Asas Ultimum Remedium The Last Resort Principle Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Rangka Perlindungan Anak (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No.125 Pid A 2012 PN.GS)

BAB II
ASAS ULTIMUM REMEDIUM/THE LAST RESORT PRINCIPLE DI
DALAM INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL YANG MENGATUR
TENTANG ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

A. Asas Ultimum Remedium di dalam Instrumen Internasional yang
Mengatur Tentang Anak
Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari
Deklarasi jenewa tentang Hak-Hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal
Declaration of Human Rights tahun 1948. Bertolak dari hal tersebut, kemudian pada
tanggal 20 November 1958, Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of the
Rights of the Child. Sementara itu, masalah anak terus dibicarakan dalam kongreskongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
Pada kongres ke-I di Geneva tahun 1955 dibicarakan topik Prevention of Juvenile
Delinquency, pada kongres ke-II tahun 1960 di London dibicarakan masalah New
Forms of Juvenile Delinquency dan Special Police Services for the Prevention of
Juvenile Delinquency, dan masalah Juvenile Delinquency ini masih juga dibicarakan
pada kongres ke III di Stockholm. Setelah masyarakat dunia berulang kali
memusatkan perhatian pada masalah Juvenile Delinquency, dalam perkembangannya
pusat perhatian diarahkan pada masalah Juvenile Justice (Peradilan Anak). 84
Mantan Sekretaris PBB Javier Perez De Cuellar pernah menyatakan bahwa, 85


84

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal.117
Javier Perez sebagaimana dikutip dalam Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency
Pemahaman dan Penanggulangannya, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), hal.81
85

“The way of society treats its children reflects not only its qualities of
compassion and protective carring, but also its sense of justice, its
commitment to the future and its urge to enchance the human condition for
coming generations. This is as indisputably true of the community of nations
as it is of nations individually.” (Cara masyarakat memperlakukan anak-anak
tidak saja mencerminkan kualitas kepeduliannya melindungi anak-anak,
melainkan mencerminkan juga perasaan keadilan dan komitmennya terhadap
masa depan mereka serta niatnya untuk meningkatkan kondisi kemanusiaan
generasi penerus suatu bangsa.)”
Ungkapan Javier di atas merupakan gambaran pentingnya posisi anak di
dalam suatu lingkungan masyarakat yang merupakan generasi penerus bangsa.
Perlindungan terhadap anak merupakan tanggung jawab yang diemban oleh
masyarakat termasuk jika anak tersebut melakukan tindak pidana. Pembinaan

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum merupakan kewajiban bagi warga
masyarakat sebagaimana telah ditentukan oleh hukum internasional yang berlaku.
Beberapa instrumen hukum internasional yang mengatur tentang anak yang
berkonflik dengan hukum terkait dengan asas ultimum remedium yakni,

1. Convention of the Right of the Child 1989
Perkembangan yang sangat berarti bagi perhatian masyarakat internasional
mengenai hak-hak anak dan sekaligus merupakan tindak lanjut pencanangan
Deklarasi Hak-Hak Anak yaitu dengan disahkannya Resolusi PBB 44/25- Convention
Of The Right Of The Child atau Konvensi Hak-Hak Anak. Konvensi ini terdiri dari 54
Pasal yang secara rinci mengatur hak-hak perorangan bagi seseorang berusia dibawah

18 tahun. 86 Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi ini dengan mengeluarkan
Kepres No.36 Tahun 1990. Perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum dalam konvensi ini dapat dilihat sebagai berikut :
Article 37 (Pasal 37)
“States Parties shall ensure that (Pihak Negara menjamin bahwa)
(a) No child shall be subjected to torture or other cruel, inhuman or
degrading treatment or punishment. Neither capital punishment nor life
imprisonment without possibility of release shall be imposed for offences

committed by persons below eighteen years of age (tidak ada anak yang akan
dikenakan penyiksaan atau kekejaman lainnya, ketidakmanusiawian atau
penghinaan atau hukuman baik itu hukuman Negara ataupun penjara seumur
hidup tanpa kemungkinan bebas tidak akan dijatuhkan bagi pelanggaran yang
dilakukan oleh orang yang dibawah usia 18 tahun)
(b) No child shall be deprived of his or her liberty unlawfully or arbitrarily.
The arrest, detention or imprisonment of a child shall be in conformity with
the law and shall be used only as a measure of last resort and for the shortest
appropriate period of time (tidak ada anak yang akan dihilangkan
kebebasannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan,
penahanan, atau memenjarakan seorang anak akan disesuaikan dengan hukum
dan hanya akan digunakan sebagai upaya terakhir untuk jangka waktu yang
singkat)
(c) Every child deprived of liberty shall be treated with humanity and respect
for the inherent dignity of the human person, and in a manner which takes
into account the needs of persons of his or her age. In particular, every child
deprived of liberty shall be separated from adults unless it is considered in the
child's best interest not to do so and shall have the right to maintain contact
with his or her family through correspondence and visits, save in exceptional
circumstances (setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan

manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam
suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya.
Terutama setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari
orang dewasa kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak
dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan hubungan dengan keluarga
melalui surat menyurat dan kunjungan, kecuali bila dalam keadaan-keadaan
luar biasa)
a. (d) Every child deprived of his or her liberty shall have the right to prompt
access to legal and other appropriate assistance, as well as the right to
86

Ibid., hal.89

challenge the legality of the deprivation of his or her liberty before a court or
other competent, independent and impartial authority, and to a prompt
decision on any such action (setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
atas akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak
untuk menyangkal keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu
pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, mandiri, dan adil, dan atas
putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu)

Pokok Convention Of The Right Of The Children di atas khususnya Pasal 37
dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum
yakni Pertama, konvensi ini menghendaki penyeragaman usia anak yang
mendapatkan perlindungan khusus yaitu dibawah 18 tahun. Kedua, perlindungan
terhadap anak yang berkonflik dilakukan dengan cara menjauhkannya dari sistem
peradilan pidana anak dengan menjadikan hal tersebut sebagai upya terakhir/ last
resort dan apabila permasalahan anak harus diselesaikan lewat penjatuhan hukuman
maka pemenjaraan seumur hidup dihapuskan baginya serta ia harus mendapat
bantuan hukum dan fasilitas yang memadai.

2. United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The
Riyadh Guidelines)
The Riyadh Guidelines merupakan suatu pedoman pencegahan kenakalan
anak yang terdiri atas 66 Pasal. The Riyadh Guidelines ditetapkan melalui Resolusi
PBB Nomor 45/112 dalam Sidang Pleno PBB ke-68 pada tanggal 14 Desember 1990.
Bagian lampiran Riyadh Guidelines menyebutkan bahwa pencegahan tindak pidana
anak merupakan bagian utama pencegahan kejahatan di dalam masyarakat.
Pencegahan tersebut dilakukan melalui pendayagunaan sarana perundang-undangan,

aktivitas sosial yang bermanfaat, melakukan pendekatan manusiawi terhadap segala

aspek kehidupan kemasyarakatan serta memerhatikan kehidupan anak, sehingga
melalui hal ini anak-anak dapat mengembangkan sikap-sikap non-criminogen.
Anak yang berkonflik dengan hukum dalam Riyadh Guidelines juga mendapat
perhatian selain hal utama tujuan pembentukan Riyadh Guidelines yakni pencegahan
kenakalan anak. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 46 sebagai berikut,
“The institutionalization of young persons should be a measure of last resort
and for the minimum necessary period, and the best interest of the young
person should be of paramount importance. (Pelembagaan terhadap remaja
harus menjadi pilihan terakhir untuk jangka waktu singkat yang diperlukan,
dan kepentingan terbaik bagi remaja harus menjadi pertimbangan utama.)
Pasal 46 di atas merupakan kebijakan yang harus ditempuh oleh masingmasing negara untuk menempatkan anak yang berkonflik dengan hukum ke dalam
lembaga pemasyarakatan sebagai jalan terakhir dan pelaksanaannya juga harus dalam
jangka waktu yang singkat. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan
sosial yang telah ditetapkan di dalam Riyadh Guidelines.

3. United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures (The
Tokyo Rules)
Tokyo Rules merupakan Resolusi PBB Nomor 45/113 yang berisi 23 pasal
yang mengatur tentang tindakan non penahanan yang harus dikenakan terhadap
pelaku tindak pidana yang diajukan ke dalam sistem peradilan pidana. Tokyo Rules

lahir berdasarkan pertimbangan untuk mengurangi penggunaan penjara terhadap
pelaku

tindak

pidana

dan

bertujuan

untuk

merahabilitasi

pelaku

serta

mengintegrasikannya kembali ke dalam masyarakat. Tokyo Rules dimaksudkan untuk

meningkatkan keterlibatan/peran serta masyarakat yang lebih besar khususnya dalam
pembinaan pelaku tindak pidana dan meningkatkan rasa tanggung jawab pelaku
tindak pidana terhadap masyarakat.
Penahanan sebagai last resort juga diatur di dalam Rules 16.1 Tokyo Rules
sebagai berikut;
“Pre-trial detention shall be used as a means of last resort in criminal
proceedings, with due regard for the investigation of the alleged offence and
for the protection of society and the victim. (Penahanan sebelum persidangan
harus digunakan sebagai sarana terakhir dalam proses pidana dengan
memperhatikan penyelidikan dugaan pelanggaran dan untuk perlindungan
masyarakat dan korban).”
Penahanan sebagai langkah terakhir yang harus dilakukan berdasarkan aturan
di atas maksudnya adalah untuk mengurangi pembatasan kemerdekaan yang akan
dikenakan terhadap pelaku tindak pidana, hal tersebut untuk memberikan kesempatan
kepada pelaku tindak pidana untuk dapat bertanggung jawab langsung kepada
masyarakat yang dirugikan akibat pelanggaran yang dilakukannya.

4. United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of their
Liberty (Havana Rules)
Havana Rules merupakan Resolusi PBB Nomor 45/113 yang dihasilkan

melalui Sidang Pleno PBB ke-68 pada tanggal 14 Desember 1990 yang berisi 87
Pasal yang mengatur tentang perlindungan terhadap anak yang dirampas
kemerdekaannya. Havana Rules merupakan pelengkap Beijing Rules dalam hal
menetapkan standar minimum prosedur sistem peradilan pidana anak. Havana Rules

mencakup pengaturan tentang hak anak/remaja yang berada di dalam tahanan
termasuk kesehatan, rekreasi, agama, mendapatkan fasilitas yang memadai,
pendidikan, pelatihan kerja, dsb.
Havana Rules menyatakan pemenjaraan sebagai upaya terakhir/last resort
dalam menyelesaikan permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum. Pengaturan
last resort dalam Havana Rules hanya terbatas pada pemenjaraan anak/remaja saja,
berbeda dengan pengaturan yang ada di dalam Convention of the Right of the Child
yang menjadikan seluruh sistem peradilan pidana anak dimulai dari penangkapan,
penahanan dan pemenjaraan sebagai jalan terakhir bagi anak nakal.
Hal ini dinyatakan di dalam pandangan dasar (fundamental perspectives)
Havana Rules yakni sebagai berikut,
“Juveniles should only be deprived of their liberty in accordance with the
principles and procedures seth forth in these Rules and in the United Nations
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ( The
Beijing Rules). Deprivation of the liberty of a juvenile should be a disposition

of last resort and for the minimum necessary period and should be limited to
exectional cases. The length of the sanction should be determined by the
judicial authority, without precluding the possibility of his or her early
release. (Anak hanya boleh dirampas kemerdekaannya sesuai dengan prinsip
dan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan ini dan Peraturan Standar
Minimum Administrasi Peradilan Anak (Beijing rules). Perampasan
kemerdekaan anak haruslah merupakan penempatan terakhir dan untuk jangka
waktu singkat yang diperlukan dan harus dibatasi untuk kasus yang luar biasa.
Lamanya hukuman harus ditentukan oleh kekuasaan kehakiman tanpa
menutup kemungkinan untuk melepaskannya).”
Ketentuan pembatasan kemerdekaan terhadap anak nakal di atas lebih lanjut
mengacu kepada mekanisme serta prosedur yang terdapat di dalam Beijing Rules
sebagai aturan pokok yang mengatur tentang anak yang berkonflik dengan hukum.

5.

United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice ( Beijing Rules)
Beijing Rules sangat dikenal di kalangan para aktivis pembela hak-hak anak


karena untuk pertama kalinya secara detail masyarakat internasional memiliki
ketentuan minimal bagaimana memperlakukan anak-anak yang berkonflik dengan
hukum. Resolusi ini secara tegas mengakui bahwa anak karena tahapan awal
perkembangan manusianya, memerlukan bantuan dan perawatan khusus berkenaan
dengan perkembangan fisik, mental, dan sosialnya, serta memerlukan perlindungan
hukum mengenai kondisi damai, kemerdekaan, martabat, dan keamanannya. 87
Beijing Rules merupakan kebijakan sosial yang menjadi mandat yang harus
diterapkan bagi negara-negara peserta termasuk Indonesia. Resolusi ini bertujuan
untuk

mendukung

tercapainya

sebesar

mungkin

kesejahteraan

anak,

dan

mengupayakan berkurangnya penanganan anak melalui sistem formal dengan campur
tangan sistem peradilan pidana sehingga kerugian-kerugian atau dampak negatif pada
diri anak akibat campur tangan sistem dapat dicegah seperti timbunlnya stigmatisasi,
penyiksaan dan pengaruh buruk digabungnya tahanan anak dengan tahanan dewasa.
Asas The Last Resort di dalam Beijing Rules terlihat pada Aturan 13.1 yang
menyatakan sebagai berikut,
“The placement of a juvenile in an institution shall always be a disposition of
last resort and for the minimum necessary period. (Penahanan sebelum
pengadilan terhadap anak nakal harus dilakukan sebagai upaya terakhir untuk
jangka waktu singkat yang dibutuhkan)”
87

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, (Jakarta: PT Gramedia, 2010), hal.82

Pengaturan penahanan terhadap anak sebagai langkah terakhir dilakukan
untuk menghindarkan anak dari bahaya buruknya pengaruh rumah tahanan terhadap
tumbuh kembang anak tersebut. Aturan 13.1 tersebut mendorong untuk dilakukannya
langkah-langkah baru dan inovatif untuk menghindari penahanan terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum.

B. Relevansi Perangkat Hukum Internasional Terkait Asas Ultimum
Remedium dalam Suasana Hukum Nasional
Instrumen internasional merupakan suatu produk hukum tertulis dalam
perangkat ketentuan-ketentuan yang dihasilkan baik oleh organisasi-organisasi
internasional (seperti PBB) maupun beberapa negara, berupa perjanjian, konvensi,
persetujuan, protokol, piagam, kovenan, akta, deklarasi, dan instrumen internasional
lainnya. Tidak ada ketentuan baik dalam hukum nasional maupun hukum
internasional yang mewajibkan negara untuk meratifikasi suatu konvensi atau
perjanjian internasional. PBB melalui Majelis Umum seringkali hanya menghimbau
kepada negara anggotanya untuk melakukan ratifikasi terhadap suatu konvensi
maupun perjanjian internasional. 88
Istilah konvensi lazimnya digunakan untuk satu instrumen multilateral yang
resmi dan layak. Bentuk konvensi ini cenderung digunakan untuk perjanjian
multilateral yang bersifat pembuat hukum. Negara yang meratifikasi, menerima,

88

hal.178

Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, (Jakarta : Tatanusa, 2007),

mengesahkan, atau mengaksesi konvensi internasional semuanya dilakukan dengan
suatu intrumen yang di dalamnya memuat pernyataan dari negara tersebut tentang
kesepakatannya untuk meratifikasi, menerima, mengesahkan, dan mengaksesi suatu
konvensi serta kesediaan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada di
dalamnya dengan iktikad baik. 89
Masuknya hukum internasional ke dalam hukum nasional dan menjadi bagian
dari hukum nasional serta dalam beberapa hal memberi warna terhadap hukum
nasional, menunjukkan bahwa negara-negara tidak bisa mengabaikan arti dan peranan
dari hukum internasional. Sejauh mana suatu negara sudah peka dan tanggap terhadap
perkembangan hukum internasional dapat diketahui dari pengaturan suatu masalah di
dalam undang-undang nasionalnya, di mana masalah itu sendiri juga sudah diatur
secara canggih dan aktual di dalam sebuah konvensi internasional. 90
Perangkat hukum internasional dibutuhkan oleh hukum nasional, sebab
hukum internasional dapat menjadi masukan bagi hukum nasional berkenaan dengan
suatu masalah yang pengaturannya terlebih dahulu muncul di dalam hukum
(konvensi) internasional. Sebagai bahan masukan,

suatu negara itu bisa

melakukannya dengan jalan meratifikasi konvensi yang mengatur tentang masalah
tersebut atau kalau negara itu tidak ingin meratifikasi dapat menempuh dengan jalan
mengadaptasi isi dan jiwa konvensi tersebut untuk selanjutnya diatur di dalam

89
90

328

Ibid., hal.183
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hal.

undang-undang nasionalnya. 91 Indonesia melakukan ratifikasi terhadap konvensi
internasional melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Pembuatan
Perjanjian Internasional.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Pembuatan
Perjanjian Internasional menyatakan bahwa,
“Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-Undang
apabila berkenaan dengan
(a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara,
(b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara RI,
(c) kedaulatan atau hak berdaulat negara,
(d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup,
(e) pembentukan kaidah hukum baru,
(f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.”
Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa, “Pengesahan perjanjian internasional
yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan
dengan Keputusan Presiden.” Ratifikasi terhadap konvensi hak anak dilakukan
melalui Keputusan Presiden karena isi dari materi konvensi tidak termasuk dalam
materi yang di atur di dalam Pasal 10 undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Pembuatan Perjanjian Internasional.
Negara tetap mempunyai hak kedaulatan sepenuhnya untuk meratifikasi atau
tidaknya suatu konvensi atau perjanjian internasional. Jika harus melakukan ratifikasi
negara tetap akan mempertimbangkan kepentingan nasionalnya. Dewasa ini,
konvensi yang menyangkut tentang anak telah dianggap sebagai konvensi yang
sangat mendasar yang mengandung tuntutan internasional terhadap semua anggota

91

Ibid., hal.340

masyarakat internasional untuk meratifikasinya. Terhadap konvensi yang mengatur
tentang anak, Indonesia telah meratifikasinya melalui Keputusan presiden Nomor 36
Tahun 1990 Tentang ratifikasi terhadap Convention of the Right of the Child. 92
Konvensi Hak Anak ini juga di dalamnya terkandung asas the last resort terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum yakni dengan menjadikan sistem peradilan
pidana anak sebagai langkah terakhir yang harus ditempuh.
Perserikatan Bangsa-Bangsa bukan merupakan suatu pemerintahan dunia,
Majelis Umum tidak pula dapat dianggap sebagai suatu badan legislatif untuk
masyarakat dunia. Menurut Pasal 10 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, keputusan
Majelis Umum berupa resolusi hanya mempunyai kekuatan sebagai anjuran kepada
anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Walaupun demikian, tidak dapat
disangkal bahwa keputusan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ini ada
kalanya mempunyai kekuatan yang jauh melebihi arti formal keputusan itu
sebagaimana diatur dalam piagam. Sebagai keputusan Majelis Umum, Resolusi tidak
mempunyai kekuatan mengikat yang langsung. 93
Terhadap resolusi Majelis Umum PBB yang mengatur tentang anak
khususnya yang di dalamnya terkandung asas ultimum remedium/the last resort
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum seperti pengaturan ultimum remedium
di dalam The Riyadh Guidelines, Tokyo Rules, Havana Rules, Beijing Rules, maka
negara Indonesia sebagai salah satu anggota PBB telah mengadopsi materi penting
92

Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hal. 78
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung :
PT.Alumni, 2003), hal. 154
93

yang ada di dalam resolusi-resolusi tersebut melalui undang-undang nasionalnya. Hal
ini dilakukan negara Indonesia sebagai bentuk kelanjutan dari anjuran/himbauan
resolusi Majelis Umum PBB kepada negara-negara anggota. Asas ultimum remedium
seperti yang tertuang di dalam resolusi PBB tersebut di atas telah di sinkronisasikan
ke dalam undang-undang nasional Indonesia seperti pada undang-undang
perlindungan anak. Dengan demikian, asas ultimum remedium masuk menjadi bagian
dari pengaturan hukum nasional melalui ratifikasi atas konvensi hak anak yang
mengatur perlindungan terhadap anak.

C.

Konsep Diversi dan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) di dalam
Instrumen Hukum Internasional

1.

Pengertian dan Pengaturan Diversi di dalam Beijing Rules
Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata diversion pertama kali

dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang
disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960.
Terdapat banyak perbedaan pengertian diversi sesuai dengan praktek pelaksanaannya.
Jack E. Bynum mendefinisikan diversi sebagai, 94
“Diversion is an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from
the juvenile justice system. (Diversi adalah sebuah perlakuan atau tindakan
untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar
dari sistem peradilan pidana).”
Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau
pendekatan non-penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk
94

Jack E. Bynum sebagaimana dikutip dalam Marlina (2), Op.Cit., hal.10

memperbaiki kesalahan. Petugas dalam melaksanakan diversi menunjukkan
pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan. Petugas melakukan diversi dengan
cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan
tindakan kekerasan dan pemaksaan. 95
Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan
hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai
prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh
jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya.
Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali, akan tetapi
berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang
mentaati hukum. 96
Pengaturan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam
instrumen hukum internasional yakni Beijing Rules dinyatakan dalam Rule 11 sebagai
berikut :
“11.1 Consideration shall be given, wherever appropriate, to dealing with
juvenile offenders without resorting to formal trial by the competent
authority. (Pertimbangan harus diberikan oleh pihak yang berwenang jika
memungkinkan untuk mengatasi pelaku remaja tanpa beralih ke pengadilan
formal .)
11.2 The police, the prosecution or other agencies dealing with juvenile
cases shall be empowered to dispose of such cases, at their discretion,
without recourse to formal hearings, in accordance with the criteria laid
down for that purpose in the respective legal system and also in accordance
with the principles contained in this Rules. (Polisi, Jaksa, atau lembaga lain
yang berhubungan dengan kasus remaja harus diberdayakan untuk
mengalihkan kasus tersebut sesuai dengan kewenangan mereka tanpa
95
96

Ibid., hal.13
Ibid., hal.14

melibatkan proses formal sesuai dengan kriteria yang ditetapkan untuk
tujuan itu di masing-masing sistem hukum dan juga sesuai dengan prinsipprinsip yang terkandung di dalam aturan.)
11.3 Any diversion involving referral to appropriate community or other
services shall require the consent of the juvenile, or her or his parents or
guardian, provided that such decision to refer a case shall be subject to
review by a competent authority, upon application. ( setiap pengalihan yang
melibatkan rujukan ke masyarakat atau jasa lainnya memerlukan
persetujuan dari pelaku remaja atau orang tua/walinya, asalkan keputusan
untuk merujuk kasus tersebut harus ditinjau oleh pejabat yang berwenang
dalam melaksanakannya.)
11.4 In order to facilitate the discretionary disposition of juvenile cases,
efforts shall be made to provide for community programmes, such as
temporary supervision and guidance, restitution, and compensation of
victims. ( dalam rangka memfasilitasi kewenangan pengalihan kasus anak,
upaya yang dapat dilakukan adalah menyediakan program-program layanan
masyarakat seperti, pengawasan dan bimbingan sementara, restitusi, dan
kompensasi kepada korban.)

Commentary Rule 11 di atas adalah sebagai berikut :
“Diversion, involving removal from criminal justice processing and
frequently, redirection to community support services, is commonly practiced
on a formal and informal basis in many legal systems. This practice serves to
hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice
administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many
cases, non intervention would be the best response. Thus diversion at the
outset and without referral to alternative (social) services may be the optimal
response. This is especially the case where the offence is of a non-serious
nature and where the family, the school or other informal social control
institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and
constructive manner. (Diversi, termasuk penghapusan dari proses pengadilan
pidana dan sering kali, pengalihan ke pelayanan dukungan masyarakat,
biasanya dilakukan secara formal dan informal dalam sistem hukum. Praktek
ini berfungsi untuk menghambat efek negatif dari proses selanjutnya dalam
administrasi peradilan anak (sebagai contoh, stigma/cap narapidana dan
hukuman). Dalam banyak kasus, ketiadaan intervensi akan menjadi respon
terbaik. Dengan demikian, pengalihan keluar pengadilan pada tahap awal dan
tanpa merujuk pada layanan sosial mungkin menjadi respon yang optimal. Hal
ini khususnya terjadi dimana pelanggaran merupakan sifat dasar yang tidak
serius dan dimana keluarga, sekolah, atau lembaga informal pengendali

