Kasus Bank Century dan Risiko Keuangan N

Blade Inc., merupakan perusahaan yang memproduksi sepatu roda (roller blade). Roller blade pernah
menjadi sangat popular pada masa jayanya. Blade Inc. secara cepat menjadi pemimpin pasar dalam hal
memproduksi roller blade di Amerika.
Kasus Bank Century dan Risiko Keuangan Negara
25 November 2009sr33irchamTinggalkan komentarGo to comments

Kasus Bank Century mencuat ketika Pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS menyuntikkan modal sebesar Rp 6,76 triliun
untuk menyelamatkan bank tersebut. Jumlah ini menjadi begitu besar dan menarik perhatian masyarakat karena dana penyelamatan
Bank Century semula diperkirakan hanya sebesar Rp 632 miliar. Kenaikan jumlah ini mengakibatkan berbagai tudingan kepada Bank
Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan sebagai penentu kebijakan penyelamatan Bank Century pada 20 November 2008 melalui
Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Dari kasus ini isu utama yang dipermasalahkan adalah mengenai tepat atau tidaknya keputusan penyelamatan Bank Century oleh
Pemerintah pada November 2008. Pemerintah melalui BI dan Departemen Keuangan berpendapat bahwa penyelamatan Bank Century
melalui suntikan dana tersebut sudah tepat dengan alasan untuk menghindari risiko sistemik yang mungkin timbul dari ditutupnya bank
tersebut sehingga dikhawatirkan terulangnya kembali krisis keuangan seperti tahun 1998 lalu.
Atas keputusan ini banyak pihak menilai bahwa keputusan menyelamatkan Bank Century tidak tepat. Selain menggunakan uang negara
yang merupakan uang rakyat alasan mengenai kemungkinan terjadinya risiko sistemik kurang bisa dipertanggungjawabkan. Menurut
pihak yang tidak setuju dengan penyelamatan bank ini ditutupnya Bank Century tidak akan mengganggu kestabilan sistem perbankan
negara kita karena secara market share Bank Century hanya mempunyai mencakup 0,1% jumlah nasabah perbankan di Indonesia.
Selain itu aset Bank Century hanya berjumlah 0,3% dari total aset perbankan Indonesia. Mereka juga yakin bahwa penutupan Bank
Century tidak akan menimbulkan rush pada sistem perbankan nasional atau pun terulangnya krisis keuangan tahun 1998.

Isu lain yang muncul terkait suntikan dana tersebut adalah adanya dugaan penyelewengan terhadap suntikan modal tersebut yang
mengalir ke pihak-pihak tertentu. Banyak pihak meragukan kebenaran aliran modal tersebut karena adanya benturan kepentingan.
Adanya benturan kepentingan ini menyebabkan keputusan untuk menyelamatkan Bank Century ditengarai hanya untuk menyelamatkan
deposan-deposan besar dan bukan untuk menyelamatkan sistem perbankan.
Systemic Risk
Waktu itu alasan utama Pemerintah untuk menyelamatkan Bank Century adalah kekhawatiran akan terjadinya systemic risk dan rush
pada sistem perbankan nasional. Penutupan Bank Century pada waktu terjadinya krisis keuangan global (November 2008) dikhawatirkan
membawa dampak berantai yang parah seperti kasus 1998.
Penutupan Bank Century diperkirakan akan mengakibatkan kepanikan pada nasabahnya. Kepanikan ini mendorong nasabah-nasabah lain
akan berbondong-bondong menarik uangnya pada banyak bank. Terutama bank-bank kecil sekelas Century dan memindahkan ke bankbank yang lebih besar.
Penarikan besar-besaran ini mengakibatkan bank-bank yang pada awalnya sehat menjadi ikut bermasalah dan mengalami masalah
likuiditas. Sebagai akibatnya bank-bank ini akan berusaha mencari pendanaan dengan meminjam dana dari bank-bank besar melalui
pinjaman antar bank.
Dalam hal ini bank-bank besar cenderung lebih berhati-hati dalam mengucurkan dananya sehingga bank-bank kecil semakin terdesak
karena kesulitan memperoleh likuiditas. Dalam keadaan seperti inilah banyak bank akan berjatuhan.
Sistem perbankan akan mengalami rush dan mengakibatkan naiknya suku bunga pinjaman secara tajam. Selain itu akan banyak terjadi
kredit macet sehingga nasabah akan mengalami kerugian dan sektor industri juga akan terkena dampaknya.
Sebagai akibatnya bank-bank besar pun akan terkena dampaknya dan terjadilah kelumpuhan sistem perbankan. Akibat lebih jauh adalah
merosotnya kredibilitas sistem perbankan nasional sehingga akan terjadi capital outflows secara besar-besaran. Hal ini akan berpengaruh
terhadap investasi nasional, country risk, dan sistem ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Menurut BI definisi systemic risk adalah adalah risiko kegagalan salah satu peserta dalam memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo
sehingga menyebabkan peserta lain juga mengalami kesulitan likuiditas yang pada gilirannya menjadi tidak mampu memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Bank Indonesia mendasarkan dampak kriteria systemic risk pada 5 (lima) hal yaitu 1) Dampak pada institusi
keuangan, 2) Dampak pada pasar keuangan, 3) Dampak pada sistem pembayaran, 4) Dampak pada psikologi pasar, dan 5) Dampak
kepada sektor riil.
Sebenarnya terjadinya systemic risk tersebut merupakan kemungkinan yang bisa terjadi atau tidak terjadi sama sekali. Probabilitas dari
terjadinya systemic risk ini akan meningkat apabila kondisi perekonomian dan perbankan secara global sedang tidak sehat.
Kekhawatiran Pemerintah pada waktu itu adalah akibat penutupan Lehman Brothers pada 15 September 2008 yang menyebabkan krisis
keuangan dan perbankan secara global. Dalam kasus Century yang terjadi pada November 2008 kondisi perekonomian dan perbankan
dunia sedang dalam masa krisis sehingga kemungkinan terjadinya systemic risk sangat tinggi.
Di sisi lain masalah yang terjadi pada Bank Century tidak akan menjadi systemic risk (atau pun jika menjadi systemic risk akan
mempunyai probabilitas yang relatif kecil) bagi perekonomian dan perbankan apabila terjadinya tidak bersamaan dengan krisis global.
Dengan demikian selain faktor internal dari suatu bank tersebut kemungkinan terjadinya systemic risk akan sangat bergantung dari
kondisi-kondisi eksternal seperti kondisi perekonomian secara umum, stabilitas perbankan, stabilitas politik dan keamanan, dan
sebagainya.
Namun demikian perlu diingat bahwa systemic risk itu akan selalu melekat dalam dunia perbankan. Hanya saja kemungkinan terjadinya
systemic risk itu sangat bervariasi tergantung dari keadaan internal dan eksternal dari sistem perbankan itu sendiri. Karena sifatnya yang
melekat pada sistem perbankan systemic risk tidak serta merta bisa dihilangkan.
Untuk itu tindakan yang bisa dilakukan adalah langkah-langkah antisipasi, pengelolaan risiko yang baik, dan penerapan kebijakan yang
tepat untuk menangani masalah-masalah seperti yang terjadi terhadap kasus Bank Century.


Systemic Risk dan Risiko Keuangan Negara (Risiko Fiskal) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terjadinya systemic risk akan
menyebabkan efek yang buruk bagi perekonomian. Jika systemic risk yang dikhawatirkan benar-benar terjadi maka semua potensi
kerugian yang awalnya hanya sebuah kemungkinan akan terjadi.
Kerugian ini akan berakibat pada keuangan negara baik secara langsung atau pun tidak langsung. Secara langsung Pemerintah harus
mengeluarkan anggaran untuk menyelamatkan dan mengembalikan dana-dana para nasabah. Secara tidak langsung Pemerintah akan
mengeluarkan biaya yang besar untuk memulihkan perekonomian melalui berbagai instrumen kebijakan baik moneter maupun fiskal.
Selain itu memburuknya situasi perekonomian akan menyebabkan menurunnya penerimaan negara dari sektor pajak. Penurunan dari sisi
penerimaan dan peningkatan dari sisi pengeluaran merupakan risiko fiskal yang bersifat langsung dan dirasakan dampaknya secara
langsung. Secara tidak langsung kerugian yang ditimbulkan karena systemic risk tersebut akan berpengaruh terhadap kemajuan Negara
di masa depan.
Akan diperlukan sumber daya yang jauh lebih banyak untuk bisa mengejar ketertinggalan yang terjadi. Selain itu dampak sistemik ini
dikhawatirkan akan menyebabkan banyak perjanjian-perjanjian yang akan default dan mengharuskan negara mengeluarkan dana yang
tidak sedikit untuk membayarnya. Dampak yang lebih luas dan lebih besar bisa saja terjadi dan mengakibatkan kerugian yang tidak
pernah diperkirakan sebelumnya seperti krisis tahun 1998.
Dalam kasus Century dapat kita lihat bahwa kebijakan yang diambil oleh Pemerintah menyebabkan Pemerintah harus mengeluarkan
dana talangan sebesar Rp 6,76 triliun untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar yang diperkirakan mencapai Rp 30 triliun.
Artinya jika Pemerintah tidak melakukan bail out terhadap Bank Century kemungkinan kerugian dan biaya yang harus ditanggung oleh
Pemerintah diperkirakan malah akan membengkak dan mencapai Rp 30 triliun. Dana talangan tersebut berasal dari LPS yang modal
awalnya berasal dari keuangan Negara sehingga kasus seperti ini mempunyai dampak risiko kepada Keuangan Negara secara langsung.

Jika dilihat sekilas terlihat bahwa Pemerintah telah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk sesuatu yang belum tentu terjadi.
Kejadian seperti ini merupakan salah satu bentuk risiko fiskal yang dapat merugikan keuangan Negara dan bisa terjadi sewaktu-waktu.
Akan tetapi mengingat potensi risiko yang begitu besar jika bail out tidak dilakukan Pemerintah memutuskan menyelamatkan Bank
Century. Terlepas dari adanya skenario dan bermacam-macam kecurangan dalam penyelamatan Bank Century kasus ini telah
menimbulkan risiko yang besar bagi keuangan Negara.
Pengelolaan Risiko
Melihat potensi kerugian yang begitu besar diperlukan langkah-langkah yang tepat guna mencegah atau meminimalisir akibat terjadinya
systemic risk tersebut. Hal-hal yang bisa dilakukan antara lain menyusun langkah-langkah antisipasi dalam rangka pengelolaan risiko dan
perbaikan pada sistem perbankan dan keuangan Negara ini.
Selain itu diperlukan juga langkah-langkah darurat yang dirasa perlu untuk menjaga stabilitas sistem keuangan pada saat-saat kritis yang
membutuhkan penanganan sesegera mungkin. Sebagai langkah antisipasi diperlukan suatu mekanisme semacam Early Warning System
yang baik untuk memantau dan memberikan laporan berkala kepada instansi yang berwenang mengawasi perbankan.
Hasil dari pemantauan tersebut akan dijadikan dasar untuk menilai bagaimana kondisi perekonomian pada umumnya dan sistem
perbankan pada khususnya. Laporan ini akan ditindaklanjuti oleh unit yang berwenang untuk melakukan langkah-langkah preventif yang
harus dilakukan. Proses yang tidak kalah penting untuk mendukung pengelolaan risiko yang baik adalah adanya keterbukaan
pengawasan dari pihak berwenang secara benar. Peran pemantauan dan pengawasan ini merupakan langkah yang menentukan dalam
pengelolaan risiko tersebut.
Hal lain yang sangat penting dalam mendukung proses pengelolaan risiko terhadap systemic risk adalah adanya sistem yang sehat
dalam dunia perbankan dan keuangan. Selain itu mutlak diperlukan suatu peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan
memberikan pengawasan terhadap dunia perbankan dan keuangan.

Selama ini sistem keuangan dan perbankan kita masih mengacu kepada UU Bank Indonesia dan UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang diajukan oleh Pemerintah sejak April 2008 masih mengalami jalan buntu dalam
pengesahannya. RUU JPSK ini disiapkan Pemerintah setelah krisis keuangan di Amerika terbukti berpengaruh besar bagi perekonomian
dunia. Selain mengatur hal-hal yang umum dalam hal pengelolaan risiko peraturan ini diharapkan mampu menjadi dasar hukum yang
kuat bagi langkah-langkah yang ditempuh oleh Pemerintah.
Peraturan ini juga harus memuat berbagai kewenangan yang jelas kepada pejabat Negara yang berhak mengambil keputusan terkait
proses pengelolaan risiko sistem perbankan. Dengan demikian perangkat analisis dan peraturan yang baik diharapkan bisa mengurangi
polemik dan potensi risiko sehingga kasus seperti Century tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
Tulisan ini pernah dimuat di detik tanggal 24 November 2009

Analisis Risiko Negara - Politik dan Finansial

PENDAHULUAN

Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan memegang sejumlah
peluang investasi. Manufaktur, minyak dan gas, dan sektor infrastruktur semua
mewakili pilihan menarik, sementara investasi portofolio secara tradisional
menjadi sumber utama arus masuk modal. Bisnis dapat memanfaatkan lokasi
strategis Indonesia di jalur pelayaran global utama, yang membuat impor dan
ekspor biaya rendah. Namun, investor tidak dapat mengabaikan lingkungan

bisnis yang menantang negara.
Investasi selalu mencakup faktor risiko. Pada umumnya boleh dikatakan
bahwa semakin tinggi risiko, semakin tinggi juga potensi laba. Selama beberapa
tahun terakhir Indonesia telah menunjukkan bahwa investasi tertentu sangat
menguntungkan (misalnya di pasar saham, bidang properti dan komoditas),
namun berinvestasi di Indonesia juga menyiratkan lebih banyak risiko
dibandingkan berinvestasi di negara-negara yang maju karena Indonesia
mempunyai dinamika dan karakteristik tertentu yang dapat menggagalkan
investasi dan mengganggu iklim investasi.
Demonstrasi, yang merupakan salah satu ciri khas masyarakat demokratis,
berlangsung setiap hari di Indonesia meskipun biasanya hanya skala kecil. Halhal yang diprotes berkisar dari isu-isu politik (misalnya kinerja pemerintah yang
dianggap lemah) dan masalah ekonomi (misalnya upah rendah) ke isu sosial
(misalnya hal-hal agama). Demonstrasi-demonstrasi ini dapat diarahkan -secara
vertikal- kepada pemerintah atau -secara horizontal- ke kelompok-kelompok lain
di masyarakat Indonesia. Titik penting di sini adalah bahwa demonstrasidemonstrasi ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia tidak puas
dengan keadaan negara saat ini. Sejarah modern Indonesia telah menunjukkan
bahwa dalam beberapa kasus ekstrem (penggulingan Soeharto tahun 1998),
tekanan masyarakat mampu menumbangkan kekuasaan politik dan
mengimplikasikan dampak buruk terhadap ekonomi nasional. Meskipun
tampaknya tidak mungkin bahwa peristiwa ekstrem seperti itu muncul kembali

karena konteks politik sekarang berbeda. Namun harus disadari bahwa ada
potensi frustrasi yang direpresi di sebagian masyarakat Indonesia yang harus
diwaspadai.
Persiapan yang mantap serta informasi yang menyeluruh dan terpercaya
merupakan kunci berinvestasi di negara manapun. Analisis risiko negara dapat
digunakan untuk memantau negara-negara dimana perusahaan multinasional
saat ini melakukan bisnis, sebagai perangkat skrining untuk menghindari

melakukan bisnis di negara-negara dengan risiko yang berlebihan dan untuk
meningkatkan analisis yang digunakan dalam melakukan investasi jangka
panjang atau keputusan pembiayaan. Dalam tulisan ini, ada 2 jenis risiko yang
akan dijelaskan yaitu risiko politik dan risiko finansial (baik secara makro maupun
mikro)

RISIKO POLITIK

Perusahaan Multinasional harus menilai risiko negara tidak hanya negara tempat
perusahaan tersebut berusaha tetapi juga negara dimana perusahaan akan
mengekspor atau mendirikan anak perusahaan. Beberapa karakteristik risiko
suatu negara dapat secara signifikan mempengaruhi kinerja, dan perusahaan

tersebut harus mempertimbangkan besarnya pengaruh karakteristik tersebut.
Kerap sekali dalam melakukan bisnis pada lingkungan bisnis asing tidak sama
dengan menjalankan bisnis di negeri sendiri. Selain itu, ada risiko makro di
negara asing yang mungkin bukan bagian dari sistem atau kebijakan politik yang
menguntungkan bisnisnya saat ini.

Korupsi (MAKRO)
Masalah korupsi politik di Indonesia terus menjadi berita utama (headline)
setiap hari di media Indonesia dan menimbulkan banyak perdebatan panas dan
diskusi sengit. Di kalangan akademik para cendekiawan telah secara terusmenerus mencari jawaban atas pertanyaan apakah korupsi ini sudah memiliki
akarnya di masyarakat tradisional pra-kolonial, zaman penjajahan Belanda,
pendudukan Jepang yang relatif singkat (1942-1945) atau pemerintah Indonesia
yang merdeka berikutnya. Meskipun demikian, jawaban tegas belum ditemukan.
Untuk masa-masa mendatang yang entah sampai kapan, harus diterima bahwa
korupsi terjadi dalam domain politik, hukum dan korporasi di Indonesia.
Secara terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko
dan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang,
Minggu (11/4) di Jakarta, sepakat, parpol sebagai pihak yang paling bertanggung
jawab dalam menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini. Partai yang menjadi
sarana terpenting mencapai kekuasaan politik menjadi episentrum korupsi.

Dalam partai, koruptor dididik dan kemudian membangun jaringan untuk
melakukan korupsi politik secara beramai- ramai. Permasalahan lainnya adalah
partai politik dengan indeks korupsi paling tinggi berbanding lurus dengan
kuantitas pemilih atau pendukung partai tersebut. Sedangkan partai politik yang
memiliki indeks korupsi kecil, justru memiliki elektabilitas yang rendah. Hal inilah
yang menjadi pokok permasalahan di ranah politik Indonesia saat ini.
Meskipun sebagian besar gambarannya negatif, ada beberapa tanda-tanda
positif. Pertama-tama perlu disebutkan bahwa ada dorongan besar dari rakyat
Indonesia untuk memberantas korupsi di Indonesia dan media yang bebas

memberikan banyak ruang untuk menyampaikan suara mereka pada skala
nasional (meskipun beberapa institusi media - yang dimiliki oleh politisi atau
pengusaha - memiliki agendanya sendiri untuk melakukan hal ini). Namun
dorongan rakyat untuk memberantas korupsi berarti bahwa bersikap anti-korupsi
sebenarnya bisa menjadi vote-gainer (pendulang suara) yang penting bagi
politisi yang bercita-cita tinggi. Terlibat atau disebutkan dalam kasus korupsi
benar-benar merusak karir karena dukungan rakyat akan merosot drastis. Efek
samping negatif (bagi perekonomian negara) dari pengawasan publik ini yaitu
pejabat pemerintah saat ini sangat berhati-hati dan ragu-ragu untuk
mengucurkan alokasi anggaran pemerintahan mereka, takut menjadi korban

dalam skandal korupsi. Perilaku berhati-hati ini bisa disebut sebagai keberhasilan
pengaruh KPK yang memantau aliran uang, tetapi juga menyebabkan belanja
pemerintah lambat.
Indonesia belum pernah mengesankan di Indeks Persepsi Korupsi Tahunan
(diterbitkan oleh Transparency International). Indeks ini menunjukkan tingkat
korupsi di negara-negara dunia. Saat ini posisi Indonesia berada di nomor 118
(dari jumlah total 176 negara) tetapi kinerjanya menunjukkan peningkatan yang
stabil sejak awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004.

Pemerintahan (MAKRO)
Terlepas dari isu korupsi politik, ada faktor lain yang secara negatif
mempengaruhi efektivitas dan kinerja pemerintahan di Indonesia. Bisa
dibayangkan bahwa pemerintahan kepulauan yang begitu luas yang berisi
hampir 240 juta orang dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda
tidak dihiasi dengan konflik. Berikut ini adalah sejumlah isu terkait tata kelola
yang mengganggu ekonomi dan iklim investasi Indonesia.
Birokrasi. Birokrasi di Indonesia dikenal panjang dan rumit dan tampaknya
telah menjadi 'pusat kekuasaan' dalam dirinya sendiri, sehingga secara efektif
menolak upaya menuju reformasi: suap masih marak dan tidak ada kemajuan
yang berkelanjutan dalam membangun institusi yang meningkatkan iklim usaha,

pengadilan sebagai kredibel seperti. Dengan demikian, negara berisi berbagai
ketidakpastian bisnis yang merugikan iklim investasi.
Akuisisi Tanah. Salah satu hambatan utama untuk pembangunan infrastruktur
di Indonesia telah menjadi masalah pembebasan lahan. Alasan yang mendasari
untuk situasi ini adalah hambatan hukum untuk menyepakati kompensasi yang
adil untuk pemilik tanah dan, sebagai hasilnya, sengketa hukum tak berujung
lebih valuasi (di berbagai kesempatan, ekspansi bisnis telah menyebabkan
ketegangan dengan masyarakat lokal). Sebuah undang-undang pembebasan
lahan baru telah diterima oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2010, tetapi
hasilnya belum terlihat
Infrastruktur. Kualitas dan kuantitas infrastruktur Indonesia berada dalam
kondisi yang lebih buruk daripada di rekan-rekan regional. Hal ini berlaku untuk
kedua infrastruktur keras (jalan, kereta api, jembatan) dan infrastruktur lunak

(pendidikan, kesejahteraan sosial dan kesehatan). Sejak jatuhnya rezim Orde
Baru pada tahun 1998, telah terjadi kekurangan serius investasi di bidang ini.
Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menempatkan investasi dalam
infrastruktur sebagai prioritas utama dari Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMN 2010-2014), sebagian besar yang dipertimbangkan untuk
dibiayai melalui modal swasta dalam bentuk kemitraan publik-swasta (PPP).
Namun, seperti peraturan kerangka kerja dan lingkungan bisnis Indonesia saat
ini tidak optimal kondusif, mungkin strategi terlalu ambisius dari pemerintah
pada saat ini (hingga reformasi lebih lanjut dimulai). Hukum yang saling
bertentangan dan peraturan saat rintangan untuk pembangunan infrastruktur di
Indonesia.
Subsidi Energi. Sebuah perhatian utama dari lembaga-lembaga internasional
adalah jumlah di Indonesia semakin meningkat dari subsidi energi, yang
memerlukan biaya anggaran yang signifikan. Awalnya, subsidi energi ini
diperkenalkan untuk mendukung kebutuhan dasar masyarakat miskin. Namun,
dengan menjaga harga energi ini artifisial rendah, sinyal harga yang kabur,
keputusan konsumsi dan investasi yang terdistorsi, dan kerentanan keuangan
publik volatilitas harga minyak internasional meningkat. Hal ini juga diasumsikan
bahwa rumah tangga kaya manfaat lebih dari subsidi ini dari rumah tangga
miskin dilakukan. Subsidi ini telah menjadi beban besar pada anggaran
pemerintah dan oleh karena itu pemerintah bertujuan untuk memangkas
mereka. Namun, pemotongan subsidi energi merupakan isu politik yang sensitif
di Indonesia dan akan membawa kritik serius dan demonstrasi. Hal ini juga akan
memberikan tekanan besar pada pencapaian target inflasi. Mengetahui bahwa
dalam pemilu 2014 baru diadakan, pemerintah tidak akan terlalu mendukung
mengurangi subsidi karena akan datang pada harga dukungan rakyat.
Sektor Informal. Indonesia ditandai dengan dual pasar tenaga kerja: a pasar
formal kecil dan informal yang besar. Para pekerja sektor formal dilindungi
melalui pembayaran pesangon dan upah minimal yang relatif tinggi. Surat itu
merupakan insentif bagi pengusaha untuk mempekerjakan pekerja dari sektor
informal di mana ada kurangnya asuransi sosial. Informalitas yang luas
merugikan pertumbuhan jangka panjang dan merusak koleksi pendapatan pajak
(yang diperlukan untuk investasi di negara itu infrastruktur, kesehatan dan
pendidikan).

Kebijakan Pemerintah (MIKRO)
Arus sumber-sumber keuangan internasional dapat terwujud dalam dua
bentuk. Yang pertama adalah penanaman modal asing yang dilakukan oleh pihak
swasta (private foreign investment) dan investasi portofolio, terutama berupa
penanaman modal asing “langsung” (PMI). Penanaman modal seperti ini juga
dapat disebut Foreign Direct Investment (FDI). FDI (Foreign Direct Investment)
atau investasi langsung luar negeri adalah salah satu ciri penting dari sistem
ekonomi yang kian mengglobal. Ia bermula saat sebuah perusahaan dari satu

negara menanamkan modalnya dalam jangka panjang ke sebuah perusahaan di
negara lain.
Dalam hal perlindungan investasi asing prinsip utama yang dipegang adalah
perlakuan yang sifatnya non diskriminatif (non-discriminatory), yaitu bahwa hak
dan kewajiban berdasarkan hukum berlaku sama dengan tidak membedakan
asal negara suatu penanam modal. Di Amerika Serikat prinsip ini dikenal sebagai
“fair and equitable treatment” atau perlakuan yang sama dan adil. Undang
Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan bahwa
penanaman modal diselenggarakan berdasarkan “perlakuan yang sama dan
tidak membedakan asal negara”, namun “tidak berlaku bagi penanam modal
dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasar perjanjian dengan
Indonesia. ”Sebagian perjanjian investasi bilateral memuat pasal yang
memungkinkan penanam modal untuk langsung menempuh jalur arbitrase
internasional jika bersengketa dengan pemerintah Indonesia.
Indonesia berencana untuk mengakhiri dan menegosiasikan ulang 60
perjanjian investasi bilateral yang ditandatanganinya, diawali dengan perjanjian
bilateral dengan Belanda yang masa berlakunya berakhir pada bulan Juni 2015.
Pengakhiran atau pembatalan perjanjian investasi bilateral akan berakibat
hilangnya hak istimewa yang diperoleh dari perjanjian tersebut, di antaranya
adalah hak untuk menempuh jalur arbitrase internasional untuk menyelesaikan
sengketa investasi tanpa menempuh jalur pengadilan di Indonesia. Rencana ini
telah menuai penolakan keras dari berbagai negara, lembaga internasional dan
kalangan dunia usaha. Kepercayaan terhadap kepastian hukum dalam
perlindungan investor di Indonesia akan terkikis
Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia juga dapat dijadikan payung
perlindungan hukum para penanam modal. Meski demikian, pemerintah
Indonesia tidak dapat mengabaikan kekhawatiran penanam modal asing
terhadap masalah kepastian hukum dan kredibilitas lembaga peradilan. Sebelum
pengakhiran perjanjian investasi bilateral, Indonesia menduduki urutan sebagai
eksportir batubara dan tembaga terbesar di dunia, namun menurut Fraser
Institute’s Mining Policy Potential Index tahun 2013, Indonesia dianggap sebagai
salah satu negara terburuk dalam hal iklim investasi di bidang pertambangan.
Dengan demikian, reformasi di bidang peradilan (judicial reform) harus
diprioritaskan karena kepercayaan terhadap peradilan Indonesia akan menjadi
kunci kredibilitas sistem penyelesaian sengketa menurut hukum Indonesia.

RISIKO FINANSIAL

Faktor keuangan harus dipertimbangkan saat menilai risiko Negara. Salah
satu faktor keuangan yang paling jelas adalah perekonomian Negara tersebut
saat ini dan perkiraannya dimasa depan. Adapun pertumbuhan ekonomi suatu
Negara bergantung pada beberapa faktor keuangan yang sering disebut
Indikator Pertumbuhan Ekonomi (suku bunga, kurs dan inflasi).

Bank Indonesia (MAKRO)
Sebagai negara yang masih berada di kategori "sedang berkembang" tentu
ada kaitannya dengan sistem keuangan yang sedang bergejolak. Bukan tanpa
alasan karena indonesia pernah mengalami krisis moneter berkepanjangan yang
mengakibatkan indonesia harus terpuruk dengan ekonomi yang mengalami
kontraksi besar dengan laju inflasi tinggi, nilai tukar rupiah jatuh di tambah
dengah rasa tidak percaya terhadap bank karena suku bunga tinggi yang
membuat bank memiliki utang yang berat di dalam maupun luar negeri.
Berbicara tentang "keuangan" seperti tidak habis untuk dibicarakan karena
memang menyangkut kesejahteraan suatu negara. Sebagai mana indonesia
dimasa dulu dan sekarang sesudah mengalami krisis, perlu adanya upaya
pencegahan dan menjaga kestabilan keuangan agar tidak kembali dalam
keterpurukan (inflasi) berkepanjangan. Bank Indonesia disini berlaku sebagai
penengah dalam mengatur kestabilan keuangan Indonesia. Bank Indonesia
berperan aktif untuk menerapkan suku bunga yang tidak terlalu ketat,
menerapkan disiplin pasar, menjaga dan mengatur kelancaran sistem
pembayaran, dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam
stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macro prudensial, Bank
Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi
kejutan, penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis.
Terkait kebijakan valas, ada empat pokok perubahan yang dilakukan BI.
Pertama, mengubah definisi transaksi derivatif dari sebelumnya hanya meliputi
bentuk forward, swap, dan option. Dengan adanya ketentuan ini maka transaksi
derivatif mencakup pula cross currency swap (CCS) atau kesepakatan antara dua
pihak untuk melakukan pertukaran dana beserta bunganya dalam mata uang
yang berbeda.
Kedua, kewajiban memitigasi risiko bank yang dapat melakukan transaksi CCS.
Transaksi ini diharapkan mampu membantu perusahaan menghadapi risiko
kenaikan suku bunga Amerika Serikat karena suku bunga utangnya juga bisa dihedging.
Ketiga, memperluas cakupan underlying (aset yang dijaminkan) menjadi
perdagangan dan investasi, termasuk perkiraan pendapatan dan biaya.
Sebelumnya, bank ragu-ragu untuk melakukan transaksi derivatif karena
dilarang memberikan kredit atau pembiayaan dalam valas maupun rupiah untuk
kepentingan transaksi derivatif, kecuali dalam rangka ekspor. Sekarang investasi
diperbolehkan. Kalau ada investor asing memperoleh dividen dan harus dihedging bisa menggunakan dokumen sebagai underlying.
Keempat, menghapus larangan derivatif beli tenor oleh asing di bawah satu
pekan. Maka, jangka waktu transaksi derivatif ke depan dihitung berdasarkan
tanggal dimulainya transaksi sampai dengan jatuh waktu dan paling lama
dengan jangka waktu investasi.

Untuk saat ini, dengan latar belakang inflasi dan melemahnya rupiah, Bank
Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan pada 7,50% pada pertemuan
kebijakan moneter September-nya. Bank sentral kemungkinan akan menunda
penurunan suku bunga sampai awal-2016, ketika data inflasi yang lebih
menguntungkan harus menyediakan buffer yang cukup bagi BI untuk
meringankan suku bunga agar bisa mendorong pertumbuhan. Sementara itu,
rupiah akan terus menghadapi tekanan ke bawah karena pemerintah berjuang
untuk meningkatkan kepercayaan investor.

Otoritas Jasa Keuangan (MIKRO)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan kepemilikan asing yang semakin
dominan di sektor perbankan bisa dibatasi jika pemerintah merevisi Peraturan
Pemerintah (PP) No 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum yang
membolehkan asing menguasai saham sebuah bank hingga 99%. OJK setuju
melakukan kajian lebih dalam tentang kebutuhan dana asing di sektor
perbankan. Jika dana asing tidak lagi dibutuhkan, sudah waktunya PP direvisi.
OJK juga menilai pembatasan asing tidak akan bertentangan dengan prinsip
integrasi keuangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Selain itu, OJK akan
menggodok aturan tentang status bank-bank dengan kepemilikan asing di atas
50% untuk segera diubah menjadi bank asing. Kebijakan yang sama juga bakal
diberlakukan terhadap sekuritas, manajer investasi (MI), dan perusahaan
asuransi. Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz, Komisi XI masih
merumuskan revisi UU Perbankan. Dalam revisi tersebut, kepemilikan asing pada
bank umun bakal dibatasi maksimum 40%.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24