Berbagai Aturan dalamTransaksi di Pajak Buah Berastagi

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keberadaan pasar pada hakikatnya ialah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat agar dapat memenuhi berbagai keinginan yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup sehari-hari1. Namun faktanya saat ini, pasar tidak hanya terlihat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga menawarkan benda-benda lainnya disamping kebutuhan pokok tersebut. Pajak Buah Berastagi sebagai salah satu daerah dan tujuan objek wisata di Kabupaten Karo menghadirkan kegiatan jual-beli berbagai hasil tanaman dari petani setempat. Berbagai jenis hasil tanaman yang umumnya dijual disana adalah bermacam buah-buahan, berbagai jenis sayuran, dan beberapa tanaman hias.

Pajak Buah Berastagi berdiri disekitar Tugu Pahlawan kota Berastagi, tepatnya di Jalan Gundaling, Berastagi. Banyaknya turis atau wisatawan yang berkunjung kesana, baik wisatawan lokal maupun mancanegara, menjadikan tempat ini selalu ramai dikunjungi. Kata pajak adalah istilah khas masyarakat disana untuk menyebutkan pasar. Disinilah awal ketertarikan penulis dimulai ketika melihat kegiatan di Pajak Buah Berastagi. Mulai dari pemasokan buah-buahan yang akan dijual, sampai kepada proses tawar-menawar antara pedagang dan calon pembeli yang berlangsung disana. Tidak hanya itu, penulis juga melihat

1

Belshaw dalam Frans Seda (1981:10) menyebutkan bahwa pasar adalah tempat pembeli dan penjual untuk mengadakan transaksi atau tukar-menukar, adapun yang ditukar ini adalah barang. Barang adalah alat pemuas kebutuhan yang berwujud. Tukar-menukar barang di pasar dapat dipandang dari (1) sifat interaksi antara penjual dan pembeli; apakah tanpa pandang bulu atau tidak; (2) sistematisasi dari nilai tukar (yaitu harga-harga) sehingga dapat kita lihat apa dan


(2)

bahwa ada aturan hukum yang berlaku disana, diluar daripada aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah daerah setempat. Hal lain yang juga terlihat seperti soal kesepakatan harga. Penetapan harga yang dipatok oleh si pedagang sepertinya juga dipengaruhi oleh daerah asal wisatawan. Bila calon pembelinya adalah wisatawan mancanegara, maka si pedagang cenderung membuat harga barang dagangannya lebih mahal dibandingkan calon pembeli dari dalam negeri. Harga dari barang-barang yang dijual disana juga dapat berubah sewaktu-waktu. Beberapa faktor lain yang mempengaruhinya, seperti jumlah permintaan, musim panen dari buah tersebut, hama tanaman, dan juga faktor dari alam seperti bencana abu vulkanik Gunung Sinabung.

Bagi barang-barang yang terdapat di super market (pasar modern) dan masuk ke toko, penentuan harga dilakukan tanpa ada proses tawar-menawar, karena sudah ada harga yang tertera pada barang tersebut sehingga tidak ada kesepakatan-kesepakatan khusus ataupun aturan-aturan khusus yang disepakati antara pedagang dan pembeli dalam melakukan transaksi jual-beli di pasar.

Berbeda halnya dengan penjualan yang terdapat di pasar tradisional seperti Pajak Buah Berastagi, dimana penetapan harga dilakukan secara tawar-menawar. Untuk itu label harganya tidak diletakkan pada barang yang dijual, sehingga proses tawar-menawar lebih berperan dalam pencapaian kesepakatan harga, dan itu dapat berubah sewaktu-waktu tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Hal ini tentunya akan mengaktifkan hubungan yang lebih personal (mempribadi) dan ikatan emosional yang ada diantara pedagang dan pembeli pada saat melakukan transaksi di Pajak Buah Berastagi.


(3)

Pasar yang merupakan tempat bertemunya para pedagang dan pembeli dari berbagai lapisan masyarakat itu akhirnya berperan sebagai arena sosial. Artinya, pasar sebagai tempat bertemunya masyarakat yang beragam adalah sebagai pintu gerbang yang menghubungkan dengan dunia luar sehingga dapat menimbulkan terjadinya pertautan kebudayaan yang berlainan dari kebudayaan setempat. Interaksi yang terjadi di pasar dipengaruhi pula oleh pengetahuan setiap individu atau kelompok masyarakat, sedangkan pengetahuan kebudayaan merupakan kompleks, ide, nilai-nilai, serta gagasan utama yang menjadi sumber dan tolak ukur bagi setiap individu dalam bertingkah laku (Koentjaraningrat, 1990:180).

Etos kerja merupakan semangat yang terdapat di dalam diri suatu individu, tetapi tinggi rendahnya etos bukan semata-mata dilandasi oleh tumbuh atau patahnya semangat. Kenyataan yang ada sering membuktikan bahwa penetrasi atau pengaruh dari luarlah yang kadang-kadang memanipulasi unsur-unsur yang hakiki, dimana kemampuan seseorang dalam mengekspresikan diri dalam bentuk kerja tidak lepas dari sistem nilai yang berkembang dalam masyarakatnya.

Keseimbangan dalam menciptakan nilai baru membuka peluang untuk bertindak secara terstruktur. Gambaran ini menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu perbuatan yang tidak mungkin terjadi apabila individu tersebut menginginkan sesuatu perubahan ke arah yang lebih baik dan nilai atau adanya budaya yang diyakini dalam masyarakat mempengaruhi diri individu tersebut untuk berusaha melakukannya lebih baik sehingga mendapatkan hasil yang baik pula.

Dalam kegiatan jual-beli di Pajak Buah Berastagi ini sendiri menunjukkan bahwa etos kerja para pedagang dalam menjalankan perannya sebagai pedagang mempunyai strategi masing-masing dalam menarik minat pembeli, misalnya saja


(4)

ada pedagang yang melayani pembeli dengan menggunakan bahasa dari suku si pembeli meskipun pedagang tidak berasal dari suku yang sama tetapi sebisa mungkin pedagang menjalankan fungsinya demi mendapatkan pelanggan, sehingga menimbulkan keakraban antara pembeli dan penjual serta rasa nyaman yang didapatkan pembeli.

