PHP File Tree Demo NARASI BAB I

(1)

(2)

(79,22 persen); persentase

persepsi masyarakat

terhadap kegiatan gotong royong1 (90,4 persen) (BPS,

Susenas 2006); (3) semakin

berkembangnya proses

internalisasi nilai-nilai luhur, pengetahuan dan teknologi tradisional, serta kearifan lokal yang relevan dengan tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti nilai-nilai persaudaraan, solidaritas sosial, saling menghargai, serta rasa cinta tanah air; (4)

meningkatnya apresiasi

masyarakat terhadap hasil karya kreatifitas seni budaya dan perfilman yang ditandai oleh penyelenggaraan berbagai pameran, festival, pegelaran, dan pentas seni dan film, 1

Sumber data :: Susenas, 2007

Gambar 2.4. Persentase Persalinan yang Ditolong oleh Tenaga Kesehatan Per Provinsi Tahun 2007

Gambar 6. Angka Gizi Buruk Pada Balita Per Provinsi Tahun 2007

Sumber data: SDKI 2002/2003 dan SDKI 2007

Gambar 2.8 Rasio Tenaga Kesehatan Per 100.000 Penduduk Tahun 2004-2008

Sumber data :: Departemen Kesehatan, 2008

Tabel 2.3 Cakupan Imunisasi Anak Usia 12-23 Bulan Di Indonesia Tahun 2002/2003 - 2007

Gambar 5. Angka Gizi Kurang Pada Balita Per Provinsi Tahun 2007

Sumber :: Riskesdas 2007

Gambar 2.1 Total Fertility Rate (TFR) Per Provinsi Tahun 2007

Su mber: SDKI, 2007 dan BPS, 2009

Gambar 2.3 Unmet Need Per Provinsi Tahun 2007

22,4 21,0 17,4 17,4 16,6 15,8 13,9 13,0 12,9 12,9 12,9 12,3 12,3 11,2 10,0 9,1 9,0 8,3 8,2 7,7 7,4 7,4 7,0 6,9 6,8 6,6 6,2 6,1 6,1 5,8 5,7 5,5 3,2

0 5 10 15 20 25

MalukuNAD SulbarNTT Pabar PapuaSulsel Malut KalbarSultra NTB SumutKepri Sumbar J awa BaratRiau Banten Sulteng J awa TimurKaltim SumselJ awa J ambiDKI DIY GorontaloKalsel BengkuluSulut Bali Kalteng LampungBabel

Sumber: SDKI, 2007 dan BPS, 2009

Gambar 2.2 Contraceptive Prevalence Rate (CPR) Per Provinsi Tahun 2007 38,3 42,1 54,2 53,4 50,7 59,9 66,9 61,1 24,5 29,4 30,1 37,5 42,6 42,9 44,4 44,5 45,4 46,2 52,2 52,8 52,8 54,0 54,8 55,4 55,4 58,8 59,8 60,0 61,2 62,3 62,5 62,6 63,2 64,7 65,4 66,0 66,7 70,4 na na na 66,1 60,1 62,7 66,5 64,4 64,8 65,2 67,8 63,7 63,6 57,4 56,7 54,8 48,8 47,7 34,1 74,0 69,3 71,1 69,4 60,1 59,2 60,3 65,2 56,4

0 20 40 60 80

Papua Maluku NTT Pabar Sumut Sulsel Sultra SulbarNAD Malut NTB Riau Sumbar Kepri DIY Banten Kaltim DKI J akartaGorontalo Sulteng J awa Tengah J awa BaratKalbar J awa Timur J ambi Semsel Kalsel Babel KaltengBali Lampung Sulut Bengkulu

Semua Cara Cara Modern

Sumber: SDKI, 2007 dan BPS, 2009

Rata-rata Nasional = 9,1% Rata-rata Nasional = 2.3

Gambar 2.6. Angka Gizi Buruk Pada Balita Per Provinsi Tahun 2007

Sumber :: Riskesdas 2007

4) TFR setelah dikoreksi 5) TFR sebelum dikoreksi


(3)

pemberian penghargaan di bidang seni dan film, serta pengiriman misi kesenian ke berbagai acara internasional sebagai bentuk promosi kesenian nasional Indonesia; (5) tumbuhnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan kekayaan dan warisan budaya yang ditandai oleh meningkatnya kesadaran, kebanggaan, dan penghargaan masyakarat terhadap nilai-nilai sejarah bangsa Indonesia, meningkatnya upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan benda cagar budaya (BCB)/situs, serta berkembangnya peran dan fungsi museum sebagai sarana rekreasi dan edukasi;

Permasalahan, Tantangan d

merata. Rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk diperkirakan untuk dokter, dokter spesialis, dokter gigi, perawat, dan bidan masing-masing adalah sekitar 27, 8, 8, 158, dan 44. Rasio tenaga kesehatan tersebut mengalami peningkatan mulai dari tahun 2004 sampai dengan 2008, seperti ditunjukkan dalam gambar 8. Namun demikian, jJika dibandingkan dengan negara-negara lain di regional Asia Tenggara jumlah dan rasio tenaga dokter di Indonesia relatif masih rendah, misalnya di Filipina (58) dan Malaysia (70) tenaga dokter per 100.000 penduduk. Sementara itu, penyebaran tenaga dokter lebih banyak di Pulau Jawa-Bali dibandingkan dengan luar Pulau Jawa-Bali

2.4. Capaian Kinerja

Peningkatan dan Perluasan Akses Pendidikan

No

Indikator Kunci

Sukses

200

4

Realis

asi

2005

Realis

asi

2006

Realis

asi

2007

Realis

asi

2008

1.

II.1 - 3


(4)

BAB I

KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN DAN LINTAS BIDANG

1.1. PENGARUSUTAMAAN

1.1.1. Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan

Kondisi Saat ini


(5)

memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Untuk mencapai keberlanjutan yang menyeluruh, diperlukan keterpaduan antara 3 pilar pembangunan, yaitu keberlanjutan dalam aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berintegrasi dan saling memperkuat satu dengan yang lain.

Walaupun Indonesia telah menyusun National Sustainable Development Strategy (Agenda 21) pada tahun 1997 yang berisi rekomendasi kepada sektor dalam penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan hingga tahun 2020 serta ditetapkannya pengarus-utamaan pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu prinsip dalam Rencana Kerja Pemerintah setiap tahun pada RPJM 2004-2009. Namun, hingga saat ini belum ada suatu sistem, serta mekanisme yang andal untuk melakukan pengintegrasian isu pembangunan berkelanjutan tersebut ke dalam program-program pembangunan secara terarah.

Pada tahun 2009 dengan ditetapkannya UU 32/2009 mengenai Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup telah diwajibkan dilakukannya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam penyusunan Kebijakaan, Program dan Rencana Pembangunan. Hal ini merupakan salah satu upaya mengarusutamakan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam pembangunan Indonesia. Hal ini dilakukan setelah penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sejak akhir 1980an dirasa tidak mencukupi untuk mengurangi dampak lingkungan dari suatu kegiatan pembangunan.

Selain itu, pada RPJMN 2010-2014 telah ditetapkan prinpsip-prinsip pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan yang meliputi 3 pilar yaitu pilar ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dengan indikator-indikator utamanya. Hingga tahun 2010 penerapan KLHS serta penerapan sistem pengarusutamaan pembangunan masih dalam upaya meletakkan dasar-dasar kebijakan serta penerapan KLHS pada tata ruang dan perencanaan di daerah. Untuk itu, hal ini masih perlu terus untuk dikembangkan terutama pada tahun 2011.

Permasalahan dan Sasaran

Walaupun sudah dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kerusakan lingkungan hidup, pencemaran dan penurunan kualitas daya dukung lingkungan hidup terus terjadi. Untuk itu, diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi dari hulu ke hilir dan lintas sektoral. Selain itu, diperlukan suatu upaya pengintegrasian pembangunan berkelanjutan ke dalam pembangunan sektoral.

Banyaknya pemangku kepentingan yang berperan dalam pembangunan berkelanjutan mengharuskan adanya koordinasi serta sinergi yang baik antarberbagai pihak tersebut. Setiap pihak mempunyai peran dan fungsi dalam menggerakkan subsistem yang membentuk sistem pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan harus bersifat membuka akses seluruh pihak agar dapat berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan itu. Pemerintah diharapkan dapat memberikan arah, kebijakan, standar-standar, manual, serta kerangka kebijakan penunjang lainnya yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan.

Sasaran pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan pada tahun 2011 adalah (1) teradopsinya pertimbangan ekonomi, sosial, lingkungan, dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan (2) terpeliharanya kualitas lingkungan hidup yang ditunjukkan dengan membaiknya indeks kualitas lingkungan hidup tahun 2011; dan (3) disepakati, disusun, dan digunakannya indeks kualitas lingkungan hidup sebagai salah satu alat untuk mengukur pembangunan yang berkelanjutan.


(6)

Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam menyusun kerangka strategis, struktur kelembagaan, strategi dan kebijakan nasional, sektoral dan wilayah, serta dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan. Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan juga harus dilakukan dengan memperhatikan permasalahan strategis lingkungan dan sosial yang ada.

Pengarusutamaan dilakukan dengan cara yang terstruktur dengan kriteria sebagai berikut: (1) kegiatannya merupakan upaya integral dalam kegiatan pembangunan sektoral dan kewilayahan; (2) kegiatan tidak mengimplikasikan adanya tambahan pendanaan (investasi) yang signifikan karena berasaskan koordinasi dan sinergi; (3) pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sosial kemasyarakatan, kondisi daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya; dan (4) pengarusutamaan terutama dilakukan pada sektor yang memberikan dampak besar terhadap kualitas lingkungan dan di wilayah/daerah yang rawan kerusakan lingkungan, diprioritaskan pada kegiatan strategis pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan serta keadilan dan keberlanjutan sosial.

Kegiatan pembangunan tidak mengabaikan kemampuan daya dukung lingkungan yang menopang kegiatan pembangunan tersebut. Tiga indikator daya dukung lingkungan utama sebagai penopang pembangunan adalah daya dukung lahan, daya dukung air, dan udara. Daya dukung sumber daya lahan dapat dilihat dari (1) daya serap air (infiltrasi air), (2) kualitas lahan, (3) tutupan lahan, dan (4) laju erosi lahan. Kegiatan pembangunan hendaknya memperhatikan daya dukung sumber daya lahan itu. Daya dukung sumber daya air dapat dilihat dari kualitas air, diupayakan agar kegiatan pembangunan yang ada tidak menurunkan kualitas air setempat dan kuantitas air, diupayakan agar kegiatan pembangunan yang memanfaatkan air tidak mengeksploitasi air melebihi daya pemulihan dan pengisiannya kembali.

Pertimbangan utama dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam aspek sosial adalah: (1) struktur sosial masyarakat: kegiatan pembangunan yang direncanakan diupayakan mempertimbangkan struktur sosial masyarakat agar tidak terjadi konflik dan benturan nilai yang tidak diinginkan dan (2) partisipasi masyarakat pelaku dan marjinal/minoritas: kegiatan pembangunan yang direncanakan telah memasukkan unsur partisipasi masyarakat/pemangku kepentingan dan masyarakat marjinal terutama dalam proses pengambilan keputusan serta peran-peran lainnya.

Berkaitan dengan itu, pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan mempunyai indikator kinerja yang mencerminkan 3 pilar pembangunan yaitu: (1) ekonomi: indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, dan dampak ekonomi; (2) sosial: tingkat partisipasi masyarakat pelaku pembangunan, partisipasi masyarakat marginal/minoritas (kaum miskin dan perempuan), dampak terhadap struktur sosial masyarakat, serta tatanan atau nilai sosial yang berkembang di masyarakat; dan (3) lingkungan hidup: dampak terhadap kualitas air, udara dan lahan serta ekosistem (keanekaragaman hayati).

1.1.2. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan tatanan pengelolaan manajemen yang ditandai dengan penerapan prinsip-prinsip tertentu, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan, dan partisipasi. Penerapan tatakelola pemerintahan yang baik secara konsisten dan berkelanjutan oleh sebuah negara mempunyai peranan yang sangat penting bagi tercapainya sasaran pembangunan nasional, dan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi secara efektif dan efisien. Terbangunnya tata kelola pemerintahan yang baik dalam manajemen pemerintahan, tercermin dari berkurangnya


(7)

tingkat korupsi, makin banyaknya keberhasilan pembangunan di berbagai bidang, meningkatnya kualitas pelayanan publik, dan terbentuknya birokrasi pemerintahan yang professonal dan berkinerja tinggi. Oleh karena itu, guna mewujudkan visi pembangunan nasional berupa kesejahteraan masyarakat, demokrasi, dan keadilan, maka tata kelola pemerintahan yang baik dalam manajemen pemerintahan harus dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.

Sejalan komitmen dan prioritas pemerintah untuk memantapkan dan memperluas pelaksanaan reformasi birokrasi pada seluruh instansi pemerintah, maka implementasi kebijakan tata kelola pemerintahan yang baik sangat penting dan strategis. Implementasi kebijakan ini sekaligus selaras dan diperkuat pula dengan Grand Desain dan Road Map Reformasi Birokrasi. Dalam rangka pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi instansi (RBI), maka tahun 2010 ini ditargetkan kebijakan sebagai landasan pelaksanaan reformasi birokrasi telah diterbitkan dalam bentuk Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional. Grand Desain Reformasi Birokrasi Nasional adalah rancangan induk yang berisi langkah-langkah umum penataan organsiasi, penataan tatalaksana, penataan manajemen sumber daya manusia aparatur, penguatan sistem pengawasan intern, penguatan akuntabilitas, peningkatan kualitas pelayanan publik dan pemberantasan praktek KKN.

Implementasi kebijakan tata kelola pemerintahan yang baik pada tahun 2011 diharapkan dapat tercapai sasaran yang optimal. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, sasaran yang ingin dicapai pada setiap kementerian/lembaga (K/L), antara lain: tersedianya sistem penegakan disiplin beserta penanganan atas pelanggaran disiplin pada PNS, penerapan sistem pakta integritas dan sistem pelaporan gratifikasi, dan penyampaian LHKPN para pejabat dan penyelenggara negara. Tahun 2011, seluruh K/L diharapkan sudah menerapkan sistem pengendalian intern sesuai pedoman dan terus ditingkatkan efektivitasnya. Demikian pula penerapan e-procurement untuk mencegah praktek KKN dalam pengadaan barang dan jasa terus diperluas pada seluruh instansi pemerintah. Akuntabilitas pengelolaan keuangan terus diperkuat melalui pemeriksaan oleh auditor eksternal (BPK), termasuk melalui peningkatan tindak lanjut atas hasil audit. Disamping itu, sistem pengaduan masyarakat terus disempurnakan dalam rangka peningkatan efektivitas penanganan pengaduan masyarakat.

Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik, tahun 2010 diharapkan seluruh K/L telah melakukan review atas peraturan/kebijakan pelayanan publik yang ada di instansi masing-masing dan menyusun rencana perbaikan. Kementerian PAN dan RB, bertugas mengkoordinasikan dan memastikan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik di setiap K/L. Selanjutnya, pada tahun 2011 diharapkan setiap K/L melakukan evaluasi kinerja pelayanan publik pada setiap unit pelayanan publik dengan menggunakan instrumen yang kredibel. Dengan adanya dan diberlakukannya Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan, Sistem Pengaduan, dan Sistem Evaluasi Kinerja tersebut, diharapkan kualitas pelayanan publik dapat meningkat, sehingga mencapai Skor Integritas Pelayanan Publik 8,0 pada tahun 2014. Pada tahun 2011 diharapkan setiap K/L menetapkan 3-5 unit pelayanan publik untuk ditingkatkan secara signifikan kualitas pelayanannya dalam waktu 1 tahun sebagai quick wins pelayanan publik K/L yang bersangkutan.

Sedangkan dalam rangka peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, pada tahun 2011 seluruh K/L diharapkan telah melakukan kajian yang mendalam tentang penataan kelembagaan dengan melakukan restrukturisasi organisasi dan tata kerja instansi untuk rightsizing yang didasarkan visi, misi, strategi dan analisis obyektif. Seluruh K/L juga ditargetkan telah mengembangkan sistem ketatalaksanaan dengan melengkapi SOP utama. Sasaran lainnya adalah; pengelolaan manajamen kepegawaian yang lebih baik, melalui pengembangan dan penerapan sistem rekruitmen pegawai, sistem penilaian kinerja pegawai, sistem promosi dan penempatan pada jabatan struktural, sistem diklat, dan kode etik pegawai.


(8)

Pengembangan e-government termasuk manajemen kearsipan berbasis TIK terus ditingkatkan. Selanjutnya, diperkuat pula dengan penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP).

Sebagaimana telah menjadi komitmen pemerintah, maka reformasi birokasi instansi diharapkan secara menyeluruh terlaksana pada instansi pusat pada tahun 2011 dan secara bertahap dilaksanakan pada instansi pemerintah daerah. Untuk itu , memerlukan kapasitas pengelolaan dan pengendalian yang kuat, baik selama proses penyiapan, dalam proses konsultasi dan asistensi, dan setelah pelaksanaan reformasi birokrasi pada instansi. Berdasarkan atas hal tersebut, langkah-langkah yang harus ditempuh oleh Kementerian/Lembaga dalam rangka penyiapan dan peningkatan kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi agar secara bertahap menginternalisasikan dan menginstitusionalisasi kebijakan pengarusutamaan tata kelola pemerintah pada Rencana Kerja Kementerian/Lembaga masing-masing, sehingga mampu mempercepat dan mamantapkan pelaksanaan reformasi birokrasi secara sistematis, terukur dan berkelanjutan. Disamping itu, implementasi kebijakan pengarusutamaan tata kelola pemerintahan yang baik, secara langsung turut memperbaiki sistem manajemen dan organisasi, kelembagaan dan sumber daya manusia aparatur pada instansi pemerintah, serta makin meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas.

Adapun implementasi kebijakan pengarusutamaan tata kelola pemerintahan yang baik pada tahun 2011 untuk ditetapkan sebagai indikator yang perlu diterapkan dan dicapai sasarannya pada tahun 2011 pada masing-masing Rencana Kerja Kementerian/Lembaga sebagaimana tabel di bawah ini.


(9)

TABEL 1.2

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK RKP TAHUN 2011 MELALUI RENCANA KERJA KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

BESERTA INDIKATORNYA

No. Isu/Kebijakan NasionalKebijakan Instansi dalamRencana Kerja K/L 2011 Indikator di setiap instansi Target Rencana Kerja K/L2011 1. Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN

1.1 Penegakan disiplin PNS di seluruh instansi pemerintah

Penegakan peraturan

mengenai disiplin PNS - Sistem penegakan disiplin yang efektif - Sistem penegakan disiplin telah tersedia dan diimplementasikan - % Pelanggaran disiplin

mendapatkan sanksi

- Meningkatnya pelanggaran disiplin yang mendapatkan sanksi

1.2 Penerapan pakta integritas bagi pejabat pemerintah

Penerapan pakta integritas bagi pejabat Eselon I, II, dan III

% pejabat telah menandatangani

dan melaksanakan pakta integritasTelah tersedia sistem penerapan pakta integritas dan diimplementasikan 1.3 Kepatuhan penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)

Mewajibkan pejabat untuk

melaporkan LHKPN % pejabat yang telah melaporkan LHKPN Meningkatnya pejabat yang telah menyampaikan LHKPN

1.4 Kebijakan antikorupsi Mewajibkan pelaporan gratifikasi

Tersedianya sistem pelaporan gratifikasi

Meningkatnya implementasi sistem pelaporan gratifikasi 1.5 Penyelenggaraan

Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP)

Penerapan sistem

pengendalian internal yang efektif

Tersedia dan terlaksananya sistem

pengendalian internal yang efektif Diterapkannya SPIP sesuai pedoman. Pembinaan penerapan SPIP dilakukan oleh BPKP.

1.6 Pengembangan Sistem

e-Procurement

Nasional

Penerapan e-procurement

dalam pengadaan barang dan jasa

% pengadaan menggunakan

e-procurement Meningkatnya pengadaan menggunakan e-procurement

1.7 Tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK

Peningkatan tindak lanjut atas temuan hasil pemeriksaan

% temuan yang ditindaklanjuti Meningkatnya temuan yang ditindaklanjuti

1.8 Akuntabilitas

pengelolaan keuangan Negara

Peningkatan akuntabilitas pengelolaan anggaran dan pelaporannya

Opini BPK atas LK K/L Meningkatnya kualitas opini BPK

1.9 Pengaduan masyarakat Tindaklanjut pengaduan

masyarakat - Tersedianya sistem pengaduan masyarakat yang efektif - Telah tersedia sistem pengaduan masyarakat yang efektif dan

diimplementasikan - % Penyelesaian tindak lanjut

atas pengaduan yang disampaikan masyarakat

- Meningkatnya penyelesaian tindak lanjut pengaduan masyarakat


(10)

No. Isu/Kebijakan NasionalKebijakan Instansi dalamRencana Kerja K/L 2011 Indikator di setiap instansi Target Rencana Kerja K/L2011 2.1 Penerapan Standar

Pelayanan pada Unit Penyelenggara Pelayanan Publik

Penerapan Standar Pelayanan Publik untuk seluruh unit penyelenggara pelayanan publik

% unit penyelenggara pelayanan publik yang sudah menerapkan Standar Pelayanan

Meningkatnya unit penyelenggara pelayanan publik yang menerapkan standar pelayanan 2.2 Penerapan Maklumat

Pelayanan pada unit pelayanan publik

Menerapkan maklumat pelayanan untuk unit pelayanan publik

% unit pelayanan publik yang sudah menerapkan maklumat pelayanan

Meningkatnya unit pelayanan publik yang menerapkan maklumat pelayanan 2.3 Penerapan Pelayanan

Terpadu Satu Pintu untuk pelayanan utama dan investasi

Penerapan Pelayanan

Terpadu Satu Pintu Pemerintah Daerah menerapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (OSS)

Meningkatnya Pemda yang menerapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (OSS) dan berfungsi efektif melalui koordinasi Kementerian PAN dan RB, BKPM dan

Kemendagri. 2.4 Penerapan Manajemen

Pengaduan Penerapan manajemen pengaduan yang efektif pada unit penyelenggara pelayanan publik

% unit pelayanan publik yang menerapkan manajemen pengaduan yang efektif

Meningkatnya unit pelayanan publik pada K/L yang menerapkan manajemen pengaduan yang efektif

2.5 Percepatan peningkatan kualitas pelayanan publik

Menyusun rencana percepatan peningkatan kualitas pelayanan publik dan melaksanakannya sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayanan publik

- Tersusunnya rencana

peningkatan kualitas pelayanan publik pada unit penyelenggara pelayanan publik

Tersusunnya rencana

peningkatan kualitas pelayanan publik

- Terlaksananya rencana

peningkatan kualitas pelayanan publik sesuai batas waktu yang ditetapkan

Terlaksananya rencana

peningkatan kualitas pelayanan publik

2.6 Pelaksanaan evaluasi dan penilaian terhadap kinerja pelayanan publik

Melaksanakan monitoring, evaluasi, dan penilaian kinerja kepada unit penyelenggara pelayanan publik yang ada

- Tersedianya sistem evaluasi kinerja pelayanan publik

- Tersusunnya sistem evaluasi kinerja pelayanan publik dan dimplementasikan pada setiap unit pelayanan publik yang ada di K/L dengan instrumen yang kredibel - % Unit Penyelenggara

Pelayanan Publik yang mendapat penilaian baik

- Meningkatnya unit penyelenggara pelayanan publik yang mendapat penilaian baik

- Setiap K/L menetapkan 3-5 unit pelayanan publik sebagai Quick Wins. 3. Peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi

3.1 Penataan kelembagaan instansi pemerintah

Melakukan restrukturisasi organisasi dan tata kerja instansi untuk rightsizing di dasarkan visi, misi, strategi dan analisis

% Tersusunnya struktur

kelembagaan (organisasi dan tata kerja) yang proporsional, efektif, efisien

Meningkatnya kelembagaan dan tatalaksana instansi pemerintah yang proporsional, efektif dan efisien


(11)

No. Isu/Kebijakan NasionalKebijakan Instansi dalamRencana Kerja K/L 2011 Indikator di setiap instansi Target Rencana Kerja K/L2011 obyektif, serta tupoksi.

3.2 Penataan ketatalaksanaan instansi pemerintah

Penyederhanaan proses bisnis dan penyusunan SOP utama

% SOP utama telah tersusun sesuai dengan proses bisnis yang lebih sederhana

Tersusunnya 50% SOP utama pada setiap K/L sesuai dengan proses bisnis yang lebih sederhana

3.3 Pemantapan kualitas manajemen SDM

Penerapan manajemen SDM

yang berkualitas (transparan dan berbasis merit/kompetensi)

- Tersedianya sistem rekrutmen yang transparan

- Tersedia sistem rekrutmen pegawai yang transparan dan berbasis merit/kompetensi serta mulai

diimplementasikan

- Tersedianya sistem penilaian

kinerja yang terukur - Tersedia sistem penilaian kinerja yang terukur dan mulai diimplementasikan

- Tersedianya sistem promosi dan mutasi yang terbuka dan transparan

- Tersedia sistem promosi dan penempatan dalam jabatan struktural yang terbuka, transparan, dan berbasis merit/kompetensi, serta diimplementasikan. - Tersedianya sistem diklat

berbasis merit dan kompetensi - Tersedia sistem diklat berbasis merit dan kompetensi, serta

merupakan bagian integral dari fungsi pembinaan kapasitas dan karir pegawai, serta meningkatkan kinerja lembaga

- Tersedianya sistem penegakan kode etik yang efektif, disertai penerapan reward and punishment

- Tersedia sistem kode etik instansi, dan

diimplementasikan dengan penegakannya secara efektif

3.4 Pengembangan dan penerapan e-Government

Pengembangan dan

penerapan e-Government Tersusunnya rencana penerapan Government yang konkrit dan e-terukur

Tersusunnya rencana penerapan e-Government

3.5 Sistem kearsipan dan dokumentasi berbasis TIK

Penerapan manajemen kearsipan dan

dokumentasi berbasis TIK

Manajemen kearsipan dan dokumentasi sudah dilaksanakan dengan sistem berbasis TIK

Tersedia sistem kearsipan dan dokumentasi berbasis TIK, serta diimplementasikan secara efektif. 3.6 Penyelenggaraan Sistem Akuntabilitas Kinerja Aparatur Penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah

% penerapan SAKIP (renstra, penilaian kinerja, kontrak kinerja, pengendalian, dan lain-lain)

Makin meningkatnya kualitas penerapan SAKIP (renstra, penilaian kinerja, kontrak kinerja, pengendalian, dan


(12)

No. Isu/Kebijakan NasionalKebijakan Instansi dalamRencana Kerja K/L 2011 Indikator di setiap instansi Target Rencana Kerja K/L2011 lain-lain)

1.1.3. Pengarusutamaan Gender

Pembangunan nasional selama ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk itu, pembangunan nasional selayaknya memberikan akses yang memadai serta adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan, serta turut mempunyai andil dalam proses pengendalian/kontrol pembangunan. Hal ini juga tercermin pada salah satu agenda pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yaitu agenda kelima, pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Upaya yang telah dilakukan adalah dengan menerapkan strategi pengarusutamaan gender di setiap bidang pembangunan.

Pengarusutamaan gender dalam pembangunan adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses pembangunan. Pengarusutamaan gender (PUG) dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif (sudut pandang) gender ke dalam proses pembangunan di setiap bidang. Penerapan pengarusutamaan gender akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.

Pencapaian pengarusutamaan gender dalam pembangunan ditunjukkan oleh peningkatan nilai Gender-related Development Index (GDI) atau Indeks Pemberdayaan Gender (IPG) dan Gender Empowerment Measure (GEM) atau Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Berdasarkan data Human Development Report , nilai IPG Indonesia meningkat dari 0,704 pada tahun 2004 (UNDP, 2006) menjadi 0,726 pada tahun 2007 (UNDP, 2009). Peningkatan ini dikontribusikan oleh penurunan tingkat kesenjangan angka melek huruf perempuan dengan laki-laki serta penurunan kesenjangan Angka Partisipasi Kasar (APK) SD-SMA perempuan dan laki-laki. Sementara itu, IDG juga menunjukkan peningkatan dari 0,597 pada tahun 2004 menjadi 0,621 pada tahun 2007 (KNPP-BPS, 2008). Hal ini disebabkan oleh: (i) meningkatnya partisipasi perempuan di bidang politik; (ii) meningkatnya proporsi perempuan sebagai pengambil keputusan; (iii) menurunnya kesenjangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan dengan laki-laki; dan (iv) meningkatnya rata-rata upah pekerja perempuan di sektor nonpertanian.

Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pembangunan adalah: (i) Masih rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, antara lain, disebabkan oleh terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan di bidang ekonomi; (ii) Masih belum memadainya jumlah dan kualitas tempat pelayanan bagi perempuan korban kekerasan karena banyaknya jumlah korban yang harus dilayani dan luasnya cakupan wilayah yang harus dijangkau; (iii) Masih belum efektifnya kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan, yang terlihat dari: (a) belum optimalnya penerapan peranti hukum, peranti analisis, dan dukungan politik terhadap kesetaraan gender sebagai prioritas pembangunan; (b) belum memadainya kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan PUG, terutama sumber daya manusia, serta ketersediaan dan penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin dalam siklus pembangunan; dan (c) masih


(13)

rendahnya pemahaman mengenai konsep dan isu gender serta manfaat PUG dalam pembangunan, terutama di kabupaten/kota.

Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut di atas, maka sasaran pengarusutamaan gender adalah meningkatnya kesetaraan gender, yang ditandai dengan: (a) meningkatnya kualitas hidup dan peran perempuan terutama di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi termasuk akses terhadap penguasaan sumber daya, dan politik dan pengambilan keputusan; (b) meningkatnya persentase cakupan perempuan korban kekerasan yang mendapat penanganan pengaduan; dan (c) meningkatnya efektivitas kelembagaan PUG dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender di tingkat nasional dan daerah.

Pengarusutamaan gender dilakukan melalui tiga isu nasional. Pertama, peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, melalui peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas serta harmonisasi peraturan perundangan dan pelaksanaannya di semua tingkat pemerintahan, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kedua, perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, melalui upaya-upaya pencegahan, pelayanan, dan pemberdayaan. Ketiga, peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan.

1.2 . KEBIJAKAN LINTAS BIDANG

1.2.1.Penanggulangan Kemiskinan

1.2.1.1. Kondisi Umum Pendahuluan

Sebagai program prioritas lintas bidang, penanggulangan kemiskinan dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik kementerian/lembaga di pusat, maupun dinas teknis di tingkat daerah serta didukung oleh para pihak baik perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat maupun masyarakat sendiri. Dengan demikian, tingkat kemiskinan yang dicerminkan oleh tingkat pendapatan di bawah garis kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan dasar yang merupakan cerminan dimensi non pendapatan dari kemiskinan, merupakan hasil akhir dari berbagai upaya tersebut yang dilakukan oleh berbagai pihak. Dengan demikian, pencapaian tingkat kemiskinan pada tahun tertentu merupakan rangkaian hasil dari upaya yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya secara konsisten dan kontinyu. Secara garis besar, tingkat kemiskinan pada tahun 2009 dicapai sebesar 14,15 persen, dan pada tahun 2010 diharapkan akan menurun menjadi sebesar 12-13,5 persen. Sasaran tingkat kemiskinan pada tahun 2010 tersebut akan dicapai apabila berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang direncanakan dilaksanakan pada tahun 2010 dapat mencapai hasil yang optimal, serta beberapa kondisi ekonomi makro dapat diwujudkan terutama tingkat pertumbuhan yang mencukupi dan inflasi yang terkendali. Secara rinci pelaksanaan kebijakan dan program serta rencana pelaksanaan tahun 2010 diuraikan dalam bagian berikut.

Pelaksanaan program tahun 2009 dan rencana pelaksanaan tahun 2010

Realisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 adalah sebesar 4,5 persen, didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian sebesar 4,1 persen. Pertumbuhan sektor pertanian yang cukup stabil ini merupakan faktor penting, karena bukan saja dapat mempertahankan mata pencaharian masyarakat di daerah perdesaan, namun juga menjaga dan mencukupi pasokan


(14)

bahan komoditas pokok terutama bahan pangan. Pertumbuhan sektor pertanian tersebut tercermin diantaranya pada produksi padi yang cukup tinggi yaitu mencapai 64,33 juta ton gabah kering giling, sehingga cadangan beras pemerintah yang dapat dihimpun Badan Urusan Logistik (Bulog) mencapai sebesar 514 ribu ton pada akhir Desember 2009. Dukungan produksi dan stok beras ini telah berhasil mengendalikan laju inflasi pada tahun 2009 mencapai sebesar 2,78 persen (Januari-Desember 2009). Pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai antara 5,5 – 5,6 persen, dan sektor pertanian diharapkan tumbuh antara 3,3 - 3,4 persen. Selain itu, inflasi ditargetkan dapat dikendalikan sebesar 5 persen, agar kesejahteraan masyarakat yang dicapai melalui peningkatan pendapatan dapat secara riil dinikmati masyarakat.

Penyerapan tenaga kerja juga masih meningkat, yaitu mencapai 104,87 juta tenaga kerja, meskipun sebanyak 72,73 juta (69 %) adalah tenaga kerja di sektor informal. Penyerapan tenaga kerja di sektor informal yang meningkat ini memberikan kelangsungan pendapatan bagi masyarakat di sekitar garis kemiskinan. Agar masyarakat dapat meningkat pendapatannya, selama tahun 2010-2014, sasaran penciptaan kesempatan kerja adalah sebesar 9,6-10,7 juta pekerja.

Selain itu, program penanggulangan kemiskinan yang sudah direncanakan, terutama yang tercakup di dalam 3 (tiga) klaster penanggulangan kemiskinan dapat terlaksana dengan baik, sebagaimana diuraikan berikut ini. Untuk meringankan beban pemenuhan kebutuhan dasar dan agar rumah tangga miskin dan anggotanya dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka berbagai program dalam Klaster 1 telah dilaksanakan secara optimal. Hal ini dapat dilihat pada realisasi penyaluran subsidi Raskin per 29 Desember 2009 sebesar 3,24 juta ton atau 97,37 % dari pagu Januari-Desember 2009, sehingga rencana distribusi sebesar 3,33 juta ton kepada 18,5 juta rumah tangga sasaran dapat dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya, pada akhir Desember 2009, realisasi total Jamkesmas adalah sebesar Rp 4,41 Triliun (99%) dari alokasi sebesar Rp 4,46 Triliun. Peserta Jamkesmas 2009 tetap 76,4 juta orang, disesuaikan dengan hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2008. Penyediaan Jamkesmas terus disediakan sebagai upaya kuratif, sehingga pada tahun 2010 sasaran Jamkesmas direncanakan masih melayani 76,4 juta orang, walaupun jumlah orang miskin sudah menurun. Pemberian beasiswa pendidikan untuk siswa miskin juga ditingkatkan dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia masyarakat miskin. Rencana pemberian beasiswa untuk siswa miskin pada tahun 2009 sebanyak 5,3 juta siswa, dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga mereka dapat menikmati pendidikan dengan tenang dan menyelesaikannya sebagai bekal kehidupan ke depan serta dapat membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan dasarnya.

Selanjutnya, pelaksanaan program keluarga harapan (PKH) yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan terutama pada masyarakat miskin terus ditingkatkan kualitas pelaksanaannya. Lebih jauh PKH dimaksudkan agar masyarakat miskin tetap menjaga anak mereka di sekolah dan menyelesaikan wajib belajar serta memelihara kesehatan balita mereka, sehingga pertumbuhan anak balita pada masa golden years dapat dilakukan secara optimal. Pada tahun 2009, pelaksanaan PKH pada rumah tangga sangat miskin, baru dapat dilakukan pada 726 ribu rumah tangga sangat miskin di 70 Kabupaten pada 13 Provinsi. Jumlah ini pada tahun 2010 ditingkatkan menjadi 816 ribu rumah tangga sangat miskin, di 88 Kabupatan pada 20 Provinsi. Selain itu, penanganan masyarakat dengan masalah kesejahteraan sosial juga semakin diperluas cakupannya. Pada tahun 2010 diharapkan pelayanan terhadap sekitar 300 ribu jiwa dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga tekad pemerintah untuk mewujudkan pembangunan inklusif dapat dilakukan secara bertahap dan semakin baik kualitasnya.

Sementara itu, pelaksanan program Klaster II Pemberdayaan Masyarakat terus diperluas dan ditingkatkan kualitasnya, agar semakin efektif dalam mewujudkan kemandirian


(15)

dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pada tahun 2009 sudah dapat dilaksanakan pelayanan PNPM Mandiri Inti di 6.408 Kecamatan di seluruh Indonesia. Untuk melanjutkan upaya ini, pada tahun 2010 PNPM Mandiri Inti dilaksanakan dan akan mencakup pemberdayaan masyarakat di lebih dari 6.321 Kecamatan. Untuk melaksanakan PNPM Mandiri Inti di kecamatan-kecamatan tersebut dilakukan dengan penempatan 17.890 fasilitator sebagai pendamping masyarakat dan didukung dengan penyaluran bantuan langsung masyarakat sebesar Rp 11 triliun yang berasal dari APBN dan APBD. Pelaksanaan PNPM Mandiri, selain dilakukan oleh PNPM Mandiri Inti, juga didukung oleh pelaksanaan PNPM pendukung yaitu diantaranya: (i) PNPM Generasi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas generasi penerus, yang pada tahun 2009 dilakukan di 164 kecamatan di 21 kabupaten pada 5 provinsi, dan pada tahun 2010 akan dilaksanakan di 189 Kecamatan, 25 Kabupaten dan 5 Provinsi; (ii) PNPM Perikanan dan kelautan pada tahun 2009 dilaksanakan di 133 Kecamatan, 120 Kabupaten dan 33 Provinsi; (iii) PNPM Agribisnis (PUAP) yang pada tahun 2009 dilaksanakan di 9.884 Desa, dan pada tahun 2010 akan menjangkau 10.000 Desa, ditujukan agar usaha agribisnis berkembang dan meningkat kualitasnya.

Selanjutnya pelaksanan Klaster III yang berupa Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sampai pada periode 2008-2009 mencapai hampir Rp 17,88 triliun, dan mencakup sekitar 2,55 juta nasabah, dengan rata-rata pembiayaan/kredit sebesar Rp 7,15 juta per debitur. Sektor yang menyerap KUR terbesar adalah sektor perdagangan, restoran, dan hotel, dengan proporsi KUR mencapai 70,78 persen, dan proporsi debitur 81,79 persen. Sektor lainnya yang cukup besar menyerap KUR yaitu pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan sebesar 14,5 persen, dengan proporsi debitur sebesar 9,95 persen.

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan akses penguasaan dan pemilikan tanah/lahan bagi masyarakat miskin, dilakukan pula penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). Pada tahun 2009, telah dilakukan redistribusi tanah sebanyak 336.396 bidang. Selanjutnya, diperkirakan pada tahun 2010 sebanyak 210.000 bidang lagi akan diredistribusikan status pemilikan dan penguasaannya.

Pencapaian Hasil Pelaksanaan

Sebagai hasil dari pelaksanaan berbagai program di atas, tingkat kemiskinan yang pada tahun 2008 sebesar 15,42 persen, dapat diturunkan menjadi sebesar 14,15 persen pada tahun 2009. Dengan tingkat kemiskinan pada tahun 2009 yang mencapai 14,15 persen tersebut, berarti terjadi kecenderungan penurunan kemiskinan, baik secara absolut maupun persentase, sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 1.

TABEL. 1

JUMLAH PENDUDUK MISKIN INDONESIA (2004- 2009)

Tahun Jumlah PendudukMiskin (juta) Persentase thd total penduduk pdtahun ybs

(poverty Incidence)

2004 36,15 16,66

2005 35,10 15,97

2006 39,30 17,75

2007 37,17 16,58

2008 34,96 15,42

2009 32,53 14,15

Sumber: Susenas berbagai tahun. BPS

Meskipun demikian, pada tahun 2009 masih terdapat sebanyak 32,5 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, sehingga masih memerlukan kerja keras kita semua. Secara grafik, perkembangan angka kemiskinan disajikan dalam Gambar 1.


(16)

GAMBAR 1: PERKEMBANGAN ANGKA KEMISKINAN INDONESIA TAHUN 2004-2009

Sumber: BPS, berbagai tahun (diolah) 1.2.1.2. Permasalahan dan Sasaran

Permasalahan penanggulangan kemiskinan dalam tahun 2011, diantaranya adalah sebagai berikut: (1) masih belum berkembangnya iklim usaha yang kondusif di daerah, sehingga belum mampu menarik investasi lokal serta belum meluasnya budaya usaha di masyarakat, yang berakibat pada belum optimalnya kesempatan usaha ekonomi untuk peningkatan pendapatan dan daya beli di daerah; (2) masih kurang efektifnya penyelenggaraan bantuan dan jaminan sosial, dan masih terbatasnya jumlah dan kapasitas sumber daya manusia, seperti tenaga lapangan yang terdidik dan terlatih serta memiliki kemampuan dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial. Permasalahan pada pelaporan dan pendataan jumlah korban akibat bencana yang disampaikan dari lokasi bencana seringkali kurang tepat dan akurat; (3) tingkat pemenuhan beberapa kebutuhan dasar (indikator kemiskinan non pendapatan) misalnya pada kecukupan pangan (kalori), layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi masih rendah, dan cukup timpang antar golongan pendapatan; (4) pemenuhan hak dasar terutama bagi masyarakat miskin dan termarjinalkan perlu diperluas sejalan dengan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Dalam kaitan ini perbaikan akses penguasaan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) terutama bagi masyarakat yang memiliki tanah pertanian kurang dari 0,5 ha masih perlu dilakukan; (5) masih banyaknya rumah tangga yang meskipun sudah meningkat kesejahteraannya, namun masih berada pada kelompok hampir miskin, sehingga rentan terhadap gejolak ekonomi dan sosial (bencana alam, gangguan iklim dan konflik sosial). Hasil Pendataan Program


(17)

Perlindungan Sosial (PPLS) 2008 menunjukkan jumlah Rumah Tangga Hampir Miskin (RTHM) masih sebanyak 7,66 juta rumah tangga, meningkat dibanding data PSE 2005 yang besarnya 6,97 juta rumah tangga; (6) permasalahan kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan yang berbeda antara Jawa/Bali dengan daerah lainnya, sehingga memerlukan penanganan yang berbeda; dan (7) masih kurang optimalnya pelibatan masyarakat terutama masyarakat miskin dalam pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan.

Selanjutnya, dengan memperhatikan perkembangan capaian tahun 2009, permasalahan serta perkiraan pelaksanaan tahun 2010 sebagaimana diuraikan di atas, tingkat kemiskinan ditargetkan dapat diturunkan menjadi 11,5-12,5 persen dari jumlah penduduk pada tahun 2011.

1.2.1.3. Strategi dan Arah Kebijakan

Untuk mencapai sasaran tersebut, maka arah kebijakan untuk mendukung pencapaian sasaran tingkat kemiskinan tersebut dalam tahun 2011 adalah sebagai berikut: (i) mendorong pertumbuhan yang pro-rakyat miskin dengan memberi perhatian khusus pada usaha-usaha yang melibatkan orang-orang miskin dan orang-orang dengan kondisi khusus; (ii) meningkatkan kualitas kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan afirmatif/keberpihakan; dan (iii) meningkatkan efektivitas pelaksanaan penurunan kemiskinan di daerah.

Arah kebijakan tersebut di atas akan dilakukan melalui 4 (empat) fokus prioritas yaitu: Fokus 1. Peningkatan dan Penyempurnaan Kualitas Kebijakan Perlindungan Sosial Berbasis Keluarga.

Pada Fokus 1, dalam tahun 2011, bantuan sosial terpadu diarahkan untuk pembentukan perlindungan sosial berbasis keluarga bagi rumah tangga miskin. Selain itu, akan dilakukan juga penyatuan sistem pentargetan pada masing-masing program bantuan sosial ini. Penajaman dan keterpaduan dimulai dengan program bantuan subsidi beras bagi keluarga miskin (Raskin), bantuan beasiswa dan pendidikan usia dini untuk anak dari keluarga miskin, serta jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), termasuk pendidikan bagi orang tua yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi (parenting education). Sementara itu, peningkatan dan penyempurnaan kualitas kebijakan perlindungan sosial dilakukan pula dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berkeadilan (justice for all), terutama untuk kelompok masyarakat termajinalkan.

Selanjutnya, pada tahun 2011 akan dilakukan pula: (i) peningkatan cakupan pelayanan kepada masyarakat dengan masalah sosial terutama yang berada pada Rumah Tangga Miskin (RTM), serta korban bencana dan komunitas adat terpencil; (ii) penyempurnaan kriteria, proses penargetan, serta proses seleksi penerima bantuan sosial, pengembangan sistem informasi manajemen yang berkualitas, serta peningkatan jumlah dan perluasan cakupan sasaran program; (iii) perluasan cakupan Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi 1.116 ribu Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM); (iv) penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) melalui redistribusi tanah sebanyak 210.000 bidang.

Fokus 2. Menyempurnakan dan meningkatkan efektivitas pelaksanaan PNPM Mandiri. Dalam Fokus 2, pada tahun 2011, penyempurnaan pelaksanaan PNPM Mandiri dilakukan melalui: (i) melanjutkan pelaksanaan PNPM Mandiri inti di 6.383 Kecamatan di seluruh Indonesia; (ii) peningkatan efektivitas dampak PNPM Mandiri dan peningkatan kualitas lembaga keswadayaan masyarakat yang sudah terbangun melalui PNPM Mandiri; dan (iii) peningkatan kualitas integrasi PNPM Mandiri Inti dengan Penguatan,


(18)

dengan pemanfaatan lembaga keswadayaan sebagai wadah partisipasi masyarakat terhadap pembangunan di wilayahnya dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan kecamatan.

Fokus 3. Peningkatan akses usaha mikro dan kecil kepada sumberdaya produktif. Dalam Fokus 3, pada tahun 2011 akan dilakukan: (i) lanjutan dukungan penjaminan untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR), agar akses usaha mikro terhadap kegiatan ekonomi dapat terus diperluas, serta kualitas pelaksanaan KUR dapat ditingkatkan; (ii) peningkatan jangkauan pelayanan pembiayaan bagi koperasi dan UKM serta kapasitas dan pelayanan lembaga keuangan bukan bank; dan (iii) revitalisasi sistem diklat perkoperasian.

Fokus 4. Peningkatan sinkronisasi dan efektivitas koordinasi penanggulangan kemiskinan serta harmonisasi antar pelaku.

Dalam Fokus 4 pada tahun 2011 akan dilakukan: (i) peningkatan koordinasi dan sinkronisasi melalui Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan; (ii) peningkatan peran TKPKD dalam koordinasi program-program penanggulangan kemiskinan untuk percepatan penurunan kemiskinan di daerah. Termasuk di dalam kegiatan ini adalah pemeliharaan dan penggunaan data kemiskinan yang konsisten dan akurat secara kontinyu baik untuk perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program-program penanggulangan kemiskinan di daerah; (iii) memperkuat kemandirian desa dalam pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; meningkatkan ketahanan desa sebagai wilayah produksi; serta meningkatkan daya tarik perdesaan melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan seiring dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lingkungan; dan (iv) penanganan kantung-kantung kemiskinan terutama yang berada di daerah tertinggal, terdepan dan terluar, termasuk pembangunan sarana dan prasarana dasar dan pendukung (meliputi listrik, air, jalan penghubung antarpulau) di pulau-pulau kecil dan pulau-pulau kecil terluar. Upaya (iv) ini terkait dengan pelaksanaan Prioritas 10. Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pasca Konflik.

1.2.2. Perubahan Iklim Global

1.2.2.1. Kondisi Umum

Perubahan iklim yang terjadi dalam satu abad terakhir telah menjadi isu global sekaligus merupakan tantangan pembangunan nasional. Sedikitnya terdapat empat indikator yang menunjukkan terjadinya perubahan iklim yang berdampak signifikan terhadap berlangsungnya kehidupan, yaitu kenaikan permukaan air laut, kenaikan temperatur udara, perubahan curah hujan, dan iklim, serta peningkatan frekuensi iklim ekstrim yang berdampak pada peningkatan frekuensi dan intensitas bencana terkait iklim, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan menurunnya keanekaragaman hayati.

Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampaknya secara sosial dan ekonomi dapat menurunkan pendapatan petani/nelayan antara lain karena berubahnya musim tanam dan bencana alam yang semakin kerap terjadi.

Perubahan iklim sudah mulai secara nyata dirasakan, dan dampaknya telah secara nyata pula menyebabkan permasalahan pembangunan di berbagai sektor. Sebagai contoh, kenaikan muka air laut yang terjadi di Indonesia telah mempengaruhi pola perhubungan antar pulau, kerusakan sarana dan prasarana pesisir, intrusi air laut yang makin tinggi, dan kemampuan nelayan untuk melaut dan mencari nafkah. Selain itu, pola perubahan cuaca juga telah mempengaruhi pola tanam pertanian serta pola penyakit yang ada di Indonesia. Selain


(19)

dampak perubahan iklim tersebut, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional juga perlu menyumbang upaya untuk mengurangi laju perubahan iklim dengan mengurangi emisi karbon dan meningkatkan penyerapan karbon. Hal ini dilakukan khususnya pada sektor-sektor energi, kehutanan, lahan gambut, dan limbah.

Tahun 2009 Indonesia telah berinisiatif menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2020 sebesar 26 persen dari kondisi tanpa rencana aksi (business as usual-BAU) dengan usaha sendiri, serta menurunkan 41 persen jika dibantu dengan dukungan dari internasional. Upaya adaptasi dan mitigasi tersebut adalah dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan berkeseimbangan baik dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Pada tahun 2009 telah mulai disusun Roadmap Sektor untuk Perubahan Iklim yang berisi program perubahan iklim baik di bidang mitigasi dan adaptasi untuk 9 sektor utama perubahan iklim hingga tahun 2030. Selain itu pada tahun 2010 telah disusun Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang merupakan perwujudan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen pada tahun 2020.

1.1.2.2. Permasalahan dan Sasaran

Banyaknya pemangku kepentingan yang berperan dalam penanggulangan perubahan iklim mengharuskan adanya koordinasi serta sinergi yang baik antarberbagai pihak tersebut. Oleh karena itu, upaya ini harus bersifat membuka akses seluruh pihak agar dapat berperan aktif di dalamnya terutama dalam mewujudkannya. Untuk itu, penanggulangan perubahan iklim tidak dapat dilakukan semata oleh satu sektor/bidang pembangunan karena sumber dan dampak perubahan iklim terkait dengan berbagai kegiatan pembangunan di banyak sektor, seperti kehutanan, energi, pertanian, dan kelautan.

Dalam hal penanganan perubahan iklim, berbagai upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan, perlu terus diikuti dengan peningkatan kapasitas, mencakup kapasitas kelembagaan penanganan dampak perubahan iklim, dan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam penanganannya.

Berbagai isu terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim adalah sebagai berikut: (1) Rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan institusi pengelola dan penanganan yang bersifat parsial dan terkotak-kotak; (2) Masih terbatasnya ketersediaan data dan informasi terkait dengan adaptasi dan mitigasi; dan (3) Masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap upaya penanganan perubahan iklim dimana masyarakat masih belum menyadari perlunya merubah pola hidup terkait dengan adanya penomena perubahan iklim ini.

Mengingat hal-hal tersebut di atas, sasaran pengarus-utamaan perubahan iklim dalam RKP 2011 adalah: (1) Meningkatnya kapasitas adaptasi perubahan iklim di sektor pertanian, kelautan perikanan, pesisir, sarana dan prasarana, kesehatan; (2) Meningkatnya kapasitas mitigasi perubahan iklim di sektor pertanian, kehutanan, lahan gambut, energi, transportasi, industri dan pengolaan limbah; (3) Menurunnya emisi GRK sebesar XX juta ton CO2e; (5) Tersusunnya sistem MRV nasional perubahan iklim; (6) Tersusunnya Sistem Inventori GRK Nasional

1.2.2.3. Strategi dan Arah Kebijakan

Dalam mengidentifikasi kegiatan perubahan iklim dalam RKP 2011 ini dilakukan dengan merumuskan kriteria/pertimbangan utama sebagai berikut.

 Terkait mitigasi: dampak kegiatan pembangunan terhadap jumlah emisi karbon (GRK), dimana kegiatan pembangunan yang direncanakan diupayakan dapat membantu


(20)

penurunan emisi gas rumah kaca, Diharapkan dengan upaya ini akan dihasilkan arah pembangunan rendah karbon (low carbon development)

 Terkait adaptasi: mempertimbangkan kenaikan temperatur, kenaikan muka air laut pergeseran musim, dan kejadian iklim ekstrim sehingga kegiatan pembangunan yang direncanakan terutama pada sektor yang menerima dampak perubahan iklim seharusnya sudah mempertimbangkan dampak dari indikator perubahan iklim tersebut.

Sektor yang diprioritaskan dalam kegiatan perubahan iklim adalah sebagai berikut.

 Mitigasi: Kehutanan, Lahan Gambut, Energi, Termasuk Transportasi, Industri dan Pengolahan Limbah.

 Adaptasi: Pertanian, Kelautan Perikanan, Pesisir, Sarana dan Prasarana, Kesehatan

 Pendukung: Data Informasi dan Komunikasi, Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan IPTEK.

Untuk itu arah kebijakan lintas bidang untuk mengantisipasi dampak serta laju perubahan iklim diarahkan untuk mewujudkan peningkatan kapasitas penanganan dampak dan laju perubahan iklim yang tepat dan akurat. Sementara itu, strategi untuk mencapai kebijakan ini adalah: (1) peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di berbagai sektor pembangunan dan penguatan kelembagaan; (2) penyedianya dana alternatif untuk pelaksanaan kegiatan dalam rangka pengendalian perubahan iklim; (3) pengurangan emisi di sektor energi, kehutanan dan limbah; (4) peningkatan kapasitas adaptasi sektor dan daerah terutama dalam bidang pertanian, kelautan dan perikanan, kesehatan dan sumber daya air; (5) pengembangan kebijakan dan peraturan perundangan mengenai perubahan iklim.

1.2.3. Pembangunan Kelautan Berdimensi Kepulauan

1.2.3.1. Kondisi Umum

Pembangunan berdimensi negara kepulauan adalah pembangunan yang berorientasi pada pengembangan potensi kepulauan secara ekonomi, ekologis dan sosial yang ditunjukkan untuk meningkatkan pemanfaatan dari sumber daya yang ada di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat generasi sekarang dan generasi selanjutnya.

Wilayah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut yang mempersatukan pulau-pulau yang tersebar di seluruh khatulistiwa. Sedangkan Wawasan Nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Saat ini, tata kelola wilayah lautan masih partial dan bias ke daratan sehingga kebijakan yang ada tidak utuh dan terintegrasi. Padahal, sebagai negara kepulauan, jika kebijakan dan pendekatan archipelagic state dapat dikedepankan, dan laut sebagai center of attention dari segala kebijakan yang dilaksanakan, maka lautan yang luas dengan berbagai potensi yang sangat besar akan dapat menjadi sumber yang menjadi andalan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, kekayaan negara ini harus kita jaga dengan baik sehingga tidak akan terjadi lagi perpindahan kepemilikan pulau-pulau terluar kita oleh negara lain serta dapat dikendalikan pencurian hasil laut di wilayah Indonesia, serta aktifitas lain yang merugikan NKRI.

Berbekal modal dasar NKRI sebagai Negara kepulauan terbesar kedua di dunia, maka pendekatan pendekatan archipelagic state, sebagai kerangka pembangunan nasional harus


(21)

dilakukan sebagai pengejawantahan dari falsafah Pencasila dan UUD 1945. Pengembangan NKRI sebagai negara kepulauan juga diamanatkan dalam Deklarasi Djoeanda Tahun 1957 dan mendapatkan pengakuan Internasional pada tahun 1982 melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Selain itu, kebijakan pembangunan kelautan berdimensi kepulauan ini merupakan upaya untuk melaksanakan salah satu misi pembangunan nasional (dalam PJPN 2005-2025) yaitu Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, kuat dan berbasis kepentingan Nasional.

1.2.3.2. Permasalahan dan Sasaran

Saat ini, pemanfaatan kekayaan laut kita sebagai Negara kepulauan masih belum optimal dibandingkan potensinya. Hal tersebut terjadi karena masih banyaknya kendala yang dihadapi, kendala ini selain jadi permasalahan juga sekaligus menjadi tantangan untuk kita menjadikan Negara Indonesia menjadi Negara kepulauan yang tangguh dan diperhitungkan dimata dunia. Berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi adalah sebagai berikut.

Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak pulau kecil, Indonesia sangat potensial sebagai wilayah untuk pariwisata bahari, meskipun demikian, karena minimnya infrastruktur pendukung baik itu, prasarana dan sarana transportasi antar pulau maupun prasarana dasar lainnya, potensi pariwisata ini belum berkembang optimal. Minimnya infrastruktur ini juga menimbulkan hambatan mobilisasi penumpang dan distribusi barang adanya kesenjangan antara pulau besar dengan pulau kecil maupun antara wilayah barat dan timur. Jika ini tidak segera ditanggungi maka laut yang seharusnya menjadi perekat NKRI bisa menjadi penghalang atau pemisah.

Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang, terutama di pulau kecil perbatasan. Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wilayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah ini umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan ilegal di daerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai kerawanan sosial. Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sementara itu pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah.

Permasalahan pertahanan dan keamanan di laut saat ini juga masih menjadi hal yang krusial untuk segera diselesaikan. Belum terselesaikannya batas wilayah laut dengan negara tetangga. Wilayah laut ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) yang belum diselesaikan meliputi perbatasan dengan Malaysia, Filipina, Palau, Papua New Guinea, Timor Leste, India, Vietnam dan Thailand. Sedangkan batas laut teritorial yang belum disepakati meliputi perbatasan dengan Singapura (bagian timur), Malaysia, dan Timor Leste. Selain itu, ada potensi untuk mendapatkan tambahan wilayah laut dengan perjanjian batas landas kontinen. Kemampuan diplomasi Indonesia dalam kancah internasional juga masih lemah, sehingga merupakan kendala tersendiri yang perlu diatasi. Masih sering terjadinya kasus perompakan di wilayah perairan Indonesia.


(22)

Masih lemahnya pengendalian dan pengawasan sumber daya kelautan serta masih tingginya pelanggaran di wilayah laut, seperti pembuangan limbah B3 (Bahan beracun berbahaya), maraknya praktek illegal fishing dan penjualan pasir laut, merupakan aktifitas yang dapat merusak kualitas lingkungan perairan dan juga sumberdaya alam di dalamnya yang apabila dibiarkan akan sangat merugikan bagi keberadaan sumber daya alam dan juga system kehidupan yang ada.

Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak sehingga menyebabkan menurunnya ketersediaan sumberdaya plasma nutfah dan meluasnya abrasi pantai. Kerusakan habitat ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan seperti pantai utara Pulau Jawa dan pantai timur Pulau Sumatera. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove serta terjadinya degradasi sebagian besar terumbu karang dan padang lamun telah mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperburuk oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat. Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan perairannya. Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir juga terus meningkat. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar, bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan yang menggunakan laut sebagai prasarana transportasi dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih terjadi dimana-mana yang memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir dan laut.

Minimnya riset teknologi kelautan dan penerapannya untuk mendukung pembangunan kelautan nasional, termasuk riset sumberdaya kelautan di laut dalam. Lemahnya sinergi kebijakan Iptek nasional, termasuk kelautan, menyebabkan kegiatan Iptek belum sanggup memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan, industri, dan Iptek belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri kelautan dan perikanan. Di samping itu kebijakan fiskal juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan Iptek kelautan dan perikanan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka sasaran pembangunan lintas bidang pembangunan kelautan berdimensi kepulauan adalah: (1) Pengembangan data dan informasi dan riset sumberdaya kelautan non konvensional: (2) Pengembangan infrastruktur dasar di pulau-pulau kecil terluar dan pembangunan fasilitas perintis untuk meningkatkan akses ke wilayah terpencil; (3) peningkatan kerjasama dan percepatan penyelesaian tata batas wilayah lautan dengan negara tetangga; (4) peningkatan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan pelanggaran di wilayah laut NKRI; (5) Penataan ruang dan zonasi di wilayah pesisir dan lautan; dan (6) rehabilitasi, konservasi dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.

1.2.3.3. Strategi dan Arah Kebijakan

Berdasarkan isu dan permasalahan di atas, maka arah kebijakan pembangunan kelautan berdimensi kepulauan adalah: (1) Meningkatkan sinergitas antar sektor/daerah/pemangku kepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan pulau-pulau kecil; (2) Meningkatkan pemahaman tehadap konsep negara


(1)

Masih lemahnya pengendalian dan pengawasan sumber daya kelautan serta masih tingginya pelanggaran di wilayah laut, seperti pembuangan limbah B3 (Bahan beracun berbahaya), maraknya praktek illegal fishing dan penjualan pasir laut, merupakan aktifitas yang dapat merusak kualitas lingkungan perairan dan juga sumberdaya alam di dalamnya yang apabila dibiarkan akan sangat merugikan bagi keberadaan sumber daya alam dan juga system kehidupan yang ada.

Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak sehingga menyebabkan menurunnya ketersediaan sumberdaya plasma nutfah dan meluasnya abrasi pantai. Kerusakan habitat ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan seperti pantai utara Pulau Jawa dan pantai timur Pulau Sumatera. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove serta terjadinya degradasi sebagian besar terumbu karang dan padang lamun telah mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperburuk oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat. Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan perairannya. Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir juga terus meningkat. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar, bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan yang menggunakan laut sebagai prasarana transportasi dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih terjadi dimana-mana yang memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir dan laut.

Minimnya riset teknologi kelautan dan penerapannya untuk mendukung pembangunan kelautan nasional, termasuk riset sumberdaya kelautan di laut dalam. Lemahnya sinergi kebijakan Iptek nasional, termasuk kelautan, menyebabkan kegiatan Iptek belum sanggup memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan, industri, dan Iptek belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri kelautan dan perikanan. Di samping itu kebijakan fiskal juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan Iptek kelautan dan perikanan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka sasaran pembangunan lintas bidang pembangunan kelautan berdimensi kepulauan adalah: (1) Pengembangan data dan informasi dan riset sumberdaya kelautan non konvensional: (2) Pengembangan infrastruktur dasar di pulau-pulau kecil terluar dan pembangunan fasilitas perintis untuk meningkatkan akses ke wilayah terpencil; (3) peningkatan kerjasama dan percepatan penyelesaian tata batas wilayah lautan dengan negara tetangga; (4) peningkatan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan pelanggaran di wilayah laut NKRI; (5) Penataan ruang dan zonasi di wilayah pesisir dan lautan; dan (6) rehabilitasi, konservasi dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.

1.2.3.3. Strategi dan Arah Kebijakan

Berdasarkan isu dan permasalahan di atas, maka arah kebijakan pembangunan kelautan berdimensi kepulauan adalah: (1) Meningkatkan sinergitas antar sektor/daerah/pemangku kepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan pulau-pulau kecil; (2) Meningkatkan pemahaman tehadap konsep negara


(2)

kepulauan bagi generasi muda dan masyarakat luas; (2) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pelanggaran di laut; (3) Meningkatkan pengamanan, menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI: (3) Pembangunan ekonomi kelautan yang terfokus dan terintegrasi untuk sektor-sektor strategis untuk pendorong peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, termasuk membangun industri maritim.; (4) Meningkatkan sarana dan prasarana penghubung antar pulau dalam rangka menjadikan laut sebagai perekat NKRI; (5) Meningkatkan upaya pelestarian lingkungan pesisir dan laut dalam rangka menjaga dan mempertahankan fungsinya sebagai pendukung kehidupan.

1.2.4. Perlindungan Anak

1.2.4.1. Kondisi Umum

Pembangunan perlindungan anak ditujukan untuk memenuhi hak-hak anak Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak mencakup anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan meliputi hak-hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, serta mendapat perlindungan dari berbagai tindak kekerasan, perdagangan anak, eksploitasi, dan diskriminasi. Dengan demikian, upaya pemenuhan hak-hak anak terkait dengan berbagai bidang pembangunan. Pembangunan perlindungan anak yang dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif dalam mewujudkan dunia yang layak bagi seluruh anak Indonesia.

Keberhasilan dalam memenuhi hak untuk hidup, tumbuh, dan kembang serta meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak ditunjukkan oleh berbagai capaian pembangunan. Di bidang kesehatan, hasil SDKI tahun 2002/03 menunjukkan bahwa angka kematian bayi (AKB) adalah 35 anak per 1.000 kelahiran hidup, angka kematian balita (AKBA) mencapai 46 anak per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian neonatal (usia 0−28 hari) mencapai 20 per 1.000 kelahiran hidup. Data SDKI tahun 2007 menunjukkan penurunan, yaitu AKB menjadi 34 anak per 1.000 kelahiran hidup, AKBA menjadi 44 anak per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian neonatal menjadi 19 per 1.000 kelahiran hidup. Selain itu, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita juga mengalami penurunan, masing-masing dari 8,8 persen dan 19,24 persen (SDKI 2002/03) menjadi sebesar 5,4 persen dan 13,0 persen (Riskesdas 2007).

Di bidang pendidikan, data Susenas menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) anak usia 7–12 tahun, 13–15 tahun, dan 16–18 tahun telah mengalami peningkatan, dari masing-masing 97,14 persen; 84,02 persen; dan 53,86 persen pada tahun 2005, menjadi masing-masing 97,83 persen; 84,41 persen; dan 54,70 persen pada tahun 2008. APK PAUD juga meningkat dari 42,34 persen pada tahun 2005 menjadi 50,62 persen pada tahun 2008. Di samping itu, data Depdiknas menunjukkan adanya penurunan angka putus sekolah SD+MI, SMP+MTs, dan SM+MA masing-masing sebesar 2,9 persen, 1,78 persen, dan 2,83 persen pada 2005/2006 menjadi 1,63 persen, 2,22 persen, dan 2,33 persen pada 2007/2008. Upaya pengembangan anak usia dini secara tidak langsung juga dilakukan melalui penyuluhan pengasuhan anak kepada orang tua dan keluarga. Data BKKBN menunjukkan adanya peningkatan jumlah anggota yang aktif dalam kegiatan BKB, dari sebanyak 970.939 keluarga pada tahun 2005 menjadi 2.320.747 keluarga pada tahun 2009. Selain itu, telah dibentuk pula 5 sekolah ramah anak di 3 provinsi dan 5 kabupaten/kota; serta diterbitkan dan disosialisasikannya buku panduan tentang sekolah tanpa rokok di Provinsi DKI Jakarta.

Di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, data Sakernas 2006-2008 menunjukkan penurunan persentase pekerja anak usia 10-14 tahun, dari 5,52 persen pada tahun 2005 menjadi 4,65 persen pada tahun 2006 dan 3,78 persen pada tahun 2007. Sementara itu, dalam

Alur

Pemban

gunan

Bidang


(3)

memenuhi hak sipil anak untuk mendapatkan identitas dan legalitas kependudukan, data Supas 2005 menunjukkan bahwa sekitar 42,82 persen anak usia 0-4 tahun telah memiliki akta kelahiran. Selain itu, kemajuan lain yang dicatat dalam rangka peningkatan kesejahteraan perlindungan anak, antara lain adalah: (1) disahkannya Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan No. 2 Tahun 2009 Tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak sebagai penguatan dasar hukum pelaksanaan KLA; (2) terlaksananya sosialisasi dan advokasi mengenai penyusunan peraturan daerah tentang pemberian akta kelahiran gratis kepada pemerintah daerah di 49 kabupaten/kota; dan (3) terbentuknya forum nasional partisipasi bagi anak.

Dalam rangka memberikan pelayanan bagi anak dan perempuan korban kekerasan, penelantaran, eksploitasi, dan diskriminasi, terdapat peningkatan jumlah lembaga pelayanan baik yang diadakan oleh pemerintah maupun swasta/masyarakat. Untuk melayani laporan/pengaduan kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak telah tersedia Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) sebanyak 305 buah di tingkat Polres yang tersebar di seluruh Indonesia (data Mabes Polri tahun 2008) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 17 provinsi dan 76 kabupaten/kota (data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Juli 2009). Selain itu, telah dikembangkan pula mekanisme pengaduan bagi anak melalui telepon yang disebut Telepon Sahabat Anak (TESA) 129 di tujuh kota. Selanjutnya, telah terbentuk pula gugus tugas penanganan anak korban perdagangan orang pada tingkat nasional yang berfungsi untuk mengkoordinasikan dan mendorong pemberantasan perdagangan orang (termasuk perdagangan anak) serta telah disusun standar operasional prosedur pemulangan korban perdagangan anak, baik di dalam negeri maupun antarnegara.

Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, sampai akhir 2008 terdapat 20 Pusat Krisis Terpadu (PKT) di Rumah Sakit Umum Daerah (data Departemen Kesehatan) dan 43 Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di Rumah Sakit Bhayangkara yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia (data Mabes Polri). Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi anak dan perempuan korban kekerasan di rumah sakit dan puskesmas, telah dilaksanakan penyusunan: (1) pedoman pelayanan korban kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan anak (KtA) di Rumah Sakit; (2) pedoman rujukan korban kekerasan terhadap anak untuk petugas kesehatan; dan (3) pedoman pengembangan puskesmas mampu tatalaksana kasus KtP/KtA. Selain itu, juga dilaksanakan pelatihan penanganan korban KtP dan KtA bagi sekitar 110 dokter/petugas medis di rumah sakit. Selanjutnya, untuk membantu anak korban kekerasan dalam pemulihan psikososial dan perlindungan kondisi traumatis, data Departemen Sosial menunjukkan bahwa hingga awal tahun 2009 sudah terdapat sekitar 29 Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) di 23 provinsi dan 15 Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA).

Di samping itu, untuk meningkatkan pelayanan terhadap perempuan korban perdagangan orang, telah terbentuk pula gugus tugas penanganan anak korban perdagangan orang di tingkat nasional, yang berfungsi untuk mengoordinasikan dan mendorong pemberantasan perdagangan orang termasuk perdagangan anak. Selain itu, telah disusun pula standar prosedur operasional pemulangan korban perdagangan anak, baik dalam di dalam negeri maupun antarnegara.

Di bidang kesejahteraan sosial, telah tersedia pula pelayanan untuk mengatasi masalah anak jalanan di berbagai kota, termasuk pendidikan, pendidikan keterampilan, dan upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi orang tua mereka agar anak-anak jalanan dan orang tuanya tetap dapat hidup bersama dalam keluarga yang harmonis. Sementara itu, untuk meningkatkan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, telah ditanda-tangani Surat Keputusan Bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kepolisian Negara, Kejaksaan


(4)

Agung, dan Mahkamah Agung.

Sementara itu, untuk meningkatkan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, telah ditetapkan kebijakan terpadu tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum berbasis restorative justice, yang ditindaklanjuti dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Sosial, Kepolisian Negara, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk memenuhi hak-hak anak jalanan di berbagai kota, telah disediakan pula beberapa pelayanan, diantaranya: layanan pendidikan, pendidikan keterampilan, dan upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi orang tua mereka, agar anak-anak jalanan dan orang tuanya tetap dapat hidup bersama dalam keluarga yang harmonis.

Peraturan perundang-undangan sebagai basis hukum dalam memberikan perlindungan bagi anak dan perempuan juga telah mencatat kemajuan, antara lain dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait pemidanaan terhadap pornografi anak, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pusat Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pelayanan Terpadu bagi Korban Perdagangan Orang.

1.2.4.2. Permasalahan dan Sasaran

Walaupun sudah banyak kemajuan yang dicapai di bidang perlindungan anak sampai dengan tahun 2009 sebagaimana diuraikan di atas, namun masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi pada tahun 2011.

Pertama, masih belum optimalnya pemenuhan kebutuhan esensial anak usia dini, yang mencakup berbagai stimulasi dini dan pelayanan tumbuh kembang anak untuk kesiapan belajar dalam memasuki jenjang sekolah dasar; derajat kesehatan dan gizi anak; serta pengasuhan dan perlindungan anak. Data Depdiknas pada tahun 2008 menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 49,38 persen anak usia 0-6 tahun yang belum mengenyam pendidikan anak usia dini. Di samping itu, masih banyak anak yang tidak bersekolah, yang terutama disebabkan oleh kemiskinan.

Rendahnya pemenuhan hak tumbuh kembang anak, juga ditunjukkan oleh masih relatif tingginya kematian bayi dan balita, yang antara lain disebabkan oleh peningkatan infeksi HIV dan AIDS. Dampak hal tersebut terhadap anak, di antaranya adalah kehilangan pengasuhan karena orang tua meninggal dunia, kehilangan sumber daya ekonomi karena biaya pengobatan yang relatif mahal, dan risiko menghadapi akibat-akibat infeksi itu dalam dirinya sendiri. Selain itu, jumlah pekerja anak masih tinggi, terutama di perdesaan, termasuk yang melakukan berbagai pekerjaan yang berbahaya, seperti menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Dari 2,6 juta pembantu rumah tangga (PRT), 35 persennya adalah anak-anak, khususnya anak perempuan, dengan rata-rata jumlah jam kerja 25-45 jam/minggu (KNPP, 2006). Di samping itu, masih banyak pula anak-anak yang melakukan pekerjaan berbahaya di sektor transportasi, konstruksi, dan pertambangan.

Dalam pemenuhan hak-hak sipil, jumlah anak yang belum mendapatkan akta kelahiran masih tinggi, yaitu sekitar 57,18 persen. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh: (a) belum adanya keseragaman sistem pencatatan kelahiran; (b) tingkat kompleksitas persyaratan pengurusannya; (c) adanya inkonsistensi aturan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan mengenai jangka waktu pembebasan biaya pengurusan akta kelahiran (dari 487 kabupaten/kota, hanya 219 kabupaten/kota yang sudah membebaskan biaya pengurusan akta kelahiran); (d) terbatasnya tempat pelayanan


(5)

pencatatan kelahiran (hanya tersedia sampai tingkat kabupaten/kota); dan (e) belum adanya insentif dari kepemilikan akta kelahiran.

Kedua, masih rendahnya perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Data Susenas 2006 menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap anak adalah sebesar 7,6 persen, atau terdapat sekitar 4 juta anak yang mengalami kekerasan setiap tahun. Sementara itu, data Bareskrim POLRI menunjukkan bahwa dalam periode tahun 2004 sampai dengan Oktober 2009 terdapat 538 anak dari 1,722 korban perdagangan orang. Perdagangan anak biasanya ditujukan untuk menjadi pembantu rumah tangga, pekerja seks komersial atau pengemis di jalan, pengedar narkoba, dieksploitasi di tempat-tempat kerja berbahaya seperti jermal, pertambangan, dan perkebunan. Di samping itu, masih banyak pula anak-anak pengungsi korban konflik atau bencana alam yang belum memperoleh hak-hak dasar, termasuk pengasuhan alternatif yang memadai (WHO, 2006; Depsos, Save the Children, 2006). Kondisi tersebut, antara lain, disebabkan oleh masih banyaknya rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan, masih terdapatnya nilai-nilai budaya yang permisif terhadap kekerasan dan eksploitasi anak, masih lemahnya penegakan hukum, dan belum terbentuknya mekanisme dan struktur perlindungan anak yang komprehensif sampai pada tingkatan masyarakat.

Ketiga, masih rendahnya kapasitas kelembagaan perlindungan anak. Belum efektifnya pelaksanaan perlindungan anak seperti diuraikan sebelumnya, antara lain disebabkan oleh masih terbatasnya kapasitas kelembagaan perlindungan anak, yang ditunjukkan oleh: (1) masih terdapatnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tidak konsisten dengan KHA dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang berpotensi merugikan dan menghambat pemenuhan hak-hak anak; (2) belum adanya mekanisme komprehensif yang berlaku dari pusat ke daerah yang ditujukan untuk melindungi anak. Mekanisme yang ada masih bersifat sektoral dan belum memadai sehingga belum dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan belum memberikan wadah bagi setiap anggota masyarakat, termasuk anak-anak, untuk berpartisipasi dalam upaya pemenuhan hak anak; dan (3) belum tersedianya sistem pengelolaan data dan informasi perlindungan anak serta indeks komposit perlindungan anak.

Dengan memperhatikan permasalahan tersebut di atas, maka sasaran pembangunan perlindungan anak pada tahun 2011 adalah meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan, dan perlindungan anak yang ditandai dengan:

1. Meningkatnya akses dan kualitas layanan perlindungan anak, yang antara lain diukur dengan meningkatnya APK PAUD, APS 7—12 tahun, APS 13 —15 tahun, dan cakupan kunjungan neonatal, serta menurunnya persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan.

2. Meningkatnya persentase cakupan anak korban kekerasan yang mendapat penanganan pengaduan.

3. Meningkatnya efektivitas kelembagaan perlindungan anak, baik di tingkat nasional maupun daerah.

1.2.4.3. Strategi dan Arah Kebijakan

Berdasarkan uraian di atas, kebijakan peningkatan perlindungan anak diarahkan pada: (a) peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas, peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan, dan upaya menciptakan lingkungan yang ramah anak dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak; (b) peningkatan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi; dan (c) peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan anak.


(6)

Kebijakan perlindungan anak tersebut dilaksanakan melalui tiga fokus prioritas. Pertama, peningkatan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak, antara lain, melalui peningkatan aksesibilitas dan kualitas program pengembangan anak usia dini; peningkatan kualitas kesehatan anak; dan peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja. Kedua, perlindungan anak dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi, antara lain melalui: peningkatan rehabilitasi dan pelindungan sosial anak; peningkatan perlindungan bagi pekerja anak dan penghapusan pekerja terburuk anak; dan peningkatan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Ketiga, peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, antara lain, melalui penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak; peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan anak; peningkatan penyediaan data dan informasi perlindungan anak; dan peningkatan koordinasi dan kemitraan antarpemangku kepentingan terkait pemenuhan hak-hak anak, baik lokal, nasional, maupun internasional.

4.

Pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama pada tahun 2010-2014 diprioritaskan pada pengendalian kuantitas penduduk, peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan, peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, peningkatan perlindungan anak, peningkatan partisipasi pemuda, budaya dan prestasi olahraga, peningkatan kualitas kehidupan beragama, dan penguatan jati diri bangsa dan pelestarian budaya.

Pengendalian kuantitas penduduk dilakukan melalui tiga fokus prioritas. Pertama, revitalisasi program KB yang berperspektif gender, melalui: (a) pengembangan dan sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk; (b) pembinaan dan peningkatan kemandirian keluarga berencana; (c) promosi dan penggerakkan masyarakat; (d) peningkatan dan pemanfaatan sistem informasi manajemen (SIM) berbasis teknologi informasi; (e) pelatihan, penelitian dan pengembangan program kependudukan dan KB; dan (f) peningkatan kualitas manajemen program. Kedua, penyerasian kebijakan pengendalian penduduk, melalui

PRIORITAS BIDANG