Review buku sejarah sosial indonesia

Perilaku politik kiai sejak dulu sulit ditebak, mereka memiliki ukuran, nilai, dan kriteria sendiri
soal politik, di samping independensi yang tinggi terhadap semua kekuatan politik. Persoalan
kepentingan baik secara individu atau kelompok yang muncul pada kiai di Jawa (pusat) yang
berpengaruh terhadap perilaku politik kiai. Implikasi yang muncul dari perilaku politik kiai NU
terhadap induk organisasi NU; Terbentuknya kemungkinan pola konflik di kalangan ulama NU
di PKB dan PNU menjelang dan setelah pemilihan umum 1999 akibat perbedaan kepentingan,
serta tantangan dan prospek partai-partai itu ke depan.
Kedua, dari kompleksitas data yang penting dan relevan di atas, kemudian dilakukan
pengklasifikasian data dalam beberapa titik tekan persoalan munculnya perilaku politik yang
berbeda di kalangan ulama NU yakni perdoalan politik, keagamaan, sosial dan budaya. Pada
tahap inilah pendekatan-pendekatan teori yakni teori elite, politik aliran, patron client, budaya
politik, sosialisasi dan orientasi politik yang dijadikan teori untuk memahami dan meneliti
perilaku politik ulama dalam penelitian ini diterapkan.
Ketiga, dilakukan pengolahan data secara kualitatif. Dalam tahapan ini setiap data diberikan
pengertian sehingga mudah untuk dipahami. Pengertian ini dimaksudkan untuk menganalisis inti
pemikiran yang ada dalam data. Terakhir, dilakukan penyimpulan ringan sebagai langkah awal
untuk membuat kesimpulan akhir. Kerangka pikir yang menyangkut beberapa faktor yang
mempunyai kecenderungan sebagai penyebab perbedaan perilaku ulama NU di PKB digunakan
sebagai asumsi-asumsi untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan sementara dalam penelitian
ini. Penggabungan antara kerangka pikiran dan teori-teori perilaku politik yang ada dengan
kondisi obyektif hasil penelitian kemudian dijadikan pedoman untuk melakukan penyimpulan

akhir.
Bab 1 KIAI PESANTREN :
Dari Ibadah Hingga Politik
Situasi sosial politik setelah lengsernya rezim Orde baru mengalami perubahan yang sangat
siknifikan, perubahan tidak hanya pada tingkat intuisi politik saja akan tetapi juga pada sistem
kepartaian yang semula terbatas menjadi multi partai. Oleh sebab itu keadaan yang seperti ini di
manfaatkan banyak kelompok-kelompok yang berkepentingan untuk mendirikan partai politik
sebagai representatsi dari keinginan rakyat yang telah lama terkekang oleh rezim Orde baru.
Salah satu fakta politik yang turut ambil bagian dalam momentum perubahan ini adalah
organisasi NU dan kiyai pesantren. Keterlibatan NU dan kiyai pesantrendalam deklarasi Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) membuktikan kelompok kepentingan ini menaruh peduli terhadap
nasib demokratisasi di Indonesia, meskipun secara formal kebijakan NU tersebut bertabrakan
dengan keputusan muktamar NU Situbondo yang menggariskan kembali ke khittah 1926 bahwa
meletakkan posisi NU pada diameter netral dengan mengambil jarak yang sama terhadap semua
organisasi politik harus tetap dijaga..
Perpolitikan yang melibatkan organisasi NU dan kiyai pesantren merupakan konfigurasi baru
dalam perjalanan politik NU pasca keputusan kembali ke khittah 1926. Dengan sikap NU
menjadi organisasi independen dengan menarik garis secara tegas antara perjuangan keumatan

dan politik praktis, pelarangan dan jabatan, dan juga mengakibatkan kebebasan warga NU

memilih partai menjadi pudar setelah NU dan para kiyai pesantren ikut dalam pendeklarasian
PKB.
Banyak argumentasi bahwa posisi kiyai pesantren sanagat setrategis, dapat kita cermati dari
realitas sosial dalam tradisi NU. Perjuangan penting NU di bidang social keagamaan,
pendidikan, pengembangan masarakat dan bidang politik, sebagian besar berada ditangan kiyai
pesantren. Sehingga pemisahan peran NU dan kiyai pesantren sangat sulit keduanya memiliki
hubungan social kultural yang sangat kuat karena keberadaan kiyai pesantren dengan kekayaan
tradisi danm jaringan sosialnya merupakan pilar penting dan telah memberi kontribusi bagi
perkembangan NU.
Pola hubungan kekerabatan yang di bangun kiyai dalam tradisi pesantren berlangsung cukup
efektif. Sehingga tradisi pesantren dapat berkembang menjadi sisten social yang memiliki
pengaruh kepada masyarakat luas. Pengaruh pesantren dengan senioritas kiyainya, tidak hanya
pada persoalan sosial keagamaan tapi pengaruh juga pada persoalan ekonomi dan politik.
Politik NU secara organisasi dan kiyai pesantren sangat sulit dibedakan, meski keduanya adalah
intuisi yang berdiri sendiri, akan tetapi secara politis keduanya memiliki hubungan timbal balik,
artinya perpolitikan waga NU banyak dipenaruhi oleh kiyai pesantren dan sikap politik kiyai
pesanten juga sering dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan NU. Dimana perjalanan politik
beriring dengan dinamika peran politik kiyai pesantren. Bahkan peran kiyai pesantren ini
terkadang menjadi pemicu konflik di dalam NU. ( Karena dalam realitasnya persoalan-persoalan
eksternal dibawa masuk pada internal NU ) pesantren tidak hanya mampu mempertahankan

eksistansinya saja, pesantren juga memiliki antusias dan konsisten mengaplikasikan etos dan
misinya. Kemudian kiyai pesantren ini memiliki pengaruh yang sangat besar di lingkungannya
baik bidang politik maupun sosial

Bab 2 KHITTAH 1926 DAN POLITIK KIAI :
Dalam Hamparan Sejarah
Adanya kebijakan “kembali ke khittah”, pada satu sisi, memang membebaskan kiai dan umat
Islam pada umumnya dari afiliasi terhadap partai tertentu, tetapi pada sisi yang lain, hal itu telah
menyebabkan tidak saja munculnya berbagai orientasi politik di kalangan umat Islam tetapi juga
makin menurunnya politik Islam dan pengaruh politik kiai itu sendiri. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika di hampir semua kasus, politik kiai secara perorangan tidak diikuti oleh
semua pengikutnya.
Pengaruh kiai dalam wilayah politik tidak sekuat dalam bidang social dan kemasyarakatan.
Meskipun menjadi tokoh kharismatik, hanya sedikit pengikut yang merasa terdorong untuk
mengikuti langkah politik kiai. Perbedaan antara kiai dan pengikutnya dalam hubungannya
dengan perilaku politik akhirnya menjadi fenomena biasa, khususnya setelah berubahnya partai
politik Islam. Namun demikian, peran kiai secara umum masih tetap penting karena kiai berada
di garis depan dalam membimbing moralitas dan ortodoksi umat Islam.

Bab 3 REPUTASI PUNCAK POLITIK KIAI :

