Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD Saat Bekerja Pada Petani Kelapa Sawit di Dusun Binasari, Kec. Angkola Selatan Kab. Tapanuli Selatan Tahun 2016

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencegahan Kecelakaan
Pencegahan kecelakaan kerja ditujukan kepada lingkungan, mesin,
peralatan kerja, perlengkapan kerja, dan terutama faktor manusia. Lingkungan
harus memenuhi syarat lingkungan yang aman serta memenuhi persyaratan
keselamatan,

kondisi tempat kerja yamg memenuhi syarat keselamatan, dan

perancanaan sepenuhnya yang memenuhi syarat keselamatan. Mesin dan peralatan
kerja harus didasarkan perencanaan yang baik dengan memperhatikan ketentuan
yang berlaku, serta cukup dilengkapi alat pelindung ( Suma’mur, 2009).
Menurut Santoso (2004), kecelakaan kerja dapat dicegah dengan
memperhatikan 4 faktor, yakni faktor:
1. Lingkungan
2. Manusia
3. Peralatan
4. Bahaya ( hal-hal yang membahayakan).

2.2 Pengendalian Faktor Bahaya di Lingkungan Kerja
Moeljosoedarmo (2008), ada beberapa cara pengendalian terhadap bahaya
di lingkungan kerja yang dapat diterapkan ialah :
1. Pengendalian secara teknis, ada beberapa pengendalian secara teknis yang
dapat dilakukan, yaitu :
a. Pengendalian langsung kepada sumbernya
b. Pengendalian kepada lingkungan kerja

Universitas Sumatera Utara

9

c. Pengendalian langsung kepada tenaga kerja
2. Pengendalian secara administratif
3. Alat-alat pelindung diri
2.2.1 Pengendalian Secara Teknis Langsung Kepada Sumbernya
Apabila kita telah mempertimbangkan untuk melakukan suatu tindakan
pencegahan terhadap timbulnya atau terjadinya gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh karena bahan-bahan kimia berbahaya. Pada prinsipnya pertamatama adalah mengurangi atau membatasi jumlah bahan kimia berbahaya yang ada
di lingkungan kerja sesuai dengan jenis dan kebutuhan untuk proses produksi

pada saat itu. Ada beberapa cara yang tepat untuk menekan jumlah bahan-bahan
berbahaya, yaitu dengan subsitusi bahan berbahaya dengan bahan yang tidak atau
kurang berbahaya.Cara ini adalah tindakan yang paling baik untuk menghentikan
penggunaan bahan kimia berbahaya ( Moeljosoedarmo,2008).
2.2.1.1 Pengendalian Lingkungan Keja
Menurut Moeljosoedarmo (2008), ada beberapa cara pengendalian kepada
lingkungan kerja, yaitu:
1. Ketata rumahtanggaan
2. Ventilasi keluar ( aliran udara keluar)
2.2.1.2 Pengendalian Langsung Kepada Tenaga Kerja
Pengendalian langsung kepada tenaga kerja berupa pengendian bahaya
yang dilakukan dengan memberikan peringatan, instruksi, tanda, label yang akan
membuat pekerja waspada akan adanya bahaya dilokasi tersebut. penting bagi
pekerja mengetahui dan memperhatikan tanda-tanda peringatan yang ada dilokasi

Universitas Sumatera Utara

10

kerja sehingga mereka dapat mengantisipasi adanya bahaya yang akan

memberikan dampak kepadanya ( Moeljosoedarmo,2008).
2.2.2 Pengendalian Secara Administratif
Pengendalian tersebut adalah peraturan-peraturan yang mengatur tenaga
kerja untuk membatasi waktu kontaknya dengan pencemar bahan kimia.
Pengendalian terhadap bahaya kesehatan, antara lain seperti pengurangan waktu
kerja, rotasi kerja, cara kerja yang tepat, pemeliharaan yang baik dan kebersihan
kesehatan perseorangan (Moeljosoedarmo, 2008).
2.2.3 Alat Pelindung Diri
Menurut Suma’mur (2004), perlindungan keselamatan pekerja melalui
upaya teknis pengamanan tempat, mesin, peralatan, dan lingkungan kerja wajib
diutamakan. Namun kadang-kadang resiko terjadinya kecelakaan masih belum
sepenuhnya dapat dikendalikan, sehingga digunakan alat pelindung diri ( personal
protective device ). Jadi penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) adalah alternatif
terakhir yaitu kelengkapan dari segenap upaya teknis pencegahan kecelakaan.
Alat Pelindung Diri (APD) harus memenuhi persyaratan:
1. Enak (nyaman) dipakai
2. Tidak mengganggu pelaksanaan pekerjaan
3. Memberikan perlindungan efektif terhadap macam bahaya yang dihadapi.
Alat proteksi diri beraneka ragam. Jika digolongkan menurut bagian tubuh
yang dilindunginya, maka jenis alat proteksi diri tersebut adalah:

1. Kepala

: Pengikat rambut, penutup kepala, topi pengaman,

2. Mata

: Kaca mata pelindung ( protective goggles)

Universitas Sumatera Utara

11

3. Muka

: Pelindung muka (face shields)

4. Tangan

: Sarung tangan


5. Kaki

: Sepatu boot

2.2.3.1 Pemilihan Alat Pelindung Diri (APD)
Menurut Ridley (2006), pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) yang efektif
harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1. Sesuai dengan bahaya yang dihadapi
2. Terbuat dari material yang akan tahan terhadap bahaya tersebut
3. Cocok bagi orang yang akan menggunakannya
4. Tidak mengganggu kerja pekerja yang sedang bertugas
5. Memiliki konstruksi yang sangat kuat
6. Tidak mengganggu Alat Pelindung Diri (APD) lain yang sedang dipakai
secara bersamaan.
7. Tidak meningkatkan resiko terhadap pemakainya.
8. Disediakan secara gratis
9. Diberikan satu per orang atau jika tidak, harus dibersihkan setelah
digunakan
10. Hanya digunakan sesuai peruntukannya
11. Dijaga dalam kondisi baik

12. Diperbaiki atau diganti jika mengalami kerusakan
13. Disimpan di tempat yang sesuai ketika tidak digunakan.
Ridley (2006), pekerja yang menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
juga harus memperoleh hal-hal berikut ini, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

12

1. Informasi tentang bahaya yang dihadapi
2. Instruksi tentang tindakan pencegahan yang perlu diambil
3. Pelatihan tentang penggunaan peralatan yang benar
4. Konsultasi dan diizinkan memilih Alat Pelindung Diri (APD) yang
tergantung pada kecocokannya
5. Pelatihan cara memelihara dan menyimpan Alat Pelindung Diri (APD)
dengan rapi
6. Instruksi agar melaporkan setiap kecelakaan atau kerusakan.
2.2.3.2 Alat Pelindung Diri (APD) Perkebunan
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI Nomor:
PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri (APD). Dalam hal ini jenis

Alat Pelindung Diri (APD) yang dipakai pada pekerja perkebunan adalah :
1. Alat pelindung kepala, adalah alat pelindung yang berfungsi melindungi
kepala dari benturan, kejatuhan atau terpukul benda keras yang melayang
atau meluncur di udara. Jenis alat pelindung kepala yaitu: helm, topi atau
tudung kepala.
2. Alat pelindung pernapasan, adalah alat pelindung yang berfungsi
melindungi organ pernapasan dengan cara menyalurkan udara bersih dan
sehat, menyaring cemaran bahan kimia, mikro-organisme, partikel debu,
uap, asap dan sebagainya. Jenis alat pelindung pernapasan yaitu masker.
3. Alat pelindung tangan, adalah alat pelindung yang berfungsi melindungi
tangan dan jari-jari tangan dari bahan kimia, tergores, terinfeksi zat

Universitas Sumatera Utara

13

patogen dan jasad renik. Jenis alat pelindung tangan yang terbuat dari
kulit, kain kanvas, karet, kain atau kain berlapis.
4. Alat pelindung kaki, adalah alat pelindung yang berfungsi melindungi
kaki dari tertimpa atau berbenturan dengan benda-benda berat, tertusuk

benda, tergelincir, terkena bahan kimia yang berbahaya dan jasad renik.
5. Pakaian pelindung, berfungsi melindungi badan sebagian atau seluruh
bagian badan dari bahaya temperatur panas atau dingin yang ekstrim,
tergores, binatang, mikro-organisme patogen dari manusia, binatang,
tumbuhan dan lingkungan seperti virus, bakteri dan jamur. Jenis pakaian
pelindung yaitu yang menutupi sebagian atau seluruh bagian badan.
2.3 Pentingnya Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja merupakan aspek penting yang harus diketahui oleh
para pemilik perusahaan dan pengusaha. Tujuannya adalah agar petani atau buruh
yang dipekerjakan oleh suatu perusahaan atau pengusaha tersebut selamat dalam
melakukan pekerjaannya. Langkah kerja untuk berbagai pekerjaan harus benar
sehingga selamat serta dengan prosedur kerja yang benar dapat menghindari
ketidakamanan dalam bekerja (Riyanto, 2012).
2.3.1 Pengertian Kecelakaan Kerja
Kecelakaan merupakan kejadian yang berlangsung secara tiba-tiba, tidak
diduga sebelumnya, tidak diharapkan terjadi, menimbulkan kerugian ringan
sampai yang paling berat, dan bisa menghentikan kegiatan pabrik secara total.
Kecelakaan kerja merupakan kecelakaan seseorang atau kelompok dalam rangka
melaksanakan kerja di lingkungan perusahaan. Kecelakaan kerja biasanya timbul


Universitas Sumatera Utara

14

sebagai gabungan dari beberapa faktor, seperti faktor peralatan, lingkungan kerja,
dan pekerja itu sendiri. Dalam suatu pabrik, terkadang ada mesin yang kurang
baik, seperti tidak dilengkapi dengan alat pengamanan yang cukup, maka kondisi
seperti ini menjadi sumber resiko. Lingkungan kerja yang tidak nyaman dan tidak
sesuai dengan pekerjaannya turut menjadi kontribusi untuk terjadinya kecelakaan
(Hadiguna, 2009 ).
2.3.2 Penyebab kecelakaan
Setiap kecelakaan di tempat kerja tidak terjadi secara kebetulan, melainkan
ada faktor penyebabnya. Oleh karena ada faktor penyebabnya, faktor
penyebabnya harus diteliti dan ditemukan, agar selanjutnya dengan tindakan
korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih
lanjut kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak berulang. Ada dua
golongan penyebab kecelakaan kerja. Golongan pertama adalah faktor mekanis
dan lingkungan, yang meliputi segala sesuatu selain faktor manusia. Golongan
kedua adalah faktor manusia itu sendiri yang merupakan penyebab kecelakaan.
(Suma’mur, 2009 ).

2.3.3 Kecelakaan Kerja Karena Faktor Manusia
Menurut Santoso (2004), dalam buku ”Management Losses” Bab II
tentang “The Causes and Effects Of Loss”, hasil penelitian menunjukkan bahwa
80-85% kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia, unsur – unsur tersebut antara
lain :
1.

Ketidakseimbangan fisik atau kemampuan fisik tenaga kerja

2.

Ketidakseimbangan kemampuan psikologis tenaga kerja

Universitas Sumatera Utara

15

3.

Kurang pengetahuan


4.

Kurang terampil

5.

Stres mental

6.

Stress fisik

2.3.4 Kecelakaan Menurut Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan mempunyai peranan besar dalam menentukan macam
kecelakaan. Macam kecelakaan yang terjadi di perkebunan atau kehutanan antara
lain tertimpa kayu gelondongan, terjatuh, terjerembab, luka oleh gergaji atau
perkakas tangan, dan sebagainya (Suma’mur, 2009 ).
Seperti halnya pada petani sektor informal ini, kecelakaan bisa kapan saja
menimpa mereka saat melakukan pekerjaannya.
2.4 Domain Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2012), perilaku adalah bentuk respons atau reaksi
terhadap rangsangan yang diterimanya dari luar organism (orang), tetapi dalam
memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain
yang bersangkutan dengan orang tersebut. hal ini berarti, bahwa setiap orang
memberikan respon yang berbeda-beda dari stimulus yang diterimanya.
Menurut Notoatmodjo (2012), perilaku manusia dibagi dalam tiga domain
dan dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku sebagai berikut :
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan

Universitas Sumatera Utara

16

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan yang tercakup dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan.
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus

dapat

menjelaskan,

menyebutkan

contoh,

menyimpulkan,

meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

Universitas Sumatera Utara

17

d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat
menyusun,

dapat

merencanakan,

dapat

meringkaskan,

dapat

menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan
yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat kita sesuaikan dengan
tingkatan-tingkatan di atas.

Universitas Sumatera Utara

18

2.

Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu

stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi
hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara
nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial
menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak,
dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan
merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek.
Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan
STIMULUS
(Rangsangan)

PROSES
STIMULUS

REAKSI
TERBUKA
(Tindakan)

REAKSI
TERTUTUP
(Pengetahuan
dan Sikap)

Gambar 2.1 Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan

Universitas Sumatera Utara

19

1. Komponen pokok sikap
Dalam bagian lain Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2012), juga
menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok.
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
2. Berbagai tingkatan sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan.
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan.
b. Merespon (responding)
Memberikan

jawaban

apabila

ditanya,

mengerjakan,

dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar
atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.

Universitas Sumatera Utara

20

c. Menghargai (valving)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden
terhadap suatu objek.
3.

Praktik atau Tindakan (Practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk

mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung
atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping
faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan dari pihak lain. Praktik ini
mempunyai beberapa tingkatan.
1. Respon terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh merupakan indikator praktik tingkat pertama.
2. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktik tingkat kedua.

Universitas Sumatera Utara

21

3. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut. pengukuran prilaku dapat dilakukan secara
tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang
telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu. Pengukuran juga
dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan
atau kegiatan responden. Pengukuran praktik (overt behavior) juga dapat
diukur dari hasil perilaku tersebut.
2.5 Sejarah Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tumbuhan tropis yang diperkirakan berasal dari
Nigeria (Afrika Barat) karena pertama kali ditemukan di hutan belantara di
Negara tersebut. Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1848,
dibawa dari Mauritius dan Amsterdam oleh seorang warga Belanda (Hadi,2004).
2.5.1 Perkembangan Kelapa Sawit
Perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Indonesia mulai diusahakan
pada tahun 1911 di Aceh dan Sumatera Utara oleh Adrien Hallet, seorang
kebangsaan Belgia. Luas kebun kelapa sawit terus bertambah. Perkebunan kelapa
sawit mulai berkembang pesat pada tahun 1969. Dengan semakin pentingnya
peran kelapa sawit dalam peningkatan perekonomian rakyat, penyerapan tenaga
kerja, dan sumber devisa Negara, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan
yang berkaitan dengan pengusahaan perkebunan kelapa sawit. Kebijakankebijakan tersebut antara lain pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), sejak tahun

Universitas Sumatera Utara

22

1978, pola kemitraan, pemberian kredit investasi oleh Bank Indonesia, dan
pembatasan ekspor melalui penerapan pajak ekspor untuk menjaga stabilitas harga
minyak goreng di dalam negeri (Hadi,2004).
2.5.2 Proses Kerja Perkebunan
Sebagai Negara agraris pada mulanya pekerjaan perkebunan dilaksanakan
secara manual dan tradisional. Pada waktu itu kebun yang dibuka masih berskala
kecil dengan resiko kerja yang tidak begitu diperhatikan. Sejak perkebunan dibuka
dengan skala besar penerapan teknologi mulai berkembang, baik dalam
penggunaan alat-alat besar, mesin-mesin, maupun penggunaan bahan kimia untuk
pemberantasan hama dan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan
kesuburan tanah sesuai dengan kebutuhan jenis tanaman, resiko kerja mulai
dirasakan sebagai kendala keberhasilan pembangunan perkebunan. Melalui
penggunaan teknologi yang semakin lama semakin canggih inilah muncul resiko
kerja disektor perkebunan yang bila tidak dikendalikan dengan upaya-upaya
keselamatan dan kesehatan kerja akan menimbulkan kerugian baik terhadap
tenaga kerja itu sendiri, maupun terhadap perusahaan atau unit kerja tersebut.
resiko ini dapat merupakan kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja yang
disebabkan oleh faktor-faktor sikap manusia dalam melaksanakan pekerjaan dan
faktor lingkungan kerja yang dihadapi (Nurdin,2002).
Menurut Nurdin (2002), untuk mengetahui gangguan kesehatan pekerja
dan kecelakaan kerja yang mungkin terjadi disektor perkebunan, harus diamati
bagaimana

metode dan proses ke pekerjaan tahap demi tahap dengan

memperhatikan sikap tenaga kerja dalam melaksanakan metode kerja tersebut,

Universitas Sumatera Utara

23

baik sikap kerja terhadap penggunaan alat dan mesin, maupun sikap kerja
terhadap penggunaan bahan kimia serta bagaimana prosedur, sistem kerja, dan
teknis kerja yang diterapkan. Tahap demi tahap proses kerja perkebunan adalah
sebagai berikut :
1. Pembibitan
2. Pembukaan lahan
3. Pemeliharaan
4. Panen
2.5.3 Lingkungan Kerja Perkebunan
Menurut Nurdin (2002), adapun lingkungan kerja disektor kerja
perkebunan adalah sebagai berikut:
1. Faktor Lingkungan Kerja Fisik
a. Faktor lingkungan kerja panas, oleh sinar matahari dihadapi oleh
pekerja lapangan, sedangkan panas oleh mesin atau alat akan dihadapi
oleh pekerja pabrik pengolahan.
b. Faktor lingkungan kerja suara ribut, umumnya dihadapi oleh pekerja
pabrik pengolahan.
2. Faktor Lingkungan Kerja Kimia
Dapat terjadi akibat proses kerja pembakaran pada pembukaan lahan
kebun yang pada skala besar dapat menimbulkan pencemaran udara.
3. Faktor Lingkungan Kerja Biologis
Pada saat pembukaan lahan pekerja sudah harus berhadapan dengan faktor
lingkungan kerja biologis. Adanya bangkai binatang dilahan tersebut yang

Universitas Sumatera Utara

24

mungkin mengandung bakteri atau kuman juga harus dihadapi oleh
pekerja disamping adanya insect yang cukup menggangu yang merupakan
faktor lingkungan kerja biologis yang berpotensi menimbulkan gangguan
kesehatan akibat kerja. Serta kurang tersedianya fasilitas MCK (Mandi
Cuci Kakus).
4. Faktor Lingkungan Kerja Ergonomis
Faktor lingkungan kerja ergonomis ini merupakan faktor yang sangat
berperan pada penggunaan alat-alat panen terhadap lokasi panen yang
cukup tinggi seperti memanen TBS yang tingginya lebih 3 meter atau
menderes yang lokasinya lebih tinggi dari kepala, akan berpotensi
timbulnya kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan akibat kerja. Harus
diupayakan agar penggunaan alat dan mesin dapat dikendalikan dengan
mempertimbangkan faktor kemampuan anatomi dan physiologis pekerja
agar faktor lingkungan kerja ekonomis tidak menimbulkan kendala.
5. Faktor Lingkungan Kerja Psikologis
Lokasi kebun yang jauh dari kota dengan fasilitas yang kehidupan serba
terbatas dapat menciptakan faktor lingkungan kerja psikologis seperti
belum memadainya fasilitas listrik, air bersih, sarana komunikasi dengan
pesawat telepon.
2.6 Peranan Sektor Informal Bidang Perkebunan
Peranan sektor informal cukup berperan dalam penyerapan tenaga kerja di
Indonesia. Upaya penciptaan lapangan kerja telah dilakukan, namun masih belum
mencukupi. Kondisi pasar kerja Indonesia menunjukkan sebagian besar dari

Universitas Sumatera Utara

25

angkatan kerja bekerja pada lapangan kerja informal dengan tingkat pendidikan
dan keterampilan rendah. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi,
tidak teratur, dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar. Sektor informal memiliki
karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam skala kecil,
kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat
tenaga kerja, tingkat pendidikan dan keterampilan rendah, produktivitas tenaga
kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan
sektor formal. (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2009).
Provinsi Sumatera Utara memiliki peran penting dalam perekonomian
wilayah dan nasional, terutama salah satu nya dari sektor perkebunan. Kabupaten
Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Selatan, Samosir, Dairi,
Simalungun, Nias Selatan, dan Langkat termasuk kategori daerah dengan
pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata, tapi pengurangan pengangguran di atas
rata-rata (low growth, pro-job). Hal ini mengindikasikan bahwa perluasan
lapangan kerja terjadi pada sektor ekonomi dengan pertumbuhan rendah seperti
pertanian dan perikanan. Dengan banyak nya daerah perkebunan kelapa sawit
yang ada di daerah Sumatera Utara secara tidak langsung memberikan peluang
besar dalam menciptakan lapangan kerja baru dengan menjadi pekerja di
perkebunan. Begitu juga dengan perkebunan sektor informal yang kepemilikannya
oleh individu,atau keluarga juga berperan dalam memberikan peluang kerja bagi
masyarakat kecil yang berada di sekitar lingkungan perkebunan kelapa sawit
tersebut (Perkembangan Pembangunan Provinsi Sumatera Utara 2014).

Universitas Sumatera Utara

26

2.7 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Bebas
Faktor Tenaga Kerja
1. Pengetahuan
2. Sikap

Variabel Terikat
Penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD)
1. Lengkap
2. Tidak Lengkap

Gambar 2.2 Kerangka konsep

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Diversifikasi Produk Salak Di Kecamatan Angkola Barat Kabupaten Tapanuli Selatan

2 39 65

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Diversifikasi Produk Salak Di Kecamatan Angkola Barat Kabupaten Tapanuli Selatan

0 6 65

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD Saat Bekerja Pada Petani Kelapa Sawit di Dusun Binasari, Kec. Angkola Selatan Kab. Tapanuli Selatan Tahun 2016

11 75 111

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN PETANI SALAK DI DESA PERSALAKAN ANGKOLA BARAT TAPANULI SELATAN.

1 3 21

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI TANAMAN KAKAO DI KECAMATAN BATANG ANGKOLA KABUPATEN TAPANULI SELATAN.

0 3 22

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD Saat Bekerja Pada Petani Kelapa Sawit di Dusun Binasari, Kec. Angkola Selatan Kab. Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 1 17

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD Saat Bekerja Pada Petani Kelapa Sawit di Dusun Binasari, Kec. Angkola Selatan Kab. Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD Saat Bekerja Pada Petani Kelapa Sawit di Dusun Binasari, Kec. Angkola Selatan Kab. Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 7

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD Saat Bekerja Pada Petani Kelapa Sawit di Dusun Binasari, Kec. Angkola Selatan Kab. Tapanuli Selatan Tahun 2016

1 6 3

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD Saat Bekerja Pada Petani Kelapa Sawit di Dusun Binasari, Kec. Angkola Selatan Kab. Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 1 27