T2_ _BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Putusan PN Jakarta Pusat Nomor : 54PID.BTPK2012 PN.JKT.PST, Putusan PT Jakarta Nomor : 11PIDTPK2013PT.DKI dan Putusan MA NOMOR : PID.SUS2013 Dikaitkan Tujua

42

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem dan Tujuan Pemidanaan
“Sistem dalam kamus umum bahasa Indonesia mengandung dua arti
yaitu seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas, dan juga dapat diartikan sebagai susunan yang
teratur dari pada pandangan, teori, asas dan sebagainya atau diartikan pula
sistem itu “metode”.1
“Pemidanaan” atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim yang
oleh Sudarto dikatakan berasal dari istilah penghukuman dalam pengertian
yang sempit. Lebih lanjut dikatakan “Penghukuman” yang demikian
mempunyai makna “sentence” atau “veroordeling”.2 Patut dicatat bahwa
pengertian

“sistem

pemindanaan”


tidak

hanya

dilihat

dalam

arti

sempit/formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/materiil. Dalam arti
sempit/formal,

sistem

pemidanaan

berarti

kewenangan


menjatuhkan/mengenakan sanksi pidana menurut Undang-Undang oleh
pejabat yang berwenang (hakim). Dalam arti luas/material, sistem
pemidanaan merupakan suatu mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat
yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada
putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat
pelaksana.
1
2

Kamus Umum Bahasa Indonesia, Yrama Widya, Bandung, 2003, h. 565
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, h.1

42

43

Menurut Andi Hamzah, pemidanaan sama halnya dengan penjatuhan
pidana. Pidana macam bagaimanakah yang akan dijatuhkan oleh hakim
kepada orang yang melanggar nilai-nilai itu. Bagaimanakah pelaksanaan

pidana itu kepada terpidana dan bagaimanakah membina narapidana sehingga
dapat diubah menjadi manusia yang berguna dalam masyarakat Pancasila ini.3
Menurut L.H.C Hulsman, sistem pemidanaan (the sentencing system)
adalah “ aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana
dan pemidanaan” (the statutory rules to penal sanctions and punishment).4
Pengertian “pemidanaan” dapat diartikan sebagai suatu “pemberian
atau penjatuhan pidana”, maka pengertian “sistem pemidanaan” dapat dilihat
dari 2 sudut :5
1.

2.

Dalam arti luas, sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional, yaitu
dari sudut bekerjanya/prosesnya. Dalam arti luas ini, sistem pemidanaan
dapat diartikan sebagai:
a. Keseluruhan
sistem
(aturan
perundang-undangan)
untuk

fungsionalisasi/ operasionalisasi/ konkretisasi pidana.
b. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur
bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan
secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Dalam arti sempit, sistem pemidanaan dilihat dari sudut normatif/
substantif, yaitu hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana
substantif. Dalam arti sempit ini, maka sistem pemidanaan dapat
diartikan sebagai :
a. Keseluruhan
sistem
(aturan
perundang-undangan)
untuk
pemidanaan.
b. Keseluruhan
sistem
(aturan
perundang-undangan)
untuk
pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.


3

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Sistem Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1993, h. 9
4
L.H.C.Hulsman dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 129
5
Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Pustaka
Magister, Semarang , 2011, h. 2

44

Keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang
ada di dalam KUHP maupun di dalam Undamg-Undang khusus di luar
KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang
terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special
rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus
terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam Undang-Undang

Khusus di luar KUHP.6 Aturan khusus ini pada umumnya memuat perumusan
tindak pidana tertentu dan juga memuat aturan khusus yang menyimpang dari
aturan umum.
Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu
proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah
dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu
ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret, sehingga seseorang dijatuhi
sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan
mengenai Hukum Pidana Substantif. Hukum Pidana Formal dan Hukum
Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.7
Perumusan tindak pidana di dalam aturan khusus hanya merupakan
sub-sistem dari keseluruhan sistem hukum pidana (sistem pemidanaan).
Artinya, perumusan tindak pidana baik unsur-unsurnya, jenis tindak
pidananya, maupun jenis pidana atau sanksi dan lamanya pidana, tidak
merupakan
6

sistem


yang

berdiri

sendiri,

untuk

dapat

diterapkan,

Barda Nawawi Arief, Op. cit, h. 3
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, h. 129
7