Keberadaan kiai pesantern dalam hal kebangsaan dan keislaman memiliki sejarah yang cukup
panjang. Dalam sejarah perjuangan merebut kemerdekaan dan menghadapi pemberontakan PKI,
kiai pesantren selalu menempatkan Negara pada posisi penting yang wajib dibela dan
dipertahankan dalam kerangka itu, kiai pesantren memandang perlu untuk memperkuat garis
perjuangan.
Kehadiran dalam setiap perubahan di ndonesia menunjukkan bahwa kiyai yang terikat pola
pemikiran Islam tradisional mampu membenahi diri untuk tetap memiliki peran dalam
membangun masa depan bangsa dan Negara. Kiai juga mampu memperbarui penafsiran mereka
tentang Islam tradisonal sesuai denagn kebutuhan situasi modern. Keberhasilan modernisasi kiai
dalam pemikiran kiyai tidak kalah dengan pemikiran kelompok social politik lain yang sejak
awal menyatakan diri sebagai organisasi modern.
Ada kontruksi sosial yang menempatkan kiai menjadi individu yang memiliki integritas moral
dan selalu memiliki pengikut, kontruksi sosial yang seperti ini menjadikan kiai menempati posisi
elit di dalam masarakat. Keberadaan kiai pada posisi bergengsi disini dapat difahami dan sudah
menjadi hukum sosial akan kebutuhan tokoh sentral (elit) dalam setiap masarakat. Elit dalam
tindakan social dapat diimplikasikan pada sebuah perubahan social, dimana keberadaan elit tidak
cukup diukur dengan kecakapan, ketrampilan dan kelihaian, tetapi dilihat dari sisi moralitas dan
konsekuensi perjuangannya. Seperti memosisikan kiai sebagai elit NU yang dikaitkan dengan
struktur kepribadian, struktur social dan struktur kebudayaan. Sehingga ketokohan seorang kiyai
tidak hanya pada lingkungan pesantren, tetapi pada lingkungan luar pesantren.

ü Karisma dan Hegemoni Politik Kiai
Sepertinya sudah menjadi rutinitas, tiap menjelang pemilu, para politisi merasa perlu
menyambangi para kiai. kiai disebut sebagai seorang guru di suatu pondok pesantren dan sarjana
ilmu keislaman. Sebagaimana layaknya seorang tamu, para kiai itu pun menyambutnya dengan
lapang dan penuh penghormatan. Semua politisi, apa pun partainya dan dari kekuatan mana pun
dia, tetap diperlakukan sama. Tidak peduli dia reformis, status quo, sipil, militer, ataupun
koruptor, semuanya mendapatkan penghormatan sepadan saat berkunjung. Sambutan kepada
seorang Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana), tak berbeda saat menyambut Gus Dur, demikian juga
dengan Amien Rais, Hamzah Haz, ataupun Megawati.
Manuver para politisi menyambangi kiai sebenarnya mudah dibaca maksud dan tujuannya.
Apakah maksud dan tujuan politisi itu tercapai, itu lain persoalan. Perilaku politik kiai semenjak
dulu susah ditebak, dan mereka memiliki ukuran, nilai, dan kriteria sendiri soal politik, di
samping punya independensi yang tinggi terhadap semua kekuatan politik. Tidak selalu sikap
baik kiai menyambut para politisi dimaknai sebagai persetujuan untuk memberikan dukungan
politik. Inilah yang perlu diklarifikasi sekaligus diketahui, baik oleh publik maupun politisi.
Sisi penting eksistensi kiai terletak pada karismanya. Karisma dalam kajian sosial susah
diketahui melalui sifat yang definitif, namun dapat dikenali melalui sederetan kepribadian kuat,

berpengaruh besar, tekun, amat ekspresif, pemberani, tegas, penuh percaya diri, supel,
berpandangan tinggi, dan energik (Shills, 1968). Karisma itu sendiri, menurut Abdul Majid

(1995), bersumber dari keluasan ilmu agama, akhlak, dan kemampuan retorikanya. Kepemilikan
karisma inilah yang membuat kiai mampu memegang otoritas kepemimpinan di luar negara yang
punya akses kuat untuk mempengaruhi dan menggerakkan massa. Dalam politik praksis, massa
adalah kuantitas suara untuk menuju puncak kekuasaan sehingga sebenarnya jelas, kepentingan
politisi adalah memanfaatkan karisma yang dimiliki para kiai untuk tujuan pragmatis politik
mereka.
Logika yang dibangun oleh para politisi sederhana, yaitu ketika ia mampu mempengaruhi
seorang kiai saja, secara otomatis ia pun akan mendulang dukungan dari massa yang dimiliki
kiai. Namun, kiai tidaklah selugu sebagaimana dikira para politisi. Alih-alih politisi
mempengaruhi para kiai, yang terjadi justru sebaliknya. Dan, itulah yang kita harapkan. Dengan
menggunakan kerangka analisis Antonio Gramsci (1891-1937), proses mempengaruhi itu saya
sebut hegemoni. Namun, saya akan menggunakan istilah ini dalam makna positif, bukan negatif
yang diperkenalkan Gramsci. Dengan menghegemoni para politisi, diharapkan para politisi akan
mengikuti moralitas, pandangan, dan nilai yang diyakini para kiai. Lantas, harus dilakukan di
wilayah mana proses hegemoni itu?
Ada dua pandangan yang terus mengalami perdebatan tentang di wilayah mana kiai seharusnya
memainkan peran hegemoninya dalam hubungannya dengan politik praktis. Pandangan pertama
menganggap peranan itu harus dimainkan di luar pagar politik praktis, yaitu peran high politics.
Alasannya terkait dengan posisi kiai yang semestinya mentransendensikan dirinya di atas semua
kelompok, di samping wajah dunia politik negeri ini yang lebih banyak menampilkan borok

busuk. Kiai sebagai tokoh panutan seharusnya berdiri di atas semua kekuatan politik; tidak
memihak pada satu kekuatan politik tertentu. Peran ini akan sirna manakala kiai sudah
mengkubu pada salah satu kekuatan politik.
Dunia kiai adalah dunia suci yang dipenuhi nilai-nilai moral, kebaikan, dan kebajikan, sementara
dunia politik penuh dengan intrik, lumpur dan noda. Sebaik dan sebersih apa pun orang,
termasuk kiai, ketika masuk politik praktis maka mau tidak mau dia akan terkena percikan
lumpur itu karena dalam dunia politik mestilah terjadi perebutan kepentingan untuk kekuasaan.
Kekuasaan itu selalu melenakan dan membuat orang lupa daratan. Legitimasi kiai itu bukan
diperoleh lewat jalur kekuasaan, namun sikap dan tindakan moralnya, di samping otoritas
keagamaan yang dimilikinya sehingga terjun ke politik praktis bukan malah meneguhkan pamor
dan karisma kiai, tetapi sebaliknya. Dan, akhirnya yang terjadi justru kiai yang dihegemoni oleh
para politisi.
Pandangan yang kedua justru kebalikan yang pertama. Justru dunia politik praktis yang selama
ini dianggap kotor itu yang perlu dibenahi dan diluruskan. Kiai sebagai sosok yang bersih,
berilmu, dan bermoral punya kewajiban untuk memperbaikinya, yaitu dengan cara masuk ke
dalamnya. Bukan hanya berdiri di luar pagar dan memberikan wejangan, namun memberikan
contoh langsung bagaimana menjadi seorang politisi yang menjunjung nilai-nilai moral dan
kebaikan. Kewajiban ini juga tidak dapat dilepaskan dari status kiai sebagai pewaris nabi.

Dalam terminologi Ali Syariati, kiai itu merupakan nabi-nabi sosial yang mencerap jalan para

nabi. Nabi tidak hanya mengkhotbahkan kebaikan dan kebajikan, namun juga memberikan
teladan dalam medan sosial. Tugas kenabian tidak hanya melulu dilakukan melalui majelis,
mimbar, dan podium, tetapi juga aksi-aksi praksis, baik melalui gerakan sosial maupun gerakan
politik. Menghindari politik dan kekuasaan yang dianggap bobrok sama dengan membiarkan
kemungkaran bertahan di muka bumi ini. Proses hegemoni juga akan lebih efektif jika masuk
dalam sistem, apalagi jika mereka bergerak secara jemaah.
Saya menganggap bahwa dua pandangan itu tidak perlu dipertentangkan karena keduanya saling
melengkapi. Artinya, proses hegemoni dapat dilakukan dari dua arah sekaligus, yaitu dari luar
sistem dan dari dalam sistem, sehingga yang terjadi sebenarnya adalah proliferasi peran.
Sebagaimana difirmankan oleh Tuhan, tidak perlu semua orang maju perang, harus ada sebagian
yang tetap tinggal untuk menyeru kebaikan. Peran dalam sistem tidak lebih utama daripada di
luar sistem. Keutamaannya justru terletak pada komitmen para kiai dalam memegang teguh dan
konsisten terhadap nilai-nilai yang ia perjuangkan sehingga di mana pun dia berada, baik dalam
kekuasaan atau di luar kekuasaan, akan senantiasa memancarkan nilai-nilai itu.
Kiai itu bagaikan bola kristal yang tiap sudutnya memendarkan cahaya yang menerangi segenap
sudut kehidupan manusia. Sudah saatnya, kita perlu kepemimpinan para malaikat untuk menarik
pendulum kekuasaan negeri ini yang sudah disesaki para setan.
Bab 4 PERSINGGUNGAN NU, KIAI DAN POLITIK :
Polemik Di Sekitar Kelahiran NU
Menurut hitungan kalender hijriyah, tanggal 31 Juli 2007 yang bertepatan dengan 16 Rajab

merupakan hari ulang tahun Nahdlatul Ulama (NU) yang ke-84. NU didirikan di Surabaya pada
16 Rajab 1344 Hijriyah, yang waktu itu bertepatan dengan 31 Januari 1926. NU didirikan untuk
menjadi wadah bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama pesantren di
dalam rangka tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada soal kepesantrenan dan kegiatan
ritual keagamaan semata, tetapi lebih ditingkatkan lagi pada kepekaan terhadap persoalan
kemasyarakatan pada umumnya.
NU juga merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan
insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, trampil, berakhlak mulia,
tentram, adil dan sejahtera. Sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan
nasional.
Kaitannya dengan ranah politik, barangkali para pendiri NU tidak pernah bermimpi untuk
menjadikan jam’iyahnya akan berkecimpung di dunia politik, karena ia lahir bukan dari
wawasan politik, bukan karena kepentingan kursi di parlemen, atau posisi penting di
pemerintahan. Akan tetapi dalam kenyataannya, selama 32 tahun (1952-1984) organisasi ulama
ini telah menceburkan diri ke dalam kancah politik.
Sikap NU atau warga NU (nahdliyin) terhadap perkembangan politik nasional memang terkesan
responsif dan akomodatif. Hal ini bisa dilacak jauh ke belakang. Sejak didirikannya (1926)

sampai tahun 1945, NU menegaskan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan. Identitas itu

ditinggalkannya ketika dari tahun 1945- 1952 bergabung dengan partai Masyumi dalam bentuk
federasi. Konflikkonflik internal antara unsur-unsur tradisionalis dan modernis di tubuh
Masyumi menyebabkan NU keluar dari Masyumi dan menyatakan sebagai partai sendiri.
Dalam Pemilu 1955, yang dikenal sebagai pemilu yang sangat demokratis itu, Partai NU keluar
sebagai partai politik terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Bila ketika NU masih bergabung
dengan Masyumi hanya kebagian 8 kursi, maka setelah berpisah, NU menduduki 45 kuri di
Parlemen. Keberhasilan NU dalam pemilu itu tidak hanya mengubah posisinya di parlemen,
tetapi juga dalam kabinet di mana dari 25 menteri yang ada, NU menduduki 5 jabatan menteri.
Dalam Pemilu 1971, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Orde Baru yang penuh dengan intrik
dan intimidasi itu, Partai NU menempati urutan kedua setelah Golkar. Bila pada Pemilu 1955 NU
mempunyai 45 wakil di Parlemen, maka pada Pemilu 1971 ini NU menduduki 58 kursi di DPR
yang berarti ada kenaikan 13 kursi.
Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengadakan restrukturisasi politik di mana di Indonesia
hanya diperbolehkan adanya tiga kekuatan sosial politik yakni: Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat partai Islam
yang ada waktu itu (NU, Parmusi, Perti dan PSII) berfusi menjadi satu partai yaitu PPP.
Meskipun NU merupakan unsur terbesar dalam PPP, namun NU tidak pernah mendapatkan
posisi yang strategis sebagai ketua umum partai. Di saat itu, situasi politik nasional juga kurang
menggandeng NU sehingga NU merasa termaginalisasikan di pentas politik nasional. Akhirnya
pada tahun 1984, melalui Muktamar NU ke- 27 di Situbondo, NU menyatakan kembali ke

