Efektivitas BI Rate terhadap Penentuan S

MATA KULIAH EKONOMI UANG DAN BANK
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN BI RATE TERHADAP
PENENTUAN SUKU BUNGA PERBANKAN DI INDONESIA

Dosen : Vietha Devia SS., ME

Disusun Oleh :
Muhammad Said Hannaf

145020501111025

Program Studi Ekonomi Islam
Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya
Malang
2017
i

KATA PENGANTAR


Puji syukur kita panjatkan kepada Allah yang Tuhan yang Maha Kuasa, karena
berkat pertolongan melalui doa kepada-Nya kita serta usaha dapat menyelesaikan
tugas Ujian Akhir Semester pada penelitian singkat ini. Saya ucapkan terima kasih
kepada ibu Vietha Devia selaku dosen mata kuliah Ekonomi Uang dan
Bank atas bimbingannya.
Kami menyadari ini membuka saran dan kritik yang membangun untuk
meningkatkan kualitas Paper ini oleh para pembaca sekalian.

Malang, Januari 2017

ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

iii


DAFTAR GAMBAR

iv

ABSTRAK

v

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Rumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian


4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Inflation Targeting Framework (ITF) Sebagai Dasar BI Rate dan Bagian
Kerangka Kebijakan Moneter

5

Kebijakan BI Rate terhadap Suku Bunga Bank Umum

6

Pengaruh Struktur Pasar Perbankan di Indonesia terhadap Penentuan Suku
Bunga
7
Pembentukan Suku Bunga Perspektif Perbankan

8

Kerangka Penelitian


13

BAB III METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian

15

Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data

15

Metode Analisis Data

15

BAB IV PEMBAHASAN
Dilema Perbankan dalam Penetapan Suku Bunga

16


BAB V PENUTUP
Kesimpulan

21

Saran

21

DAFTAR PUSTAKA

22

iii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Grafik Pergerakan BI Rate

2


Gambar 1.2. Grafik Suku Bungan Bank Umum

3

Gambar 2.1. Kerangka Kebijakan Moneter

5

Gambar 2.2. Lima Jalur Transmisi Moneter

6

Gambar 2.3. Kurva MC, MR dan Penawaran Kredit

10

Gambar 2.4. Kurva NMR, NIE dan Permintaan Deposito

10


Gambar 2.5. Kurva Keseimbangan Pasar Kredit

11

Gambar 2.6. Kurva Keseimbangan Pasar Deposito

11

Gambar 2.7. Kurva Keseimbangan Kredit dan Deposito

12

Gambar 4.1. Responden Bank Pusat dalam Penentuan Suku Bunga

19

Gambar 4.2. Responden Bank Daerah dalam Penentuan Suku Bunga

19


iv

Abstrak
Perbankan merupakan lembaga intermediasi yang berfungsi sebagai lembaga
penyalur dana dari pihak yang kelebihan kepada pihak yang kekurangan dana.
Peran perbankan yang vital didukung dengan seperangkat regulasi untuk
mendukung keteraturan bank. peran perbankan dalam perekonomian sebagai
intermediasi uang berhubungan dengan proses penciptaan uang. Bank Indonesia,
pada saat ini merumuskan kebijakan, yakni BI Rate, Instrumen ini berfungsi sebagai
alat untuk pencapaian tujuan akhir pencapaian target inflasi (ITF). Namun
perubahan BI Rate tidak diikuti dengan penurunan suku bunga bank. Sehingga
transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga tidak secepat jalur transmisi yang
lainnya. Penelitian ini menjawab persoalan lemahnya respon perubahan suku bunga
bank terhadap BI Rate. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif
dengan studi literatur. Penelitian ini menemukan bahwa kekakuan suku bunga bank
disebabkan faktor internal, risiko kredit, NPL, amortisasi kerugian periode
sebelumnya, biaya overhead dan biaya dana yang tinggi. Rekomendasi diperlukan
suku bunga acuan yang mempertimbangkan keputusan bank dalam menentukan
suku bunga. Sehingga suku bunga bank dapat mentransmisikan suku bunga acuan

dengan lebih cepat.
Kata kunci: Efektivitas, BI Rate, faktor internal, suku bunga

v

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN BI RATE TERHADAP
PENENTUAN SUKU BUNGA PERBANKAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perbankan merupakan lembaga intermediasi yang berfungsi sebagai
lembaga penyalur dana dari pihak yang kelebihan kepada pihak yang
kekurangan dana. Keberadaan perbankan sebagai sub sistem dalam
perekonomian suatu negara memiliki peranan yang cukup penting. Peran
perbankan dalam kehidupan masyarakat sebagian besar melibatkan jasajasa dari sektor perbankan.
Peran perbankan yang vital didukung dengan seperangkat regulasi
untuk mendukung keteraturan bank. peran perbankan dalam perekonomian
sebagai intermediasi uang berhubungan dengan proses penciptaan uang,
khususnya uang giral. Lebih lanjut, seperangkat instrumen dan kebijakan
diambil oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral, untuk mengatur peran

bank dalam penciptaan uang dan pengendalian tingkat inflasi (Inflation
Targeting Framework).
Bank Indonesia, pada saat ini merumuskan kebijakan, yakni BI Rate,
Instrumen ini berfungsi sebagai alat untuk pencapaian tujuan akhir
pencapaian target inflasi (ITF), yang mana kebijakan perubahan BI Rate,
memerlukan waktu time lag dan sangat kompleks untuk mencapai tingkat
inflasi yang ditargetkan. Respon ini juga melihat kondisi yang terjadi pada
masing-masing pelaku disektor keuangan dan sektor riil.
BI Rate sebagai alat utama untuk mengendalikan suku bunga secara
teoretis harus diikuti oleh perubahan kebijakan suku bunga pada perbankan
umum. Namun menurut studi yang dilakukan oleh Bank Indonesia
mengenai Efektifitas Penurunan BI-Rate terhadap Penurunan Suku Bunga
Perbankan Daerah Maluku. Survei ini dilakukan beberapa bulan setelah
menurunkan BI-rate hingga berada pada level 7,25 % pada awal Mei 2009.
Survei dilakukan pada 13 kantor cabang bank dan 1 Bank Perkreditan

1

Rakyat yang dilakukan pada akhir Mei 2009, kebijakan penurunan BI Rate
ini tidak direspon. BI telah melakukan penurunan dan kenaikan, dapat

dilihat dalam grafik.
Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menunjukkan,
penetapan BI Rate cenderung stabil dikisaran 4-7% sejak kebijakan ini
digulirkan pada tahun 2005. Sejak bulan Agustus 2016, BI memperbarui
kebijakan dengan BI 7 Day Repo Rate yang mana nilainya berubah setiap
tujuh hari/sepekan sekali. Pada saat ini dalam proses transisinya BI Rate
tetap digunakan sebagai acuan, sedangkan BI 7 Day Repo Rate hanya
digunakan sebagai acuan pasar uang antar bank.

Grafik Pergerakan BI Rate
14.00%
12.00%
10.00%
8.00%
6.00%
4.00%
2.00%

21 Juli 2016
18 Februari 2016
17-Sep-15
14-Apr-15
18 Nopember 2014
10 Juli 2014
13 Februari 2014
12-Sep-13
14 Mei 2013
11 Desember 2012
12 Juli 2012
9 Februari 2012
8-Sep-11
12-Apr-11
4 Nopember 2010
3 Juni 2010
6 Januari 2010
5 Agustus 2009
4 Maret 2009
7 Oktober 2008
6 Mei 2008
6 Desember 2007
5 Juli 2007
6 Februari 2007
5-Sep-06
5-Apr-06
1 Nopember 2005

0.00%

Gambar 1.1. Sumber: Bank Indonesia, diolah
Lebih lanjut jika dibandingkan antara suku bunga kredit perbankan
umum nilainya hampir dua kali lipat dibandingkan BI Rate yang ditetapkan
(dapat dilihat pada grafik 1.2.) Tentunya ini berdasarkan kebijakan masingmasing bank, namun yang perlu dicermati adalah perubahan BI Rate
sebagai acuan suku bunga terhadap stabilitas perbankan nasional.

2

Suku Bunga Bank Umum
Presentase Suku Bunga

20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

2013

2012

2011

2010

Modal Kerja 12.73 12.61 11.66

2015

2014

11.8

12.4

12.83 13.69 15.22

2009

2008

2007
13

2006

2005

15.07 16.23

Investasi

12.29 12.21 11.39 11.45 12.12 12.28 12.96

14.4

13.01

Konsumsi

13.73 13.33 13.16 13.83 14.47 14.53 16.42

16.4

16.13 17.58 16.83

BI Rate

7.5

7.5

6.5

6

6.5

6.5

6.5

9.25

8

15.1
9.75

15.66
12.75

Tahun

Gambar 1.2. Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Kondisi perbankan secara umum berpengaruh pada kecepatan time
lag ini. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon
perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat
lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk
memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya
permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran
kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga
belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat
apabila prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor
keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam
menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.
Proses transmisi moneter ini sebagai makroprudential approach menjadi
pertanda atas efektifnya kebijakan BI Rate.
Terakhir, dengan argumentasi diatas, maka paper ini bertujuan untuk
menjawab, mengapa perbankan umum tidak respon terhadap penurunan
BI Rate. Penting penelitian ini dilakukan sebagai evaluasi, perlukah

3

kebijakan BI Rate digantikan atau diperlukan instrumen kebijakan perantara
untuk membantu perbankan umum lebih merespon penurunan BI Rate.
Sehingga sektor riil dapat merespon penurunan BI Rate dengan kegiatan
konsumsi dan investasi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang, yang mengindikasikan
adanya research gap antara kebijakan BI Rate dan stabilitas perbankan
Menghasilkan pertanyaan penelitian berikut:
1. Bagaimana pengaruh perubahan BI Rate terhadap suku bunga
bank umum
1.3. Tujuan Penelitian
Faktor apa yang menjadi penuntut hubungan BI Rate dan suku bunga
perbankan

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Inflation Targeting Framework (ITF) Sebagai Dasar BI Rate dan
Bagian Kerangka Kebijakan Moneter
Inflation Targeting Framework (ITF), adalah sebagai jangkar atau
penghubung antara instrumen keuangan, sasaran operasional, dan
sasaran antara untuk mencapai target inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Indikator yang digunakan dalam ITF adalah nilai Indeks Harga Konsumen
(IHK).Penentuan

besarnya

IHK

dilakukan

oleh

Bank

Indonesia,

Pemerintah, dan stakeholder lain. BI menggunakan instrumen keuangan
untuk mencapai sasaran inflasi, instrument-instrumen kebijakan moneter
yang digunakan antara lain: Operasi Pasar Terbuka, Fasilitas Diskonto, dan
Giro Wajib Minimum.

Gambar 2.1. Kerangka Kebijakan Moneter, sumber: Ekonomi Uang dan Bank, Dias
Satria

Setelah memilih instrumen adalah menentukan sasaran operasional
(operational targets) dan sasaran antara (intermediate targets). Dalam
konteks ini sasaran operasional adalah sasaran yang mana BI memiliki
kemampuan untuk mempengaruhinya secara langsung, seperti uang inti

5

(B,Base Money) dan suku bunga jangka pendek (SBI). Selanjutnya,
sasaran antar (intermediate targets) merupakan sasaran yang mana BI
hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhinya secara tidak
langsung, seperti: M1, M2, Suku Bunga Jangka Panjang dan Kredit.
Dengan sasaran operasional dan sasaran antara inilah pada akhirnya Bank
Indonesia dapat mencapai single objective atau sasaran akhir yang ingin
dicapai yaitu InflationTargeting.

2.2. Kebijakan BI Rate terhadap Suku Bunga Bank Umum
BI Rate sampai memengaruhi suku bunga bank umum, penetapan BI
Rate memiliki mekanisme yang saling berinteraksi antara Bank Sentral,
perbankan, dan sektor keuangan serta sektor riil. Ketika perubahan BI Rate
terjadi yang mana bertujuan untuk memengaruhi tingkat inflasi, jalur yang
digunakan adalah jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga
aset dan jalur ekspektasi.

Gambar 2.2 Lima jalur transmisi moneter dalam BI Rate yang memengaruhi Inflasi

Pada Jalur suku bunga simpanan dan deposito perbankan, jika kondisi
perekonomian sedang mengalami penurunan, maka Bank Indonesia
menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku

6

bunga

untuk

mendorong

aktivitas

ekonomi.

Penurunan

BI

Rate

menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari
perusahaan dan rumah tangga akan meningkat.
Penurunan suku bunga kredit juga menurunkan biaya modal
perusahaan untuk melakukan investasi. Semua hal ini akan meningkatkan
aktivitas konsumsi dan investasi sehingga aktivitas perekonomian semakin
meningkat. Namun, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank
Indonesia merespon dengan menaikkan BI Rate untuk menekan aktivitas
perekonomian yang terlalu cepat, untuk mengurangi tekanan inflasi.
2.3. Pengaruh Struktur Pasar Perbankan di Indonesia terhadap
Penentuan Suku Bunga
Menurut penelitian yang dilakukan oleh, Claessen dan Laeven (2004)
dalam Ratna Sri Widyastuti (2013), yang mengestimasikan tingkat
kompetisi perbankan di 50 negara. Dalam penelitian yang menggunakan
metode Panzar-Rosse selama tahun 1994-2001, dari penelitian tersebut
industri perbankan Indonesia tergolong dalam kategori persaingan
monopolistik. Lebih lanjut, dalam penelitian yang dilakukan oleh Setyowati
(2004) dalam Ratna Sri Widyastuti, yang juga sama menyimpulkan bahwa
persaingan struktur pasar perbankan di Indonesia secara keseluruhan
adalah kompetisi monopolistik.
Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Sri Widyastuti dan Boedi
Armanto (2013) pengaruh peningkatan kompetisi di sisi aset cenderung
berbeda dengan pengaruhnya di sisi liabilitas. Pada sisi liabilitas,
peningkatan kompetisi dapat mendorong peningkatan bunga dana pihak
ketiga karena bank cenderung menggalang nasabah baru melalui imingiming bunga yang lebih tinggi dari kompetitornya. Sebaliknya untuk sisi
aset, peningkatan kompetisi akan mendorong bank menurunkan suku
bunga karena bank mencoba menawarkan bunga yang lebih rendah
kepada debiturnya.

7

Sehingga penentuan tingkat suku bunga dalam perspektif masingmasing bank dipengaruhi oleh kekuatan untuk merebut pangsa pasar, lebih
lanjut persaingan antara bank dikarenakan perebutan sumber daya yang
produktif, misalnya pada deposito, tabungan dan penyaluran kredit yang
merupakan sumber pendapatan. Kompetisi non-harga antar bank biasanya
berbentuk hadiah dan promosi untuk menarik nasabah dalam jumlah besar.
2.4. Pembentukan Suku Bunga Perspektif Perbankan.
Pengelolaan bank melakukan berbagai usahanya dengan tujuan
untuk memperoleh keuntungan ekonomis. Keuntungan ekonomis adalah
pendapatan

yang dikurangi dengan biaya-biaya ekonomis yang

didalamnya telah terkandung biaya-biaya yang bersifat eksplisit maupun
implisit.

Lebih

lanjut

bank

memiliki

diversifikasi

sumber-sumber

pendapatan, namun dalam hal ini kita asumsikan bahwa pendapatan suatu
bank bersumber dari pendapatan bunga.kredit (lending). Misalkan bank A,
dengan tingkat suku bunga tertentu (r1) dari total kredit yang disalurkannya
selama satu periode (L) sama dengan:
TRA = rL X LA

(1)

Pada sisi biaya terdapat tiga jenis biaya yang harus dipikul oleh setiap
bank, yakni: biaya bunga atas total simpanan masyarakat selama satu
periode dengan tingkat suku bunga tertentu (rD X DA), biaya pelayanan
kepada deposan (CD) dan biaya penyaluran kredit (C1). Maka total biaya
operasional bank dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
TCA = (RD x DA) + CD + C1

(2)

Keuntungan ekonomis suatu bank adalah selisih antara total pendapatan
dengan total biaya ekonomisnya. Maka keuntungan suatu bank A dapat
dinyatakan dalam persamaan berikut:
TRA – TCA = (rL X LA) - (RD x DA) + CD + C1

(3)

8

Lebih lanjut diasumsikan bahwa pasar dalam keadaan bersaing sempurna,
maka suku bunga pasar ditentukan oleh interaksi antara penawaran dan
permintaan pasar. Dengan demikian terdapat banyak nasabah (debitur dan
deposan) dan banyak bank yang masing-masing tidak dapat memengaruhi
tingkat suku bunga pasar. Dalam hal ini bank-bank yang ada dianggap
homogen.
Untuk

memaksimumkan

keuntungannya,

setiap

bank

harus

memutuskan berapa jumlah deposito masyarakat yang harus diserap dan
berapa jumlah kredit yang harus disalurkannya. Bank berupaya menarik
deposito masyarakat dan menyalurkan kredit sampai jumlah tertentu,
dimana pendapatan marjinal yang didapatnya dari bunga pinjaman yang
disalurkan (rL) sama dengan biaya marjinal yang harus dipikulnya
sehubungan dengan bunga deposito (rD) ditambah biaya operasinya yang
terdiri dari biaya pelayanan pada deposan (MCD) dan biaya penyaluran
kredit pada para debitur (MC1). dengan hal ini, maka biaya marjinal Bank A,
dinyatakan sebagai berikut:
MCA = rD + MCD + MCL

(4)

Maka keuntungan maksimal akan tercapai pada
rL = rD + MCD + MCL atau rD = rL – (MCD + MCL)

(5)

rL adalah pendapatan marjinal (MR) dari persamaan 5 dapat disimpulkan
bahwa apabila Bank A ingin memaksimalkan keuntungan maka jumlah
bunga yang harus dibayarnya pada deposan harus sama besar dengan
jumlah pendapatan bunga yang diterimanya dikurangi biaya operasional.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dimisalkan struktur
pasar perbankan adalah persaingan sempurna, baik bank atau deposan
tidak dapat memengaruhi suku bunga maka kurva pendapatan marjinal dan
kurva biaya bunga marjinal adalah horizontal. Lebih lanjut, semakin besar

9

dana masyarakat yang diserap dan semakin besar kredit yang disalurkan
maka biaya operasional yang harus dipikul oleh bank akan semakin
meningkat. Maka kurva biaya marjinal bank (MC) akan memiliki slope yang
negatif dan kurva pendapatan marjinal bersih (NMR = rL – (MCD+ MCL))
memiliki slope negatif.

Gambar 2.3 MC, MR dan penawaran
kredit oleh individual bank

Gambar 2.4 NMR, NIE dan
permintaan deposito oleh individual
bank

Pada grafik terlihat bahwa perubahan suku bunga kredit akan
menyebabkan bank A bergerak sepanjang kurva MC dari satu titik
keuntungan maksimal ke titik keuntungan lainnya. Titik-titik disepanjang
kurva MC menggambarkan kombinasi antara suku bunga dan jumlah kredit
yang disalurkan dimana keuntungan maksimal tercapai. Dengan demikian
MC dapat juga dikatakan sebagai kurva penawaran kredit oleh bank A.
pada grafik selanjutnya menunjukkan bahwa penurunan suku bunga
deposito akan menyebabkan kurva NMR berpotongan dengan kurva MIE
pada kuantitas deposito yang lebih besar. Semakin rendah suku bunganya,
semakin besar jumlah simpanan masyarakat berbentuk deposito yang lebih
besar. Semakin rendah suku bunganya semakin besar jumlah simpanan
berbentuk deposito berjangka yang diminta oleh bank A kepada
masyarakat. Sebaliknya bila suku bunga meningkat, maka jumlah
permintaan bank A akan menurun. Dengan demikian kurva NMR dapat
dikatakan sebagai kurva permintaan deposito berjangka oleh bank A.

10

Gambar 2.5 Keseimbangan di
pasar kredit

Gambar 2.6 Keseimbangan di
pasar deposito

Lebih lanjut, dipasar pinjaman, semakin tinggi suku bunga pasar maka akan
semakin kecil permintaan kredit oleh masyarakat, sehingga kurva
permintaan kredit oleh masyarakat, sehingga kurva permintaan pasar kredit
berslope negatif. Sebaliknya dipasar deposito, semakin tinggi suku bunga,
semakin besar kuantitas deposito berjangka yang ditawarkan oleh
deposan. Dengan demikian kurva penawaran pasar deposito berslope
positif.
Namun studi yang dilakukan oleh Llewellyn dan Hefferman dalam
Ridho dkk. menggunakan sudut pandang yang berbeda dalam menjelaskan
penentuan suku bunga bank. mereka menggabungkan kurva penawaran
deposito oleh nasabah dengan kurva permintaan kredit oleh debitur ( ).
Kurva permintaan kredit berslope negatif, yang bermakna bahwa semakin
rendah tingkat suku bunga maka semakin rendah jumlah kredit yang
diminta. Kemudian dalam kurva penawaran deposito, oleh nasabah
berslope positif. Maka hal ini bermakna bahwa semakin tinggi suku bunga
yang diberikan bank semakin besar jumlah deposito yang ditawarkan oleh
nasabah. Pada saat tingkat suku bunga r1, permintaan terhadap kredit
adalah sebesar 0P0, sementara jumlah penawaran deposito adalah 0p1
sehingga terjadi kelebihan permintaan terhadap kredit sebesar

P1P0.

11

Sementara itu, pada saat tingkat suku bunga berada pada r2, terjadi
kelebihan

penawaran

(excess

supply)

deposito

sebesar

P1P0.

Keseimbangan antara permintaan kredit dengan penawaran deposito
terjadi pada saat tingkat suku bunga di rE dimana jumlah deposito yang
ditawarkan = jumlah kredit yang diminta yaitu sejumlah 0PE. Pada titik
keseimbangan ini bank akan memperoleh marjin nol, karena suku bunga
kredit yang diberikan sama dengan suku bunga deposito yang harus
dibayarkan. Untuk memperoleh keuntungan bank harus menetapkan suku
bunga yang lebih tinggi untuk kredit dari pada suku bunga untuk deposito.
Misalkan suku bunga kredit adalah r2 sementara suku bunga deposito
adalah r1. Permintaan kredit dan penawaran deposito akan sama-sama
sebesar 0P1 dimana tidak ada kelebihan penawaran maupun permintaan,
bank akan memperoleh marjin sebesar selisih antara r2 dan r1. Nilai uang
dari marjin tersebut adalah sama dengan [(r2-r1) X 0p1] atau seluas daerah
r1CBr2

Gambar 2.7 Penawaran deposito dan permintaan kredit

12

Selisih antara suku bunga deposito (r1) dengan suku bunga kredit (r2)
disebut juga marjin suku bunga. Apabila perbankan telah mencapai
optimum level of economics of scale, dimana permintaan dan penawaran
akan konstan pada titik keseimbangan, maka setiap perubahan pada biaya
modal akan diteruskan pada debitur melalui peningkatan atau penurunan
suku bunga kredit.
2.5. Kerangka Penelitian
Dalam penelitian ini berdasarkan pada, adanya research gap antara
penurunan BI Rate yang tidak direspon oleh perbankan umum. Meskipun
Bank Indonesia memberi argumentasi bahwa, respon perubahan BI Rate
menimbang pada kondisi kinerja perbankan dan sektor keuangan. Namun
kebijakan BI Rate yang naik justru direspon dengan kenaikan suku bunga
pada perbankan.
Berikut ini kerangka penelitian, alur berpikir peneliti dalam analisis
mengapa kebijakan penurunan BI Rate tidak direspon oleh perbankan,
dengan penurunan suku bunga.

13

Berdasarkan penelitian ini, BI Rate yang menurun tidak diikuti oleh
perbankan, tentunya sektor riil mengeluarkan biaya yang tinggi dalam
melakukan pembiayaan pada perbankan.

14

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Judith
Preissle dalam Pupu (2009:2), yang dimaksud dengan penelitian kualitatif
adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang
tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau
cara-cara lain dari kuantifikasi. Lebih lanjut, Bogdan dan Biklen, S dalam
Pupu (2009:2) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau
tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Penelitian kualitatif deskriptif
dipilih karena pentingnya penafsiran secara lugas atas peristiwa-peristiwa
ekonomi secara penjelasan atas pendekatan yang deduktif.
3.2. Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari,
jurnal, dan buku yang berhubungan dengan rumusan masalah.
3.3. Metode Analisis Data
Secara umum, metode analisis dalam penelitian ini adalah kajian
literatur. Kajian literatur dilakukan dengan melakukan dokumentasi dan
review yang komperhensif atas publikasi-publikasi yang relevan dengan
topik yang dibawakan. Survei literature juga diartikan sebagai aktivitas
melakukan ekstraksi terhadap literatur-literatur serta data pendukung yang
relevan untuk menjelaskan isu dalam rumusan masalah yang diangkat oleh
peneliti. Karena keterbatasan yang dilakukan dalam survei literatur, maka
peneliti ini hanya menjadi penelitian antara atau jembatan untuk
pengembangan secara empiris yang lebih kuat. Namun, pengambilan
kesimpulan dan analisis dalam survei literatur tetap mengacu secara
akademis dan proporsional terhadap pencapaian yang ingin dihasilkan.

15

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Dilema Perbankan dalam Penetapan Suku Bunga
Permasalahan suku bunga menjadi isu strategis industri perbankan,
fenomena penurunan BI Rate yang tidak diikuti dengan penurunan suku
bunga kredit oleh bank, kemudian dikarenakan kompetisi yang ketat dalam
industri perbankan dalam memberikan tingkat suku bunga simpanan yang
tinggi berdampak pada tingginya suku bunga kredit. Permasalahan yang
perlu disorot adalah fungsi vital perbankan yaitu “intermediasi”, tidak
sekedar tingginya LDR (loans to deposit ratio) dan rendahnya NPL (Non
Performing Loans) menggambarkan industri perbankan baik-baik saja.
Evaluasi terhadap kinerja perbankan dalam share kredit retail.
Masalah ini sesungguhnya memicu beberapa hal terkait dengan strategi
kebijakan suku bunga pada masing-masing bank. Kredit retail (kredit
konsumen/ kartu kredit) ini jauh lebih menggiurkan dibandingkan dengan
kredit lainnya. Sehingga perbankan berlomba-lomba untuk meningkatkan
bunga simpanan masyarakat untuk mengalokasikannya pada jenis kredit
konsumen.
Alasan kredit konsumen menggiurkan digarap di Indonesia. Pertama
jumlah masyarakat Indonesia yang besar, gaya hidup konsumtif, potensi
pasar yang besar. Sehingga perbankan banyak yang mengorbankan
portofolio kreditnya, untuk fokus dalam menggarap pasar kredit konsumtif.
Sehingga perbankan enggan menurunkan suku bunga simpanan

dan

kreditnya karena pola utama yang tertuju pada kredit konsumtif. Dengan
tingkat keuntungan yang tinggi dari suku bunganya 24-48% pertahun1.
Maka potensi penurunan suku bunga menjadi sulit. Pertama bankir tetap
akan berlomba strategi untuk menarik nasabah agar tetap menabungkan
uangnya

dalam

deposito

dengan

imbalan

hadiah-hadiah,

untuk

mengkompensasi suku bunga deposito (simpanan) yang dipaksa harus
1 Dias

Satria. 2009. Ekonomi Uang dan Bank : 88

16

turun. Kedua penurunan suku bunga deposito akan meningkatkan NIM,
ketiga penurunan suku bunga deposito juga tidak dibarengi dengan
penurunan suku bunga kredit karena penilaian terhadap prospek bisnis dan
investasi perlu proses evaluasi yang panjang.
Lebih lanjut dalam pemaparan oleh praktisi manajemen risiko terkait
penetapan suku bunga bank umum linear dengan BI Rate, meningkatnya
pemberian kredit konsumtif, adalah sebagai salah satu cara bank untuk
meningkatkan Loan Deposit Ratio yang dalam hal ini menghapus anggapan
perbankan hanya memutar dananya pada pasar uang saja. Kemudian
menjadi pertanyaan permasalahan BI Rate yang tidak sepenuhnya diikuti
oleh bank umum (dalam hal ini saat terjadi penurunan) bermuara pada
persoalan kredit ini. Apakah kredit harus dibatasi?
Jika demikian yang dilakukan maka menimbulkan pro dan kontra,
bahwa terlalu banyak regulasi yang justru menyempitkan peran perbankan.
Namun dengan keuntungan yang besar dari kredit konsumsi ini seharusnya
menjadikan bank harus lebih berhati-hati, karena potensi kredit macet
(NPL). Seperti yang telah dipaparkan oleh peneliti pada bab dua lalu, bahwa
penentuan suku bunga salah satunya ditetapkan untuk menjaga kestabilan
spread sehingga pendapatan bank yang bersumber dari suku bunga dapat
terjaga.
Lebih lanjut penelitian yang dilakukan oleh Gantiah (2014:18), dkk
bahwa, kebutuhan likuiditas involuntary perbankan sangat dipengaruhi oleh
situasi dipasar keuangan. Kebijakan moneter melalui suku bunga (BI Rate)
hanya berpengaruh pada bank menengah, sedangkan bank besar dan kecil
tidak menunjukkan pengaruh sama sekali. Pengaruh kebijakan moneter
melalui BI Rate tidak terlalu kuat.
Dalam penelitian yang dilakukan Doni (2011:26) bahwa persepsi risiko
pelaku ekonomi dan tingkat risiko disektor perbankan memiliki peran yang
signifikan dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui jalur kredit.
Persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko disektor perbankan saat
berinteraksi dengan stance kebijakan moneter menyebabkan pembalikan

17

arah dampak kebijakan moneter yang longgar. Stance kebijakan moneter
yang longgar dapat merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi disektor
perbankan sebagai kondisi perekonomian sedang menuju perkembangan
yang kurang baik. Sedangkan stance kebijakan moneter yang ketat untuk
mengkontraksi perekonomian melalui jalur kredit perbankan menjadi tidak
efektif pada saat berinteraksi dengan variabel persepsi pelaku dan tingkat
risiko disektor perbankan. Hal ini kemungkinan karena adanya dampak
perilaku risiko yang bersifat mengeliminir peran kebijakan moneter dalam
mengkontraksi perekonomian.
Secara tidak langsung penelitian tersebut menyimpulkan bahwa untuk
kasus Indonesia, stance kebijakan moneter yang longgar memiliki efek
yang menyebabkan pelaku disektor perbankan semakin risk averse. Hal
tersebut berbeda dengan apa yang diteliti oleh Taylor (2009) dalam Doni,
bahwa di negara-negara maju, dimana pada negara-negara maju
pelonggaran kebijakan moneter menyebabkan perilaku pelaku ekonomi
disektor keuangan menjadi lebih risk taker. Analisis juga menunjukkan
indikasi dampak yang tidak simetris dari kebijakan moneter yang ketat dan
longgar saat berinteraksi dengan variable perilaku risiko. Pada saat
kebijakan moneter ketat, perilaku risiko cenderung meminimalisir dampak
pengetatan moneter terhadap dinamika jangka pendek kredit perbankan.
Pada saat kebijakan moneter longgar, penurunan suku bunga kebijakan
bank sentral (BI Rate) tidak mampu menurunkan suku bunga kredit
perbankan agar bisa mendorong peningkatan kredit, sebagai dampak dari
perilaku risiko yang cenderung tinggi pada saat ekonomi dalam tekanan.
Lebih lanjut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ridho Hakim
(2000: 50) penyebab utama kekakuan suku bunga kredit perbankan
menurut responden pusat, pertama masih tingginya risiko kredit yang
dihadapi (Gambar 4.1.) kedua faktor tingginya NPL, ketiga amortisasi
kerugian periode sebelumnya, keempat biaya overhead yang tinggi dan
biaya dana yang tinggi. Sedangkan pada responden bank daerah,
kekakuan suku bunga utamanya disebabkan oleh NPL, kedua biaya

18

overhead bank yang tinggi, risiko kredit yang dinilai masih tinggi, amortisasi
kerugian sebelumnya, suku bunga pasar dan memenuhi target marjin
keuntungan.

Gambar 4.1 : Responden bank di pusat dalam penentuan suku bunga kredit
(Ridho Hakim, 2000: 51)

Gambar 4.2 : Responden bank di daerah dalam penentuan suku
bunga kredit (Ridho Hakim, 2000: 51)
Lebih lanjut pada penelitian yang dilakukan oleh Everd dan Telisha
(2014) bahwa BI Rate tidak memengaruhi suku bunga kredit bank.
Penelitian tersebut menemukan bahwa BI Rate memengaruhi suku bunga
deposito yang berpengaruh terhadap keuntungan bank. faktor yang

19

berpengaruh signifikan pada penentuan suku bunga kredit adalah (DF)
Deposit Facility dan (LDR) Loan Deposit Ratio.
Berdasarkan pemaparan tersebut, kembali pada fungsi BI Rate yang
hanya sebagai acuan saja, sesungguhnya peran imbauan moral dari
otoritas moneter dan tekanan yang langsung dilakukan pada perbankan.
Kemudian penguatan koordinasi kebijakan sangat dituntut para otoritas
terkait dalam menjalankan kebijakan perbankan. Karena ketidakresponan
perbankan seperti yang sudah dipaparkan dalam studi-studi tersebut
dipengaruhi oleh faktor internal (risiko kredit, NPL, amortisasi kerugian
periode sebelumnya, biaya overhead dan biaya dana yang tinggi). dan
kondisi dinamisme persaingan sektor perbankan.
Peneliti pun juga melihat kebijakan acuan-acuan yang dikeluarkan
oleh otoritas moneter cenderung parsial, maksudnya faktor-faktor teknis
pembentukan

suku

bunga

oleh

perbankan

tidak

seluruhnya

dipertimbangkan. Sehingga kita dapat mengamati dari transmisi moneter
ada jalur transmisi yang merespon perubahan acuan dengan cepat dan ada
yang lambat atau bahkan tidak merespon.

20

BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan atas penelitian-penelitian sebelumnya
bahwa pengaruh kebijakan suku bunga acuan dalam hal ini BI Rate dan
perubahan suku bunga perbankan tidak berhubungan positif yang
signifikan. Sebagaimana BI Rate hanya merupakan acuan saja, maka
independensi kondisi perbankan yang memengaruhi keputusan perubahan
suku bunga.
5.2. Saran
Penelitian yang menggunakan pendekatan/jenis kuantitatif diperlukan
sebagai penelitian lanjutan, mengenai pembentukan suku bunga acuan
yang khusus ditujukan untuk mengatur suku bunga perbankan umum. Hal
ini penting karena transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga pada
perbankan lambat direspon atau tidak sama sekali.

21

DAFTAR PUSTAKA
Athoillah, Moh. 2010. Struktur Pasar Industri Perbankan Indonesia: RossePanzar Test. Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 4 (1): 110.
Bank Indonesia. 2009. Hasil Survey Efektifitas Penurunan BI Rate.
Hakim, Ridho. 2000. Struktur Pembentukan Suku Bunga dari Sisi
Perbankan. Bank Indonesia: Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan.
Muljawan, Dadang. 2014. dkk. Faktor-Faktor Penentu Efisiensi Perbankan
Indonesia Serta Dampaknya Terhadap Perhitungan Suku Bunga
Kredit. Bank Indonesia: Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan.
Pupu Saeful Rahmat. 2009. Penelitian Kualitatif. Jurnal Equilibrium Vol 5
(9): 1-8.
Satria, Dias. 2009. Ekonomi Uang dan Bank. Malang: UB Press.
Satria, Doni. dan M. Juhro, Solikin. 2011. Perilaku Risiko dalam Mekanisme
Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Bank Indonesia: Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan.
Wuryandani, Gantiah. 2014. Pengelolaan Dana dan Likuiditas Bank. Bank
Indonesia: Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan.
Sri Widyastuti, Ratna. dan Armanto, Boedi. 2013. Kompetisi Industri
Perbankan Indonesia. Bank Indonesia: Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan.

22