Karakterisasi Simplisia dan Isolasi Senyawa Alkaloida Ekstrak Etanol Sponge Xestospongia sp de Laubenfels

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Sponge 2.1.1 Habitat

Sebagian besar sponge hidup di laut dan hanya 159 jenis hidup di air tawar. Umumnya terdapat di perairan jernih, dangkal dan menempel di substrat (Suwignyo, dkk., 2005).

2.1.2 Morfologi dan anatomi

Morfologi luar sponge sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungannya. Sponge yang hidup di lingkungan terbuka dan berombak besar, pertumbuhannya cenderung pendek dan melebar, sebaliknya sponge sejenis yang hidup di lingkungan terlindung atau perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi (Amir dan Budiyanto, 1996).

Beberapa sponge mempunyai warna tubuh yang berbeda walaupun satu jenis. Sponge yang hidup di lingkungan gelap akan berbeda warnanya dengan sponge sejenis yang hidup di lingkungan cerah, warnanya dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion sponge umumnya adalah

sianobakteria dan alga seperti dinoflagella atau zooxanthella (Amir dan Budiyanto, 1996).

Sponge adalah hewan filter feeder yang dapat menyaring partikel sangat kecil dan tidak tersaring oleh hewan-hewan laut lainnya, hidupnya menetap dimana dapat hidup dengan baik pada arus air yang kuat dan mendapatkan makanan dari aliran air tersebut. Makanan sponge terdiri dari detritus organik, seperti bakteri, zooplankton dan fitoplankton (Amir dan Budiyanto, 1996).


(2)

Tubuh setiap individu sponge terdapat rongga yang disebut spongocol. Permukaan tubuhnya terdapat pori-pori yang merupakan lubang masuknya air ke spongocol dan keluar melalui oskulum. Umumnya dinding tubuh sponge terdiri atas tiga lapisan (Suwignyo, dkk., 2005), yaitu:

a) Pinakosit, seperti epidermis yang berfungsi melindungi tubuh bagian dalam. b) Mesohyl atau Mesoglea, terdiri dari zat semacam agar, mengandung sel

amubosit yang mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk pengangkut dan cadangan makanan, membuang partikel sisa metabolisme, membuat spikula, serat sponge dan membuat sel reproduksi.

c) Koanosit, yang melapisi spongocol dan dilengkapi sebuah flagel yang dikelilingi fibril. Getaran flagel menghasilkan arus air dalam spongocol, sedangkan fibril berfungsi sebagai alat penangkap makanan. Struktur sponge dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur sponge

Keterangan: a. oskulum, b. porosit, c. mesohyl, d. spongocol, e. koanosit, f. amubosit, g. pinakosit.

a b c d

e f


(3)

Berdasarkan sistem saluran air, sponge dibagi tiga tipe (Suwignyo, dkk., 2005), yaitu:

1. Askonoid, merupakan bentuk paling primitif yang menyerupai vas bunga. 2. Sikonoid, yang memperlihatkan pelipatan dinding tubuh secara horizontal. 3. Leukonoid, yang memperlihatkan pelipatan dinding spongocol yang paling

kompleks. Tipe saluran air sponge dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Tipe saluran air sponge

Keterangan: a. Tipe Askonoid, b. Tipe Sikonoid, c. Tipe Leukonoid.

Tubuh sponge diperkokoh oleh suatu kerangka spikula yang mengandung kalsium karbonat atau silikat dan juga didukung oleh kerangka serat-serat keratin atau spongin. Berdasarkan fungsinya, spikula dibagi dua kategori yaitu megasklera dan mikrosklera. Megasklera adalah komponen dari kerangka utama yang berperan untuk membentuk sponge dan perkembangan struktur internal, sedangkan mikrosklera tidak berfungsi seperti megasklera tetapi tersebar pada permukaan atau membran internal (Amir dan Budiyanto, 1996). Sponge suku Petrosiidae umumnya mempunyai spikula megasklera berbentuk monoakson dengan ujung melengkung tajam yang disebut tipe Oxea (Qaralleh, dkk., 2011).


(4)

Tipe-tipe spikula megasklera monoakson dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut:

Gambar 2.3 Megasklera monoakson

Keterangan: a. Fusiform oxea , b. Hastate oxea , c. Strongyloxea , d. Strongyle, e. Tylote, f. Centrotylote oxea , g. Hastate style, h. Fusiform style, i. Styloid, j. Tylostyle, k. Subtylostyle.

Tipe-tipe spikula megasklera triakson dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut:

Gambar 2.4 Megasklera triakson (triaene)

Keterangan: a. Calthrope, b. Plagiotriaene, c. Anatriaene, d. Protriaene, e. Mesoprotriaene, f. Prodiaene.

Tipe-tipe spikula mikrosklera monoakson dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut:

Gambar 2.5 Mikrosklera monoakson

Keterangan: a. Microxea , b. Microstrongyle, c. Centrotylote microxea , d. Microtylostyle, e. Comma , f. Raphide, g. Trichordragmata , h. Sahidaster, i. Verticillate, j. Anisodiscorhabd, k. Spiraster, l. Anthosigma , m. Selenaster, n. Spinispira , o. Spirula , p. Toxaspire.


(5)

Tipe-tipe spikula mikrosklera bentuk bintang atau Astrose dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut:

Gambar 2.6 Mikrosklera bentuk bintang atau Astrose

Keterangan: a & b. Plesiaster, c. Amphiaster, d. Metaster, e. Spiraster, f. Oxyaster, g. Oxyspheraster, h. Pycnaster, i. Strongylaster, j. Tylaster, k. Anthaster, 1. Anthospheraster, m. Sterrospheraster, n. Sterraster, o. Aspidaster.

Tipe-tipe spikula mikrosklera bentuk sigma atau Sigmatosklera dapat dilihat pada Gambar 2.7 berikut:

Gambar 2.7 Mikrosklera bentuk sigma atau Sigmatosklera

Keterangan: a & b. Sigma, c. Serrate sigma , d. Diancistra , e. Toxon, f. Forcep,

g. Arcuate chela , h. Palmate isochela , i. Palmate anisochela , k. Anchorate isochela , 1. Birotulate, m. Bipocillium.

2.1.3 Klasifikasi

Sponge dibagi dalam 3 kelas (Amir dan Budiyanto, 1996), yaitu: 1. Kelas Hexactinellidae

Spikula terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin. Spikulanya berbentuk triakson. Sponge dari kelas ini belum banyak dikenal karena hanya terdapat di laut dalam (< 500 m).


(6)

2. Kelas Calcarea

Spikula sponge ini tersusun dari kalsium karbonat dan tidak mengandung spongin. Elemen kerangka dari kelas Calcarea berbentuk spikula triakson dan tidak ada perbedaan antara megasklera dan mikrosklera. Sponge dari kelas ini juga sedikit jumlahnya, lebih kurang hanya 10% dari jumlah semua hewan sponge yang hidup di laut.

3. Kelas Demospongiae

Sponge kelas ini paling banyak dijumpai yaitu hampir 75% dari jumlah semua hewan sponge yang hidup di laut. Sponge dari kelas ini memiliki spikula berbentuk monoakson yang mengandung silikat. Beberapa jenis sponge kelas ini ada yang tidak mengandung spikula tetapi hanya mengandung serat-serat kolagen atau spongin.

2.1.4 Sistematika

Klasifikasi hewan sponge menurut Erwin dan Thacker (2007) adalah: Kingdom : Animalia

Filum : Porifera

Kelas : Demospongiae Bangsa : Haplosclerida Suku : Petrosiidae Marga : Xestospongia

Jenis : Xestospongia sp de Laubenfels, 1932 2.1.5 Kandungan kimia

Kandungan senyawa metabolit sekunder utama sponge adalah golongan alkaloida, steroida (Joseph dan Sujatha, 2010) dan terpenoida (seskuiterpenoida)


(7)

(Hashimoto, 1979). Sponge laut marga Xestospongia mengandung senyawa metabolit sekunder, antara lain alkaloida xestospongin/araguspongin (Singh, dkk., 2011), alkaloida aaptamin dan manzamin (Putra dan Jaswir, 2014).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara (Ditjen POM, 2000), yaitu: 1) Cara dingin

- Maserasi

Maserasi adalah ekstraksi dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar.

- Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

2) Cara panas - Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

- Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. - Digesti

Digesti adalah ekstraksi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih dari temperatur ruangan, umumnya dilakukan pada temperatur 40 –50˚C.


(8)

- Infundasi

Infundasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 900C selama 15 menit.

- Dekoktasi

Dekoktasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 900C selama 30 menit.

Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Ditjen POM, 2008). a. Ekstrak kering

Ekstrak kering merupakan sediaaan berbentuk serbuk yang diperoleh dari penguapan bahan pelarut dan pengeringan (Voigt, 1994).

b. Ekstrak kental

Ekstrak kental merupakan sediaan yang liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang serta kandungan airnya berjumlah sampai 30% (Voigt, 1994). c. Ekstrak cair

Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet (Ditjen POM, 2000).

2.3 Alkaloida

Alkaloida merupakan senyawa organik yang terdapat di alam dan bersifat basa karena adanya atom nitrogen dalam struktur lingkar heterosiklik, dibiosintesis dari asam amino serta dalam dosis kecil dapat memberikan efek farmakologis pada manusia dan hewan (Evans, 1983). Alkaloida biasanya tidak


(9)

berwarna, sering kali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal dan hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne, 1987).

Alkaloida dapat diperoleh dengan cara ekstraksi memakai air yang diasamkan untuk melarutkan alkaloida sebagai garam, atau dibasakan dengan natrium karbonat dan basa bebas yang terbentuk diekstraksi dengan pelarut organik seperti kloroform, eter. Pereaksi Mayer paling banyak digunakan untuk mendeteksi alkaloida, selain itu dapat juga digunakan pereaksi lain seperti Wagner, pereaksi Dragendorff dan Iodoplatinat (Robinson, 1995).

Berdasarkan biosintesis dari asam amino, alkaloida dikelompokkan sebagai berikut (Bruneton, 1995):

a. Alkaloida sejati

Alkaloida sejati adalah racun, mempunyai aktivitas fisiologis yang luas, hampir semuanya bersifat basa, umumnya mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis dan diturunkan dari asam amino, terkecuali kolkisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklis serta alkaloida kuartener yang bersifat agak asam daripada basa.

b. Protoalkaloida

Protoalkaloida merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloida diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa, contohnya efedrin. c. Pseudoalkaloida

Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya bersifat basa. Alkaloida jenis ini dibagi dua, yaitu alkaloida steroida, contohnya solanidin dan alkaloida purin, contohnya kafein.


(10)

Pembagian alkaloida berdasarkan letak atom nitrogen adalah sebagai berikut (Evans, 1983; Attaway dan Zaborsky, 1993):

a. Non heterosiklis disebut juga protoalkaloida, contohnya efedrin.

b. Heterosiklis, dibagi dalam 14 golongan berdasarkan struktur cincinnya yaitu: 1. Alkaloida golongan pirol dan pirolidin, contohnya pentabromo pseudelin

sebagai inti pirol dan strakhridin sebagai inti pirolidin.

Gambar 2.8 Struktur alkaloida golongan pirol dan pirolidin 2. Alkaloida golongan pirolizidin, contohnya retronesin.

Gambar 2.9 Struktur alkaloida golongan pirolizidin

3. Alkaloida golongan piridin dan piperidin, contohnya haliclamin sebagai inti piridin dan arekolin sebagai inti piperidin.

Gambar 2.10 Struktur alkaloida golongan piridin dan piperidin 4. Alkaloida golongan tropan, contohnya atropin.


(11)

5. Alkaloida golongan kuinolin, contohnya kuinin, aaptamin.

Gambar 2.12 Struktur alkaloida golongan kuinolin 6. Alkaloida golongan isokuinolin, contohnya morfin.

Gambar 2.13 Struktur alkaloida golongan isokuinolin 7. Alkaloida golongan aporfin, contohnya boldin.

Gambar 2.14 Struktur alkaloida golongan aporfin

8. Alkaloida golongan kuinolizidin, contohnya xestospongin.

Gambar 2.15 Struktur alkaloida golongan kuinolizidin

9. Alkaloida golongan indol atau benzopirol, contohnya manzamin.

Gambar 2.16 Struktur alkaloida golongan indol

10. Alkaloida golongan indolizidin, contohnya stellettamida.


(12)

11. Alkaloida golongan imidazol, contohnya naamidin.

Gambar 2.18 Struktur alkaloida golongan imidazol 12. Alkaloida golongan purin, contohnya kafein.

Gambar 2.19 Struktur alkaloida golongan purin 13. Alkaloida steroida, contohnya solanidin.

Gambar 2.20 Struktur alkaloida golongan steroida 14. Alkaloida terpenoida, contohnya aconitin.

Gambar 2.21 Struktur alkaloida golongan terpenoida

Berikut adalah contoh alkaloida yang berasal dari sponge marga Xestospongia (Putra dan Jaswir, 2014):


(13)

1. Alkaloida xestospongin

Gambar 2.22 Struktur alkaloida xestospongin 2. Alkaloida aaptamin

Gambar 2.23 Struktur alkaloida aaptamin 3. Alkaloida manzamin


(14)

2.4 Kromatografi

Kromatografi adalah suatu metode pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase, salah satu diantaranya diam (fase diam) dan yang lainnya bergerak (fase gerak) (Ditjen POM, 2008). Kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif maupun kuantitatif atau preparatif dalam bidang farmasi (Gritter, dkk., 1991).

2.4.1 Kromatografi lapis tipis

Teknik KLT sangat bermanfaat untuk analisis obat dan bahan lain dalam laboratorium karena hanya memerlukan peralatan sederhana, waktu cukup singkat (15 – 60 menit), jumlah zat yang diperiksa cukup kecil dan teknik pengerjaannya juga sederhana. Tujuan penggunaan KLT adalah untuk memeriksa komposisi campuran secara cepat, menentukan kondisi percobaan kromatografi kolom, mengetahui kesempurnaan suatu reaksi, mengidentifikasi obat ataupun ekstrak tanaman, mendeteksi kontaminan atau adanya pemalsuan (Harmita, 2014).

Fase diam pada KLT sering disebut penyerap. Penyerap umum yang digunakan adalah silika gel, selulosa, aluminium oksida dan poliamida dengan ketebalan sekitar 0,1 sampai 0,3 mm, didukung oleh plat kaca, aluminium atau plastik. Fase gerak adalah medium angkut, terdiri dari satu atau beberapa pelarut, yang bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya kapiler. Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan harga Rf atau hRf. Harga Rf didefenisikan sebagai perbandingan antara jarak titik pusat bercak dari titik awal dan jarak garis depan dari titik awal (Stahl, 1985).


(15)

Nilai maksimum Rf adalah 1, yang berarti solut bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum Rf adalah 0, yang berarti solut tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Rohman dan Gandjar, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf pada KLT, antara lain: struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya, tebal dan kerataan lapisan penyerap, derajat kemurnian fase gerak, derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana, jumlah cuplikan dan suhu (Sastrohamidjojo, 1985).

2.4.2 Kromatografi lapis tipis preparatif

Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode pemisahan yang memerlukan pembiayaan paling murah dan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penyerap yang sering dipakai adalah 0,5 – 2 mm, ukuran plat kromatografi biasanya 20 cm x 20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penyerap yang paling umum digunakan adalah silika gel. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan lebar pita sesempit mungkin. Kebanyakan penyerap KLT preparatif mengandung indikator fluorosensi yang membantu mendeteksi letak pita yang terpisah pada senyawa yang menyerap sinar ultraviolet. Cara mendeteksi senyawa yang tidak menyerap sinar ultraviolet yaitu dengan cara menutup plat dengan sepotong kaca lalu menyemprot kedua sisi dengan pereaksi semprot (Hostettmann, dkk., 1995).

Jarak titik pusat bercak dari titik awal Jarak garis depan pelarut dari titik awal Rf =


(16)

2.4.3 Kromatografi lapis tipis dua arah

KLT dua arah atau KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen terlarut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama. Dua sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama, sehingga KLT dua dimensi dapat dipakai untuk memeriksa kemurnian isolat (Rohman, 2009).

KLT dua dimensi dilakukan dengan melakukan penotolan sampel pada satu sudut lapisan berbentuk bujur sangkar dan dikembangkan dengan satu sistem pelarut sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah satu sisi. Plat diangkat, dikeringkan, diputar 90 derajat, lalu diletakkan di dalam sistem pelarut yang kedua (Gritter, dkk., 1991).

2.5 Spektrofotometri

2.5.1 Spektrofotometri ultraviolet

Menurut Dachriyanus (2004), spektrofotometer UV pada umumnya digunakan untuk:

1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik.

2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa.

3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer.


(17)

Spektrofotometer UV adalah pengukuran panjang gelombang berdasarkan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diserap dari sampel. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200 – 400 nm (Dachriyanus, 2004).

Spektrum ultraviolet dari suatu senyawa biasanya diperoleh dengan melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu (cahaya monokromatis) melalui larutan encer senyawa tersebut dalam pelarut yang tidak menyerap misalnya air, etanol dan heksana (Creswell, dkk., 2005).

Suatu atom atau molekul yang menyerap sinar UV akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung panjang gelombang cahaya yang diserap. Gugus yang dapat menyerap cahaya disebut dengan gugus kromofor (Dachriyanus, 2004).

Pelarut yang digunakan dalam spektrofotometri UV adalah pelarut yang tidak menyerap sinar UV. Pelarut yang sering digunakan adalah air, etanol, metanol, n-heksana, eter minyak bumi dan eter (Harborne, 1987).

2.5.2 Spektrofotometri inframerah

Menurut Dachriyanus (2004), spektrofotometer inframerah pada umumnya digunakan untuk:

1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik

2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.

Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada bilangan gelombang 4000 – 200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan getaran pada molekul. Pita absorpsi sinar inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi (Dachriyanus, 2004).


(18)

Penafsiran spektrum inframerah dari suatu senyawa yang belum diketahui haruslah ditujukan pada penentuan ada atau tidaknya beberapa gugus fungsional utama seperti C=O, O-H, N-H, C-O, C=C, C≡C, C=N, C≡N dan NO2. Langkah-langkah yang umum dilakukan untuk memeriksa pita-pita yang penting pada hasil spektrum inframerah (Pavia, dkk., 2001):

1. Gugus karbonil

Gugus C=O memberikan puncak yang kuat pada daerah 1820 – 1660 cm-1. 2. Bila gugus C=O ada, periksalah gugus-gugus berikut (jika C=O tidak ada

langsung ke nomor 3).

Asam : periksa gugus O-H, merupakan serapan melebar di daerah 3300 – 2500 cm-1.

Amida : periksa gugus N-H, merupakan serapan medium di daerah 3500 cm-1, kadang-kadang dengan puncak rangkap.

Ester : periksa gugus C-O, merupakan serapan kuat di daerah 1300 – 1000 cm-1.

Anhidrida : mempunyai dua serapan C=O di daerah 1810 dan 1760 cm-1. Aldehida : periksa gugus C-H, merupakan dua serapan lemah di daerah

2850 dan 2750 cm-1 yaitu di sebelah kanan serapan C-H. Keton : kemungkinan bila kelima senyawa di atas tidak ada. 3. Bila gugus C=O tidak ada

Alkohol : periksa gugus O-H, merupakan serapan melebar di daerah 3600 – 3300 cm-1 yang diikuti adanya serapan C-O di daerah 1300 – 1000 cm-1.


(19)

Ester : periksa gugus C-O (dan tidak adanya O-H), merupakan serapan medium di daerah 1300 – 1000 cm-1.

4. Ikatan rangkap dua atau cincin aromatik - Serapan lemah C=C di daerah 1650 cm-1.

- Serapan medium sampai kuat pada daerah 1650 – 1450 cm-1 sering menunjukkan adanya cincin aromatik.

- Buktikan kemungkinan di atas dengan memperhatikan serapan pada daerah C-H aromatik di sebelah kiri 3000 cm-1, sedangkan C-H alifatis terjadi di sebelah kanan daerah tersebut.

5. Ikatan rangkap tiga

- Serapan medium dan tajam dari C≡N di daerah 2250 cm-1.

- Serapan medium dan tajam dari C≡C di daerah 2150 cm-1. 6. Gugus nitro

- Dua serapan yang kuat di daerah 1600 – 1500 cm-1 dan 1390 – 1300 cm-1. 7. Hidrokarbon

- Apabila keenam serapan diatas tidak ada. - Serapan C-H alifatis di daerah 3000 cm-1.


(1)

2.4 Kromatografi

Kromatografi adalah suatu metode pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase, salah satu diantaranya diam (fase diam) dan yang lainnya bergerak (fase gerak) (Ditjen POM, 2008). Kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif maupun kuantitatif atau preparatif dalam bidang farmasi (Gritter, dkk., 1991).

2.4.1 Kromatografi lapis tipis

Teknik KLT sangat bermanfaat untuk analisis obat dan bahan lain dalam laboratorium karena hanya memerlukan peralatan sederhana, waktu cukup singkat (15 – 60 menit), jumlah zat yang diperiksa cukup kecil dan teknik pengerjaannya juga sederhana. Tujuan penggunaan KLT adalah untuk memeriksa komposisi campuran secara cepat, menentukan kondisi percobaan kromatografi kolom, mengetahui kesempurnaan suatu reaksi, mengidentifikasi obat ataupun ekstrak tanaman, mendeteksi kontaminan atau adanya pemalsuan (Harmita, 2014).

Fase diam pada KLT sering disebut penyerap. Penyerap umum yang digunakan adalah silika gel, selulosa, aluminium oksida dan poliamida dengan ketebalan sekitar 0,1 sampai 0,3 mm, didukung oleh plat kaca, aluminium atau plastik. Fase gerak adalah medium angkut, terdiri dari satu atau beberapa pelarut, yang bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya kapiler. Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan harga Rf atau hRf. Harga Rf didefenisikan sebagai perbandingan antara jarak titik pusat bercak dari titik awal dan jarak garis depan dari titik awal (Stahl, 1985).


(2)

Nilai maksimum Rf adalah 1, yang berarti solut bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum Rf adalah 0, yang berarti solut tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Rohman dan Gandjar, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf pada KLT, antara lain: struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya, tebal dan kerataan lapisan penyerap, derajat kemurnian fase gerak, derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana, jumlah cuplikan dan suhu (Sastrohamidjojo, 1985).

2.4.2 Kromatografi lapis tipis preparatif

Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode pemisahan yang memerlukan pembiayaan paling murah dan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penyerap yang sering dipakai adalah 0,5 – 2 mm, ukuran plat kromatografi biasanya 20 cm x 20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penyerap yang paling umum digunakan adalah silika gel. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan lebar pita sesempit mungkin. Kebanyakan penyerap KLT preparatif mengandung indikator fluorosensi yang membantu mendeteksi letak pita yang terpisah pada senyawa yang menyerap sinar ultraviolet. Cara mendeteksi senyawa yang tidak menyerap sinar ultraviolet yaitu dengan cara menutup plat dengan sepotong kaca lalu menyemprot kedua sisi dengan pereaksi semprot (Hostettmann, dkk., 1995).

Jarak titik pusat bercak dari titik awal Jarak garis depan pelarut dari titik awal Rf =


(3)

2.4.3 Kromatografi lapis tipis dua arah

KLT dua arah atau KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen terlarut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama. Dua sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama, sehingga KLT dua dimensi dapat dipakai untuk memeriksa kemurnian isolat (Rohman, 2009).

KLT dua dimensi dilakukan dengan melakukan penotolan sampel pada satu sudut lapisan berbentuk bujur sangkar dan dikembangkan dengan satu sistem pelarut sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah satu sisi. Plat diangkat, dikeringkan, diputar 90 derajat, lalu diletakkan di dalam sistem pelarut yang kedua (Gritter, dkk., 1991).

2.5 Spektrofotometri

2.5.1 Spektrofotometri ultraviolet

Menurut Dachriyanus (2004), spektrofotometer UV pada umumnya digunakan untuk:

1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik.

2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa.

3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer.


(4)

Spektrofotometer UV adalah pengukuran panjang gelombang berdasarkan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diserap dari sampel. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200 – 400 nm (Dachriyanus, 2004).

Spektrum ultraviolet dari suatu senyawa biasanya diperoleh dengan melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu (cahaya monokromatis) melalui larutan encer senyawa tersebut dalam pelarut yang tidak menyerap misalnya air, etanol dan heksana (Creswell, dkk., 2005).

Suatu atom atau molekul yang menyerap sinar UV akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung panjang gelombang cahaya yang diserap. Gugus yang dapat menyerap cahaya disebut dengan gugus kromofor (Dachriyanus, 2004).

Pelarut yang digunakan dalam spektrofotometri UV adalah pelarut yang tidak menyerap sinar UV. Pelarut yang sering digunakan adalah air, etanol, metanol, n-heksana, eter minyak bumi dan eter (Harborne, 1987).

2.5.2 Spektrofotometri inframerah

Menurut Dachriyanus (2004), spektrofotometer inframerah pada umumnya digunakan untuk:

1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik

2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.

Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada bilangan gelombang 4000 – 200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan getaran pada molekul. Pita absorpsi sinar inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi (Dachriyanus, 2004).


(5)

Penafsiran spektrum inframerah dari suatu senyawa yang belum diketahui haruslah ditujukan pada penentuan ada atau tidaknya beberapa gugus fungsional utama seperti C=O, O-H, N-H, C-O, C=C, C≡C, C=N, C≡N dan NO2. Langkah-langkah yang umum dilakukan untuk memeriksa pita-pita yang penting pada hasil spektrum inframerah (Pavia, dkk., 2001):

1. Gugus karbonil

Gugus C=O memberikan puncak yang kuat pada daerah 1820 – 1660 cm-1 . 2. Bila gugus C=O ada, periksalah gugus-gugus berikut (jika C=O tidak ada

langsung ke nomor 3).

Asam : periksa gugus O-H, merupakan serapan melebar di daerah 3300 – 2500 cm-1

.

Amida : periksa gugus N-H, merupakan serapan medium di daerah 3500 cm-1, kadang-kadang dengan puncak rangkap.

Ester : periksa gugus C-O, merupakan serapan kuat di daerah 1300 – 1000 cm-1.

Anhidrida : mempunyai dua serapan C=O di daerah 1810 dan 1760 cm-1. Aldehida : periksa gugus C-H, merupakan dua serapan lemah di daerah

2850 dan 2750 cm-1 yaitu di sebelah kanan serapan C-H. Keton : kemungkinan bila kelima senyawa di atas tidak ada. 3. Bila gugus C=O tidak ada

Alkohol : periksa gugus O-H, merupakan serapan melebar di daerah 3600 – 3300 cm-1 yang diikuti adanya serapan C-O di daerah 1300 – 1000 cm-1

.


(6)

Ester : periksa gugus C-O (dan tidak adanya O-H), merupakan serapan medium di daerah 1300 – 1000 cm-1

. 4. Ikatan rangkap dua atau cincin aromatik

- Serapan lemah C=C di daerah 1650 cm-1.

- Serapan medium sampai kuat pada daerah 1650 – 1450 cm-1 sering menunjukkan adanya cincin aromatik.

- Buktikan kemungkinan di atas dengan memperhatikan serapan pada daerah C-H aromatik di sebelah kiri 3000 cm-1, sedangkan C-H alifatis terjadi di sebelah kanan daerah tersebut.

5. Ikatan rangkap tiga

- Serapan medium dan tajam dari C≡N di daerah 2250 cm-1. - Serapan medium dan tajam dari C≡C di daerah 2150 cm-1. 6. Gugus nitro

- Dua serapan yang kuat di daerah 1600 – 1500 cm-1 dan 1390 – 1300 cm-1. 7. Hidrokarbon

- Apabila keenam serapan diatas tidak ada. - Serapan C-H alifatis di daerah 3000 cm-1.