Analisis Semiotik Syi’r الإعتراف (Al-I’tirāf) Karya Abu Nawas

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Terdahulu
Adapun penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan antara lain :
Mauli Rosa (2014), ia meneliti tentang “Analisis semiotik terhadap puisi
rabi’atul

adawiyah

dan

kalimat

suci

mother

Teresa”.

Penelitian


ini

menyimpulkan bahwa kedua perempuan tersebut memilih Tuhan sebagai satusatunya tujuan hidup, meski dengan cara implementasi yang berbeda. Rabi’ah
dengan personal spiritualnya, sedangkan Teresa dengan sikap sosialnya.
Hanifa (2012), meneliti tentang “Analisis Semiotik Syair Mansyūrat
Fīdā‟iyyah ‘Alā Judrāni Isrā‟īl” Nizār Qabbānī”. Ia menyimpulkan bahwa
dalam puisi ini menceritakan akan penjajahan Israel atas negeri Palestina telah
membangkitkan semangat perlawanan rakyat Palestina untuk mempertahankan
tanah airnya. Semangat perlawanan rakyat Palestina tidak akan pernah hilang
selama Israel masih menduduki wilayah Palestina.
Ai Zakiyah (2013), meneliti tentang “Puisi Al-I’tir:f Abu Nawas : Analisis
Bentuk dan Makna Berdasarkan Ilmu Puisi dan Ilmu Balaghah”. Ia
menyimpulkan bahwa Dalam penyusunan diksi puisinya, Abu Nawas banyak
menggunakan perbandingan-perbandingan antara hal positif dan negatif serta
menggunakan diksi yang memiliki arti yang mudah dipahami dan memiliki makna
yang sangat jelas. Abu Nawas juga menambahkan mazas pada puisinya dan secara
ilmu Qafiyyah, Puisi I’tiraaf Abu Nawas digolongkan Qafiyyah al Mutawatir.
Khusnul Arfan


(2013) “Analisis Semiotika Riffaterre Dalam Puisi Das

Theater, Stätte Der Träume Karya Bertolt Brecht” bahwa puisi ini bercerita
tentang dikotomi antara teater epik brecht dengan teater aristotelian. Kemudian
Brecht menganggap bahwa apa yang dipertontonkan oleh teater aristotelian
merupakan tindakan yang tidak didaktis untuk mengangkat kesadaran masyarakat
jerman terhadap dialektika kehidupan nyata secara kritis sebagai estetika dari
sebuah teater. oleh karena itu, brecht mengkritik segala pertunjukkan teater model

9
Universitas Sumatera Utara

aristotelian dari kacamata teater epik dengan v-effekt (efek pengasingan/efek
alienasi) yang brecht usung.
Adapun perbedaan penelitian ini

dengan penelitian terdahulu adalah

penelitian ini lebih memfokuskan pada pendekatan semiotik dengan menggunakan
teori Semiotik Riffatere dan syi’r al-i’tirāf karya Abu Nawas sebagai objek kajian

penelitian.

10
Universitas Sumatera Utara

2.2 Landasan Teori
2.2.1

Pengertian Syi’r
al-fadl (1990:409) Secara etimologis, mengatakan kata syi’r berasal dari

kata ‫ﺷﻌﻮﺭﺍ‬-‫ﺷﻌﺮﺍ‬-‫ﻳﺸﻌﺮ‬-‫ﺷﻌﺮ‬

yang berarti mengetahui,

merasakan, sadar,

mengkomposisi atau menggubah sebuah syair, menurut Jurji Zaidan, syi’r berarti
nyanyian (al-ghina’), lantunan (insyadz) atau melagukan (tartil). Asal kata ini
telah hilang dari bahasa Arab, namun masih ada dalam bahasa-bahasa lain, seperti


‫ ﺷﻮﺭ‬dalam bahasa ibrani, yang berarti suara, bernyanyi, dan melagukan lagu. Di
antara sumber kata syi’r adalah ‫( ﺷﻴﺮ‬syir) yang berarti kasidah atau nyanyian.
Nyanyian di dalam kitab Taurat juga menggunakan nama ini (Muzakki, 2011:40).
Sejarah menyebutkan bahwa orang-orang yahudi lebih dahulu berkecimpung
dalam dunia nazham dari pada orang Hijaz. Dengan demikian pengalaman dan
kemahiran mereka telah memperkuat keberadaan kata syir yang berkaitan dengan
kasidah atau nyanyian. Berdasarkan sumber iu, orang-orang Arab dipandang kuat
telah mengambil kata syi’r dari orang Yahudi untuk menyebut istilah kasidah.
Kemudia mereka mengganti huruf ya’ dalam kata ‫ ﺷﻴﺮ‬dengan huruf ‘ain, maka
jadilah kata syi’r ‫ﺷﻌﺮ‬

dan selanjutnya kata ini dipergunakan pada pengertian

syair secara umum (Muzakki, 2011:41).
Bagi orang Arab, kata syi’r

mempunyai arti tersendiri sesuai dengan

pengetahuan, dan kebiasaan mereka. Dalam pandangan mereka syi’r


berarti

pengetahuan atau kepandaian (ilm/fathanah) dan penyair itu sendiri disebut
dengan al-fathin (cerdik pandai). Pendapat ini ada kemiripan dengan pengertian
poet dalam bahasa Yunani yang berarti membuat, mencipta (dalam bahasa inggris
padanan kata poetry erat hubungannya dengan kata poet dan poem). Poet berate
orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang menyerupai dewa atau
orang yang amat suka dengan dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam,
orang suci, sekaligus orang filusuf, negarawan guru, dan orang yang dapat
menebak kebenaran yang tersembunyi (Guntur dalam Muzakki, 2011:41).

11
Universitas Sumatera Utara

Menurut Iskandari dan ‘Inani dalam Muzakki ( 2011 : 42) syi’r adalah:

‫ﺍﻟﺸﻌﺮ ﻫﻮ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺍﻟﻔﺼﻴﺢ ﺍﻟﻤﻮﺯﻭﻥ ﺍﻟﻤﻘﻔﻰ ﺍﻟﻤﻌﺒﺮ ﻏﺎﻟﺒﺎ ﻋﻦ ﺻﻮﺭ ﺍﻟﺨﻴﺎﻝ ﺍﻟﺒﺪﻳﻊ‬
/Asy-syi’ru huwa al-kalāmu al-faṢīḥu al-mauzūna al-muqaffā al-mu’abbiru
ghāliban ‘an Ṣuwari al-khayāli al-badī’i/ ‘Syair adalah kata-kata fasih yang

berirama dan berqafiah yang mengekspresikan bentuk-bentuk imajinasi yang
indah’.
Husein dan al-Sayyib dalam Muzakki (2011:54) membagi syi’r dari segi
isinya menjadi tiga macam:
1. Syair Cerita/epic poetry/ (syi’r qishashi)
Syair Cerita/epic poetry/ (syi’r qishashi) yaitu syair yang berupa kasidah
panjang yang menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah, kemudian disusun dalam
bentuk cerita kepahlawanan untuk dinyanyikan, contohya seperti Syahnamah alfirdaus, kisah orang persia yang terdiri dari 60 ribu bait.
2. Syair Lirik/lyric poetry (syi’r ghina’i)
Syair Lirik/lyric poetry (syi’r ghina’i) yaitu syair yang secara langsung
mengungkapan perasaan, baik perasaan sedih maupun harapan dan lebih tepat
menggambarkan kepribadian seseorang. Jenis syair ini biasanya dipergunakan
untuk tujuan memuji, meratap, merayu, mengejek dan sebagainya. Syi’r al-i’tirāf
karya Abu Nawas merupakan salah satu syair lirik/syi’r ghina’I

yang

mengungkapkan perasaan kesedihan dan penyesalannya terhadap dosa-dosa yang
telah dilakukannya selama hidup.
3. Syair Drama/dramatic poetry (syi’r tamtsili)

Syair Drama/dramatic poetry (syi’r tamtsili) yaitu syair yang dibuat untuk
disaksikan di atas panggung dan bersifat objektif, karena terbatas oleh waktu dan
tempat. Syair ini menyerupai cerita syair yang masih memerlukan peran aktor
untuk mengungkapkan perasaan kepribadan yang berbeda-beda.
Syi’r dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan puisi, Puisi salah satu
genre atau jenis sastra. Seringkali istilah “puisi” disamakan dengan “sajak”, akan
tetapi sebenarnya tidak sama, puisi itu merupakan jenis sastra yang melingkupi
sajak, sedangkan sajak adalah individu puisi. Dalam bahasa Inggrisnya puisi
adalah poetry dan sajak adalah poem (Pradopo, 1999:278).

12
Universitas Sumatera Utara

Menurut Sayuti (1985:1) puisi merupakan hasil kreativitas manusia yang
diwujudkan lewat susunan kata yang mempunyai makna. Bahasa sebagai medium
karya sastra sudah merupakan sistem semiotik dan ketandaan, yaitu sistem
ketandaan yang mempunyai arti. Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi
selera dan perubahan konsep estetiknya ( Pradopo,1999:279).
Puisi harus dipahami sebagai sistem tanda yang mempunyai sistem tanda yang
mempunyai makna berdasarkan konvensi, oleh karena itu, bahasa disebut sebagai

sistem tanda atau semiotik tingkat pertama. Makna arti disebut meaning yang
ditentukan oleh masyarakat bahasa, kemudian ditingkatkan derajatnya menjadi
sistem semiotik tingkat kedua yang disebut arti dari arti meaning of meaning atau
makna (significance) (Pradopo, 1999:279).
Puisi merupakan struktur yang bermakna dan mempunyai sistem tanda yang
mempergunakan

bahasa

sebagai

mediumnya.

Puisi

merupakan

wacana

kebahasaan yang mengatakan sesuatu dengan maksud yang lain atau secara tidak

langsung. Hal inilah yang membedakan puisi pada bahasa umumnya. Puisi
mempunyai cara yang khusus dalam membawa maknanya ( Faruk, 2014:141).
Menganalisis puisi ini bertujuan memahami makna puisi, menangkap makna
puisi atau memberi makna kepada teks puisi. Akan tetapi, sebelumnya perlu
dikemukakan apa yang dimaksud dengan makna puisi. Makna karya sastra atau
puisi itu bukanlah semata-mata arti bahasanya (arti denotatifnya), melainkan arti
bahasa, suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan (konotasi), daya liris,
pengertian yang ditimbulkan oleh tanda-tanda kebahasaan atau tanda-tanda lain
yang ditimbulkan oleh konvensi sastra, misalnya sajak (rima, persamaan bunyi),
enjambement, baris sajak, homolog, tipografi, bahkan juga makna seni dan nilai
seninya (Pradopo, 1999:281).
Pembacaan

puisi

membutuhkan

interpretasi.

Interpretasi


awal

akan

menentukan keberhasilan pembaca. Interpretasi akan menyelami sebuah puisi
secara total. Interpretasi itu bebas dan dapat berubah-ubah. Tiap orang dapat
melakukan interpretasi. Bahkan ada kalanya seorang pembaca mengikuti
interpretasi orang lain (Endraswara, 2008: 82).

13
Universitas Sumatera Utara

2.2.2

Pengertian Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa inggris semiotics. Semiotik menurut Hornby
dalam Taufiq (2016:1) adalah: “The study of sign and symbol and of their mening
and use” (kajian tanda-tanda dan symbol, juga makna dan penggunaanya). Kata

semiotics diambil dari bahasa yunani semeion, yang berarti tanda (Van Zoest,
1993:1) atau same yang berarti penafsir tanda (Taufiq, 2016:1).
Preminger dkk dalam Taufiq (2016:2-3) memberi batasan semiotik dengan
ilmu tanda serta sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda tersebut memiliki arti. KBBI (1999:1002) memberikan
definisi tanda sebagai berikut : yang menjadi alamat atau yang menyatakan
sesuatu, gejala, bukti, pengenal; lambing dan petunjuk.
Istilah semiotik diperkenalkan oleh seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand
De Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat Charles Sander Pierce (18391914). Saussure menyebut ilmu ini dengan nama semiologi, sedangakan Pierce
menyebutnya dengan semiotik. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk
ilmu itu, sedangkan di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik (Jabrohim,
2001:71).
Semiotik, ilmu tentang tanda-tanda, sudah lahir pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifie), dan
petanda (signified). Penanda adalah bentuk formal tanda itu, dalam bahasa berupa
satuan bunyi atau huruf dalam sastra tulis, sedangkan petanda adalah artinya,
yaitu apa yang ditandai oleh penandanya itu. Berdasarkan hubungan antara
penanda dan petandanya, ada tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan symbol
(Pradopo, 1999:76).
Ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan
yang bersifat alamiah. Misalnya gambar, potret dn patung. Indeks adalah tanda
yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan alamiah yang
bersifat kausalitas, misalnya asap menandai api, mendung menandai hujan.
Symbol adalah tanda yang penanda dan petandanya tidak adanya menunjukkan
hubungan alamiah, hubungannya arbitrer (semau-maunya) berdasarkan konvensi,

14
Universitas Sumatera Utara

misalnya kata ‘ibu’ (penanda) menandai ‘orang yang melahirkan kita’, dalam
bahasa inggris: mother, dalam bahasa prancis La mere dan sebagainya (Ibid:76).
Lebih dari itu, menurut Hjelmslev dalam Kamil (2012:195) pendekatan
semiotik sangat membantu dan hasilnya pun sangat memuaskan, ini karena
pendekatan semiotik memandang suatu teks sebagai keseluruhan dan sebagai
suatu sistem dari hubungan internal. Pendekatan tersebut memungkinkan untuk
memahami banyak aspek dari suatu teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar
suatu analisis yang bertolak dari unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri
dari teks yang bersangkutan, kelebihan lain menurut Arkoun adalah analisis
semiotik membuat kita mendekati suatu teks tanpa interpretasi sebelumnya atau
praanggapan lain.

2.2.3

Semiotik Dalam Penelitian Sastra

Preminger dalam Jabrohim (2001:73) mengatakan semiotik sastra adalah
usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda, oleh karena itu peneliti
harus menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai makna.
Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi
sendiri. Dalam sastra ada jenis-jenis sastra, seperti prosa dan puisi. Genre puisi
memiliki ragam, syair, pantun, sonata, balada dan sebagainya. Tiap ragam itu
mempunyai konvensi sendiri. Dalam menganalisis karya sastra peneliti harus
menganalisis sistem tanda itu dan memungkinkan tanda-tanda atau struktur tandatanda dalam rangka sastra itu mempunyai makna (Jabrohim, 2001:73).
Misalnya, genre puisi yang memiliki sistem tanda, yang mempunyai satuansatuan tanda seperti kosa kata, bahasa kiasan, diantaranya personifikasi, sismile,
metafora dan metonimi. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi
sastra. Di antara konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan seperti
bahasa kiasan, sarana retorika, gaya bahasa pada umumnya. Di samping itu ada
konvensi ambiguitas, kontradiksi dan nonsense. Ada pula konvensi visual
tersebut, di antaranya, bait, baris sajak, enjambenment, sajak (rima), tiografi, dan
homologue. Konvensi kepuitisan visual sajak tersebut didalam linguistik tidak

15
Universitas Sumatera Utara

mempunyai arti, tetapi dalam sastra mempunyai atau menciptakan makna, tentu
saja, masih ada konvensi-konvensi lain yang menyebabkan karya sastra
mempunyai makna (Jabrohim, 2001:74).
Untuk lebih mendalam, penelitian sastra dengan pendekatan semiotik
Riffatere berikut ini akan dijelaskan konvensi penting dalam pemaknaan puisi
yaitu konvensi ketaklangsungan ekspresi sastra.
Adapun ketaklangsungan ekspresi itu menurut (Riffatere (1978:2) disebabkan
oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti
(distorsing of meaning), penciptaan arti (creating of meaning).

a.

Penggantian Arti (displacing of meaning)

Menurut Riffatere dalam pradopo (1999:282) Penggantian arti (displacing of
meaning) disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya
sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa
kiasan pada umumnya, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metoinmi
saja. Hal ini disebabkan metafora dan metonimi merupakan bahasa kiasan yang
sangat penting, hingga digunakan untuk menggantikan bahasa kiasan lainnya.
Seperti majas simile (perbandingan), asosiasi, hiperbola, repitisi, personifikasi dan
sinekdoke, dan alegori dll.
Metafora itu bahasa kiasan yang menggunakan atau mengganti suatu hal yang
tidak menggunakan kata pembanding, bagai, seperti, bak dan lain sebagainya.
Contohnya sebagai berikut:


Bumi ini perempuan jalang (dalam sajak Subagio Sastrowardojo “Dewa
Telah Mati”).



Sorga hanya permainan sebentar (Chairil Anwar “Tuti Artic)
Contoh-contoh tersebut disebut metafora eksplisit, yang dibandingkan
(tenor) dan pembandingnya (vehicle) dinyatakan. Disamping itu, ada
metafora implisit yang disebutkan hanya pembandingnya.
Contohnya: Di hitam matamu kembang mawar dan melati (sajak putih,
Chairil Anwar).

16
Universitas Sumatera Utara

Majas simile (perbandingan) ialah majas yang membandingkan
dua hal dengan menggunakan kata penghubung layaknya, bagaikan,
umpama, dll.
Contoh majas simile : Mereka bagaikan Romeo dan Juliet yang tak dapat
dipisahkan.
Majas

Asosiasi

(Perumpamaan)

adalah

majas

yang

membandingkan dua hal berbeda namun dianggap sama. Ciri majas
asosiasi ini adanya kata penghubung : laksana, bagaikan, bak, dll.
Contoh majas Asosiasi: Wajahmu bagaikan rembulan bersinar di malam
hari.
Majas Hiperbola adalah gaya bahasa dengan ungkapan yang
berlebih-lebihan dari kenyataannya. Contohnya seperti : Ketampanannya
nyaris satu tingkat di bawah Nabi Yusuf AS.
Majas Repitisi adalah majas pengulangan suatu kata dalam
beberapa kalimat yang ditujukan untuk menegaskan suatu maksud.
Contoh majas repitisi adalah :
Dialah satu-satunya yang ku nanti, dialah satu-satunya yang ku tunggu,
dialah satu-satunya yang ku harap (Tarigan, 1986:130).

b. penyimpangan arti (distorsing of meaning)
Penyimpangan arti

(distorting of meaning) terjadi bila dalam puisi

terdapat ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense (Riffatere dalam Pradopo,
1999: 285).
Ambiguitas

adalah

bahasa

sastra

yang

memiliki

arti

ganda

(polyinterpretable) lebih-lebih bahasa puisi, kegandaan arti itu dapat berarti
kegandaan arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. Sebuah contoh sajak dari
Chairil Anwar “Doa”.

17
Universitas Sumatera Utara

Untuk lebih jelasnya dikutip sebagian:
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintu-Mu mengetuk
Aku tak bisa berpaling
“Hilang bentuk” berarti ganda meskipun arti pokoknya adalah “penderitan”, yaitu
menderita, sedih, dan penderitannya tidak dapat digambarkan lagi, dan
sebagainya.
“Remuk” berarti hancur luluh hidupnya, dalam arti hidupnya tanpa harapan,
penuh penderitaan, malang, dan sebagainya.
“Mengembara di negeri asing” berarti sangat bingung, tidak tahu arah, tidak tahu
apa yang dikerjakan, terasingkan, kesunyiaan, dan sebagainya.
“Tidak bisa berpaling” dalam arti tidak dapat pergi lagi, tidak ada pilihhan lagi,
tak mungkin meninggalkannya lagi.
Kontradiksi ialah mengandung pertentangan atau perlawanan yang
disebabkan oleh majas paradoks atau ironi.

Paradoks itu gaya bahasa yang

menyatakan sesuatu secara berlawanan atau bertentangan dalam wujud bentuknya.
Contoh paradoks misalnya sebagai berikut:
Serasa apa hidup yang terbaring mati

“Hidup tetapi mati”, pengertian ini sangat bertentangan, berlawanan, artinya
hidup yang tanpa harapan, tanpa perubahan, selalu menderita.
18
Universitas Sumatera Utara

Sedangkan majas ironi adalah gaya bahasa untuk menyatakan sesuatu secara
berkebalikan, biasanya untuk menyindir atau mengejek, gaya ironi ini dapat
berupa frase, klausa, kalimat, wacana, atau seluruh sajak. Misalnya, “ini baru
namanya siswa teladan, bangun tengah hari, pulang main habis subuh”.
Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik berupa bunyi yang
tidak ada dalam kosakata kamus dan tidak memiliki arti. Tetapi di dalam puisi
nonsense mempunyai makna karena adanya konvensi sastra. Nonsense biasanya
terdapat pada puisi bergaya mantra atau puisi bergaya mantra, sajak bergaya
mantra memang untuk berhubungan dengan dunia gaib, dunia yang bersifat
mistik, dan untuk menimbulkan daya magis dan konsentrasi atau yang biasa
disebut puisi sufistik.
Salah satu contohnya adalah dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri “Amuk”
(1981:68).

AMUK
……
Pot
hei kau dengar manteraku
kau dengar kucing memanggil-Mu
izukalizu mapakazaba itasatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zegezezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
kuzangga zegezeze aahh...!
Nama kalian bebas
Carilah Tuhan semaumu

19
Universitas Sumatera Utara

c.

dan penciptaan arti (creating of meaning)
Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk

visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna
dalam puisi karena pengorganisasian ruang teks di luar linguistik, di antaranya:
persajakan (rima), enjambemen, tipografi, dan homolog (Jabrohim, 2001:80).
Persajakan (Rima) adalah bentuk perulangan bunyi pada suatu rangkaian
puisi, rima sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu rima kata dan rima baris. Rima
kata terdiri dari perulangan penuh kata tersebut. Contohnya terdapat pada kata
ulang berimbuhan seperti:
Mendesir-desir, terapung-apung, berayun-ayun, dll.
Sedangkan rima baris digunakan dalam puisi yang memiliki beberapa
bentuk rima baris yaitu, AAAA, AAAB, ABAB, ABBA.
Beberapa jenis rima :
1.

rima akhir yaitu persamaan bunyi pada akhir baris, contohnya seperti
jalanpelan-

2. Rima datar yaitu persamaan bunyi pada tiap-tiap larik sajak, contohnya
seperti burung perkutut di ladang berumput (Tarigan, 1986:141)
Enjambemen adalah peloncatan baris dalam sajak yang menyebabkan
terjadinya peralihan perhatian pada kata akhir atau kata yang “diloncatkan” ke
baris berikutnya. Pelocatan itu menimbulkan intensitas arti atau makna liris.
Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasa tidak mengandung arti
tetapi dalam sajak akan menimbulkan arti. Contohnya adalah sajak Sutardji dalam
jabrohim (2001:80) yang berjudul “Tragedi Winka & Sihka sebagai berikut:

20
Universitas Sumatera Utara

TRAGEDI WINKA & SIHKA
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
sihka
Sajak itu hanya terdiri dari dua kata, yaitu kawin dan kasih, kedua kata itu
diputus-putus dan dibalik secara metasis, secara linguistik tidak ada artinya,
kecuali kata kawin dan kasih itu. Dalam sajak kata kasih dan kawin mengandung
arti konotasi, yaitu perkawinan itu menimbulkan angan-angan hidup yang penuh
dengan kebahagiaan, lebih-lebih bila disertai kasih sayang.
Tipografi zigzag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula
memberikan kebahagiaan, setelah melalui jalan yang berliku-liku, pada akhirnya
terjadilah bencana, terjadi tragedi. Sedangkan homologues adalah persejajaran
bentuk atau baris. Bentuk yang sejajar itu akan menimbulkan makna yang sama.
Contoh pantun berikut, sampiran itu mensugestikan isinya.
Berakit-rakit kehulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senag kemudian

