Hubungan Hitung Sel CD4+ Dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus

21

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Infeksi HIV

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus golongan Ribonucleic acid
(RNA) yang spesifik menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan menyebabkan
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV merupakan bagian dan genus
lentivirus, famili retroviridae. Infeksi HIV dapat berkembang menjadi AIDS yaitu
penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat
infeksi HIV dengan manifestasi munculnya berbagai penyakit infeksi oportunistik,
keganasan, gangguan metabolisme dan lainnya. Manifestasi klinis infeksi HIV pada
anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS.5,6
2.2

Struktur HIV

HIV merupakan virus RNA berbentuk sferis dengan diameter 100 nm, terdiri dari

bagian inti (core) berbentuk silindris dan dikelilingi oleh selubung (envelope)
sehingga virus ini peka terhadap inaktivasi. Inti virus terdiri dari untaian RNA,
protein struktural dengan protein utama p7 dan p9, serta enzim-enzim reverse
transcriptase, integrase dan protease yang diperlukan pada proses replikasi virus.5,7
Selubung virus tersusun oleh lapisan lipid bilayer dengan adanya 70 – 80 buah
tonjolan (knoblike projection) yang tertanam pada permukaan selubung lipid dengan
dua macam glikoprotein yaitu gp 120 dan gp 41. Gp 120 berperan pada pengikatan
HIV dengan sel yang mempunyai reseptor CD4+ sedangkan gp 41 bertanggung
jawab terhadap fusi antara virus dengan membran sel tubuh ketika virus akan
memasuki sel tubuh. Struktur RNA genom sepanjang 10 kilo pasang basa meliputi 3
gen utama yang mengkode pembentukan struktur-struktur virus, yaitu gen gag (group
associated antigen) yang mengkode pembentukan protein, gen pol (polymerase) yang
mengatur

pembentukan

enzim-enzim

reverse


transcriptase,

protease

dan

endonuklease serta gen env (envelope) yang mengatur pembentukan glikoprotein

Universitas Sumatera Utara

22

envelop. Selain itu pada HIV-1 masih ada 6 gen tambahan, 3 di antaranya adalah gen
tat (transactivation of transcription), rev (regulator of expression of virion), dan nef
(negative regulatory factor). Struktur polipeptida utama dari inti adalah p24,
polipeptida lain yang terdapat sekeliling inti adalah p17, sedangkan polipeptida yang
membentuk kompleks dengan RNA virus adalah p15. Polipeptida-polipeptida serta
glikoprotein di atas bersifat antigenik sehingga di dalam serum penderita yang
terinfeksi HIV akan terbentuk antobodi terhadap antigen-antigen tersebut.7,8


Gambar 2.2.2 Struktur HIV
2.3

Prevalensi HIV

Saat ini diseluruh dunia terdapat setiap harinya sekitar 2000 anak-anak dibawah usia
15 tahun terinfeksi HIV akibat penularan ibu ke bayinya, dan sekitar 1400 anak-anak
usia dibawah 15 tahun meninggal akibat AIDS. Negara Sub-Sahara Afrika
merupakan negara penyumbang infeksi HIV terbesar di dunia, sedangkan Indonesia
termasuk negara dengan perkembangan epidemi HIV tercepat di Asia.1,8
Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia sampai dengan
Desember 2013, jumlah penderita AIDS di Indonesia berdasarkan usia yaitu kurang
dari 1 tahun (234 orang), 1 sampai dengan 4 tahun (921 orang), 5 sampai dengan 14

Universitas Sumatera Utara

23

tahun (418 orang), dan 15 sampai dengan 19 tahun (1710 orang). Propinsi Sumatera
Utara menduduki peringkat ke 20 dari 33 propinsi di Indonesia dengan jumlah

penderita HIV/AIDS terbanyak, dengan jumlah kumulatif penderita HIV 7967 orang
dan penderita AIDS 1301 orang.9,10
2.4.

Penularan HIV
Infeksi HIV pada anak dan bayi sebagian besar terjadi akibat transmisi

vertikal dari ibu ke anak (lebih dari 80%), hanya sekitar 10% yang terjadi karena
proses transfusi.11-13 Transmisi dapat terjadi saat kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan. Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis
sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. Diagnosis HIV pada anak didasarkan
pada adanya anamnesis pajanan HIV, gejala klinis yang mencurigakan, dan
dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium penunjang.14-15
Beberapa faktor risiko yang juga mempengaruhi transmisi vertikal adalah
kelahiran prematur (usia gestasi 35 %)

> 30

> 25


> 500

Ringan

30 – 35

25 – 30

20 – 25

350 – 499

Sedang

25 – 30

20 – 25

15 – 20


200 – 349

< 25

< 20

< 15

< 200 atau

Berat

< 15%
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah CD4+ antara lain 27-30 :
1.

Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi
terutama terkait pada waktu memulai terapi yang sangat berkorelasi dengan
respon CD4+. Jumlah CD4+ dan hitung limfosit total pada bayi sehat jauh lebih

tinggi dibandingkan dengan orang dewasa, dan nilainya menurun sampai
mencapai nilai orang dewasa pada usia 6 tahun.

2.

Jenis kelamin
Pria dan wanita telah diketahui merespon suatu penyakit secara berbeda-beda,
namun sampai saat ini kontribusi relatif dari hormon seks belum jelas diketahui.

Universitas Sumatera Utara

35

Jumlah CD4+ lebih tinggi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki,
dipengaruhi oleh perbedaan faktor genetik intrinsik antara perempuan dan lakilaki yang terlepas dari kadar hormon seks steroid.
3.

Viral load plasma
Viral load plasma merupakan suatu indikator langsung dari keseluruhan jumlah
sel yang diproduksi oleh virus pada seseorang yang terinfeksi HIV.Terdapat

hubungan antara viral load dengan jumlah CD4+, jika viral load meningkat maka
jumlah CD4+ akan turun sehingga mempermudah untuk terjadinya infeksi
oportunistik. Penelitian menyatakan didapatkan hubungan yang kuat antara viral
load dengan kecepatan penurunan jumlah CD4+.

4.

Stadium klinis
Stadium klinis merupakan derajat keparahan suatu penyakit. Berdasarkan
stadium HIV/AIDS pada anak yang diklasifikasikan menurut penyakit yang
secara klinis berhubungan dengan HIV, masing-masing stadium memiliki infeksi
tertentu yang mengindikasikan seorang pasien anak HIV/AIDS berada pada
stadium tersebut. Semakin berat manifestasi klinis maka semakin tinggi stadium
klinis pasien. Stadium klinis secara tidak langsung mempengaruhi jumlah CD4+
yaitu dengan mengganggu asupan nutrisi sehingga anak jatuh pada kondisi status
gizi yang buruk dikarenakan adanya infeksi oportunistik.

5.

Asupan nutrisi

Infeksi HIV akan mempengaruhi status nutrisi baik makronutrien maupun
mikronutrien serta sistem imun pasien HIV/AIDS. Perubahan status nutrisi
tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain yaitu anoreksia,
hipermetabolik, hiperkatabolik, infeksi kronis, depresi, efek samping obat,
radiasi, dan kemoterapi. Pasien HIV anak dengan status gizi buruk memiliki
persentase jumlah CD4+ yang rendah dan keadaan tersebut berkaitan dengan
angka mortalitas yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

36

6.

Kepatuhan minum obat dan lama terapi ARV
Sel CD4+ merupakan target utama infeksi HIV dan deplesi sel CD4+ merupakan
petanda progresi infeksi HIV maka pengukuran jumlah CD4+ merupakan
petanda progresi penyakit yang sangat baik. Penelitian perjalanan penyakit
infeksi HIV menunjukan bahwa jumlah sel CD4+ merupakan prediktor
timbulnya AIDS. Selain itu, jumlah sel CD4+ sering kali meningkat sebagai

respon terapi AR.Apabila pasien tidak patuh terhadap pengobatannya, virus
secara cepat menghilangkan kerentanan terhadap kombinasi obat tersebut. Selain
itu akan menyebabkan penurunan viral load yang lambat sehingga terjadi viremia
berkepanjangan. Adanya viremia berkepanjangan yang terpapar ARV akan
menghasilkan suatu resistensi obat yang dapat membatasi keberhasilan terapi.
Resistensi akan obat dapat terjadi karena mutasi dari struktur genetik HIV yang
berbentuk RNA, satu untai protein yang digunakan virus saat menginjeksi sel dan
memproduksi virus baru. Peningkatan yang cepat pada jumlah CD4+ selama
beberapa minggu pertama setelah memulai terapi ARV merupakan akibat dari
redistribusi sel dari sistem lymphoreticular.

2.9

Patogenesis supresi imunitas penderita HIV

Partikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi menyebar melalui
sejumlah cara. Cara yang paling umum adalah transmisi seksual melalui mukosa
genital. Keberhasilan transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada viral load
individu yang terinfeksi.31,32
Viral load ialah jumlah copy RNA per mililiter serum atau plasma penderita.

Apabila virus ditularkan pada tubuh yang belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia
transien dengan kadar yang tinggi, virus menyebar luas dalam tubuh tubuh.
Sementara sel yang akan terinfeksi untuk pertama kalinya tergantung pada bagian
mana yang terlebih dahulu dikenai oleh virus, bisa CD4 sel T dan manosit di dalam
darah atau CD4 sel T dan makrofag pada jaringan mukosa.33, 34

Universitas Sumatera Utara

37

Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada
limfosit-T CD4 atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus
ditransmisikan secara seksual melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target
selular pertama virus adalah sel dendrit jaringan (dikenal juga sebagai sel
Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal, dan selanjutnya akan bergerak
dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Sel dendritik kemudian berdifusi
dengan limfosit CD4 yang akan bermigrasi kedalam nodus limfatikus melalui
jaringan limfatik sekitarnya.32,35
Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini mencapai nodus limfatikus
regional, maka virus akan menyebar secara hematogen dan tinggal pada berbagai
kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus maupun ekuivalennya (seperti plak Peyeri
pada usus) pada akhirnya akan mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung
mencapai aliran darah dan tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus HIV
bereproduksi dalam nodus limfatikus dan kemudian virus baru akan dilepaskan.
Sebagian virus baru ini dapat berikatan dengan limfosit CD4 yang berdekatan dan
menginfeksinya, sedangkan sebagian lainnya dapat berikatan dengan sel dendrit
folikuler dalam nodus limfatikus.33.36
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal
infeksi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu hingga
tiga bulan setelah infeksi, terjadi respons imun selular spesifik HIV. Respons ini
dihubungkan dengan penurunan kadar viremia plasma yang signifikan dan juga
berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV akut. Selama tahap awal, replikasi virus
sebagian dihambat oleh respons imun spesifik HIV ini, namun tidak pernah terhenti
sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai kompartemen jaringan, terutama
jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap HIV dan mikroba
lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi AIDS. Sementara
itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang berikatan dengan lektin

Universitas Sumatera Utara

38

yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel dendrit juga berperan
dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan limfoid sel dendrit akan
melepaskan HIV ke CD4 sel T melalui kontak langsung sel ke sel. Dalam beberapa
hari setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak sekali replikasi sehingga dapat
dideteksi pada nodul limfatik. Replikasi tersebut akan mengakibatkan viremia
sehingga dapat ditemui sejumlah besar partikel virus HIV dalam darah
penderita.31,35,36
Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom HIV akut dengan berbagai macam
gejala klinis baik asimtomatis maupun simtomatis. Viremia akan menyebabkan
penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menyebabkan infeksi sel T-helper, makrofag,
dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Infeksi ini akan menyebabkan penurunan
jumlah sel CD4 yang disebabkan oleh efek sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah
sel T yang hilang selama perjalanan dari mulai infeksi hingga AIDS jauh lebih besar
dibanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga akibat sel T yang diinfeksi kronik
diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan apoptosis. Sel dendritik yang terinfeksi
juga akan mati. Penderita yang telah terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode
asimtomatik yang dikenal sebagai periode laten. Selama periode laten tersebut virus
yang dihasilkan sedikit dan umumnya sel T darah perifer tidak mengandung virus,
tetapi kerusakan CD4 sel T di dalam jaringan limfoid terus berlangsung selama
periode laten dan jumlah CD4 sel T tersebut terus menurun di dalam sirkulasi
darah.32,34
Pada awal perjalanan penyakit, tubuh dapat cepatmenghasilkan CD4 sel T
baru untuk menggantikan CD4 sel T yang rusak. Tetapi pada tahap ini, lebih dari
10% CD4 sel T di organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan lamanya perjalanan
penyakit, siklus infeksi virus terus berlanjut yang menyebabkan kematian sel T dan
penurunan jumlah CD4 sel T di jaringan limfoid dan sirkulasi. Selama fase lanjutan
infeksi HIV ini penderita akan rentan terhadap infeksi lain dan respons imun terhadap

Universitas Sumatera Utara

39

infeksi ini akan merangsang produksi virus HIV dan kerusakan jaringan limfoid
semakin menyebar. Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang
mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah mengenai
seluruh jaringan limfoid di dalam tubuh penderita dan jumlah CD4 sel T dalam darah
turun di bawah nilai normal 1.500 sel/mm.33,35 Penderita AIDS dapat mengalami
berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan, cachexia (HIV wasting syndrome),
gagal ginjal (HIV nefropati), infeksi pada pulminal dan degenerasi susunan saraf
pusat (AIDS berkaitan ensefalopati). Oleh karena CD4 sel T sangat penting dalam
respons imun selular dan humoral pada berbagai macam mikroba, maka kehilangan
sel limfosit ini merupakan alasan utama mengapa penderita AIDS sangat rentan
terhadap berbagai macam jenis infeksi termasuk infeksi pada sistem pulmonal.34
Manifestasi klinis HIV pada sistem saluran pernafasan secara garis besar
dapat

dibagi

menurut

penyebabnya

menjadi

infeksi,

non

infeksi

dan

malignansi.Penyakit infeksi yang tersering diantaranya adalah pneumoni bakterialis,
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan tuberkulosis.Penyakit non infeksi adalah
Lymphoid interstitial pneumonia (LIP), bronkiektasis, dan penyakit alveolar difus.
Malignansi yang jarang ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, diantaranya adalah
Limfoma non-Hodgkin, atau Sarcoma Kaposi.37-39
2.10

Tata laksana infeksi HIV

Kombinasi Trimetropin-sulfametoxazole (TMP-SMX) merupakan pilihan pertama
dalam pengobatan PCP. Dosis kotrimoksazol yang digunakan untuk terapi adalah
dosis TMP 15 sampai dengan 20 mg/kg/hari dengan maksimum 320 mg/hari
diberikan selama 21 hari untuk mencegah seringnya kekambuhan klinis maupun
histologis. Terdapat rekomendasi WHO untuk pemberian profilaksis kotrimoksazol
pada semua anak terinfeksi HIV usia kurang dari 12 bulan tanpa melihat kadar CD4,
anak usia lebih dari 12 bulan dengan stadium klinis WHO 2, 3 dan 4, atau kadar CD4

Universitas Sumatera Utara

40

< 15% (usai 1 sampai dengan 5 tahun), dan CD4 < 350 sel/mm3 (usia lebih dari 5
tahun). Dosis yang diberikan berupa dosis TMP 5mg/kg/hari sekali sehari.40,41
Studi uji klinis acak yang dilakukan pada anak dengan HIV di Afrika
menunjukkan hasil bahwa pemberian profilaksis jangka panjang bersifat aman, dan
memberikan angka rawatan di rumah sakit serta kejadian infeksi yang lebih sedikit
dibandingkan

penderita

HIV

yang

tidak

melanjutkan

profilaksis

kotrimoksazol.42(level of evidence 1b).
Studi di Uganda mendapatkan bahwa pemberian profilaksis kotrimoksazol
berhubungan dengan penurunan morbiditas, mortalitas dan efek yang menguntungkan
pada kadar CD4 dan viral load dalam darah.43 (level of evidence 2b)
Tata laksana infeksi HIV bersifat komprehensif, meliputi pemantauan tumbuh
kembang, nutrisi, imunisasi, medikamentosa, dan psikososial.Pemantauan berkala
tumbuh kembang merupakan bagian penting dalam tatalaksana infeksi HIV pada
anak. Pada suatu penelitian dilaporkan bahwa anak yang menderita infeksi HIV dan
anak yang tidak terinfeksi HIV tapi dengan ibu HIV simtomatis akan mengalami
keterlambatan dalam tumbuh kembang.44,45
Pengobatan medikamentosa mencakup pemberian obat-obatan ARV dan
pengobatan infeksi oportunistik. Pertimbangan untuk memulai pemberian ARV
adalah berdasarkan stadium klinis, usia, persentase dan hitung CD4 serta gejala
klinis. Anak yang berusia lebih dari 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif dan
dalam kondisi klinis yang berat atau CD4 kurang dari 25% sebaiknya mendapat
ARV.46,47
Prinsip dasar dalam pemberian ARV adalah bahwa ARV sampai saat ini
bukan untuk menyembuhkan, namun untuk perbaikan kualitas hidup penderita.
Tujuan pengobatan yang ingin dicapai adalah memperpanjang usia hidup anak yang
terinfeksi, mencapai tumbuh dan kembang yang optimal, menguatkan dan
memperbaiki sistem imun dan mengurangi infeksi oportunistik, menekan replikasi

Universitas Sumatera Utara

41

virus HIV dan mencegah progresifitas penyakit, mengurangi morbiditas anak-anak
dan meningkatkan kualitas hidup.10,48
Obat ARV terdiri dari 5 jenis berdasarkan tempat kerjanya yaitu Nucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI), Non-nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NNRTI), Protease Inhibitor (PI), fusion inhibitor dan antiintegrase.
Kombinasi NRTI dan NNRTI dan PI dikenal sebagai Highly Active Antiretroviral
Therapy (HAART). Studi kohort tahun 2010 menyebutkan dalam 4 bulan
penggunaan HAART menunjukkan mortalitas yang tinggi,dan anak-anak yang
selamat pada periode ini memiliki kemungkinan yang kecil untuk meninggal dalam 2
tahun berikutnya.Rejimen lini pertama adalah dua NRTI ditambah satu NNRTI.
Rejimen lini kedua yang direkomendasikan WHO adalah satu golongan PI ditambah
dua NRTI. Golongan PI yang dipilih yaitu lopanavir atau ritonavir. Jika NRTI yang
digunakan pada rejimen lini pertama adalah zidovudin atau stavudin dan lamivudin
maka pilihan lini kedua adalah abacavir dan lamivudin.49-51
Pemantauan efek samping ARV yang perlu dilakukan meliputi lipodistrofi,
neuropati perifer (stavudin), gejala gastrointestinal, anemia, neutropenia (zidovudin)
dan reaksi alergi serta hepatotoksisitas (nevirapin).52
2.11

Prognosis HIV

Prognosis anak penderita HIV berbeda sesuai usia saat, stadium klinis dan terutama
persentase nilai CD4 yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV. Studi kohort selama 5
tahun di Thailand melaporkan angka harapan hidup 5 tahun pada anak penderita HIV
yang mendapat ARV pertama kali saat usia dibawah 1 tahun sebesar 76.7%, dan pada
anak usia diatas 1 tahun sebesar 94.8%. selain itu, persentase CD4 dan malnutrisi
berat berhubungan kuat dengan angka mortalitas yang tinggi pada anak usia lebih tua,
namun tidak pada bayi.52 (level of evidence 1b) Studi di Afrika Selatan mendapatkan
beberapa faktor risiko seperti usia saat inisiasi ARV adalah < 3 tahun, CD4