Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gerakan Sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat) T2 092010005 BAB I

GERAKAN SOSIAL PERKUMPULAN PAPUA PUSAKA BANGSA
(Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA)

(dalam Blog Anak Kampung Kluang-Lembata), ia menulis dalam
Blognya bahwa, lingkaran kekerasan di Tanah Papua mencerminkan
kompleksitas persoalan yang serius di daerah Timur Indonesia ini.
Tragedi kekerasan hadir silih berganti ditambah dengan resistensi
perjuangan

status

sejarah

politik


Papua,

macetnya

jargon

“pemberdayaan masyarakat Papua dari pemerintah, dan saling tipu
akibat “gula-gula” otonomi khusus dan semakin terpinggirkannya
masyarakat Papua ditengah interkoneksi kuasa kapital global yang
mencengkram bumi Cenderawasih.
Dalam rezim pembangunan sentralistik Orde Baru hingga saat ini,
gerakan sosial diseluruh Indonesia dan di Tanah Papua dianggap
komunis atau separatis, gerakan sosial yang berarti rakyat yang sadar
dan bergerak menyuarakan aspirasinya menjadi ancaman serius bagi
negara. Dengan cerdas negara merendahkan makna rakyat yang
bergerak dengan kesadaran perlawanan menjadi masa yang berarti
bisa dikendalikan oleh kekuasaan negara1.
1


Sumber: fb Ngurah Suryawan (10 April 2012) Antroplogi Gerakan Sosial Bangsa Papua:
sebuah pemikiran oleh I Ngurah Suryawan dosen Fakultas sastra Universitas Negeri Papua
(UNIPA) (Blog Anak Kampung Kluang-Lembata)

1

Dominasi negara atas masyarakat adalah ciri utama Orde Baru,
pengawasan negara atas masyarakat berjalan secara ekstensif.
Campur tangan pemerintah ada diseluruh wilayah kehidupan seharihari. Birokrasi pemerintah daerah maupun birokrasi militer era Orde
Baru mengontrol masyarakat dengan berbagai cara dominasi sulit
berkembang. Secara Jelas dapat kita perhatikan bahwa ruang publik
bagi masyarakat Papua Barat untuk mengembangkan diskursusdiskursus, gerakan-gerakan sosial lainnya yang diperlukan dalam
masyarakat demokratis nyaris tidak tersedia karena yang selalu ada
adalah kontrol dan tekanan atau dominasi negara terhadap
masyarakat terlalu kuat. Gerakan atau aksi sosial masyarakat Papua
Barat oleh negara dianggap sebagai gerakan separatis dan harus
diwaspadai dengan penanganan yang cepat. Awalnya masyarakat
Papua Barat tidak mengenal kata separatis. Gerakan pengacau
keamanan (GPK), ungkapan stigma yang diberikan negara terhadap
masyarakat Papua Barat.

Dalam posisi itu juga negara memberikan lebel yang lain lagi
kepada masyarakat Papua Barat, misal seperti apa yang dikemukakan
Neles Tebay bahwa Pemerintah Indonesia sudah biasa merangkum
segala permasalahan di Papua Barat dengan “tiga K” (kemiskinan,
kebodohan dan keterbelakangan). Orang luar yang sama sekali tidak
mengunjungi Papua Barat dapat menerima begitu saja pandangan

2

bahwa “tiga K” merupakan akar dari gejolak sosial atau gerakangerakan sosial yang muncul di Tanah Papua Barat.2
Akibat dari “tiga K” yang diulangi terus menerus adalah
muncullah rasa superior dalam diri orang luar. Akhirnya mereka
memandang rendah terhadap orang asli Papua Barat. Mereka
menganggap bahwa yang bisa hanya, yang mampu, kaya, pintar hanya
mereka, maju, dan modern. Masyarakat Papua Barat sendiri melihat
dirinya dengan memakai kacamata orang luar, tidak melihat sesuatu
hal dalam dirinya yang positif agar bisa keluar dari dominasi tersebut.
Dengan demikian muncullah sebuah gerakan-gerakan masyarakat
ditunggangi kelompok-kelompok kritis dan intelektual Papua Barat
untuk menuntut keadilan kepada pemerintah pusat. Mengapa harus

intelektual? mungkin karena politik dan wakil rakyat Papua yang
seharusnya menjerit penderitaan itu ternyata bungkam, maka kaum
intelektual menjerit anti diskriminasi terhadap pembangunan disegala
bidang.
Seperti kata Vaclav Havel3 intelektual adalah mereka yang
membaktikan diri hidup untuk berpikir demi kepentingan umum dan
melihat persoalan masyarakat dan konteksnya yang lebih luas.
Intelektual itu tidak hanya kaum yang menggunakan pikiran secara
luas, tetapi juga berpihak kepada nilai-nilai kemanusiaan yang

2

Dumma Scrates Sofyan (2010) kita meminum air dari sumur kita sendiri( Kata pengantar,
Neles Tebai)

3

Jurnal Basis Edisi khusus Piere Bourdieu, dua bulanan, No 11-12, Tahun ke 52.
November-Desember 2003


3

universal. Tipe intelektual seperti ini kita lihat dengan jelas pada Piere
Bourdieu.4
Bagi Bourdieu intelektual menanggung kepentingan universal,
yakni mempertahankan kebenaran dan keperpihakan pada yang
tertindas karena:
1. Intelektual merupakan fraksi subordinat, terdominasi dari kelas
dominan (dominate fraction of dominant class) dengan demikian
intelektual mempunyai solidaritas dengan kelas lain yang
terdominasi terutama dominasi yang dilakukan dalam kerangka
kepentingan ekonomi
2. Intelektual secara tradisional mempunyai tanggungjawab moral.
3. Intelektual mempunyai otoritas untuk melakukan refleksi atas
realitas yang dihadapi.
yang paling utama bagi intelektual, menurut Bourdieu adalah
mempertahankan otonomi sebagai intelektual yakni mereka sebagai
intelektual dalam berkarya dan menyuarakan kepentingan kelompok
yang terpinggirkan oleh kuasa ekonomi dan politik, Mutahir, (2011:
9). Setelah bergulirnya era reformasi di Indonesia membuka pintu bagi

timbulnya para intelektual dengan berbagai pemikiran baru untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa Indonesia.
Gelombang euforia politik menuntut terbukanya ruang publik, yang
muncul

kemudian

terbukannya

ruang

publik

yang

memang

diperuntukkan bagi masyarakat (civil society).
4


Jurnal Basis Edisi khusus Piere Bourdieu. Dua bulanan, No 11-12, Tahun ke 52.
November-Desember 2003

4

Dalam kontek Indonesia demokrasi ruang publik tercipta hanya
untuk ruang publik elit yang bisa mengontrol ruang-ruang publik
masyarakat, dengan kata lain liberisasi muncul untuk digunakan
sekedar mewadahi nafsu atau keinginan elit. Orde Baru memang
sudah usai, dominasi atas masyarakat sudah runtuh, tetapi kebebasan
yang ada hanya menjadi ruang pertarungan antar elit politik daerah,
elit politik pusat, dan elit politik internasional, untuk meraih dominasi
politik ekonomi dan lagi-lagi masyarakatlah yang menjadi korban
penindasan.
Dalam konteks Papua setelah reformasi, pemerintah RI perlu
memberikan otonomi khusus. Apabila semua pihak mendukung
pelaksanaan otonomi khusus ini yaitu memberikan kebebasan seluasluasnya kepada bangsa Papua Barat untuk menentukan isi otonomi
khusus. Namun perlu diketahui juga bahwa kehadiran otonomi khusus
bukan hanya diberikan begitu saja. Upaya pergerakan para intelek
Papua Barat dan tokoh-tokoh masyarakat Papua Barat yang membawa

aspirasi masyarakat Papua untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia kepada presiden RI waktu itu B.J. Habibie, setelah Suharto
lengser dari kekuasaan.
Jadi lahirnya otonomi punya banyak arti, seperti yang
dikemukakan Sem Karoba dkk (2001) bahwa “otonomi punya banyak
arti, secara teori, secara retorika dan realita politik, ekonomis dari
aspek demokrasi, HAM dan supermasi hukum. Retorika ini dikaitkan
dengan realitas implementasi otonomi itu, variasi arti ini disebabkan
oleh oleh dua aspek antara teori dan pengalaman hasil retorika itu,

