PROPOSAL SKRIPSI OJK PENGELOLA STATUTER

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM

USULAN PENELITIAN UNTUK PENULISAN HUKUM :
ANALISIS YURIDIS PENETAPAN PENGELOLA STATUTER BAGI
PERUSAHAAN ASURANSI OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN

Diajukan Oleh

Nama

:

Rizki Binarwati

NIM

:

14/362990/HK/19924


Departemen

:

Hukum Dagang
YOGYAKARTA
2017

HALAMAN PERSETUJUAN

Usulan penelitian untuk penelitian hukum ini telah disetujui oleh Dosen
Pembimbing, pada hari ………… tanggal ………………………

Penyusun

Rizki Binarwati
No. Mahasiswa : ..............................

Menyetujui


Dosen Pembimbing

Laurensia Andrini S.H., LL.M.
NIP : ....................................

A.

Latar Belakang

Asuransi telah menjadi suatu kegiatan usaha yang berkembang dengan pesat
karena dirasakan banyak memberikan manfaat bagi dunia usaha dan masyarakat.
Manfaat yang paling utama adalah berupa rasa nyaman karena aset yang dianggap
berharga telah ditanggung atau dijamin kerugiannya jika sesuatu risiko
menimpanya. Aset yang berharga seperti sumber daya manusia, kesehatan, rumah,
motor, mobil, kapal, pesawat, pabrik, mesin, gedung, kontrak bisnis, dan lain
sebagainya seringkali tidak mudah untuk diperoleh atau dipertahankan. 1Asuransi
adalah perjanjian antar dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis,
yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai
imbalan untuk:

1) Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan,
atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang
tidak pasti; atau
2) Memberikan pembayaran

yang

didasarkan

pada

meninggalnya

tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya
tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau
didasarkan pada hasil pengelolaan dana.2
Dewasa ini semakin bertambah jumlah jenis-jenis asuransi yang
ditawarkan oleh perusahaan asuransi di Indonesia diantaranya adalah :3

a) Asuransi Jiwa
b) Asuransi Kesehatan
c) Asuransi Kendaraan
d) Asuransi kepemilikan Rumah Dan Properti
e) Asuransi Pendidikan
1 Kornelius Simanjuntak, Brian Amy Prasetyo, 2011, Hukum Asuransi, Depok, Djokosoetono
Research Center Fakultas Hukum Indonesia, Hlm. 8.
2 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5618).
3 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lemabaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5253).

f) Asuransi Bisnis
g) Asuransi Umum
h) Asuransi Kredit
i) Asuransi Kelautan
j) Asuransi Perjalanan.
Selain sebagai jaminan untuk hari tua asuransi juga merupakan salah satu

cara masyarakat masa kini untuk berinvestasi dengan resiko yang dianggap
tidak telalu besar. Hal ini melahirkan situasi persainagn usaha yang keras,
sehingga ada kekhawatiran bahwa para pelaku usaha akan “menghalalkan
segala cara” untuk mengalahkan kompetitornya. 4 Kemunculan berbagi jenis
asuransi ini adalah salah satu cara dari perusahaan asuransi untuk menggaet
nasabah untuk menggunakan produk asuransinya. Semakin banyak nasabah
atau konsumen yang menggunakan produk asuransi atau yang biasa disebut
pemegang polis dalam dunia perasuransian maka disitu pula akan semakin
banyak masyarakat atau konsumen yang akan merugi apabila perusahaan
asuransi tempat ia membayar premi mengalami kegagalan atau bahkan sampai
pailit.
Pihak yang bertugas untuk melindungi konsumen dalam sektor jasa
keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan dijelaskan lebih lanjut mengenai Perlindungan Konsumen di
sektor jasa keuangan bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan
Konsumen yang andal, meningkatkan pemberdayaan Konsumen, dan
menumbuhkan kesadaran Pelaku Usaha Jasa Keuangan mengenai pentingnya
perlindungan Konsumen sehingga mampu meningkatkan kepercayaan
masyarakat pada sektor jasa keuangan.5
Hasil nyata yang diharapkan antara lain Pelaku Usaha Jasa Keuangan

memperhatikan aspek kewajaran dalam menetapkan biaya atau harga produk
dan/atau layanan, fee-based pricing minimum yang tidak merugikan
Konsumen, serta kesesuaian produk dan/atau layanan yang ditawarkan dengan
kebutuhan dan kemampuan Konsumen. Penerapan market conduct diterapkan
4 Kornelius Simanjuntak, Brian Amy Prasetyo, 2011, Hukum Asuransi, Depok, Djokosoetono Research
Center Fakultas Hukum Indonesia, Hlm. 10.

5 Penjelasan POJK NO1 POJK.07/2013 romawi 1ALINEA 2

secara seimbang antara menumbuhkembangkan sektor jasa keuangan dengan
pemenuhan hak dan kewajiban Konsumen untuk meningkatkan kepercayaan
Konsumen. Market Conduct adalah perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan
dalam mendesain, menyusun dan menyampaikan informasi, menawarkan,
membuat perjanjian, atas produk dan/atau layanan serta penyelesaian sengketa
dan penanganan pengaduan. Sehubungan dengan itu, upaya perlindungan
Konsumen dan/atau masyarakat diarahkan untuk mencapai dua tujuan utama.
Pertama, meningkatkan kepercayaan dari investor dan Konsumen dalam setiap
aktivitas dan kegiatan usaha di sektor jasa keuangan (Market Confidence); dan
Kedua, memberikan peluang dan kesempatan untuk perkembangan bagi
Pelaku Usaha Jasa Keuangan secara adil, efisien dan transparan dan di sisi lain

Konsumen memiliki pemahaman hak dan kewajiban dalam berhubungan
dengan Pelaku Usaha Jasa Keuangan mengenai karakteristik, layanan, dan
produk (Level Playing Field). Dalam jangka panjang, industri keuangan
sendiri juga akan mendapat manfaat yang positif untuk memacu peningkatan
efisiensi sebagai respon dari tuntutan pelayanan yang lebih prima terhadap
pelayanan jasa keuangan.6
Untuk mencapai tujuan itu, Otoritas Jasa Keuangan memliki kewenangan
yang luas, yaitu :
a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan;
b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh
Kepala Eksekutif;
c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku,
dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau
pihak tertentu;
e. melakukan penunjukan pengelola statuter;
6 Penjelasan POJK NO1 POJK.07/2013 romawi 1 ALINEA 4


f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan; dan
h. memberikan dan/atau mencabut:
1) izin usaha;
2) izin orang perseorangan;
3) efektifnya pernyataan pendaftaran;
4) surat tanda terdaftar;
5) persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6) pengesahan;
7) persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8) penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.7
Salah satu kewenangan dari Otoritas Jasa Keuangan yang ada dalam pasal 9
huruf e dan f yaitu melakukan penunjukan dan menetapkan penggunaan pengelola
statuter. Pengelola Statuter adalah Pihak yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa
Keuangan untuk mengambil alih kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan

Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.8
Pengelola statuter disini menggantikan kepengurusan yang dilakukan oleh Direksi
dan Dewan Komisaris yang mana ketika Pengelola Statuter masuk dan mengambil
alih kepengurusan maka Dewan Komisaris dan Direksi akan ex-officio menjadi
non aktif atau tidak dapat lagi melakukan tindakan selaku jabatannya tersebut.9
7 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lemabaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5253).
8 Pasal 1 angka 33 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5618).
9 Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aturan mengenai Perusahaan sendiri di Indonesia diatur dalam UndangUndang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas di dalam pasal 94 dan
111 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa pengangkatan Anggota Direksi
dan juga Anggota Dewan Komisaris adalah kewenangan RUPS yang mana
dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal 94 tersebut ditulis bahwa
Kewenangan RUPS tidak dapat dilimpahkan kepada organ Perseroan lainnya atau
pihak lain. Oleh karena itu menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas Otoritas

Jasa Keuangan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penetapan Pengelola
Statuter yang mana Pengelola Statuter ini menggantikan posisi Direksi dan juga
Dewan Komisaris suatu Perusahaan Asuransi.
Oleh karena itu peneliti akan mengangkat tema mengenai Penetapan
Pengelola Statuter oleh Otoritas Jasa Keuangan bagi Perusahaan Asuransi yang
mana penulis anggap perlu dilakukan untuk memperoleh kejalasan dikarenakan di
dalam norma masih terdapat pertentangan antara Undang-Undang tentang Otoritas
Jasa Keuangan dan Undang-Undang Perseroan Terbatas mengenai penetapan
pengelola statuter
B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, terdapat dua
permasalahan yang dapat dirumuskan yaitu:
a. Bagaimana urgensi pemberian kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan Penetapan Pengelola Statuter bagi Perusahaan Asuransi ?
b. Bagaimana Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan Pengelola Statuter
bagi Perusahaan Asuransi ?

C.


Tujuan Penelitian
1. Tujuan Subjektif

Indonesia Nomor 5618).

Penelitian dan penulisan ini bertujuan untuk memenuhi Mata Kuliah
Penulisan Hukum atau Tugas Akhir Kuliah S-1 dari Penulis di Fakultas
Hukum, Universitas Gadjah Mada.
2. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui alasan atau urgensi pemberian kewenangan
Otoritas Jasa Keuangan untuk menetapkan Pengelola Statuter bagi
Perusahaan Asuransi.
b. Untuk mengetahui bagaimana praktik pelaksanaan Penetapan
Pengelola Statuter dapat terjadi dalam Perusahaan Asuransi
sekaligus mencari tahu apa hambatan dan kendala yang dialami oleh
Otoritas Jasa Keuangan dalam melaksanakan Penetapan Pengelola
Statuter bagi Perusahaan Asuransi.
D. Keaslian Penelitiaan
Sepanjang penelusuran yang dilakukan oleh peneliti, setidaknya peneliti
menemukan 2 (dua) karya tulis yang tema bahasannya hampir sama dengan tema
yang peneliti angkat. Adapun judul dari Penelitian tersebut adalah :

1.

Tinjauan Yurisdis Penjaminan Dana Nasabah Di Perusahaan Asuransi
Berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
diajukan

oleh

Abraham

Linggi

Tolla

pada

tahun

2015.

Penulisan hukum yang dilakukan oleh Abraham berfokus pada
bentuk perlindungan nasabah Perusahaan Asuransi dan untuk mengetahui
faktor-faktor penghambat dan solusi terkait dengan implementasi
penjaminan dana nasabah di Perusahaan Asuransi berdasarkan UndangUndang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian penulisan ini berbeda
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti karena fokus pada
penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah mengenai penetapan
pengelola statuter bagi Perusahaan asuransi sama – sama berawal dari
perlindungan konsumen yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan
namun berbeda pada fokus penelitiannya.
2. Fungsi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Industri Jasa
Keuangan Di Indonesia Berdasar Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan Diajukan Oleh Afif Amrullah pada tahun
2014.
Penelitian dan penulisan hukum yang dilakukan oleh Afif
membahas mengenai fungsi Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan
pengawasan terhadap industri Jasa Keuangan yang ada di Indonesia secara
umum karena memang slah satu fungsi utama dari Otoritas Jasa Keuangan
adalah untk mengawasi Lembaga Jasa Keuangan yang ada di Indonesia hal
ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh Peneliti karena
fokus pada penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah mengenai
penetapan pengelola statuter bagi Perusahaan asuransi dan lebih lanjut
mengenai apa kendala yang dihadapi oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam
menetapkan Pengelola Statuter.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk kepentingan
akademis maupun kepentingan praktis, yaitu :

1. Manfaat Akademis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan kontribusi
yang berguna mengenai perlindungan konsumen yang diberikan oleh
Otoritas Jasa Keuangan dengan cara penetapan Pengelola Statuter bagi
Lembaga Jasa Keuangan khususnya perusahaan asuransi dan dapat
berguna untuk perkembangan ilmu hukum khususnya Hukum Dagang.

2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berharga
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penetuan kebijakan mengenai
penyelamatan perusahaan melalui Pengelola Statuter khususnya terhadap
pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan pengaturan bagi
Lembaga Jasa Keuangan agar kedepannya konsumen yang menggunakan
jasa keuangan dapat dengan aman dan tenang berinvestasi dan berkegiatan
di dalam Lembaga Jasa Keuangan.

F. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum Tentang Pengelola Statuter
a. Pengertian
Pengelola Statuter adalah Pihak yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa
Keuangan untuk mengambil alih kepengurusan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah. 10
Yang dimaksud dengan “pengelola statuter” adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang ditetapkan OJK untuk melaksanakan
kewenangan OJK. Pengelola statuter melaksanakan kewenangan OJK,
10 Pasal 1 angka 33 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5618).

antara lain, untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan, mencegah dan mengurangi kerugian Konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan, dan/atau pemberantasan kejahatan
keuangan yang dilakukan pihak tertentu di sektor jasa keuangan. Langkah
yang dilakukan pengelola statuter antara lain melalui penyelamatan
kelangsungan usaha Lembaga Jasa Keuangan tertentu, pengambilalihan
seluruh wewenang dan fungsi manajemen Lembaga Jasa Keuangan oleh
pengelola statuter, pembatalan atau pengakhiran perjanjian, serta
pengalihan portofolio kekayaan atau usaha dari Lembaga Jasa Keuangan.11
b. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan
Pengelola Statuter yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan mempunyai tugas:
1) Menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana peserta
Perusahaan

Asuransi,

Perusahaan

Asuransi

Syariah,

perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;
2) Mengendalikan
Perusahaan

dan

Asuransi,

mengelola

kegiatan

Perusahaan

usaha

Asuransi

dari

Syariah,

perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
sesuai dengan Undang-Undang ini;
3) Menyusun langkah-langkah apabila Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah tersebut masih dapat
diselamatkan;
4) Mengajukan usulan agar Otoritas Jasa Keuangan mencabut
izin usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah apabila perusahaan tersebut dinilai tidak dapat
diselamatkan; dan
5) Melaporkan kegiatannya kepada Otoritas Jasa Keuangan.12
11 Penjelasan pasal 8 huruf g Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lemabaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5253).

2. Perusahaan Asuransi
Perusahaan asuransi adalah suatu lembaga yang menyediakan segala
macam polis asuransi yang dapat melindungi seseorang atau nasabah yang
bergabung dengannya dari berbagai macam resiko dengan memgang sejumlah
polis asuransi. Semua perusahaan perasuranisan, baik yang memberikan
pertanggungan maupun yang jenisnya adalah usaha penunjang usaha asuransi,
hanya dapat didirikan dan dimiliki dengan dua cara yaitu : 13
a.

Pendirian oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum
Indonesia.
Pemilik atau pemegang saham dari badan hukum tersebut
harus sepenuhnya warga negara Indonesia atau sepenuhnya

badan hukum Indonesia.
b. Pendirian oleh Warga Negara Indonesia/Badan Hukum Indonesia
serta Badan Hukum Asing.
Ini adalah satu-satunya cara agar pihak asing dapat
menjalankan

kegiatan

usaha

suransi

di

Indonesia.

Berdasarkan pada persayaratan tersebut maka ada beberapa
hal yang dapat dicermati. Pertama, pihak asing yang boleh
mendirikan usaha di Inonesia hanyalah yang berbentuk
badan hukum dan bukan perorangan. Kedua, badan hukum
asing tersebut tidak boleh menjadi pemilik tunggal dari
suatu perusahaan asuransi di Indonesia. Ketiga, badan
hukum asing tersebut harus perusahaan yang bergerak di
bidang perasuransian di negaranya. Keempat, badan hukum
asing tersebut harus bergabung dengan perusahaan asuransi
yang sudah mendapat izin usaha di Indonesia.14
3. Tinjauan Umum Tentang Otoritas Jasa Keuangan

12 Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5618).
13 Kornelius Simanjuntak, Brian Amy Prasetyo, 2011, Hukum Asuransi, Depok, Djokosoetono
Research Center Fakultas Hukum Indonesia, Hlm. 83.
14 hal. 83

a. Latar belakang pembentukan
Awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya
keresahan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank
Indonesia. Ada tiga hal yang melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan, yaitu perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia,
permasalahan lintas sektor industri jasa keuangan, dan amanat UndangUndang No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam pasal 34 yang merupakan respons dari krisis Asia yang terjadi pada
1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya
sektor Perbankan. 15 hlm 36.
Sebelum Otoritas Jasa Keuangan dibentuk, undang-undangnya
harus dibuat terlebih dahulu karena jika tidak, maka Otoritas Jasa
Keuangan tidak punya dasar hukum yang mana nantinya akan sangat
susah untuk Otoritas Jasa Keuangan melakukan wewenang, tugas dan juga
fungsinya kepada Lembaga Jasa Keuangan.16
b. Status
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak
lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21 Tahun 2011.17
c. Tujuan, Fungsi, Tugas dan Wewenang
Tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan adalah agar seluruh
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur,
adil, transparan dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara bekelanjutan dan stabil, juga mamu mrlindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya sistem
pengaturan dan pegawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.18

15 Adrian Sutedi, 2014, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, Raih
Asa Sukses, Hlm. 36.
16 Adrian Sutedi, 2014, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, Raih
Asa Sukses, Hlm. 38.
17 Adrian Sutedi, 2014, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, Raih
Asa Sukses, Hlm. 136.
18 Buku OJK

Agar tujuan tersebut dapat dicapai, Otoritas Jasa Keuangan perlu
memiliki berbagai kewenangan, baik dalam rangka pengaturan maupun
pengawasan sektor jasa keuangan. Kewenangan di bidang pengaturan
diperlukan dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan, baik yang
diatur di dalam maupun di luar Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
yang berhubungan dengan sekto jasa keuangan lainnya, yang ditetapkan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan maupun Peraturan Dewan
Komisioner.19
Secara ringkas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan
tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
1) Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
2) Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, dan
3) Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.20
Fungsi

dibentuknya

Otoritas

Jasa

Keuangan

adalah

untuk

menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. 21
Tugas utama dari Ototritas Jasa Keuangan dibagi menjadi 3 pilar
besar yang merupakan tag-line dari kerja otoritas Jasa Keuangan yaitu
Mengatur, Mengawasi, dan Melindungi untuk Industri Keuangan yang
sehat. Otoritas Jasa Keuangan mempunyai tugas melakukan pengaturan
dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan,
sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB (Industri Keuangan Non-Bank).22
Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan terhadap:
19 BUKU ojk
20 www.ojk.go.id, diakses pada tanggal 15 Januari 2017 pukul 20.30
21 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253).

22 www.ojk .go.id, diakses pada tanggal 15 Januari 2017 pukul. 20.37

1) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
2) Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
3) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana
Pensiun,Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya. 23
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor
Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 21 tahun
2011,

Otoritas

Jasa

Keuangan

mempunyai

berbagai

macam

kewewenangan:
(a). Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang
meliputi:
(1) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran
dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya
manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan
izin usaha bank; dan
(2) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,
produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
(3) pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang
meliputi:
(4) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan
modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio
pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
(5) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
(6) sistem informasi debitur;
(7) pengujian kredit (credit testing); dan
(8) standar akuntansi bank;24
Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a.menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
23 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253).
24 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253).

b.

menetapkan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan;

c.menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d.

menetapkan peraturan mengenai pengawasan di
sektor jasa keuangan;

e.menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan
perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan
pihak tertentu;
g.

menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan
pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;

h.

menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur,
serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan
kekayaan dan kewajiban; dan

i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan.25
Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap
kegiatan jasa keuangan;
b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan
oleh Kepala Eksekutif;
c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
25 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253).

d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan
dan/atau pihak tertentu;
e. melakukan penunjukan pengelola statuter;
f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan; dan
h. memberikan dan/atau mencabut:
1) izin usaha;
2) izin orang perseorangan;
3) efektifnya pernyataan pendaftaran;
4) surat tanda terdaftar;
5) persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6) pengesahan;
7) persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8) penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.26
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan peneleitian yuridis normatif
dan yuridis empiris karena penelitian ini memadukan antara penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan.27 Pendekatan yuridis normatif
mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam suatu perundangundangan yaitu Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
26 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253).

27 Amirudin dan Zaenal Asikin, 2004, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum,Jakarta: PT Raja
Grafindo, hlm. 133.

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dihadapkan dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.

Sedangkan

pendekatan

yuridis

empirisnya

adalah

pendekatan yang melihat suatu kenyataan hukum dalam lapangan terkait
dengan penetapan Pengelola Statuter bagi perusahaan asuransi. Selain itu
penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu mengungkapkan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan teori hukum dalam interaksi
sosial di masyarakat.28 Keduanya digunakan untuk mendapatkan sumber
data dan data yang saling melengkapi serta mendukung satu sama lain.
2. Sumber Data
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan atau library research dilakukan untuk
memperoleh data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh
melalui bahan-bahan kepustakaan yang terkait dengan objek
penelitian, meliputi:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer

yaitu,

bahan

hukum

yang

mempunyai kekuatan mengikat, seperti peraturan perundangundangan atau keputusan pengadilan.29 Bahan Hukum Primer
yang digunakan dalam penelitian ini berupa peraturan
perundang-undangan yang terdiri dari:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan
d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014
Tentang Perasuransian
28 Zaenuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 175.
29 Soedjono Soekanto, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT
Rajawali, hlm. 34.

e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas
f) Peraturan perundang-undangan positif lainnya yang terkait
dengan masalah penelitian.

2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder yaitu, bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan Bahan Hukum Primer yang dapat
membantu menjelaskan dan memahami Bahan Hukum Primer.
Bahan-Bahan Hukum Sekunder tersebut diantaranya:
a) Buku Hukum Asuransi
b) Buku Otoritas Jasa Keuangan
c) Artikel-artikel yang dimuat di majalah, surat kabar maupun
internet.
d) Jurnal hukum.
e) Makalah yang relevan dengan penelitian hukum ini.

3) Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang sifatnya
melengkapi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
yang terdiri dari:
a) Black’s Law Dictionary
b) Kamus Besar Bahasa Indonesia.
c) Kamus Bahasa Inggris.
3. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer
yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu segala sesuatu yang
berkaitan dengan tema Penetapan Pengelola Statuter bagi Perusahaan
Asuransi yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, meliputi:
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kantor Pusat Otoritas Jasa
Keuangan yang terletak di Gedung Bank Indonesia, Menara
Radius Prawiro Komplek Perkantoran BI, Jalam MH. Thamrin
No. 2 Jakarta Pusat.
b. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian
yaitu yang memiliki data mengenai variable yang diteliti.30
c. Narasumber
Narasumber adalah orang yang mengetahui lebih dalam
mengenai permasalahan penelitian ini. Pihak narasumber
penelitian ini sebagai berikut:
1) Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada.
d. Responden
Responden adalah pihak-pihak yang berhubungan
dan mengetahui langsung dengan permasalahan dalam
penelitian. Pihak responden penelitian ini sebagai
berikut:
1)

Karyawan

Otoritas

Jasa

Keuangan

bidang

Departemen Hukum 2 bagian Industri Keuangan
Non-Bank.
4. Teknik Pengambilan Sample
30 Saifudin Anwar, 2205, Metode Penelitian,Jakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 93.

Guna memudahkan penelitian, maka dilakukan dengan teknik
sampling. Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan
teknik non random sampling, karena tidak semua individu diberikan
kesempatan yang sama untuk menjadi anggota sampel. Sedangkan jenis
sampel yang digunakan adalah purposing sampling, yaitu pengambilan
sampel dilakukan dengan ditunjuk atau dipilih berdasarkan tujuan
penelitian

dengan

pertimbangan

memiliki

ciri-ciri

tertentu

yang

berhubungan erat dan khusus dengan permasalahan yang diteliti.31
5. Metode Pengumpulan Data dan Alat Pengumpulan Data
a. Metode Penelitian Kepustakaan
Alat penelitian untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah studi dokumen, yaitu dengan cara mempelajari dan menelaah
bahan-bahan hukum yang relevan baik dalam bahan hukum primer,
sekunder dan tersier, umumnya bersifat normatif, yaitu mencari normanorma hukum yang seharusnya berlaku bagi suatu keadaan tertentu.32
Dalam penelitian kepustakan peneliti menggunakan alat seperti
buku, bolpoin dan juga pensil serta alat tulis lainnya.
b. Metode Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan melalui
pengamatan langsung pada lokasi penelitian, dalam hal ini digunakan
pendekatan yuridis empiris, yaitu pendekatan dengan melihat suatu
kenyataan hukum di dalam masyarakat.33 Cara pengempulan data
langsung dari sumber. Terhadap narasumber peneliti menggunakan alat
pengumpul data berupa wawancara semi terstruktur dan dilakukan
dengan tatap muka secara langsung. Dengan menggunakan alat tulis
dan juga alat rekam. Wawancara tersebut bersifat terbuka (open
interview), kemudian diperdalam lagi untuk mendapatkan keterangan
lebih lanjut (in depth). Pada akhirnya data yang didapatkan dari
31 Amirudin dan Zaenal Asikin, Op.cit., hlm. 196.
32 Prayudi Atmo Soedirjo, 2002, Teori Hukum, Jakarta: Kawan Pustaka, hlm. 91.
33 Zaenuddin Ali, Op.Cit., hlm. 105.

jawaban yang diberikan dapat menghimpun semua variable dengan
keterangan yang jelas, lengkap dan mendalam.
c. Analisis Data
Terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan
maupun penelitian dilapangan, dianalisis dan diolah secara kualitatif.
Analisis data kualitatif yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian akan
dikelempokkan dan dipisah-pisahkan kemudian dipilih atau diseleksi
antara data yang penting dengan data yang tidak penting dan data yang
relevan

dengan

data

yang

tidak

relevan

berdasarkan

kualitas

kebenarannya. Data tersebut kemudian disusun secara sistematis lalu
dianalisis dengan metode berpikir induktif sehingga dihasilkan suatu
uraian yang jelas dan kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab
permasalahan yang ada.
Selanjutnya metode pelaporan yang dilakukan yaitu dengan cara
memaparkan dan menerangkan data yang telah diperoleh melalui studi
pustaka maupun hasil penelitian lapangan secara sistematis dalam
menjawab permasalahan.

DAFTAR PUSTAKA
A.

Buku
Ali, Zaenudin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Anwar,Saifudin, 2005, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Jakarta.
Amirudin dan Zaenal Asikin, 2004 Pengantar Metodologi Penelitian
Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta.
CST Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2014, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa
Sukses, Jakarta.
Soedirjo, Prayudi Atmo, 2002, Teori Hukum, Kawan Pustaka, Jakarta.
Soekanto, Soedjono, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Rajawali, Jakarta.

B.

Internet

C.

Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253).
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618).

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan