Identifikasi Senyawa Obat Piroksikam Dalam SediaanPadatObatTradisionalDengan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Dan Spektrofotometri UV

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Piroksikam

2.1.1

Sifat Fisikokimia

Gambar 2.1.1 : Struktur Kimia Piroksikam
Piroksikam merupakan salah satu obat analgesik yang mempunyai waktu
paruh yang panjang. Piroksikam mempunyai rumus kimia C15H13N3O4S dengan
nama 4 Hidroksi - 2-metil-N-2-piridil-2H-1,2-benzoyiazin-3-karboksamida1,1dioksida.Piroksikam mengandung tidak kurang dari 97,0% dan tidak lebih dari
103,0% C15H13N3O4S (Ditjen POM,1995).
Pemerian serbuk hampir putih atau coklat terang atau kuning terang, tidak
berbau, bentuk monohidrad berwarna kuning. Sangat sukar larut dalam air, dalam
asam – asam encer dan sebagian besar pelarut organik. Sukar larut dalam etanol
dan dalam larutan alkali mengandung air. Edentifikasi spektrum serapan
ultraviolet larutan (1 dalam 100.000) dalam asam klorida– metanol menunjukkan

maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang sama seperti pada
piroksikam BPFI (Ditjen POM,1995).

2.1.2

Dosis
Dosis pemakaian piroksikam yaitu mulai 10 mg sampai 20 mg sehari yang

diberikan pada pasien (Wilmana, 2007). Piroksikam dapat digunakan pada anak
usia 6 tahun keatas dengan dosis lisan yang biasa adalah:
-

kurang dari 15 kg/bb : 5 mg sekali sehari

-

16 sampai 25 kg/bb

: 10 mg sekali sehari


-

26 sampai 45 kg/bb

: 15 mg sekali sehari

-

46 kg atau lebih

: 20 mg sekali sehari (Sweetman, 2009)

2.1.3

Manfaat Piroksikam
Piroksikam mempunyai aktivitas analgesik, antirematik dan antiradang

yang kurang lebih sama dengan indometasin, dengan masa kerja yang cukup
panjang. Piroksikam diserap dengan baik dalam saluran cerna, 99% obat terikat
oleh protein plasma (Siswondo dan Soekardjo, 2002).

2.1.4

Efek Samping Piroksikam
Efek samping piroksikam yaitu tukak lambung, eritema kulit, sakit kepala,

gagal ginjal akut, dan nefritis interstitial akut. Piroksikam tidak dianjurkan
diberikan kepada wanita hamil dan pasien tukak lambung. Efek pada kulit terjadi
ruam pada pasien yang memakai piroksikam (Wilmana, 2007).

2.2

Obat Tradisional
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran

dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman (Depkes RI, 1994).
Sesuai dengan keputusan Kepala Badan POM RI No. 00.05.4.2411 tahun
2004, berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan

tingkatpembuktiaan khasiat, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga
jenis, yaitu :

2.2.1

Jamu
Bahan baku jamu berasal dari bahan atau ramuan bahan yang berupa

bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut, namun ada beberapa jenis jamu dinilai berbahaya
karena didalamnya terkandung bahan kimia obat (BKO). Menurut temuan Badan
Pengawas Obat dan Makanan, obat tradisional yang sering dicemari bahan kimia
obat umumnya adalah obat tradisional yang digunakan pada penyakit-penyakit
tertentu seperti Tabel berikut :
Tabel 2.2.1 Jamu yang Mengandung Bahan Kimia Obat
Kegunaan Obat Tradisional
Pegal linu/Encok/rematik

Pelangsing
Peningkat stamina / obat kuat pria

Kencing manis / diabetes
Sesak nafas / asma
(Yuliarti, 2008)
2.2.2

Obat Herbal Terstandar

BKO yang sering ditambahkan
Fenilbutazon, metampiron, piroksikam,
parasetamol, prednison, deksametason
dan diklofenaksodium.
Sibutramin hidroklorida
Sildenafil sitrat
Glibenklamid
Teofilin

Sedikit berbeda dengan jamu, herbal terstandar umumnya sudah
mengalami pemprosesan, misalnya berupa ekstrak atau kapsul. Herbal yang sudah
diekstrak tersebut sudah diteliti khasiat dan keamananya melalui uji praklinis
(terhadap hewan) dilaboratorium. Disebut herbal terstandar, karena dalam proses

pengujiannya telah diterapkan standar kandungan bahan, proses pembuatan
ekstrak, higenitas, serta uji toksisitas untuk mengetahui ada atau tidaknya
kandungan racun dalam herbal (Yuliarti, 2008).
2.2.3

Fitofarmaka
Merupakan jamu dengan kasta tertinggi karena khasiat, keamanan serta

standar proses pembuatan dan bahayanya telah diuji secara klinis, jamu berstatus
sebagai fitofarmaka juga dijual diapotek dan sering diresepkan oleh dokter
(Yuliarti, 2008).

