FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS DIPONEGORO (4)
TERHADAP NILAI PERUSAHAAN SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
WIEN IKA PERMANASARI NIM. C2C308028 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2010
ABSTRACT
This study aimed to investigate the influence of management ownership, institutional ownership, and corporate social responsibility to firm value. Firm value in this study as proxy for the value of Tobin’s Q
Collecting data using a purposive sampling method for non-financial companies listed in Indonesia Stock Exchange in 2007 until 2008. A total of 68 non-financial companies used as a sample. The method of analysis of this study used multiple regression.
The results of this study indicate that the variable that affect the firm value is corporate social responsibility. While variables that did not affect the firm value is management ownership and institutional ownership
Key Words: Firm value, management ownership, institutional ownership, and corporate social responsibility
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemilikan manajemen, kepemilikan institusional, dan corporate social responsibility terhadap nilai perusahaan. Nilai perusahaan dalam penelitian ini diproksi dengan nilai Tobin’s Q.
Pengumpulan data menggunakan metode purposive sampling terhadap perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007 sampai 2008. Sebanyak 68 perusahaan non keuangan digunakan sebagai sampel. Metode analisis dari penelitian ini menggunakan regresi berganda.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang mempengaruhi nilai perusahaan adalah variabel corporate social responsibility. Sedangkan variabel yang tidak mempengaruhi nilai perusahaan adalah kepemilikan manajemen dan kepemilikan institusional.
Kata Kunci: Nilai perusahaan, kepemilikan manajemen, kepemilikan
institusional, dan corporate social responsibility
vi
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “PENGARUH KEPEMILIKAN MANAJEMEN,
KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, DAN CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY TERHADAP NILAI PERUSAHAAN” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Skripsi ini dapat terselesaikan berkat banyak pihak yang berperan memberikan bimbingan, arahan, saran dan kritik, serta semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. M. Chabachib, S.E., MSi., Akt, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro yang telah memberikan dedikasi kepada Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
2. Bapak Warsito Kawedar, S.E., MSi., Akt, selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan senantiasa sabar serta ikhlas dalam memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Drs. H. Sudarno, MSi., Akt., selaku Dosen Wali yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam studi.
vii
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
5. Seluruh karyawan Tata Usaha Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
6. Kedua orang tuaku dan adikku Putra yang selalu dengan sabar mendampingi, memberikan semangat, dan doa kepada penulis.
7. Teman-temanku Adist, Rini, Rina, Widya, Tina, Ina, Eka, Monic, Arin, Ida, Ayu, Diasa, Saras, Fendhy, Dhani, Fahmi, pak Arifin, Titus, Kiki, Elmo, dan John. Terima kasih atas waktu, perhatian, saran dan kritik kalian selama ini.
8. Amilia, Bayu, Islami, Ulfa, Linggar, Novika, Putri, Shinta. Terima kasih atas segala waktu dan masukan dari kalian. Arfan, Diana, Dyah, Edu, Rani, Esti, Fina, Haries, Hasmi, Hesti, Kharisma, Priyo, Sigit, Choir, Anto, Trisno, Aji, Adhy. Terima kasih atas kebersamaan kita selama menempuh pendidikan di kampus ini.
9. Mas Aziz di Pojok BEI Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih telah membantu proses penulisan skripsi ini. Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna untuk
itu saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan penelitian ini. Penulis mohon maaf apabila dalam penulisan skripsi ini terdapat kekurangan, mengingat keterbatasan pengetahuan penulis. Akhirnya penulis
viii
ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi dapat meningkatkan kemakmuran bagi para pemegang saham, sehingga para pemegang saham akan menginvestasikan modalnya kepada perusahaan tersebut (Tendi Haruman, 2008). Naik turunnya nilai perusahaan salah satunya dipengaruhi oleh struktur kepemilikan. Struktur kepemilikan sangat penting dalam menentukan nilai perusahaan. Dua aspek yang perlu dipertimbangkan ialah (1) konsentrasi kepemilikan perusahaan oleh pihak luar (outsider ownership concentration) dan (2) kepemilikan perusahaan oleh manajemen (management ownership). Pemilik perusahaan dari pihak luar berbeda dengan manajer karena kecil kemungkinannya pemilik dari pihak luar terlibat dalam urusan bisnis perusahaan sehari-hari (Sri Rejeki, 2007).