5

ada yang sesuai dengan teori, ada juga yang tidak. perbedaan itu
disebabkan latarbelakang dan kepentingan antara penguasa dan
bangsa/wilayah yang diberi otonomi dan realitas sosial, politik,
budaya, ekonomi masyarakat. Politik otonomisasi di Papua Barat
punya kaitan langsung dengan retorika dan kebijakan politik global.
(Karoba, dkk, 2001).
Dalam era demokrasi di Indonesia menurut penulis ada dua
gerakan sosial, yakni gerakan kelas dan gerakan kelompok etnik

misalnya gerakan buruh untuk kenaikan upah seperti yang terjadi di
PT Freeport Indonesia, dan di wilayah Indonesia lainnya, dan kelas
miskin lawan kelas yang kaya, dan yang mendukung gerakan ini hanya
mereka yang mendapatkan keuntungan ekonomi, dan muncullah
gerakan-gerakan sosial lainnya untuk menuntut keadilan terhadap
negara.
Di Papua Barat ada kelas petani dan kelas tuan tanah (kepala suku
adat) yang memunculkan banyak persoalan antara pemilik dan yang
memiliki secara sosial kultural. Masyarakat setempat bisa saja
melahirkan kekerasan, kerusuhan petani antara pemilik dan yang tidak
memiliki lahan, antara pendatang dan tuan rumah dan masalah sosial
lainnya.

Gerakan

sosial

memberikan

sumbangsih


kedalam

pembentukan opini publik dengan memberikan ruang diskursusdiskursus masalah sosial dan politik dan melalui penggabungan
sejumlah gagasan-gagasan gerakan kedalam opini publik (Public
opinion) yang dominan.

6

Jurgen Habermas memilah ruang publik menjadi dua, ruang
publik bagi kalangan borjuis (kalangan berduit) dan ruang publik
kalangan bersahaja (tak berduit) jadi kaum tak berduit adalah satu
bentuk fenomena sosial masyarakat yang menunjukan bahwa
dominasi kaum berduit atau kelas menengah jauh lebih kuat menjadi
dasar pertimbangan pengambilan kebijakan ketimbang kaum kelas
bawah. Hardiman, (2010)5 Melihat perkembangan pembangunan dan
masyarakat

orang


asli

Papua

Barat

kian

tersudutkan

dari

kesejahteraan, kepemenuhan kebutuhan dasar. Papua dieksploitasi
kekayaan alamnya dan telah menghasilkan keuntungan tak terhitung
bagi perusahaan-perusahaan nasional dan internasional. Kontribusi
bagi pembangunan negara diberikan, tetapi tidak sedikit rakyat hidup
dalam kemiskinan dan ketidakpastian hidup di Tanah sendiri.
Penderitaan kian semakin berat, sehingga muncullah gerakan sosial
ditunggangi kelompok-kelompok kritis dan berintelektual. Hal seperti
inilah yang dipraktekkan Pierre Bourdieu. Bourdieu bukanlah seorang
intelektual yang hanya berbicara dan mengajar saja tetapi seorang
intelektual

yang

terlibat

pada

perjuangan

kelompok

termarjinalisasikan. ( Basis, 2003).6
Bourdieu memberi contoh pada kita bagaimana seorang
intelektual harus bersikap, ia tidak semata-mata memihak yang lemah,
tetapi juga memihak demi alasan yang lebih luas, yakni kesejahteraan
5

Hardiman Budi, 2010. Jurgen Habermas, tentang Etika Politik, makalah w klap
2010, BU, UKSW.
6
Jurnal Basis Edisi khusus Pirre Bourdieu. Dua bulan, No 11-12, Tahun ke 52.
November-Desember 2003.

7

bangsa, nasional bahkan internasional. Demikian juga yang terjadi
kaum intelektual kita, jika kita anti diskriminasi pembangunan, anti
korupsi, anti ketidakadilan maka sikap kita mengambil bukan karena
romantisme

perjuangan

dan

pemihakan

yang

kadang-kadang

sloganisasi atau aksionisme (action)) belaka, tetapi dengan sikap
intelektual kita secara objektif bisa menunjukkan, bangsa kita
membutuhkan orang-orang cerdas untuk menjadi tombak untuk
melawan ketidakadilan yang terjadi di Tanah Papua.
Dibalik diskriminasi pembangunan, sistem pemerintahan yang
carutmarut,

pengiriman

transmigrasi

terus

menerus

terjadi,

menggadaikan Tanah Papua melalui Program Merauke Integrated
Food and Energi Estate, PT Freepot Indonesia di Timika, bangkitnya
individualisme karena adanya otonomisasi, masyarakat kita di Papua
Barat bisa ambruk justru karena kita memusuhi yang lemah dan kita
memihak kepada yang kuat. Sesungguhnya ini menyimpan kejadian,
bahwa masyarakat kita berada dalam sistem sosial yang sempurna
yang hanya ada dalam bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak
mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Artinya bahwa neoliberalisme
sungguh-sungguh telah menjadi kenyataan di Tanah Papua bila hal itu
terjadi, bakal tamatlah riwayat bangsa Papua Barat yang hendak
membangun diri atas dasar peri kemanusiaan dan keadilan sosial ini
(Kompas 28 Mei 2011)7.
Dilihat dari sudut pandang ‘wacana politik ruang’ seperti yang
digambarkan oleh Habermas, bahwa dipilah ruang publik menjadi dua
7

Menggadaikan Papua Demi Pangan. Kompas, 28 Mei 2011.

8

yaitu ruang publik bagi kalangan borjuis (kalangan berduit) dan ruang
publik untuk kalangan bersahaja (tak berduit). Gagalnya berbagai aksi
atau gerakan sosial di Tanah Papua Barat menuntut pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) sebagai kaum bersahaja adalah satu bentuk
fenomena sosial daerah yang menunjukan bahwa dominasi kaum
berduit atau kelas menengah jauh lebih kuat menjadi dasar
pertimbangan pengambilan kebijakan ketimbang kaum bersahaja atau
umumnya warga Papua Barat.
Foucault (1984:252) mengatakan bahwa, ruang adalah hal yang
paling mendasar dari praktek kekuasaan, atau ruang adalah produk
sosial. Sementara itu menurut Levebvre mengatakan bahwa hubungan
sosial hadir di dalam dan melalui ruang hubungan sosial ini tidak
memiliki realitas di luar ruang dimana mereka dihidupkan, dialami,
dan dipraktekkan. Jadi gerakan-gerakan mahasiswa dan masyarakat
tentunya sangat ditentukkan oleh situasi masa kini. Bila ia adalah satu
produk sosial, maka proses produksinya sedang dimulai sekarang dan
apa yang eksis sekarang tak lepas dari proses produksi sosial.
(Levebvre (1991:24).
Tampilnya gerakan sosial “Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa”
(P3B) terbentuk karena sebuah keprihatinan akan kondisi masyarakat
di Tanah Papua Barat dan kepedulian akan melakukan perubahan
untuk masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Papua Barat.
Gerakan sosial P3B menciptakan ruang komunikasi, interaksi, diskusi,
dan bertukar pikiran untuk mendiskusikan hal-hal yang menjadi
keprihatinan P3B dikalangan mahasiswa, masyarakat, para intelektual

9

yang kritis dan keprihatinan terhadap perkembangan pembangunan
masyarakat di Tanah Papua Barat. Melalui diskusi lepas, dan
membangun komunikasi dari jejaring sosial seperti fecebook, twitter,
frendster,

websaid

P3B

dan

jejaring

sosial

lainnya

untuk

membicarakan fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam
kehidupan.
Sedikit sejarah P3B bahwa, P3B dirintis sejak tahun 1999, dan
diresmikan pada 1 September tahun 2008, akta notaris Chandra
Lim.S.H.LL.M. No 1. Awal terbentuknya Perkumpulan Papua Pusaka
Bangsa berawal dari keprihatinan bapak Harry Widjaja. Pak Harry yang
juga adalah salah satu pendiri Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa
(P3B), dan sekaligus ketua P3B.
Pada tahun 1999 ia berangkat ke Papua Barat pertama kalinya
dan ke Nabire melalui Biak, Papua, untuk melihat sekolah berasrama
di Nabire, Tahun 2006 dimulailah pendekatan yang lebih terarah
untuk mendalami permasalahan yang terjadi di Papua Barat, setelah
mengunjungi lebih dari 20 kabupaten di provinsi Papua dan provinsi
Papua Barat pada tahun 2008. Kemudian membentuk suatu organisasi
dan didirikannya, Lembaga Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa.
Fokusnya pada pengintegrasian masyarakat pada pendidikan dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua Barat.
Komunitas ini juga didirikan untuk menuntun perubahan
paradigma kaum muda/i Papua Barat dari berorientasi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) kepada paradigma yang berorientasi ekonomi dan bisnis
dalam membangun negeri Papua Barat. Menghimpun segala informasi

10

mengenai peluang-peluang bisnis baik untuk kemanfaatan personil
maupun dan keperluan investasi pemerintah daerah Provinsi Papua
dan Papua Barat serta pemerintah daerah kabupaten. Sebagai media
produktif

dalam

rangka

menambah

dan

mengembangkan

pengetahuan bisnis melalui cara-cara diskusi lepas. Membangun
jaringan dan mitra-mitra bisnis Nasional maupun Internasional
sekaligus mempelajari bagaimana cara merawat jaringan dengan baik
dan produktif.
Berdasarkan paparan di atas penelitian

ini diarahkan untuk

melihat gerakan sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (P3B),
terutama dalam strategi pendidikan dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat melalui gerakan sosial dan aktor yang terlibat di
dalamnya. Dalam penelitian ini aktor atau agen perubahan yang akan
dikaji adalah komunitas Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (P3B).
Empat (3) hal akan dikaji dalam penelitian ini adalah: Pertama adalah
sejauh mana P3B beraktivitas dalam upayanya membangun
pendidikan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ke dua strategi
yang dipakai untuk mencapai tujuan membangun pendidikan dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ketiga menganalisa tingkat
pencapaian tujuan dengan melihat kondisi-kondisi yang berpengaruh.
Memaparkan strategi P3B dalam upayanya membangun pendidikan
dan memberdayakan ekonomi masyarakat Papua Barat, dengan
menganalisis capaian pembangunan dan pemberdayaan yang diraih.
Perlu diketahui bahwa komunitas ini pusat kegiatannya di
Jakarta, dan mempunyai cabang di beberapa kota/kabupaten di Papua

11

Barat (provinsi Papua dan provinsi Papua Barat). Penelitian akan
berfokus di Jakarta, alasan penelitian lokasi tersebut dikarenakan
kantor pusat dan aktivitas P3B di Jakarta, dan aktivitas diskusi.
Sedangkan penelitian secara khusus yang dilakukan terhadap
kelompok mahasiswa yang berdomisili di beberapa kota studi di Jawa,
yang tergabung dalam komunitas gerakan sosial Perkumpulan Papua
Pusaka Bangsa.

1.1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan persoalan
penelitian sebagai berikut:
“Bagaimana Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (P3B) melakukan
gerakan sosial dalam rangka mentransformasikan masyarakat asli
Papua Barat” (studi terhadap perkumpulan Papua Pusaka Bangsa di
Jakarta).

Konsekuensi

dari

rumusan

masalah

tersebut

telah

memunculkan pertanyaan penelitian seperti terurai di bawah ini:
1. Bagaimana latarbelakang dan proses terbentuknya gerakan
sosial P3B?
2. Bagaimana strategi gerakan yang dilakukan P3B dalam
upayanya membangun pendidikan dan memberdayakan
ekonomi masyarakat Papua Barat?
3. Bagaimana pencapaian upaya P3B beserta kondisi-kondisi
yang mempengaruhinya dalam membangun pendidikan dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua Barat?

12

1.2.

Tujuan penelitian
1. Menggambarkan dan menganalisis latarbelakang dan proses
terbentuknya gerakan sosial P3B
2. Menggambarkan strategi gerakan yang dilakukan P3B dalam
upaya membangun pendidikan dan memberdayaan ekonomi
masyarakat Papua Barat.
3. Menganalisis pencapaian upaya P3B beserta kondisi-kondisi
yang mempengaruhi dalam membangun pendidikan dan
memberdayakan ekonomi masyarakat Papua Barat.

1.3.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Akademisi yaitu dapat memberi, tambahan pengetahuan
kepada mereka yang bermaksud mendalami masalahmasalah gerakan-gerakan sosial yang berhubungan dengan
pembangunan pendidikan dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat Papua
2. Praktis yaitu memberikan masukan bagi masyarakat orang
asli Papua Barat dan pemerintah provinsi Papua dan provinsi
Papua Barat pada umumnya dalam hal yang terkait dengan
gerakan

sosial

untuk

pembangunan

pemberdayaan ekonomi masyarakat

13

pendidikan

dan

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wirausaha Migran Makassar di Papua T2 092010004 BAB I

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua T2 092011007 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gerakan Sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat)

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gerakan Sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat) T2 092010005 BAB II

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gerakan Sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat) T2 092010005 BAB IV

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gerakan Sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat) T2 092010005 BAB V

0 1 119

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gerakan Sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat) T2 092010005 BAB VI

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gerakan Sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat)

0 0 10

T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Transmigrasi Lokal Pemerintah Provinsi Papua T2 BAB I

0 0 22

T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Magister Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana FKIPUKSW T2 BAB I

0 0 7