Lain lagi dengan pedagang yang menanamkan keyakinan bahwa pembeli adalah raja, pedagang mempercayai bahwa apabila mereka melakukan pelayanan yang dapat memuaskan hati para pembelinya maka peluang untuk menjadikan pembeli itu menjadi pelanggan lebih besar, sehingga dampak yang dihasilkan pedagang juga baik untuk keberlangsungan usahanya.

Berdasarkan adanya lebih dari satu hukum dalam kegiatan transaksi jual-beli di Pajak Buah Berastagi ini yang berasal dari aturan-aturan yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat dan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah, maka hal ini menimbulkan pluralisme hukum atau kemajemukan hukum.Griffiths dalam Irianto (2009:243) berpendapat bahwa pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial.Ia lebih menekankan pluralisme hukum yang diadopsinya dari Sally Falk Moore yang berkaitan dengan keragaman organisasi sosial, yang mana memiliki otonomi terbatas.

Moore (1993 : 150) menyebut otonomi terbatas dengan semi autonomous social field. Artinya, dalam satu lapangan sosial tidak ada hukum yang dominan. Suatu aturan hukum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain yang ada disekitarnya.Griffiths dan Hooker sama-sama mengemukakan satu unsur pokok dalam kaitannya dengan pengertian pluralisme hukum, yaitu bahwa pluralisme hukum ditandai dengan adanya situasi dimana di dalam masyarakat terdapat dua


(5)

atau lebih sistem hukum untuk dapat dijadikan pegangan dalam menghadapi berbagai masalah yang dialami masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini Griffiths memiliki gagasan mengenai weak legal pluralism (pluralisme hukum yang lemah) dan strong legal pluralism (pluralisme hukum yang kuat).

Dari penelitian ini, maka akan diketahui gambaran bagaimana aktor-aktor yang terlibat dalam kegiatan transaksi jual-beli serta aturan-aturan yang mungkin muncul dalam kegiatan transaksi yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat sehingga melahirkan self regulation (pengaturan sendiri) di Pajak Buah Berastagi.

Weak legal pluralism menunjukkan suatu kenyataan bahwa dari bermacam-macam sistem hukum yang berlaku, pada akhirnya hukum negaralah yang paling dominan atau berpengaruh. Sedangkan strong legal pluralism menunjukkan suatu kenyataan bahwa sistem hukum yang paling kuat atau dominan adalah norma-norma yang muncul dari kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok yang berhadapan dengan kondisi sosial masyarakat yang terus berubah, selain bisa ditentukan juga oleh kebiasaan-kebiasaan kelompok atau komunitas budaya dimana seorang pribadi atau kelompok tumbuh dan dididik.


(6)

1.2. Tinjauan Pustaka

Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 04 Tahun 2012, Pasar adalah tempat pertemuan antara pedagang dan pembeli barang maupun jasa yang diberi batas tertentu dan terdiri atas halaman/pelataran, bangunan berbentuk losd, bale-bale, dan atau kios dan bentuk lainnya yang dikelola oleh Pemerintah Daerah dan khusus disediakan untuk pedagang2. Sedangkan Pasar Daerah adalah Pasar Umum, Pasar Hewan, dan Pasar Ikan yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah. Pasar dapat pula diartikan sebagai pusat pertemuan dari masyarakat pedesaan yang berada disekitarnya.

Interaksi sesama warga pedesaan di pasar tersebut diikuti pula dengan tukar-menukar benda-benda hasil produksi bahkan pertukaran informasi tentang berbagai pengalaman diantara sesama mereka.Losd adalah sebuah bangunan tetap di dalam pasar yang sifatnya terbuka dan tanpa dinding keliling yang digunakan untuk berjualan. Bale-bale adalah bangunan tetap dalam bentuk petak yang tidak berdinding keliling, tidak berpintu, dan mempunyai atap yang dipergunakan untuk berjualan. Kios adalah sebuah bangunan tetap dalam bentuk petak yang berdinding keliling dan berpintu, yang dipergunakan untuk berjualan.

Pasar tradisional adalah pasar yang dalam pelaksanaannya bersifat tradisional dan ditandai dengan adanya pembeli serta penjual yang bertemu secara langsung. Proses jual-beli biasanya melalui proses tawar-menawar harga, dan

2

Salah satu bagian dalam Perda diatas yang mengatur tentang Retribusi Pelayanan Pasar, terdapat pada pasal 36 yang menyatakan bahwa Objek Retribusi Pelayanan Pasar adalah penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana, berupa halaman/pelataran, losd, bale-bale, kios, dan bentuk lainnya yang merupakan sarana/prasarana pasar yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang, dan pasal 37 ayat (1) yang menyatakan Subjek Retribusi Pelayanan Pasar adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa pelayanan fasilitas pasar dalam wilayah pasar, dan ayat (2) yang menyatakan Wajib Retribusi Pelayanan Pasar adalah orang pribadi atau badan yang diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi pelayanan pasar.


(7)

harga yang diberikan untuk suatu barang bukan merupakan harga tetap, dalam arti lain masih dapat ditawar, hal ini sangat berbeda dengan pasar modern. Umumnya pasar tradisional menyediakan bahan-bahan pokok serta keperluan rumah tangga.

Lokasi pasar tradisional dapat berada di tempat yang terbuka atau bahkan di pinggir jalan. Salah satu ciri khas pasar tradisional beberapa diantaranya menggunakan tenda-tenda tempat penjual memasarkan dagangannya, serta pembeli yang berjalan hilir-mudik untuk memilih dan menawar harga barang yang akan dibelinya.

Sedangkan yang dimaksud pedagang adalah individu atau sekelompok individu yang menjual produk atau barang kepada konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengkategorian pedagang dapat dibedakan atas :

 Pedagang Profesional; yaitu pedagang yang menganggap aktivitas perdagangan dan pendapatan dari hasil perdagangan merupakan sumber dan satu-satunya bagi ekonomi keluarga, dapat berupa pedagang distributor, pedagang petani, atau pedagang eceran.

 Pedagang Semi Profesional; yaitu pedagang yang mengakui aktivitasnya untuk memperoleh uang tetapi pendapatan dari hasil perdagangan merupakan sumber tambahan bagi ekonomi keluarga.

 Pedagang Subsistensi; yaitu merupakan pedagang yang menjual produk atau barang yang dari hasil aktivitas subsistensi untuk memenuhi ekonomi rumah tangga.

 Pedagang Semu; yaitu orang yang melakukan kegiatan perdagangan karena hobi atau mendapatkan suasana baru atau mengisi waktu luang. Pedagang jenis ini tidak mengharapkan kegiatan perdagangan


(8)

sebagai sarana untuk memperoleh uang, malahan mungkin saja sebaliknya (akan memperoleh kerugian dalam berdagang).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, regulasi diartikan sebagai sebuah peraturan3. Secara lebih lengkap, regulasi merupakan cara untuk mengendalikan manusia atau masyarakat dengan suatu aturan atau pembatasan tertentu. Penerapan regulasi bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk, yakni pembatasan hukum yang diberikan oleh pemerintah, regulasi oleh suatu perusahaan, dan sebagainya.

Regulasi merupakan sebuah istilah yang bisa dipakai dalam segala bidang. Pengertiannya yang cukup luas membuat istilah ini mampu mewakili semua segi ilmu. Dalam hal ini, penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana peran pemerintah daerah dalam membuat suatu kebijakan yang menyangkut regulasi di Pajak Buah Berastagi. Selain itu dalam pelaksanaannya, apakah terdapat aturan-aturan diluar kebijakan dari pemerintah, yang juga menyangkut terhadap aktivitas sehari-hari di Pajak Buah Berastagi.

Pengertian transaksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah persetujuan jual-beli dalam perdagangan antara pihak pembeli dan pedagang. Sedangkan pengertian transaksi menurut Sunarto Zulkifli dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Akuntansi Perbankan Syariah menyatakan bahwa secara umum transaksi dapat diartikan sebagai kejadian ekonomi atau keuangan yang melibatkan paling tidak dua pihak (seseorang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya) yang saling melakukan pertukaran, melibatkan diri dalam

3

Pengertian regulasi menurut para ahli pun ikut beragam, menyesuaikan bidang dan segi ilmu yang hendak dikaji. Regulasi seringkali dikaitkan dengan suatu peraturan dalam kehidupan. Peraturan tersebut bisa berupa peraturan yang mengikat suatu kelompok, lembaga, atau organisasi, untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, dan bersosialisasi.


(9)

perserikatan usaha, pinjam-meminjam atas dasar sama-sama suka ataupun atas dasar suatu ketetapan hukum atau syariah yang berlaku.

Dalam hal ini, bentuk transaksi yang akan dilihat adalah berbagai aturan atau kesepakatan yang dicapai oleh aktor-aktor yang terlibat, sehingga nantinya akan melahirkan transaksi jual-beli diantara pedagang dan pembeli di Pajak Buah Berastagi.

Hukum yang hidup diartikan dari perilaku yang nyata dari warga masyarakatnya. Hukum yang hidup digunakan sebagai aturan. Artinya adalah aturan-aturan yang menguasai kelakuan para anggota masyarakatnya seperti yang tercermin dalam kelakuan yang nyata dan yang dirasakan keharusannya, berhubung itulah cara berlaku yang paling efisien.

Hukum mendorong warga masyarakat agar berperilaku tidak menyimpang, karena adanya ancaman yang digunakan berupa paksaan. Sebenarnya warga masyarakat tidak menyadari adanya ancaman, secara otomatis berlaku menurut apa yang dituntut oleh norma sosial dan hukum. Ketaatan yang agak otomatis itu berlangsung akibat proses internalisasi dari norma yaitu proses pengasuhan sehingga seseorang menerima norma-norma sosial dan nilai budaya yang mendasarinya.

Suatu proses dapat diidentifikasikan melalui proses yang dimulai dengan mengajarkan nilai-nilai atau lebih konkritnya mengajarkan norma-norma sosial dengan menghimbau pada motivasi-motivasi supaya berbagai nilai dan norma itu dapat diterima, diinternalisasikan sehingga menjadi bahagian dari kepribadian dan dari perilaku yang sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat atau kelompok (Ihromi, 1993:4-6).


(10)

Naomi Quinn dalam Hukum dan Kemajemukan Budaya menyebutkan Antropologi Hukum menganalisis bagaimana aturan hukum beroperasi di dalam kehidupan sosial atau bagaimana hukum lokal berinteraksi dengan hukum negara. Dengan demikian, diharapkan dengan menggunakan analisis Antropologi Hukum, penelitian ini dapat mengungkapkan bagaimana aturan hukum yang berlaku dalam transaksi di Pajak Buah Berastagi dan bagaimana para pedagang buah yang ada disana dapat mematuhinya, serta kegiatan penjualan buah yang rutin berlangusng disana.

Berdasarkan hal ini dapat terlihat bahwa kegiatan transaksi jual-beli sebagai bidang sosial semi otonom yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat di Pajak Buah Berastagi menggunakan dua hukum dalam kegiatan transaksinya. Hukum yang mereka gunakan yakni berupa aturan-aturan, norma-norma yang hanya dapat dipahami dan disepakati bersama diantara mereka yang terlibat. Sedangkan hukum yang lainnya adalah hukum yang berasal dari pemerintah, yakni berupa Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2012Kabupaten Karo tentang Retribusi Jasa Umum.


(11)

1.3. Rumusan Masalah

Berbagai aturan dalam transaksi di Pajak Buah Berastagi dapat terlihat mulai dari pemasokan buah-buah atau barang dagangan lain yang akan dijual disana, sampai kepada proses tawar-menawar antara pedagang dan calon pembeli yang berlangsung disana. Tidak hanya itu, ada juga kemungkinan aturan hukum yang berjalan di luar dari pada aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah daerah setempat.

Hal lainnya yang juga terlihat seperti soal kesepakatan harga dimana penetapan harga yang dipatok oleh si pedagang sepertinya juga dipengaruhi oleh daerah asal wisatawan. Sehubungan dengan latar belakang masalah di atas maka penulis akan memfokuskan penelitian pada aturan hukum dalam transaksi di Pajak Buah Berastagi. Permasalahan ini akan dijabarkan melalui pertanyaan penelitian, sebagai berikut :

1. Bagaimana aktor-aktor yang terlibat dalam kegiatan (transaksi) jual-beli di Pajak Buah Berastagi Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

2. Seperti apa aturan-aturan yang dibuat oleh aktor-aktor yang terlibat dalam transaksi jual-beli di Pajak Buah Berastagi.

3. Apakah ada jaringan yang muncul dalam kegiatan transaksi jual-beli di Pajak Buah Berastagi.

4. Apa hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh aktor-aktor yang terlibat disana supaya tetap eksis/bertahan disana hingga sampai pada saat ini di Pajak Buah Berastagi.


(12)

1.4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Pajak Buah Berastagi, Jalan Gundaling Kelurahan Gundaling I (satu) Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo yang terletak di sekitar Tugu Perjuangan kota Berastagi. Alasan penulis memilih lokasi ini adalah karena status dari Pajak Buah Berastagi sebagai salah satu destinasi wisata di Kabupaten Karo.

Selain itu pada awalnya penulis ingin memfokuskan penelitian ini kepada dampak yang ditimbulkan aktivitas Gunung Sinabung terhadap penjualan yang ada di sana tetapi kemudian setelah meminta saran dari Pembimbing Akademik penulis pun akhirnya lebih menekankan fokus penelitian ini kepada aturan-aturan atau kesepakatan bersama yang terdapat dalam transaksi di Pajak Buah Berastagi.

Kelurahan Gundaling I mempunyai teritorial lebih kurang enam kilometer persegi. Pajak Buah Berastagi secara teritorial masuk kedalam Kelurahan Gundaling I, tetapi penatausahaannya murni dikelola oleh Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah dibawah naungan Dinas Pasar.

Orang-orang yang berjualan di pajak ini umumnya menjual buah-buahan khas yang kebanyakan berasal dari Karo, diantaranya Jeruk, Mangga, Apel, Markisa, Salak, Kasmak, dan Sunkis. Disana juga ada yang menjual pakaian, aksesoris kecil, seperti gelang, bahkan juga ada yang membuka usaha kedai kopi dan warung nasi.

Beberapa pedagang juga ada yang menawarkan sayur-sayuran yang juga kebanyakan berasal dari sana. Pajak Buah Berastagi merupakan salah satu tempat berbelanja buah bagi para wisatawan yang berkunjung kesana.


(13)

Foto 1. Sumber : Foto Leonard Ginting, 13 Februari 2015. Salah satu sisi Pajak Buah Berastagi (Jalan Camat Berastagi) yang diisi oleh

pedagang pakaian dan souvenir.

Kota sejuk yang merupakan salah satu destinasi wisata di Provinsi Sumatera Utara ini dapat ditempuh sekitar enam puluh kilometer (60 km) atau kurang lebih memakan waktu dua jam dari kota Medan4. Kondisi jalan raya yang lapang dan mulus, ditambah dengan pemandangan pepohonan yang menghiasi setiap pinggir jalan raya menuju lokasi ini menambah suasana menyenangkan saat kita hendak bepergian kesana. Namun kita perlu hati-hati saat melintasi jalan raya ini karena kondisinya yang menanjak dan berliku-liku.

4


(14)

www.indonesia.go.id/in/provinsi/sumatera-utara/pariwisata/10862-1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini hendak mengkaji tentang aturan hukum dalam transaksi di Pajak Buah Berastagi, yang mana dalam hal ini masuk dalam kajian ilmu Antropologi Hukum. Hal yang ingin dikaji adalah seperti aktor-aktor yang terlibat, berbagai hubungan yang terjalin diantara mereka, sampai kepada aturan yang dibuat oleh orang-orang yang bersangkutan didalam aturan hukum yang berjalan di Pajak Buah Berastagi.

Penulis akan mengarahkan penelitian ini kedalam bentuk metode kualitatif. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran aktor-aktor yang terlibat dalam kegiatan transaksi jual-beli serta aturan-aturan yang muncul dalam kegiatan transaksi yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat sehingga melahirkan self regulation (pengaturan sendiri) di Pajak Buah Berastagi kelurahan Gundaling I kecamatan Berastagi.

Sedangkan manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat akademis; penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan atau menjadi bahan referensi dalam ilmu Antropologi khususnya dalam bidang Antropologi Hukum dalam mendeskripsikan berbagai aturan yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat yang dianggap sebagai hukum, diluar daripada hukum yang dibuat oleh pemerintah.

2. Manfaat praktis; memberikan gambaran kepada aktor-aktor yang terlibat dan kepada masyarakat yang ingin mempelajari bahwa masih ada aturan-aturan yang disepakati dan dipahami bersama oleh mereka yang terlibat selain daripada aturan


(15)

hukum yang dibuat oleh pemerintah dalam transaksi jual-beli di Pajak Buah Berastagi. Hal ini menjelaskan bahwa hukum yang berjalan dalam transaksi jual-beli ini dapat berupa lebih dari satu hukum, yakni hukum yang dibuat oleh pemerintah yang berupa tata-tertib yang harus ditaati oleh setiap pedagang di sana dan hukum yang berasal dari kesepakatan bersama masing-masing aktor-aktor yang terlibat, berupa aturan dan norma-norma yang mereka pahami bersama untuk dapat tetap eksis atau bertahan di Pajak Buah Berastagi.


(16)

Foto 2. Sumber : Foto Tourist Information Center Berastagi, 5 Februari 2015. Peta Objek Wisata di Karo.


(17)

1.6. Pengalaman Penelitian

Pengalaman penelitian yang penulis dapatkan di lapangan selama penyusunan skripsi ini berlangsung dimulai dari melengkapi surat-surat dari Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat atau Bakesbang Kabupaten Karo. Hal ini diperlukan karena sebelumnya penulis sudah pernah terlebih dahulu mengamati dan menanyakan kepada kantor Camat yang ada di Berastagi perihal penelitian yang akan penulis jalani di Pajak Buah Berastagi.

Lalu mereka mengatakan kalau setiap mahasiswa yang hendak melakukan penelitian di lokasi wisata dan instansi pemerintah, maka hal itu harus mendapat surat izin dari departemen asal universitas dari mahasiswa itu sendiri dan kemudian diserahkan terlebih dahulu ke kantor Bupati, bagian Kesatuan Bangsa (Kesbang).

Kemudian penulis kembali ke Medan untuk mengurus surat izin penelitian yang dimaksud di atas. Setelah mendapat surat itu, penulis kembali ke lokasi penelitian, tepatnya ke Kantor Bupati Karo yang berada di Jalan Jamin Ginting no. 17 Kabanjahe.

Setelah surat itu diserahkan kesana, penulis kemudian dibuatkan lima surat balasan dari mereka. Surat itu diserahkan kepada penulis untuk diserahkan kepada Kepala Bappeda Kabupaten Karo, Kepala Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Karo, Camat Berastagi, Kepala UPT Pasar Pajak Buah Berastagi, dan kepada Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara.

Kemudian penulis menyerahkan semua surat itu kepada yang ditujukan dan yang terakhir penulis menyerahkannya kepada Kantor Camat Berastagi. Rupanya di Kantor Camat ini urusan surat-menyurat belum selesai karena mereka juga


(18)

membuatkan surat balasan yang ditujukan kepada Kantor Kelurahan Gundaling I dan diberikan kepada penulis. Penulis lalu mengantarkan surat itu, barulah semua urusan surat-surat itu selesai.

Selanjutnya penulis melanjutkan penelitian ke lapangan. Penelitian pertama dimulai dari aktivitas mengamati kondisi sekitar lingkungan Pajak Buah Berastagi. Setelah merasa cukup kemudian penulis mencoba mencari salah satu pedagang di sana yang kelihatannya tidak terlalu sibuk, dengan tujuan agar penulis bisa melakukan wawancara yang baik dengannya dan si pedagang merasa tidak terganggu karena ditanyai.

Pada awalnya cukup sulit untuk melakukan pendekatan dengan beberapa pedagang yang akan dijadikan informan disana karena aktivitas dari masing-masing pedagang yang rata-rata sedang sibuk dengan kegiatannya.Karena merasa tidak enak perasaan kalau nantinya merasa terganggu, penulis harus menggunakan sedikit tambahan waktunya untuk menunggu sampai para pengunjung atau calon pembeli disana tidak terlalu ramai.

Setelah menunggu beberapa saat akhirnya penulis berhasil melihat ada salah satu pedagang buah di bagian luar yang sudah tidak lagi sibuk dengan pelayanannya kepada calon pembeli. Penulis pun memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Beliau bernama Ibu Aldi br. Sembiring.

Mendengar kalau Ibu Aldi adalah bersuku Karo, penulis merasa sedikit lega. Hal ini karena penulis sebelumnya sudah pernah mendapat nasihat dari beberapa alumni di USU yang mengatakan kalau informan kita kebetulan berasal dari satu suku yang sama maka peluang untuk mendapatkan informasi mendalam akan


(19)

lebih besar, ditambah lagi apabila si mahasiswa dan informannya bisa berbahasa daerah dari suku mereka sendiri.

Foto 3. Sumber : Foto Leonard Ginting, 16 Oktober 2014. Berbagai macam jenis buah-buahan yang dijual Ibu Aldi br Sembiring di Pajak

Buah Berastagi.

Untuk itu penulis mencoba menanyakan beberapa pertanyaan dengan menggunakan bahasa Karo, dan ternyata beliau membalasnya dengan menggunakan bahasa yang sama5. Penulis bertanya, “Bik, tahun piga Pajak Buah enda mulai berdiri ?”. Lalu Ibu Aldi pun menjawab, “Aku mulai erdaya i jenda, mulai Pajak enda berdiri tahun sembilan belas pitu puluh. Sange gelarna Pajak Tarum Ijuk denga”.

Jadi Ibu Aldi mengatakan jika Pajak Buah ini mulai berdiri sejak tahun 1970. Saat itu namanya masih Pajak Tarum Ijuk. Beliau juga mengatakan bahwa dahulu saat masih bernama Pajak Tarum Ijuk letak dari pajak ini berada di posisi


(20)

SPBU bahan bakar minyak yang sekarang berada di samping Pajak Buah Berastagi ini.

Saat itu luasnya tidak seperti yang sekarang ini, Pajak Tarum Ijuk hanyaberbentuk Pajak kecil-kecilan yang berbentuk persegi panjang, dimana salah satu sisinya yang memanjang itu menghadap ke arah jalan menuju kota Medan. Untuk pertanyaan terakhir, penulis pun ingin tahu kapan Pajak Tarum Ijuk ini berubah namanya menjadi Pajak Buah Berastagi.

Ibu Aldi mengatakan jika pada tahun 1970 atau saat Pajak Tarum Ijuk mulai berdiri, peresmian dari tempat itu belum dilakukan tetapi pada saat namanya berubah menjadi Pajak Buah Berastagi atau pada tahun 1984, tempat ini baru diresmikan oleh Bupati Tingkat II Karo pada saat itu, Drs. Rukun Sembiring.

Ibu Aldi br Sembiring adalah salah satu informan penulis yang cukup terbuka dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam lainnya yang penulis tanyakan. Lapak ibu ini berada di bagian luar dari Pajak atau tepatnya berjualan di bagian salah satu kios dari Pajak Buah Berastagi.Setelah selesai menanyakan pertanyaan dengan Ibu Aldi kemudian Ibu ini menanyakan kepada penulis, dalam rangka apa penulis menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Kemudian penulis menjawab jika penulis menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah dalam rangkan penyusunan tugas akhir atau skripsi yang sedang penulis jalani di salah satu Fakultas di Universitas Sumatera Utara. Ibu Aldi pun kembali bertanya kepada penulis jurusan yang sedang diambil oleh penulis di USU dan penulis pun menjawab kalau jurusan yang sedang penulis ambil dalam program S1 di USU adalah jurusan Antropologi Sosial.


(21)

Mendengar hal itu Ibu Aldi kemudian bercerita kalau salah satu anaknya juga ada yang sedang kuliah saat ini di salah satu perguruan tinggi negeri di pulau Jawa, dan juga sedang menjalani hal yang sama seperti yang sedang penulis lakukan saat ini yaitu penyusunan skripsi.

Ibu Aldi juga ikut menasihati penulis jika pendidikan adalah jalan satu-satunya yang mampu menjadikan manusia-manusia di Karo menjadi bermutu dan berkualitas baik, begitu juga dengan moral dan akhlaknya. Penulis pun kemudian mengiyakannya dan memang hal itu adalah sesuatu yang tepat untuk bisa membangun kemajuan di daerah Karo ini.

Setelah itu penulis permisi meminta izin untuk menanyakan kepada pedagang yang lainnya kepada Ibu Aldi, dan setelah itu Ibu Aldi pun mengatakan kalau beliau juga mempunyai kenalan pedagang buah yang lain yang ada di bagian dalam Pajak Buah Berastagi ini, yaitu di bagian losd atau bale-balenya.

Penulis pun diantarkan oleh Ibu Aldi menuju ke losd yang ditempati oleh kawannya itu. Kemudian setelah sampai disana penulis langsung dikenalkan oleh Ibu Aldi salah satu pedagang yang bernama Bp. Alwien Sembiring Pelawi. Setelah selesai Ibu Aldi pun meninggalkan kami dan kembali ke kiosnya.

Bp. Alwien adalah salah satu pedagang yang berada di Pajak Buah Berastagi, tepatnya di bagian bale-bale. Mulai dari awal perkenalan terlihat bahwa memang Bp. Alwien ini orangnya sudah “welcome”, mungkin juga dikarenakan saat perkenalan kami beliau langsung menanyakan apakah penulis juga berasal dari suku Karo atau bukan.

Dari Bp. Alwien inilah penulis juga mendapatkan informasi tentang bagaimana pemasokan barang-barang yang ada di Pajak Buah Berastagi ini


(22)

didatangkan sampai kepada batasan-batasan dalam pemasokannya. Berikut adalah kutipan wawancaranya6.

Memang rata-rata pedagang buah dan sayuran yang ada di Pajak Buah ini mempunyai langganan yang ada di Pajak Roga Berastagi. Pajak tersebut adalah pajak yang menjadi tujuan dari kebanyakan petani yang ada di sekitar Berastagi dan Kabanjahe dalam menjual hasil panen pertaniannya kesana, tentunya dengan jumlah yang terbatas.

Orang-orang yang menyalurkan barang dagangannya dari Pajak Roga Berastagidinamakan para P erkoper. Para Perkoper ini adalah orang-orang yang nantinya akan membeli hasil panen dari petani yang datang ke Pajak Roga, lalu kemudian menjualnya kembali kepada agen pemasok. Agen pemasok adalah orang-orang yang berasal da ri luar daerah Karo (seperti Aceh, Medan, dan Siantar) yang juga membeli barang-barang yang dijual petani yang datang ke Pajak Roga. Biasanya para agen pemasok ini, memiliki kendarannya masing-masing untuk membawa hasil pembeliannya dari Pajak Roga, menuju ke daerah asalnya untuk kemudian dijual disana. Tetapi dala m pemasokannya ke Pajak Buah Berastagi, biasanya tidak melalui agen pemasok lagi, dikarenakan jarak antara Pajak Roga Berastagi dengan Pajak Buah Berastagi yang berada tidak jauh. Mendengar hal itu penulis jadi ingin tahu lebih banyak tentang hal-hal apa saja yang ada di Pajak Roga Berastagi yang berkaitan dengan penjualan buah dan sayur-mayur yang ada di Pajak Buah Berastagi. Penulis pun permisi kepada Bp. Alwien Sembiring Pelawi ini untuk pulang.

Beberapa hari setelah itu penulis pergi ke Pajak Roga Berastagi yang berjarak sekitar dua kilometer dari Pajak Buah Berastagi. Disana penulis kemudian bertemu dengan salah seorang yang berjualan tembakau dan berbagai jenis daun sirih bernama Ibu Jesica br Pinem. Pada saat melihat penulis, Ibu Jesica berpikir kalau penulis adalah seorang calon pembeli yang hendak membeli daun sirih atau tembakau yang dijualnya.

6


(23)

Kemudian penulis pun menjelaskan kedatangan penulis ke Pajak tersebut. Beruntung penulis mendapatkan seorang informan seperti Ibu Jesica ini karena beliau juga nampaknya tidak merasa terganggu dengan kedatangan penulis ke tempatnya dan beberapa pertanyaan yang memang terlihat membutuhkan jawaban yang lebih, yang selalu penulis tanyakan kepadanya. Berikut adalah kutipan wawancaranya7.

Ya, pa ra petani yang hendak menjual barang dagangannya kesini, biasanya adalah para petani yang memiliki jumlah hasil panen yang berkisar antara 100kg 600kg.

Setelah si Petani sampai disana, akan datang beberapa orang Perkoper yang akan melihat dan menanyakan kondisi dari buah atau sayuran yang dijual oleh si Petani. Dalam bahasa dagang, jumlah berat dari kebanyakan barang-barang yang dijual di

Pajak Roga ini masuk dalam kategori “partai menengah”. Sebutan itu dikarenakan faktor dari jumlah barang yang beratnya sudah disebutkan di atas. Karena itu, jika ada petani yang dalam hasil panennya mendapat jumlah berat yang berada di kisaran satu ton ke atas, maka biasanya si Petani tersebut tidak akan datang ke Pajak Roga, tetapi melalui pengirim. Pengirim disini maksudnya adalah pembeli dari buah ataupun sayur-mayur dari petani yang memanen hasil ladangnya, dengan jumlah yang banyak. Pengirim ini sebenarnya hampir sama dengan agen pemasok, hanya perbedaan yang paling terlihat adalah dalam jumlah barang yang dibawanya.

Untuk Pajak Buah Berastagi dan Pajak Roga Berastagi disini penulis hanya memfokuskan pada pemasokan buah dan sayuran yang ada disana. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian Pendahuluan bahwa memang barang-barang yang dijual di Pajak Buah Berastagi tidak hanya buah dan sayur-mayur, melainkan beberapa pakaian dan aksesoris kecil juga banyak yang dijual disana.Namun penulis hanya mampu mendapatkan informasi mengenai daerah asal pemasok dari pakaian dan aksesoris itu dikarenakan daerah asal pemasok pakaian dan aksesoris yang kebanyakan berasal dari luar daerah Sumut.


(24)

Foto 4. Sumber : Foto Leonard Ginting, 16 Oktober 2014. Berbagai macam aksesoris yang juga dijual di Pajak Buah Berastagi.

Foto 5. Sumber : Foto Leonard Ginting, 26 Januari 2015. Pintu masuk utama menuju Pajak Buah Berastagi.


(1)

lebih besar, ditambah lagi apabila si mahasiswa dan informannya bisa berbahasa daerah dari suku mereka sendiri.

Foto 3. Sumber : Foto Leonard Ginting, 16 Oktober 2014. Berbagai macam jenis buah-buahan yang dijual Ibu Aldi br Sembiring di Pajak

Buah Berastagi.

Untuk itu penulis mencoba menanyakan beberapa pertanyaan dengan menggunakan bahasa Karo, dan ternyata beliau membalasnya dengan menggunakan bahasa yang sama5. Penulis bertanya, “Bik, tahun piga Pajak Buah

enda mulai berdiri ?”. Lalu Ibu Aldi pun menjawab, “Aku mulai erdaya i jenda, mulai Pajak enda berdiri tahun sembilan belas pitu puluh. Sange gelarna Pajak Tarum Ijuk denga”.

Jadi Ibu Aldi mengatakan jika Pajak Buah ini mulai berdiri sejak tahun 1970. Saat itu namanya masih Pajak Tarum Ijuk. Beliau juga mengatakan bahwa dahulu saat masih bernama Pajak Tarum Ijuk letak dari pajak ini berada di posisi


(2)

SPBU bahan bakar minyak yang sekarang berada di samping Pajak Buah Berastagi ini.

Saat itu luasnya tidak seperti yang sekarang ini, Pajak Tarum Ijuk hanyaberbentuk Pajak kecil-kecilan yang berbentuk persegi panjang, dimana salah satu sisinya yang memanjang itu menghadap ke arah jalan menuju kota Medan. Untuk pertanyaan terakhir, penulis pun ingin tahu kapan Pajak Tarum Ijuk ini berubah namanya menjadi Pajak Buah Berastagi.

Ibu Aldi mengatakan jika pada tahun 1970 atau saat Pajak Tarum Ijuk mulai berdiri, peresmian dari tempat itu belum dilakukan tetapi pada saat namanya berubah menjadi Pajak Buah Berastagi atau pada tahun 1984, tempat ini baru diresmikan oleh Bupati Tingkat II Karo pada saat itu, Drs. Rukun Sembiring.

Ibu Aldi br Sembiring adalah salah satu informan penulis yang cukup terbuka dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam lainnya yang penulis tanyakan. Lapak ibu ini berada di bagian luar dari Pajak atau tepatnya berjualan di bagian salah satu kios dari Pajak Buah Berastagi.Setelah selesai menanyakan pertanyaan dengan Ibu Aldi kemudian Ibu ini menanyakan kepada penulis, dalam rangka apa penulis menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Kemudian penulis menjawab jika penulis menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah dalam rangkan penyusunan tugas akhir atau skripsi yang sedang penulis jalani di salah satu Fakultas di Universitas Sumatera Utara. Ibu Aldi pun kembali bertanya kepada penulis jurusan yang sedang diambil oleh penulis di USU dan penulis pun menjawab kalau jurusan yang sedang penulis ambil dalam program S1 di USU adalah jurusan Antropologi Sosial.


(3)

Mendengar hal itu Ibu Aldi kemudian bercerita kalau salah satu anaknya juga ada yang sedang kuliah saat ini di salah satu perguruan tinggi negeri di pulau Jawa, dan juga sedang menjalani hal yang sama seperti yang sedang penulis lakukan saat ini yaitu penyusunan skripsi.

Ibu Aldi juga ikut menasihati penulis jika pendidikan adalah jalan satu-satunya yang mampu menjadikan manusia-manusia di Karo menjadi bermutu dan berkualitas baik, begitu juga dengan moral dan akhlaknya. Penulis pun kemudian mengiyakannya dan memang hal itu adalah sesuatu yang tepat untuk bisa membangun kemajuan di daerah Karo ini.

Setelah itu penulis permisi meminta izin untuk menanyakan kepada pedagang yang lainnya kepada Ibu Aldi, dan setelah itu Ibu Aldi pun mengatakan kalau beliau juga mempunyai kenalan pedagang buah yang lain yang ada di bagian dalam Pajak Buah Berastagi ini, yaitu di bagian losd atau bale-balenya.

Penulis pun diantarkan oleh Ibu Aldi menuju ke losd yang ditempati oleh kawannya itu. Kemudian setelah sampai disana penulis langsung dikenalkan oleh Ibu Aldi salah satu pedagang yang bernama Bp. Alwien Sembiring Pelawi. Setelah selesai Ibu Aldi pun meninggalkan kami dan kembali ke kiosnya.

Bp. Alwien adalah salah satu pedagang yang berada di Pajak Buah Berastagi, tepatnya di bagian bale-bale. Mulai dari awal perkenalan terlihat bahwa memang Bp. Alwien ini orangnya sudah “welcome”, mungkin juga dikarenakan saat perkenalan kami beliau langsung menanyakan apakah penulis juga berasal dari suku Karo atau bukan.


(4)

didatangkan sampai kepada batasan-batasan dalam pemasokannya. Berikut adalah kutipan wawancaranya6.

Memang rata-rata pedagang buah dan sayuran yang ada di Pajak Buah ini mempunyai langganan yang ada di Pajak Roga Berastagi. Pajak tersebut adalah pajak yang menjadi tujuan dari kebanyakan petani yang ada di sekitar Berastagi dan Kabanjahe dalam menjual hasil panen pertaniannya kesana, tentunya dengan jumlah yang terbatas.

Orang-orang yang menyalurkan barang dagangannya dari Pajak Roga Berastagidinamakan para P erkoper. Para Perkoper ini adalah orang-orang yang nantinya akan membeli hasil panen dari petani yang datang ke Pajak Roga, lalu kemudian menjualnya kembali kepada agen pemasok. Agen pemasok adalah orang-orang yang berasal da ri luar daerah Karo (seperti Aceh, Medan, dan Siantar) yang juga membeli barang-barang yang dijual petani yang datang ke Pajak Roga. Biasanya para agen pemasok ini, memiliki kendarannya masing-masing untuk membawa hasil pembeliannya dari Pajak Roga, menuju ke daerah asalnya untuk kemudian dijual disana. Tetapi dala m pemasokannya ke Pajak Buah Berastagi, biasanya tidak melalui agen pemasok lagi, dikarenakan jarak antara Pajak Roga Berastagi dengan Pajak Buah Berastagi yang berada tidak jauh.

Mendengar hal itu penulis jadi ingin tahu lebih banyak tentang hal-hal apa saja yang ada di Pajak Roga Berastagi yang berkaitan dengan penjualan buah dan sayur-mayur yang ada di Pajak Buah Berastagi. Penulis pun permisi kepada Bp. Alwien Sembiring Pelawi ini untuk pulang.

Beberapa hari setelah itu penulis pergi ke Pajak Roga Berastagi yang berjarak sekitar dua kilometer dari Pajak Buah Berastagi. Disana penulis kemudian bertemu dengan salah seorang yang berjualan tembakau dan berbagai jenis daun sirih bernama Ibu Jesica br Pinem. Pada saat melihat penulis, Ibu Jesica berpikir kalau penulis adalah seorang calon pembeli yang hendak membeli daun sirih atau tembakau yang dijualnya.


(5)

Kemudian penulis pun menjelaskan kedatangan penulis ke Pajak tersebut. Beruntung penulis mendapatkan seorang informan seperti Ibu Jesica ini karena beliau juga nampaknya tidak merasa terganggu dengan kedatangan penulis ke tempatnya dan beberapa pertanyaan yang memang terlihat membutuhkan jawaban yang lebih, yang selalu penulis tanyakan kepadanya. Berikut adalah kutipan wawancaranya7.

Ya, pa ra petani yang hendak menjual barang dagangannya kesini, biasanya adalah para petani yang memiliki jumlah hasil panen yang berkisar antara 100kg 600kg.

Setelah si Petani sampai disana, akan datang beberapa orang Perkoper yang akan melihat dan menanyakan kondisi dari buah atau sayuran yang dijual oleh si Petani. Dalam bahasa dagang, jumlah berat dari kebanyakan barang-barang yang dijual di

Pajak Roga ini masuk dalam kategori “partai menengah”. Sebutan itu dikarenakan faktor dari jumlah barang yang beratnya sudah disebutkan di atas. Karena itu, jika ada petani yang dalam hasil panennya mendapat jumlah berat yang berada di kisaran satu ton ke atas, maka biasanya si Petani tersebut tidak akan datang ke Pajak Roga, tetapi melalui pengirim. Pengirim disini maksudnya adalah pembeli dari buah ataupun sayur-mayur dari petani yang memanen hasil ladangnya, dengan jumlah yang banyak. Pengirim ini sebenarnya hampir sama dengan agen pemasok, hanya perbedaan yang paling terlihat adalah dalam jumlah barang yang dibawanya.

Untuk Pajak Buah Berastagi dan Pajak Roga Berastagi disini penulis hanya memfokuskan pada pemasokan buah dan sayuran yang ada disana. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian Pendahuluan bahwa memang barang-barang yang dijual di Pajak Buah Berastagi tidak hanya buah dan sayur-mayur, melainkan beberapa pakaian dan aksesoris kecil juga banyak yang dijual disana.Namun penulis hanya mampu mendapatkan informasi mengenai daerah asal pemasok dari pakaian dan aksesoris itu dikarenakan daerah asal pemasok pakaian dan aksesoris yang kebanyakan berasal dari luar daerah Sumut.


(6)

Foto 4. Sumber : Foto Leonard Ginting, 16 Oktober 2014. Berbagai macam aksesoris yang juga dijual di Pajak Buah Berastagi.

Foto 5. Sumber : Foto Leonard Ginting, 26 Januari 2015. Pintu masuk utama menuju Pajak Buah Berastagi.