Analisis Kemampuan Membaca Aksara Han Pada Etnis Tionghoa Di Kota Medan

(1)

BAB II

KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

Secara umum, konsep dapat diartikan sebagai suatu representasi abstrak dan umum tentang sesuatu. Karena sifatnya yang abstrak dan umum, maka konsep merupakan suatu hal yang besifat yang mental. Representasi sesuatu itu terjadi dalam pikiran. Sebuah konsep mempunyai rujukan pada kenyataan. Ada juga yang mengartikan bahwa,pengertian konsep adalah suatu medium yang menghubungkan subjek penahu dan objek yang diketahui, pikiran,dan kenyataan.

2.1 Konsep

Menurut Bahri (2008:30) pengertian konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi, sehingga objek-objek ditempatkan dalam golongan tertentu. Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk representasi mental tak berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata (lambang bahasa).

2.1.1 Kemampuan membaca

Anak dapat berbahasa melalui beberapa tahap.Secara umum proses perkembangan bahasa anak dibagi ke dalam beberapa rentang usia, yang masing-masing menunjukkan


(2)

ciri-ciri tersendiri. Menurut Guntur(Ahmad Susanto 2011: 75) menyatakan bahwa tahap perkembangan bahasa anak sebagai berikut:

a. Tahap I (pralinguistik), yaitu antara 0-1 tahun. Tahun ini terdiri dari:

1) Tahap meraba-1 (pralinguistik pertama). Tahap ini dimulai dari anak lahir sampai anak usia enam bulan, pada masa ini anak sudah mulai tertawa, menangis, dan menjerit.

2) Tahap meraba-2 (pralinguistik kedua). Pada tahap ini anak mulai menggunakan kata, tetapi masih kata yang belum ada maknanya dari

bulan ke-6 hingga 1 tahun.

b. Tahap II; (linguistik). Tahap ini terdiri dari tahap I dan II, yaitu: 1) Tahap-1 holafrastik (1tahun), pada tahap ini anak mulai menyatakan

makna keseluruhan kalimat dalam satuan kata. Perbendaharaan kata yang dimiliki anak kurang lebih 50 kosa kata.

2) Tahap-2; frase (1-2), pada tahap ini anak dapat mengucapkan dua kata, perbendaharaan anak anak sampai dengan rentang 50-100 kosa kata.

c. Tahap III; (pengembangan tata bahasa, yaitu anak prasekolah dasar 3, 4, 5 tahun). Pada tahap ini anak sudah dapat membuat kalimat. Dilihat dari aspek perkembangan tata bahasa seperti: S-P-O, anak dapat memperpanjang kata menjadi suatu kalimat.

d. Tahap IV (tata bahasa menjelang dewasa, yaitu 6-8 tahun). Tahap ini kemampuan anak sudah lebih sempurna, anak sudah dapat menggabungkan kelimat sederhana dan kalimat kompleks.


(3)

Darmiyati Zuchdi dan Budiasih (1996:6) mengungkapkan bahwa belajar bahasa dibagi atas beberapa fase perkembangan.

1) Lahir – 2 tahun, pada usia ini fase fonologis mulai berkembang, anak bermain dengan bunyi-bunyi bahasa mulai mengoceh sampai menyebutkan kata-kata sederhana.

2) Usia 2-7 tahun, pada usia ini fase yang berkembang adalah sintaktik yaitu anak mulai menunjukkan kesadaran gramatis; berbicara menggunakan kalimat.

3) Usia 7-11 tahun, pada usia ini fase yang berkembang adalah semantik, yaitu anak sudah dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung dalam kata.

Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan tahap IV yaitu fase usia 7 – 11 tahun, pada usia ini fase yang berkembang adalah semantik yaitu anak sudah dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung dalam kata.

Masri Sareb (2008:4) mengungkapkan bahwa membaca permulaan menekankan pengkondisian siswa untuk masuk dan mengenal bahan bacaan. Belum sampai pada pemahaman yang mendalam akan materi bacaan, apalagi dituntut untuk menguasai materi secara menyeluruh, lalu menyampaikan hasil pemerolehan dari membacanya.

Pada masa prasekolah, anak distimulus untuk dapat membaca permulaan. Menurut Steinberg (Ahmad Susanto, 2011: 83) membaca permulaan adalah membaca yang diajarkan secara terprogram kepada anak prasekolah. Program ini merupakan perharian pada perkataan-perkataan utuh, bermakna dalam konteks pribadi anak-anak dan bahan-bahan yang diberikan melalui permainan dan kegiatan yang menarik sebagai perantaran pembelajaran.