khittah 1926, yakni kembali ke niatan semula sebagai organisasi sosial keagamaan.
Dengan kata lain, NU menghentikan segala aktivitas politik praktis dan kembali menggalakkan
kegiatan sosial, pendidikan dan dakwah. Dengan keputusannya ini, NU tidak lagi berafiliasi ke
PPP dan memberikan kebebasan kepada seluruh warganya, termasuk para kyai, untuk
menyalurkan aspirasi politik mereka ke partai politik mana saja yang mereka pilih. Sebagai
organisasi sosial keagamaan yang telah melepaskan baju politiknya, NU lebih luwes dibanding
bila tetap berafiliasi ke salah satu parpol. Norma-norma organisasinya lebih longgar. Meskipun
demikian, tidak tertutup kemungkinan warga NU berpartisipasi aktif di bidang politik.
Bab 5 KIAI PESANTREN DAN TRADISI POLITIK NU :
Polarisasi politik, perbedaan cara pandang dalam berpolitik juga menyebabkan perseteruan
antarkyai dan antarpesantren yang diasuhnya. Mereka adalah sama-sama warga nahdliyin.
Idealnya, para pemimpin umat termasuk para kyai, tidak terlibat langsung dalam politik praktis.
Mereka cukup sebagai guru bangsa yang selalu siap untuk dimintai nasihat dan fatwa.
Keberpihakan mereka dalam salah satu partai politik, apalagi aktif di dalamnya, akan
mengurangi akses dakwah ke masyarakat yang lebih luas.
Sebagai pewaris nabi, posisi yang sangat tinggi dalam Islam, tugas mereka adalah membimbing
umat menuju keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tugas itu insya Allah jauh
lebih bermanfaat daripada terjun di dunia politik. Belakangan ini muncul fenomena bahwa

jabatan di NU dijadikan sebagai jembatan atau batu loncatan untuk bisa dipilih menjadi anggota
legislatif atau dipilih menduduki jabatan politik, mulai dari tingkat nasional, propinsi sampai
kabupaten. Ambisi itu bolehboleh saja, tetapi alangkah baiknya bila seseorang yang sudah sejak
awal niat berkhidmah untuk NU bisa istiqamah, bisa konsisten dengan niat awalnya.
Bab 6 REALISASI KIAI PESANTREN NU DAN PKB :
Ketika era reformasi datang menyusul tumbangnya rezim Orde Baru, kesempatan untuk
mendirikan partai politik sangat terbuka. Karena NU, sebagai organisasi, terikat dengan khittah
’26 maka bukan NU yang berubah lagi menjadi partai politik, akan tetapi nafsu warganya sangat
besar untuk mendirikan parpol. Mereka mendirikan beberapa partai politik, dan yang difasilitasi
oleh PBNU adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang secara resmi didirikan pada tanggal
23 Juli 1998.
Dalam perjalanannya, partai ini tidak bisa berjalan mulus sebagaimana yang diharapkan.
Beberapa kyai sepuh NU dan para politisi yang semula sangat mendukung PKB ”lari” dan
mendirikan partai baru yang dinamakan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Dengan
berdirinya PKNU yang bidikannya juga warga nahdliyin, maka warga nahdliyin semakin banyak
mempunyai pilihan, tetapi konsekuensinya tidak akan pernah ada partai yang didukungnya bisa
menjadi besar. Sebagian orang berpendapat bahwa politik menjanjikan kursi empuk yang
menyenangkan. Itulah sebabnya tujuan politik antara lain adalah merebut kursi sebanyakbanyaknya, mengincar kedudukan dan posisi di jajaran pemerintahan.
Banyak orang, termasuk ulama dan kyai yang senang pada posisi semacam itu. Keinginan yang
seperti itu lumrah dan manusiawi selama cara untuk mencapainya dengan jalan yang terhormat
dan elegan. Ketika atensi dan energi warga NU terserap ke dalam dunia politik, ditengarai
banyak kyai dan pengasuh pesantren yang kurang memberikan perhatian terhadap jamaah dan
pesantren yang dipimpinnya. Akibatnya banyak pesantren dan madrasah yang perkembangannya
sangat memprihatinkan. Polarisasi politik, perbedaan cara pandang dalam berpolitik juga
menyebabkan perseteruan antarkyai dan antarpesantren yang diasuhnya. Mereka adalah samasama warga nahdliyin.
Idealnya, para pemimpin umat termasuk para kyai, tidak terlibat langsung dalam politik praktis.
Mereka cukup sebagai guru bangsa yang selalu siap untuk dimintai nasihat dan fatwa.
Keberpihakan mereka dalam salah satu partai politik, apalagi aktif di dalamnya, akan
mengurangi akses dakwah ke masyarakat yang lebih luas. Sebagai pewaris nabi, posisi yang
sangat tinggi dalam Islam, tugas mereka adalah membimbing umat menuju keselamatan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tugas itu insya Allah jauh lebih bermanfaat daripada terjun
di dunia politik.
Belakangan ini muncul fenomena bahwa jabatan di NU dijadikan sebagai jembatan atau batu
loncatan untuk bisa dipilih menjadi anggota legislatif atau dipilih menduduki jabatan politik,
mulai dari tingkat nasional, propinsi sampai kabupaten. Ambisi itu bolehboleh saja, tetapi
alangkah baiknya bila seseorang yang sudah sejak awal niat berkhidmah untuk NU bisa
istiqamah, bisa konsisten dengan niat awalnya.

