adanya penerapan
tingkatan ilmu. Dan tidak masalah jika bentuk semacam ini disebut taqlid.
‫ ولده حاةل يشبده الدمجتةهيد فيأدخدذ دحكيمده‬،‫فإجن كاين في مراةحل العلةم فلده بعدض الحاةل يشبيده العاةيم يي فيأدخدذ دحكيمده المذدكوير آنلفا‬
‫كذليك‬.
Kaitannya dengan tingkatan ilmu, ulama yang mengkaji madzhab terkadang pada satu keadaan
sama dengan orang awam. Sehingga berlaku hukum baginya sebagaimana yang telah disebutkan.
Dan terkadang dia berada pada keadaan seperti layaknya mujtahid, sehingga berlaku hukum

mujtahid baginya. (Taisir Ilmi Ushul Fiqh, 394 – 395).

Dari keterangan beliau, kita bisa mengambil kesimpulan
a. Manusia bertingkat-tingkat keilmuannya, ada yang awam, ada yang secara khusus belajar
agama, ada yang ulama mujtahid, dan ada yang menjadi mujtahid mutlak.
b. Taqlid yang dilakukan seseorang, sesuai dengan tingkatan ilmunya. Taqlid yang dilakukan
orang awam, jelas berbeda dengan taqlid yang dilakukan mereka yang sedang belajar. Demikian
pula taqlidnya seorang penuntut ilmu, tentu berbeda dengan taqlidnya ulama di atasnya, dst.
c. Dari tingkatan keilmuan itu pula, ada orang yang taqlidnya mentahan. Dia hanya menerima
hasil akhir, tanpa tahu dalilnya sepeserpun. Itulah model taqlid orang awam. Kemudian ada yang
taqlid hanya pada bagian metodologi berfikir dan berijtihad, sehingga ketika mendapatkan kasus
tertentu, dia bisa gunakan metodologi itu untuk mendapatkan jawabannya. Itulah tingkatan taqlid
yang dilakukan ulama yang menisbahkan dirinya kepada madzhab tertentu.
Kemudian, tidak lupa Dr. Abdullah al-Judai memberikan persyaratan ketika seseorang hendak
taqlid kepada madzhab tertentu,
‫ فشجردط جواةزةه أجن ل يقتةرين بعصبي يكة‬،‫ب بسبةب ال يتلةيقي إلى واحكد من هذةه المذاهةب‬
‫أ يما النةتسا د‬
“Adapun menisbahkan diri pada madzhab tertentu, disebabkan dia mengambil banyak ilmu dari
salah satu madzhab, hukumnya boleh dengan syarat tidak diiringi dengan ta’asub (taqlid buta).”
(Taisir Ilmi Ushul Fiqh, hlm. 395).

Yang dimaksud taqlid buta di sini adalah memegangi semua pendapat madzhab tersebut, tanpa
peduli benar dan salahnya.
Allahu a’lam 1

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina
www.KonsultasiSyariah.com)
Saksikan video tausyaiah ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA tentang taqlid:

1http://www.konsultasisyariah.com/haruskah-kita-bermadzhab/