Dalam proses memaksimalkan nilai perusahaan akan muncul konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham (pemilik perusahaan) yang sering disebut agency problem. Tidak jarang pihak manajemen yaitu manajer perusahaan mempunyai tujuan dan kepentingan lain yang bertentangan dengan tujuan utama perusahaan dan sering mengabaikan kepentingan pemegang saham. Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency conflict, hal tersebut terjadi karena manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak Dalam proses memaksimalkan nilai perusahaan akan muncul konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham (pemilik perusahaan) yang sering disebut agency problem. Tidak jarang pihak manajemen yaitu manajer perusahaan mempunyai tujuan dan kepentingan lain yang bertentangan dengan tujuan utama perusahaan dan sering mengabaikan kepentingan pemegang saham. Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency conflict, hal tersebut terjadi karena manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak
Konflik antara manajer dan pemegang saham atau yang sering disebut dengan masalah keagenan dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan tersebut sehingga timbul biaya keagenan (agency cost). Ada beberapa alternatif untuk mengurangi agency cost, diantaranya dengan adanya kepemilikan saham oleh manajemen dan kepemilikan saham oleh institusional (Tendi Haruman, 2008).
Dengan kepemilikan saham oleh manajerial, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan para principal karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Menurut Ross et al (dikutip dari Siallagan dan Machfoedz, 2006) menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan manjemen dalam perusahaan maka manajemen akan cenderung untuk berusaha untuk meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham dan untuk kepentingannya sendiri.
Kepemilikan saham manajemen adalah proporsi saham biasa yang dimiliki oleh para manajemen (Suranta dan Midiastuty, 2003). Dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga manajemen akan termotivasi untuk meningkatkan nilai perusahaan. Adanya kepemilikan manajemen akan Kepemilikan saham manajemen adalah proporsi saham biasa yang dimiliki oleh para manajemen (Suranta dan Midiastuty, 2003). Dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga manajemen akan termotivasi untuk meningkatkan nilai perusahaan. Adanya kepemilikan manajemen akan
Penelitian oleh Wahyudi dan Pawestri (2006) menemukan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan. Hubungan antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan adalah hubungan non- monotonic yang muncul karena adanya insentif yang dimiliki oleh manajer dan mereka berusaha melakukan pensejajaran kepentingan dengan outsider ownership dengan cara meningkatkan kepemilikan saham mereka jika nilai perusahaan meningkat.
Sementara itu hasil penelitian dari Tendi Haruman (2008) menyimpulkan bahwa variabel managerial ownership memiliki pengaruh dengan arah hubungan negatif. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi proporsi kepemilikan manajerial, akan menurunkan market value. Hasil ini konsisten dengan penelitian Lemons & Lins (2001), Lins (2002) dan Siallagan dan Machfoedz (2006). Penurunan market value ini diakibatkan karena tindakan opportunistic yang dilakukan oleh para pemegang saham managerial. Meskipun ada banyak penelitian mengenai struktur kepemilikan tetapi hasil-hasil dari penelitian tersebut banyak yang saling bertentangan satu sama lain. Dalam kenyataannya banyak literatur penelitian telah menyimpulkan hubungan yang positif antara struktur kepemilikan manajerial dengan penciptaan nilai perusahaan (Suranta dan Midiastuty, 2003).
Struktur kepemilikan lain yaitu kepemilikan institusional, dimana umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Menurut
Faizal (2004), perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen.
Kepemilikan institusional adalah proporsi kepemilikan saham pada akhir tahun yang dimiliki oleh lembaga, seperti asuransi, bank atau institusi lain. (Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen. Adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal.
Semakin tinggi kepemilikan institusional maka akan mengurangi perilaku opportunistic manajer yang dapat mengurangi agency cost yang diharapkan akan meningkatkan nilai perusahaan (Wahyudi dan Pawestri, 2006). Menurut Shleifer dan Vishny (dalam Tendi Haruman, 2008), jumlah pemegang saham yang besar (large shareholders) mempunyai arti penting dalam memonitor perilaku manajer dalam perusahaan. Dengan adanya konsentrasi kepemilikan, maka para pemegang saham besar seperti kepemilikan oleh institusional akan dapat memonitor tim manajemen secara lebih efektif dan nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan. Tingginya kepemilikan oleh institusi akan meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan. Pengawasan yang tinggi ini akan meminimalisasi tingkat penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pihak manajemen yang akan menurunkan nilai perusahaan. Selain itu, pemilik institusional akan berusaha melakukan usaha-usaha positif guna meningkatkan nilai perusahaan miliknya. Hal Semakin tinggi kepemilikan institusional maka akan mengurangi perilaku opportunistic manajer yang dapat mengurangi agency cost yang diharapkan akan meningkatkan nilai perusahaan (Wahyudi dan Pawestri, 2006). Menurut Shleifer dan Vishny (dalam Tendi Haruman, 2008), jumlah pemegang saham yang besar (large shareholders) mempunyai arti penting dalam memonitor perilaku manajer dalam perusahaan. Dengan adanya konsentrasi kepemilikan, maka para pemegang saham besar seperti kepemilikan oleh institusional akan dapat memonitor tim manajemen secara lebih efektif dan nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan. Tingginya kepemilikan oleh institusi akan meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan. Pengawasan yang tinggi ini akan meminimalisasi tingkat penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pihak manajemen yang akan menurunkan nilai perusahaan. Selain itu, pemilik institusional akan berusaha melakukan usaha-usaha positif guna meningkatkan nilai perusahaan miliknya. Hal
Menurut Morck et al., dan Mc Connel (dalam Tendi Haruman, 2008), secara empiris mengeksporasi hubungan antara struktur kepemilikan dan nilai perusahaan yang diproksi dengan nilai Tobin’s Q menyimpulkan bahwa struktur kepemilikan mempengaruhi nilai perusahaan. Begitu pula Jensen and Meckling (1976) menunjukan struktur kepemilikan mempengaruhi nilai perusahaan.
Farshid dan Naiker (2006) menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif dengan nilai perusahaan pada tingkat kepemilikan yang rendah. Sedangkan menurut Wening (2009) Semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan.
Verecchia (dalam Basamalah dan Jermias, 2005), dari sudut pandang ekonomi, perusahaan akan mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut akan meningkatkan nilai perusahaan. Menurut Kiroyan (dikutip dari Sayekti dan Wondabio, 2007), perusahaan berharap jika dengan menerapkan Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan akan memaksimalkan ukuran keuangan untuk jangka waktu yang panjang. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan Corporate Social Responsibility berharap akan direspon positif oleh para pelaku pasar seperti investor dan kreditur yang nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah sebuah wacana yang menjadikan perusahaan tidak hanya berkewajiban atau beroperasi untuk pemegang saham (shareholders) saja namun juga mempunyai tanggung jawab sosial terhadap stakeholders. CSR sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap lingkungan dan sosial dimana perusahaan tersebut berada. Pemikiran tersebut didasarkan pada 3P yaitu (profit, people, planet) menurut Global Compact Initiative yaitu tujuan perusahaan tidak hanya memburu keuntungan ekonomi (profit) namun juga untuk kesejahteraan orang (people), dan memiliki keperdulian terhadap kelestarian lingkungan hidup planet ini. (Nugroho, 2005).
Hackston dan Miley (1996) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dapat didefinisikan sebagai penyediaan informasi keuangan dan non keuangan yang berkaitan dengan kegiatan operasi perusahaan dengan keadaan sosial dan lingkungan, sebagaimana dinyatakan dalam laporan tahunan atau laporan sosial yang terpisah. Pengungkapan tanggung jawab sosial mencakup rincian lingkungan, energi, sumber daya manusia, produk, dan keterlibatan masyarakat.
Menurut Daniri (dalam Novita dan Djakman, 2008), perusahaan saat ini tidak lagi ditekankan pada tanggung jawab single bottom line yaitu pada nilai perusahaan yang dapat dilihat dari ukuran keuangan saja tetapi juga berpijak pada tripel bottom line yang terdiri dari nilai keuangan, sosial dan lingkungan. Ukuran keuangan tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable) tanpa memperhatikan keadaan sosial dan lingkungan daerah sekitar.
Di Indonesia wacana mengenai kesadaran akan perlunya menjaga lingkungan dan tanggung jawab sosial telah diatur dalam UU Perseroan Terbatas No 40 pasal 74 tahun 2007 yang menjelaskan bahwa perusahaan dalam menjalankan kegiatan usaha yang berhubungan dengan sumber daya alam wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Namun sebelum itu menurut Rika Nurlela dan Islahuddin (2008) ada beberapa perusahaan yang telah menjalankan CSR tapi sangat sedikit yang mengungkapkannya ke dalam sebuah laporan. Alasan mengapa hal itu terjadi mungkin karena belum mempunyai sarana pendukung seperti: standar pelaporan, tenaga terampil baik penyusun laporan maupaun auditor. Selain itu di sektor pasar modal Indonesia belum adanya penerapan indeks untuk saham-saham perusahaan yang telah menerapkan CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Indeks (DJSI) dan London Stock Exchange memiliki Socially Responsible Investement Indeks untuk saham-saham perusahaan yang menerapkan praktik CSR.
Banyak penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa jumlah perusahaan yang mengungkapkan informasi pertanggungjawaban sosial (Corporate Social Responsibility) dalam laporan tahunannya semakin bertambah. Banyak perusahaan semakin menyadari pentingnya menerapkan program CSR sebagai bagian dari strategi bisnisnya. Penelitian Basamalah dan Jermias (2005) menunjukkan bahwa salah satu alasan manajemen melakukan pelaporan tanggungjawab sosial adalah untuk alasan strategis. Meskipun belum diwajibkan, tetapi dapat dikatakan bahwa banyak perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia sudah menerapkan praktik CSR dalam laporan tahunannya dalam persentase yang beragam.
Eipstein dan Freedman (1994), menemukan bahwa investor individual tertarik terhadap informasi sosial yang dilaporkan dalam laporan tahunan. Untuk itu dibutuhkan suatu sarana yang dapat memberikan informasi mengenai aspek sosial, lingkungan dan keuangan secara sekaligus. Sarana tersebut dikenal dengan nama laporan keberlanjutan (sustainability reporting) .
Penelitian Rika Nurlela dan Islahuddin (2008) menguji pengaruh corporate social responsibility terhadap nilai perusahaan dengan persentase kepemilikan manajemen sebagai variabel moderating menemukan bahwa corporate social responsibility, prosentase kepemilikan manajemen, serta interaksi antara corporate social responsibility dengan prosentase kepemilikan manajemen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Namun secara parsial yang memiliki pengaruh terhadap nilai perusahan adalah prosentase kepemilikan manajemen dan interaksi antara corporate social responsibility dengan prosentase kepemilikan manajemen.
Zuhroh dan Putu (2003) menyatakan bahwa pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan yang go publik telah terbukti berpengaruh terhadap volume perdagangan saham bagi perusahaan yang masuk kategori high profile. Artinya bahwa investor sudah memulai merespon dengan baik informasi- informasi sosial yang disajikan perusahaan dalam laporan tahunan. Semakin luas pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan ternyata memberikan pengaruh terhadap volume perdagangan saham perusahaan dimana
terjadi lonjakan perdagangan pada seputar publikasi loparan tahunan. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Rika dan Islahudin (2008) yang berjudul Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan manajemen sebagai Variabel Moderating. Namun terdapat perbedaan dalam variabel yang digunakan yaitu prosentase kepemilikan manajemen. Penelitian ini menjadikan prosentase kepemilikan manajemen sebagai variabel independen karena kepemilikan manajemen dianggap sebagai variabel inti yang langsung mempengaruhi nilai perusahaan.
Dalam penelitian ini juga ditambahkan variabel independen lainya yaitu kepemilikan instutusional. Kepemilikan institusional yang digunakan mengacu kepeda penelitian dari Tendi Haruman (2008) yang berjudul Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Keputusan Keuangan dan Nilai Perusahaan. Kepemilikan institusional dalam penelitian ini diukur sesuai persentase kepemilikan saham oleh institusi perusahaan.
Kepemilikan manajemen dan kepemilikan institusional dalam penelitian ini dijadikan sebagai variabel independen yang langsung mempengaruhi nilai perusahaan karena konfik keagenan antara agen dan prinsipal yang terjadi dalam suatu perusahaan dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme yaitu dengan adanya saham oleh manajemen dan institusional yang diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini berjudul “ Pengaruh Kepemilikan Manajemen, Kepemilikan Institusional,
dan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan”.
1.2. Rumusan Masalah
Konflik keagenan yang muncul antara manajer dengan pemegang saham dapat menurunkan nilai perusahaan. Oleh sebab itu untuk mengatasi konflik keagenan diperlukan cara untuk meminimumkan agency conflict yaitu dengan adanya kepemilikan saham manajerial dan kepemilikan saham institusional. Dengan adanya kepemilikan saham tersebut maka perilaku opportunistic manajer dapat ditekan karena manajer merupakan bagian dari pemegang saham dan adanya pengawasan dari pihak luar, sehingga kinerja manajer dapat ditingkatkan dan berimbas pada meningkatnya nilai perusahaan (Tendi Haruman, 2008).
Berdasarkan latar belakang mengenai pengaruh kepemilikan manajemen dan pengaruh kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan di atas, juga adanya pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau sering juga disebut Corporate Social Responsibiliy sebagai komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam pembangunan dengan mendasarkan pada tiga aspek yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai pengaruh kepemilikan manajemen, kepemilikan institusional, dan Corporate Social Responsibiliy terhadap nilai perusahaan, maka berdasarkan uraian di atas permasalahan yang akan diteliti adalah:
1. Apakah kepemilikan manajemen berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
2. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
3. Apakah corporate social responsibility berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti secara empiris terhadap:
1. Pengujian pengaruh kepemilikan manajemen terhadap nilai perusahaan.
2. Pengujian pengaruh kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan.
3. Pengujian pengaruh corporate social responsibility terhadap nilai perusahaan.
1.3.2 Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Menyediakan informasi yang berkaitan dengan kepemilikan manajemen, kepemilikan institusional, nilai perusahaan serta pengungkapan tanggung jawab perusahaan dapat digunakan untuk penelitian para akademisi dan praktisi dibidang akuntansi di masa yang akan datang.
2. Diharapkan dapat memberi manfaat kontribusi dalam pengembangan teori, terutama yang berkaitan dengan praktik pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan.
3. Bagi regulator terkait, penelitian ini diharapkan membantu untuk mengembangkan, mengubah, menjelaskan standar yang berlaku guna mencapai pasar modal yang efisien dan perlunya informasi yang diungkap dalam laporan tahunan.
4. Bagi masyarakat, akan memberikan rangsangan secara proaktif sebagai pengontrol atas perilaku perusahaan dan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak yang harus diperoleh.
1.4. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN
BAB pendahuluan berisi latar belakang masalah merupakan landasan pemikiran secara garis besar, baik secara teoritis dan atau fakta serta pengamatan yang menimbulkan minat dan penting untuk dilakukan penelitian. Perumusan masalah adalah pernyataan tentang keadaan, fenomena dan atau konsep yang memerlukan pemecahan dan atau memerlukan jawaban melalui suatu penelitian dan pemikiran mendalam dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan alat-alat yang relevan . Tujuan penelitian dan kegunaan penelitian bagi pihak-pihak yang terkait. sistematika penulisan merupakan bagian yang mencakup uraian ringkas dan materi yang dibahas setiap bab.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
BAB tinjauan pustaka terdiri dari landasan teori mengenai teori yang melandasi penelitian ini dan menjadi acuan teori dalam analisis penelitian. Penelitian terdahulu, kerangka pemikiran yang merupakan permasalahan yang akan diteliti dan pengembangan hipotesis adalah dugaan sementara yang disimpulkan dari landasan teori dan penelitian terdahulu, serta merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang diteliti.
BAB III : METODE PENELITIAN
BAB metode penelitian berisi variabel penelitian dan definisi operasional penelitian yaitu tentang diskripsi tentang variabel-variabel dalam penelitian yang didefinisikan secara jelas, penentuan sampel, jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, metode pengumpulan data, dan metode analisis merupakan deskripsi tentang jenis atau model analisis dan mekanisme alat analisis yang digunakan dalam penelitian
BAB IV : HASIL DAN ANALISIS
BAB hasil dan analisis berisi deskripsi objek penelitian, analisis data yang dikaitkan dengan analisis statistik deskriptif dan analisis model regresi dan interprestasi hasil sesuai dengan teknik analisis yang digunakan, termasuk didalamnya dasar pembenaran dan perbandingan dengan penelitian terdahulu.
BAB V : PENUTUP
BAB penutup berisi simpulan berisi penyajian secara singkat apa yang
telah diperoleh dari pembahasan interpretasi hasil, keterbatasan penelitian yang menguraikan tentang kelemahan dan kekurangan yang ditemukan setelah dilakukan analisis dan interpretasi hasil dan saran bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Agensi
Teori keagenan (agency theory) menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). Sedangkan Hendriksen dan Michael (2000) menyatakan agen menutup kontrak untuk melakukan tugas-tugas tertentu bagi prinsipal dan prinsipal menutup kontrak untuk memberi imbalan kepada agen. Analoginya seperti antara pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan.
Perusahaan dipandang sebagai sekumpulan kontrak antara manajer perusahaan dan pemegang saham. Prinsipal atau pemilik perusahaan menyerahkan pengelolaan perusahaan terhadap pihak manajemen. Manajer sebagai pihak yang diberi wewenang atas kegiatan perusahaan dan berkewajiban menyediakan laporan keuangan akan cenderung untuk melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham. Sebagai pengelola perusahaan, manajer akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik sebagai wujud dari tanggung atas pengelolaan perusahaan namun Perusahaan dipandang sebagai sekumpulan kontrak antara manajer perusahaan dan pemegang saham. Prinsipal atau pemilik perusahaan menyerahkan pengelolaan perusahaan terhadap pihak manajemen. Manajer sebagai pihak yang diberi wewenang atas kegiatan perusahaan dan berkewajiban menyediakan laporan keuangan akan cenderung untuk melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham. Sebagai pengelola perusahaan, manajer akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik sebagai wujud dari tanggung atas pengelolaan perusahaan namun
Eisenhardt (dikutip oleh Ujiyantho dan Pramuka, 2008), menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya.
Menurut Jensen dan Meckling (dalam Siti Muyassaroh, 2008), adanya masalah keagenan memunculkan biaya agensi yang terdiri dari:
1. The monitoring expenditure by the principle, yaitu biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengaawasi perilaku dari agen dalam mengelola perusahaan.
2. The bounding expenditure by the agent (bounding cost), yaitu biaya yang dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak bertindak yang merugikan prinsipal.
3. The Residual Loss, yaitu penurunan tingkat utilitas prinsipal maupun agen karena adanya hubungan agensi.
Konlik antara manajer dan pemegang saham atau yang sering disebut dengan masalah keagenan dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan tersebut sehingga timbul biaya keagenan (agency cost). Ada beberapa alternatif untuk mengurangi agency cost, diantaranya adanya kepemilikan saham oleh institusional dan kepemilikan saham oleh manajemen (Tendi Haruman, 2008)
2.1.2 Legitimacy Theory
Menurut Haniffa et al., (dalam Sayekti dan Wondabio, 2007), dalam legitimacy theory perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan tersebut menjalankan setiap aktivitasnya.
Menurut Haniffa et al., (dikutip dari Sayekti dan Wondabio, 2007), jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya dan selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan. Keselarasan antara tindakan organisasi dan nilai-nilai masyarakat ini tidak selamanya berjalan seperti yang diharapkan. Tidak jarang akan terjadi perbedaan potensial antara organisasi dan nilai-nilai sosial yang dapat mengancam legitimasi perusahaan bahkan dapat membuat perusahaan tersebut ditutup.
Suchman (dalam Barkemeyer, 2007) memberikan definisi mengenai organisational legitimacy sebagai berikut: Legitimacy is a generalized perception or assumption that the actions of an
entity are desirable, proper, or appropriate within someocially constructed system of norms, values, beliefs, and definitions.
Nasi, Philips, and Zyglidopoulos (dalam Nurhayati et al., 2006) mengatakan bahwa “Legitimacy theory focuses of the adequacy of corporate social behaviour”. Ini berarti bahwa society judge organisasi berdasarkan atas image (citra) yang akan perusahaan ciptakan untuk perusahaan itu sendiri. Selanjutnya organisasi dapat menetapkan legitimasi mereka dengan memadukan antara kinerja perusahaan dengan ekspektasi atau persepsi publik. Ketika terdapat kesenjangan antara pengharapan dari masyarakat dan perilaku sosial perusahaan, maka akan muncul masalah legitimasi (Nurhayati et al., 2006)
Barkemeyer (2007) mengungkapkan bahwa penjelasan tentang kekuatan teori legitimasi organisasi dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan di negara berkembang terdapat dua hal; pertama, kapabilitas untuk menempatkan motif maksimalisasi keuntungan membuat gambaran lebih jelas tentang motivasi perusahaan memperbesar tanggung jawab sosialnya. Kedua, legitimasi organisasi dapat untuk memasukkan faktor budaya yang membentuk tekanan institusi yang berbeda dalam konteks yang berbeda.
Uraian di atas menjelaskan bahwa teori legitimasi merupakan salah satu teori yang mendasari pengungkapan CSR. Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dilakukan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat.
2.1.3 Corporate Social Responsibility (CSR) atau Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan
Konsep CSR sebagai salah satu tonggak penting dalam manajemen korporat. Meskipun konsep CSR baru dikenal pada awal tahun 1970-an, namun konsep tanggung jawab sosial sudah dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 (Dwi Kartini, 2009).
Menurut Carroll (dikutip dari Dwi Kartini, 2009), konsep CSR memuat komponen-komponen sebagai berikut:
1. Economic responsibilities Tanggung jawab sosial perusahaan yang utama dalah tanggung jawab ekonomi karena lembaga bisnis terdiri dari aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat secara menguntungkan.
2. Legal responsibilities Masyarakat berharap bisnis dijalankan dengan mentaati hukum dan peraturan yang berlaku yang pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif.
3. Ethical responsibilities Masyarakat berharap perusahaan menjalankan bisnis secara etis yaitu menunjukan refleksi moral yang dilakukan oleh pelaku bisnis secara perorangan maupun kelembagaan untuk menilai suatu isu di mana penilaian ini merupakan pilihan terhadap nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat.
