Nilai High-Sensitivity C-Reactive Protein Terhadap Mortalitas 90 Hari Pada Pasien Gagal Jantung

5

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Gagal Jantung
2.1.1 Definisi
Gagal jantung (GJ) merupakan sindroma klinis kompleks yang disebabkan
gangguan struktur dan fungsi jantung sehingga mempengaruhi kemampuan
jantung untuk memompakan darah sesuai dengan kebutuhan tubuh. Kondisi ini
ditandai dengan gangguan hemodinamik berupa penurunan curah jantung dan
peningkatan tekanan pengisian ventrikel.1,2,3,4,16,17

2.1.2 Etiologi
Banyak kondisi yang dapat mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi
yang menyebabkan terjadinya perkembangan GJ. Meskipun etiologi dari pasien
GJ preserved Ejection Fraction (pEF) berbeda dengan GJ reduced Ejection
Fraction (rEF) , bisa saja dijumpai tumpang tindih dari etiologi pada dua kondisi
GJ ini . Di Negara berkembang, penyakit jantung koroner (PJK) merupakan
penyebab utama pada laki-laki dan wanita dan 60-70% berkembang menjadi GJ.
Hipertensi juga berperan dalam perkembangan GJ pada 75% pasien, termasuk

pada sebagian besar pasien PJK. PJK dan hipertensi dapat berinteraksi
meningkatkan risiko GJ, seperti halnya diabetes mellitus. Pada 20-30% pasien GJ
dengan rEF, dasar etiologinya masih belum jelas. Pasien ini diduga memiliki non
iskemik, dilatasi, atau kardiomiopati idiopatik jika penyebabnya tidak diketahui.
Infeksi virus sebelumnya atau paparan zat toksin (alkohol atau kemoterapi) dapat
mengakibatkan dilatasi kardiomiopati. Berbagai bentuk dilatasi kardiomiopati
familial berhubungan secara autosomal dominan. Gen yang bermutasi
memproduksi protein sitoskeletal (desmin, cardiac myosin, vinculin) dan protein
membran nuklear (laminin) telah dapat diidentifikasi sejauh ini. Dilatasi
kardiomiopati juga berhubungan dengan Duchenne's, Becker's, dan distrofi
muskular limb-girdle. Kondisi yang mengakibatkan tingginya curah jantung (fistel
arteriovenous, anemia) jarang mengakibatkan GJ pada jantung yang normal ;
namun dengan adanya penyakit jantung struktural, dapat mengakibatkan GJ.1,18

Universitas Sumatera Utara

6

2.1.3 Patofisiologi
Penyebab tersering terjadinya gagal jantung adalah gangguan / kerusakan fungsi

miokard ventrikel kiri disamping adanya penyakit pada perikardium, miokardium,
endokardium, ataupun pembuluh darah besar. Penurunan fungsi ventrikel kiri
mengakibatkan terjadinya penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan
teraktivasinya mekanisme kompensasi neurohormonal yang bertujuan mengembalikan
kinerja jantung dalam memenuhi kebutuhan jaringan. Aktivasi sistem simpatis
menimbulkan peningkatan denyut jantung dan vasokonstriksi perifer sehingga curah
jantung dapat meningkat kembali. Aktivasi RAAS menyebabkan vasokonstriksi dan
peningkatan volume darah melalui retensi air dan natrium (gambar 2.1). Mekanisme
kompensasi yang terus berlangsung ini akan menyebabkan stress pada miokardium
sehingga menyebabkan remodeling yang progresif, dan pada akhirnya dengan
mekanisme kompensasipun jantung tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan jaringan
(dekompensasi).1,18,19

Gambar 2.1. Aktifasi Sistem Neurohormonal pada Gagal Jantung 1

GJ sistolik didasari oleh suatu beban/penyakit miokard (underlying Heart
Disease/index of events) yang mengakibatkan remodeling struktural, lalu
diperberat oleh progresifitas beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindrom
klinis yang disebut gagal jantung.16