2.3

Metode

Identifikasi

Senyawa


Obat

Dalam

Campuran

Obat

Tradisional
Pemisahan senyawa yang hendak dianalisis menjadi fraksi tertentu dapat
dilakukan dengan kromatografi diferensiasi mikro. Yang sesuai dalam hal ini
adalah kromatografi lapis tipis yang baru sedikit digunakan. Untuk identifikasi
digunakan harga Rf dalam sistem pelarut yang berbeda atau reaksi warna sebagai
pereaksi penampak noda. Pengukuran serapan dapat dilakukan dengan berbagai
cara yang berbeda. Pada pengukuran transmisi (pengukuran cahaya tembus),
cahaya monokromatis menembus kromatogram yang mengandung noda senyawa

yang mengabsorbsi. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang serapan
maksimum (Schunack dkk, 1983).


2.3.1

Kromatografi Lapis Tipis
Salah satu cara untuk mengidentifikasi bahan kimia obat yang terdapat

dalam sediaan obat tradisional adalah dengan menggunakan kromatografi lapis
tipis dan dilanjutkan dengan spektrofotometri ultraviolet untuk melihat
spektrumnya. Kromatografi Lapis Tipis mempunyai keuntungan yaitu metode ini
hanya memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, menggunakan waktu
yang singkat untuk menyelesaikan analisis (15-60 menit), dan memerlukan jumlah
cuplikan yang sangat sedikit (Stahl, 1985).
2.3.2

Komponen Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

2.3.2.1 Prinsip Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
yang memisah, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan
pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran
yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal).

Setelah pelat atau lapisan ditaruh didalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan
pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan
kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus
ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).
2.3.2.2 Fase Diam

Penjerap yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, selulosa dan
turunanyadan lain-lain. Fase diam yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis
merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm.
Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran
ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja kromatografi lapis tipis dalam hal
efisiensinya dan resolusinya (Rohman, 2009)
2.3.2.3 Fase Gerak
Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa
pelarut. Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada
gaya kapiler. Yang digunakan hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik, dan bila
diperlukan sistem pelarut multikomponen harus berupa suatu campuran
sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka banding
campuran dinyatakan dalam bagian volume sedemikian rupa sehingga volume
total 100, misalnya, benzena-kloroform-asam asetat 96% (50:40:10) (Stahl, 1985).

2.3.2.4 Bejana Pemisah
Bejana harus dapat menampung pelat 200x200 mm dan harus tertutup
rapat. Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih
yang lebarnya 18 – 20 cm dan panjangnya 45 cm ditaruh pada dinding sebelah
dalam bejana berbentuk “U” dan dibasahi dengan pelarut pengembang (Stahl,
1985).
2.3.2.5 Penotolan Sampel
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh
hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit

mungkin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis
lebih dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan
ditotolkan lebih dari 15 μl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan
bercak yang menyebar dan puncak ganda (Stahl, 1985).
2.3.2.6 Deteksi Bercak
Bercak pemisahan pada kromatografi lapis tipis umumnya merupakan
bercak yang tidak bewarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia
dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan
sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk
menampakkan bercak adalah dengan fluoresensi sinar ultraviolet (Rohman, 2009;

Gritter, 1991).

2.4

Spektrofotometri Ultraviolet
Spektrofotometer Ultraviolet adalah pengukuran panjang gelombang dan

intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar
ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan
elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi (Dachriyanus,
2004).Spektrofotometri Ultravioletdidasarkan pada interaksi sampel dengan sinar
Ultraviolet . Sinar Ultraviolet memiliki panjang gelombang 190-380 nm. Sebagai
sumber sinar dapat digunakan lampu deuterium. Deuterium disebut juga heavy
hidrogen (Day & Underwood, 1999).
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), hal-hal yang harus diperhatikan
dalam analisis spektofotometri ultraviolet adalah: