Budaya Gotong Royong Pada Masyarakat Tionghoa di Tanjung Priok Jakarta Utara

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara yang memiliki begitu banyak suku dan kaya
akan kearifan lokal yang ditanamkan oleh para leluhur, dan telah menjadi
pedoman bagi masyarakat dari berbagai etnis dan suku bangsa untuk dapat hidup
bermasyarakat dengan baik. Kearifan lokal tersebutlah yang menjadi ciri khas dan
identitas bangsa Indonesia dan membuat tanah air kita memiliki bermacam
budaya dengan keunikannya masing-masing. Adat istiadat yang diterapkan oleh
leluhur yang dilakukan terus menerus dan dilanjutkan dari generasi ke generasi,
membuat budaya dan kebiasaan tetap kuat dan berlangsung hingga saat ini.
Berbagai cara dilakukan agar kebudayan yang mencerminkan identitas dari
berbagai etnik tetap berlangsung. Menggelar upacara adat, melakukan petuah dari
nenek moyang, menerapkan suatu kebiasaan tertentu, serta menceritakan berbagai
cerita rakyat kepada penerus generasi merupakan beberapa hal yang dilakukan
agar nilai-nilai luhur tetap dipegang erat.
Sikap mental atau attitude bangsa Indonesia dikenal memiliki rasa
kesatuan yang tinggi karena didasari oleh Pancasila, yakni persatuan Indonesia.
Suatu sikap adalah suatu disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri
seseorang individu untuk bereaksi terhadap lingkunganya (baik lingkungan

manusia atau masyarakatnya, baik lingkungan alamiahnya, maupun lingkungan

1
Universitas Sumatera Utara

fisiknya) (Koentjaraningrat, 1974:33). Negara kita Indonesia memiliki nilai-nilai
kearifan lokal yang apabila diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sangat
berpotensi untuk membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih maju.
Salah satu nilai kearifan lokal yang menjadi warisan leluhur bangsa Indonesia
adalah gotong royong, kearifan lokal yang telah mendarah daging di dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.
Gotong royong merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja
bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Menurut
(Abdurrahmat, 2006:72), konsep gotong royong yang kita nilai tinggi tersebut
merupakan suatu konsep yang erat sangkut pautnya dengan kehidupan rakyat
Indonesia sebagai petani dalam masyarakat agraris. Berdasarkan arti harfiah,
Gotong berarti “melaksanakan pekerjaan bersama-sama” dan Royong berarti
“membagi hasil”. Secara abstrak, gotong royong itu sendiri adalah budaya bekerja
kolektif yang lebih bersifat kemanusiaan demi meraih kepentingan bersama
(Slamet, 1963: 45).

Secara implisit sikap gotong royong pun mempunyai implementasi dalam
wawasan nusantara bangsa Indonesia karena wawasan nusantara Indonesia terdiri
atas wujud tata laku yang bersifat batiniah dan lahiriah (Lemhanas, 1995: 39).
Dalam sistem ini, Abdurrahmat (2006: 72) menyatakan bahwa nilai budaya orang
Indonesia mengandung empat konsep, yaitu:
”1) Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh
komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Di
dalam sistem makrosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya
sebagai suatu unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses
peredaran alam semesta yang maha besar itu. 2) Dengan demikian,
dalam segala aspek kehidupannya manusia pada hakikatnya

2
Universitas Sumatera Utara

tergantung pada sesamanya, terdorong oleh jiwa rata sama rasa. 3)
Karena itu, ia harus berusaha untuk sedapat mungkin memelihara
hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata
sama rasa. 4) Selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat
conform, berbuat sama dan bersama dengan sesamanya dalam

komunitas, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah.”
Gotong royong akan membuat masyarakat semakin peka terhadap
berbagai permasalahan bersama, munculnya rasa tanggung jawab bersama, dan
timbulnya rasa empati baik antara masyarakat dengan pemerintah maupun antarmasyarakat itu sendiri. Solidaritas masyarakat semakin dibangun dengan adanya
kegiatan tersebut. Solidaritas yang muncul dalam setiap kelompok masyarakat
disebabkan adanya beberapa persamaan, seperti persamaan kebutuhan, keturunan
dan tempat tinggal. Oleh karena itu solidaritas menurut Doyle (1986: 181)
menunjuk pada suatu hubungan antara individu atau kelompok berdasarkan
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut dan diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama. Kegiatan gotong goyong telah dilakukan masyarakat
Indonesia turun temurun, budaya yang masih terjaga dan menjadi kearifan lokal
hingga pelosok nusantara.
Secara umum setiap kelompok masyarakat dan suku bangsa di Indonesia
telah mengenal budaya gotong royong, musyawarah dan mufakat. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya istilah dan jenis atau bentuk yang mengacu kepada
unsur tersebut. Pada masyarakat Bali, istilah gotong royong disebut juga dengan
kema atau seka yang terdiri dari karma desa, karma banjar, karma subak dan
setrusnya. Demikian dengan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang
disebut dengan istilah sambatan, bersih desa dan sebagainya (Kartodjiro, 1987;
Koentjaraningrat, 1987). Sambatan merupakan kegiatan tolong menolong dimana

3
Universitas Sumatera Utara

yang diminta adalah jiwa dan tenaganya untuk membantu orang yang meminta
bantuan secara sukarela. Tak hanya Bali dan Jawa saja, gotong royong diterapkan
pada masyarakat suku Karo yang dikenal dengan istilah aron. Menurut Teridah
Bangun (1986: 149) aron dipakai dalam suatu pola kerja sama, tolong menolong
pada masyarakat Batak Karo dalam menghadapi ancaman pihak lain atau dalam
mengerjakan sesuatu. Istilah aron berasal dari kata sisaron-saron (saling bantu)
yang diwujudkan dalam bentuk kerja orang-orang muda atau dewasa 6-9 orang.
Tidak hanya masyarakat pribumi saja yang menerapkan kearifan lokal
tersebut, masyarakat Tionghoa pun menerapkan kebiasaan gotong royong.
Masyarakat Tionghoa dikenal sebagai etnis yang mudah berasimilasi dengan
masyarakat lainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etnis
memiliki artian yang sama dengan etnik dan berikut pengertiannya dalam (KBBI),
“et·nik/étnik/ a Antra bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau
kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karna keturunan, adat,
agama, bahasa, dan sebagainya; etnis”.
Menurut Roland Barth (1988), “Istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok
tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi

dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya”. Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia yang
memiliki kesamaan adat, ras, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang
sama sehingga mereka memiliki ketertarikan sosial sehingga mampu menciptakan
sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya. Kebiasaan gotong royong
tersebut dilakukan dalam bermasyarkat, tidak hanya pada sesama masyarakat

4
Universitas Sumatera Utara

Tionghoa saja melainkan pada masyarakat pribumi. Disinilah kekuatan dari
gotong royong terbentuk, yaitu mengikat tali persatuan yang kokoh di antara
masyarakat dari berbagai suku bangsa dan golongan demi mencapai satu tujuan
yang sama.
Saat ini jumlah populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia sangatlah
tinggi. Jumlah populasi etnis Tionghoa di Indonesia menempati peringkat ke-tiga
terbesar setelah populasi etnis Jawa dan Sunda. Menurut sensus penduduk yang di
laksanakan pada tahun 2000, Jumlah masyarakat Tionghoa di Indonesia berjumlah
1.738.936 orang atau 0,86% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia yaitu
sebanyak 201.092.238 orang. Dinyatakan bahwa 26,45% dari jumlah seluruh

warga etnis Tionghoa di Indonesia menetap di Jakarta, yaitu berjumlah 460.002
orang (5.53% dari seluruh penduduk Jakarta) (Badan Pusat Statistik). Berdasarkan
jumlah yang tertera, penulis sangatlah tertarik untuk mengetahui lebih dalam lagi
mengenai budaya gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa,
khususnya di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia menambah keaneka
ragaman budaya di Indonesia. Barongsai, Festival Dewi Bulan, Tahun Baru
Imlek, Cap Go Meh, upacara adat kematian maupun kelahiran dan juga upacara
adat pernikahan merupakan sebagian budaya dan adat yang melekat pada
masyarakat Tionghoa tersebut. Penulis mengamati, terdapat rasa kebersamaan
yang tinggi untuk saling bahu membahu antar sesama masyarakat Tionghoa
maupun masyarakat pribumi untuk ikut andil dalam berbagai upacara yang
dilakukan. Hal tersebut menunjukan betapa tingginya sikap kepedulian antar

5
Universitas Sumatera Utara

sesama masyarakat tidak dibatasi oleh perbedaan suku, ras maupun agama demi
tercapainya kerukunan bersama. Secara tidak langsung, mereka telah menjadikan
budaya bergotong royong menjadi satu bagian dalam kegiatan yang mereka

lakukan.
Gotong royong dalam bahasa mandarin disebut 相互合作Xiānghù hézuò
yaitu bekerja sama. Kegiatan tersebut diyakini telah dilakukan oleh para nenek
moyang terdahulu demi terciptanya keharmonisan. Bangsa Tionghoa dikenal
sebagai bangsa yang kokoh dan tangguh, berbagai petuah para pendahulu yang
mengajarkan mengenai rasa tolong menolong akan memperkuat persaudaraan dan
kebersamaan, serta etos kerja yang sangat di junjung tinggi membuat bangsa
Tionghoa dikenal dengan baik. Gotong royong sendiri merupakan istilah asli
Indonesia. Hanya saja, masyarakat tionghoa di Indonesia telah mengalami
akulturasi sehingga istilah gotong royong menjadi kebiasaan bagi mereka yang
dalam melakukan kegiatan bahu membahu. Tidak ada istilah asli yang merujuk
gotong royong dalam budaya masyarakat Tionghoa.
Jika pada zaman dahulu, hidup bertetangga dengan rukun merupakan hal
yang harus dijalankan demi terciptanya lingkungan yang damai dan tentram. Hal
tersebut bukanlah proses yang mudah bagi sebuah keluarga untuk dapat berbaur
dengan masyarakat yang memiliki watak dan sifat yang berbeda-beda. Namun,
jika proses tersebut tercapai, maka masyarakat pun akan memberi kepercayaan
terhadap keluarga tersebut bahkan mereka tidak segan untuk ringan tangan
membantu keluarga tersebut. Dapat disimpulkan bahwa gotong royong terjadi
melalui proses pendekatan yang berlangsung di dalam masyarakat tersebut.


6
Universitas Sumatera Utara

Berbagai cara dilakukan agar budaya gotong royong tetap berlangsung.
tolong menolong, saling bertukar pikiran untuk mencapai tujuan bersama, serta
bahu membahu menyelesaikan suatu masalah merupakan beberapa upaya yang
dilakukan untuk memupuk rasa kebersamaan di antara masyarakat. Sama halnya
dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Tanjung Priok Jakarta Utara, dalam
kehidupan sehari-hari warga sekitar tidak segan untuk menjalin interaksi terhadap
etnis yang berbeda sehingga terjadi pembauran. Pembauran akan terjadi apabila
perorangan atau kelompok masyarakat saling bekerja sama dan gotong royong.
Sebagai contoh, budaya gotong royong yang dilakukan oleh warga yang tinggal di
daerah pemukiman Niur Melambai, Tanjung Priok. Setiap hari Minggu, warga
baik masyarakat Tionghoa maupun pribumi bekerja sama untuk membersihkan
lingkungan tempat tinggal mereka, dan juga ketika ada salah satu anggota
masyarakat yang meninggal dunia, mereka akan bahu membahu membantu
keluarga tersebut.
Beberapa contoh lainya adalah ketika diadakannya musyawarah mufakat
untuk memilih kepala lingkungan, masyarakat Tionghoa yang ada di lingkungan

tersebut ikut serta untuk memberikan pendapat dan masukan serta memilih secara
langsung calon kepala lingkungan tersebut. Hal tersebut menunjukan bahwa
masyarakat Tionghoa memiliki kepedulian terhadap lingkungan di sekitar tempat
tinggalnya. Masih banyak lagi kegiatan gotong royong yang dilakukan oleh
masyrakat Tionghoa yang tinggal di daerah Tanjung Priok dan sekitarnya. Penulis
memperhatikan bahwa masyarakat etnis Tionghoa dengan ringan tangan ikut serta

7
Universitas Sumatera Utara

dan membantu kegiatan yang berlangsung di daerah tersebut walaupun mereka
berasal dari suku bahkan golongan sosial yang berbeda.
Perubahan pun terjadi begitu cepat, dewasa ini, gaya hidup masyarakat
modern metropolis semakin terjebak dengan kepentingan materi dan gaya hidup
individualis. Kepedulian terhadap komunitas semakin berkurang, semangat
kebersamaan dan pentingnya sebuah solidaritas semakin menghilang. Budaya
gotong royong semakin tersapu oleh derasnya budaya modern. Padahal gotong
royonglah yang meringankan beban seseorang ketika memiliki masalah, yang
mendasari terjadinya perjuangan dan revolusi atas dasar persaudaraan, yang
menjadi pedoman bangsa bahwa harga kemanusiaan jauh lebih penting daripada

kepentingan materi.
Sebagai contoh, sebagian masyarakat Tionghoa akan cenderung memilih
untuk menyewa jasa seseorang dalam memudahkan pekerjaan yang sedang
mereka kerjakan dibandingkan dengan mengajak masyarakat sekitar untuk
mengambil bagian dalam membantu meringankan pekerjaan mereka. Hal ini
tejadi dikarenakan semakin berkurangnya rasa kebersamaan untuk saling
membantu dan meminta bantuan secara sukarela. bahkan sebagian masyarakat
Tionghoa belakangan ini lebih menginginkan pekerjaan yang lebih instan dan
cepat serta tidak bertele-tele.
Gaya hidup di ibukota mempengaruhi bagaimana kebiasaan-kebiasaan
yang telah mendarah daging perlahan-lahan memudar. Sikap individualis serta
sikap acuh terhadap lingkungan sekitar telah merubah pandangan masyarakat
Tionghoa akan pentingnya gotong royong. Kebiasaan baik seperti bahu membahu

8
Universitas Sumatera Utara

membersihkan lingkungan sekitar, membantu mempersiapkan upacara-upacara
tertentu, serta mengadakan musyawarah mufakat bersama sudah jarang dilakukan.
Gotong royong akan memudar apabila rasa kebersamaan mulai menurun.

Perkembangan teknologi, latar belakang sosial, dan sikap apatis dari setiap
individu merupakan beberapa faktor yang menyebabkan budaya gotong royong
tersebut perlahan menghilang. Sebagai contoh, pada tahun 2014 saat peneliti
kembali ke daerah Jakarta Utara dan memprhatikan terdapat beberapa perubahan
kebiasaan pada masyarakat Tionghoa yang bermukim di daerah Tanjung Priok.
Terlihat ada beberapa kalangan masyarakat yang telah meninggalkan kebiasaan
bergotong royong seperti halnya saling membantu antar sesama masyarakat untuk
membersihkan lingkungan serta semakin berkurangnya masyarakat tionghoa yang
secara sukarela mengikut sertakan diri pada pertemuan musyawarah mufakat yang
diadakan pada lingkungan tempat tinggal mereka. Fakta yang terjadi di lapangan
tersebut sebagian besar disebabkan oleh perubahan pola pikir dan kebiasaan yang
di alami oleh warga Tionghoa di sekitar lingkungan tersebut. Memudarnya
kebiasaan baik masyarakat untuk bergotong royong membuat penulis prihatin dan
ingin mengetahui apakah hingga saat ini, warga Tionghoa masih mengambil
bagian dalam kegiatan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengambil
penulisan Tugas Akhir dengan judul “Budaya Gotong Royong Pada
Masyarakat Tionghoa di Tanjung Priok Jakarta Utara”.

9
Universitas Sumatera Utara

1.1

Batasan Masalah
Terkait dengan judul penelitian ini yaitu “Budaya Gotong Royong Pada

Masyarakat Tionghao di Tanjung Priok Jakarta Utara” maka penulis membatasi
permasalahan pada bentuk gotong royong yang dilakukan masyarakat etnis
Tionghoa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, adapun yang
menjadi perumusan masalah pada penelitian ini antara lain ialah bagaimana
bentuk budaya gotong royong yang diterapkan masyarakat Tionghoa di Tanjung
Priok Jakarta Utara?

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai peneliti. Suatu penelitian pasti
memiliki alasan dan tujuan mengapa suatu penelitian itu dilakukan. Oleh karena
itu suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas. Adapun tujuan dilakukan
penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk budaya gotong royong yang di
terapkan pada masyarakat Tionghoa di Tanjung Priok Jakarta Utara.

1.4 Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan yang ingin
dicapai, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

10
Universitas Sumatera Utara

1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya penelitian
tentang budaya gotong royong pada masyarakat Tionghoa pada umumnya dengan
metode kualitatif, dan berguna untuk penelitian selanjutnya. Peneliti juga berharap
melalui penelitian ini, akan ada penelitian-penelitian selanjutnya yang bermanfaat
untuk mempertahankan dan juga menghidupkan kembali kearifan lokal yang telah
memudar di sebagian kalangan masyarakat Indonesia khususnya budaya gotong
royong, serta menanamkan kembali akan pentingnya rasa persatuan yang tinggi
antar semua golongan masyarakat. Peneliti sangat berharap agar penelitian ini
dikembangkan oleh peneliti selanjutnya dalam bidang apapun sebagai upaya
untuk tetap membangun dan melestarikan budaya yang telah menjadi akar
persatuan yang kokoh bagi seluruh masyarakat Indonesia demi mencapai apa yang
telah tertulis pada sila ke tiga Pancasila yaitu persatuan Indonesia.

1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Untuk memperkaya pemahaman tentang gotong royong.
2. Sebagai acuan bagi masyarakat Tionghoa mengenai pentingnya budaya
gotong royong.
3. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi penulis dan masyarakat untuk
mempertahankan budaya gotong royong dalam upaya pelestarian budaya.
4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang tertarik pada hal yang sama
yaitu budaya gotong royong.

11
Universitas Sumatera Utara