KRISIS IDENTITAS POLITIK KEBANGSAAN PEMB

!
!
KRISIS IDENTITAS POLITIK KEBANGSAAN, PEMBANGUNAN
KETAHANAN NASIONAL, DAN ISU RADIKALISME ISLAM
DI INDONESIA
LENI WINARNI
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia

Paper ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara
identitas politik kebangsaan, pembangunan ketahanan nasional
dengan isu aktual terkait radikalisme Islam di Indonesia. Meskipun
gerakan radikal Islam sebenarnya telah ada sejak pra kemerdekaan,
namun pemahaman mengenai radikalisme Islam telah mengalami
proses transformasi, sehingga kemunculannya saat ini tidak hanya
disebabkan oleh radikalisme pemahaman lokal tetapi juga
dikarenakan pengaruh gerakan Islam radikal yang berasal dari luar
Indonesia. Begitu pula dengan identitas politik kebangsaan tidak
lepas dari transformasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
diluar identitas itu sendiri. Bagaimanapun, krisis identitas politik
kebangsaan tidak terjadi begitu saja tetapi ia melalui proses yang
bersamaan dengan perjalanan Indonesia sebagai negara yang

merdeka.
Afiliasi gerakan radikal Islam dengan menyatakan dukungan
terhadap gerakan yang berakar dari luar seperti ISIS, menyebabkan
perlunya memperkuat identitas politik kebangsaan sebagai bagian
penting dalam membangun keamanan dan ketahanan nasional.
Topik diskusi pada paper ini adalah menjelaskan mengapa paham
radikalisme Islam tetap eksis di negara sekuler seperti Indonesia?
Bagaimana korelasi antara krisis identitas politik kebangsaan dan
dampaknya terhadap berkembangnya radikalisme agama? Mengapa
gerakan Islam radikal justru lebih tampak eksis di orde reformasi
paska berakhirnya rejim orde baru pada tahun 1998?
Bagaimanapun terjadinya krisis identitas politik kebangsaan
berpengaruh pada pembangunan ketahanan nasional, sebab
lahirnya ide-ide radikal merupakan ancaman bagi pembangunan
nasionalisme seutuhnya. Tantangan kedepan sebuah bangsa bukan
saja ancaman berupa keutuhan teritorial tetapi ancaman dari upayaupaya penyebaran radikalisme agama. Isu Radikalisme atas nama
agama agaknya akan masih menjadi tantangan bagi identitas politik
kebangsaan Indonesia serta upaya-upaya preventif guna mencegah
tersebar luasnya pemahaman sempit atas nama agama.
Key words: krisis identitas, politik kebangsaan, ketahanan nasional,

radikalisme Islam.

Pendahuluan
Perjalanan Indonesia menjadi sebuah bangsa merdeka tidaklah mudah
tetapi ia melewati jalan yang panjang dan menciptakan sejarahnya sendiri,
seperti bangsa-bangsa lainnya yang baru merdeka paska Perang Dunia II, yang
berarti pula berakhirnya era kolonial di negara-negara jajahan. Sebagai negara
baru, Indonesia dihadapkan pada sejumlah persoalan tidak hanya berjuang
mempertahankan eksistensi dan kedaulatan negara, namun juga berusaha
menjaga stabilitas keamanan dalam negeri dari ancaman disintegrasi nasional.
Ritme politik yang tidak stabil, keadaan ekonomi yang tidak kondusif, dan
gangguan keamanan baik dari luar dan dalam negeri mendeskripsikan
Indonesia sebagai negara baru yang rapuh. Persoalan identitas politik
kebangsaan kemudian mengemuka diawal kemerdekaan Indonesia dengan
menjadikan Pancasila sebagai satu-satuya pandangan hidup dan upaya
mempertahankannya hingga saat ini.
Paper ini akan membahas beberapa permasalahan terkait dengan isu
krisis identitas politik kebangsaan sebagai dampak dari penyebarluasan paham
radikalisme agama dengan menggunakan paradigma identitas kolektif.
Analisis mengenai isu ini akan difokuskan pada beberapa hal, pertama,

menjelaskan hubungan antara identitas politik kebangsaan dengan kehidupan
toleransi agama dan nasionalisme di Indonesia. Kedua, analisis komparatif
dengan menggunakan perspektif historis gerakan radikal di Indonesia sebelum
dan sesudah peristiwa peledakan World Trade Center (WTC) 11 September
2001. Penjelasan yang terakhir berkenaan dengan transformasi gerakan
radikalisme Islam sebagai bentuk ancaman bagi keutuhan negara. Pembahasan
mengenai isu ini juga akan menfokuskan pada perspektif generasi muda
Indonesia terhadap radikalisme agama.

Radikalisme, Identitas dan Nasionalisme: Kajian Pustaka
Definisi radikalisme Islam dan terrorisme sangatlah problematik, sebab
dalam banyak literatur, radikalisme Islam seringkali dipersepsikan sebagai
gerakan radikal yang identik pula dengan kata fundamentalisme, kebangkitan
Islam, militan Islam, ataupun Islam activism, Tan (2007:194). Akar sejarah

radikalisme Islam sendiri sering dikaitkan dengan ajaran teologi Islam yang
dipopulerkan oleh Muhammad Ibnu Abdul-al Wahhab yang kemudian lebih
dikenal dengan Wahhabisme, yang berbasis pada pemahaman Salafi tentang
pemurnian Islam kembali. Wahhabisme dan Salafisme adalah dua hal yang
berkaitan serta diisukan sebagai basis pemahaman jihad yang digunakan oleh

gerakan terroris atau radikal Islam guna menciptakan kembali kekhalifahan
Islam (Angel et al.2004). Padahal pemahaman jihad dalam Islam tidak hanya
berkutat pada jihad fisik semata seperti peperangan, tetapi pemaknaan jihad
mengandung pemaknaan serta perenungan yang dalam dan senantiasa
terhubung dengan kepercayaan ummat Islam akan alam akhirat, kehidupan
setelah meninggalkan dunia.
Selanjutnya, Tim Krieger dan Daniel Meierrieks dalam papernya yang
berjudul What causes terrorism? mengemukakan adanya korelasi antara
tingginya populasi, pemerintahan otoriter yang tidak demokrastis dengan
sebab-sebab berkembangnya terrorisme. Krieger dan Meierrieks juga
berpendapat bahwa populasi yang tinggi di suatu negara dengan tingkat
perekonomian yang maju dan penerapan politik terbuka tetapi dalam banyak
aspek negara tersebut tetap tidak stabil, tetap saja negara dengan kondisi
demikian merupakan target bagi berkembangnya terrorisme (2011:27).
Deskripsi tersebut hampir mendekati dengan kondisi Indonesia. Disatu sisi
proses transisi dari rejim otoriter ke demokrasi berjalan dengan dinamis diikuti
dengan peningkatan perekonomian yang belum signifkan, sementara disisi lain
konflik kepentingan elit politik, korupsi terstruktur, dan keamanan yang
kurang kondusif menjadikan Indonesia sebagai target bagi penyebarluasan
radikalisme agama sebagai imbas dari berkurangnya rasa nasionalisme dan

krisis identitas kebangsaan sebagai bagian dari euforia kebebasan paska rejim
otoriter.
Krisis identitas politik kebangsaan dapat dinilai sebagai isu yang
mengawali separatisme, konflik etnis-relijius, kerusuhan Mei 1998 hingga
bermunculannya fenomena gerakan moral ideologi yang menghendaki negara
Islam Indonesia, seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir hingga
gerakan Islam yang cenderung militan misalnya Laskar Jihad, Front Pembela

Islam (FPI). Bahkan krisis identitas itu terus berlanjut dengan bergabungnya
warga negara Indonesia dalam organisasi terrorisme global yang lebih ekstrim
seperti ISIS.
Identitas politik atau apapun yang melekat dengannya adalah sesuatu
yang dinamis dan selalu bertransformasi. Menurut Alexander Wendt dalam
Social Theory of International Politics, identitas bukanlah bersifat given tetapi
merupakan proses transformasi yang terus berlangsung dan dinamis yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar identitas itu sendiri (1999). Sama halnya
dengan identitas politik kebangsaan Indonesia, meskipun Pancasila sebagai
lambang negara tidak pernah berubah sejak 1945 tetapi identitas masyarakat
tentunya mengalami transformasi yang dipengaruhi oleh faktor internal
maupun faktor eksternal sebagai efek globalisasi. Pertukaran ide, penyebaran

paham berbasis online, mengharuskan perlunya penguatan identitas nasional.
Selain itu, pemahaman identitas dapat bersifat bias. Identitas dapat
berubah seiring dengan kondisi dan situasi yang dialami oleh pihak tertentu.
Dalam suatu kesempatan, identitas dapat saja diartikan sebagai nasionalisme,
agama, gender, atau status sosial. Sedangkan, menurut Marranci (2006), proses
identitas pada manusia dapat berfungsi dikarenakan dua hal: pertama, identitas
memberikan kesempatan individu untuk mendapatkan pengalaman akan potret
diri mereka sendiri;kedua, indentitas memberikan kesempatan setiap individu
untuk mengekspresikannya melalui simbol-simbol tertentu. Jika demikian,
maka dapat diartikan bahwa representasi individu akan Pancasila adalah
ekspressi simbol identitas politik kebangsaan Indonesia. Sedangkan,
representasi simbol-simbol gerakan radikal seperti bendera juga dapat
diartikan sebagai ekspressi simbol ideologi mereka. Namun, secara tegas harus
ada pembedaan antara Islam dan gerakan radikal yang menggunakan simbolsimbol Islam adalah dua hal yang berbeda. Sebab, simbol-simbol yang mereka
gunakan sama sekali tidak mengekspressikan identitas ummat Islam
keseluruhan.
Dalam paper berjudul The Psychological Dynamics of Terrorism yang
ditulis oleh Jerrold M. Post (2006), dengan mempertimbangkan aspek
psikologi, ia membedakan terrorisme menjadi tiga hal, yaitu: gerakan


nasionalis-separatis, revolusi sosial, dan fundamentalisme agama-yang
kemudian terbagi lagi menjadi terrorisme-plural-dan terroris psikologi-plural.
Ia mengatakan bahwa walaupun psikologi memainkan peran yang krusial
dalam memahami terrorisme tetapi tetap diperlukan pemahaman yang
komprehensif dari pendekatan berbagai displin ilmu, dari politik, budaya,
ekonomi, ideologi, dan agama. Terlebih lagi pendekatan keilmuan psikologi
individual belumlah cukup untuk menyingkap mengapa seseorang mau terlibat
dalam terrorisme, apalagi melakukan suicide terrorism.
Selain itu Post juga menganalisis bagaimana hubungan dinamika sosial
antar generasi sebagai alasan keterlibatan mereka dalam terrorisme.

Parents’ Relationship to Regime

Youth’s
Relationship to
Parents

L"

loyal


L"

X

D"

Social
Revolutionary
Terrorism

loyal

isloyal

!!!!!!!!!!!!!!isloyal!
amaged!
issident!

D


NationalistSeparatist
Terrorism





Figur 1. Post: Social and Generational Dynamics
(Richardson et al. 2006)

Berdasarkan tabel di atas, Post mendeskripsikan bagaimana hubungan
orang tua dengan rejim berkuasa dapat mempengaruhi keterlibatan generasi
muda dalam gerakan terrorisme. Jika orang tua memiliki loyalitas terhadap
rejim dan anak loyal terhadap orang tua mereka, maka kemungkinan kecil
mereka akan terlibat terrorisme atau gerakan radikal. Sedangkan, jika orang tua
tidak loyal terhadap rejim tetapi anak loyal terhadap orang tua, maka sangat

dimungkinkan anak akan terlibat dalam gerakan nasionalis-terrorisme
separatis. Sebaliknya, jika orang tua loyal terhadap rejim tetapi anak tidak loyal

terhadap orang tua mereka, maka kemungkinan anak dapat terlibat dalam
revolusi sosial-terrorisme. Justifikasi Post tentang keterlibatan generasi muda
dalam gerakan radikal secara psikologi ditentukan oleh bagaimana hubungan
mereka dengan para orang tua namun hal ini juga tidak dapat digeneralisir.
Jika Post melihat hubungan antar individual punya peranan yang kuat
dalam

memotivasi

kecenderungan

radikal

seseorang,

maka

dengan

menggunakan analisis gerakan sosial politik yang dikemukakan Haferkamp

dan Smelser (1992), radikalisme adalah fenomena dari gerakan sosial yang
lahir pada abad 20. Gerakan sosial politik menyebutkan bahwa eksistensi
mereka merupakan ekspresi anti globalisasi. Selain itu, gerakan sosial politik
juga mengakibatkan lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang eksklusif,
yang punya kecenderungan ekstrim bila berhadapan dengan kelompok diluar
komunitas mereka. Gerakan radikal Islam dapat diasumsikan sebagai fenomena
gerakan sosial politik paska Perang Dingin sebagai bentuk perlawanan
hegemoni Barat. Sebab dalam banyak kasus, gerakan radikal Islam melakukan
target penyerangan terhadap simbol-simbol Barat.
Beberapa kasus pemboman oleh gerakan radikal Islam di Indonesia juga
memperlihatkan kecenderungan simbol-simbol Barat sebagai target, misalnya
peristiwa bom Bali, peledakan hotel JW Marriot, peledakan restoran cepat saji
McDonald. Tetapi target mereka semakin sporadis dengan menjadikan tempat
peribadatan sebagai sasaran, tidak hanya gereja namun juga masjid, misalnya
saja peristiwa bom bunuh diri di Masjid Al Dzikro di Komplek Mapolresta
Cirebon pada tahun 2011 lalu.
Gerakan radikal di Indonesia adalah kasus yang unik karena kondisi
Indonesia tentu sangat jauh berbeda dengan di negara-negara di Timur Tengah
yang mengalami krisis dan konflik berkepanjangan. Sehingga dapat pula
diasumsikan bahwa gerakan radikal di Indonesia merupakan bentuk protes
kepada pemerintahan yang dinilai pro Barat dan cenderung kapitalis.

Metodelogi
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dan akan memetakan tentang
faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya krisis identitas yang
dikaitkan dengan isu radikalisme dewasa ini. Selain itu akan memetakan
bagaimana tingkat pemahaman generasi muda itu sendiri tentang
radikalisme agama.
2. Sumber Penelitian
Data diperoleh dari data primer maupun data sekunder. Data primer
berasal dari responden yang akan ditetapkan secara purposive dan melalui
pengamatan lapangan. Sedangkan, informasi mengenai isu radikalisme dan
krisis identitas politik kebangsaan didapatkan dari para informan terdiri dari
para akademisi, praktisi dibidang keagamaan, para rohaniwan, ulama, dan
aktivis keagamaan. Data sekunder yang dikumpulkan melalui metode
kepustakaan, dengan mengumpulkan data-data dari media massa, buku,
jurnal, dan internet.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan teknik analisa interaktif

(interactive model of analysis),

berdasarkan Miles dan Hubermen (1994) dalam Punch dengan bukunya
yang berjudul “Introduction to Social Research, Quantitative, and
Qualitative Approaches” (2005). Teknik ini meliputi tiga komponen, yaitu:
1. Data reduction, tahapan awalnya meliputi proses seleksi,
pengelompokan data, dan meringkas atau menyederhanakan data
kasar yang ada dilapangan. Tahapan kedua melakukan koding dan
memberikan tanda pada data-data yang telah diperoleh dan
mengasosiasikan dengan aktivitas penelitian, seperti menentukan
tema, kluster, dan pola. Tahapan akhir yaitu konseptualisasi dan
penjelasan dari data yang telah diperoleh. Data

yang

didapatkan

melalui hasil wawancara atau ringkasan data sekunder ini kemudian
yang diterjemahkan dalam bentuk laporan kemudian direduksi dan

dipilih mana yang sesuai dengan asumsi dasar bahwa ada
kecenderungan mahasiswa pada umumnya untuk mencari kebenaran
intelektual yang terkadang justru membuat mereka terjerumus
dengan paham atau ideologi radikal (Sarsito, Winarni, dan
Yudiningrum 2014)
2. Data display atau data penyajian adalah suatu informasi yang
memungkinkan dapat dilakukan, seperti matriks, gambar, grafik, dan
lain sebagainya.
3. Conclusion drawing atau penarikan kesimpulan, yaitu metode
pengorganisasian atau pengumpulan data berdasarkan klasifikasi
yang

telah

ditentukan

sebelumnya

sehingga

dapat

ditarik

kesimpulan
4. Pada awal pengumpulan data, peneliti berupaya memahami pattern
atau pola sebab-akibat, konfigurasi-konfigurasi, dan proposisiproposisi. Peneliti bersifat terbuka dan skeptis, sehingga kesimpulan
yang pada mulanya kurang jelas dapat memiliki landasan yang kuat
dan argumentative (Sarsito, Winarni, dan Yudiningrum 2014).
Krisis Identitas Politik: Persimpangan di antara Ideologi
Islam adalah agama rahmatan lil’ alamin, agama yang membawa rahmat
dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia dan tidak mentolerir
radikalisme atau tindakan kekerasan apapun dalam penyelesaian masalah.
Hanya saja image Islam sebagai agama perdamaian berbalik arah sejak
peristiwa black September. Bersamaan dengan perang melawan terrorisme
global yang diinisiasi oleh Amerika Serikat dan sekutunya, maka gerakan
radikal yang mengatasnamakan Islam pun mendapatkan simpati yang tidak
sedikit dari negara-negara Muslim, termasuk Indonesia sebagai negara dengan
komunitas Muslim terbesar di dunia. Dengan kata lain, Indonesia pun telah
menjadi destiny bagi gerakan-gerakan ekstrimis Islam yang dikhawatirkan
akan menciptakan stabilitas keamanan serta ancaman bagi kebinekaan.

Kenyataan tentang adanya perekrutan anggota gerakan terroris
internasional di Indonesia mengemuka sejak terjadinya bom Bali 2002 hingga
saat ini. Integritas nasional dan krisis identitas politik kebangsaan pun
dipertanyakan kembali jika melihat kenyataan di lapangan bahwa pemberitaan
mengenai warga negara Indonesia yang berperang membela negara lain atas
nama jihad bukanlah kebetulan tetapi dilakukan dengan penuh kesadaran,
seperti kasus 16 warga negara Indonesia yang diduga bergabung dengan ISIS
untuk berperang di Syuriah setelah menghilang di Turki.
Tetapi bila menengok kembali sejarah tentang militansi Islam atau
gerakan radikal di Indonesia sebenarnya telah ada sejak era kolonial, ia adalah
warisan masa lampau. Pada masa awal pos kolonial, kelompok-kelompok
Islam ekstrim melakukan perlawanan gerilyawan terhadap Belanda dengan
memobilisasi para ulama dan santri untuk ikut di medan perang. Di Jawa
Barat, politisi Masyumi Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo memimpin
kelompok militan Darul Islam, yang kemudian dideklarasikannya menjadi
Tentara Islam Indonesia (TII) dan menolak kewenangan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dibawah Komando Jendral Sudirman, Mietzner (2008:87).
Bersamaan itu pula Kartosuwirjo dan kelompoknya bertekad memisahkan diri
dari Republik kesatuan Indonesia dan hendak mendirikan negara Islam.
Namun, gerakan radikal paska kemerdekaan hendaknya dicermati dengan
perspektif yang berbeda. Konstelasi politik dalam negeri dan tingkat global
pada masa itu tentu berbeda dengan kondisi dan situasi saat ini. Manipulasi
politik sangat kental di era itu, terutama atas ketidaksetujuan gerakan radikal
terhadap ketidakjelasan sistem pemerintahan yang mengadopsi demokrasi
yang merupakan simbol Barat. Gerakan-gerakan radikal di Indonesia
selanjutnya merupakan bentuk protes terhadap sistem pemerintahan baik itu
sistem komunis maupun kapitalis karena dinilai tidak sesuai dengan
pemahaman Islam yang mereka anut.
Pada masa Orde Baru, Soeharto naik ke tampuk kekuasaan dan
meskipun ia seorang Muslim tetapi dalam banyak literatur ia cenderung
mempraktekkan aliran kepercayaan Jawa di awal masa pemerintahannya,
MacDonald, (1980:12). Hal itu kemungkinan dikarenakan pengaruh dari

shaman (dukun) yang bernama Kiai Daryatmo, yang menggabungkan Al
Qur’an dan aliran kepercayaan Jawa (meditasi dan mistisme, semedi, dan
kebatinan) sejak ia anak-anak (Aspinall and Fealy 2010). Tidak mengherankan
apabila Soeharto menggabungkan Pancasila dengan nuansa Jawa yang sangat
kuat.

Selain itu, di era Soeharto pula, partai-partai politik Islam dilebur

menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sehingga otomatis menggerus
kekuatan Islam di Indonesia, sekaligus mampu menekan kekuatan Islam di
akar rumput dan kekuatan militan Islam yang tidak setuju dengan sistem
kapitalisme dan sekulerisme yang diusung pemerintah Soeharto. Tetapi disatu
sisi, di era Soeharto, kebangkitan nasionalisme melalui program propaganda di
media (TVRI), program-program masyarakat hingga pendidikan berjalan
dengan efektif. Meskipun terkesan represif, tetapi identitas politik kebangsaan
benar-benar masuk ke dalam sendi kehidupan bangsa dan bernegara.
Ibarat bangunan yang tampak kokoh dari luar, peristiwa 1998 yang
bermula dari krisis moneter dengan cepat mampu membalikkan keadaan.
Represif dan kontrol pemerintah pusat ternyata tidak mampu membendung
semangat kebebasan masyarakat yang terprovokasi oleh kesulitan ekonomi.
Setelah Soeharto mengundurkan diri, stabilitas politik, ekonomi, dan
keamanan di Indonesia belumlah membaik. Gerakan separatisme, konflik
etnis-agama, dan terrorisme terjadi selama awal Orde Reformasi bergulir.
Peristiwa-peristiwa yang mengawali masa transisi demokrasi sangat
menguji keberagaman di Indonesia (Bhinneka Tunggal Ika). Bahkan
disebutkan oleh Clifford Geertz, “the call to national unity in the name of a
shared ideal seems to be wasting asset”, Farhadian (2005:3). Indonesia adalah
negara yang multikultur, multietnis, dan memiliki keberagaman agama, tentu
tidaklah mudah untuk mempertahankan kesatuan di tengah keberagaman.
Sehingga identitas adalah faktor yang urgen dalam menjaga keutuhan suatu
negara dari segala bentuk ancaman disintegrasi termasuk radikalisme agama.
Fenomena radikalisme tidak hanya lahir dalam agama Islam saja tetapi ia
ada dalam banyak agama, seperti Hindu, Nasrani, dan Yahudi. Huston Smith,
seorang ahli perbandingan agama yang menyebutkan bahwa golongan
ekstrimis telah membajak Islam, sebagaimana berlangsung secara berkala pada

agama Kristem, Hindu dan agama-agama lain dalam sejarah disebabkan
ketidaktahuan tentang keyakinan mereka sendiri, Ruth (2010:50).
Hingga satu dekade berlalu paska runtuhnya gedung kembar WTC pada
tahun 2001 lalu, isu mengenai radikalisme Islam belum juga mereda. Bahkan
fenomena radikalisme dirasa semakin meningkat dengan bermunculannya
deklarasi gerakan-gerakan radikal agama terutama di negara-negara benua
Asia dan Afrika. Mereka menyebarluaskan paham radikal, terutama pada
generasi muda. Mereka tidak hanya direkrut menjadi anggota, tetapi juga
disiapkan untuk melakukan aksi suicide terrorism atau bom bunuh diri.
Padahal dalam Islam, aksi bunuh diri sangat dilarang kecuali dalam situasi
konflik di Palestina yang masih diperdebatkan oleh para ulama hingga saat ini.
Salah satu penyebab anarkisme dan fanatisme sempit adalah terjadinya
pergeseran identitas dikarenakan adanya proses transformasi yang dipengaruhi
oleh banyak faktor. Proses transisi demokrasi dari rejim otoriter membawa
perubahan yang sangat cepat. Memaksa Indonesia melakukan politik terbuka
tetapi diikuti oleh instabilitas keamanan yang bermula dari krisis ekonomi
yang mengalami puncaknya pada tahun 1998. Masyarakat beropini bahwa
krisis di negara mereka tidak semata-mata disebabkan oleh krisis ekonomi
global, melainkan terkikisnya perekonomian nasional yang lebih diakibatkan
oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme pada jaman Orde Baru. Hal ini memicu
ternjadinya krisis kepercayaan terhadap nasionalisme dan ke-Indonesia-an
yang diikuti dengan sejumlah kasus konflik etnis-agama serta isu separatisme
di berbagai wilayah di Indonesia.
Disamping itu pula, kerusuhan Mei 1998 dan peristiwa yang
menyertainya berimbas lebih signifikan terhadap krisis identitas budaya di
Indonesia. Sebab pada pertengahan 1990-an dampak globalisasi berperan lebih
dari sebelumnya saat. Berakhirnya era Soviet berdampak pada sistem
kapitalisme yang menggurita dimana Indonesia ikut serta didalamnya,
memungkinkan segala aspek, termasuk budaya menjadi komoditas kapitalis
seperti yang diungkapkan oleh Melani Budianta (2010:511).
Globalisasi menyebabkan arus informasi berjalan dengan ritme yang
sangat cepat dan dinamis. Pemberitaan faktual di belahan bumi manapun

dengan mudah didapatkan melalui media internet, termasuk penyebaran paham
radikal. Disamping itu pula kondisi diperparah dengan kurangnya pemahaman
nasionalisme pada generasi muda dewasa ini dan pemaknaan simbol-simbol
negara.
Terkait dengan isu radikalisme, dalam sebuah survei terhadap 150
responden yang berusia di antara 17-24 tahun, menunjukkan bahwa mereka
memiliki keterbatasan pengetahuan mengenai istilah radikal. Istilah tersebut
antara lain: a)Liberalisme; b)Kapitalisme; c) Radikalisme; d) Wahhabisme; e)
Fanatisme; f) Suicide Terrorism; g)Neo-marxis; h)Utopis; i)Fundamentalisme;
j)Terrorisme; k)Marxisme.
Figur 2. Jumlah responden yang tidak mengetahui
istilah radikalisme lebih dari tiga
5%!
11%!

23%!

10%!

2%!
16%!

13%!
20%!

Figur 3. Jumlah responden yang tidak mengetahui
istilah radikalisme kurang dari tiga
7%$

2%$

2%$

5%$
26%$

6%$
5%$
9%$

38%$

Meskipun hasil survei dari responden tersebut tidak dapat mewakili
pendapat semua generasi muda tentang radikalisme, setidaknya hal ini
memberikan gambaran bahwa ternyata minimnya pengetahuan mereka akan
paham radikalisme juga dapat dijadikan salah satu indikator mengapa mereka
ingin terlibat dalam gerakan radikal. Namun lebih dari 30 persen responden
mengatakan bahwa paham radikalisme perlu dicegah dengan penguatan
identitas politik kebangsaan.

Figur 4. Pandangan Responden Mengenai
Radikalisme
Perlu dicegah penyebarannya
32%
Tidak baik
27%
Tidak selalu negatif
13%
Identik dengan agama tertentu
8%
Hanya Istilah saja
7%
Biasa-biasa saja
5%
Sesat
5%
Tidak memberikan jawaban
4%

Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri bahwa transisi menuju demokrasi dari rejim
otoriter telah membawa dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan
bernegara bangsa Indonesia. Di satu sisi, perubahan tersebut memberikan
dampak yang positif dengan lahirnya perpolitikan yang terbuka sehingga
masyarakat dapat berpendapat, berpolitik, dan berekspressi secara bebas tanpa
kekhawatiran seperti di masa Orde Baru yang cenderung militeristik.
Tetapi di sisi lain, kehidupan bebas itu juga memberi ruang bagi
penyebarluasan

paham-paham

ekstrimis

atas

nama

agama

dengan

membungkusnya dalam hak asasi manusia. Penyebarluasan paham radikal
dewasa ini harus dibedakan dengan kondisi radikalisme yang terjadi pada era
kolonial maupun pos colonial diawal kemerdekaan Indonesia. Jelas keduanya
mengusung dua hal yang berbeda walaupun sama-sama menentang sekuralisme
dan kapitalisme serta bertujuan untuk mendirikan negara Islam. Namun dewasa
ini, paham radikal yang berkembang bukanlah lagi hanya berasal dari gerakan

radikal lokal, melainkan merupakan bagian dari organisasi terrorisme
internasional yang terstruktur secara terorganisir, dari segi perencanaan target,
pendanaan, hingga persenjataan yang mereka miliki.
Salah satu upaya untuk membatasi penyebarluasan paham radikal Islam
adalah melalui penguatan identitas politik kebangsaan khususnya terhadap
generasi muda, yang tentunya merupakan tugas seluruh komponen bangsa.
Selain itu faktor kurangnya pengetahuan mengenai paham radikalisme juga
menjadi sebab mengapa generasi muda lebih mudah terpengaruh dengan isuisu semacam ini.
Rekomendasi
Cara memperkuat identitas politik kebangsaan khususnya pada generasi
muda adalah melalui pendidikan. Dengan memberikan pengetahuan yang
memadai seperti mengadakan workshop, seminar ataupun penyuluhan,
penanaman rasa nasionalisme sejak dini, maka akan memperkuat pemahaman
generasi muda bahwa merekalah yang akan membangun Indonesia di masa
yang akan datang. Selain itu hal-hal yang berkenaan dengan keterbukaan dan
menghargai orang lain akan mempersempit ruang gerak radikalisme. Termasuk
didalamnya hubungan didalam keluarga, antara para orang tua dan anak-anak
mereka.
Daftar Pustaka
Abbas, Tahir.,ed. 2007. Islamic Political Radicalism: A European Perspective.
Edinburgh University Press.
Angel, Rabasa., eds. 2004. The Muslim World After 9/11. Santa Monica: CA
RAND Cooperation. Diakses tanggal 5 April 2015(www.dtic.mil/gettrdoc/pdf?AD =ADA429 640& Location=U2...)
Aspinall, Edward and Greg Fealy.,eds. 2010. Soeharto’s New Order and its
Legacy Essays in honour of Harold Crouch. ANU E Press The Australian
National University.
Chen, Kuan-Hsing. 2007.The Inter-Asia Cultural Studies. Routledge.
Haferkamp, Hans., and Neil J. Smelser. 1992. Social Change and Modernity.
Berkeley University of California Press.

Krieger, Tim and Daniel Meierrieks. 2011. “What Causes Terrorism?” Public
Choice. 147 (1/2): 3-27.
Lombardi, Marco. 2015. Violent Radicalisation Concern in EuroMediterranian Region. Proceedings of NATO Advance Research
Workshop on Countering Violent Extremism Among Youth to Prevent
Terrorism Milan, Italy. IOS Press BV: 83-100.
Mietzner, Marcus. 2008.Military Politics, Islam and the State in Indonesia
From
Turbulent
Transition
to
Democratic
Consolidation.
Singapore:Institute of Southeast Asian Studies.
Mille, David L. 2013. Introduction to Collective Behavior and Waveland Press,
Inc.
Ruth, Dyah Madya. 2010. Memutus Mata Rantai Radikalisme. Lazuardi Birru.
Jakarta.
Solo Pos. 2015. Wni Gabung Isis, Antisipasi ISIS, Warga Solo Diawasi Sampai
Tingkat RT. Diakses tanggal 6 April (http://www.solopos.com/2015/03/
27/wni-gabung-isis-antisi pasi-isis-warga-solo-diawasi-sampai-tingkat-rt588921)
Solo Pos. 5 Warga Sukoharjo Diduga Terlibat ISIS. Diakses tanggal 6 April
2015(http://www.solopos.com/2014/08/07/isis-di-solo-5-wargasukoharjo-di duga-terlibat-isis-524438)
Suara NTB. 2015. Antisipasi Gerakan Radikal. Diakses tanggal 7 April 2015
(http://suarantb.co.id/20150410/antisipasi-gerakan-radikal.html)
Surahman, Susilo dan Retno Pangastuti. 2015. “Kekerasan dengan Praktik
Integrasinya dalam Perspektif Radikalisme Agama.” Jurnal Penelitian
Agama dan Humaniora. 3(2): 55-74.
Tan, Andrew T.H., ed. 2007. A Handbook of Terrorism and Insurgency in
Southeast Asia. Edward Elgar Publisher.
Tempo Interaktif. 2011. Polisi Pastikan Syarif Pelaku Bom Bunuh Diri Cirebon.
Diakses tanggal 5 April 2015 (http://www.tempo.coread/news/ 2011/0418/
063328324/Polisi-Pastikan-Syarif-Pelaku-Bom-Bunuh-Diri-Cirebonan M
Syarif sebagai tersangka pelaku bom bunuh diri.)
Tempo.2015. Warga Indonesia jadi Target Utama Perekrutan ISIS. Diakses
tanggal 5 April 2015 (http://www.tempo.co/read/fokus/2015/03/13/3128/
Warga-Indonesia-Jadi-Target-Utama-Perekrutan-ISIS)

Waspada Gerakan Radikalisme. Diakses tanggal 7 April 2015 2015.
(http://sukoharjokab.go.id/2015/03/09/waspada-gerakan-radikalisme/)
Winarni, Leni, Totok Sarsito, dan Firdastin Ruthnia Yudiningrum. 2014.
Mencegah Berkembangnya Ideologi Radikal di Kalangan Mahasiswa
UNS. Hasil Penelitian LPPM UNS. Surakarta.
Winarni, Leni. 2014. “Media Massa dan isu Radikalisme Islam.” Jurnal
Komunikasi Massa Fisip UNS. 7(2):159-166.