2.1.2 Faktor – faktor ketidakmampuan membaca

Faktor yang dapat menghambat atau memberi pengaruh buruk terhadap belajar anak dapat diklasifikasikan menjadi 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal .


(4)

2.1.2.1Faktor Internal.

Mempelajari suatu bahasa, seperti halnya bahasa mandarin pasti memiliki kendala dalam memahami penggunaan bahasa mandarin secara baik dan benar, terutama untuk memahami aksara han. Faktor internal muncul dari dalam pengguna bahasa itu sendiri. Faktor-faktor internal tersebut adalah.

1. Anak – anak tidak pernah mengulang pelajaran.

2. Kepedulian orang tua terhadap waktu belajar anak di rumah. 2.1.2.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar pribadi mahasiswa itu sendiri. Tetapi faktor eksternal sangat mempengaruhi mereka untuk dapat memahami materi pelajaran yang disampaikan. Faktor-faktor eksternal tersebut meliputi

1. Pengaruh bahasa yang digunakan sehari – hari. 2. Materi Pengajaran.

3. Materi Penyampaian yang kurang jelas. 2.1.3 Aksara Han

Ada tiga pandangan mengenai sejarah terciptanya Aksara han, yaitu: 1. Aksara tionghoa diciptakan oleh Fuxi 伏 羲 , karena Fuxi menemukan bagua 八 卦 atau yang disebut heksagram, dan menurut para pakar , aksara han tercipta dimulai dari perubahan simbol bagua/heksagram.

Mengenai pandangan aksara han katanya berasal dari bagua/heksagram, pandangan ini sudah disanggah oleh banyak para ahli. Meskipun heksagram merupakan sebuah simbol informasi, tetapi arti terkandung di dalamnya sampai sekarang masih belum terlalu jelas. Simbol dasarnya adalah “一’’ dan “一一’’,kalau di bandingkan dengan tulisan Jiaguwen甲骨文 atau tulisan tulang, jinwen金文 atau tulisan logam yang timbul kemudian,


(5)

dari tinjauan bentuk sangatlah berbeda jauh, dan tidak mungkin menjadi asal usul dari kedua tulisan tersebut,contoh :

Gambar 2.1.3 aksara yang berasal dari bagua/heksagram.

2. Aksara Tionghoa, awalnya merupakan cara membuat catatan dengan simpul 结 绳 记 事 , dan menurut sejarah awalnya catatan simpul ditemukan oleh Shennong 神农.

Pandangan mengenai catatan simpul, kebanyakan para ahli juga tidak sependapat bahwa catatan simpul merupakan asal – usul dari aksara han dan menganggap simpul hanya sebuah cara untuk mencatat sesuatu hal saja. Karena rata-rata kebanyakan masyarakat purba mengunakan cara demikian ( membuat ikat simpul) untuk menyampaikan pesan, dan tidak berubah menjadi semacam bentuk tulisan sampai sekarang, contoh : 馬(mǎ ) kuda , 媽(mā) mama.

3. Aksara Tionghoa ditemukan oleh seorang menteri sejarah dari Kaisar Kuning / Huang Di 黄 帝, yang bernama Cangjie 仓 颉, contoh :马(mǎ ) kuda, 妈(mā) mama.


(6)

Legenda mengenai seseorang yang bernama Cangjie yang menemukan tulisan sudah ada sejak akhir jaman negara-negara berperang 战国末期, sekitar abad ke 3 SM. Ada orang berpendapat bahwa Cangjie adalah seorang raja zaman kuno, seorang raja yang hidup diantara zaman Huangdi atau kaisar kuning dan zaman kaisar Shennong, ada yang mengatakan bahwa Cangjie hidup pada zaman kaisar Yandi 炎 帝, dan ada juga mengatakannya dia hidup pada zaman Fuxi.

Namun menurut Sima Qian dan Ban Gu, pakar sejarah pada zaman Dinasty Han, mengemukakan bahwa Cangjie adalah menteri sejarahnya Kaisar Kuning, oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa secara garis besar, Cang Jie adalah seseorang yang hidup sekitar 4000 tahun yang silam pada sebuah masyarakat patrilineal awal. Menurut catatan buku jaman kuno,Cang Jie adalah seorang yang memiliki empat mata, memiliki kemampuan dewata, dengan mengamati pergerakan bintang di jagat raya, dan menyelidiki bentuk garis dari tempurung kura-kura serta jejak kaki unggas, diambil dan dikumpulkan semuanya yang indah untuk digabungkan menjadi tulisan, sehingga di sebut huruf kuno. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan aksara han yang ditemukan oleh seorang menteri sejarah dari Kaisar Kuning / huang di 黄帝, yang bernama Cangjie 仓颉, karena aksara han tersebut adalah aksara yang telah di sederhanakan dan digunakan hingga saat ini.

2.1.4 Etnis Tionghoa

Etnis tionghoa ( biasa disebut juga dengan cina ) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang ( Hokkien),

Tengnang (Tiochiu) , atau Thongnyin (Hakka). Dalam

bahasa mandarin mereka disebut Tangren (orang tang ). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang cina utara menyebut diri mereka sebagai


(7)

Hanren ( orang han ). Leluhur orang Tionghoa Indonesia migrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.

Setelah negara Indonesia merdeka, orang tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 22 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia. Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkien dilafalkan sebagai Tionghoa.

Orang – orang tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara cina. Mereka termasuk suku – suku : (a) Hakka, (b) Hainan, (c) Hokkien, (d) Kantonis, (e) Hokchia, dan (f) Tiochiu. Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota – kota pelabuhan di pesisir tenggara cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quangzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.

Sebagian besar dari orang – orang tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah – daerah lain dimana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah, perkotaan adalah : Sumatra utara, Bangka belitung, Sumatra selatan, Sulawesi selatan dan Sulawesi utara.

Hakka tersebar di Aceh, Sumatra utara, Batam, Sumatra selatan, Bangka belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan barat, Banjarmasin, Sulawesi selatan, Manado, Ambon dan Jayapura.


(8)

Hainan tersebar di Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Manado. Suku Hokkien tersebar di Sumatra utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutaman di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makasar, Kendari, Sulawesi tengah, Manado, dan Ambon.

Hokchia tersebar di Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya). Tiochiu tersebar di Sumatra utara, Riau, Riau kepulauan, Sumatra Selatan, dan Kalimantan barat (khususnya di Pontianak dan ketapang). Di Tangerang , Banten. Masyarakat tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka terkadang lebih gelap dari tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut cina benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek. Sebuah tarian lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda dan Melayu.

Menurut penjelasan Monalisa Agustinus, orang tionghoa yang ada di Indonesia, Sebenarnya terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik) yanga ada di negeri cina. Umumnya mereka berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwantung, yang sangat terpencar daerah – daerahnya. Menurut seorang antropolog ternama Puspa Vasanty, setiap imigran tionghoa ke Indonesia membawa kebudayaan suku bangsanya masing – masing bersama dengan bahasanya. Para imigran tionghoa yang tersebar di Indonesia ini mulai datang sekitar abad keenam belas sampai kira – kira pertengahan abad kesembilan belas, asal dari suku bangsa Hokkien. Mereka berasal dari provinsi Fukien bagian selatan. Daerah ini merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan dagang orang cina ke seberang lautan. Orang hokkien dan keturunannya telah banyak berasimilasi dengan orang Indonesia, yang sebagian besar terdapat di Indonesia Timur, Jawa tengah, Jawa timur dan pantai barat Sumatra (Vasanty 1990:353).


(9)

Imigran tionghoa lainnya adalah suku bangsa Teo-Chiu yang berasal dari pantai selatan negeri cina di daerah pedalaman Swatow di bagian timur provinsi Kwantung. Orang Teo-Chiu dan Hakka (Khek) disukai sebagai pekerja di perkebuanan dan pertambangan di Sumatra timur, Bangka, dan Biliton. Walaupun orang Hakka merupakan suku bangsa cina yang paking banyak merantau ke seberang lautan, mereka bukan suku bangsa maritim. Pusat daerah mereka adalah provinsi Kwantung yang terutama terdiri dari daerah gunung – gunung kapur yang tandus . Orang Hakka merantau karena terpaksa atas kebutuhan mata pencaharian hidup. Selama berlangsungnya gelombang- gelombang imigrasi dari tahun 1850 sampai 1930, orang Hakka adalah orang yang palaing miskin diantara perantau tionghoa. Meraka bersama orang Teo-chiu diperkerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber –sumber mineral, sehingga sampai sekarang orang Hakka mendominasi masyarakat tionghoa di distrik tambang-tambang emas lama di Kalimantan barat, Sumatra, Bangka belitung. Sejak akhir abad kesembilan belas, orang Hakka mulai imigrasi ke Jawa barat, karena tertarik dengan perkembangan kota Jakarta dan karena dibukanya daerah perniagaan bagi pedagang tionghoa (Vasant 1990:353-353).

Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di provinsi Kwantung tinggal lah orang Kanton (Kwong Fu). Serupa dengan orang Hakka, orang Kanton terkenal di Asia tenggara sebagai buruh pertambangan. Mereka berimigrasi pada abad kesembilan belas ke Indonesia. Sebahagian besar tertarik oleh tambang – tambang timah di Pulau Bangka. Mereka umumnya datang dengan modal yang lebih besar dibanding orang Hakka dan mereka datang dengan keterampilan teknis dan pertukangan yang tinggi. Di Indonesia mereka terkenal sebagai ahli dalam pertukangan, pemilik toko – tokoo besi, dan industri kecil. Orang Kanton ini tersebar merata di seluruh kepulauan Indonesia dibanding orang Hokkian, Teo-chiu, atau Hakka. Jadi orang tionghoa perantau di Indonesia ini paling sedikitnya empat suku bangsa seperti terurai diatas.


(10)

Di Sumatera Utara orang – orang cina lebih suka disebut dengan etnis tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan penyebutan orang cina, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda, terlihat dari broadcast melalui blackberry messages oleh PAGUYUBAN SOSIAL MARGA TIONGHOA INDONESIA oleh Eddy (atas nama Ketua PSMTI kota Medan Halim Loe ).

(http://id.wikipedia.org/wiki/Penggunaan_istilah_Cina,_China,_atau_Tiongkok_di_media_m assa_d i_Indonesia) .

2.1.5 Kota Medan

Medan didirikan ole Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan seorang pemimpin bernama Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Pada ta secara resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya menjadi ibukota menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, 2 orang bumiputra, dan 1 orang Tionghoa.


(11)

Gambar 2.1.5 Pemandangan udara kota Medan pada t

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan oran sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi pada ta kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat. (Wikipedia.com )

2.2 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa sumber pustaka atau hasil penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang analisis kemampuan membaca. Tinjauan pustaka diartikan sebagai hasil dari


(12)

penelitian terdahulu yang memaparkan pandangan dan analisis yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti.

Erna Widyawa dalam skripsiya dengan judul: “Penggunaan Hanyu Pinyin sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Dalam Pembelajaran Bahasa Mandarin di SMA NEGERI 6 SURAKARTA” (2011). menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Adapun hasil laporan tugas akhir ini menjelaskan bahwa penggunaan Hanyu Pinyin mampu meningkatkan kemampuan siswa kelas bahasa SMA Negeri 6 Surakarta dalam membaca bahasa Mandarin. Hal ini disebabkan hanyu pinyin mempermudah siswa dalam mengenali Hanzi. Keberhasilan ini dibuktikan dengan adanya peningkatan nilai hasil belajar siswa sebelum penggunaan dan setelah penggunaan Hanyu Pinyin. Penelitian ini sangat mendukung peneliti untuk mengkaji penggunaan aksara han untuk meningkatkan kemampuan membaca bahasa Mandarin. Penelitian ini berbeda dengan yang dikaji oleh peneliti sendiri, karena peneliti meneliti tentang analisis kemampuan berbahasa mandarin pada etnis tionghoa di kota medan.

Nizamulanam dalam skripsinya yang berjudul “ Penggunan Hanyu Pinyin Dalam Pembelajaran Bahasa Mandarin Pada Mahasiswa Tingkat Dasar di Internasional Hotel Management School Surakarta (2012)”, memaparkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengenalan Hanyu Pinyin dalam pembelajaran bahasa Mandarin di International Hotel Management School membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari hasil latihan dan ulangan yang diberikan kepada para mahasiswa, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui observasi lapangan, kepustakaan, dokumentasi, dan wawancara. Penelitian ini sangat membantu peneliti dalam teknik pengumpulan data untuk mengkaji analisis kemampuan berbahasa mandarin pada etnis tionghoa di kota medan. Penelitian ini berbeda dengan yang dikaji oleh peneliti sendiri, karena peneliti meneliti tentang analisis kemampuan berbahasa mandarin pada etnis tionghoa di kota medan.


(13)

Mayliana dalam skripsinya dengan judul “Penggunaan Hanyu Pinyin Sebagai Dasar Pembelajaran Bahasa Mandarin di SMK Negeri 1 Surakarta (2010)”, memaparkan bahwa hanyu pinyin adalah suatu komponen dasar yang penting dalam belajar bahasa Mandarin di sekolah karena dapat mempermudah membaca huruf hanzi ( aksara cina). Penggunaan hanyu pinyin dapat mempermudah cara baca huruf hanzi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Tanggapan siswa pada saat menggunakan hanyu pinyin dalam belajar bahasa Mandarin adalah siswa bisa menerima pembelajaran dengan lebih baik, ditunjukkan dengan respon positif dari siswa antara lain tingginya antusiasme siswa dalam belajar bahasa Mandarin, serta mendapatkan hasil yang positif dari nilai yang diperoleh saat mengerjakan tes atau latihan. Penelitian ini sangat mendukung peneliti untuk mengkaji kemampuan membaca aksara han sebagai dasar pembelajaran bahasa Mandarin. Penelitian ini berbeda dengan yang dikaji oleh peneliti sendiri, karena peneliti meneliti tentang analisis kemampuan berbahasa mandarin pada etnis tionghoa di kota medan.

周健 谢海燕(2007)《留学生汉语阅读分词和语义提取能力研究》(liúxuéshēng

hànyǔ yuèdú fēncí hé yǔyì tíqǔ nénglì yánjiū) Xie Haiyan Zhou Jian "studi tentang segmentasi kata membaca bahasa mandarin dan ekstraksi semantik (2007)", tulisan ini mengkaji fenomena kesalahan segmentasi kata Cina dalam siswa tingkat menengah. Penelitian ini mengeksplorasi jenis dasar segmentasi dan ekstraksi semantik dari kata-kata baru, meringkas penyebab kesalahan dan mengusulkan saran layak untuk meningkatkan kemampuan siswa.

2.3 Landasan Teori

Untuk mendukung pembahasan dalam penelitian ini, peneliti mengutip pendekatan sebagai acuan dalam menganalisis data yang diperoleh. Adapun pendekatan yang dipaparkan dalam penelitian ini untuk mengkaji Analisis kemampuan membaca aksara han pada etnis


(14)

tionghoa di kota medan yang di fokus kan pada penelitian anak – anak yang berusia 7 – 11 tahun dengan jumlah informan 40 orang anak - anak.

kemampuan membaca adalah kemampuan orang dalam memahami isi bacaan yang diukur dengan tes yang disediakan, dan kemampuan membaca teknis adalah kemampuan dalam mengekspresikari bacaan sehingga enak untuk didengar yang diukur dengan merekam teks yang disediakan(Tarigan, 1979:7). Kemampuan membaca siswa harus ditunjang dengan kemampuan menguasai kebahasaan seperti : kosa kata, dan tata bahasa.

Dengan demikian dapat dipertegas bahwa kemampuan yang dikaitkan dengan membaca adalah kemampuan untuk merespon secara sadar susunan tertulis yang dihadapinya atau yang disimulasikan. Respon yang ditampilkan adalah respon aktif. Respon aktif ini berkaitan dengan pengelolaan terhadap tuturan tertulis. Dari beberapa teori tentang kemampua membaca yang telah dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa indikator yang dapat dijadikan acuan setiap siswa dapat dikaitkan mahir membaca secara sukses harus memiliki ketentuan untuk memahami hal-hal yang berkaitkan dengan kebahasaan dengan isi pesan.

2.3.1 Pendekatan Kemampuan Membaca

Pendekatan yang melatar belakangi kemampuan membaca ada dua yaitu pendekatan konseptual, dan pendekatan empirikal,

A. Pendekatan Konseptual

Pendekatan ini meliputi macam–macam metodoloagi pendekatan yang semuanya berangkat dari suatu konsepsi tentang membaca dan berkesudahan dengan satu model tertentu tentang proses membaca. Tokoh dalam pendekatan ini adalah Kennet s godman. Ia menyatakan bahwa membaca pada hakekatnya merupakan proses komunikasi yaitu antara


(15)

pembaca dengan tuturan tertulis yang dibacanya. Hal tersebut melatar belakangi pendekatan konseptual.

Pendekatan konseptual/konsep ini dikembangkan dari karya Jean Piaget, Jerome Bruner, David Ausubel, dan Howard Gardner. Studi-studi mereka menunjukkan bagaimana berpikir konseptual berkembang pada anak-anak dan remaja di mana pendekatan pengajaran konsep mempengaruhi pembelajaran kognitif mereka (Arends, 2007: 232). Tugas guru dalam pendekatan ini adalah bagaimana meningkatkan kemampuan siswa dalam memproses informasi. Guru menciptakan lingukungan/kondisi agar siswa mampu memiliki kemampuan berikut: dapat menangkap stimulus dari lingkungan, dapat menemukan masalah/konsep, dan dapat mengembangkan pemecahan masalah baik secara verbal maupun nonverbal.

Menurut Jerome Bruner, J. Goodnow dan George Agustin (Mulyan1,1999: 46) bahwa model pencapaian konsep dilandasi bahwa lingkungan banyak ragam dan isinya sehingga manusia/siswa mampu membedakan objek-objek dengan aspek-aspeknya. Dengan kata lain siswa harus mampu berpikir tingkat tinggi menentukan kategori untuk membentuk konsep-konsepnya. Kategori ini memungkinkan siswa untuk mengelompokkan objek-objek dengan perbedaan yang nyata berdasarkan karakteristik untuk mengurangi kerumitan lingkungan. Proses berpikir seperti ini oleh Bruner dan kawan-kawannya, dinamakan kategorisasi. Kegitan kategorisasi mempunyai dua komponen yaitu kegiatan pembentukan konsep dan kegiatan pencapaian konsep.

B. Pendekatan Empirikal

Pendekatan ini mencakup bermacam–macam pendekatan yang bertolak dari pengalaman serta penghayatan proses membaca, baik dari penyusunan teori itu sendiri maupun orang lain yang dijadikan banyak penelitian.

Teori yang memandang membaca sebagai proses berpikir sebagai seperangkat keterampilan membaca sebagai proses mempersepsi, sebagai kegiatan visual, dan membaca


(16)

sebagai pengalaman bahasa. Teori yang pertama yaitu teori yang memandang membaca sebagai proses berpikir, dirintis pengembangannya oleh Edward L Thorndike. Teori kedua yang berdasarkan pendekatan empirikal adalah teori yang memandang proses membaca sebagai penerapan keterampilan.

Sebagai suatu paham atau aliran dalam filsafat, empirisme menekankan pengalaman sebagai sumber utama untuk mendapatkan pengetahuan. Istilah empirisme berasal dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Dalam penafsiran lain dikatakan bahwa kata empeiria itu terbentuk dari en – di dalam; dan peira – suatu percobaan. Jadi artinya suatu cara menemukan pengetahuan berdasarkan pengamatan dan percobaan. Pemikiran empirisme lahir sebagai suatu sanggahan terhadap aliran filsafat rasionalisme yang mengutamakan akal sebagai sumber pengetahuan. Untuk lebih memahami filsafat empirisme kita perlu terlebih dahulu melihat dua ciri pendekatan empirisme, yaitu: pendekatan makna dan pendekatan pengetahuan. Pendekatan makna menekankan pada pengalaman; sedangkan, pendekatan pengetahuan menekankan pada kebenaran yang diperoleh melalui pengamatan (observasi), atau yang diberi istilah dengan kebenaran posteriori.

Para tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka tidak puas dengan cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh aliran rasionalisme. Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat menjunjung tinggi penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi, yaitu pembuktian dengan menggunakan logika. Sebaliknya, bagi John Locke, berpikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan pengalaman indra dalam pengembangan pengetahuan. Locke sangat menentang pendapat mazhab rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan seseorang sudah dibawa sejak lahir. Menurut Locke, pikiran manusia ketika lahir hanyalah berupa suatu lembaran bersih (tabula rasa), yang padanya pengetahuan dapat ditulis melalui


(1)

Gambar 2.1.5 Pemandangan udara kota Medan pada t

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan oran sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi pada ta kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat. (Wikipedia.com )

2.2 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa sumber pustaka atau hasil penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang analisis kemampuan membaca. Tinjauan pustaka diartikan sebagai hasil dari


(2)

penelitian terdahulu yang memaparkan pandangan dan analisis yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti.

Erna Widyawa dalam skripsiya dengan judul: “Penggunaan Hanyu Pinyin sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Dalam Pembelajaran Bahasa Mandarin di SMA NEGERI 6 SURAKARTA” (2011). menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Adapun hasil laporan tugas akhir ini menjelaskan bahwa penggunaan Hanyu Pinyin mampu meningkatkan kemampuan siswa kelas bahasa SMA Negeri 6 Surakarta dalam membaca bahasa Mandarin. Hal ini disebabkan hanyu pinyin mempermudah siswa dalam mengenali Hanzi. Keberhasilan ini dibuktikan dengan adanya peningkatan nilai hasil belajar siswa sebelum penggunaan dan setelah penggunaan Hanyu Pinyin. Penelitian ini sangat mendukung peneliti untuk mengkaji penggunaan aksara han untuk meningkatkan kemampuan membaca bahasa Mandarin. Penelitian ini berbeda dengan yang dikaji oleh peneliti sendiri, karena peneliti meneliti tentang analisis kemampuan berbahasa mandarin pada etnis tionghoa di kota medan.

Nizamulanam dalam skripsinya yang berjudul “ Penggunan Hanyu Pinyin Dalam Pembelajaran Bahasa Mandarin Pada Mahasiswa Tingkat Dasar di Internasional Hotel Management School Surakarta (2012)”, memaparkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengenalan Hanyu Pinyin dalam pembelajaran bahasa Mandarin di International Hotel Management School membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari hasil latihan dan ulangan yang diberikan kepada para mahasiswa, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui observasi lapangan, kepustakaan, dokumentasi, dan wawancara. Penelitian ini sangat membantu peneliti dalam teknik pengumpulan data untuk mengkaji analisis kemampuan berbahasa mandarin pada etnis tionghoa di kota medan. Penelitian ini berbeda dengan yang dikaji oleh peneliti sendiri, karena peneliti meneliti tentang analisis kemampuan berbahasa mandarin pada etnis tionghoa di kota medan.


(3)

Mayliana dalam skripsinya dengan judul “Penggunaan Hanyu Pinyin Sebagai Dasar Pembelajaran Bahasa Mandarin di SMK Negeri 1 Surakarta (2010)”, memaparkan bahwa hanyu pinyin adalah suatu komponen dasar yang penting dalam belajar bahasa Mandarin di sekolah karena dapat mempermudah membaca huruf hanzi ( aksara cina). Penggunaan hanyu pinyin dapat mempermudah cara baca huruf hanzi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Tanggapan siswa pada saat menggunakan hanyu pinyin dalam belajar bahasa Mandarin adalah siswa bisa menerima pembelajaran dengan lebih baik, ditunjukkan dengan respon positif dari siswa antara lain tingginya antusiasme siswa dalam belajar bahasa Mandarin, serta mendapatkan hasil yang positif dari nilai yang diperoleh saat mengerjakan tes atau latihan. Penelitian ini sangat mendukung peneliti untuk mengkaji kemampuan membaca aksara han sebagai dasar pembelajaran bahasa Mandarin. Penelitian ini berbeda dengan yang dikaji oleh peneliti sendiri, karena peneliti meneliti tentang analisis kemampuan berbahasa mandarin pada etnis tionghoa di kota medan.

周健 谢海燕(2007)《留学生汉语阅读分词和语义提取能力研究》(liúxuéshēng

hànyǔ yuèdú fēncí hé yǔyì tíqǔ nénglì yánjiū) Xie Haiyan Zhou Jian "studi tentang segmentasi

kata membaca bahasa mandarin dan ekstraksi semantik (2007)", tulisan ini mengkaji fenomena kesalahan segmentasi kata Cina dalam siswa tingkat menengah. Penelitian ini mengeksplorasi jenis dasar segmentasi dan ekstraksi semantik dari kata-kata baru, meringkas penyebab kesalahan dan mengusulkan saran layak untuk meningkatkan kemampuan siswa.

2.3 Landasan Teori

Untuk mendukung pembahasan dalam penelitian ini, peneliti mengutip pendekatan sebagai acuan dalam menganalisis data yang diperoleh. Adapun pendekatan yang dipaparkan dalam penelitian ini untuk mengkaji Analisis kemampuan membaca aksara han pada etnis


(4)

tionghoa di kota medan yang di fokus kan pada penelitian anak – anak yang berusia 7 – 11 tahun dengan jumlah informan 40 orang anak - anak.

kemampuan membaca adalah kemampuan orang dalam memahami isi bacaan yang diukur dengan tes yang disediakan, dan kemampuan membaca teknis adalah kemampuan dalam mengekspresikari bacaan sehingga enak untuk didengar yang diukur dengan merekam teks yang disediakan(Tarigan, 1979:7). Kemampuan membaca siswa harus ditunjang dengan kemampuan menguasai kebahasaan seperti : kosa kata, dan tata bahasa.

Dengan demikian dapat dipertegas bahwa kemampuan yang dikaitkan dengan membaca adalah kemampuan untuk merespon secara sadar susunan tertulis yang dihadapinya atau yang disimulasikan. Respon yang ditampilkan adalah respon aktif. Respon aktif ini berkaitan dengan pengelolaan terhadap tuturan tertulis. Dari beberapa teori tentang kemampua membaca yang telah dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa indikator yang dapat dijadikan acuan setiap siswa dapat dikaitkan mahir membaca secara sukses harus memiliki ketentuan untuk memahami hal-hal yang berkaitkan dengan kebahasaan dengan isi pesan.

2.3.1 Pendekatan Kemampuan Membaca

Pendekatan yang melatar belakangi kemampuan membaca ada dua yaitu pendekatan konseptual, dan pendekatan empirikal,

A. Pendekatan Konseptual

Pendekatan ini meliputi macam–macam metodoloagi pendekatan yang semuanya berangkat dari suatu konsepsi tentang membaca dan berkesudahan dengan satu model tertentu tentang proses membaca. Tokoh dalam pendekatan ini adalah Kennet s godman. Ia menyatakan bahwa membaca pada hakekatnya merupakan proses komunikasi yaitu antara


(5)

pembaca dengan tuturan tertulis yang dibacanya. Hal tersebut melatar belakangi pendekatan konseptual.

Pendekatan konseptual/konsep ini dikembangkan dari karya Jean Piaget, Jerome Bruner, David Ausubel, dan Howard Gardner. Studi-studi mereka menunjukkan bagaimana berpikir konseptual berkembang pada anak-anak dan remaja di mana pendekatan pengajaran konsep mempengaruhi pembelajaran kognitif mereka (Arends, 2007: 232). Tugas guru dalam pendekatan ini adalah bagaimana meningkatkan kemampuan siswa dalam memproses informasi. Guru menciptakan lingukungan/kondisi agar siswa mampu memiliki kemampuan berikut: dapat menangkap stimulus dari lingkungan, dapat menemukan masalah/konsep, dan dapat mengembangkan pemecahan masalah baik secara verbal maupun nonverbal.

Menurut Jerome Bruner, J. Goodnow dan George Agustin (Mulyan1,1999: 46) bahwa model pencapaian konsep dilandasi bahwa lingkungan banyak ragam dan isinya sehingga manusia/siswa mampu membedakan objek-objek dengan aspek-aspeknya. Dengan kata lain siswa harus mampu berpikir tingkat tinggi menentukan kategori untuk membentuk konsep-konsepnya. Kategori ini memungkinkan siswa untuk mengelompokkan objek-objek dengan perbedaan yang nyata berdasarkan karakteristik untuk mengurangi kerumitan lingkungan. Proses berpikir seperti ini oleh Bruner dan kawan-kawannya, dinamakan kategorisasi. Kegitan kategorisasi mempunyai dua komponen yaitu kegiatan pembentukan konsep dan kegiatan pencapaian konsep.

B. Pendekatan Empirikal

Pendekatan ini mencakup bermacam–macam pendekatan yang bertolak dari pengalaman serta penghayatan proses membaca, baik dari penyusunan teori itu sendiri maupun orang lain yang dijadikan banyak penelitian.

Teori yang memandang membaca sebagai proses berpikir sebagai seperangkat keterampilan membaca sebagai proses mempersepsi, sebagai kegiatan visual, dan membaca


(6)

sebagai pengalaman bahasa. Teori yang pertama yaitu teori yang memandang membaca sebagai proses berpikir, dirintis pengembangannya oleh Edward L Thorndike. Teori kedua yang berdasarkan pendekatan empirikal adalah teori yang memandang proses membaca sebagai penerapan keterampilan.

Sebagai suatu paham atau aliran dalam filsafat, empirisme menekankan pengalaman sebagai sumber utama untuk mendapatkan pengetahuan. Istilah empirisme berasal dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Dalam penafsiran lain dikatakan bahwa kata empeiria itu terbentuk dari en – di dalam; dan peira – suatu percobaan. Jadi artinya suatu cara menemukan pengetahuan berdasarkan pengamatan dan percobaan. Pemikiran empirisme lahir sebagai suatu sanggahan terhadap aliran filsafat rasionalisme yang mengutamakan akal sebagai sumber pengetahuan. Untuk lebih memahami filsafat empirisme kita perlu terlebih dahulu melihat dua ciri pendekatan empirisme, yaitu: pendekatan makna dan pendekatan pengetahuan. Pendekatan makna menekankan pada pengalaman; sedangkan, pendekatan pengetahuan menekankan pada kebenaran yang diperoleh melalui pengamatan (observasi), atau yang diberi istilah dengan kebenaran posteriori.

Para tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka tidak puas dengan cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh aliran rasionalisme. Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat menjunjung tinggi penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi, yaitu pembuktian dengan menggunakan logika. Sebaliknya, bagi John Locke, berpikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan pengalaman indra dalam pengembangan pengetahuan. Locke sangat menentang pendapat mazhab rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan seseorang sudah dibawa sejak lahir. Menurut Locke, pikiran manusia ketika lahir hanyalah berupa suatu lembaran bersih (tabula rasa), yang padanya pengetahuan dapat ditulis melalui