Universitas Sumatera Utara

7

Remodeling struktural ini dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme
kompensasi sehingga fungsi jantung terpelihara relatif normal (gagal jantung
asimtomatik). Sindroma gagal jantung yang simtomatik akan tampak bila timbul
faktor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark jantung, anemia, hipertiroid dan
kehamilan, aktifitas berlebihan, emosi atau konsumsi garam berlebih, emboli
paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reumatik, endokarditis infektif. Gagal
jantung simtomatik juga akan tampak kalau terjadi kerusakan miokard akibat
progresifitas penyakit yang mendasarinya (gambar 2.2).18,19

Gambar 2.2 Patogenesis Gagal Jantung18

2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis utama dari gagal jantung adalah sesak nafas dan mudah lelah
yang mengakibatkan toleransi aktivitas berkurang disamping itu dapat dijumpai edema
paru dan edema perifer yang menandakan adanya retensi air dan natrium. 17


2.1.5 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik,
elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi-doppler, kateterisasi jantung dan uji
latih. Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung yaitu
dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

8

Kriteria mayor:
1.

Paroksismal nokturnal dispnu

2.

Distensi vena leher


3.

Ronki paru

4.

Kardiomegali

5.

Edema paru akut

6.

Gallop S3

7.

Peninggian tekanan vena jugularis


8.

Refluks hepatojugular

Kriteria minor:
1.

Edema ekstremitas

2.

Batuk malam hari

3.

Dispnea d'effort

4.

Hepatomegali


5.

Efusi pleura

6.

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

7.

Takikardia (>120 x/menit)

Kriteria mayor atau minor:
Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.16,17
Gagal jantung dapat disertai spektrum abnormalitas fungsi ventrikel yang
luas, mulai dari ukuran ventrikel kiri dan fraksi ejeksi yang normal sampai dengan
dilatasi berat dan/atau fraksi ejeksi yang sangat rendah. ACCF/AHA menyatakan
bahwa dalam mendiagnosa gagal jantung tidak ada satupun uji diagnostik yang
spesifik. Diagnosa sangat ditentukan oleh penelusuran riwayat penyakit dan

pemeriksaan fisik yang teliti. Dengan dugaan yang kuat akan adanya suatu gagal
jantung pada penderita yang berisiko tinggi, sangat dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan tambahan seperti laboratorium rutin, foto thorax, elektrokardiografi,
penilaian fungsi ventrikel kiri, biomarker dan uji latih. 18

Universitas Sumatera Utara

9

2.1.6

Klasifikasi Gagal Jantung

Saat ini ada dua klasifikasi stadium gagal jantung yang dikenal, yakni
klasifikasi berdasarkan American College of Cardiology Foundation/American
Heart Assiciation (ACCF/AHA) dan klasifikasi kapasitas fungsional berdasarkan
NYHA. Kedua klasifikasi ini memberikan informasi berguna dan saling
melengkapi mengenai kondisi dan keparahan gagal jantung. Stadium gagal
jantung berdasarkan ACCF/AHA menekankan perkembangan dan progresi
penyakit dan dapat digunakan untuk mendeskripsikan baik individu maupun

populasi, dimana klasifikasi berdasarkan NYHA memfokuskan pada kapasitas
latihan dan gejala yang dijumpai. 2
ACCF/AHA

membagi klasifikasi untuk perkembangan dan progresifitas

penyakit gagal jantung atas 4 stadium yaitu stadium A adalah berisiko tinggi
untuk menjadi gagal jantung tanpa ditemukan adanya disfungsi jantung, stadium
B adalah adanya disfungsi jantung tanpa gejala, stadium C adalah adanya
disfungsi jantung dengan gejala, stadium D adalah adanya gejala yang berat dan
refrakter terhadap terapi maksimal. Pembagian ini mengutamakan pada
keberadaan faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, pengenalan
progresifitasnya, dan strategi pengobatan pada upaya preventif. Penderita gagal
jantung akan mengalami perjalanan penyakitnya dari stadium A ke D namun tidak
dapat kembali lagi ke stadium A, hal yang mana dapat terjadi bila menggunakan
klasifikasi menurut NYHA.2
Pembagian fungsional NYHA sering digunakan untuk menentukan
progresifitas gagal jantung. Sistem ini membagi pasien atas 4 kelas fungsional
yang bergantung pada gejala yang muncul, yaitu asimptomatis (kelas I), gejala
muncul pada aktifitas ringan (kelas II), gejala muncul pada aktifitas berat (kelas

III), dan gejala muncul pada saat istirahat (kelas IV). Kelas fungsional pada
penderita gagal jantung cenderung berubah-ubah. Bahkan perubahan ini dapat
terjadi walaupun tanpa perubahan pengobatan, dan tanpa perubahan pada fungsi
ventrikel yang dapat diukur.2

Universitas Sumatera Utara

10

2.2 High sentivity C-Reactive Protein (hsCRP)
CRP pertama kali ditemukan pada tahun 1930 oleh William Tillet dan
Thomas Francis saat melakukan penelitian terhadap pasien dengan infeksi
Streptokokus pneumonia. Serum yang didapatkan pada pasien dengan penyakit
fae akut ditemukan mengandung protein yang mencetuskan Polisakarida “C” yang
berasal dari dinding sel pneumokokus. 40 tahun kemudian, Volanakis dan Kaplan
mengidentifikasi ligan spesifik untuk CRP pada polisakarida C Pneumokokus
yang dikenal dengan phosphocoline, sebagai bagian dari asam techoic dari
dinding sel pneumokokus. 20,21
Pada manusia, nilai CRP plasma dapat meningkat secara cepat lebih dari
1000 kali lipat, setelah terjadi rangsangan inflamasi akut, yang disintesis oleh

hepatosit. CRP merupakan salah satu dari banyaknya ekspresi gen yang
diekspresikan oleh hati selama proses inflamasi.20
Induksi CRP pada hepatosit diperantarai oleh sitokin seperti interleukin-6
(IL-6) dan interleukin-1 (IL-1). IL-6 dan IL-1 mengkontrol ekspresi berbagai
protein fase akut melalui aktifasi faktor transkripsi seperti STAT3, C/EBP dan
protein Rel (NF-kB). Sintesis ekstrahepatik CRP juga dilaporkan dijumpai pada
neuron, plak arterosklerotik, monosit, dan limfosit. Mekanisme regulasi sintesis
pada daerah ini masih belum jelas diketahui, dan sepertinya dapat mempengaruhi
nilai CRP dalam plasma.20
CRP yang secara dominan dihasilkan dihati ini dapat meningkat 4-6 jam
setelah terjadi rangsangan yang kemudian akan berduplikasi setiap 8 jam dan
mencapai puncak pada 36-50 jam. Waktu paruh plasmanya 19 jam, namun adanya
rangsangan seperti trauma atau pembedahan, dibutuhkan beberapa hari untuk
kembali ke nilai normal. Namun, perlu diketahui dalam penggunaannya pada
pasien kritis, nilai CRP dijumpai rendah atau normal pada 12 jam pertama dalam
proses infeksi. Sebaliknya, karna panjangnya waktu paruh, dapat dijumpai nilai
CRP yang tinggi pada fase penyembuhan.21
Secara struktur protein, CRP terdiri atas lima protomer identik yang tersusun
secara simetrik mengelilingi pusat pori. Istilah “pentraxin” digunakan untuk
menjelaskan protein yang berhubungan dengan struktur ini (gambar 2.3). 20,22

Universitas Sumatera Utara

11

Gambar 2.3. Struktur Kompleks CRP dengan Phosphocholine 20,22

Secara umum, peradangan ringan dan infeksi virus dapat meningkat pada
nilai 10-40 mg/L, namun pada peradangan berat dan infeksi bakteri dijumpai nilai
40-200 mg/L. Beberapa penelitian menunjukkan nilai serum 100 mg/L memiliki
sensitifitas 80-85% untuk infeksi bakteri, namun pada infeksi virus berat juga
dapat meningkatkan nilai serum CRP. 21
CRP juga secara umum digunakan untuk memantau penyakit rematik seperti
lupus eritematosus sistemik dengan serositis, poliartritis kronis atau vaskulitis
dengan infark jaringan. 21
Saat ini telah ditemukan metode pengukuran high-sensitivity untuk mengukur
konsentrasi CRP. Pengukurannya mirip dengan tes konvensional, namun tes ini
dapat mendeteksi konsentrasi CRP yang rendah sehingga bersifat lebih sensitif
dengan range pengukuran antara 0,1 – 20 mg/L. Baik untuk memeriksa adanya
suatu inflamasi derajat rendah. Pemeriksaan hs-CRP yang sangat sensitif ini dapat
digunakan untuk memperkirakan risiko PJK dimana proses arterosklerosis sebagai
penyebab utama PJK terjadi proses inflamasi derajat rendah dan tidak
menyebabkan kadar CRP yang tinggi. Pada dasarnya, tes ini dianjurkan pada
orang-orang yang memiliki tingkat resiko tinggi terhadap penyakit jantung, yakni
pernah mengalami serangan jantung, memiliki keluarga dengan riwayat penyakit
jantung, dislipidemia, diabetes, hipertensi, wanita menopause, perokok dan
obesitas serta kurang melakukan aktivitas fisik. Pemeriksaan hsCRP ini telah
direkomendasikan dalam guideline American Heart Association/Center for

Universitas Sumatera Utara

12

Disease Control and Prevention (AHA/CDC) sebagai salah satu penanda dalam
menentukan risiko kardiovaskular pada PJK.17,19,20,21,22,23,24
Data ini menunjukkan beberapa manfaat, keterbatasan CRP sehingga dapat
digunakan oleh klinisi sehingga dapat diaplikasikan secara bijaksana dengan
mengetahui dinamika CRP dalam menginterpretasi hasil CRP. Beberapa indikasi
klinis, dan keterbatasannya dapat dilihat di Tabel 1. 21
Tabel 2.1. Indikasi Klinis dan Keterbatasan Penggunaan CRP 21
Kondisi Klinis

Infeksi akut, Infeksi kronis, Periode paska operasi,
Keganasan, Penyakit kardiovaskular akut,Inflamasi non
infeksi ( artritis rheumatoid, lupus dengan serositis atau
vaskulitis, trauma multipel, pankreatitis nekrosis)
Penggunaan Analisis
Mendukung
diagnosis,
monitoring
inflamasi,
pemantauan efektifitas antibiotik dan anti inflamasi,
komplikasi infeksi post operasi, prognostik PJK
Hasil yang diharapkan Inflamasi ringan dan infeksi virus 10-40 mg/L,
Inflamasi berat dan infeksi bakteri 40-200 mg/L, Sepis
>50 mg/L
Keterbatasan
Tidak diindikasikan untuk mendeteksi penyakit pada
penggunaan
pasien asimptomatik, Keterlambatan peningkatan
mengakibatkan
kesalahan
interpretasi
dan
memperlambat pemberian antibiotic atau anti
inflamasi, Nilai rendah (10-20 mg/L) dapat dijumpai
pada ; skleroderma, dermatomiositis, kolitis ulseratif,
lupus tanpa serositis atau vaskulitis
Meskipun 2/3 dari populasi di amerika memiliki nilai CRP plasma dibawah 3
g/ml, nilai dibawah 10 g/ml dinyatakan tidak signifikan secara klinis. Namun
akhir-akhir ini, beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan
antara peningkatan plasma CRP antara 3-10 g/ml adanya dengan perkembangan
penyakit kardiovaskular, sindrom metabolik, dan kanker kolon. Hal ini mungkin
disebabkan adanya inflamasi kronis derajat rendah. Peningkatan minor dari CRP
juga dilaporkan berhubungan dengan berbagai kondisi medis yang kelihatannya
tidak berhubungan dengan inflamasi seperti etnis, beberapa pola diet dan
obesitas.21

Universitas Sumatera Utara

13

2.3 Peranan Mediator Inflamasi pada Gagal Jantung
Data awal yang menunjukkan adanya hubungan antara gagal jantung dan
inflamasi tercatat pada tahun 1955, saat dijumpai adanya korelasi positif antara nilai
CRP dan derajat keparahan gagal jantung kongestif.26 Pada tahun 1990, Levine dkk
mendokumentasikan korelasi positif antara TNF- dan gagal jantung kronik.9
Penelitian terus berlanjut sejak saat itu dan data-data menunjukkan adanya
hubungan antara berbagai sitokin dan gagal jantung. Sepertinya sindrom gagal
jantung diakibatkan oleh adanya ketidakseimbangan antara peningkatan mediator
inflamasi dan non inflamasi. Beberapa studi menunjukkan sensitifitas CRP yang
rendah dan tinggi yang berhubungan dengan gagal jantung. Sebuah studi prospektif
menunjukkan nilai CRP yang tinggi pada usia tua dapat memprediksi perkembangan
gagal jantung. Akhir-akhir ini, sebuah studi yang melibatkan 4691 subjek dari
populasi umum, menghasilkan data risiko relatif rawat inap akibat gagal jantung lebih
tinggi dua kali lipat pada subjek yang memiliki nilai CRP >3mg/L. Studi lain juga
menunjukkan adanya hubungan antara nilai CRP dalam memprediksi rawat inap
akibat perburukan dalam stadium fungsional gagal jantung.14,26,27
Beberapa penelitian juga mendokumentasikan peranan inflamasi dalam
patogenesis gagal jantung. Hipotesis yang dikenal “cytokine hypothesis”
memberikan gambaran peranan inflamasi yang bersifat merusak dan sekuel
patogenik dari gagal jantung akibat sitokin inflamasi (gambar 2.4).26,27,28

Gambar 2.4. Peranan Sitokin Proinflamasi pada Jantung dan Bukan Jantung26

Universitas Sumatera Utara

14

2.3.1 Efek Sitokin pada Fungsi Ventrikel
Temuan dari beberapa penelitian menunjukkan peranan sitokin proinflamasi
dan mediator inflamasi pada fungsi ventrikel kiri. Data terbaru menunjukkan
sitokin proinflamasi seperti TNF-, TNF-R1 dan IL-6 berhubungan dengan
indeks ekokardiografi fungsi ventrikel kiri baik sistolik maupun diastolik. Sebuah
penelitian eksperimental menunjukkan dengan mengurangi efek sitokin inflamasi
pada miokardium akan menghambat progresifitas gagal jantung. 26,27

2.3.2 Efek Sitokin pada Remodeling Ventrikel Kiri
Istilah “remodelling” pada gagal jantung adalah perubahan yang didapati
pada bentuk, ukuran dan komposisi miokard sebagai respon terhadap zat yang
berbahaya. Sitokin inflamasi menimbulkan efek yang signifikan pada proses
remodeling ventrikel. Data umumnya menunjukkan efek dari IL-1 dan TNF-.
Data eksperimental menunjukkan berkurangnya nilai IL-1 dan IL-18 akan
mengurangi dilatasi ventrikel setelah infark miokard. 26,27

2.3.3 Efek Sitokin pada Endotel
Pasien gagal jantung dikarakteristikkan dengan adanya disfungsi endotel yang
bukan hanya disebabkan oleh gangguan fungsi miokard, namun juga bertanggung
jawab terhadap berkurangnya aliran darah ke organ perifer. Sitokin inflamasi
mengakibatkan disfungsi endotel dalam berbagai cara. Pertama, sitokin inflamasi
menginduksi adhesi molekul dan sel endotel, yang akan mengakibatkan
peningkatan respon inflamasi dari dinding pembuluh darah dan mengakibatkan
siklus yang mengaktifasi sel endothelium secara berlebihan pada GJ. Kedua,
sitokin merubah kesimbangan antara vasodilator endogen (nitrit oksida) dan
vasokonstriktor (endothelin-1) sehingga menyebabkan vasokonstriksi. Mekanisme
ini penting, oleh Karen intervensi dari obat-obatan seperti statin, yang
meningkatkan bioavaibilitas dari nitrit oksida akan memperbaiki fungsi endotel
pada pasien gagal jantung. Ketiga, beberapa studi menunjukkan molekul dari
famili TNF-, yang diketahui meningkat pada GJ, dapat menginduksi apoptosis
sel sel endotel secara langsung, sehingga mengakibatkan disfungsi endotel lebih
jauh lagi. Penting juga untuk diketahui kemampuan sitokin inflamasi dalam

Universitas Sumatera Utara

15

merangsang

produksi spesies oksigen reaktif, yang pada akhirnya akan

menambah gangguan pada fungsi endotel. Terapi statin meningkatkan jumlah
progenitor endotel yang bersirkulasi pada pasien GJ.26,27
Karena terapi GJ dapat menurunkan kadar TNF- dan CRP maka strategi
untuk menurunkan kadar plasma CRP dapat dilakukan secara efektif dengan
memperbaiki bioavailabititas nitrit oksida dan fungsi endotel. Faktor ini dapat
menjadi target potensial dalam pengobatan GJ.27
Sebuah studi skala kecil yang dilakukan oleh Anand IS dkk menunjukkan bahwa
nilai CRP meningkat pada gagal jantung.14 Dalam beberapa studi komunitas, kadar
CRP plasma mampu memprediksi perkembangan GJ dan prognosis GJ.

28

Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Galal Haitham dkk sejalan dengan hasil studi lainnya
oleh Yin dkk (2004) dan Kozdag dkk (2010) yang menunjukkan bahwa hsCRP
merupakan prediktor independen yang kuat dalam menentukan prognosis GJ
sehingga dapat dipertimbangkan untuk digunakan dalam menentukan stratifikasi
risiko dan penanganan pasien GJ.30,31,33 Penelitian yang dilakukan oleh J.L AlonsoMartinez dkk (2002) menunjukkan peningkatan CRP pada pasien yang meninggal
selama periode follow up.32 Hubungan antara mortalitas dan nilai CRP mungkin
diakibatkan perburukan fungsi jantung. 14,29,30,31,32

2.4 Kematian pada GJ
Walaupun angka harapan hidup pasien – pasien GJ semakin meningkat
sehubungan dengan berbagai kemajuan dalam terapi dan tatalaksana gagal jantung,
namun angka mortalitas absolut pada pasien pasien GJ masih berkisar 50- 70 %
dalam 5 tahun sejak terdiagnosis.33,34 Berdasarkan studi Atherosclerosis risk in
communities (ARIC) tahun 2008 case fatality rate 30 hari, 1 tahun dan 5 tahun pasca
hospitalisasi pada pasien-pasien GJ adalah 10.4%, 22% dan 42.3%.35 Dari studi oleh
Bueno et al menunjukkan pola penurunan tingkat kematian selama perawatan namun
justru dijumpai peningkatan tingkat mortalitas dalam 30 hari paska perawatan dari
4.3% menjadi 6.4%.36 Kecenderungan ini terutama dijumpai pada pasien-pasien gagal
jantung dengan disfungsi ventrikel kiri yang berkaitan dengan peningkatan risiko
kejadian kematian mendadak pada pasien-pasien gagal jantung.37

Universitas Sumatera Utara

16

Di AS, dari tiap 8 kasus kematian didapatkan 1 kasus mencantumkan GJ
sebagai salah satu diagnosis dalam sertifikat kematian, dan 20% dari kelompok
tersebut memiliki diagnosis GJ sebagai penyebab primer kematian. 38 Risiko
kematian meningkat secara stabil setelah pasien didiagnosis dengan GJ. Studi
Framingham (1993) menemukan, mortalitas 30 hari berkisar 10%, mortalitas 1
tahun 20-30%, dan mortalitas 5 tahun berkisar 45-60%.39 Riwayat rawat inap juga
didapati berkaitan dengan prognosis yang semakin buruk. Dari suatu studi oleh
Goldberg dkk (2007) di Massachusets didapati, angka kematian 5 tahun lebih dari
75% setelah episode pertama rawat inap oleh karena GJ.40
Meskipun didapati perbaikan yang cepat dan signifikan dari gejala dan tanda
gagal jantung dengan menggunakan diuretik intravena dan vasodilator, kondisi paska
rawatan pada pasien-pasien yang dirawat karena GJ masih tetap buruk. Sekitar 25%
pasien yang dirawat dengan GJ akan kembali dirawat dalam 30 hari setelah pasien
pulang, dan tingkat mortalitas selama periode ini berkisar sebesar 10%. Pada periode
awal paska rawatan ini pasien berisiko tinggi mengalami perburukan klinis, fase ini
dikenal dengan istilah fase rentan. Secara sederhana fase rentan didefinisikan sebagai
periode segera setelah pasien pulang dari perawatan.8,41 Durasi pasti dari fase rentan
sendiri masih belum pasti, namun berbagai studi menunjukkan fase rentan ini
berlangsung berkisar 2 – 3 bulan.42,43,44
Secara umum pasien yang dirawat inap akibat gagal jantung, meninggal dan
menjalani rehospitalisasi oleh karena berbagai penyebab, baik kardiak maupun non
kardiak. Namun, dari suatu kelompok pasien – pasien gagal jantung dengan outcome
yang buruk pasca perawatan, terutama yang menjalani rehospitalisasi, didapatkan
perburukan terjadi terkait dengan kondisi patofisiologi yang mendasari yang secara
khas berkaitan dengan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Gejala dan tanda kongesti
(seperti, sesak nafas, orthopnea, edema perifer) merupakan alasan tersering rawat
inap pada pasien – pasien gagal jantung. Lebih dari 60% pasien didapati ronki paru
dan edema perifer. Kongesti hemodinamik persisten pada saat pasien pulang
tampaknya merupakan faktor penting pada patofisiologi yang mendasari tingginya
angka kematian dan rehospitalisasi selama fase rentan.45,46
Studi oleh Gheorghidae M dkk (2012) yang bertujuan mencari gambaran
karakteristik klinis, laboratorium, dan neurohormonal pada pasien gagal jantung

Universitas Sumatera Utara

17

baik pada saat dirawat inap maupun pasca perawatan yang dikaitkan dengan risiko
kematian dan rehospitalisasi dalam 90 hari dari awal pasien dirawat mendapatkan
kejadian mortalitas dini dan rehospitalisasi terkait kondisi kardiovaskular
memiliki karakteristik usia yang lebih tua, memiliki riwayat rawat inap yang lebih
banyak sebelumnya, dan memiliki jumlah komorbid yang lebih banyak seperti,
riwayat infark miokard, penyakit katup mitral, penyakit ginjal kronis, dan
penyakit paru obstruksi kronis yang berat. Pemeriksaan penunjang menunjukkan
pasien dengan kejadian mortalitas dini dan rehospitalisasi memiliki fraksi ejeksi
yang lebih rendah, durasi kompleks QRS yang lebih panjang, kadar natrium
serum yang lebih rendah, peninggian blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin
serta kadar albumin yang lebih rendah. Berdasarkan profil neurohormonal,
didapati kelompok dengan kematian dini dan rehospitalisasi memilki kadar
aldosteron dan peptida natriuretik yang lebih tinggi. 44
Memastikan penyebab kematian pada gagal jantung merupakan suatu
tantangan. Perubahan pada distribusi penyebab kematian, dimana kematian akibat
kejadian kardiovaskular mengalami penurunan sejalan dengan beban besar
berbagai kondisi komorbid pada gagal jantung serta pentingnya tatalaksana
menyeluruh pada gagal jantung dan pemantauan hasil terapi. 47

2.4.1 Hubungan Usia dengan Mortalitas pada Gagal Jantung
Usia merupakan faktor terpenting yang menentukan kondisi kesehatan
kardiovaskular individu. Pada tahun 2030 ada sekitar 20% populasi akan berusia
65 tahun atau lebih. Pada kelompok usia ini, tingkat kematian akibat penyakit
kardiovaskular adalah sebesar 40% dari seluruh penyebab kematian dan
merupakan penyebab mortalitas terbanyak.48,49
Penuaan berkaitan dengan penurunan progresif sejumlah proses fisiologis,
yang menyebabkan peningkatan risiko penyakit serta berbagai komplikasi. Efek
penuaaan pada sistem kardiovaskular menyebabkan berbagai perubahan patologis
termasuk hipertrofi, perubahan pada fungsi diastolik ventrikel kiri, dan
mengurangi kapasitas sistolik ventrikel kiri, meningkatkan kekakuan arteri serta
menggangu fungsi endotel. Peningkatan kekakuan arteri kemudian akan diikuti
mekanisme kompensasi oleh miokardium termasuk hipertrofi ventrikel kiri serta

Universitas Sumatera Utara

18

proliferasi dari fibroblast, yang kemudian menyebabkan penurunan curah jantung
dan peningkatan jaringan fibrotik.50,51
Seiring peningkatan usia, tingkat pengisian pada fase diastolik ventrikel kiri
mulai mengalami penurunan, yang dikompensasi dengan peningkatan kontraksi
atrial untuk menyokong isi sekuncup dan beban kerja jantung sehingga fraksi
ejeksi tetap terjaga baik. Namun akibat penuaan, kontraktilitas ventrikel kiri dan
fraksi ejeksi, demikian juga dengan modulasi aktivitas simpatis pada frekuensi
jantung, dan respons terhadap aktivasi reseptor adrenergik mengalami penurunan.
Pengurangan curah jantung oleh karena penurunan fungsi akibat penuaan
mestimulasi miokardium melakukan kompensasi dengan meningkatkan massa
otot melalui hipertrofi jantung, dengan mekanisme ini curah jantung dapat
ditingkatkan untuk sementara waktu namun efek jangka panjang dari hipertrofi
menyebabkan penurunan fungsi jantung. Disamping itu terjadi juga gangguan
pada sistem konduksi jantung.49
Efek penuaan pada pembuluh darah menyebabkan peningkatan ketebalan dan
kekakuan pembuluh darah serta disfungsi endotel. Disfungsi vaskular akibat
penuaan menyebabkan berbagai perubahan patologis yang memicu terjadinya
iskemia, hipertensi dan degenerasi makular terkait usia. 49
Keseluruhan proses diatas menjadi faktor yang mendasari adanya pola
eksponensial prevalensi gagal jantung yang meningkat seiring pertambahan usia.
Disamping itu akibat proses menua, terjadi kemunduran struktur anatomi dan
fungsional secara menyeluruh akibat proses degenerasi. Kerapuhan serta adanya
penyakit komorbid menjadi ciri khas pada kelompok usia ini, dan berkontribusi pada
kejadian – kejadian tidak diharapkan pada saat rawatan maupun pasca rawatan. 49
Sekitar 50% kematian dan rehospitalisasi dalam 60 hari pada pasien – pasien
gagal jantung yang dirawat inap merupakan kejadian sekunder disamping adanya
perburukan dari kondisi gagal jantung. Dari penelitian yang dilakukan Gustafsson
dkk (2004) yang meneliti efek usia terhadap mortalitas jangka pendek dan jangka
panjang pada pasien – pasien gagal jantung yang dirawat inap didapatkan dari
5419 pasien dengan gagal jantung usia rata – rata adalah 71.7 ± 10.2 tahun,
dengan distribusi usia: 13% berusia 11 pg/ml memiliki prognosis yang paling
jelek dengan HR 3.0 (2.1-4.1); P=