45

dioperasionalkan dan difungsikan, perumusan tindak pidana itu masih harus

ditunjang oleh sub-sub sistem lainnya, yaitu sub-sistem aturan atau pedoman
dan asas-asas pemidanaan yang ada di dalam aturan umum KUHP atau aturan
khusus di dalam undang-undang khusus yang bersangkutan.
KUHP membedakan aturan umum untuk tindak pidana yang berupa
kejahatan dan pelanggaran, artinya kualifikasi tindak pidana berupa kejahatan
dan pelanggaran merupakan kualifikasi yuridis yang akan membawa
konsekuensi yuridis yang berbeda. Oleh karena itu, setiap tindak pidana yang
dirumuskan di dalam undang-undang khusus harus disebut kualifikasi
yuridisnya, sebab apabila tidak disebutkan, akan menimbulkan masalah
yuridis dalam menerapkan aturan umum KUHP terhadap Undang-Undang
khusus itu. Di dalam produk legislatif selama ini, banyak sekali UndangUndang yang tidak menyebutkan atau menetapkan kualifikasi yuridis tindak
pidana.
Sistem Pemidanaan adalah sebagai bagian dari mekanisme penegakan
hukum (pidana) maka pemidanaan yang biasa juga diartikan “pemberian
pidana“ tidak lain merupakan suatu “proses kebijakan” yang sengaja
direncanakan.
Kebijakan formulasi/kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem
pemidanaan merupakan suatu proses kebijakan yang melalui beberapa tahap:8
1.
2.

3.

Tahap penetapan pidana oleh pembuatan undang-undang
Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang
Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

8

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op, cit, h. 91

46

Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam
memberikan atau menjatuhkan pidana maka di dalam Konsep Rancangan
Buku I KUHP Nasional yang disusun oleh LPHN pada tahun 1972
dirumuskan dalam Pasal 2 sebagai berikut 9:
1.

2.


Maksud tujuan pemidanaan ialah:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara,
masyarakat dan penduduk;
b. Membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat
yang berbudi baik dan berguna;
c. Menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana;
d. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Pemidanaan bertujuan untuk:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk
hidup bermasyarakat;
c. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
d. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.

B. Tindak Pidana Korupsi
Mendefinisikan tindak pidana korupsi maka kata tindak pidana

korupsi terdiri dari kata tindak pidana dan kata korupsi. Definisi tindak
pidana dapat dilihat dari pendapat para pakar antara lain VOS. Delik adalah
feit yang dinyatakan dapat dihukum undang-undang, sedangkan menurut Van
Hamel, delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak orang lain.
Menurut Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat

9

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana. Raja Grafindo Press, Yogyakarta, 2001, h.. 25

47

dipertanggungjawabkan

tindakannya

dan

oleh

undang-undang

telah

dinyatakan sebagai suatu perbuatan/tindakan yang dapat dihukum.10
1.

Definisi tindak pidana
Pengertian sederhana dari tindak pidana ada perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan di mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
ketentuan tersebut. 11
Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah
laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga
seseorang untuk tidak berbuat akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia,
dia telah melakukan tindak pidana.
Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi di atas, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana
adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan
pidana di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang
bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum)
juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya
diharuskan oleh hukum).

10
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar
Grafika, Jakarta, 1991, h. 23
11
Ismu Gunadi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Prestasi Pustaka
Publisher, 2011, h. 42

48

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam
dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut
terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu:12
a.

b.

Unsur obyektif
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di
mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan, terdiri dari:
1) sifat melanggar hukum;
2) kualitas dari si pelaku;
Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan
jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai
pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas dalam
kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3) kausalitas
Hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suau
kenyataan sebagai akibat.
Unsur Subyektif
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku atau
yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri
dari:
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2) Maksud pada suatu percobaan seperti ditentukan dalam pasal 53
ayat (1) kuhp;
3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatankejahatan pencurian, penipuan, pemerasan dan sebagainya;
4) Merencanakan terlebih dahulu seperti tercantum dalam pasal
340 kuhp yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu;
5) Perasaan takut seperti terdapat dalam pasal 308 kuhp.
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah

diperkenalkan dalam Undang-undang tindak pidana khusus misalnya
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana
Narkotika dan Undang-undang mengenai Pronografi yang mengatur
secara khusus Tindak Pidana Pornografi.

12

Teguh Prasetyo, 2010, Op.Cit, h. 28

49

Sudarto menggunakan istilah tindak pidana dengan alasan
pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadikan soal, asal
diketahui apa yang dimaksudkan dan dalam hal ini yang penting adalah
isi dari pengertian itu. Namun lebih condong untuk memakai istilah
tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Istilah ini sudah dapat diterima oleh masyarakat. Jadi mempunyai
‘sociologische gelding’.13
Moeljatno menganggap lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan
istilah perbuatan pidana. Alasan karena perkataan perbuatan merupakan
suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit,
yaitu:
a.

Adanya kejadian yang tertentu;

b.

Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.14
Istilah peristiwa pidana dipakai oleh Utrecht dalam bukunya ‘Sari

Kuliah Hukum Pidana I’ dan juga digunakan dalam Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.15
Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa suatu tindak pidana adalah
pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum
13

Sudarto, tt, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang, h. 23
Moeljatno, Asas-asas hukum Pidana, Bina Aksara Jakarta, Jakarta, 1983, h.54
15
Ibid, h.54.

14

50

perdata, hukum ketatanegaraan dan hukum tata usaha pemerintah, yang
oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum
pidana.16
Simons mengartikan starbaarfeit adalah kelakuan (handeling)
yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggung jawab.17
Van Hamel merumuskan starbaarfeit sebagai kelakuan orang
(menselijk gadraging) yang dirumuskan di dalam wet, yang bersifat
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.18
Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum
pidana. Tindak pidana adalah duatu pengertian yuridis, lain halnya
dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau verbrechen
atau misdaad) yang biasa diartikan secara sosiologis atau kriminologis.19
Menurut D. Simons, unsur-unsur starftbaarfeit adalah:
a.
b.
c.
d.
e.

Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan);
Diancam dengan pidana (straftbaar gesteld);
Melawan hukum (onrechtmatig);
Dilakukan dengan kesalahan (metschuld in veerband stand).
Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar
persoon).
Jadi dalam mempergunakan istilah tindak pidana haruslah bagi

orang lain apakah yang dimaksudkan adalah menurut pandangan
16

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia, Ereseo, Bandung,

1986, h. 45
17

Moeljatno Op. Cit., h.56
Ibid.,
19
Sudarto, Op.Cit., h..25
18

51

monistis atau dualisme. Bagi orang yang berpandangan monistis
seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana,
sedangkan bagi yang berpandangan dualisme sama sekali belum
mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat
pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.
2.

Tindak Pidana Korupsi
Korupsi menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 2 dijelaskan yaitu :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.
Sedangkan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dalam
jabatannya juga masuk dalam ranah korupsi bila perbuatannya itu
merugikan keuangan negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 3;
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara”.
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin ‘corruptio, ‘corruption’
(bahasa Inggris) dan ‘corruptie’ (bahasa Belanda), arti harfiahnya
menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk dan tidak jujur yang
dikaitkan dengan keuangan.20
Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang

20

Muhammad Yamin, Op Cit, h. 196.

52

tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk
dirinya sendiri atau orang lain berlawanan dengan kewajibannya dan hakhak dari pihak lain.21
Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi diatur di dalam
hukum pidana seperti pada Pasal 55 KUHP ayat (1) yang menyebut
bahwa dipidana sebagai pelaku tindak pidana (1) mereka yang
melakukan, menyuruh, melakukan dan yang turut serta melakukan
perbuatan dan (2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
Tindak pidana korupsi diatur secara tersendiri melalui Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing, St. Paul
Minesota, 1990, h. 199
21

53

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah).
Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah).
Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi diatur bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah
pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga).
Penjatuhan pidana ini melalui prosedural ketentuan Pasal 20 ayat (1)
sampai dengan ayat (5) Undang-undang 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:
a.

Tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi dan/atau pengurusnya;

54

b.

Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama;

c.

Tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat
diwakilkan kepada orang lain;

d.

Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya
pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan;

e.

Tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut
disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau
ditempat pengurus berkantor.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:
a.

Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi;

b.

Perbuatan melawan hukum;

c.

Merugikan keuangan negara atau perekonomian;

55

d.

Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada
padanya

karena

jabatan

dan

kedudukannya

dengan

tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

C. Putusan pengadilan
1.

Pengertian putusan Pengadilan
Pengertian putusan pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP
yaitu pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka
yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini. Menurut Yahya Harahap bahwa putusan akan dijatuhkan pengadilan,
tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian
yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala
sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.22
Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung dari
hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala
sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Putusan
yang

dijatuhkan

hakim

dimaksudkan

untuk

mengakhiri

atau

menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya, dengan terlebih
dahulu hakim memeriksa perkaranya. Setelah putusan Pengadilan
diucapkan oleh hakim harus ditanda tangani oleh hakim dan panitera

22

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 347

56

(Pasal 200 KUHAP) dalam hal ini semua hakim yang memeriksa perkara
harus ikut menandatangani baik hakim ketua maupun hakim anggota.
Putusan merupakan hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat
berbentuk tertulis ataupun lisan23. Ada juga yang mengartikan putusan
(vonnis) sebagai vonnis tetap (definitief).
Putusan yang dimuat berupa penghukuman terdakwa oleh
sebagian pakar yang menyebutkan putusan pemidanaan. Perkataan
pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan persepsi sebagian
masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana tersebut identik
dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru
dipergunakan istilah penghukuman.24
Penjatuhan hukuman/pidana tersebut dirumuskan pada Pasal 193
ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:”Jika pengadilan berpendapat
bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
Dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan
kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah hukum. Mengenai kata
putusan yang diterjemahkan dengan kata vonnis adalah hasil akhir dari
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut dengan
interlocutoire yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau
keputusan sela dalam preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan
23
24

Leden Marpaung, 2010. Op.Cit.,. h. 129
Ibid. h. 138

57

pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan provisionele yang
diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.
2.

Syarat Sahnya putusan pengadilan
Menurut Pasal 195 KUHAP, semua Putusan Pengadilan hanya
sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka
untuk umum. Dari pasal tersebut, dapat diambil pengertian sebagai
berikut:25
a.
b.

Putusan pengadilan berlaku sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan di sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum.
Semua keputusan tanpa kecuali harus diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum.
Dengan demikian, sahnya suatu putusan pengadilan harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.

Memuat hal-hal yang diwajibkan;

b.

Diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Hal-hal tersebut harus dinyatakan sebagai syarat mutlak sesuatu

putusan sedang hal-hal lain misalnya dengan hadirnya terdakwa, tidak
merupakan syarat mutlak. Dengan hadirnya salah seorang terdakwa saja
dari beberapa terdakwa maka putusan tersebut telah sah. Demikian pula
dengan pengecualian yang mengadili terdakwa secara in absentia atau
pengadilan yang memutuskan secara verstek, putusan tetap sah. Dengan
demikian pakar yang mengatakan kehadiran terdakwa sebagai syarat sah
tidaknya putusan adalah keliru.26

25
26

Ibid, h. 357
Ibid.,, h. 148

58

3.

Macam putusan pengadilan
Terdapat beberapa macam putusan dalam sidang perkara pidana
adalah sebagai berikut.27
a.

b.

c.

d.

e.

4.

Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili.
Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili dapat
terjadi dalam bentuk-bentuk peristiwa sebagai berikut:
1) Penetapan;
2) Keputusan;
3) Putusan.
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum.
Syarat dakwaan batal demi hukum dicantumkan dalam Pasal
153 ayat (3) KUHAP yang rumusannya adalah bahwa: ”Surat
dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”.
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima.
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat
diterima pada hakikatnya tidak cermat Penuntut Umum karena
putusan tersebut dijatuhkan karena hal-hal sebagai berikut:
1) pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan tidak ada (delik
pengaduan);
2) perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa telah pernah
diadili (nebis in idem);
3) hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).
Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dilepas dari segala
tuntutan hokum.
Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa di sidang pengadilan negeri
terbukti tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hokum.
Putusan bebas.
Putusan bebas dirumuskan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP
yang menyatakan bahwa:”Jika pengadilan berpendapat bahwa dari
hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas”.

Pertimbangan Hakim
Dalam proses pemeriksaan di persidangan tindak pidana, setelah
hakim ketua menyatakan pemeriksaan selesai, maka hakim menyatakan
27

Ibid. h. 131-138

59

persidangan selesai dan menunda persidangan dengan menyatakan
persidangan ditunda guna memberi waktu kepada hakim majelis
bermusyawarah guna mengambil keputusan. Musyawarah hakim adalah
untuk menetapkan putusan yang akan diambil berdasarkan persidangan,
hal apa saja yang terbukti dari surat dakwaan.
Putusan yang diambil dalam musyawarah merupakan hasil
permufakatan. Sebelum menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim
mempertimbangkan fakta-fakta atau perbuatan yang dilakukan terdakwa,
kemudian menetapkan pemidanaan yang cocok pada fakta-fakta itu,
sehingga dengan jalan penafsiran dapat menentukan terdakwa dipidana
atau tidak dan bagaimana bentuk pidananya.28
Hal yang senantiasa harus diingat adalah bahwa penjatuhan
pidana merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari walaupun pemidanan
pada dasarnya merupakan bentuk pelanggaran HAM yang nyata, tetapi
perampasan HAM seorang yang terbukti melakukan tindak pidana
haruslah dimaksudkan dengan tujuan yang lebih baik yaitu untuk
memperbaiki si terpidana dan memulihkan keadaan masyarakat serta
harus dilakukan dengan patokan, standar dan prosedur yang ketat dan
dapat dipertanggungjawabkan.29
Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional
dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu

28
Paingot Rambe Manalu dkk, Hukum acara Pidana dari Segi Pembelaan, CV
Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2010, h. 168
29
Erdianto Effedi, Hukum Pidana Indonesia, Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2011, h. 140-141

60

dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak
hanya sering digunakan dalam bidang hukum tetapi juga dalam istilah
sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya.30 Oleh
karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus maka perlu ada
pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciriciri atau sifatnya yang khas.31
Putusan yang dimuat berupa penghukuman terdakwa oleh
sebagian pakar yang menyebutkan putusan pemidanaan. Perkataan
pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan persepsi sebagian
masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana tersebut identik
dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru
dipergunakan istilah penghukuman.32
Mengenai penjatuhan hukuman/pidana tersebut dirumuskan pada
Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:”Jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.”
Bentuk dari suatu putusan tidak diatur dalam KUHAP. Namun
jika diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir
bersamaan dan tidak pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya
bentuk-bentuk putusan yang telah ada tidak keliru jika diikuti.
Mengenai isi putusan, ditentukan secara rinci dan limitatif dalam
Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang rumusannya sebagai berikut:
30

Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Op.Cit., h. 1
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h. 185
32
Ibid. h. 138

31

61

a.
b.
c.
d.

e.
f.

g.
h.

i.

j.

k.
l.

Surat putusan pemidanaan memuat.
Kepala putusan yang ditulis berbunyi: Demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di
sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang
memberatkan dan meringankan terdakwa.
Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua
unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya
dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti.
Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu dan keterangan di
mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap
palsu.
Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan.
Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
Mengenai proses pertimbangan di dalam pengambilan putusan

secara singkat diawali dengan Ketua Sidang/Ketua Majelis yang
menyatakan bahwa pemeriksaan tertutup (Pasal 182 ayat (2) KUHAP),
maka

Hakim

mengadakan

musyawarah

yang

dipimpin

Ketua

Sidang/Ketua Majelis yang mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim
yang termuda sampai hakim yang tertua. Pertanyaan dimaksud adalah
bagaimana pendapat dan penilaian hakim yang bersangkutan terhadap
perkara yang dihadapi.

62

Hakim yang bersangkutan mengutarakan pendapat dan uraiannya
dimulai dengan pengamatan dan penelitiannya tentang hal formil barulah
kemudian tentang hal materiil, yang kesemuanya didasarkan atas surat
dakwaan penuntut umum.
Hal-hal formil yang dimaksud misalnya sebagai berikut:
a.
b.
c.

Apakah pengadilan di mana majelis hakim bersidang berwenang
memeriksa perkara tersebut atau tidak;
Apakah surat dakwaan telah memenuhi syarat-syarat;
Apakah dakwaan dapat diterima atau tidak, hal ini berkenaan dengan
ne bis in iden dan verjaring.
Setelah hal-hal formil ini terpenuhi, maka dilanjutkan dengan

materi perkara misalnya tentang hal-hal sebagai berikut:
a.

b.
c.

Perbuatan mana yang telah terbukti di persidangan, unsur-unsur
mana yang terbukti dan alat bukti yang mendukungnya serta nama
yang tidak terbukti;
Apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
tersebut;
Apakah hukuman yang patut dan adil yang dijatuhkan kepada
terdakwa atas perbuatannya.
Setelah masing-masing Hakim Anggota Majelis mengutarakan

pendapat atau pertimbangan-pertimbangan dan keyakinannya atas
perkara tersebut maka dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua
Majelis berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2)
KUHAP), akan tetapi jika mufakat bulat tidak diperoleh maka putusan
diambil dengan suara terbanyak.33 Adakalanya para hakim masingmasing berbeda pendapat atau pertimbangan, sehingga suara terbanyak
pun tidak dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang

33

Leden Marpaung. Op cit. h. 130

63

dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa
seperti yang disebutkan dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Pelaksanaan
(proses) pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan
Putusan yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia.

D. Penegakan Hukum Dalam Keadilan Bermartabat
Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan
nilai, ide dan cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan
hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral seperti keadilan dan
kebenaran, nilai-nilai tersebut harus mampu diwujutkan dalam realita nyata.
Menurut Soerdjono Soekanto bahwa secara konsepsional hukum dalam arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabar di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum,
maka sudah semestinya seluruh tenaga dikerahkan agar hukum mampu
bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum, kegagalan hukum
untuk mewujudkan nilai hukum tersebut merupakan ancaman berbahaya akan
lemahnya hukum yang ada.
Hukum yang miskin/lemah implementasinya terhadap nilai-nilai
moral akan berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya. Dan keberhasilan

64

penegakan hukum akan menentukan serta menjadi barometer legitasinya
hukum ditengah-tengah realiatas sosial.
Hukum dibuat untuk dilaksanakan, oleh sebab itu hukum tidak dapat
dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum.
Di era sekarang ini penegakan hukum merupakan bagian dari tuntutan
masyarakat yang menginginkan adanya suatu reformasi hukum, akan tetapi
seringkali tuntutan masyarakat terhadap reformasi hukum tersebut hanya
disudutkan pada “Hakim” dalam hal ini Pengadilan, padahal penegakan
hukum bukan hanya dibebankan pada tugas Hakim/Pengadilan saja, tetapi
termasuk sebagai bagian dari Polisi selaku penyidik dan Jaksa selaku
penuntut umum, yang sering disebut dengan istilah “Criminal Justice System”
yang sebagai prilaku penegakan hukum.
Dalam ilmu tentang “prilaku hukum” memang merupakan atau punya
pendekatan tersendiri dalam ilmu hukum, yang menurut Max Weber bahwa
dalam mempelajari hukum ada 3 (tiga) pendekatan yang dapat digunakan
yaitu:
1.

Pendekatan moral terhadap hukum;

2.

Pendekatan dari sudut ilmu hukum normatif;

3.

Pendektan sosiologis terhadap hukum.34
Pendekatan moral terhadap hukum yang paling utama diperhatikan

yaitu, hukum harus mengekspresikan suatu moralitas umum (a common

34

http://lsmkebenarankeadilan.blogspot.co.id/2015/08/kebenaran-keadilanbermartabat.html diakses 10 November 2016

65

morality) yang didasarkan pada suatu konsensus tentang apa yang secara
moral dianggap salah dan apa yang secara moral dianggap benar.
Pendekatan ilmu hukum normatif atau jurisprudensi berpandangan
bahwa hukum seharusnya “otonom” atau independent dari religi, filosofi dan
nilai-nilai serta asas-asas politik, sedangkan pendekatan sosiologis hanya
terfokus pada hukum sebagai prilaku atau “behaviour”, hukum sebagai
tindakan

atau

“action”

dan

hukum

sebagai

realita

atau

reality.

Keotonomian hukum yang dilakukan Pengadilan sebagaimana diungkapkan
dalam pendekatan jurisprudensi ada kalanya dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor
yaitu : Ekonomi; Sosial; dan Politik.
Untuk menghindari ketiga faktor yang mempengaruhi keotonomian
hukum tersebut diatas, maka harus dapat membiasakan diri hidup sederhana,
jangan memaksakan keadaan, dan jangan menggunakan “Aji mumpung“
yaitu mumpung banyak orang-orang yang berkepentingan mau menyumbang,
juga jangan meminta dan atau menerima sumbangan dari orang-orang yang
secara tersirat maupun tersurat mempunyai kepentingan dengan jabatan,
karena tidak ada seseorang/pengusaha yang mau menyumbang apabila tidak
punya

kepentingan,

jika

sekali

saja

menerima

sumbangan

dari

seseorang/pengusaha berarti telah “Menggadaikan Integritas Jabatan” atau
pribadinya. Oleh karena itu prilaku hukum dari penegak hukum (Polisi, Jaksa
dan Hakim) merupakan salah satu faktor terpenting agar penegakan hukum
dapat terlaksana secara optimal dan bermartabat.

66

Dalam penegakan hukum bukan semata mata hanya menjalankan
pelaksanaan Perundang-undangan atau Law enforcement, tetapi penegakan
hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan keadamaian dalam pergaulan
hidup.
Dalam melaksanakan penegakan hukum sangat bergantung pada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Faktor hukum atau peraturan itu sendiri;
Faktor petugas yang menegakkan hukum;
Faktor warga masyarakat;
Faktor kebudayaan atau legal culture;
Faktor sarana atau fasilitas yang dapat diharapkan untuk mendukung
pelaksana hukum.35
Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut

diatas dapat digunakan untuk melihat penomena prilaku hukum di Pengadilan
dalam melaksanakan penegakan hukum yang bermartabat.
Para pakar sosiologi hukum pada umumnya membatasi penelitian
mereka hanya terhadap suatu masyarakat spesifik serta meninjau lembagalembaga sosial yang ada didalamnya seperti keluarga, komunitas keagamaan
atau subkultur, untuk menentukan peran lembaga-lembaga tersebut dalam
mengembangkan ketaatan terhadap hokum.
Sosiologi adalah kajian ilmu tentang kehidupan sosial dan dengan
demikian sosiologi hukum adalah kajian ilmiah tentang perilaku hukum.

35

http://lsmkebenarankeadilan.blogspot.co.id/2015/08/kebenaran-keadilanbermartabat.html diakses 10 November 2016

67

Di

dalam

sosiologi

hukum

dikatakan

bahwa

hukum

dapat

dikelompokkan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat apabila:
Pertama : Berlaku secara yuridis yaitu perlakuan hukum didasarkan pada
kaidah yang tingkatnya lebih tinggi. Bila berlakunya hanya
secara yuridis maka hukum termasuk kaidah mati.
Kedua
: Berlaku secara secara sosiologi, hukum dapat dipaksakan
berlakunya oleh penguasa meskipun masyarakat menolaknya
(teori kekuasaan) atau hukum berlaku karena diterima dan
diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). Jika berlakunya
hanya secara sosiologis dalam teori kekuasaan, maka hukum
hanya akan menjadi alat untuk memaksa.
Ketiga : Berlaku secara filosofis (sesuai dengan cita cita hukum sebagai
nilai positif yang tertinggi). Apabila berlakunya hanya secara
filosofis, hukum hanya akan menjadi kaidah yang dicita-citakan
(ius constituendum).
Sosiologi hukum peradilan fokus utamanya adalah tentang “realitas
peran Hakim” yang menyoroti prilaku Hakim sebagai salah satu unsur
pembentuk hukum melalui putusannya (judge made law).
Harus disadari bahwa masih banyak perundang-undangan di Indonesia
dewasa ini yang belum mampu menjawab dinamika kebutuhan hukum yang
sangat cepat, sehingga yang terjadi apa yang dikatakan Undang-undang
senantiasa tertatih-tatih mengejar peristiwa yang seyokyanya diselesaikan,
maka dalam kondisi ini peran para hakim sangat dibutuhkan untuk
melahirkan putusan yang mampu mengisi ketertinggalan undang-undang, dan
memenuhi kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat.36
Tentu

saja

dalam

hal

ini,

kemampuan

para

hakim

untuk

menginplementasikan berbagai metode penemuan hukum, termasuk berbagai
interpretasi dan juga konstruksi yang sangat diharapkan.
36

http://lsmkebenarankeadilan.blogspot.co.id/2015/08/kebenaran-keadilanbermartabat.html diakses 10 November 2016

68

Menurut Satjipto Rahardjo bahwa teori hukum dari perspektif
keadilan sacara harfiah ia berarti “Pengatahuan dan pendapat tentang hukum”
(Knowledge and opinion about law). Dalam teori ini dijelaskan bahwa
pelaksanaan hukum ditentukan oleh dua variabel yaitu:
1) Variabel ekstra (meta) yuridis yaitu kompleksitas kekuatan sosial politik,
struktur masyarakat, dan faktor-faktor peribadi;
2) Variabel intra yuridis, dalam variabel ini terdapat 3 (tiga) subvariabel
yaitu:
a) Pembuat perundang-undangan;
b) Birokrasi hukum;
c) Rakyat sebagai subyek hukum .37
Antara pembuat perundang-undangan dengan birokrasi dan rakyat
diikat oleh norma, dan antara birokrasi dengan rakyat diikat oleh aktivitas
pelaksanaan hukum. 3 (tiga) variabel tersebut masing-masing memiliki sifat
umpan balik, terjadi hubungan umpan balik antara pembuat peraturan dengan
birokrasi, terjadi hubungan umpan balik antara pembuat peraturan dengan
rakyat dan terjadi hubungan umpan balik antara birokrasi dengan rakyat.
Selanjutnya bahwa kesadaran hukum sebenarnya menyangkut faktorfaktor apakah suatu hukum diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga
Negara. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegakan
hukum, adalah:
1)
2)
3)
4)

Faktor hukum atau perundang-undangan;
Faktor penegakan hukum;
Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
Faktor masyarakat, lingkungan yang menjadi tempat hukum
diberlakukan dan diterapkan;
5) Faktor kebudayaan, karya, cipta, dan rasa manusia yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.38
37

http://lsmkebenarankeadilan.blogspot.co.id/2015/08/kebenaran-keadilanbermartabat.html diakses 10 November 2016

69

Hasil kajian teori penegakan hukum yang telah diuraikan diatas
kiranya dapat diduga bahwa wibawa Hakim/Pengadilan dipengaruhi oleh 3
(tiga) faktor yaitu:
1) Faktor peraturan perundang undangan;
2) Faktor birokrasi;
3) Faktor kesadaran hukum masyarakat.
Faktor-faktor inilah yang diduga dapat memicu lahirnya Hakim yang
unggul kompetitif dan Hakim yang unggul komparatif.
Di dalam sistem pembuatan putusan dan sistem penyelesaian sengketa
dalam hal ini Pengadilan, tidak ada putusan yang hanya berasal dari satu
unsur yang bertindak sendiri. Semua “outputs” dihasilkan dari suatu sistem
hubungan-hubungan sosial yang terstruktur.
Idealnya para hakim benar-benar menyelaraskan antara harapan dan
norma prilaku yang mengandung nilai-nilai. Khususnya secara konkret
dirumuskan dalam Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor: 4 Tahun
2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan seperangkat orientasi atau
sikap peran dari sosok hakim. Dengan kata lain pengembangan kemampuan
hakim mencakup semua unsur yang ditentukan dalam Pasal 32 dan Pasal 33
Undang-Undang Nomor: 4 Tahun 2004 tersebut yaitu:
1) Pengembangan integritas dan kepribadian hakim dengan senantiasa
mengoptimalkan prilaku tidak tercela, jujur, adil dan mandiri;
2) Pengembangan diri dengan cara secara terus-menerus belajar dari
menangani dan mengadili berbagai kasus in konkreto selama kariernya
sebagai hakim;
38

http://lsmkebenarankeadilan.blogspot.co.id/2015/08/kebenaran-keadilanbermartabat.html diakses 10 November 2016

70

3) Pengembangan profesionalisme hakim dengan cara terus menerus
menambah wawasan keilmuan, baik dalam bidang hukum maupun
bidang-bidang lain yang berada disekitar ilmu hukum, seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan lain lain.
Dalam rangka pengembangan kemampuan hakim agar dengan
wawasan intelektualitas dan penalarannya mampu menghasilkan putusanputusan yang bukan saja berdasarkan hukum dan keadilan, melainkan juga
benar-benar mampu mewujutkan tuntutan dan kebutuhan hukum masyarakat,
yang pada akhirnya dengan putusannya tersebut dapat mewujutkan suatu
Pengadilan yang bermartabat atau penegakan hukum yang bermartabat dalam
suatu putusan hakim.
Tugas utama pengadilan/hakim adalah menerima, memeriksa dan
memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya, tidak boleh menolak suatu
perkara dengan dalil tidak ada aturan hukum yang mengaturnya, maka dalam
hal ini pengadilan/hakim dituntut untuk menggali hukum yang berkembang
dimasyarakat sehingga putusan yang dijatuhkannya bisa dianggap adil
menurut masyarakat.
Berbicara keadilan yang bermartabat adalah sangat sulit, karena
menurut pihak yang satu sudah adil, tapi belum tentu pihak yang lain adil.
Dan tidak seorangpun yang dapat merumuskan adil secara interpralistik
maupun komprehensif, karena kadang kala adil secara netralpun tidak
mungkin diterima secara memuaskan bagi kalangan masyarakat.
Bertambah sulit lagi menentukan adilnya suatu putusan jika hakim
menerapkan hukum secara “tidak profesional dan bersikap formalistik

71

legalthinking”. Oleh karena itu putusan yang adil dan bermartabat adalah
putusan yang memenuhi unsur : yuridis, sosiologis dan philosofis.
Bertitik tolak dari itu maka untuk menentukan patokan putusan yang
adil dan bermartabat, maka hakim berdasarkan hati nurani yang bersih dan
netral dalam menjatuhkan putusannya agar memenuhi kebenaran dan rasa
keadilan. Terutama dalam perkara pidana, putusan harus memuat hal-hal
sebagai berikut:
1) Bersifat koreksi, yaitu dimana hakim harus berani mengatakan yang
benar itu benar dan yang salah itu salah, karena hakim dalam
melaksanakan pekerjaannya dituntut adanya keberanian dan tanggung
jawab untuk mengoreksi pelaku tindak pidana yang diajukan kepadanya;
2) Bersifat edukasi, yaitu pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak
pidana bukan hanya untuk mengoreksi saja, tetapi juga harus dapat
mendidik agar pelaku tindak pidana tidak akan mengulangi lagi
perbuatan pidana yang telah dilakukannya;
3) Bersipat prefensi, yaitu dimana pelaku tindak pidana atau masyarakat
setelah adanya putusan yang dijatuhkan oleh hakim akan merasa
ketakutan apabila akan melakukan suatu tindak pidana;
4) Bersipat represif, yaitu putusan yang dijatuhkan hakim mengandung
adanya nilai ganjaran pidana yang seimbang dengan perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24