4. Discretionary responsibilities Mayarakat mengharapkan keberadaan perusahaan dapat memberikan manfaat bagi mereka. Perkembangan CSR secara konseptual menurut Rika dan Islahuddin (2008)
mulai dibahas sejak tahun 1980-an yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Runtuhnya tembok Berlin yang merupakan simbol tumbangnya paham komunis dan bergantinya ke imperium kapitalisme secara global.
2. Meluasnya operasi perusahaan multinasional di negara berkembang sehingga dituntut memperhatikan keadaan sosial, lingkungan dan hak asasi manusia.
3. Globalisasi dan berkurangnya peran pemerintah telah menyebabkan munculnya lembaga sosial masyarakat (LSM) yang lebih memperhatikan isu kemiskinan sampai kekuatiran punahnya spesies tumbuhan dan hewan akibat ekosistem yang semakin labil.
4. Kesadaran perusahaan akan pentingnya citra perusahaan dalam membawa perusahaan menuju bisnis berkelanjutan.
Selain itu menurut Deegan (dalam Chariri dan Ghozali, 2007) alasan yang mendorong praktik pengungkapan tanggungjawab sosial dan lingkungan antara lain:
1. Mematuhi persyaratan yang ada dalam Undang-undang
2. Pertimbangan rasionalitas ekonomi
3. Mematuhi pelaporan dan proses akuntabilitas
4. Mematuhi persyaratan peminjaman
5. Mematuhi harapan masyarakat
6. Konsekuensi ancaman atas legitimasi perusahaan
7. Mengelola kelompok stakeholder tertentu
8. Menarik dana investasi
9. Mematuhi persyaratan industri
10. Memenangkan penghargaan pelaporan Menurut The World Business Council for Sustainable Development (dalam Rika dan Ishlahuddin, 2008), Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan. Hal tersebut dilakukan melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.
Menurut Boone dan Kurtz (dikutip oleh Harmoni dan Ade, 2008), pengertian tanggung jawab sosial (social responsibility) secara umum adalah dukungan manajemen terhadap kewajiban untuk mempertimbangkan laba, kepuasan pelanggan dan kesejahteraan masyarakat secara setara dalam mengevaluasi kinerja perusahaan. Tamam Achda (2007) mengartikan CSR sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Sosial Responsibility (CSR) merupakan komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (Priyanto, 2008). ACCA (dalam Retno, 2006), pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan dan pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi. Sustainability report harus menjadi dokumen strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang Sustainability Development yang membawanya menuju kepada core business dan sektor industrinya.
2.1.4 Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan
Hendriksen (dalam Rika dan Ishlahuddin, 2008), mendefinisikan pengungkapan (disclosure) sebagai penyajian informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan ada yang bersifat wajib (mandatory) yaitu pengungkapan informasi wajib dilakukan oleh perusahaan berdasarkan pada peraturan atau standar tertentu, dan ada yang bersifat sukarela (voluntary) yang merupakan pengungkapan informasi tambahan dari perusahaan.
Setiap pelaku ekonomi selain berusaha untuk kepentingan pemegang saham dan berfokus pada pencapaian laba disamping itu juga mempunyai tanggung jawab sosial terhadap masyarakat sekitar, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan, sebagaimana dinyatakan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Revisi 2009) Paragraf kedua belas:
Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap karyawan sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. Laporan tambahan tersebut di luar ruang lingkup Standar Akuntansi Keuangan.
PSAK No. 1 (revisi 2009) tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang ada di Indonesia diberi suatu kebebasan dalam mengungkapkan informasi tanggungjawab sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan tahunan perusahaan.
Bapepam selaku lembaga yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan pasar modal dan lembaga keuangan di Indonesia telah mengeluarkan beberapa aturan tentang disclosure yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang go public. Peraturan tersebut dimaksudkan untuk melindungi para pemilik modal dari adanya asimetri informasi. Perusahaan dapat memberikan disclosure melalui laporan tahunan yang telah diatur oleh Bapepam (mandatory disclosure), maupun melalui pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) sebagai tambahan pengungkapan minimum yang telah ditetapkan.
Di Indonesia, pengungkapan dalam laporan keuangan baik yang bersifat wajib maupun sukarela telah diatur dalam PSAK No.1. Selain itu pemerintah Di Indonesia, pengungkapan dalam laporan keuangan baik yang bersifat wajib maupun sukarela telah diatur dalam PSAK No.1. Selain itu pemerintah
Pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu). Zuhroh dan Putu (2003) menyebutkan tema- tema yang termasuk dalam wacana Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial adalah:
1. Kemasyarakatan Tema ini mencakup aktivitas kemasyarakatan yang diikuti oleh perusahaan, misalnya aktivitas yang terkait dengan kesehatan, pendidikan dan seni serta pengungkapan aktivitas kemasyarakatan lainnya.
2. Ketenagakerjaan Tema ini meliputi dampak aktivitas perusahaan pada orang-orang dalam perusahaan tersebut. Aktivitas tersebut meliputi : rekruitmen, program pelatihan, gaji dan tuntutan, mutasi dan promosi dan lainnya.
3. Produk dan Konsumen Tema ini melibatkan aspek kualitatif suatu produk atau jasa, antara lain pelayanan,
dalam iklan, dalam iklan,
4. Lingkungan Hidup Tema ini meliputi aspek lingkungan dari proses produksi, yang meliputi pengendalian polusi dalam menjalankan operasi bisnis, pencegahan dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat pemrosesan sumber daya alam dan konversi sumber daya alam.
2.1.5 Nilai Perusahaan
Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham (Wahidawati, 2002). Nilai perusahaan pada dasarnya diukur dari beberapa aspek salah satunya adalah harga pasar saham perusahaan, karena harga pasar saham perusahaan mencerminkan penilaian investor atas keseluruhan ekuitas yang dimiliki (Wahyudi dan Pawestri, 2006) . Menurut Van Horne (dikutip Diyah dan Erman, 2009) “Value is respresented by the market price of the company’s commom stock which in turn, is afunction of firm’s investement, financing and dividend decision.” Harga pasar saham menunjukkan penilaian sentral di semua pelaku pasar, harga pasar saham merupakan barometer kinerja perusahaan.
Menurut Rika dan Ishlahuddin (2008), nilai perusahaan didefinisikan sebagai nilai pasar. Alasannya karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran atau keuntungan bagi pemegang saham secara maksimum jika harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi keuntungan pemegang saham sehingga keadaan ini akan diminati oleh investor Menurut Rika dan Ishlahuddin (2008), nilai perusahaan didefinisikan sebagai nilai pasar. Alasannya karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran atau keuntungan bagi pemegang saham secara maksimum jika harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi keuntungan pemegang saham sehingga keadaan ini akan diminati oleh investor
Rasio-rasio keuangan digunakan investor untuk mengetahui nilai pasar perusahaan. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi manajemen mengenai penilaian investor terhadap kinerja perusahaan dimasa lampau dan prospeknya dimasa depan. Ada beberapa rasio untuk mengukur nilai pasar perusahaan, salah satunya Tobin’s Q. Rasio ini dinilai bisa memberikan informasi paling baik, karena dalam Tobin’s Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham perusahaan, tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang dimasukkan namun seluruh asset perusahaan. Dengan memasukkan seluruh asset perusahaan berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja yaitu investor dalam bentuk saham namun juga untuk kreditur karena sumber pembiayaan operasional perusahaan bukan hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga dari pinjaman yang diberikan oleh kreditur (Sukamulja, 2004).
Jadi semakin besar nilai Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar asset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku asset perusahaan maka semakin besar kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut (Sukamulja, 2004).
2.1.6 Kepemilikan Manajemen
Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency conflict. Konflik kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan pentingnya suatu mekanisme yang diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976). Mekanisme pengawasan terhadap manajemen tersebut menimbulkan suatu biaya yaitu biaya keagenan, oleh karena itu salah satu cara untuk mengurangi agency cost adalah dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen (Tendi Haruman, 2008).
Kepemilikan manajemen adalah proporsi pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur dan komisaris) (Diyah dan Erman, 2009). Dengan adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang meningkat. Kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektif memonitoring aktivitas perusahaan.
Shliefer dan Vishny (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Menurut Jensen dan Meckling (1976), ketika kepemilikan saham oleh manajemen rendah maka ada kecenderungan akan terjadinya perilaku opportunistic manajer yang meningkat akan juga. Dengan adanya kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan maka dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara manajemen dan Shliefer dan Vishny (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Menurut Jensen dan Meckling (1976), ketika kepemilikan saham oleh manajemen rendah maka ada kecenderungan akan terjadinya perilaku opportunistic manajer yang meningkat akan juga. Dengan adanya kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan maka dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara manajemen dan
Morck, Shleifer dan Vishny (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006) menemukan bahwa pada level 0-5% terdapat hubungan non linier antara kepemilikan manajerial dengan kinerja perusahaan, berhubungan negatif pada level 5-25%, berhubungan positif antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan pada level 25-50% dan berhubungan negatif pada level > 50%.
2.1.7 Kepemilikan Institusional
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba.
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk