Gambaran Histopatologi Kanker Kolorektal Hasil Reseksi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik-Medan Tahun 2009-2012

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Kanker Kolorektal
Kanker kolorektal merupakan penyakit keganasan pada kolon dan atau

rektum. Secara istilah, kanker memiliki arti yang sama dengan tumor ganas. Tumor
atau neoplasma adalah pertumbuhan massa jaringan yang abnormal dan berlebihan.
Tumor ada yang bersifat jinak dan ganas. Setiap tumor ganas dinamai berbeda
sesuai dengan asalnya masing-masing. Adapun tumor ganas yang berasal dari epitel
disebut dengan karsinoma; dari mesenkim disebut sarkoma; dari jaringan fibrosa
disebut fibrosarkoma; dan dari kondrosit disebut kondrosarkoma (Kumar et
al.,2007).

Dalam penelitian ini, kanker kolorektal yang diteliti adalah jenis

karsinoma kolorektal.

2.2


Anatomi Kolon dan Rektum
Secara anatomi, usus besar (kolon) manusia seperti terlihat pada gambar di

bawah ini, yakni

terdiri dari sekum,

usus buntu, kolon ascenden, kolon

transversum, kolon descenden, rektum, dan anus. Dengan panjang kira-kira 1,5 m
terbentang dari ujung distal ileum hingga anus, usus besar ini memiliki fungsi
mengabsorbsi air dan garam dan membentuk feses (Sanders, Scanlon, 2007) .

Universitas Sumatera Utara

(Sumber: Sanders, Scanlon, 2007)
Gambar 2.1 Anatomi kolon dan rektum manusia
2.3


Epidemiologi
Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga terbanyak setelah kanker paru

dan kanker payudara di dunia (International Agency for Research on Cancer,
2008). Adapun estimasi kasus baru pada tahun 2011 yakni sekitar 141.210 kasus
baru dan 49.380 diantaranya meninggal disebabkan penyakit ini (American Cancer
Society, 2011).
Beberapa negara di Asia, termasuk China, Jepang, Korea Selatan, dan
Singapura, insidensi kanker kolorektal meningkat dua hingga empat kali lipat lebih
tinggi selama beberapa dekade terakhir (Sung JJ, Lau JY, Goh KL, Leung WK,
2005).

Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia sendiri, menurut data dari GLOBOCAN Project, kanker
kolorektal juga menempati urutan ketiga kanker terbanyak, namun setelah kanker
payudara dan kanker paru. Adapun angka estimasi insidensinya sebanyak 292.600
dan mortalitasnya 214.600 seperti terlihat pada gambar dibawah ini (International
Agency for Research on Cancer , 2008).


(Sumber : International Agency for Research on Cancer, 2008)
Gambar 2.2 Angka Estimasi Insidensi dan Mortalitas kanker kolorektal
di Indonesia

Di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik
Medan, tercatat 210 pasien kanker kolorektal dari tahun 2005 hingga 2007.

Universitas Sumatera Utara

Insidensinya dari tahun ke tahun semakin meningkat, yakni 39 kasus pada tahun
2005, 68 kasus pada tahun 2006, dan 103 kasus pada tahun 2007 (Tuhozaro
Zendrato, 2009).
Menurut penelitian Anantharaju (2009) di RSUP H. Adam Malik dari Juni
2008-Desember 2009, kanker kolorektal terjadi pada penderita usia 50-59 tahun
dengan penderita laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, yaitu sebanyak
54,3% dan 45.7%. Sedangkan ditinjau dari jenis histopatologinya, gambaran yang
paling sering dijumpai adalah jenis adenokarsinoma, yaitu sebanyak 98.4% dan
mucinous adenocarcinoma sebanyak 1,6%.

2.4


Etiologi dan Faktor Resiko
Sampai saat ini penyebab pasti dari karsinoma kolorektal belum jelas

diketahui. Menurut CDC (2013), resiko berkembangnya karsinoma kolorektal
meningkat seiring bertambahnya usia. Lebih dari 90% kasus terjadi pada orangorang berumur diatas 50 tahun atau lebih tua. Adapun faktor resiko lainnya yang
menyebabkan karsinoma kolorektal ini antara lain:
(1) Inflamasi kronis
Inflammatory bowel disease (IBS) yang bersifat kronis merupakan salah satu faktor
etiologi yang signifikan dalam menyebabkan perkembangan adenokarsinoma
kolorektal. Resiko terkena karsinoma kolorektal meningkat 8 hingga 10 tahun .
Selain itu, jumlah kasus karsinoma koloektal tinggi pada pasien dengan onset yang
cepat dan manifestasinya menyebar (pancolitis) (CDC, 2013).
(2) Riwayat personal atau keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal atau
polip kolorektal (CDC,2013).
(3) Sindrom genetik seperti familial adenomatous polyposis (FAP) atau hereditary
nonpolyposis colorectal cancer syndrome (HNPCC yang disebut juga Lynch
syndrome) (CDC,2013).
(4) Faktor makanan dan gaya hidup
Komposisi makanan merupakan faktor penting dalam kejadian adenokarsinoma

kolon dan rektum. Makanan yang berasal dari daging hewan dengan kadar
kolesterol yang tinggi serta kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung

Universitas Sumatera Utara

serat dapat menyebabkan karsinoma kolorektal (Tambunan, 1991). Selain itu juga,
insiden kanker ini tinggi kalori dan tinggi lemak hewani yang dikombinasikan
dengan gaya hidup yang kurang melakukan aktivitas fisik (sedentary lifestyle).
Sebuah studi epidemiologi juga mengindikasikan bahwa konsumsi daging hewan,
merokok, dan alkohol merupakan faktor resiko dari kanker kolorektal (CDC, 2013).
Menurut CDC (2013) disebutkan juga bahwa interaksi antara bakteri di dalam
kolon dengan asam empedu dan makanan

diduga memproduksi bahan

karsinogenik dan ko-karsinogenik dalam menyebabkan karsinoma kolorektal.
Mekanisme molekuler yang mendasari terjadinya studi diatas kemungkinan
disebabkan oleh amin heterosiklik yang dihasilkan selama proses memasak daging,
stimulasi level yang lebih tinggi dari asam empedu fekal dan produksi oksigen
reaktif. Sedangkan kandungan sayuran yang bersifat antikarsinogenik seperti folat,

antioksidan dan pemicu enzim yang mendetoksifikasi, ikatan karsinogen lumen,
fermentasi serat untuk menghasilkan asam lemak volatile yang protektif, dan
mengurangi waktu kontak dengan epithelium kolorektal karena waktu transitnya
lebih cepat.
(5) Iradiasi
Faktor ini jarang menjadi etiologi dalam neoplasia kolorektal, akan tetapi terapi
iradiasi pelvis diakui juga bisa menjadi etiologi penyakit ini.

2.5

Lokalisasi
Pada umumnya, karsinoma kolorektal berlokasi di kolon sigmoid dan rektum,

akan tetapi beberapa tahun terakhir beberapa bukti menunjukkan perubahan yakni
lokasi karsinoma kolorektal lebih mengarah ke proksimal. Patologi molekuler juga
menunjukkan lokasi perbedaannya : tumor dengan high levels of microsatellite
instability (MSI-H) atau mutasi ras proto-oncogene sering terjadi di daerah sekum,
kolon asendens, dan kolon transversum. (WHO,2000)

2.6


Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik.

Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berkaitan dengan besar dan lokasi

Universitas Sumatera Utara

dari tumornya. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa
cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan
menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses masih encer.
Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan simptomatik
anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat badan) (Kumar, et
al.,2007).
Di sisi lain, tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan
perubahan pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan,
mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung
melingkar mengakibatkan obstruksi. Sedangkan, tumor pada rektum atau sigmoid
biasanya prognosisnya lebih jelek. (Kumar et al., 2007). Beberapa pasien pada
tahap lanjut bisa mengalami komplikasi berupa obstruksi atau perforasi

(WHO,2000).

2.7

Klasifikasi
Tumor kolorektal diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis histopatologi

menurut WHO. Adapun klasifikasinya yaitu dibagi menjadi tumor epitel, tumor
non-Epitel, dan tumor sekunder. Untuk lebih lengkapnya mengenai jenis-jenisnya
terdapat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Klasifikasi histologi tumor pada kolon dan rektum
Epithelial tumours
Adenoma

Tubular
Villous
Tubulovillous
Serrated


Universitas Sumatera Utara

Intraepithelial

neoplasia Low-grade glandular intraepithelial neoplasia

(dysplasia) associated with
chronic

inflammatory High-grade glandular intraepithelial neoplasia

diseases
Carcinoma

Adenocarcinoma
Mucinous adenocarcinoma
Signet-ring cell carcinoma
Small cell carcinoma
Squamous cell carcinoma
Adenosquamous carcinoma

Medullary carcinoma
Undifferentiated carcinoma

Carcinoid

(well EC-cell, serotonin-producing neoplasm

differentiated

endocrine L-cell, glucagon-like peptide and PP?PYY producing

neoplasm)
Mixed

tumour
carcinoid-

adenocarcinoma
Non-epithelial tumours
Lipoma

Leiomyoma
Gastrointestinal

stromal

tumour
Leiomyosarcoma
Angiosarcoma
Kaposi sarcoma
Malignant melanoma
Malignant lymphomas

Marginal zone B-cell lymphoma of MALT Type
Mantle cell lymphoma
Diffuse large B-cell lymphoma
Burkitt lymphoma

Universitas Sumatera Utara

Burkitt-like /atypical Burkitt-lymphoma
Secondary tumours
Polyps
Hyperplastic (metaplastic)
Peutz-Jeghers
Juvenile

(Sumber: WHO,2000)
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa kanker kolorektal yang diteliti
dalam hal ini khususnya adalah ini adalah jenis karsinoma kolorektal karena jenis
jenis tumor ganas ini adalah yang paling sering dijumpai. Berdasarkan klasifikasi
histopatologi kanker kolon dan rektum dari WHO (2000), khususnya karsinoma
terdiri

dari

carcinoma,

adenocarcinoma,
small

cell

mucinous

carcinoma,

adenocarcinoma,

adenosquamous

signet-ring

carcinoma,

cell

medullary

carcinoma, dan undifferentiated carcinoma. Berikut dibawah ini penjelasan lebih
rinci mengenai jenis-jenis karsinoma.
a. Mucinus adenocarcinoma
Karsinoma jenis ini ditandai jika >50% dari lesinya terdiri dari musin.
Karakteristiknya ditandai dengan sekumpulan musin ekstrasel yang mengandung
epitel malignan sebagai struktur asinus atau sel tunggal.
b. Signet-ring cell carcinoma
Varian adenokarsinoma ini ditandai dengan keberadaan >50% sel-sel tumor
yang mengandung banyak musin intrasitoplasma, secara tipikal disebut signetring cell carcinoma. Sel-sel ini memiliki vakuola musin yang besar yang mengisi
sitoplasma dan menggantikan nukleus.
c. Adenosquamous carcinoma
Tumor jenis jarang dan memberikan gambaran gabungan dari karsinoma
skuamous dan adenokarsinoma, bisa dalam area tumor yang terpisah atau pun
bergabung. Untuk lesi jenis ini pada massa tumornya harus harus ada banyak
fokus-fokus kecil dari diferensiasi skuamous.
d. Medullary carcinoma

Universitas Sumatera Utara

Varian ini jarang dan memiliki karakteristik sel-sel malignan dengan inti
vesikular, nukleolus yang banyak, dan sitoplasma berwarna merah jambu yang
banyak oleh karena infiltrasi limfosit intraepitel. Prognosisnya paling bagus
dibandingkan dengan klasifikasi jenis lain.
e. Undifferentiated carcinoma
Tumor ini memiliki bukti diferensiasi morfologi yang sedikit, akan tetapi fitur
histologinya bervariasi. Meskipun penampilannya tidak terdiferensiasi, tumor ini
secara genetik berbeda dan secara tipikal diasosiasikan dengan MSI-H.
f. Other variants
Ada beberapa varian-varian jenis lainnya, antara lain jenis karsinoma yang
termasuk komponen sel spindel yang diistilahkan dengan spindle cell carcinoma
atau karsinoma sarkomatoid. Sel spindel itu sendiri bersifat imunoreaktif
terhadap sitokeratin. Jenis karsinosarkoma merupakan tumor malignan yang
mengandung baik karsinoma maupun elemen mesenkim yang heterolog. Varian
histopatologi kanker kolorektal yang lain termasuk pleomorfik (giant cell),
choriocarcinoma, pigmented, clear cell, stem cell, dan Paneth cell-rich (crypt
cell carcinoma). Selain itu, tipe histopatologi campuran juga bisa ditemukan,
yaitu dari berbagai jenis-jenis diatas.

2.8 Stadium kanker
Stadium tumor ditentukan berdasarkan sejauh mana perkembangan tumor
berdasarkan klasifikasi Duke dan klasifikasi TNM.
2.8.1 Klasifikasi Duke
Klasifikasi ini menentukan sejauh mana invasi dari tumor secara patologis
seperti terlihat pada Tabel 2.2 dibawah ini.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Stadium karsinoma kolon dan rektum berdasarkan klasifikasi Duke
Stadium
Definisi
A

Tumor terbatas pada dinding
usus besar

B

Tumor

tumbuh

melewati

dinding usus besar, tetapi
tidak dijumpai pada KGB
regional
C

Tumor metastasis ke KGB

(Sumber: Tambunan, 1991)

Akhir-akhir ini, klasifikasi stadium Duke telah dimodifikasi seperti terlihat
pada Tabel 2.3 dibawah ini.

Tabel 2.3 Modifikasi klasifikasi stadium karsinoma kolon dan rektum dari Duke
Stadium
Interpretasi
5-tahun
Survival
Setelah Pengobatan
A

Kanker

in-situ/

displasia 90

grad tinggi, kanker terbatas
pada lapisan mukosa atau
submukosa
B1

Kanker sudah penetrasi ke 80
dalam

tetapi

belum

menembus

propria

muskularis
B2

Kanker

sudah

menembus 70

propria

muskularis

atau

serosa
C1

Sama dengan B1, ditambah 50
metastase nodus limfa

C2

Sama dengan B2 ditambah 50

Universitas Sumatera Utara

(%)

metastase nodus limfa
D

Metastase jauh

1 cm. Teknik ini jika digunakan bersama-sama
sigmoidoskopi, merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat
kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada
barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang
dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya
sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk
menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon. (Schwartz, 2005)

Universitas Sumatera Utara

Selain itu, Computerised Tomography (CT) scan, Magnetic Resonance
Imaging (MRI), Endoscopic Ultrasound (EUS) merupakan bagian dari teknik
pencitraan yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan
kanker kolon, tetapi teknik ini bukan merupakan skrining tes (Schwartz, 2005).
Computerised Tomography (CT) scan selain dapat mengevaluasi rongga
abdominal dari pasien kanker kolon pre operatif juga dapat mendeteksi metastase
ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis.
Pemeriksaan CT scan ini sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien
dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas
CT scan mencapai 55% dan pemeriksaan ini memegang peranan penting pada
pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan staging dari lesi
sebelum tindakan operatif. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke
dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran kelanjar
getah bening >1 cm pada 75% pasien (Schwartz, 2005). Penggunaan CT dengan
kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan
daerah intraperitoneal (Casciato DA, 2004).
Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih spesifik untuk tumor pada hepar
daripada CT scan dan sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi
dengan menggunakan CT scan. Oleh karena sensifitasnya yang lebih tinggi
daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke
hepar (Schwartz, 2005).
Endoscopic Ultrasound (EUS) secara signifikan menguatkan penilaian
preoperatif dari kedalaman invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Tingkat
akurasi dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital rectal
examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya
tumor dan digital rectal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya
dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan
pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Biopsi
transrektal dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS
(Casciato DA, 2004).
e.

Kolonoskopi

Universitas Sumatera Utara

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa
kolon dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip
dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi
sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar
67% (Depkes, 2006). Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi,
polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi
merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan,
komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien.
Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan
manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid
volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan
neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada
diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi
terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi
diagnostik (Schwartz, 2005).
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan karsinoma kolorektal adalah sebagai berikut:
a. Bedah
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai
penanganan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi
dengan batas yang luas dan maksimal tetapi juga harus tetap mempertahankan
fungsi dari kolon sebisanya (Casciato DA, 2004). Pada tumor yang bisa dioperasi,
tindakan bedah merupakan satu-satunya pengobatan kuratif karena adenokarsinoma
kurang sensitif terhadap radiasi ataupun sitostatika. Namun, pada tumor yang tidak
dapat dioperasi lagi, tindakan bedah bersifat paliatif. (Tambunan, 1991)
b. Radioterapi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi
radiasi, yaitu dengan radiasi eksternal dan radiasi internal. Pemilihan cara radiasi
diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker. Radiasi eksternal (external

Universitas Sumatera Utara

beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat
diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker,
maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat
disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya
berlangsung beberapa menit. Radiasi internal (brachytherapy, implant radiation)
menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel
kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan
dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor. Radiasi internal
memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila
dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi
secara sementara menetap didalam tubuh (Ford, 2006).
c. Kemoterapi Adjuvant
Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian kemoterapi.
Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara
teoritis seharusnya dapat menambah efektifitas kemoterapi. Kemoterapi sangat
efektif digunakan bila tumor sangat sedikit dan berada pada fase proliferasi
(Schwartz, 2005). Sitostatika berupa kombinasi FAM (5-fluorasil, adriamycin, dan
mitomycin c) banyak dipergunakan sebagai terapi adjuvant. (Tambunan, 1991)

Universitas Sumatera Utara