MODUL ASAS ASAS HUKUM PIDANA

REPUBLIK INDONESIA REPUBLIK INDONESIA

dn

k li

bup

ask

ja

t la ik

ip s ip s

dn

k li

bup

ask

ja

t la ik

ip s ip s

dn

k li

bup

ask

ja

t la ik

ip s

BAB XI

KESIMPULAN .................................................................................................................. n o

BAB XII

PENUTUP .......................................................................................................................... d n

I DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................

k li

bup

ask

ja

t la ik

ip s

BAB I

n PENDAHULUAN o

dn

I. Latar Belakang

Kejaksaaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama li dibidang penuntutan perkara pidana dilingkungan peradilan umum. Dalam rangkaian b

melaksanakan tugas dibidang penuntutan ini, Kejaksaan diberi wewenang untuk melaksanakan p penetapan Hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan e

keputusan lepas bersyarat.

Diluar tugas penuntutan, Kejaksaan memiliki sejumlah tugas dan wewenang lain baik yang

diatur dalam Undang-undang Kejaksaan dan peraturan perundang-undangan lain. Selain itu a

berdasarkan berdasarkan Undang-undan, Kejaksaan dapat diberi pula tugas dan wewenang k lainselain yang sudah dimiliki sekarang.

ja

Melakukan penuntutan sesungguhnya merupakan perbuatan menerapkan hukum secara e

K concreto, karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada. t

Ketentuan hukum pidana yang diterapkan ini terdapat baik di dalam Kitab Undang-undang Hukum la Pidana, maupun tersebar di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana. ik

Jaksa Penuntut Umum baru akan dapat melaksanakan tugas penuntutan dengan baik dan D sempurna apabila memiliki pengetahuan hukum pidana baik materiil maupun formal. n

Asas-asas hukum pidana baik itu asas-asas umum maupun asas-asas yang menyimpang dari asas- d asas hukum pidana, terdapat baik pada hukum pidana materiil (substantial Criminal Law), maupun a

B dalam hukum pidana formil (Law of Criminal Procedure).

ip Hukum pidana materiil yang memuat ketentuan tentang larangan dan perintah atau

s r keharusan serta sanksi hukum bagi yang melanggar, sifatnya abstrak, melalui hukum pidana

formil, yakni dengan melakukan kegiatan penyidikan, penuntutan penyidangan, penjatuhan pidanadan pelaksanaan keputusan, menjadi hukum pidana dalam suasana kongkrit. Oleh karena itu hukum materiil biasa juga disebut pidana in abstracto, sedang hukum pidana formal disebut hukum pidana in concreto.

Asas-asas hukum pidana baik itu asas hukum pidana materiil maupun hukum pidana formal merupakan latar belakang dari peraturan hukum pidana yang kongkrit, bersifat umum dan abstrak sekali. Pada umumnya asas hukum pidana tersebut dituangkan dalam peraturan hukum Asas-asas hukum pidana baik itu asas hukum pidana materiil maupun hukum pidana formal merupakan latar belakang dari peraturan hukum pidana yang kongkrit, bersifat umum dan abstrak sekali. Pada umumnya asas hukum pidana tersebut dituangkan dalam peraturan hukum

d Asas-asas hukum pidana baik asas-asas dari hukum pidana materiil maupun asas-asas n

I hukum pidana formil, seharusnya dikuasai dengan baik oleh aparat hukum, sehingga penerapan

peraturan-peraturan hukum kongkrit akan lebih baik karena asas-asas hukum pada hakekatnya li

merupakan cita-cita yang hendak kita raih.

up

II. Permasalahan

n perkara, khususnya dalam tahap pra-penuntutan maupun tahap penuntutan, yakni pelimpahan a

perkara ke pengadilan, persidangan , penyampaian Requisitoir, serta replik dan tahap-tahap

s selanjutnya disebabkan karena pengetahuan hukum pidananya kurang memadai, terutama k

sekali pengetahuan tentang asas-asas hukum pidana. Atas dasar hal tersebut maka pemahaman ja

materi asas-asas hukum pidana perlu diintensifkan. K

2. t memahami asas-asas hukum pidana yang berlaku di negara lain, khususnya dari negara dengan la

ik

latar belakang hukum anglo amerika, karena dimasa mendatang kontak dengan justisiable

yang berasal dari hukum lain akan makin sering terjadi.

III. Maksud Dan Tujuan d

a Para peserta pendidikan dan pelatihan di Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI

pada umumnya adalah Sarjana Hukum, yang dengan sendirinya telah memiliki pengetahuan

ip s hukum yang memadai, apalagi persyaratan akademis yakni Indeks Prestasi Komulatif (IPK) r

seorang calon pegawai Kejaksaan Cukup tinggi. Namun demikian , dengan mengikuti pendidikan

dan pelatihan di Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, diharapkan pengetahuan teoritis dari Perguruan Tinggi yang masih bersifat umum dapat dikaitkan dan diarahkan sesuai dengan tugas dan wewenang Kejaksaan. Asas-asas hukum pidana telah diajarkan di Perguruan Tinggi, namun untuk penerapannya dalam praktek sebagai Penegak Hukum, Khususnya sebagai Penuntut Umum, pengetahuan tentang asas-asas hukum ini perlu diperdalam dengan lebih menjurus kepada pembicaraan kasus-kasus, sehingga kelak peserta pendidikan dan pelatihan tidak akan menemui banyak kesulitan dalam menggunakan asas-asas hukum tersebut.

no

IV. Metode

k arti penyajian asas-asas hukum sebagai pelajaran hendaknya dikaitkan dengan fungsi asas-asas li

b hukum tersebut dan bagaimana penerapannya dalam suatu kasus yang terjadi dalam u

masyarakat.

hukum, sifatnya tidak saja pembandingan deskriptif, tetapi terutama pada fungsi dan

efektifitasnya asas-asas hukum tersebut.

sk

ja

la

ik

ip s

BAB II

no

HUKUM PIDANA

Hukum Pidana terbagi atas :

A. Hukum pidana dalam arti obyektif (ius poenale) meliputi :

li

(norma) dikaitkan dengan sanksi berupa pidana oleh pembuat undang-undang. u

norma (perintah dan larangan) tersebut ditindak.

ruang.

Ius Poenale oleh karenanya dibagi :

1. Hukum Pidana Materiil - materile strafrecht – Substantive Criiminal Law yang mengatur k tentang :

ja

Apa

Perbuatan apa saja yang dapat dipidana –disebut perbuatan pidana K

(Strafbaarfeit=delik). t

Siapa

Siapa yang dapat dipidana –dapat dipertanggungjawabkan- pelaku la ik

perbuatan pidana – pleger perpetrator.

Kapan

Tempus Delicti.

n Bagaimana a Pemidanaannya.

Ancaman pidana dalam hukum pidana materiil bersifat abstrak. Hukum Pidana Materiil d

a dihimpun dalam kodifikasi yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan lainnya (diluar KUHP).

ip

s 2. Hukum Pidana Formil – Strafprocesrecht- Procedural Criminal Law.

- dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)- yang bersifat kongkrit. - -

dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana khusus/ tindak pidana khusus.

B. Hukum Pidana dalam arti subyektif (Ius puniendi)

Hak Subyektif dari penguasa/ negara untuk memidana, meliputi :

Ius Puniendi ini terdapat baik pada pemerintah pusat dengan undang-undang maupun k

pemerintah daerah dengan peraturan daerah.

li

b Pasal 71 ayat (2) UU No. 22 tahun 1999 – PERDA dapat memuat ancaman kurungan paling u

lama 6 bulan dan denda sebanyak Rp. 5 juta.

Catatan : Wewenang pembuat perundang-undangan di daerah, tidak boleh membuat

perundang-undangan yang bertentangan dengan ketentuan 8 bab dari buku I KUHP,

sesuai dengan ketentuan pasal 103 KUHP. a

PERBUATAN PIDANA/ STRAFBAAR FEIT/ DELICT k

ja

e yang diperintahkan (diharuskan) yang dapat dipidana apabila tidak dilakukan atau dilanggar. K

a. Kejahatan – didalam KUHP diatur dalam buku ke-II, diluar KUHP ditentukan oleh

perundang-undangan itu sendiri. Ada beberapa kejahatan dalm KUHP yang disebut a kejahatan ringan yang tidak dikenal dalam KHUP Belanda. d

a Ada 9 kejahatan ringan dalam KUHP : B

4. 5. 6. 7. Kejahatan ringan tersebut dalam pasal 384 tidak diberi kualifikasi, namun merupakan bentuk ringan dari pasal 383 (penipuan). Pada penadahan, pasal 407 adalah bentuk ringan dari pasal 406.

d pada saat itu yaitu, adanya RVJ dan Residensgerecht untuk golongan Eropa dan Landrad n

dengan magistraadgerecht untuk golongan non-Eropa.

li

b Acara Pemeriksaan Cepat- bukan atas kejahatan ringan dan biasa seperti KUHP. u

b. Pelanggaran

Didalam KUHP diatur dalam buku ke-III, di luar KUHP ditentukan oleh perundang-

undangan yang bersangkutan.

Menurut M.v.T kejahatan adalah rechtdelict karena bertentangan dengan perasaan hukum a

manusia sedangkan pelanggaran adalah Wetsdelict karena ditentukan oleh undang-undang.

Kegunaan praktis pembedaan kejahatan dan pelanggaran : k

1. ja

Catatan : ada pelanggaran yang berunsur sengaja/ lalai. K

Contoh : pasal 490 sub.1. t

2. la ik

(kecuali kejahatan percetakan).

4. a koperasi). d

ancaman denda saja atas ijin pejabat berwewenang (Afkoop).

ip s 6. r

Catatan : bandingkan !

a. b. Pembagian lain menurut common law: a. b.

Catatan :

d Cukai berdasarkan pasal 29 Rechten Ordonantie yaitu, penyelesaian diluar pengadilan n

oleh pejabat Bea Cukai terhadap pelanggaran.

li

ekonomi), namun dihidupkan kembali melalui lembaga Afkoop dengan KEPJA No. u KEP.089/ D.A/ 10/ 1967 tanggal 13 Oktober 1967 tentang Delegasi Wewenang Jaksa p

Agung kepada Menteri Keuangan. KEPJA ini dicabut dengan KEPJA No. 065/ JA/ 6/

85 tanggal 26 Juni 1985. Dengan adanya Undang-undang No.10 tahun 1995 tentang

Pabean –maka masalah ini tidak relevan lagi. a

kesepakatan bersama antara Penuntut Umum dengan Tersangka untuk mendapat k hukuman yang lebih ringan tanpa proses pengadilan. ja

4. K

transactie tidak terikat pada denda maksimum dan tidak hanya pada perbuatan pidana t dengan ancaman denda saja, tetapi juga pada ancaman denda bersama kurungan. la

ik

PERBUATAN PIDANA/ TINDAK PIDANA

Perbuatan pidana diatur didalam Hukum Pidana Materiil. Istilah Strafbaarfeit diterjemahkan : a

ip s Ada dua aliran :

A 1. Aliran Klasik/ Monisme (simmons Dkk) Prof. Simmons : Perbuatan Pidana (Strafbaarfeit) adalah suatu perbuatan yang diancam pidana,

bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (V.o.S 1950 hal. 29) -terlihat semua unsur ditumpuk menjadi satu. Pertanyaan : Bagaimana bila seseorang gila membunuh orang atas suruhan orang lain. Dilihat dari sudut pandang monisme adalah bukan delik yang terjadi, karena salah satu unsur yaitu dilakukan oleh orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (toereken vatbaar persoon) tidak ada.

2. Aliran Dualisme/ Modern dibedakan :

no

a. Perbuatan/ Feit

li

b. Pembuat (dader)

sekedar sistematisasi berpikir. Untuk pemidanaan, maka kedua unsur itu harus ada –

aliran ini disebut juga monodualisme. Peletak dasar aliran ini adalah Herman Kantoro k Wic (1933).

ja

UNSUR DAN ELEMEN PERBUATAN PIDANA (STRAFBAARFEIT) t Van Bammelen membedakan –bestanddeel (unsur) dengan elemen dari perbuatan pidana. la

ik

Unsur adalah apa yang ada dalam rumusan delik. Elemen adalah syarat untuk dapatdipidananya

orang yang terdapat diluar rumusan delik.

Elemen ini terlihat pada : a

1. d

ip s 2. r

feit). 3. Catatan : melawan hukum kalau terdapat didalam rumusan delik -adalah unsur delik- disebut melawan hukum khusus (facet).

Unsur Utama Delik (strafbaarfeit)

A. -

Atas dasar pembedaan tersebut perbuatan pidana dibedakan atas :

I pengancaman pidana tertuju pada perbuatan (pasal 160, 209, 242 dan 362 KUHP),

maupun delik materiil, yaitu delik dengan akibat yang dipisahkan dari perbuatan (pasal li

Melawan Hukum (Wederechtelijk)

Sifat melawan hukum ada pada semua perbuatan pidana. Kalau dimuat dalam rumusan ja

delik disebut unsur. Dibedakan :

Ad.1. Melawan Hukum Formil a Apabila seseorang telah melakukan perbuatan(Comissionis atau Omissionis) yang d

memenuhi rumusan delik (peraturan kongkrit), maka ia melakukan perbuatan melawan hukum

formil. Apabila dalam rumusan delik tercantum sifat melawan hukumnya misalnya pasal 160

ip s KUHP (penghasutan terhadap penguasa umum), 209 KHUP (sumpah palsu), 362 KUHP r

(pencurian) dsb, maka melawan hukum tersebut merupakan Unsur (Bestanddeel) -disebut

melawan hukum khusus (facet)- dari delik. Konsekuensi dimuatnya Melawan Hukum didalam rumusan delik : 1. 2. 3.

(Vrijspraak).

Catatan :

n Melawan Hukum Formil didasarkan pada asas legalitas yang terdapat dalam pasal 1 o

ayat (1) KUHP.

Ad.2. Melawan Hukum Materiil

Dikatakan Melawan Hukum Materiil apabila suatu perbuatan selain memenuhi unsur delik li

(melawan hukum formil) juga harus tercela oleh masyarakat, atau melanggar norma lain yang u berlaku dalam masyarakat. Melawan Hukum Materiil tidak disebut dalam rumusan delik sehingga p

merupakan Elemen dari delik.

lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Alle Rechtvervogling). ja

Catatan :

menterjemahkannya sebagai Perbuatan Melanggar Hukum. la

ik

Daad (melanggar Undang-undang) dengan dua unsur :

a. a

b. d

Juffrow HR dalam arrest 10 Juni 1910.

HR dalam arrest 31 Januari 1919 dalam kasus Cohen VS Lindenbaum menambah

ip s : r

c.

d. masyarakat menyangkut orang dan barang. Onrechtmatige Daad disini sifatnya luas (materiil). Arrest HR dalam kasus Cohen

vs Lindenbaum ini yang telah mendorong perkembangan pengertian Materiele Wederechtelijkheid, baik melalui doktrin maupun yurisprudensi. Adanya persamaan tersebut menimbulkan istilah Delik Pidana (Strafrechtelijkfeit) dan delik perdata

(burgerlijkefeit). Dalam perundang-undangan kta, pengertin Melawan Hukum (MH) n sering dirumuskan dengan kata-kata lain, contoh :

VEEARTS ARREST, HR tanggal 20 Pebruari 1933 Dokter hewan yang mencampur hewan

n sakit dengan yang sehat yang melanggar Undang-undang Hewan (Veewet) 1920. Dalam a

kasus ini ada Melawan Hukum Formil (memenuhi rumusan delik), tetapi tidak ada Melawan

Hukum Materiil, karena secara ilmiah dapat dibenarkan. k

B. ja

1. K

KUHP jo Undang-undang No. 24 Prp. 1960 (UU anti Korupsi). Melawan Hukum Formil, t namun MA melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Onstlag Van Alle la

ik

Rechtvervolging) karena tidak melawan hukum materiil :

1973. Melanggar pasal 415 KUHP dan pasal 372 KUHP jo. UU No. 24 Prp. 1960 –

ip s putusan lepas dari segala tuntutan hukum karena perbuatan tidak melawan hukum r

materiil.

Catatan : a.

legalitas) dan melawan hukum materiil. Inilah yang disebut melawan hukum umum. Melawan hukum materiil berada diluar rumusan delik, karena merupakan elemen delik (V. Bemmelen), oleh karenanya melawan hukum ada pada setiap delik, walaupun tidak disebut dalam rumusan delik.

b.

n formil, putusannya adalah lepas dari segala tuntutan hukum (Onstlag Van Alle o

Rechtvervolging), bukan bebas (Vrijspraak).

c.

Terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum apabila tidak ada melawan hukum li

(materiil). Peran negatif juga berarti bahwa seseorang tidak dapat dipidana hanya u karena melawan hukum materiil, karena asas legalitas. p

d.

tahun 1971), maka melawan hukum adalah unsur (bestand deel) atau hukum khusus/

facet sehingga :

ja

e. K

perundang-undangan (hukum tertulis) tetapi dapat juga bersifat materiil yaitu t perbuatan tercela, bertentangan dengan kepatutan yang berlaku didalam masyarakat. la

ik

Lihat penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

d nama RS Natalegawa – pasal 1 ayat 1 sub A – melawan hukum adalah unsur.

Terdakwa dijatuhi pidana oleh MA dengan alasan melawan hukum harus

diukur dari asas-asas hukum tidak tertulis maupun asas-asas yang bersifat

ip s

umum menurut kepatutan dalam masyarakat. Peran melawan hukummateriil

disini adalah peran positif/ mengakibatkan penjatuhan pidana.

PEMBUAT

1. a. b.

2. Pendapat DUALISME disingkat sebagai berikut : (kantor Wic/ Mulyanto) 2. Pendapat DUALISME disingkat sebagai berikut : (kantor Wic/ Mulyanto)

d memenuhi rumusan delik n

1. li

(perbuatan pidana)

up

Vertigungsgrunden

(tidak ada alasan

a pembenar

Strafvorausstezungen

s Syarat pemidanaan k

ja

2. K

t (pembuat) la ik

(tidak ada alasan pemaaf)

Hubungan antara keduanya baik hubungan sebagai hubungan paralel (Paralel Verhatenis = a berdampingan) maupun hubungan timbal balikdimana yang satu menjadi syarat bagi yang lain d

(Bendingungs Verhaltenis = secara timbal balik).

Disini terdapat :

ip s a. r

b.

Bagi Monisme, keduanya adalah unsur delik, yaitu :

menyertainya dimana perbuatan itu dilakukan.

arti luas : - -

Adagium : Actus on facit reum nisi mens sit rea (An act does not make a man guilty of crime, n

unles his mind is guilty.

dn

merupakan unsur hakiki dari suatu delik.

k li

sebagai sikap batin, termasuk pertanggungjawaban pembuat adalah unsur pembuat. u

suyektif dari delik adalah sikap batin.

Actus Reus dan Mens Rea ditempatkan menjadi satu pengertian yaitu Strafbaarfeit. Jadi,

D seluruhnya adalah unsur dan masing-masing merupakan syarat pemidanaan seseorang yang

melakukannya. a

Sebagai perbandingan :

Menurut Jerome Hall menyebut syarat-syarat pemidanaan/ Criminal Behavior :

ip

s 1. Legally Proscribed.

2. Human Conduct.

3. Causation (hubungan sebab akibat atau pebuatandengan kerugian/ harm yang ditimbulkan).

4. (Harm) –kerusakan atas nilai yang dilindungi hukum seperti : orang, benda, nama baik. 5.

Keterkaitan niat (intention) dengan perbuatan (act).

6. Blame worthy frame of mind.

7. yang dapat dipidana (which is subject to punishment).

Pembuat Mens Rea :

Ad.a. Sengaja (dolus)

buku pelajaran.

dikehendaki oleh pelaku). Berbuat dengan sengaja –Mv.t adalah berbuat dengan k kehendakdan dengan pengetahuan (Willens En Wetens Handelen). ja

Singkatnya : Mau untuk berbuat, apa akibatnya, dan tahu apa yang diperbuat. Tahu K

bukanlah tahu secara mutlak, cukup apabila dimengerti (Begijpen). t Catatan :

la

ik

akibat dari suatu perbuatan(gerakan otot)

n tidak mungkin diketahui –hanya diperkirakan saja. a

Gradasi Sengaja :

1. ip s A hendak membunuh B, A menembak B. Sengaja disini adalah dalam bentuk paling murni. r

A hendak membunuh B yang berada ditengah-tengah kerumunan orang banyak dengan melempar granat. Kematian B adalah sengaja dengan niat. Kematian orang lain bersama B adalah suatu akibat pasti.

3. Dolus bersyarat Dolus Evantualis.

Pengendara motor dengan kecepatan tinggi mengendara motor ditengah-tengah n kerumunan anak-anak. Apabila ada yang mati/ cidera.

Sengaja dalam Undang-undang :

Selain itu dengan sengaja tergambar dalam kata kerja. a

Contoh :

ja

Dengan demikian Undang-undang kadang menekankan pada salah satu komponen saja la

ik

seperti : mengetahui, dengan maksud penekanan pada tujuan, yaitu tujuan pebuatan dilakukan

dengan mengetahui.

Arti menempatkan kata “sengaja” dalam Undang-undang : d

Catatan : Perbuatan sengaja (atau lalai) dapat disimpulkan dari : a. b.

Error In Persona

A hendak membunuh B, yang terbunuh C, yang disangka B. Yang diisyaratkan pasal 338 KUHP adalah menghilangkan nyawa orang, tidak penting siapa yang mati.

Aberratio Ictus (salah sasaran)

A hendak membunuh B, yang tertembak C.

Ada beberapa kemungkinan yang terjadi :

k Terhadap B Percobaan pembunuhan dengan sengaja sebagai niat. li

bukannya sengaja tetapi lalai.

percobaan pembunuhan.

Berencana (Voorbedachte rade) – disebut juga Dolus Premediatus. M.v.T –terdapat saat

n untuk menimbang dengan tenang dan mantap. Rencana lebih dulu –mendahului perbuatan a

sengaja.

Catatan :

Dolus maupun Culpa adalah tidak berwarna (Kleurlos), artinya : bahwa pelaku tindak pidana ja

e tidak pelu tahu perbuatannya melawan hukum. Adalah asas berupa fiksi hukum bahwa semua K

orang mengetahui Undang-undang sejak di undangkan. t

Ad.b. Lalai (culpa)

akibat. - berbuat, dengan akibat yang dikehendaki disertai akibat lain yang sama sekali tidak dikehendaki. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa Culpa adalah Aulid terhadap Dolus. Jadi, berbeda secara prinsipil.

sebagai delik ancaman hukumannya ringan, berhadapan dengan delik Dolus dengan

ancaman hukuman berat.

Contoh : pasal 188 dengan 187, pasal 354 dengan pasal 338 KUHP. a

ask

perasaan hukum masyarakat –pemidanaan adalah Ultimum Remedium. ja

dalam satu pasal dengan ancaman hukuman yang sama. t

subyektif – a.l tingkat kecerdasannya, tenaganya. 2. Merupakan syarat obyektif –terlihat dari tindakannya yang berdampak subyektif. –a.l apakah dia seorang ahli atau awam. Culpa ada apabila kedua elemen tersebut ada. Dapat diperkirakannya akibat saja belum menghasilkan Culpa. Contoh (vos halaman. 162) :

Seorang dokter yang dengan terampil : melakukan operasi yang berbahaya dapat n memperkirakan terjadinya kematian, tidak melakukan Culpa. Dibutuhkan lagi adanya o

ketidak hati-hatian, menurut ukuran obyektif.

Syarat berhati-hati terbagi dua :

li

baju yang bernoda dengan bensin dekat api.

Contoh : seorang ahli/ amatir yang mengerjakan kembang api tetap bersalah.

*Catatan : pada butir 2 ini, unsur Culpa dan unsur melawan hukum bertemu.

sk

ja

la

ik

ip s

BAB III

no

NULLA POENA - POENA - STRAF – HUKUMAN

dn

I Apa itu Hukuman ? perlu dibedakan antara hukuman/ straf dengan tindakan/ maatregel.

k li

bu

akhir yaitu memperbaiki pelaku.

sifatnya sosial. A.l. tersebut pasal 24 UU No. 3/ 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu terhadap

anak nakal, yaitu terhadap anak nakal dapat dijatuhkan tindakan : a

a.

b.

latihan kerja ,atau

ja

c. K

Bin, Lat Kerja.

Catatan : Undang-undang No. 3/ 1997 –anak nakal : la

peraturan hukum lainya. Anak nakal : 8 – 18 tahun/ atau belum pernah kawin. a Mengapa pidana dijatuhkan ? d

Hakekat pidana adalah pembalasan terhadap kesalahan yang :

ip s a. r

b.

Latar belakang pemikiran teori ini adalah : KANT : Pidana adalah tuntutan etik walaupun masyarakat akan musnah besok, hari ini pembunuh harus dihukum mati.

Tujuan pemidanaan adalah prevensi terhadap kejahatan. Hakekat pemidanaan : menimbulkan rasa takut, perbaikan dan penghancuran. Teori Prevensi sebagai “tujuan” terbagi : Tujuan pemidanaan adalah prevensi terhadap kejahatan. Hakekat pemidanaan : menimbulkan rasa takut, perbaikan dan penghancuran. Teori Prevensi sebagai “tujuan” terbagi :

n Pemidanaan adalah untuk mencegah semua orang untuk melakukan kejahatan. Hasil teori o

d ini adalah pemidanaan yang kejam, pelaksanaannya di depan orang banyak. n

I Von Veirbach mengembangkan teori Psychologische Zwang –ancaman pidana yang

tinggi dapat menjadi dorongan psikologis/ kontra motif terhadap nafsu berbuat kejahatan. li

b.

Tujuan pidana adalah pencegahan terhadap pelaku untuk tidak berbuat lagi. p

Merupakan kombinasi dari teori pembalasan dan teori relatif.

Terdapat tiga variasi :

JENIS-JENIS PIDANA

la

ik

Pasal 10 KUHP menyebut jenis pidana menurut urut beratnya sebagai berikut :

Catatan : 1. kecuali pidana mati dan tutupaan, ditambah pidana pengawasan.

2.

Ad. a. Pidana Pokok :

1. Pidana Mati

li

Di Belanda sejak tahun 1820 pidana mati telah dihapus.

pasal 81 ayat (3)a, pasal 82 ayat (1)a, ayat (2)a, ayat (3)a. la

Catatan : a

Brimob dibawah perintah Jaksa Tinggi/ Jaksa.

2. Pidana Penjara

dengan ancaman mati/ penjara seumur hidup atau karena terdapat concursus/ residive dapat menjadi 20 tahun.

diberi pidana minimum 1 s/d 4 tahun. la

ik

3. Pidana Kurungan

a. dijatuhkan pidana. Pada terpidana tidak dapat, kecuali atas kehendak terpidana sendiri. b.

I sebagai pengganti pidana denda dalam hal terpidana tidak mampu/ tidak mau membayar,

diganti dengan pidana kurungan (pengganti) yang disebut dalam vonis. Kurungan pengganti li

juga atas barang rampasan yang tidak disita, jika barang tidak diserahkan dan harganya u sebagai pengganti tidak dibayar.kurungan pengganti minimum 1 hari dan maksimum 6 p

bulan dan dalam hal concursus/ residive dapat menjadi 6 bulan.

kemudian baru disusul pidana kurungan.

4. Pidana Denda

sk

ja

dengan pidana penjara atau secara kumulatif alternatif : K

a. t

paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150 juta dan paling banyak la

ik

Rp. 750 juta (penyuapan aktif dan pasif) terhadap Hakim maupun Advokat. Lihat juga

pasal. 8, pasal 9, pasal 10, pasal 12, pasal 12 b ayat (2).

n Catatan : a

Hal serupa terdapat : d

pidana denda dari tidak boleh lebih rendah dari Rp. 150 juta

b. singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau pidana denda dstnya. Lihat juga pasal 7, pasal 11 UUTPK.

Catatan : hal serupa terdapat pada pasal 64, pasal 65 UU Psikotropika dan pada n UU T.P Ekonomi.

5. Pidana Tutupan.

yang diancam dengan hukuman penjara karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. li

bup

tidak perlu dijalankan apabila selama dalam waktu percobaan tertentu, terpidana tidak

melakukan tindak pidana atau melanggar syarat khusus yang ditentukan hakim.

barang menimbulkan keberatan yang sangat bagi terpidana. ja

Tindak boleh melakukan tindak pidana selama masa percobaan.

D Catatan :

a Masa Percobaan :

3 tahun.

ip s b. r

Menyangkut semua perilaku terpidana yang tidak mengurangi kebebasan

beragama dan politik, pengawasan dilakukan oleh Jaksa.

Pelepasan Bersyarat

Terpidana yang telah menjalani 2/3 dari pidananya dan juga paling sedikit 9 bulan dapat dilepas dengan :

Syarat Umum

Syarat Khusus

Sama dengan pemidanaan bersyarat yaitu :

li

Ad. b Pidana Tambahan :

palsu –pasal 261 dan pasal 275 KUHP. K

d diancam dengan pasal 227 KUHP.

selain anaknya sendiri.

5. sendiri. 6. Catatan : pencabutan atas hak memangku jabatan tertentu, tidak dapat dilakukan oleh Hakim. Jika hal itu ditentukan undang-undang. (contoh : Ketua dan Anggota Mahkamah Agung).

b.

c.

disamping perampasan khusus dalam pasal-pasal tertentu.

Contoh : pasal 205 ayat (3) untuk delik Culpa.

Pasal 502 ayat (2), pasal 549 ayat (2)

k li

bu

sk

ja

t la

ik

ip sr

BAB IV

no

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

dn

A. Apa itu Asas-asas Hukum Pidana

k Asas hukum (rechtbeginsel) adalah pikiran dasar yang sifatnya umum dan melatar belakangi li

kaidah hukum (rechtnorm) yang terdapat dalam hukum kongkrit (rechtregels). u

R ASAS

a KAIDAH

s KONGKRIT k

ja

Catatan :

peraturan kongkrit = norma + sanksi. la

ik

jangan mencuri, jangan menggelapkan, jangan menipu.

Kaidah hukumnya = ketentuan tentang perilaku manusia dalam masyarakat, apa yang

n seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. a

a Asas hukum ini kadang-kadang dijadikan ketentuan kongkrit seperti pada pasal 1 KUHP,

Asas : “NULLUM DELICTUM NULLA POENA SINE PREVIA LEGE POENALE”

ip s Asas huku tidak terdapat didalam UU “GEEN STRAF ZONDER SCHULD” = r

Tidak ada hukuman tanpa kesalahan.

B. Hukum Pidana

Hukum pidana terbagi atas : 1.

1.1. Mengatur kapan, siapa dan bagaimana hukum termuat dalam KUHP dan lain-lain. 1.2.

Mengatur bagaimana hukum pidana materiil ditegakkan, termuat dalam KUHP dan n UU lainya.

Catatan :

k menjadikan peraturan pidana dalam UU tersebut sebagai ketentuan khusus. li

Hak negara (penguasa) untuk menghukum (mengancam hukuman, menjatuhkan hukuman

dan melaksanakan hukuman).

APA-APA SAJA ASAS HUKUM PIDANA YANG BERLAKU k

1. Asas Legalitas (tanpa Undang-undang tidak ada hukuman) ja

e Terdapat dalam rumusan pasal 1 ayat (1) KUHP dan dirumuskan oleh Anslem Von Veurbach K

sebagai “NULLUM DELICTUM NULLA POENA SINE PREVIA LEGE POENALE”, t diartikan :

la

ik

a yang terlebih dahulu ada. d

ip s 2. r

undang. Fungsi Instrumentalia di Jerman, Australia, Spanyol, Italia pemerintah

wajib menggunakan wewenang memidana. Sedangkan di Belanda, Indonesia, Perancis, Belgia dan beberapa negara lainnya pemerintah berwewenang tetapi tidak wajib memidana. Kelemahannya : Sering fungsi perlindungan dikorbankan untuk fungsi Instrumental.

Sub Asas Legalitas/ Aspek-aspek

tidak diatur oleh Undang-udang tersebut)

Pengecualian Asas Legalitas

Pasal 1 ayat (2) KUHP memungkinkan Undang-undang berlaku surut apabila hal tersebut

menguntungkan pelaku.

2. Asas Kesalahan :

ja

e Adagium : “ACTUS NON FACIT REUM NISI MENS SIT REA” (an act does not make a man K

guilty of crime unless his mind be also guilty). t

a. la Yang memenuhi rumusan delik dalam Undang-

ik

undang.

b. Unsur batin pembuat – yaitu sengaja, lalai. n

a tidak dapat dipidana kalau tidak ada kesalahan (mens rea). Asas kesalahan ini sangat d

a fundamental sifatnya dalam hukum pidana.

3. Asas-asas Yang Menyangkut Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Pidana

ip

s Indonesia.

Ada 2 asas pokok :

1. 1.1. Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana diatas alat pelayaran Indonesia diluar wilayah Indonesia.

2.2. Berlakunya pasal 2 , 5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional.

Catatan :

Alat pelayaran pengertiannya lebih luas dari kapal.

Kapal = Spesies dari alat pelayaran.

Diluar Indonesia = dilaut bebas dan di laut wilayah negara lain.

Asas-asas Extra Teritoriality/ Kkebalan dan Hak Istimewa (Immunty Previlege). li

perjalanan melalui negara-negara lain atau menuju negara lain.

2. a. Asas-asas Personalitas/ Nasionalis Aktif K

pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia diluar Indonesia yag melakukan la

ik

pidana tertentu (kejahatan terhadap keamanan negara, martabat kepala negara,

penghasutan, dll).

b. Asas Nasionalis Pasif (perlindungan Kepentingan Nasional). a

c. Asas Universalitas

ip s o

ASAS-ASAS YANG BERKAITAN DENGAN PENGHAPUSAN PIDANA A. Alasan Penghapusan Pidana

1. aturan pidana diluar KUHP (pasal 103). 2. (pasal 164, pasal 65 ayat (2), pasal 310 ayat (3) KUHP).

B. 1. Diatur dalam Undang-undang

Contoh : idiot, imbisil tuli-bisu sejak lahir.

li

b.

Contoh : gila, mania, histeris).

Mabuk patologi dapat digolongkan dengan mabuk biasa/ tidak, namun ada kemungkinan

hilangnya Dolus atau Culpa.

Catatan : kedua hal tersebut bukanlah istilah medis, tetapi merupakan istilah yuridis.

Hakim yang menetapkan.

1.2 ja

1. K

Noodweer baru dapat diterima apabila tidak ada jalan lain yang bisa dipakai (contoh t : lari).

Kepentingan yang dilindungi harus seimbang dengankepentingan yang dikorbankan

n (contoh : pencuri hingga ditembak). a

3. d

Penyerangan terjadi karena perbuatan sendiri.

Dari 3 asas tersebut diatas terlihat ada 3 syarat suatu penyerangan :

ip s a. r

b.

c. d.

b. 1. 2. 3. 4.

Contoh : satu papan dua orang dilaut.

Contoh : menghadap dua Pengadilan Negeri pada saat yang sama.

s Catatan : ketiga asas dalam pembelaan darurat diatas, berlaku juga disini (daya paksa). k

ip s Ada 2 syarat :

2. Polisi diperintahkan untuk menganiaya tahanan tidak termasuk dalam lingkup tugasnya).

B. 2. Diatur Diluar Undang-undang

a. b. c.

C. Penghapusan Pidana

Dapat dikelompokan :

a.

terbukti maka dibebaskan (vrijspraak).

b.

li

b kesalahan tidak terbukti maka lepas dari tuntuan hukum (ontslag van alle rechtvervolging) u

dan orangnya dimaafkan.

Alasan Penghapus Pidana (Umum) Dalam Undang-Undang .

PEMBENAR PEMAAF n

Pembelaan Darurat (psl. 49 ayat (1)

Tidak mampu bertanggungjawab (psl. 44) a

Keadaan darurat (Nood Toestand)

Daya paksa/ Overmacht/ Force Majeur (psl. 48) k ja

Menjalankan Perundang-undang Ekses Pembelaan Darurat/ Noodweer Ekses (psl.49

(psl.50)

ayat(2))

t Menjalankan Perintah jabatan yang tidak sah (psl. 51

Menjalankan perintah jabatan (psl.51)

ASAS-ASAS YANG BERLAKU PADA PEMBARENGAN (SAMENLOOP)

A.

Perbuatan Pidana : d

a.

B peraturan tanpa diselingi putusan Hakim.

c. diantara setiap perbuatan pidana dipisahkan oleh putusan Hakim. B. a. telah melanggar beberapa ketentuan pidana (psl.63 ayat (1) KUHP). b. perbuatan tanpa diselingi putusan Hakim.

c.

berdiri sendiri-sendiri namun satu sama lain berkaitan sehingga harus dilihat sebagai o

perbuatan berlanjut (psl. 64 KUHP).

Concursus Idealis

li

bu

Perbuatan sangat penting dalam kaitannya dengan pasal 76 yang juga menggunakan istilah p

“Feit”.

Pasal 76

orang tidak boleh ditutntut sekali lagi atas perbuatan (feit)... dst. a

as

dilanggar. Satu feit – beberapa kejahatan.

ja

mata rohani terlihat jamak.

M.v.T Memberi contoh :

la

Perkosaan dimuka umum, terlihat hanya satu perbuatan, feit melahirkan dua pelanggaran

ik

pidana(pasal 285 dan pasal 281 KUHP).

Perkembangan penafsiran feit

Semula Yurisprudensi dan teori berpendapat : feit = perbuatan materiil baik pada pasal 63 maupun a pasal 76

a Van Bammelen B Kata feit diartikan sebagai perbuatan (handeling) karena terpengaruh kata

perbuatan (handeling) pada pasal 65.

ip s Akibat pandangan ini banyak timbul ketidakpuasan (contoh : HR 21 Nopember 1887).

A Kasus I

Pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas dengan sepeda yang tidak berpening pajak telah dipidana karena pelanggaran lalu lintas. Ketika diajukan perkara pelanggaran pajak telah dinyatakan lepas dari tuntutan hukum karena Ne Bis In Idem (pasal 76). Kasus II

Seorang pengendara mobil yang menabrak orang sehingga mati, dijatuhi putusan bebas ketika n diajukan untuk pelanggaran lalu lintas. – terkena ketentuan pasal 76 Ne Bis In Idem (HR 26 Mei o

Pandangan Baru

li

Van Bammelen menggunakan 3 kriteria untuk menyatakan ada satu atau beberapa feit : u

kesopanan dimuka umum.

sk

ja

Semua ini merupakan concursus idealis, dasarnya masih tetap feit sebagai Lihamelijk Daad. K

Beberapa Pendapat Lain

la

Perkembangan Yurisprudensi

ik

H.R. 15 Pebruari 1932

Pengemudi yang dalam keadaan mabuk mengendarai mobil tanpa lampu melakukan concursus

realis (C.R).

Dasar pertimbangan : d

ip s Keduanya merupakan feit yang berdiri sendiri. Kebersamaan waktu kejadian bukanlah yang

hakiki.

H.R. 8 Pebruari 1932

Tabrakan yang mengakibatkan seorang mati, dan seorang lagi luka berat adalah concusus realis buka concursus idealis. Feit disini dilihat dari kacamata hukum pidana.

H.R. 2 Juni 1936

Dengan sengaja membakar yang mengakibatkan bahaya umum bagi barang dan menyebabkan luka berat adalah concursus realis melanggar pasal 187 butir 1 dan pasal 187 butir 2.

Sejak itu dikembangkan ajaran aspek untuk menentukan ada satu atau lebih perbuatan. –apakah n ada satu atau lebih aspek kepidanaan yang dapat terlihat pada suatu perbuatan.

d Hubungan concursus idealis dengan ne bis in idem antara pasal 63 dengan pasal 76 ada kaitan n

yang erat. Keduanya menggunakan kata feit

Feit pada pasal 63 dengan feit pada pasal 76 jika pengertiannya berbeda akan menimbulkan li

kejanggalan.

secara terpisah, karena bertentangan dengan pasal 76 (Ne Bis In Idem).

Spesialitas Logis

Pasal 63 ayat (2) adalah menyangkut spesialitas yang terdiri atas : k

a.d. a. Spesialitas Logis

la

ik

disini berhadapan delik-delik dasar yang memuat semua unsur delik dengan delik lain,

mempunyai semua unsur yang ada pada delik dasar ditambah unsur khusus atau ada unsur yang

digantikan.

Contoh : pasal 363 ayat (1) d

a Pencurian hewan merupakan spesialitas logis dari pencurian dari pasal 362. Yang

menjadikan pasal 363 sebagai ketentuan khusus adalah unsur hewan sebagai unsur barang pada

ip s pasal 362. Disini pasal 363 digunakan. Ancaman pidana pada pasal 363 tersebut lebih berat. Pasal r

340 terhadap pasal 338 pada spesialitas logis. –ketentuan dasar harus mundur sebagai ketentuan

umum. Ada spesialitas logis dengan pidana yang lebih berat. (contoh: psl. 341 dengan psl. 338 KUHP). Unsur tambahannya adalah karena takut. Ancaman pidana pasal 341 adalah 7 tahun, sedangkan pasal 338 adalah 15 tahun.

Ada pula spesialitas logis dengan masing-masing mempunyai unsur khusus (contoh : pasal 287 dengan pasal 296). –yang satu merupakan kekhususan terhadap yang lain.

Kekhususan pasal 287terhadap pasal 294 ialah perbuatan cabul khusus –bersetubuh diluar n perkawinan- dan dibawah umur 15 tahun. Sebaliknya pasal 294 mempunyai kekhususan terhadap o

d pasal 287, yaitu perempuan dibawah umur yanga adalah Anaknya atau anak tirinya, dst. n

Spesialitas logis bukanlah concursus idealis (C.I).

a.d. b. Konsumsi

li

b Disini bukan hubungan logis antara 2 ketentuan, tetapi hubungan nilai dan 2 norma. u

Abortus yang selesai mealnggar pasal 348 tetapi sekaligus memenuhi unsur pasal 299, namun p

karena sifatnya dapat dipidananya dan sifat berbahayanya maka pasal 299 telah diserap

(dikonsumsi) oleh pasal 348 yang berlaku (Van Hattum).

konsumsi.

ja

a.d. c. Spesialitas Sistematis

berbeda, dimana yang satu adalah Undang-undang pidana khusus dan yang lain terdapat dalam la

ik

KUHP.

sesungguhnya sebagian besar telah diatur dalam KUHP. Undang-undang PTPK adalah a Undang-undang khusus. d

a Residif B

ip s

A sejumlah perbuatan yang merpuakan sejumlah tindak pidana.

putusan Hakim, sedang pada residif antara dua tindak pidana yang dilakukan selalu selalu oleh putusan Hakim.

pelaku yang diadili secara terpisah. Hal ini tetap merupakan C.R bukan residif.

Terdapat Dua Jenis Residif :

a.

kejahatan yang sama atau sejenis

li

atau sebagian, atau dihapus, atau hak eksekusi pidana sebelumnya belum lewat. p

Semua dikaitkan dengan pelaksanaan jabatan. K

2. t

Concursus Realis

la

ik

Concursus Realis diatur dalam pasal 65, pasal 6 dan pasal 70 KUHP. Concursus Realis

D terjadi karena adanya beberapa feit (perbuatan) yang masing-masing berdiri sendiri dan masing-

n masing menghasilkan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang tanpa diselingi oleh a

putusan Hakim. d

Yurisprudensi harus dibaca, bukan sebagai perbuatan materiil.

ip s

C.I makin menjadi sempit.

dengan satu perbuatan materiil, makin sulit membedakan C.I dengan C.R.

a.

Tiap-tiap perbuatan pidana dipidana tanpa pengurangan (cumulure = penjumlahan).

b. Hanya pidana tertinggi yang dikenakan b. Hanya pidana tertinggi yang dikenakan

n Tiap pidana dijatuhkan dan dijumlahkan, namun jumlahnya tidak boleh lebih dari o

hukuman tertinggi ditambah sepertiga

d.

k Maka C.R dengan ancaman hukuman sejenis, stelsel pemidanaannya adalah absorbsi li

yang dipertajam (d) –pasal 65 KUHP.

up

kumulasi yang diperlunak (pasal 66 KUHP).

n pelangggaran, maka pidanadijatuhkan pada tiap-tiap pelanggaran (pasal 70 KUHP). a

a Terhadap pelanggaran berlaku stelsel kumulasi murni (a) , khusus pasal 302 ayat (1), pasal s

352, pasal 364, pasal 373 dan pasal 482 dianggap pelanggaran dengan pembatasan pidana k ja

8 bulan penjara.

turut diperhitungkan dengan menggunakan stelsel pemidanaan yang sesuai. t

la ik

a Apabila pelaku dengan perilakunya memenuhi dari satu ketentuan pidana dimana ketentuan d

a pidana yang satu merupakan khusus, maka hanya ada satu ketentuan pidana yang diterapkan yaitu B

yang bersifat khusus, asas tersebut ialah :

ip s 1.

A a.

pidana yang ada ditambah unsur khusus. b. berbeda dengan ketentuan pidana yang ada. 2. Apabila terdapat dua peraturan Perundang-undangan yang setingkat mengatur hal yang sama maka peraturan terakhir yang berlaku.

Asas Ne Bis In Idem mempunyai dua sisi. Sisi pribadi (persoonlijke) dan sisi obyek (zakelijk) n sebagaimana diatur dalam pasal 76 KUHP.

a.

b.

hukum yang pasti (sisi obyektif).

li

Pertanyaan : Apakah yang dimaksud dengan keputusan yang telah memperoleh kekuatan hukum u pasti (inkracht) ?

s Terhadap ketiga putusan ini apabila telah memperoleh kekuatan huum pasti, maka berlaku asas k

Ne Bis In Idem.

Terhadap putusan diatas dapat diajukan lagi tanpa melanggar asas Ne Bis In Idem.

Asas Accesoiritas a Berlaku pada penyertaan (deelneming/ concursus plurium ad unum delictum). – bahwa d

penyertaan baru dapat dipidana apabila perbuatan dimana penyertaan dilakukan benar-benar

dilaksanakan, termasuk percobaannya. Pada pembarengan ada satu pelaku dengan beberapa

ip s perbuatan pidana, maka pada penyertaan ada satu perbuatan dengan beberapa orang pelaku. r

Dibedakan :

1. terjadi bila ada kerjasama orang lain. 2. Dibedakan : 1. a. b.

kesalahan atau unsur pertanggungjawaban tidak ia miliki.

janji, menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, paksaan atau pemberian kesempatan

sarana atau keterangan.

menyimpang.

ip s - r

terbujuk sendiri (pasal 164 KUHP).

Pembujukan Gagal Sesuai asas accesoiritas, maka apabila terbujuk tidak melaksanakan delik dari pembujuk, pembujuk tidak dapat dihukum. KUHP menjadikan Pembujuk yang gagal sebagai delik tersendiri (pasal 164 KUHP). Agen Provokatur o

provokatur tersebut? provokatur tersebut?

mempunyai niat yang sama (H.R. 19 Maret 1981).

adalah pembuat (dader).

B Delik kualitas adalah delik dimana pelakunya mempunyai kualitas tertentu sebagai

pegawai negeri.

ip s *Membantu (medeplichtig) :

A 1. sebelum delik dilakukan 2. pada waktu delik dilakukan.

peralatan atau keterangan. Niat sudah ada pembuat untuk melakukan delik, apabila niat itu ditimbulkan oleh yang memberi kesempatan, alat atau keterangan, maka yang terjadi adalah pembujukan.

BAB V

no

ALASAN PENGURANGAN HUKUMAN

dn

Ada 3 bentuk :

Perbuatan sudah dilakukan, hasil yang dikehendaki tidak ada.

Ad. 2. Permulaan Pelaksanaan t

yang telah terlaksana terhadap kepentingan hukum. a

c. d

a bahwa pelaku sanggup melaksanakan niatnya.

*Perbedaan kedua ajaran adalah pada apa yang dimaksud dengan Perbuatan Persiapan.

ip s Perbuatan persiapan pada ajaran obyektif sudah merupakan perbuatan pelaksanaan pada r

ajaran subyektif.

Ad. 3.Delik tidak selesai bukan atas kemauan sendiri Terdapat rumusan yang negatif (negatif non surtprobanda) yang menimbulkan kesulitan pada pembuktian. o

- akibatnya tidak muncul.

mencuri barang yang ternyata barangnya sendiri. K

pidana ternyata bukan. la

ik

Telah diterangkan dalam kaitan dengan penyertaan, terbagi atas :

a. a

b. d

Alasan pengurangan hukuman ini adalah merupakan alasan pengurangan yang sesungguhnya

ip s dan diatur dalam bab tentang penghapusan, pengurangan dalam pembantuan hukum.

Percobaan Dalam Common Law (Attempt)

an offence, a person does an act wich a more than merely prepatory.

Ada 3 Teori : 1.

dan semuanya bernilaisama.

2. Teori Individualisme – faktor atau syarat mana yang paling berpengaruh dalam n menimbulkan akibat.

I menimbulkan akibat. Suatu faktor/ syarat baru dapat menjadi sebab apabila faktor tersebut

adequat (seimbang) untuk menimbulkan akibat. Sebab adalah syarat yang rasional untuk li

menimbulkan akibat.

up

Tujuan Dasar Pembenaran Pemidanaan

mempunyai tujuan.

Pemidanaan adalah pendidikan bagi pelaku. la

bagi kebaikan masyarakat a

ip sr

BAB VI

no

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS)

dn

I Dalam hal undang-undang berbicara tentang mengakibatkan (veroorzaken) atau

akibat, maka disitu kita perhadapkan pada masalah sebab-akibat (kausalitas) pada delik-delik li

materiil dimana pemidanaan dijatuhkan pada perbuatan yang mempunyai akibat. Maka masalah u kausalitas selalu ada karena akibat merupakan unsur delik (bestandeel). Pada delik formil yaitu p

pemidanaan tertuju pada perbuatan seperti pasal 362, 150, 209, 210 dan 242 KUHP), maka

kausalitas tidak menjadi masalah.

Disamping delik materiil terdapat pula delik dengan berkualifikasi karena adanya akibat seperti a

pasal :351 ayat (2) dan ayat (3), pasal 187 ayat (2) dan ayat (3), dimana kausalitas menjadi macula s .

Ada beberapa teori kausalitas yang dikenal :

ja

1. Teori Van Biiri yang disebut teori Condition Sine Qua Non (semua syarat adalah sebab-syarat e mutlak).

Semua syarat/ faktor yang membawa akibat adalah sebab(causa) dan mempunyai nilai yang t

la

sama (equivalent). Syarat-syarattertentu yang dapat dihilangkan tidak merupakan sebab. Teori

ik

ini disebut juga teori Aequivalentie atau Bedingungs Theorie, karena bedingung (syarat) adalah

sama dengan causa (sebab).

Van Hameli a teori ini logis, namun harus disertai dengan teori kesalahan yang baik. Harus dibuktikan sikap batin berpua sengaja atau lalai. d

2. Teori Individualitas Birk Meijer B

Adalah sebagai reaksi terhadap teori aequivalentie. Dari rangkaian syarat/ faktor yang ada dicari

ip s syarat yang paling berpengaruh terhadap terjadinya akibat yang bersangkutan.

A 3. Teori Generalisasi

Yang menjadi sebab adalah faktor yang menurut pengalaman manusia pada umumnya dapat menimbulkan akibat yang terjadi.

4. Teori Adequat

Merupakan pengembangan dari teori Generalisasi, sehingga disebut juga teori Subyektif Adequat. Causa dari suatu akibat adalah hanya satu dari antara rangkaian faktor, yaitu yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh pelaku. Oleh karena itu disebut Subjektive Prognose.

Kritik terhadap teori ini oleh Van Bammelen :

d Dengan teori ini kita sudah beralih ke teori kesalahan, bukan lagi bicara tentang kausalitas. n

Teori ini kemudian diperbaiki oleh Riimelin :

Sebab adalah faktor obyektif yang diperkirakan dari rangkaian faktor-faktor sebagai sebab menurut li

perhitungan manusia normal.

Terlihat V. Kries melihatnya secara ex ante (pada sebelum perbuatan dilakukan) dan Riimelin p

melihatnya secara ex post (sesudah perbuatan) disebut Nachtragliche Prognose (nachtragliche =

sesudah). Teori V. Kriesdan Riimelin bersama bersama dengan teori dari Treager yang

menggunakan ukuran manusia terpandai (de verstandigste) disebut teori Adequatie. a

Untuk membedakan teori V. Kries dengan teori Riimelin dikemukakan kasus sebagai berikut :

Seorang suami karena marah melemparkan sebuah pantoffel ke kepala istrinya. k Yang terkena lemparan adalah bagian kepala yang sangat tipis (eirschedel). Karena kepalanya ja

pecah istrinya meninggal dunia

rechtbank K (pengadilan tingkat pertama) –bukan

penganiayaan yang menyebabkan kematian. Sebaliknya Gerechlithof berpendapat ada hubungan t kausal.

la

ik

Rechtbank mengikuti V.Kries sedangkan Hof mengikuti Riimelin, dimana menurut V. Kries yang

harus menjadi pertimbangan adalah pengetahuan dari si pembuat.

Sebaliknya Riimelin harus a dipertimbangkan keadaan, seperti tipisnya tengkorak. Yurisprudensi menggunakan teori V. Kries. d

Kausalitas pada Delik Omisionis

a.

ip s Pada delik omisionis murni tidak ada masalah dengan kausalitas. r

b.

Kesulitan timbul apabila orang berpendapat bahwa pengertian sebab didasarkan pada pakaar ilmu alam dengan ungkapan terkenal ex nihilo nihil pascitur –dari suatu yang tidak ada tidak mungkin diwujudkan sesuatu yang ada- jadi dari perbuatan negatif nalaten tidak mungkin timbul suatu akibat. Dengan menggunakan teori adequat makin jelas dapat terjadi suatu akibat yang kausanya adalah tidak berbuat – yang seharusnya wajib ia perbuat. Jadi disini harus dikaitkan

hal tidak berbuat dengan kesalahan dan melawan hukum.

Contoh Kasus :

n Seorang tukang perapian (kachelsmid) yang memindahkan perapian (haard) dari balkon o

d ke dalam kamar tidur atas permintaan Ny. H tanpa menghubungkannya ke cerobong asap, n

I telah menyebabkan Tn. H keracunan asap dan mati. Si tukang dipersalahkan sebagai

penyebab kematian, karena tidak memberitahukan kepada Ny. H tentang bahaya arang li

monooxyde.

Seorang ibu membiarkan suaminya membunuh cucunya, dianggap sebagai membantu

pembunuhan.

sk

ja

la

ik

ip s

BAB VII

TEMPUS DAN LOCUS DELICTI

dn

KUHP tidak mengatur tentang Tempus dan Locus Delicti. Permasalahnnya diserahkan pada k

Yurisprudensi dan Doktrin. Penentuan Locus dan Tempus Delicti sangat penting, sehingga li merupakan syarat batal bagi suatu dakwaan yang tidak mencantumkannya. (pasal 143 ayat (2)b b

dan ayat (3)).

kemungkinan Locus Delicti Jamak.

B Tempus Delicti penting artinya dalam hal :

1. ip s

r (1) dan ayat (2)).

A 2.

pembuatbelum 16 tahun. Pasal 287 unsur korban belum 17 tahun dan pasal-pasal lainnya seperti : 287, 288, 290, 294, 300 dan 301 KUHP).

Ada 4 teori untuk penetuan Locus dan Tempus Delicti :

perbuatan materiil dari delik.

2. tempus dan locus delicti adalah tempat dan waktu alat bekerja.

H.R dalam Arrest 24 Juni 1935

Berpegang pada teori perbuatan jasmaniah tentang kasus penipuan dimana perbuatan tipu daya a

dilakukan untuk menipu publik atau persaingan curang.

H.R 6 April 1915

Seorang dari seberang perbatasan menarik seekor kuda dari negeri Belanda locus delicti nya ja

adalah Belanda.

Locus Delicti dan kegunaannya : t Pada Ommisi murni masih dipermasalahkan antara tempat maupun waktu dimana la

ik

dan kapan perbuatan harus dilakukan, dan tempat dimana pembuat berada, dimana dia harus

melakukan perbuatan dan dapat melakukannya.

Contoh : seseorang di Jakarta Selatan dipanggil menghadap sebagai saksi ke Pengadilan Jakarta a Barat yang tidak dipenuhinya. d

Pendapat pertama tempusnya di Jakarta Barat.

Pendapat kedua tempusnya di Jakarta Selatan atau ditempat lain dimana dia berada pada waktu dia

ip s harus menghadap. Jelas teori alat tidak dapat dipakai disini. r

V.Hamel mempertahankan Locus Delicti Jamak maupun Tempus Delicti Jamak menggunakan

teori yang sama.

BAB VIII

DELIK-DELIK KORPORASI

dn

Von Savigny :

Societas Universitas Delinquere Non Protest (badan-badan hukum tidak dapat dipidana). li Adagium ini ada karena pengaruh hukum Romawi.

bu

Korporasi sebagai subyek hukum dibidang hukum perdata telah lama diakui disamping manusia.

Dibidang hukum pidana merupakan suatu hal yang masih baru.

Perkembangan pemahaman korporasi sebagai subyek hukum pidana terhambat oleh rumusan delik R itu sendiriyang selalu berbunyi “barang siapa” (hij die). Terdapat beberapa pasal seperti pasal : n

169, 398, 399 dimana seharusnya korporasinya yang dijatuhi pidana, namun hal itu dielakkan

dengan menjatuhkan pidana terhadap individu dalam bentuk penyertaan. s

Juga dalam pasal 59 KUHP berdasar pada pemikiran bahwa korporasi tidak dapat dipidana.

ja

Doktrin Mens Rea adlah penghambat utama untuk menjadikan koporasi sebagai subyek hukum

pidana, karena hukum pidana kita mengisyaratkan adanya kesalahan, sehingga disebut hukum K

pidana kesalahan (schuld strafrecht). Yang merupakan bagian dai Mens Rea, maka dengan t sendirinya tidak dapat diterapkan pada korporasi yang tidak mungkin mempunyai Mens Rea. Hal la ini jelas terlihat dari asas geen straf zonder schuld dinegara-negara civil law. ik

Liability of Corporation in Criminal Case sudah lama di terapkan di inggris (L.H Lieigh 1944) D yang diikuti pula di USA, Kanada,Australia dll. n

a Selain itu doktrin ultra vires (suatu korporasi bertindak melampaui apa yang dicantumkan dalam d

AD) yang juga merupakan penghambat menurut Leigh telah diatasi. a

Di Indonesia yang mengikuti Belanda, korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana. B Untuk tindak pidana hukum tetap berpegang bahwa hukum pidana Indonesia adalah Schuld ip

s r Strafrecht, sehingga korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana. Mvt suatu

A delik hanya dapat dilakukan oleh perorangan ( naturlijke persoon). Hal ini berbeda dengan tindak pidana khusus dimana dengan jelas korporasi dapat dituntut seperti yang terlihat pada :

1. Pasal 70 : - tersebut. -

Pasal 20 : denda maksimum.

bu

yang mempunyai kedudukan fungsional, maupun terhadap korporasi.

Di Belanda telah terjadi peerubahan pasal 51 WSR : s