21
Universitas Sumatera Utara

2.2.4

Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Dalam memahami dan mengungkap “sesuatu” yang terdapat di dalam karya

sastra, dikenal adanya istilah heuristik (heuristic) dan hermeneutik (hermeneutic).
Kedua istilah itu, yang secara lengkap disebut sebagai pembacaan heuristik dan
pembacaan hermeneutik, biasanya dikaitkan dengan pendekatan semiotik. Pada
awalnya puisi di baca secara heuristik, kemudian dibaca ulang (retroaktif) secara
hermeneutik.
Hubungan antara heuristik dengan hermeneutik dapat dipandang sebagai
hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja
hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaan heuristik. Kerja hermeneutik,
yang oleh Riffaterre disebut juga sebagai pembacaan retroaktif, memerlukan
pembacaan berkali-kali dan kritis (Nurgiyantoro, 2009: 33).
Selanjutnya menurut semiotik Rifatere untuk mendapatkan makna
puisi/karya sastra, hal penting yang harus dilakukan dalam pemaknaan puisi
adalah pencarian tema dan masalahnya (Pradopo, 1999:77).

22
Universitas Sumatera Utara

a. Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaanya
atau berdasarkan kovensi sistem semiotik tingkat pertama. Dalam pembacaan
heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaanya. Untuk memperjelas
arti bilamana perlu, diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya diletak tanda
kurung. Begitu juga dengan struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku,
bilamana perlu struktur kalimatnya dibalik untuk memperjelas arti (Pradopo
dalam Taufiq, 2016:132).
Pembacaan heuristik ini adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara
berurutan atau pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara berurutan. Untuk
mempermudah, pembacaan ini dapat berupa pembuatan synopsis cerita, cerita
yang beralur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Pembacaan heuristik harus
diulang kembali dengan Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dari
awal sampai akhir dengan penafsiran pembaca. Pembacaan ini adalah pemberian
makna berdasarkan konvensi sastra (Pradopo dalam Taufiq, 2016:132)
Contoh pembacaan heuristik dicontohkan oleh Pradopo dalam Jabrohim
(2001:85) diambil dari sajak subagio Sastrowadojo berikut ini:

DEWA TELAH MATI
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak mengakak malam hari
Dan siang terbang mengitari bingkai
Pertapa yang terbunuh dekat kuil

(Simphoni, 1975:9)
Bait ke-1
Di rawa-rawa ini tak ada dewa. (yang ada) hanya gagak yang mengakak
(bergaok-gaok) pada malam hari, dan di waktu siang hari (gagak itu) terbang
mengitari bangkai petapa yang terbunuh (di) dekat kuil.

23
Universitas Sumatera Utara

b. Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang dilakukan secara berulangulang (retroaktif) atau berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua (konvensi
sastra). Hal itu dilakukan untuk memperoleh daya interpretasi yang baik dalam
mengungkapkan bahasa puisi yang lebih luas menurut maksudnya. Pembacaan
hermeneutik ini berkaitan dengan konvensi sastra yang memberikan makna itu di
antaranya konvensi ketaklangsungan ekspresi puisi (Riffaterre dalam Jabrohim,
2001: 97).
Untuk dapat memperoleh makna yang ada dalam puisi tersebut, perlu
diadakan pembacaan ulang (retroaktif dengan diikuti penafsiran (hermeneutik).
Pembacaan hermeneutik dilakukan sejak awal sampai akhir dengan melakukan
peninjauan ulang & revisi, modifikasi, atau komparasi secara bolak-balik.
Menurut Riffaterre (1978:6), agar dapat menemukan makna karya sastra yang
sesungguhnya, pembaca harus dapat mengatasi ketidakgramatikalan bahasa yang
digunakan oleh pengarang, juga perubahan pikiran pembaca sebab dalam tahap ini
pembaca akan berhadapan dengan tata bahasa yang tidak gramatikal, yaitu segala
sesuatu yang disampaikan dalam teks dapat berbeda dengan ide-ide yang biasa
dalam realitas.
Contoh pembacaan hermeneutik dalam puisi yang telah dicontohkan diatas
adalah sebagai berikut:

Bait ke-1
Di tempat yang penuh kemaksiatan (rawa-rawa ini) Tuhan tidak dipercaya lagi
oleh orang-orang (manusia). Di tempat yang penuh kemaksiatan ini hanya ada
orang-orang jahat (koruptor, penjilat, perampok, dan sebagainya). Orang-orang
jahat (gagak) tersebut melakukan kejahatan atau bersimarajalela (mengakak) di
masa kacau, masa gelap (malam hari). Mereka (orang-orang jahat itu) beramairamai mengelilingi harta yang haram (bangkai) milik orang-orang suci (pertapa,
para pemeluk agama) yang ingkar (pada hakikatnya sudah mati), mereka terbunuh
(oleh kejahatan) di dekat tempat sucinya, tempat peribadatannya (kuil, gereja,
mesjid, dan lain-lain).

24
Universitas Sumatera Utara

2.2.5

Biografi Abu Nawas

Abu Nawas bernama lengkap Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami.
Rambutnya ikal, panjang bergelombang terurai hingga ke bahu. Karena
penampilannya

itu,

ia

dijuluki

Abu

Nawas

(si

rambut

ikal

panjang). Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di Negeri Persia
(Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di
tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan
II, sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci
kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim, sang ibu kemudian membawanya ke
Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Abu Nawas seorang penyair yang jenius, kritis, tetapi juga religius.
Dikatakan jenius, karena dalam sejarah kepenyairan Arab, dirinya adalah tonggak
baru yang memisahkan puisi sebelum dan sesudahnya.memasukkan unsur-unsur
modern dalam karya karyanya. Dia membangun imajinasi kehidupan kota, seperti
anggur, jalanan, gedung- gedung, wanita, dan anak laki- laki 'piaraan', ke dalam
puisi. Para penyair sebelumnya lebih senang mengambil objek desa. Dia yang
pertama menulis puisi seks dan homoseksualitas, Di kota Bashrah Abu Nawas
belajar berbagai ilmu pengetahuan. Abu Nawas digambarkan sebagai penyair
multivisi, pengkhayal ulung, penuh canda, berlidah tajam, dan tokoh terkemuka
sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang
dikenal di dunia intelektual. Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan
hidupnya benar-benar penuh akan warna.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah
memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab.
Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya
kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng.
Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang
Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab, kemudian ia
pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul
dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat
berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para

25
Universitas Sumatera Utara

bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja
dan menjilat penguasa.
Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam
penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar
yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas
memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada
Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak
jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk
Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke
Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah menjadi
religius. Menjelang akhir hayatnya, ia mengoreksi dan membuang puisi-puisi
masa lalunya, lalu menggantinya dengan puisi-puisi yang semuanya bertemakan
kehidupan zuhud.

Didalam syairnya

tersebut,

ia

mengungkapkan

rasa

peyesalannya, ia bertobat atas kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya,
kemudian dibarengi dengan keinginannya untuk menjalani kehidupan zuhud. Ia
meninggal sekitar tahun 806 M hingga 814 M. Ia dimakamkan di Syunizi, jantung
Kota Baghdad (https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Nawas).
Abu Nawas merupakan salah seorang sastrawan terbesar. Pengaruhnya
begitu besar di jagad sastra. Omar Kayyam dan Hafiz dua sastrawan Islam
kondang juga banyak mendapat pengaruh dari Abu Nawas. Namanya semakin
popular lantaran karikatur Abu Nawas dalam legenda 1001 malam. Dalam budaya
Swahili di Afrika Timur, nama Abu Nawas juga begitu popular sebagai
‘Abunuwasi”. Karya-karya puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Beberapa di antaranya adalah O Tribe That Loves Boys yang dialihbahasakan
oleh Hakim Bey dan diterbitkan Entimos Press pada 1993.
Puisi-puisi Abu Nawas (Abu Nuwas) terdiri atas beberapa tema: pujian
(madh), satire (hija’), kehidupan zuhud (zuhdiyat), penggambaran khamar
(khumrayat), wanita dan cinta (gazaliyat), lelucon dan senda gurau (mujuniyat).
pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat.

26
Universitas Sumatera Utara