Bab 7 KIAI PESANTREN, NU, KEGADUHAN POLITIK :
Pesantren merupakan lembaga utama tempat sejumlah besar umat Islam dididik. Arti penting
pesantren tidak hanya terletak pada kenyataan bahwa ia telah menanamkan sistem nilai Islam
yang, paling tidak, telah menciptakan masyarakat yang lebih religius, tetapi juga karena kiai
yang memimpin pesantren sering kali juga terlibat dalam wilayah politik.
Secara singkat, kepemimpinan kiai pada umumnya adalah kepemimpinan keagamaan yang
penting dan telah berlangsung lama. Afiliasi penduduk kepada kiai tertentu tampak ketika ia
dikaitkan dengan politik, dan kata “kiai saya” adalah ungkapan umum yang menunjukkan
keterkaitan penduduk dengan kiai tertentu.
Keterlibatan kiai NU dalam politik tampaknya tidak dapat dihindarkan. Posisi ulama yang berada
di garis depan masyarakat Islam tidak hanya menjadikan mereka para pemimpin informal yang
menjaga paham Ahlus sunnah wal jama’ah, tetapi juga para pemimpin politik karena, di
Indonesia, hubungan antara politik dan Islam sangat kuat. Upaya-upaya ulama untuk
mengembangkan para Ahlus sunnah wal jama’ah direalisasikan dengan mendirikan pesantren
sebagai pusat-pusat pendidikan Islam. Di sisi lain, kepentingan ulama dalam politik
direalisasikan dengan keterlibatan mereka dengan partai politik Islam.
Otoritas kiai memiliki keterbatasan legitimasi. Paling tidak, ia mempunyai batasan-batasan yang
menentukan wilayah atau situasi bagi keberlakuannya. Batasan-batasan ini bersifat normatif dan
dinyatakan secara longgar dalam konsep “berjuang demi Islam”. Konsep ini dapat digunakan
oleh pengikut kiai mana pun atau kelompok dalam masyarakat untuk menilai seorang kiai.
Sebagai pemegang otoritas keagamaan, kiai didudukkan pada posisi yang terhormat sehingga
mampu mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan emosional para pengikutnya.
Namun demikian, dalam situasi-situasi tertentu, pengaruh kiai dapat menjadi tidak bermakna
ketika otoritasnya dianggap telah menyimpang dari yang seharusnya. Pada titik ini, para pengikut
(umat) mempunyai dasar untuk menentang legitimasi keputusan kiai, khususnya dalam isu-isu
sosial dan politik, terutama dalam kasus pemilu. Anjuran kiai untuk mendukung sebuah partai
selain partai Islam, misalnya, mengundang tanggapan negatif dari para pengikutnya. Beberapa
kiai bahkan ditinggal oleh pengikutnya karena pendirian politiknya.
Kegagalan politik Islam telah mendorong kiai, melalui NU, untuk membebaskan umat Islam dari
kewajiban menganut orientasi politik tertentu. Akibatnya, afiliasi keagamaan yang sebelumnya
mengarahkan langkah-langkah politik masyarakat menjadi kabur. Kewajiban moral (agama)
yang sering dikaitkan dengan politik pun menjadi longgar. Pandangan kiai tentang pemerintah,
misalnya, telah berubah secara signifikan. Perubahan dalam kepemimpinan politik kiai dimulai
ketika NU mengeluarkan kebijakan “kembali ke khitah”. Perubahan dalam politik kiai ini
menimbulkan perubahan dalam politik Islam. Para kiai yang pada mulanya selalu mengaitkan
antara politik dan agama akhirnya membebaskan politik dari keterlibatan agama.
Dengan demikian, meskipun ada faktor-faktor eksternal yang menyebabkan runtuhnya politik
Islam, seperti pengenalan “asas tunggal” oleh pemerintah yang membuat Islam tidak lagi
menjadi ideology partai apa pun, perubahan sikap politik kiai juga merupakan faktor yang

menentukan. Sikap politik beberapa kiai yang berafiliasi dengan Golkar telah memunculkan
berbagai afiliasi politik di kalangan umat Islam. Secara singkat, kepemimpinan kiai pada
umumnya adalah kepemimpinan keagamaan yang penting dan telah berlangsung lama. Afiliasi
penduduk kepada kiai tertentu tampak ketika ia dikaitkan dengan politik, dan kata “kiai saya”
adalah ungkapan umum yang menunjukkan keterkaitan penduduk dengan kiai tertentu.
Keterlibatan kiai NU dalam politik tampaknya tidak dapat dihindarkan. Posisi ulama yang berada
di garis depan masyarakat Islam tidak hanya menjadikan mereka para pemimpin informal yang
menjaga paham Ahlus sunnah wal jama’ah, tetapi juga para pemimpin politik karena, di
Indonesia, hubungan antara politik dan Islam sangat kuat. Upaya-upaya ulama untuk
mengembangkan para Ahlus sunnah wal jama’ah, direalisasikan dengan mendirikan pesantren
sebagai pusat-pusat pendidikan Islam. Di sisi lain, kepentingan ulama dalam politik
direalisasikan dengan keterlibatan mereka dengan partai politik Islam.
Menurut Dr. Endang Turmudi, otoritas kiai memiliki keterbatasan legitimasi. Paling tidak, ia
mempunyai batasan-batasan yang menentukan wilayah atau situasi bagi keberlakuannya.
Batasan-batasan ini bersifat normatif dan dinyatakan secara longgar dalam konsep “berjuang
demi Islam”. Konsep ini dapat digunakan oleh pengikut kiai mana pun atau kelompok dalam
masyarakat untuk menilai seorang kiai.
Sebagai pemegang otoritas keagamaan, kiai didudukkan pada posisi yang terhormat sehingga
mampu mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan emosional para pengikutnya.
Namun demikian, dalam situasi-situasi tertentu, pengaruh kiai dapat menjadi tidak bermakna
ketika otoritasnya dianggap telah menyimpang dari yang seharusnya. Pada titik ini, para pengikut
(umat) mempunyai dasar untuk menentang legitimasi keputusan kiai, khususnya dalam isu-isu
sosial dan politik, terutama dalam kasus pemilu. Anjuran kiai untuk mendukung sebuah partai
selain partai Islam, misalnya, mengundang tanggapan negatif dari para pengikutnya. Beberapa
kiai bahkan ditinggal oleh pengikutnya karena pendirian politiknya.