masyarakat sudah bereaksi atau cenderung bereaksi dalam sikap yang tepat
dan membangun).”
Diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak yang
berkonflik dengan hukum, diversi dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi
yang lazimnya terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat sistem peradilan pidana
anak. Melalui diversi, kemungkinan penuntutan pidana terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum gugur, rekor anak sebagai bekas terdakwa tidak ada, dan dengan
sendirinya stigmatisasi terhadap diri anak pun tidak terjadi.
Program diversi dalam perkara anak dapat dilakukan dengan cara Nonintervensi. Non-intervensi merupakan upaya terbaik karena diversi tanpa melalui
proses formal merupakan upaya yang optimal, terutama bagi pidana yang tidak serius
dimana keluarga, sekolah, atau lembaga pengawasan sosial informal dapat berperan
dengan cara yang layak dan membangun. Cara Non-intervensi dapat dibagi
menjadi, 97
a. Peringatan informal : melibatkan polisi untuk mengatakan kepada
anak bahwa apa yang dilakukannya salah dan memperingatkan agar
tidak melakukannya lagi. Tidak ada berita acara untuk itu.
b. Peringatan Formal : polisi harus mengantarkan anak pulang dan
memberi peringatan kepada orang tua atau walinya. Polisi mencatat
peringatan itu dalam catatan diversi yang disimpan di kantor polisi.
c. Ganti kesalahan dengan kebaikan / restitusi : anak diminta mengganti
kesalahan dengan kebaikan, misalnya dengan membayar ganti
kerugian pada korban sesuai dengan kemampuan anak.

97

Wayan Dinar Purba Prasetyo, Diversi Sebagai Upaya penyelesaian Anak yang Berhadapan
Dengan
Hukum,
dalam
http://wayandinar.blogspot.com/2012/06/diversi-sebagai-upayapenyelesaian.html diakses pada hari Senin tanggal 6 Mei 2013 pukul 09.00 wib

d. Pelayanan masyarakat : anak diminta melakukan pelayanan
masyarakat atau penuhi tugas tertentu selama beberapa jam. Hal ini
berfungsi untuk pengembangan kejiwaan dan pendidikan anak.
e. Melibatkan anak dalam program keterampilan : melibatkan anak pada
program keterampilan yang dikelola lembaga pelayanan sosial – LSM,
baik anak pelaku maupun anak pada umumnya.
f. Menyusun rencana polisi, anak, dan keluarga : melibatkan anak,
keluarga, dan polisi, bersama-sama membahas hal yang harus
dilakukan, misalnya ganti kesalahan dengan kebaikan bagi korban
maupun masyrakat perkuat ikatan keluarga dan dukungan anak lain,
serta mencegah penanggulangan tindak pidana lagi.
g. Rencana yang diputuskan lembaga tradisional adat : kasus-kasus anak
dapat juga dilimpahkan penanganannya pada lembaga tradisional.
h. Rencana didasarkan hasil pertemuan kelompok keluarga : pertemuan
antar kelompok keluarga melibatkan semua pihak terkena dampak
tindak pidana anak.
Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur
melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak
penegak hukum. Keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap
keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate
treatment) .Tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu; 98
1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat
penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau
pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan
yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak
diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.
2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service
orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri,
memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya.
Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan
atau pelayanan.
98

M. Lutfi Chakim, Implementasi Konsep Diversi Terhadap Anak yang Berhadapan dengan
Hukum, dalam http://lutfichakim.blogspot.com/2012/12/konsep-diversi.html diakses pada hari Senin
tanggal 6 Mei 2013 pukul 09.00 wib

3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or
restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi
kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat
dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat.
Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama
mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.
Ide diversi adalah pemikiran tentang pemberian kewenangan kepada arapat
penegak hukum untuk mengambil tindakan- tindakan kebijaksanaan dalam
menangani atau menyelesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil
jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/melepaskan dari proses
peradilan pidana atau mengembalikan/ menyerahkan kepada masyarakat dan bentukbentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Penerapan diversi dapat dilakukan dalam
semua tingkatan pemeriksaan yaitu dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan
disidang pengadilan sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Penerapan ini
dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses
peradilan tersebut. 99 Untuk lebih memahami fungsi diversi sebagai wujud dari asas
ultimum remedium dapat dilihat pada skema di bawah ini

99

Manunggal K. Wardaya & Dwi Hapsari Retnaningrum, Diversi Sebagai Bentuk
Perlindungan Hak Asasi Manusia Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, dalam
http://manunggalkusumawardaya.wordpress.com/2011/09/28/diversi-sebagai-bentuk-perlindunganhak-asasi-manusia-anak-yang-berhadapan-dengan-hukum/ diakses pada hari Senin tanggal 6 Mei 2013
pukul 09.00 wib

Skema 1. Kedudukan Asas Ultimum Remedium dalam Proses penyelesaian
Perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Hukum Internasional

Diversi

Penyelesaian Perkara Anak yang
Berkonflik dengan Hukum

Ultimum
Remedium

Sistem Peradilan
Pidana Anak

Sumber : Diolah dari uraian-uraian tentang Diversi

Skema di atas memperlihatkan bahwa sistem peradilan pidana anak
merupakan suatu mekanisme penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan
hukum yang harus ditempuh sebagai jalan terakhir. Asas ultimum remedium
mengarahkan proses penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum
melalui mekanisme diversi terlebih dahulu sehingga apabila perkara anak itu telah
sedemikian rupa tidak mampu diselesaikan lewat diversi maka barulah sistem
peradilan pidana anak itu digunakan.

2.

Pengertian dan Tujuan Restorative Justice Terhadap Anak yang
Berkonflik dengan Hukum
Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling

mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan
pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB melalui Basic
Principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan keadilan restoratif
adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional.
Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai
sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab
ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Keadilan
Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem
peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan
korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan
pidana yang ada pada saat ini. Keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka
berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi
penegak dan pekerja hukum. 100
Restorative Justice merupakan suatu proses penyelesaian perkara yang
dilakukan di luar peradilan formal. Restorative Justice mempunyai cara berfikir dan
paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh
seorang manusia tanpa semata-mata memberikan hukuman pidana. Penanganan

100

Eva
Achjani
Zulfa,
Mendefinisikan
Keadilan
Restoratif,
dalam
http://evacentre.blogspot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html diakses pada hari Senin tanggal
6 Mei 2013 pukul 09.00 wib

terhadap tindak pidana dapat dilakukan dengan memperhitungkan pengaruh yang
lebih luas tehadap korban, pelaku, dan masyarakat. Konsep restorative justice dimulai
dan berawal dari pengertian bahwa kejahatan adalah sebuah tindakan melawan orang
atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran/pengrusakan terhadap suatu
norma hukum yang berlaku. 101
Restorative justice atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut keadilan
restoratif merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan
masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi
seluruh pihak sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum
terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut.
James Dignan menjelaskan bahwa, 102
“ Keadilan restoratif pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash yang
berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Pertama
berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah pada
penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Kedua berhubungan
dengan keadilan distributif, yang penekanan utamanya adalah pada
rehabilitasi pelaku kejahatan. Ketiga adalah keadilan restoratif, yang secara
luas disamakan dengan prinsip restitusi.”
Pandangan keadilan restoratif menekankan pertanggungjawaban pelaku
sebagai usaha dalam memulihkan penderitaan korban tanpa mengesampingkan
kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku serta menciptakan dan menjaga ketertiban
umum. Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang bertujuan
101

Marlina (2), Op.Cit., hal.38
James
Dignan
sebagaimana
dikutip
dalam
Restorative
justice
dalam
http://hukum.kompasiana.com/2012/04/28/restorative-justice-458165.html diakses pada hari Senin
tanggal 6 Mei 2013 pukul 09.00 wib
102

menjawab ketidakpuasan atas hasil kerja sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
Pendekatan ini dipakai sebagai bingkai strategi penanganan perkara pidana. 103
Pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan
berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana, seperti yang
tergambar dari definisi yang dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut: 104
“Restorative justice is a new framework for responding to wrong doing and
conflict that is rapidly gaining acceptance and support by edsucational, legal,
social work, and counceling professionals and community groups. Restorative
justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict,
with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm,
and the affected community.(Keadilan restoratif adalah suatu kerangka kerja
baru untuk merespon penyalahgunaan wewenang dan benturan yang cepat
memperoleh penerimaan dan dukungan oleh institusi pendidikan, hukum,
sosial, dan konseling profesional serta kelompok masyarakat. Keadilan
restoratif adalah pendekatan berbasis nilai untuk menanggapi kesalahan dan
konflik, dengan fokus yang seimbang pada orang yang dirugikan, orang
menyebabkan kerugian, dan masyarakat yang terkena dampak).”
Defenisi tersebut di atas mensyaratkan adanya kondisi tertentu yang
menempatkan keadilan restoratif sebagai nilai dasar yang digunakan dalam merespon
suatu perkara pidana, dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian
antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak
penyelesaian perkara pidana tersebut di dalam masyarakat.
Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam
tulisannya ”Restorative Justice an Overview” mengatakan bahwa; 105

103

Ibid
Luqman,
Pengertian
dan
Tujuan
Restorative
Justice
dalam
http://luqmanpinturicchio.blogspot.com/2012/06/restorative-justice-bagian-ii.html diakses pada hari
Senin tanggal 6 Mei 2013 pukul 09.00 wib
104

“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a
particular offence come together to resolve collectively how to deal with the
aftermath of the offence and its implication for the future. (Keadilan
restoratif adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan
dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan
persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari
pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).
Tujuan dari keadilan restoratif adalah mendorong terciptanya peradilan
yang adil dan mendorong para pihak untuk ikut serta didalamnya. Korban merasa
bahwa penderitaannya di perhatikan dan kompensasi yang disepakati seimbang
dengan penderitaan dan kerugian yang dideritanya. Pelaku tidak mesti mengalami
penderitaan untuk dapat menyadari kesalahannya. Justru dengan kesepakatan untuk
mengerti dan memperbaiki kerusakan yang timbul, kesadaran tersebut dapat
diperolehnya. Sementara bagi masyarakat, adanya jaminan keseimbangan dalam
kehidupan dan aspirasi yang ada tersalurkan oleh pemerintah. 106
Tujuan utama restorative justice adalah memberdayakan korban, dimana
pelaku didorong agar memperhatiakan pemulihan. Keadilan restoratif mementingkan
terpenuhinya kebutuhan material, emosional, dan sosial sang korban. Keberhasilan
keadilan restoratif, diukur oleh sebesar apa kerugian yang telah dipulihkan pelaku,
bukan diukur oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan hakim. Intinya, sedapat
mungkin pelaku dikeluarkan dari proses pidana dan dari penjara. Tetapi, seperti yang
dikatakan Kent Roach, keadilan restoratif bukan hanya memberikan alternatif bagi
penuntutan dan pemenjaraan, melainkan juga meminta tanggung jawab pelaku.
105

Restorative Justice dalam http://www.damang.web.id/2012/01/restorative-justice.html
diakses pada hari Senin tanggal 6 Mei 2013 pukul 09.00 wib
106
Ibid

Tindakan kriminal dalam keadilan restoratif, ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap
hukum dan negara, lagi pula yang dihadapi pelaku adalah korban dan komunitasnya,
bukan pemerintah. 107
Filsafat keadilan restoratif menyatakan bahwa kejahatan tidak selalu
dibatasi sebagai serangan pada negara, melainkan suatu pelanggaran oleh seseorang
terhadap yang lain. Hal ini bukan berarti mengambil kembali wewenang balas
dendam dari negara kepada korban kejahatan. Keadilan restoratif berpijak pada
hubungan yang manusiawi antara korban dengan pelanggar dan fokusnya pada
dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan pada semua pihak, bukan hanya pada
korban tetapi juga pada masyarakat dan pelanggar sendiri. Elemen-elemen keadilan
restoratif dalam pemidanaan adalah konsensasi, mediasi, rekonsiliasi, penyembuhan,
dan pemaafan. Elemen-elemen tersebut berbeda dengan elemen keadilan retributif
yakni pembalasan, pemidanaan, isolasi, stigmatisasi, dan pemenjaraan. 108
Peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi
terhadap perilaku delinkuensi anak tidak efektif tanpa adanya kerja sama dan
keterlibatan dari korban, pelaku, dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar ialah
bahwa keadilan paling baik terlayani apabila setiap pihak menerima perhatian secara

107

Ibid
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah (2), Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2005), hal.124
108

adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memeroleh
keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak. 109
Bentuk praktek restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa,
Amerika Serikat, Kanada, Australia dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis yang
kemudian menjadi pioneer penerapan restorative justice. Bentuk-bentuk tersebut
yakni; 110
1.

Victim-Offender Mediation (VOM)
Suatu pertemuan antara korban dengan pelaku yang dipimpin oleh
seorang mediator. VOM awalnya berasal dari Kanada sebagai bagian dari
alternatif sanksi pengadilan.
2. Family Grup Conferencing (FGC)
Peserta FGC lebih luas dibandingkan VOM. Jika VOM sebatas pelaku
dan korban, maka pada FGC juga melibatkan keluarga inti, teman dan
ahli. FGC biasanya sering digunakan dalam perkara yang dilakukan oleh
anak-anak. Program ini digunakan oleh Australia dan Selandia Baru, di
Brazil program seperti ini disebut Restorative Conferencing (RC).
3. Community Restorative Boards (CRB)
CRB merupakan suatu grup/panel/lembaga yang terdiri dari orang-orang
yang telah dilatih untuk bernegosiasi dalam menyelesaikan masalah.
Pelaksanaan CRB di Inggris dan di Wales, Hakim bisa memerintahkan
kepada pelaku untuk mengikuti program ini. Polisi juga dapat merujuk
pelaku untuk mengikuti program ini sebelum mereka melanjutkan
penyidikan. Korban bertemu dengan pelaku dan dengan panelis untuk
mendiskusikan masalah dan solusinya dalam jangka waktu tertentu. Jika
dalam jangka waktu tersebut tidak tercapai kesepakatan, grup/panel
tersebut akan melimpahkan kembali perkara tersebut ke pengadilan atau
ke polisi.

109

Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restoratif Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang,
Disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Kriminologi, Universitas Diponegoro, 2006,
hal.32
110
RestorativeJusticedalamhttp://pnlubukbasung.go.id/article/view/43/berita/restorativejustice.
html diakses pada hari Senin tanggal 6 Mei 2013 pukul 09.00 wib

4.

Restorative Circles
Merupakan suatu forum yang terdiri dari keluarga dan teman-teman untuk
mendukung narapidana agar dapat kembali bersosialisasi dengan
masyarakat. Sistem ini digunakan di Hawaii.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Pertanggungjawaban Pidana Notaris Terhadap Akta yang Dibuatnya (Studi Putusan Mahkamah Agung Register No. 1099K/PID/2010)

8 79 154

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Asas Ultimum Remedium The Last Resort Principle Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Rangka Perlindungan Anak (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No.125 Pid A 2012 PN.GS)

0 0 16

Asas Ultimum Remedium The Last Resort Principle Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Rangka Perlindungan Anak (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No.125 Pid A 2012 PN.GS)

0 0 2

Asas Ultimum Remedium The Last Resort Principle Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Rangka Perlindungan Anak (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No.125 Pid A 2012 PN.GS)

0 0 36

Asas Ultimum Remedium The Last Resort Principle Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Rangka Perlindungan Anak (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No.125 Pid A 2012 PN.GS)

0 0 6