Doding Karya Taralamsyah Saragih Analisis Makna Syair dan Struktur Musik

BAB II
GAMBARAN UMUM SIMALUNGUN
2.1 Sejarah Simalungun
Suku Simalungun adalah salah satu suku asli dari Sumatera Utara,
Indonesia. Kata Simalungun dapat dibagi ke dalam tiga suku kata yaitu : Si berarti
‘Orang’, Ma sebagai kata sambung berarti ‘yang’ dan Lungun berarti ‘Sunyi,
kesepian, jarang dikunjungi’ dengan demikian , Simalungun berarti ‘ia yang
bersedih hati, sunyi atau kesepian.

Orang Batak Toba menyebutnya

‘Balungun’sedangkan orang Karo menyebutnya Batak Timur karena bertempat di
sebelah timur mereka (www.kompasiana.com)
Gelombang pertama (Proto Simalungun), diperkirakan datang dari
Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5,
menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke
Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
Gelombang kedua (Deutero Simalungun), datang dari suku-suku di
sekitar

Simalungun


yang

bertetangga

dengan

suku

asli

Simalungun.

Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih
menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar
dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat,
daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.Kemudian
mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran Toba
dan Samosir.
40


Universitas Sumatera Utara

41

Terbentuknya Simalungun, Pada kerajaan Nagur di atas, terdapat
beberapa panglima (Raja Goraha) yaitu masing-masing bermarga: Saragih, Sinaga
, Purba, Kemudian mereka dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya
mendirikan kerajaan-kerajaan: Silou (Purba Tambak), Tanoh Djawa(Sinaga),Raya
(Saragih)
Selama

abad

ke-13

hingga

ke-15,


kerajaan-kerajaan

kecil

ini

mendapatkan serangan dari kerajaan-kerajaan lain seperti Singasari, Majapahit,
Rajendra Chola (India) dan dari Sultan Aceh, Sultan-sultan Melayu hingga
Belanda. Selama periode ini, tersebutlah cerita “Hattu ni Sapar” yang melukiskan
kengerian keadaan saat itu di mana kekacauan diikuti oleh merajalelanya penyakit
kolera hingga mereka menyeberangi “Laut Tawar” (sebutan untuk Danau Toba)
untuk mengungsi ke pulau yang dinamakan Samosir yang merupakan kependekan
dari Sahali Misir (bahasa Simalungun, artinya sekali pergi). Saat pengungsi ini
kembali ke tanah asalnya (huta hasusuran), mereka menemukan daerah Nagur
yang sepi, sehingga dinamakanlah daerah kekuasaan kerajaan Nagur itu sebagai
Sima-sima ni Lungun, bahasa Simalungun untuk daerah yang sepi, dan lama
kelamaan menjadi Simalungun.
Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam
dengan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah
makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan

barter, dalam pengucapan bahasa sehari orang Simalungun mempunyai dialek
yang khas yaitu panjang dan mengalir ,hampir menyerupai dialek karo. Selain itu
‘Marga’ memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun.

Universitas Sumatera Utara

42

2.2 Legenda Asal-Usul Simalungun
Dalam bahasa Simalungun legenda sering juga disebut dengan kata ‘turiturian’ yang berarti cerita rakyat. Banyak sekali tulisan-tulisan yang
mengungkapkan asal-usul suku Simalungun tersebut baik dari segi sejarah,
legenda, dan lain-lain. Dari hasil wawancara langsung penulis dengan Haris
purba, Simalungun memiliki sejarah antara lain : Secara garis besar, terdapat
beberapa fase kerajaan yang pernah berkuasa dan memerintah di Simalungun, fase
itu antara lain adalah fase kerajaan yang dua ‘harajaon na dua’ yakni kerajaan
Nagur yang dipimpin oleh marga Damanik dan Batanghio yang dipimpin oleh
marga Saragih. Berikutnya adalah kerajaan berempat ‘harajaon na opat’ yakni
Kerajaan Siantar yang dipimpin oleh marga Damanik, Panei yang dipimpin oleh
marga Purba Dasuha, Silau atau Silou yang dipimpin oleh marga Purba Tambak
dan Tanoh Jawa yang dipimpin oleh marga Sinaga. Terakhir adalah fase kerajaan

yang tujuh ‘harajaon na pitu’ yakni: kerajaan Siantar yang dipimpin oleh marga
Damanik, Panei yang dipimpin oleh marga Purba Dasuha, Silau atau Silou yang
dipimpin oleh marga Purba Tambak, Tanah Jawa yang dipimpin oleh marga
Sinaga, Raya yang dipimpin oleh marga Saragih Garingging, Purba yang
dipimpin oleh marga Purba Pakpak, dan Silimakuta yang dipimpin oleh marga
Purba Girsang.
Tidak diketahui secara pasti sejarah dua kerajaan terdahulu yakni Nagur
dan Batanghiou. Sinar (1981) mengemukakan bahwa kerajaan Nagur telah ada
dalam catatan Tiongkok abad ke-15 dan oleh Marcopolo takkala ia singgah di
Pasai tahun 1292 M. Kerajaan besar itu menguasai wilayah sampai ke Hulu

Universitas Sumatera Utara

43

Padang-Bedagai dan Hulu Asahan. Kerajaan tua yang lain ialah Batanghio yang
terletak di Tanah Jawauri atau Tanah Jawa. Kendati konsepsi raja dan kerajaan di
Simalungun masih kabur, akan tetapi, Kroesen (1904:508) mengemukakan bahwa
konsep raja dan kerajaan itu berasal dari orang Simalungun itu sendiri sebagai
perwujudan otonomi kekuasaan yang lebih tinggi. Bangun dalam Saragih

(2000:310) mengemukakan bahwa kata ‘raja’ berasal dari India yaitu ‘raj’ yang
menggambarkan pengkultusan individu penguasa. Konsep itu terbawa ke
Simalungun akibat penetrasi kerajaan Hindu-Jawa seperti Mataram lama pada
masa ekspansi ke Sumatera Timur (Tideman,1922:58). Lebih lanjut dikemukakan
bahwa pengaruh Hindu di Simalungun dapat diamati langsung dari bentuk
peninggalan yang mencerminkan pengaruh Hindu-Jawa. Nama kerajaan Tanoh
Djawa setidaknya telah mendukung argumentasi itu Menurut sumber Cina yakni
Ying-yai Sheng-ian, pada tahun 1416, kerajaan Nagur (tertulis nakkur) berpusat di
Piddie dekat pantai barat Aceh Dikisahkan bahwa raja nagur berperang dengan
raja samudra (Pasai) yang menyebabkan gugurnya raja Samudra akibat panah
beracun pasukan Nagur. Pemaisuri kerajaan Samudra menuntut balas dan setelah
diadakannya sayembara, maka raja Nagur berhasil ditewaskan. Kendati demikian,
sejarawan Simalungun sepakat bahwa lokasi ataupun pematang kerajaan Nagur
adalah di Pematang Kerasaan sekarang yang berada dekat kota Perdagangan
terbukti dengan adanya konstruksi tua bekas kerajaan Nagur.
2.3 Marga-marga Simalungun
Sama halnya dengan suku Batak yang lain, Masyarakat Simalungun
adalah patrilineal yaitu marga diturunkan kepada generasi berikutnya melalui

Universitas Sumatera Utara


44

pihak laki-laki atau ayah. Orang yang memiliki marga yang sama adalah berarti
sebagai saudara seketurunan sehingga tidak diperbolehkan untuk saling menikah.
Marga-marga pada suku Simalungun terdiri atas 4 marga asli, yaitu: Damanik,
Purba, Saragih, dan Sinaga
Keempat marga di atas berasal dari marga para Raja-Raja di Simalungun.
Selain itu ada juga marga-marga yang berasal dari luar Simalungun yang sejak
dahulu ikut menetap di wilayah adat Simalungun, kemudian menjadi sub-bagian
dari 4 marga di atas. Bagi pihak perempuan, marga disebut sesudah
kata ‘boru’ (biasa disingkat br.). Apabila perempuan Simalungun (mis: Agnes
boru Sinaga), menikah dengan laki-laki bermarga Purba, maka ia akan dipanggil
sebagai Agnes Purba boru Sinaga.
Selain itu di dalam perkembanganya marga-marga dalam Simalungun
mempunyai cabang dari suku batak lainya, antara lain:
1. Cabang asli

Simalungun,


yaitu Dadihoyong, Porti, Simaibang,

dan

Simanjorang.
2. Cabang dari Toba, yaitu Bonor (Pande, Suhut ni Huta atau Sidasuhut), Uruk,
Oppu Ratus. Lalu ada beberapa marga lain yang dahulu pada masa eksisnya
kerajaan-kerajaan Simalungun berafiliasi dengan marga Sinaga, di antaranya
seperti Sipayung, Silalahi, Sihaloho, Sitorus, Sirait, Butar-Butar, Manurung,
Sinurat, dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

45

Marga Purba mengenal beberapa cabang, yaitu:
a. Cabang asli Simalungun meliputi Tambak, Sidasuha, Sidadolog, Sidagambir,
Siborou, Sigumonrong, Silangit, Sihala, Tua, Tanjung, Tondang, Tambun
Saribu, dll
b. Cabang dari Pakpak, yaitu Pakpak (dari Tungtung Batu) dan Girsang (Lehu).

c. Cabang dari Toba yaitu Manorsa, cabang marga ini hanya dijumpai di daerah
Haranggaol. Sementara itu, untuk marga Purba Toba yang banyak bermukim di
daerah Dolok Sanggul juga mengenal beberapa cabang, seperti Sigulang Batu,
Parhorbo, dan Pantom Hobon.
Sebagaimana halnya marga di atas, marga Saragih juga mengenal
cabang-cabang dengan kategori berikut:
1. Cabang asli Simalungun, yaitu Sumbayak, Garingging, Sidasalak, Sidajawak.
2. Cabang dari Toba, yaitu Turnip, Siadari, Sijabat, Sidauruk, Simanihuruk,
Sinapitu, Siallagan, Sitio, Sidabutar, Sidabalog, Simarmata, Sitanggang, Ruma
Horbo (di Simalungun membentuk cabang baru yaitu Simaronggang) , Tamba,
dan Sidabaho (Naibaho), dll.
Cabang dari Karo, yaitu Munte, Lalu beberapa cabang yang belum
diketahui secara pasti keberadaannya apakah sebagai cabang asli atau pendatang
seperti Sidamuntei, Parmata, Sidapulou, dan Simatondang.
Demikian juga marga Damanik mengenal beberapa cabang, yaitu:
1. Cabang asli Simalungun, yaitu Rappogos, Malayu (asal marga Malau),
Barotbot, Usang, Bayu, Sola, Sarasan, Rih, Hajangan, Simaringga, dll.

Universitas Sumatera Utara


46

2. Cabang dari Toba, yaitu: Manik (Raja), Malau, Gurning, Tomog, Ambarita
(Bariba), Limbong, Sagala, dll.

2.4 Sistem Kekerabatan ‘Partuturan Tolu Sahundulan’ Simalungun
Dalam suku Simalungun sebutan atau panggilan untuk orang-orang yang
ingin disapa sangat banyak dan beragam baik dari pihak pria maupun wanita,
‘Partuturan’ atau panggilan sapaan dalam derajat kekeluargaan suku Simalungun
sangat diperlukan untuk menciptakan kesopanan dalam memanggil atau berbicara
terhadapat orang dihormati. Didalam suku Simalungun sangat dihindari
memanggil nama seseorang tampa ada tutur jelas didepan namanya. Tolu
Sahundulan berarti juga tiga kedudukan. Yang dimaksud dengan dengan tiga
kedudkan disini yaitu : Tondong (keluarga dari pihak wanita dalam tiap rumah
tangga). Sanina (semarga ayah tetapi pria.), Boru ( Semarga ayah tetapi wanita)
yang mengambil perannya masing-masing disetiap acara hajatan orang
Simalungun. Partuturan dalam suku Simalungun di bagi ke dalam 3 kategori
menurut kedekatan hubungan seseorang

2.4.1 “Tutur manorus”atau perkerabatan langsung

Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.
1. Ompung (dibaca oppugn): orangtua ayah atau ibu, saudara (kakak/adik) dari
orangtua ayah atau ibu
2. Bapa/Amang : ayah
3. Inang : ibu

Universitas Sumatera Utara

47

4. Abang : saudara lelaki yang lahir lebih dulu dari kita.
5. Anggi : adik lelaki; saudara lelaki yang lahir setelah kita.
6. Botou : saudara perempuan (baik lebih tua atau lebih muda).
7. Amboru : saudara perempuan ayah; saudara perempuan pariban ayah; saudara
perempuan Mangkela. Bagi wanita: orangtua dari suami kita; amboru dari
suami kita; atau mertua dari saudara ipar perempuan kita.
8. Mangkela : suami dari saudara perempuan dari ayah
9. Tulang : saudara lelaki ibu; saudara lelaki pariban ibu; ayah dari besan
10. Anturang : istri dari tulang; ibu dari besan
11. Parmaen : istri dari anak; istri dari keponakan; anak perempuan dari saudara
perempuan istri; amboru dan mangkela kita memanggil istri kita parmaen
12. Nasibesan : istri dari saudara (Ipar) lelaki dari istri kita atau saudara istri kita
13. Hela : suami dari puteri kita; suami dari puteri dari kakak/adik kita
14. Gawei : hubungan wanita dengan istri saudara lelakinya
15. Lawei : hubungan laki-laki dengan suami dari saudara perempuannya;
panggilan laki-laki terhadap putera amboru; hubungan laki-laki dengan suami
dari puteri amboru (botoubanua).
16. Botoubanua : puteri amboru; bagi wanita: putera tulang
17. Pahompu : cucu; anak dari botoubanua; anak pariban
18. Nono : pahompu dari anak (lelaki)
19. Nini : cucu dari boru
20. Sima-sima : anak dari Nono/Nini
21. Siminik : cucu dari Nono/Nini

Universitas Sumatera Utara

48

2.4.2 Tutur holmouan atau kelompok
Melalui tutur Holmouan atau ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat
Simalungun
1.

Ompung Nini : ayah dari ompung

2.

Ompung Martinodohon : saudara (kakak/adik) dengan ompung

3.

Ompung Doli : ayah kandung dari ayah, kalau nenek perempuan disebut
inang tutua

4.

Bapa Tua : saudara lelaki paling tua dari ayah

5.

Bapa Godang : saudara lelaki yang lebih tua dari ayah, di beberapa tempat
biasa juga disebut bapa tua

6.

Inang Godang : istri dari bapa godang

7.

Bapa Tongah: saudara lelaki ayah yang lahir dipertengahan (bukan paling
tua, bukan paling muda)

8.

Inang Tongah : istri dari bapa tongah

9.

Bapa Gian / Bapa Anggi : saudara lelaki ayah yang lahir paling belakang

10. Inang Gian / Inang Anggi : istri dari bapa gian/Anggi
11. Sanina / Sapanganonkon : saudara satu ayah/ibu
12. Pariban : sebutan bagi orang yang dapat kita jadikan pasangan (suami atau
istri) atau adik/kakaknya
13. Tondong Bolon : pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami) kita
14. Tondong Pamupus : pambuatan ayah kandung kita
15. Tondong Mata ni Ari: pambuatan ompung kita
16. Tondong Mangihut

Universitas Sumatera Utara

49

17. Anak boru jabu : sebagai pimpinan dari semua boru, anak boru jabu dituakan
karena bertanggung jawab pada tiap acara suka/duka Cita.
18. Panogolan : anak laki/perempuan dari saudara perempuan
19. Boru Ampuan : pria kandung yang menikahi anak perempuan kandung kita
20. Anak boru mintori : istri/suami dari panogolan
21. Anak boru mangihut : lawei dari botou
22. Anak boru sanina

2.4.3 Tutur natipak atau kehormatan
Tutur natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak
berbicara sebagai tanda hormat.
1.

Kaha : digunakan pada istri dari saudara laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita,
kaha digunakan untuk memanggil suami boru dari kakak ibu.

2.

Nasikaha : digunakan istri kita untuk memanggil saudara laki kita yang lebih
tua

3.

Nasianggiku : untuk memanggil istri dari adik

4.

Anggi

5.

Ham : digunakan pada orang yang membesarkan/memelihara kita (orang tua)

: adik ipar

atau pada orang yang seumur yang belum diketahui hubungannya dengan kita
6.

Handian : serupa penggunaannya dengan ham, tapi memiliki arti yang lebih
luas.

7.

Dosan : digunakan tetua terhadap sesama tetua

8.

Anaha : digunakan tetua terhadap anak muda laki

Universitas Sumatera Utara

50

9.

Kakak: digunakan anak perempuan kepada saudara lakinya yang lebih tua

10. Ambia : Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang seumuran
11. Ho : panggilan bagi orang yang sudah akrab (sakkan) atau pada orang yang
derajadnya lebih rendah, kadang digunakan oleh suami pada istrinya
12. Hanima : sebutan untuk istri (kasar) atau pada orang yang berderajad lebih
rendah dari kita (jamak, lebih dari seorang)
13. Nasiam : sebutan untuk yang secara kekerabatan berderajad di atas (jamak,
lebih dari seorang)
14. Akkora : sebutan orang tua bagi anak perempuan yang dekat hubungan
kekerabatannya
15. Abang : panggilan pada saudara laki yang lebih tua atau yang berderajad
lebih dari kita
16. Tuan : dulu digunakan untuk memanggil pemimpin huta (kampung), atau
pada keturunan Raja
17. Sibursok : sebutan bagi anak laki yang baru lahirSitatap : sebutan bagi anak
perempuan yang baru lahir
Awalan Pan/Pang: sebutan bagi seorang Laki yang sudah memiliki Anak,
misal anaknya Ucok, maka Ayahnya disebut pan-Ucok/pang-Ucok. Awalan
Nang/Nan: sebutan bagi seorang perempuan yang sudah memiliki anak, misal
anaknya Ucok, maka ibunya disebut nan-Ucok/nang-Ucok.

Universitas Sumatera Utara

51

2.5 Sistem Kepercayaan dan Upcara Dalam Simalungun
2.5.1 Haboran do bona
Salah satu kepercayaan asli yang masih dipakai sebagai motto
masyarakat di daerah Simalungun adalah kepercayaan ‘Habonaron Do Bona,
yang mengandung arti adalah Kebenaran di atas segalanya. Pendukung ajaran
Habonaron Do Bona pada umumnya adalah masyarakat Simalungun yang juga
dikenal dengan Halak Timur. Masyarakat Simalungun merupakan salah satu dari
enam sub suku bangsa Batak yang secara geografis mendiami daerah induk
Simalungun. Ajaran Habonaron Do Bona bersatu padu dengan adat budaya
Simalungun atau Adat Timur, sebagai tata tuntunan yang berlaku dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat dalam menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai-nilai luhur dalam kepercayaan Habonaron Do Bona terkandung
dalam ajarannya, seperti ajaran tentang: Ketuhanan, manusia, alam serta ajaranajaran yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesamanya dan
alam semesta. Di bawah ini secara singkat ajaran-ajaran dari kepercayaan
Habonaron Do Bona.
Ajaran tentang Tuhan, Manusia dan Alam. Menurut kepercayaan
Habonaron Do Bona, Tuhan Yang Maha Esa adalah awal dari segala sesuatu
yang ada. Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai ‘Naibata’. Naibata adalah satu
‘sada’ dan Maha Kuasa ‘Namar Kuasa/Namar Huasa’. Karena Naibata adalah
awal dari segala sesuatu yang ada, maka dunia beserta seluruh isinya adalah
ciptaan-Nya. Sebagai Sang Pencipta, Naibata juga menjadi pembimbing,
pemelihara dan penyelamat bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

52

pendukung kepercayaan Habonaron Do Bona menghormati leluhur yang disebut
‘Simagot, Begu Jabu, Tua-Tua atau Bitara Guru’. Menurut Habonaron Do Bona,
leluhur adalah penghubung untuk menyampaikan titah Tuhan Yang Maha Esa
kepada orang-orang tertentu yang berlangsung secara manunggal terhadap
keturunan yang disukainya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan adalah tidak ada
batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian kekuasaan-Nya kepada orangorang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh leluhur. Karena kekuasaanNya itu pula, maka banyak sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, seperti: Namar
Huasa (Tuhan Yang Maha Kuasa), Namam Botoh atau Na Pentar (Tuhan Yang
Tau), Parholong (Tuhan Maha Pengasih), Pangarak-arak (Tuhan Maha
Penuntun), Bona Habonaron (Tuhan Sumber Kebenaran) dan masih banyak
sebutan lainnya.
Kemudian ajaran Habonaron Do Bona tentang manusia mengatakan
bahwa manusia adalah diciptakan oleh Tuhan yang terdiri dari laki-laki ‘dalahi’
dan perempuan ‘daboru/naboru’. Sejak diciptakan, manusia telah dilengkapi
dengan roh. Perkembangan manusia selanjutnya adalah karena di samping
kehendak manusia itu sendiri juga atas sabda Tuhan. Kematian yang dialami oleh
manusia terjadi ketika roh berpisah dengan badan selamanya. Roh kemudian
hidup kekal di suatu alam kehidupan bersama Tuhan Yang Maha Esa. Roh
manusia yang masih hidup disebut sebagai tondi, sedangkan manusia yang sudah
mati rohnya disebut sumagot.

Universitas Sumatera Utara

53

Selanjutnya ajaran Habonaron Do Bona tentang alam mengatakan bahwa
alam adalah ciptaan Tuhan. Alam memiliki kekuatan-kekuatan. Dalam alam ini
penuh dengan kekuatan-kekuatan gaib, yaitu kekuatan yang berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa maupun dari arwah leluhur. Bencana Banjir ‘halonglongan’,
gampa bumi ‘sohul-sohul’, angin ribut ‘aliogo doras’, petir ‘porhas’, kegagalan
panen, wabah penyakit dan bahkan tidak mendapat keturunan pun adalah
merupakan perwujudan dari kekuatan gaib Tuhan dan leluhur, yang diperkenakan
kepada alam dan manusia.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, mempunyai
tugas dan kewajibannya, baik terhadap Tuhan, sesama maupun terhadap alam
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Sebagai konsekuensi bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, maka
manusia mempunyai kewajiban dalam hidup di dunia ini baik tugas dan
kewajiban terhadap Tuhan, sesamanya maupun terhadap alam. Demikian ajaran
Habonaron Do Bona.
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa warga Habonaron Do Bona wajib
untuk selalu ingat kepada-Nya dan setiap hari menyembah kepada-Nya. Pada
bulan besar ‘bittang baggal’ wajib melaksanakan penyembahan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan kepada leluhur. Di samping itu ajaran Habonaron Do Bona
juga mewajibkan untuk menghormati dan menjiarahi makam leluhur ‘manembah
Suamgot’ dan mengurus ‘pandawanan na hanlobei’.

Universitas Sumatera Utara

54

2.5.2 Upacara dalam suku Simalungun
Upacara menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak terpisahkan
dengan upacara-upacara ritual adat. Warga Habonaron Do Bona mengenal
bermacam-macam upacara seperti:
1. Upacara daur hidup/ masa kehamilan
2. Upacara membongkar tulang belulang.
3. Upacara pesta tahunn (Robu-robu/Horja Taun), yaitu upacara berdoa kepada
Tuhan dan kepada leluhur untuk memulai suatu usaha seperti kegiatan
pertanian/bercocok tanam padi, agar memperoleh hasil yang memuaskan.
4. Upacara memasuki rumah baru.
5. Upacara menghormati roh leluhur pelindung desa (mambere tambunan/pagar
parsakutuan).
6. Upacara menghormati roh suci penjaga desa.
7. Upacara menghormati keramat pelindung (mambere sinumbah).
Di samping mempunyai tugas dan kewajiban terhadap Tuhan, manusia
juga memiliki tugas dan kewajiban terhadap dirinya sendiri, seperti: jujur terhadap
diri sendiri, harus ahu malu dan harus tahu diri.Tugas dan kewajiban manusia
terhadap sesamanya menurut ajaran Habonaron Do Bona ada dalam bentuk
perintah-perintah dan larangan-larangan. Apabila perintah dan larangan tersebut
dipatuhi dapat menjadikan ketenteraman dalam masyarakat. Perintah-perintah dan
larangan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

55

1.

Menghormati orang tua dan orang lain sesuai dengan tata krama tutur
‘hormat hubani urang tua oppa hasoman mangiihutkon tutur’.Menghormati
guru ‘hormat hubani guru/hormat hubani sibere ajar’.

2.

Membantu orang lain (manappati).

3.

Tidak boleh membunuh sesama manusia, termasuk mengugurkan kandungan.

4.

Tidak boleh menikah semarga (ulang marboto-boto).

5.

Tidak boleh membuat orang lain meneteskan air mata sampai “berwarna
kuning” (ulang ibaen manetek iluhni halak magorsing).

6.

Tidak boleh meminta-minta (ulang tedek-tedek).

7.

Tidak boleh menyusahkan orang lain (ulang manusahi).

8.

Tidak boleh berbohong (ulang marguak).

9.

Tidak boleh memaki orang lain (ulang manurai).

10. Tidak boleh membungakan uang (ulang makhilang).
11. Tidak boleh menipu dan mengkhianatai orang lain (ulang magoto otoi/ulang
mangkhianat).
Tugas dan kewajiban manusia terhadap dan menurut ajaran Habonaron
Do Bona ialah bahwa manusia tidak boleh membunuh tumbuhan dan hewan liar
secara sembarangan karena perbuatan ini dapat merusak alam ulang massedai.
Alam harus dijaga kelestariannya karena alam memberikan manfaat yang sangat
besar bagi kehidupan manusia.
Rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
berhubungan dengan alam, misalnya dalam berbagai upacara yang dilakukan
dalam kegiatan pertanian, dimaksudkan agar alam bersahabat dengan manusia dan

Universitas Sumatera Utara

56

memberikan hasil yang memuaskan. Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah
robu buang boro (mendoakan agar padi jangan diserang hama), membere eme
(mendoakan saat padi sedang bunting), mamutik (mendoakan saat padi sudah
menguning), menutup panjang (mendoakan saat padi sudah terkumpul pada suatu
tempat) dan menutup hobon (mendoakan rasa syukur karena seluruh hasil panen
telah terkumpul).
2.6 Pakaian Adat Simalungun
Sama seperti suku-suku lain di sekitar daerah Simalungun, pakaian adat
suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku
Karo). Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang
disebut Hiou dengan berbagai ornamennya.
Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung
kekuatan yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya
istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian
penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan
bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat
kepala, kain dan ulosnya.
Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber
kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai
sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak
seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di
rumpun Batak, Simalungun memiliki kebiasaan ‘mambere hiou’ (memberikan
ulos) yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang

Universitas Sumatera Utara

57

kepada penerima hio. Hiou dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain
penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup
punggung dan lain-lain.
Hiou dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis
yang berbeda-beda, misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut suri-suri, Hiou
penutup badan bagian bawah bagi wanita misalnya ragipanei, atau yang
digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Hiou dalam pakaian
penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut
‘tolu sahundulan’, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada
(pakaian) dan tutup bagian bawah (abit).
Menurut Haris Purba, Budayawan Simalungun, awalnya Gotong Penutup
Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih
untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian Tuan
Bandar Alam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari penutup kepala
ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang
Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka
memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik. Disamping itu tiap daerah di
Simalungun

memiliki

kekhasan

pakaian

adatnya

masing-masing

tampa

menghilangkan makna yang terdapat didalamnya.
Berikut adalah perkembangan pakaian adat Simalungun :

Universitas Sumatera Utara

58

Gambar 2.1 Raja Siantar – Tuan Sawadim (morga Damanik) & Raja Dolog Silou
Tuan Ragaim (morga Purba), 1930-an. Coba perhatian gotong yang mereka
kenakan
Sumber:http://www.google.com/imgres?imgurl=http://halibitonganomtatok.files.
wordpress.com/2009/05/raja-siantar-raja-dolog-silou-1930an.jpg

Gambar 2.2 Tuan Gomok Saragih memakai gotong
Sumber:http://www.google.com/imgres?imgurl=https://c1.staticflickr.com

Universitas Sumatera Utara

59

Gambar 2.3 Pakain modern adat Simalungun
Sumber : www.google.com
2.7 Aksara dan Bahasa Simalungun
Sebelum mengenal tulisan, bahasa Simalungun hanya dapat diungkapkan
dalam bentuk lisan, suku Simalungun mulai mengenal tulisan adalah semenjak
datangnya pengaruh bangsa India.
Aksara Simalungun yang dikenal saat ini dan banyak tertulis dalam
‘pustaha-pustaha’ Simalungun tidak lain merupakan sumbangan dari aksara
‘pallawa’ dari India.
Menurut para ahli, aksara ‘pallawa’ ini masuk ke tanah Batak melalui
daerah Mandailing, dekat perbatasan Sumatera Barat, dari tempat itu kemudian
berkembang dan menyebar ke daerah diantara Parapat dan Balige, dari sana ia
kemudian menyebar ke Simalungun dan Toba.
Arah penyebaran berikutnya lebih banyak datang dari Simalungun, yang
kemudian menyebar ke Toba, Pakpak dan Karo; lalu dari Toba ke Pakpak, dan
kemudian dari Pakpak meluas lagi ke Karo. Seperti halnya aksara Batak yang lain,

Universitas Sumatera Utara

60

aksara Simalungun dibagi dalam 2 bentuk, yaitu ‘indung ni surat’ (ibu huruf) dan
‘anak ni surat’ (anak huruf/diakritik).
Dalam bahasa Simalungun terdapat sejumlah fonem yang jarang
ditemukan pada bahasa batak yang lain. Fonem-fonem itu ada yang berbentuk
konsonan dan ada pula berbentuk diftong.
Fonem-fonem itu adalah : /ou/, /ei/, dan /ui/; /h/, /d/, /g/, dan /b/, dan
semuanya terletak pada akhir kata. Di samping bahasa Simalungun, fonem /ou/,
/ei/, dan /ui/ ini juga banyak dijumpai pada bahasa-bahasa rumpun Melayu, Karo,
Alas di Aceh Tenggara, dan Keluet di Aceh Selatan.
Fonem /ou/, /ei/, dan /ui/ ini dalam bahasa Simalungun disebut dengan
‘anak ni surat’ atau diakritik, hanya Simalungunlah yang mengenal diakritik
khusus untuk fonem-fonem ini, yang masing-masing bernama hatulungan,
hatalingan, dan hatuluyan. Fonem berdiftong /ou/ juga terdapat pada aksara Karo,
tetapi

tidak

pada

aksara-aksara

Batak

lainnya.

Namun

di

Karo,

tidak terdapat diakritik khusus untuk fonem /ou/, dan penggunaannya hanya
terbatas pada bahasa Karo yang berdialek Jahe-jahe yang bermukim di Deli
Serdang dan Langkat, tidak meluas hingga ke dialek Karo yang lain yang memang
bermukim di pusat daerah Karo, seperti dialek Kabanjahe dan Gunung.
Bahasa Alas dan Keluet yang sudah tidak memiliki aksara asli seperti di
tanah Batak dan telah digantikan dengan aksara Jawa atau Arab Melayu, sehingga
sulit menjelaskan keberadaan fonem-fonem berdiftong tersebut. Kendati
demikian, bahasa Alas dan Keluet sebenarnya adalah wujud dari kombinasi
bahasa Pakpak, Karo, Simalungun, Aceh, dan Melayu. Jadi bila ditelusuri bentuk

Universitas Sumatera Utara

61

dari aksara aslinya yang kini telah punah kemungkinan tidak jauh berbeda dengan
aksara Karo dan Simalungun.
Dalam bahasa Simalungun, fonem /ou/ dapat dilihat pada kata horbou,
pisou, magou, kahou, sopou, lahou, lopou, babou, dan dilou. Kemudian fonem
/ei/ pada kata lobei, hitei, bogei, dogei, atei, dan buei. Selanjutnya fonem /ui/
terdapat pada kata tondui, langui, apui, sungui, babui, ampodui, surui, dan
haluhui.
Selanjutnya dalam bahasa Alas, yaitu pada kata endou, enggou, idou,
benei, melohei, awei, kelukui, tendui, dan apui. Dalam bahasa Keluet yang hanya
mengenal fonem /ou/ dan /ei/ saja, yaitu pada kata kou, kerbou, tangkou, benei,
kunei, awei, atei, dan mbuei. Sedang dalam bahasa Karo, yaitu pada kata dilou,
belou, sapou, rimou, ayou, namou, payou, matei, berei, isei, keina, benei, dan
lumei.
Bila dilihat padanannya dengan bahasa bahasa Batak yang lain (Toba,
Mandailing-Angkola, Pakpak) fonem /ou/ biasa berbunyi /o/ seperti pada katakata berikut horbo, piso, mago, sopo, laho, babo, tangko, dan dilo; /ei/ berbunyi
/e/ seperti kata lebe, hite, bege, dege, ate, dan mbue; dan /ui/ berbunyi /i/ seperti
kata tondi, langi, api, babi, suri, dan halihi.
Selain itu bahasa Simalungun juga mengenal fonem akhir /h/ seperti pada
kata daroh, babah, roh, dilah, soh, dan gogoh; fonem ini tidaklah khusus dalam
bahasa Simalungun, karena fonem akhir ini juga terdapat pada bahasa Pakpak,
Karo, Alas, dan Keluet; tetapi tidak untuk bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola
mereka tidak mengenal sedikitpun akan penggunaan fonem ini, bagi mereka kata

Universitas Sumatera Utara

62

daroh akan berbunyi daro, babah akan berbunyi baba, roh akan berbunyi ro, dilah
akan berbunyi dila, dan gogoh akan berbunyi gogo. Bila ditelusuri lebih jauh
fonem /ou/, /ei/, /ui/, dan /h/ ini merupakan fonem warisan langsung dari bahasa
Austronesia kuno yang telah lama punah. Sebagaimana kita ketahui bahasa
Austronesia kuno ini merupakan bahasa induk yang menurunkan seluruh bahasa
di sebagian besar kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Voorhoeve (1955) pernah mengemukakan bahwa bahasa Simalungun
juga mengenal fonem penutup /d/, /g/, dan /b/, yang juga tidak terdapat di antara
kosa kata bahasa Batak yang lain. Fonem penutup ini masih tampak sekali dalam
beberapa kata, baik itu diucapkan maupun ditulis. Fonem /d/ terdapat pada kata
bod, saud, tuod, agad, sogod, bagod, sarad, dan alud. Sedang fonem akhir /g/
pada kata dolog, pusog, balog, gijig, ubag, lanog, gilog, borgog, bolag, bogbog,
pag, dan ulog. Kemudian fonem akhir /b/ pada kata dob, rongkob, dorab, tayub,
dan sab.
Pada bahasa Pakpak dan Karo /d/ berubah menjadi /n/, dan /g/ menjadi
/ng/, seperti kata bod menjadi bon/ben, saud menjadi sahun, tuod menjadi tiwen,
sogod menjadi cegen, sarad menjadi saran, dan alud menjadi alun. Kemudian
kata dolog menjadi deleng, pusog menjadi puseng, balog menjadi baleng, lanog
menjadi laneng, borgog menjadi bergeng, bolag menjadi belang, dan pag menjadi
pang.
Sedang fonem /b/ belum dapat ditentukan bentuk perubahannya. Dan
bentuk ini menurut Voorhoeve lebih dekat kepada bahasa Sanskerta yang banyak
mempengaruhi bahasa-bahasa Nusantara. Sementara dalam bahasa Batak yang

Universitas Sumatera Utara

63

lain (Toba, Mandailing-Angkola) fonem /d/ berbunyi /t/ seperti tampak pada katakata berikut ‘bod-bot’, ‘saud-saut’, ‘tuod-tot’, ‘agad-agat’, ‘sogod-sogot’,
‘bagod-bagot’,’sarad—sarat’, dan ‘alud—arut’; /g/ berbunyi /k/ seperti ‘dologdolok’, ‘balog—balok’, ‘lanog—lanok’, ‘bolag--bolak, dan *ulog--ulok; sedang
fonem b belum dapat ditentukan bentuk perubahannya.
Gorys

Keraf

dalam

bukunya

Linguistik

Bandingan

Historis

mengemukakan, bahwa fonem /d/, /g/, dan /b/ merupakan fonem yang dianggap
bermasalah dalam beberapa bahasa, tidak hanya pada bahasa Nusantara, tetapi
juga

pada

bahasa

di

Eropa.

Karena

fonem

/d/,

/g/,

dan

/b/

ini

secara deskriptif biasanya mengalami proses netralisasi ketika berada di posisi
akhir, dan berganti dengan fonem /t/, /k/, dan /p/. Padahal sebenarnya fonem
tersebut dapat muncul dalam posisi awal, tengah, dan akhir. Hal itulah yang
menjadi masalah, karena saat ini banyak bahasa yang tidak lagi menampilkan
gejala tersebut. Timbul pertanyaan, mengapa bahasa Simalungun masih
menampilkan gejala tersebut?.Selanjutnya bila ditinjau dari keaslian bahasa, pada
hakikatnya tiada satupun bahasa di nusantara bahkan di dunia yang bisa dikatakan
asli atau masih menunjukkan keasliannya, maksud asli di sini bahasa itu memang
dihasilkan atau diciptakan secara murni dan utuh oleh pengguna bahasa itu.
Karena memang jauh sebelum manusia dan bahasa tumbuh dan berkembang pesat
seperti sekarang ini, keaslian bahasa itu memang telah terkontaminasi.
Proses kontaminasi yang berdampak pada pudarnya keaslian bahasa itu
dipicu oleh adanya akulturasi atau hubungan antara manusia dengan manusia atau
bahasa dengan bahasa yang saling berbeda, hal ini berefek pada percampuran

Universitas Sumatera Utara

64

budaya atau bahasa. Bahasa Indonesia saja yang semula asli karena hanya terdapat
bahasa Melayu di dalamnya, kini perlahan telah mengalami kepudaran,
karena pada saat ini bukan hanya bahasa Melayu saja yang terkandung
didalamnya tetapi telah banyak dimasuki unsur-unsur bahasa nusantara yang lain,
seperti bahasa Minangkabau, Jawa, Sunda, Palembang, dan lain-lain.
Masuknya unsur bahasa yang lain itu sebenarnya tidak lain
hanya untuk melengkapi atau memperkaya khazanah perbendaharaan kata bahasa
Indonesia, dan kondisi ini memang tidak perlu dipermasalahkan, karena bahasa
Indonesia ‘kan bukannya bahasa yang dimiliki oleh eka-suku atau dwi-suku
melainkan dimiliki oleh multi-suku yang semuanya berhak menyumbangkan
bahasa sukunya untuk memperkaya bahasa Indonesia. Dan proses itu
merupakan peluang yang nantinya dapat dipergunakan oleh orang Batak
khususnya orang Simalungun untuk menjadikan bahasanya menjadi bagian dari
bahasa Indonesia.Hal demikianlah yang terjadi pada bahasa Simalungun, meski
telah diungkapkan di atas istilah asli yang berkaitan dengan dialek, namun hal itu
tidak bermakna asli sebagaimana dijelaskan di atas, melainkan bahasa
Simalungun itu telah sah dan disepakati menjadi bahasa baku oleh seluruh
komponen orang Simalungun, kendatipun bahasa itu tidak seutuhnya dihasilkan
atau diciptakan oleh mereka.
Dalam bahasa Simalungun terdapat cukup banyak kata-kata yang bukan
produk Simalungun. Kata-kata itu umumnya diadopsi dari bahasa Sanskerta,
Arab, Persia, dan Tamil. Kata serapan dari bahasa Sanskerta saja sangat banyak
sekali digunakan, seperti dalam menyebut nama-nama dewa dengan mamis, bisnu,

Universitas Sumatera Utara

65

sori, hala, dan borma yang tidak lain adalah perubahan bentuk dari kata shiwa,
whisnu, sri, kala, dan berahma; menyebut gugusan bintang dengan mesa,
morsoba, mituna, harahata, singa, hania, tula, mortiha, dahanu, mahara, humba,
dan mena yang dalam bahasa Sanskertanya mesa, vrisabha, mithuna, karkata,
singha, kanye, tule, vrstika, dhanu, makara, kumbha, dan mina. Kemudian untuk
menyebut nama-nama hari seperti adintia, suma, anggara, mudaha, boraspati,
sihora, dan samisara yang dalam bahasa sanskertanya berbunyi aditya, soma,
anggara, budha, brihaspati, syukra, dan syanaiscara.
Selanjutnya untuk menyebut nama-nama mata angin (Sim: deisa na
waluh) seperti purba, pastima, otara, daksina, agoni, nariti, manabia, irisanna yang
merupakan perubahan bentuk dari kata purva, pastjima, uthara, daksina, agni,
nairti, wajawia, dan aisana. Tidak hanya itu untuk kata-kata yang bersifat umum
bahasa Sanskerta juga banyak yang diserap dan kemudian di-Simalungunkan
seperti

kata

boniaga

yang

berasal

dari

kata

vanijya,

naibata

dari

kata devata, purba dari kata purva, porsaya dari kata pratyaya, dousa dari kata
dosha, bangsa dari kata wangsa, susian dari kata sisya, horja dari kata karya,
arga dari kata argha, halani dari kata karana, rupa dari kata rupa, ugama dari
kata agama, nagori dari kata nagari, basa dari kata waca, balei dari kata walaya,
banua dari kata wanua, barita dari kata warta, nanggurdaha dari kata garuda,
gajah dari kata gaja, husapi dari kata kacchapi, huta dari kata kuta, nagori dari
kata nagari, dan masih banyak lagi yang lain.

Universitas Sumatera Utara

66

Selanjutnya serapan dari bahasa Arab seperti kata pingkir yang diserap
dari kata fikr, adat dari kata adat, dunia dari kata dunya, uhum dari kata hukm,
sibolis dari kata iblis, dan lain-lain.
Kemudian serapan dari bahasa Persia seperti kata saluar yang berasal
dari kata shalwar, sarunei yang berasal dari kata surnai, pinggan yang berasal
dari kata pinggan.
Dan yang terakhir serapan dari bahasa Tamil seperti kata bodil yang
diserap dari kata badil, sohei dari kata Tamil cukkai, mandihei dari kata Tamil
komattikai, dan lain-lain.
Secara pasti, banyak uang belum diketahui bagaimana proses penyerapan
kata itu terjadi, apakah memang langsung diserap dari bahasa Sanskerta, Arab,
Persia, dan Tamil atau melalui bahasa lain yang memang pernah mengadakan
kontak langsung dengan bahasa itu.
Kendati tampak banyak perbedaan dengan bahasa Batak yang lain,
namun eksistensi bahasa Simalungun takkan terlepas dari bahasa di sekelilingnya.
Bahasa Simalungun takkan dapat menarik diri bila dikatakan memiliki kesamaan
yang besar dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebagai Rumpun
Selatan. Dan tidak dapat disangkal pula bila bahasa Simalungun banyak
memiliki kesamaan dengan bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet sebagai
Rumpun Utara. Dalam bahasa Karo saja sebagian besar kesamaan dengan bahasa
Simalungun. Hal ini terjadi karena bahasa Simalungun dilihat dari posisinya
berdiri di antara kedua rumpun tersebut (Voorhoeve: 1955). Namun menurut
Adelaar (1981), meski demikian bahasa Simalungun sebenarnya adalah salah satu

Universitas Sumatera Utara

67

cabang

dari

bahasa

rumpun

selatan,

yang

berpisah

dengan

bahasa

Toba, Mandailing, dan Angkola sebelum bahasa itu terbentuk. Dari ungkapan
Adelar itu, berarti bahasa Simalungun telah ada sebelum bahasa rumpun selatan
lain terbentuk yang kemudian berpisah.
Hal itu sesuai dengan Kozok (1999:14) yang menegaskan bahwa jika
ditilik dari persebaran bahasa dan aksara Batak, bahasa dan aksara Simalungun
jauh lebih tua daripada bahasa dan aksara Batak Toba, Pakpak, dan Karo.

Gambar 2.4 Aksara Simalungun (Indung Huruf)
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Universitas Sumatera Utara

68

Gambar 2.5 Aksara Simalungun (Anak Huruf)
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.6 Aksara Simalungun (Penggabungan Indung dan Anak Huruf)
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.7 Aksara Simalungun dalam tulisan
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.8 Terjemahan dalam tulisan latin
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Universitas Sumatera Utara

69

Gambar 2.9 Terjemahan kedalam Bahasa Indonesia
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.10 Aksara Simalungun Dalam Tulisan
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.11 Terjemahan dalam tulisan latin
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.12 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Universitas Sumatera Utara

70

Gambar 2.13 Aksara Simalungun Dalam Tulisan
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.14 Terjemahan Aksara Simalungun dalam tulisan Latin
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.15 Aksara Simalungun dalam Bahasa Indonesia
Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Universitas Sumatera Utara

71

2.8 Kalender dan Hari Simalungun ( Parhalaan)
Didalam suku Simalungun setiap hari selalu mempunyai nama, berbeda
dengan kalender masehi yang hanya mempunyai tujuh nama hari dan perhitungan
pergantian hari dalam suku Simalungun dimulai dari tenggelamya matahari.
Berikut ini 30 nama hari dalam sebulan menurut Parhalaan Simalungun,
yaitu:
1. Adintiya
2. Suma
3. Anggara
4. Mudaha
5. Boraspati
6. Sihora
7. Samisara
8. Tuan Nayok
9. Suma ni Siah (Suma ni Mangadop)
10. Anggara Sampuluh
11. Mudaha ni Mangadop (Mudaha ni Poltak)
12. Boraspati ni Tangkop
13. Sihora Purasa
14. Samisara Purasa
15. Tula
16. Suma ni Holom
17. Anggara ni Holom
18. Mudaha ni Holom
19. Boraspati ni Holom
20. Sihora Dua Puluh

Universitas Sumatera Utara

72

21. Samisara Bona Turun
22. Tuan Nangga
23. Suma ni Matei
24. Anggara ni Matei
25. Mudaha ni Gok
26. Boraspati ni Gok
27. Sihora Duduk
28. Samisara Marhulung (Samiara Bulan Matei)
29. Hurung
30. Likkar
Jika bulan menunjukkan jumlah dua puluh Sembilan hari, maka hari
Hurung tidak diikutkan, tetapi dari hari Samisara Marhulung langsung ke hari
Likkar.
Selain itu dalam penyebutan nama bulan dalam Simalungun ada 12 nama
bulan dalam Kalender Simalungun, yaitu:
1. Sipaha Sada
2. Sipaha Dua
3. Sipaha Tolu
4. Sipaha Opat
5. Sipaha Lima
6. Sipaha Onom
7. Sipaha Pitu
8. Sipaha Ualuh
9. Sipaha Siah
10. Sipaha Sampuluh
11. Luyu

Universitas Sumatera Utara

73

12. Luyu Tangtang
2.9 Seni Musik Simalungun
Musik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan.
“Gonrang” (istilah bahasa Simalungun untuk “gendang”) salah satu alat musik
dari daerah Simalungun, yang telah lama ada dan berkembang di daerah
Simalungun. Musik gonrang tidaklah hanya apresiasi seni semata, tetapi juga mau
memperlihatkan makna dan fungsi yang sangat mendalam bagi kehidupan
masyarakat Simalungun khususnya. Makna dan fungsi gonrang terwujud sebagai
suasana pengungkapan hati, sebagai sarana hiburan, sebagai sarana komunikasi.
Musik gonrang juga sebagai representasi simbolis yang mencerminkan nilai-nilai,
pengaturan kondisi sosial dan perilaku kultur lainnya serta sebagai peneguh ritusritus keagamaan dan ikatan sosial. Dalam hal ini seni musik Simalungun
Simalungun terbagai menjadi dua bagian yaitu instrumen dan nyanyian
1. Instrumen
Masyarakat

Simalungun

memiliki

instrumental.

Alat-alat

musik

tradisional Simalungun ini pada umumnya digunakan untuk upacara-upacara
tertentu yang disesuaikan berdasarkan perannya untuk mengiringi upacaraupacara adat. Adapun beberapa instrumen yang dimiliki suku Simalungun sebagai
berikut :
a. Instrumen perkusi :
1. Mongmongan, merupakan alat musik yang terbuat dari kuningan atau besi yang
memiliki pencu. Mongmongan ada dua macam yaitu , mongmongan
sibanggalan, dan mongmongan sietekan.

Universitas Sumatera Utara

74

2. Ogung, merupakan nama lain dari Gong yang selama ini kita kenal. Ogung ada
dua macam yaitu ogung sibaggalan dan ogung sietekan.
3. Sitalasayak, adalah alat musik yang bentuknya seperti simbal yang terbuat dari
kuningan atau besi dan terdiri dari dua bilah yang sama bentuknya.
4. Garantung, merupakan alat musik yang terbuat dari kayu dan mempunyai
resonator yang juga terbuat dari kayu. Garantung terdiri dari tujuh bilah yang
mempunyai nada berbeda.
5. Alat tabung Gondrang sidua-dua, merupakan gendrang yang badannya terbuat
dari kayu ampirawas dan kulitnya dari kulit kancil atau kulit kambing.
Gondrang sidua-dua terdiri dari dua gendang.
6. Jatjaulul / tengtung, merupakan alat musik yang terbuat dari bambu yang
senarnya sebanyak dua atau tiga buah. Dimainkan dengan memukul senarnya.
7. Alat tabung Gondrang sipitu-pitu/Gondrang bolon, merupakan gendang yang
badannya terbuat dari kayu dan kulitnya terbuat dari kulit lembu, kambing dan
kulit kancil. Pada bagian atas terdapat kulit dan pada bagian bawah ditutupi
kayu. Gendangnya terdiri dari tujuh buah gendang.
a. Instrumen tiup :
1.

Sarune bolon, merupakan jenis alat musik tiup yang mempunyai dua lidah
(double reed) badannya terbuat dari silastom , nalihnya terbuat ari timah,
tumpak bibir terbuat dari tempurung . lidah terbuat dari daun kelapa, dan
sigumbang terbuat dari bambu, sarune bolon dipergunakan sebagai pembawa
melodi.

Universitas Sumatera Utara

75

2.

Sarune buluh, merupakan jenis alat musik tiup yang terdiri dari satu lidah
(single reed). Sarune buluh terbuat dari bambu, mempunyai tujuh lobang
suara, sebelah atas enam lobang dan sebelah bawah satu lobang.

3.

Tulila, merupakan jenis recorder yang terbuat dari bambu , tulila dimainkan
secara vertikal.

4. Sulim, merupakan alat musik sejenis flute yang terbuat dari bambu.
5. Sordam, merupakan alat musik sejenis flute yang terbuat dari bambu yang
dimainkan miring (obluque flute).
6. Saligung, merupakan salah satu alat musik sejenis flute yang terbuat dari
bambu hanya saja ditiup dengan hidung.
7. Ole-ole, adalah merupakan jenis alat musik tiup yang terdiri dari satu lidah
(single reed). Badannya terbuat dari batang padi dan resonantornya terbuat dari
daun enau atau daun kelapa.
8. Hodong-hodong, merupakan alat musik sejenis geng gong, geng gong jenis alat
musik yang dibuat dari bilah, besi, kawat, dan sebagainya. Yang dibunyikan
dengan ditekankan dimulut lalu dipetik dengan telunjuk. Hodong-hodong
dipergunakan sebagai alat komunikasi seorang pemuda kepada kekasihnya dn
sebagai hiburan .
9. Ingon-ingon, merupakan alat musik diladang yang ditiup oleh angin. Angin
memutar kincir sehingga bambu berbunyi. Ingon-ingon terbuat dari sebilah
kayu sebagai kincir dan bambu sebagai penghasil bunyi.

Universitas Sumatera Utara

76

a. Instrumen Petik:
1. Husapi, merupakan alat musik sejenis flute yang mempunyai leher. Husapi
terbuat dari kayu dan mempunyai dua senar.
b. Instrumen Gesek:
1. Arbab, adalah alat musik yang terbuat dari tabung resonator dari labu atau
tempurung, leher terbuat dari kayu atau bambu, lempeng atas terbuat dari kulit
kancil atau kulit biawak, senar terbuat dari benang dan alat penggesek terbuat
dari ijuk enau yang masih muda.
Setelah terjadi penggabungan beberapa alat musik atau instrument,
terjadilah sebuah ansambel musik simalungun yang disebut dengan “gondrang”
Fungsi Musik gonrang dalam komunitas masyarakat simalungun anatara lain
sebagai berikut:
a. Sebagai pengungkapan suasana hati,
Dimanapun di dunia ini, tampak jelas bahwa musik mempunyai peran
yang kuat dalam mengungkapkan suasana hati seseorang. Pengungkapan suasana
hati itu dapat bersifat spesifik seperti halnya pada lagu yang bernuansa politis
maupun lagu-lagu percintaan yang mau mengungkapkan perasaan dan kepuasan
diri. Apapun jenis suasana hati yang diekspresikan dalam proses pembuatan
musik, akan menggugah reaksi dari para pendengar dan reaksi itu tidak lepas dari
pementasannya. Maksudnya adalah nuansa lagu yang dibawakan disesuaikan
dengan suasana pesta. Sebagai contoh, pesta panen dan pesta meriah lainnya tentu
sangat berbeda nuansa musiknya dengan suasana kematian atau kesedihan.

Universitas Sumatera Utara

77

Salah satu faktor yang dianggap penting dalam menentukan reaksi
suasana hati terhadap musik di kalangan masyarakat Simalungun adalah tempo
musik yang dibawakan. Untuk menunjukkan suasana gembira, maka dipakai
tempo sedang hingga tempo cepat. Sedangkan tempo lambat umumnya dipakai
untuk yang berhubungan dengan hal-hal musibah, kekecewaan, kesedihan dan
kerinduan hati. Banyaknya lagu-lagu sedih di daerah Simalungun dan
digunakannya istilah inggou menggambarkan makna suasana hati dari lagu-lagu
tersebut serta persepsi masyarakat Simalungun terhadap lagu-lagu tersebut.
Pengungkapan perasaan mungkin paling mudah dan sederhana untuk difahami
dari lirik yang dikandungnya.
Pada pemain musik gonrang mempunyai peran penting dalam suasana
ini. Para pemusik menjadi pemicu dalam memulai dan memfasilitasi
pengungkapan perasaan yang sesuai untuk masing-masing situasi dengan cara
menghidupkan gual (lagu yang dimainkan pada ansambel musik gonrang) yang
dibawakan. Sebagai contoh, dalam tortor sombah (tortor = tarian, sombah =
sembah) dimulai oleh pihak boru (orang atau klan yang menjadi pihak penerima
istri kepada yang bersangkutan) dan mengarahkan kepada pihak tondong (orang
atau klan yang menjadi pihak pemberi istri dari yang bersangkutan). Sikap
sembah diwujudkan dengan mengatupkan telapak tangan dengan ujung jari
menghadap ke atas dan disentuhkan pada dahi, dengan sikap seperti ini pihak boru
menghampiri pihak tondong. Sambil menarikan tortor sombah dihadapan pihak
tondong, pihak boru memohonkan kasih sayang yang manja dari pihak tondong.

Universitas Sumatera Utara

78

Maka kerendahan hati merupakan makna dari inti tarian yang dibawakan oleh
boru yang diungkapkan dalam konteks tarian dan musik yang dibawakan.
b. Sebagai sarana hiburan
Salah satu fungsi musik gonrang bagi masyarakat Simalungun adalah
sebagai sarana hiburan. Karena kurangnya kesempatan untuk menikmati suasana
istirahat dari kerja, maka pada saat pesta merupakan kesempatan untuk
beristirahat dari aktivitas kerja. Pesta merupakan salah satu bentuk acara selingan.
Ada sejumlah pesta yang dilaksanakan setiap tahun, yang termasuk di dalamnya
yaitu Manumbah (penyembahan tempat keramat maupun arwah para nenek
moyang).
Ada pesta yang diselenggarakan pada saat-saat khusus : pesta
palaho/paroh boru (pesta pernikahan), pesta mangalo-alo tamuei (pesta
penyambutan tamu atau undangan istimewa), mamongkot jabu (selamatan
memasuki rumah baru) dan masih banyak kesempatan lain yang dijadikan suasana
pesta. Salah satu kebiasaan dalam berpesta adalah mengundang antara kampung
yang satu dengan kampung yang lain yang memiliki ikatan hubungan tondong,
boru dan sanina (mereka yang berasal dari marga dan sub-marga yang sama
dengan yang bersangkutan) untuk memeriahkan pesta tersebut.
Pada pelaksanaan pesta