Pertanggungjawaban Pidana Notaris Terhadap Akta yang Dibuatnya (Studi Putusan Mahkamah Agung Register No. 1099K/PID/2010)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS TERHADAP

AKTA YANG DIBUATNYA

(Studi Putusan Mahkamah Agung Register No. 1099K/PID/2010)

SKRIPSI

DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA HUKUM PADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

OLEH

NAMA : FITRI KESUMA ZEBUA

NIM : 080200209

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS TERHADAP

AKTA YANG DIBUATNYA

(Studi Putusan Mahkamah Agung Register No. 1099K/PID/2010)

SKRIPSI

DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA HUKUM PADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP: 195703261986011001 DR.M.HAMDAN, SH.M.H

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

DR.MADIASA ABLISAR, SH.M.S

NIP: 196104081986011002 NIP: 1974040120021001

DR.MAHMUD MULYADI, SH.M.HUM

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Notaris Terhadap Akta yang Dibuatnya (Studi Putusan Mahkamah Agung Register No. 1099K/PID/2010)” tepat pada waktunya.

Skripsi merupakan karya ilmiah yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sekaligus merupakan pembelajaran bagi mahasiswa. Penulisan skripsi bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk berpikir kritis dan mampu menuangkan berbagai ide dan pemikirannya secara terstruktur. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan, meskipun penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Selama proses perkuliahan hingga penulisan skripsi ini berjalan, penulis banyak mendapatkan bantuan, dukungan dan bimbingan serta masukan dari berbagai pihak. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Ahmad Fuad Zebua dan Ibunda Nurlela atas kasih sayang dan cintanya kepada penulis, yang selalu memberikan dukungan dan doanya serta bantuan baik berupa moril maupun materil. Tiada kata-kata dan waktu yang cukup untuk dapat mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih ananda kepadamu;


(4)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.M.H.DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak M. Husni, SH.M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. M. Hamdan, SH.M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH.M.S, selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan kepada penulis;

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah memberikan petunjuk, bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi ini;

9. Ibu Afnila, SH.M.Hum, selaku Dosen Wali penulis yang telah memberikan bimbingan dan konseling kepada penulis selama menjalankan kegiatan perkuliahan;

10.Bapak Erwin Adhanto, SH yang telah memberikan banyak dukungan dan bantuan kepada penulis, terutama bantuan berupa ide-ide cemerlang sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik; 11.Ibu Megarita, SH.M.Hum.CN dan Ibu Dr. Marlina, SH.M.Hum yang telah


(5)

di dalam maupun di luar lingkungan perkuliahan selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12.Bapak dan Ibu dosen pengajar yang sangat berperan dalam kehidupan penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. “Jasamu tiada tara”;

13.Saudara kandung penulis Siti Maysarah Zebua, Sri Rizky Zebua, Muhammad Fariz Zebua dan Fahmi Fadillah Zebua, yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan penulis;

14.Sahabat seperjuangan Alia Fahlisa, Putri Rizkita Sari, Soraya Fadillah, Fachru Rozy Affandi, Adharry Kurniawan, Husnul Hamdi yang telah sudi berbagi suka dan duka, saling memberikan dukungan dan semangat, serta selalu berbagi canda dan tawa selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

15.Teman-teman penulis Fika Habbina, Berliana Nasution, Siti Nurahmi, Rizki Wirdatul Husna, Fatiya Rochimah, Lidya Ramadhani, Erny Suciapriyanti, Zaky Siraj Hasibuan, Fiki Muttaqin, yang telah sudi berteman dengan penulis selama berada dalam masa-masa belajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan memberikan dukungan dan semangat kepada penulis;

16.Rekan-rekan dan adik-adik di kepengurusan BTM Aladdinsyah, SH periode 2010-2011 yang namanya tidak bisa penulis tuliskan satu persatu; Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karenanya segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi


(6)

kesempurnaan penulisan skripsi ini untuk ke depannya, penulis akan menerima dengan tangan terbuka. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan yang dapat digunakan bagi penegakan hukum di Indonesia. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Assalamu’alaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh.

Medan, April 2012 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan 1. ... Pen gertian Pertanggungjawaban Pidana ... 10

2. ... Pen gertian Notaris, Peraturan Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris ... 17

3. ... Pen gertian Akta ... 23

F. Metode Penelitian ... 26

G. Sistematika Penulisan ... 29 BAB II BATASAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN NOTARIS DALAM UUJN DAN KODE ETIK NOTARIS


(8)

A. Kedudukan Notaris Selaku Pejabat Umum Terhadap Akta yang Dibuat Sesuai dengan Syarat Formil Ditinjau dari UUJN dan Kode Etik NOtaris ... 31 1. ... Not

aris Sebagai Pejabat Publik ... 31 2. ... Hub

ungan Notaris dengan Para Penghadap ... 35 3. ... Hub

ungan Notaris dengan Akta yang Dibuatnya ... 39 B. Batasan Pelanggaran dalam UUJN dan Kode Etik Notaris ... 44 C. Fungsi Majelis Pengawas Notaris dalam Hal Terjadi Pelanggaran Terhadap

UUJN dan Kode Etik Notaris ... 54 BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA

A. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana ... 65 B. Pelaku/Subjek Hukum yang Dapat Dimintakan Pertanggungjawaban dalam

Hukum Pidana ... 78 C. Pertanggungjwaban Pidana Notaris Terhadap Akta yang Dibuatnya ... 82 D. Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana Notaris yang Melakukan Perbuatan

Pidana ... 95 BAB 1V ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REGISTER NOMOR 1099K/PID/2010

A. Kasus Posisi ... 99 1. ... Kro


(9)

2. ... Dak waan dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 103 3. ... Fak

ta Hukum ... 105 4. ... Put

usan Hakim ... 112 B. Analisis Kasus ... 114 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 134 B. Saran ... 135 DAFTAR PUSTAKA ... 137


(10)

ABSTRAK Fitri Kesuma Zebua*

Madiasa Ablisar** Mahmud Mulyadi***

Notaris sebagai pejabat publik memiliki wewenang untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti tertulis. Kedudukan notaris sangat penting dalam lalu lintas hukum yang mewajibkan adanya alat bukti untuk menyatakan hak dan kewajiban seseorang. Notaris menjalankan kewajibannya tidak terlepas dari kecenderungan menyimpang atau menyeleweng. Salah satu perkara pidana yang disengketakan di pengadilan ialah melibatkan Notaris San Smith dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana turut serta menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta. Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan pidana penjara 5 (lima) tahun penjara. Tuntutan ini didasarkan pada fakta hukum yang menyatakan bahwa adanya suatu kerja sama antara notaris dan salah satu pihak atau penghadap untuk memasukkan keterangan palsu ke dalam akta jual beli yang menimbulkan kerugian bagi pihak yang lain. Pemalsuan dilakukan terhadap site plan yang menjadi bagian dari akta notaris tersebut.

Permasalahan yang menjadi bahasan utama skripsi ini adalah perihal bilakah notaris dapat dikatakan telah melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, dan pertanggungjawaban pidana notaris terhadap akta yang dibuatnya dikaitkan dengan pertimbangan hukum dan putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim kepada notaris sebagai terdakwa. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif.

Hasil pembahasan skripsi ini adalah bahwa notaris dapat dikatakan telah melanggar ketentuan UUJN dan Kode Etik Notaris apabila notaris terbukti bersalah melakukan tindakan di luar batasan-batasan yang telah ditentukan UUJN, Kode Etik Notaris, dan KUHP. Pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan melanggar tersebut mensyaratkan adanya kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dan tidak adanya alasan-alasan penghapus pidana. Sikap majelis hakim dalam menetapkan pertanggungjawaban pidana notaris tidak tepat, karena tidak cermat menguraikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dan tidak memperhatikan kedudukan notaris sebagai pembuat akta otentik.


(11)

ABSTRAK Fitri Kesuma Zebua*

Madiasa Ablisar** Mahmud Mulyadi***

Notaris sebagai pejabat publik memiliki wewenang untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti tertulis. Kedudukan notaris sangat penting dalam lalu lintas hukum yang mewajibkan adanya alat bukti untuk menyatakan hak dan kewajiban seseorang. Notaris menjalankan kewajibannya tidak terlepas dari kecenderungan menyimpang atau menyeleweng. Salah satu perkara pidana yang disengketakan di pengadilan ialah melibatkan Notaris San Smith dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana turut serta menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta. Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan pidana penjara 5 (lima) tahun penjara. Tuntutan ini didasarkan pada fakta hukum yang menyatakan bahwa adanya suatu kerja sama antara notaris dan salah satu pihak atau penghadap untuk memasukkan keterangan palsu ke dalam akta jual beli yang menimbulkan kerugian bagi pihak yang lain. Pemalsuan dilakukan terhadap site plan yang menjadi bagian dari akta notaris tersebut.

Permasalahan yang menjadi bahasan utama skripsi ini adalah perihal bilakah notaris dapat dikatakan telah melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, dan pertanggungjawaban pidana notaris terhadap akta yang dibuatnya dikaitkan dengan pertimbangan hukum dan putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim kepada notaris sebagai terdakwa. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif.

Hasil pembahasan skripsi ini adalah bahwa notaris dapat dikatakan telah melanggar ketentuan UUJN dan Kode Etik Notaris apabila notaris terbukti bersalah melakukan tindakan di luar batasan-batasan yang telah ditentukan UUJN, Kode Etik Notaris, dan KUHP. Pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan melanggar tersebut mensyaratkan adanya kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dan tidak adanya alasan-alasan penghapus pidana. Sikap majelis hakim dalam menetapkan pertanggungjawaban pidana notaris tidak tepat, karena tidak cermat menguraikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dan tidak memperhatikan kedudukan notaris sebagai pembuat akta otentik.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Keberadaan hukum di dalam masyarakat bagaikan udara bagi kehidupan manusia. Adagium yang menyatakan bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum1 belum bisa terbantahkan hingga saat ini. Pertentangan antara kepentingan manusia dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat sehingga dibuat suatu petunjuk hidup agar perdamaian dalam masyarakat tetap ada. Petunjuk hidup, yang biasanya disebut kaidah atau norma, terdapat dalam hukum itu sendiri. Hakikat hukum ialah membawa aturan yang adil dalam masyarakat (rapport du droit, inbreng van recht).2

Menurut Radbruch, hukum dituntut untuk memenuhi berbagai karya, yang disebut dengan nilai-nilai dasar hukum, yakni keadilan, kegunaan dan kepastian hukum.3 Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan ia juga menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain.4

1

Ubi Societas Ibi Ius, lihat dalam E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT

Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, hal 1.

2

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2010, hal 77. 3

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan keenam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 19.

4

Ibid.

Hal ini kemudian mewajibkan bahwa dalam lalu lintas hukum diperlukan adanya alat bukti dalam


(13)

menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam kehidupan bermasyarakat.

Dahulu, peristiwa-peristiwa penting dibuktikan dengan persaksian dari beberapa orang saksi, sehingga apabila terjadi sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan maka saksi-saksi hidup itulah yang akan memberikan kesaksiannya. Kesulitan akan timbul terhadap pembuktian apabila saksi-saksi tersebut sudah tidak ada lagi, baik karena sudah meninggal dunia atau sudah pindah ke tempat lain dan tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sudah mulai disadari dan orang-orang sudah mulai mencari peneguhan dari suatu peristiwa penting dengan mencatatnya dalam suatu surat dan ditandatangani oleh orang-orang yang berkepentingan dan dua orang-orang/lebih saksi.5 Orang sudah mulai menyadari bahwa bukti tertulis merupakan alat bukti yang penting dalam lalu lintas hukum.6

Akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna di antara para pihak dan ahli waris-ahli warisnya dan memiliki kekuatan mengikat. Sempurna berarti suatu akta otentik sudah cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau keadaan tanpa diperlukannya penambahan bukti-bukti lainnya. Mengikat berarti segala sesuatu yang dicantumkan di dalam akta harus dipercayai dan dianggap

benar-Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) menyebutkan bahwa ”akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

5

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hal 5.

6


(14)

benar telah terjadi , jadi jika ada pihak-pihak yang membantah atau meragukan kebenarannya maka pihak tersebutlah yang harus membuktikan keraguan dan ketidakbenaran akta otentik tersebut.

Di Indonesia dapat dilihat dari keberadaan notaris sebagai pejabat publik yang berwenang membuat akta otentik sebagai alat bukti tertulis. Perihal jabatan notaris dalam perkembangannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang.7 Wewenang membuat akta otentik ini hanya dilaksanakan oleh notaris sejauh pembuatan akte otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.8

Notaris membuat akta selain karena dikehendaki oleh undang-undang, juga dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajibannya demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak

Dapat disimpulkan bahwa notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang memiliki wewenang untuk itu.

Mengetahui pentingnya tugas dan kedudukan notaris di tengah-tengah masyarakat dan kekuatan pembuktian dari akta otentik yang dibuatnya, dapat dikatakan bahwa jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan. Jabatan kepercayaan yang diberikan undang-undang dan masyarakat ini mewajibkan seseorang yang berprofesi sebagai notaris bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan tersebut dengan sebaik-baiknya serta menjunjung tinggi etika hukum, martabat serta keluhuran jabatannya.

7

Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 8


(15)

yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.9 Notaris adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh negara untuk menyatakan terjadinya hubungan hukum antara para pihak dalam suatu akta. Artinya bahwa akta notaris itu berkaitan secara langsung dengan nilai martabat para pihak yang berjanji. Janji yang telah dinyatakan dalam akta merupakan cerminan kehendak yang tulus dari para pihak.10

Notaris tidak terikat dengan hubungan hukum (perjanjian) yang mereka adakan. Apabila terjadi sengketa di belakang hari mengenai apa yang diperjanjikan dalam suatu akta notaris (hal-hal yang telah disepakati para pihak), notaris tidak terlibat dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban dan berada di luar hukum para pihak. Sengketa yang timbul akibat kesalahan notaris baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan, maka notaris harus bertanggung jawab baik secara moral maupun secara hukum. Akta yang dibuat notaris oleh karenanya harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai sifat otentik dari akta itu sebagaimana yang telah diatur dalam UUJN.

Para pihak sendirilah yang membuat akta tersebut dan bukan notaris.

11

Notaris seringkali dalam praktiknya terlibat dengan perkara hukum baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka. Keterlibatan notaris dalam perkara hukum disebabkan adanya kesalahan pada akta yang dibuatnya, baik karena kesalahan notaris itu sendiri maupun kesalahan para pihak atau salah satu pihak yang tidak memberikan keterangan atau dokumen yang sebenarnya (tidak adanya iktikad baik dari para pihak atau salah satu pihak) atau telah ada kesepakatan

9

Ibid.

10

Putri A.R, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator Tugas-Tugas Jabatan

Notaris yang Berimplikasi Perbuatan Pidana, PT. Softmedia, Jakarta, 2011, hal 7.

11


(16)

antara notaris dengan salah satu pihak yang menimbulkan kerugian pada pihak lain.

UUJN mengatur bahwa ketika notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi. Sanksi tersebut berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan notaris, dan sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik sebelumnya dalam Peraturan Jabatan Notaris, dan sekarang dalam UUJN dan Kode Etik Notaris, dan tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap notaris.12

12

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun

2004 Tentang Jabatan Notaris, Cetakan Ketiga, Refika Aditama, Bandung, 2011, (Selanjutnya

disebut Buku I ), hal 25.

Ketiadaan sanksi pidana dalam UUJN tidak mengakibatkan seorang notaris terbebas dari pertanggungjawaban pidana dalam menjalankan jabatannya. Notaris dalam menjalankan jabatannya melakukan penyimpangan yang memiliki aspek pidana, maka terhadap notaris yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi pidana berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Notaris harus dimintakan pertanggungjawaban pidananya dalam hal timbulnya perkara pidana, apalagi yang berhubungan dengan akta yang dibuatnya yang menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak. Notaris pada dasarnya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, karena notaris hanya bertanggung jawab pada sisi formal pembuatan akta. Banyaknya notaris yang terlibat dalam perkara pidana sehingga perlu dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada notaris yang terbukti melakukan tindak pidana tersebut.


(17)

Notaris menjalankan kewajibannya tidak terlepas dari kecenderungan menyimpang atau menyeleweng. Profesional hukum yang tidak bertanggung jawab melakukan pelanggaran dalam menjalankan profesinya karena lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongannya.13

13

Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 66.

Perkara hukum (pidana) timbul karena telah terjadi ketidakadilan di masyarakat dan menyentuh kewibawaan hukum dari profesional hukum itu sendiri. Notaris dalam menjalankan profesi hukumnya terutama dalam hal memberikan jasa atau pelayanan umum terhadap masyarakat memerlukan adanya suatu kepastian mengenai pertanggungjawaban pidana, karena profesi hukum cenderung beralih kepada kegiatan bisnis yang menyengsarakan masyarakat.

Salah satu kasus yang disengketakan di pengadilan yang melibatkan notaris sebagai tersangka akan diuraikan sebagai berikut:

Dulang Martapa melakukan kesepakatan untuk menjual, memindahkan serta menyerahkan 17 kavling tanah (komplek Bukit Hijau Regency) dengan 21 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT. IRA WIDYA UTAMA dan sebidang tanah dengan sertifikat HGB atas nama PT. IRA WIDYA UTAMA kepada Alwijaya. Dulang Martapa bersama Alwijaya menghadap Notaris Roosmidar untuk membuat Akta Perjanjian Pendahuluan untuk Jual Beli No. 138 pada tanggal 29 Mei 2008. Akta berisi kesepakatan tentang batas tanah, uang panjar sebesar Rp. 2 Milyar yang telah diterima Alwijaya, harga, hak-hak dan kewajiban dan lampiran berupa site plan.


(18)

Toni Wijaya menghubungi Dulang Martapa untuk menghadap kepada Notaris Sun Smith untuk menindaklanjuti akta pendahuluan tersebut yang dibuat dihadapan Notaris Roosmidar. Para pihak bertemu di hadapan Notaris Sun Smith pada tanggal 27 Juni 2008 dan dibuat akta pengikatan diri untuk melakukan jual beli No. 165, di mana isinya sama dengan akta pendahuluan kecuali pihak pembeli yaitu Toni Wijaya.

Dulang Martapa menerima salinan akta dari Notaris Sun Smith pada tanggal 18 November 2008 dan pada saat itu ia baru menyadari adanya perubahan terhadap site plan yakni telah terjadi selisih luas tanah yang telah disepakati dihadapan Notaris Roosmidar dan Notaris Sun Smith. Dulang Martapa merasa dirugikan sehingga ia mengajukan pemberitahuan kepada notaris Sun Smith. Selisih luas tanah tersebut dikuasai oleh Toni Wijaya dan dipagari dengan pagar yang terbuat dari seng.

Dulang Martapa yang merasa dirugikan meminta pengembalian sisa tanah yang dikuasai oleh Toni Wijaya tetapi tidak diberikan. Ia meminta Notaris Sun Smith untuk mengubah site plan kepada bentuknya yang asli akan tetapi tidak dikabulkan oleh Sun Smith. Ia kemudian meminta BPN meninjau lapangan untuk mengukur ulang tetapi tidak diberikan masuk oleh Toni Wijaya. Akhirnya ia melapor ke Poltabes Medan karena merasa telah dirugikan dan menganggap adanya kerja sama antara Notaris Sun Smith dengan pihak pembeli Toni Wijaya untuk mengubah site plan yang berbeda dengan yang dibuat sebelumnya di hadapan Notaris Roosmidar.


(19)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan batasan permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bilakah notaris dapat dikatakan telah melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana Notaris terhadap akta yang dibuatnya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui batasan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris dalam kaitannya dengan UUJN dan Kode Etik Notaris.

2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana yang dapat dimintakan kepada seorang Notaris sebagai pejabat Negara terhadap akta yang dibuatnya dengan melihat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1099K/PID/2010.

Manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan tambahan bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk perkembangan ilmu hukum pidana pada khususnya serta menambah literatur dan referensi atau bahan bacaan


(20)

bagi mahasiswa fakultas hukum dan masyarakat luas mengenai pertanggungjawaban pidana notaris terhadap akta yang dibuatnya.

2. Manfaat praktis

a. Bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah diharapkan agar skripsi ini dapat menjadi pedoman atau rujukan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana notaris terhadap akta yang dibuatnya.

b. Bagi masyarakat luas diharapkan agar skripsi ini dapat memberikan masukan dan pertimbangan untuk dapat menghindarkan diri dari kerugian sebagai pengguna jasa notaris dan dapat memberikan pelajaran serta pengalaman bagi notaris agar dalam menjalankan tugas dan kewajiban profesinya harus mematuhi ketentuan undang-undang dan kode etik profesi, menjunjung tinggi profesionalitas profesinya untuk mengurangi risiko timbulnya kesalahan terhadap pembuatan akta.

c. Bagi penegak hukum diharapkan agar skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, khususnya dalam hal menetapkan pertanggungjawaban pidana notaris terhadap akta yang dibuatnya apabila terjadi sengketa di pengadilan.

d. Bagi pemerintah dan pembuat undang-undang diharapkan agar skripsi ini dapat memberikan masukan untuk menetapkan pertanggungjawaban pidana notaris dengan tegas dan jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan agar terciptanya kepastian hukum bagi masyarakat luas yang menggunakan jasa notaris


(21)

dan meningkatkan profesionalitas kerja notaris dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

D. Keaslian Penulisan

Penulis telah melakukan daftar penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan yang diangkat oleh penullis yaitu “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA (STUDI PUTUSAN MA NO. 1099K/PID/2010).” Tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.

Skripsi ini merupakan karya asli yang berasal dari pemikiran murni penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain. Apabila ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan skripsi ini dengan skripsi yang sebelumnya di Departemen Hukum Pidana maka penulis dapat mempertanggungjawabkannya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga Toerekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang


(22)

tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana. 14

Perbuatan pidana menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Dasar daripada adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, yaitu asas yang menentukan bahwa suatu perbuatan adalah terlarang dan diancam pidana barang siapa yang melakukannya. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu juga dipidana, tergantung pada soal, apakah orang tersebut dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Seseorang yang tidak mempunyai kesalahan, walaupun telah melakukan perbuatan yang terlarang atau tercela, tentu tidak dipidana.15

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian dasar dari hukum pidana ialah perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Unsur formil dari perbuatan pidana ialah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut, sedangkan unsur materiilnya ialah bersifat melawan hukum. Unsur pertanggungjawaban pidana ialah kesalahan. Sedangkan unsur kesalahan adalah:

Hal ini sesuai dengan asas yang tidak tertulis “Geen Straf Zonder Schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan), merupakan dasar dipidananya si pembuat.

16

14

Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan

Korporasi, PT Sofmedia, Jakarta, 2010, hal 34.

15

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal 75.

16

S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cetakan Keempat, Alumni Ahaem, Jakarta, 1996, hal 163.


(23)

a. Mampu bertanggungjawab b. Sengaja atau alpa

c. Tidak ada alasan pemaaf

Menurut Roeslan Saleh, tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatan itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan.17

Hal yang pertama, yaitu mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana disebut dengan masalah kemampuan bertanggung jawab. Adanya kemampuan bertanggung jawab ditentukan oleh faktor akal, yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Bilamana akalnya sehat dan normal, artinya mampu membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan maka oleh hukum diharuskanlah kalau orang itu juga menentukan kehendak sesuai dengan yang diperbolehkan oleh hukum.18

Hal yang kedua, yaitu mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf. Mampu bertanggung jawab, kesengajaan atau kealpaan serta

17

Roeslan Saleh, Op.Cit., hal 78-79.

18


(24)

tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur kesalahan. Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Asas tiada pidana tanpa kesalahan tidaklah dianut sejak dahulu kala. Pernah juga dalam sejarahnya ada pandangan bahwa apabila seseorang melakukan suatu perbuatan pidana, dia tentu dipidana tanpa menghiraukan apakah terdapat kesalahan atau tidak di dalam diri si pembuat. Pandangan tersebut terlihat jelas pada pembentuk undang-undang dahulu ketika membentuk WvS. Kesalahan pada waktu itu diperlukan hanya pada jenis perbuatan pidana yang disebut kejahatan.

Dikatakan dalam MvT: “Pada pelanggaran, hakim tidak perlu untuk mengadakan penyelidikan apakah ada kesengajaan atau kealpaan”. Apakah terdakwa telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang?, hanya inilah yang perlu diselidiki. Berdasarkan jawabannya pula tergantung apakah dijatuhkan pidana atau tidak, pendapat demikian dinamakan ajaran fait materiel, di sini tidak dihiraukan sama sekali tentang syarat kesalahan.19

Sejarah pembuatan undang-undang hukum pidana, kesengajaan dirumuskan dalam istilah dengan sengaja atau dengan maksud, tergantung pada pada cara perumusan tindak pidana, yang pada pokoknya pengertian dari kedua istilah tersebut adalah sama. Menurut kepustakaan, pada umumnya diakui ada tiga corak kesengajaan, yaitu:20

a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk ) 19

Ibid., hal 87.

20

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 309.


(25)

Kesengajaan sebagai maksud, perbuatan itu disengaja karena memang dengan maksud mencapai suatu tujuan. Apabila seseorang pada waktu ia melakukan suatu tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang terlarang, menyadari bahwa akibat tersebut pasti timbul ataupun mungkin timbul karena tindakan yang akan atau sedang ia lakukan, sedangkan timbulnya akibat tersebut memang begoogd atau memang ia kehendaki, maka apabila kemudian benar bahwa akibat tersebut telah timbul karena perbuatannya.21

b. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids-bewustzijn)

Dapat dikatakan bahwa orang tersebut mempunyai opzet als oogmerk terhadap timbulnya akibat yang bersangkutan.

Perkataan “zeker” di dalam bahasa Belanda itu berarti “pasti”, sedangkan “bewust” itu berarti “sadar”. “Zekerheids-bewustzijn” berarti “kesadaran akan kepastian”. Perbuatan seseorang dilandasi oleh suatu kesadaran bahwa akibat lain yang tidak dikehendakinya pasti akan terjadi, maka terhadap timbulnya akibat lain tersebut ia mempunyai opzet bij zekerheids-bewustzijn atau suatu kesengajaan yang dilandasi akan kepastian (tentang timbulnya akibat lain daripada akibat yang memang ia kehendaki).22 c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn)

Kesengajaan sebagai kemungkinan, jika seseorang melakukan perbuatan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat yang lain daripada akibat yang memang ia kehendaki. Apabila kemungkinan yang ia

21

Ibid., hal 312.

22


(26)

sadari itu menjadi kenyataan, maka terhadap kenyataan tersebut, ia dikatakan mempunyai suatu opzet bij mogelijkheids-bewustzijn.23

Menurut MvT yang dimaksud dengan kesengajaan adalah menghendaki dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya. Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja harus menghendaki dan menginsyafi tindakan tersebut dan akibatnya.24

Paham determinisme menyatakan bahwa manusia tidak bebas dalam menentukan kehendaknya, tindakan manusia adalah perwujudan kehendaknya yang dikendalikan atau dipaksakan oleh kekuatan yang ada pada dirinya sendiri. Dianutnya paham bahwa kehendak itu tidak bebas, akan berarti tidak ada kesalahan pada pelaku, dan berakibat tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku.25

Mengenai kealpaan, diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-cirinya adalah:

Ajaran interdeterminisme menyatakan sebaliknya, walaupun mengakui adanya pengaruh dari keadaan lingkungan, manusia itu tetap dapat menentukan kehendaknya. Teori ini tidak berdasarkan penelitian yang dapat dibuktikan, melainkan hanya berupa fiksi atau semacam axioma saja.

26

a. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatan/otaknya secara salah. Artinya, bahwa seseorang telah melakukan suatu tindakan (aktif atau pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.

23

Ibid., hal 315.

24

S.R. Sianturi, Op.Cit., hal 164.

25

Ibid., hal 168.

26


(27)

b. Pelaku dapat memperhitungkan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti terjadi, ia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan hukum.

Perumusan atau istilah-istilah yang digunakan dalam undang-undang, yang menunjukkan kealpaan adalah karena salahnya, kealpaan, harus dapat menduga dan ada alasan kuat baginya untuk menduga. MvT menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat:27

a. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan b. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan

c. Kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan

Terakhir adalah tidak ada alasan pemaaf juga merupakan suatu syarat dari adanya kesalahan. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa. Oleh undang-undang sendiri dalam beberapa ketentuan ada dirumuskan, hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan pidana, suatu perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik tidak dipidana. Alasan-alasan ini lazim disebut dengan alasan yang menghapuskan pidana (strafuitsluitings gronden).

Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka

27


(28)

dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai alasan-alasan pembenar. Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya ia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan tidak dicelanya orang tersebut disebut dengan alasan-alasan pemaaf. 28

2. Pengertian Notaris, Peraturan Jabatan Notaris, dan Kode Etik Notaris

2.1. Pengertian Notaris

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Wewenang notaris lebih luas dicantumkan dalam Pasal 15 UUJN, yaitu notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2.2. Peraturan Jabatan Notaris

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan notaris yang kini berlaku sebagian besar masih didasarkan pada peraturan

28


(29)

perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:29 a. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860: 3) sebagaimana

telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 101;

b. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

c. Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);

d. undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan

e. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah Jabatan Notaris.

Peraturan tentang notaris yang sekarang ini berlaku ialah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai pengganti dari Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) atau Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Undang-undang ini merupakan unifikasi hukum yang mengatur secara menyeluruh mengenai notaris dalam satu undang-undang. Undang-undang ini mengatur secara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh notaris, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris mampu menjamin kepastian,

29


(30)

ketertiban dan perlindungan hukum. Mengingat akta notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh. UUJN merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris dan masyarakat yang membutuhkan jasa notaris.

2.3. Kode Etik Notaris

Menurut Abdul Kadir Muhammad, kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik profesi dapat berubah dan diubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga anggota kelompok profesi tidak akan ketinggalan zaman.30

Secara etimologis, moral diartikan sama dengan etika yang berupa nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan manusia atau kelompok manusia dalam mengatur perilakunya. Nilai-nilai dan norma-norma itu menjadi ukuran moralitas perbuatan. Profesi menuntut pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Franz Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum, yakni sebagai berikut:31

a. Kejujuran

Kejujuran adalah dasar utama. Sikap yang terdapat dalam kejujuran ialah sikap terbuka yaitu berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan melayani secara cuma-cuma, dan sikap wajar yaitu berkenaan dengan perbuatan yang

30

Abdul Kadir Muhammad, dalam Supriadi, Etika &Tanggung Jawab Profesi Hukum di

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 23.

31


(31)

tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras.

b. Otentik

Otentik artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Contohnya, tidak menyalahgunakan wewenang, mendahulukan kepentingan klien, tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat.

c. Bertanggung jawab

Dalam menjalankan tugasnya, profesional hukum wajib bertanggung jawab, artinya bersedia untuk melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya, bertindak secara proporsional tanpa membeda-bedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo) dan bersedia untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewajibannya.

d. Kemandirian moral

Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh dan tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi disekitarnya, melainkan membentuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri.

e. Keberanian moral

Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung risiko konflik. Contohnya, menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, dan cara-cara penyelesaian melalui jalan yang tidak sah.


(32)

Kode etik notaris perlu dirumuskan secara tertulis, hal ini disebabkan oleh:32 a. Sebagai sarana control

b. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain c. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik

Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi. Kode etik profesi telah menentukan standardisasi kewajiban profesional anggota kelompok profesi. Pemerintah atau masyarakat tidak perlu lagi campur tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya.33

Kode Etik Notaris dan selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasar Keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai notaris, termasuk di Kode etik profesi merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi yang bersangkutan. Kode etik dapat mencegah kesalahpahaman dan konflik, dan sebaliknya berguna sebagai bahan refleksi nama baik profesi.

32

Ibid., hal 78.

33


(33)

dalamnya Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti khusus.34

Kedudukan kode etik bagi notaris bukan hanya karena notaris merupakan suatu profesi sehingga perlu diatur dengan suatu kode etik, melainkan juga karena sifat dan hakikat dari pekerjaan notaris yang sangat berorientasi pada legalisasi, Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa kode etik dibuat oleh perkumpulan/organisasi bagi para notaris yang disebut Ikatan Notaris Indonesia (INI). INI berdiri sejak tanggal 1 Juli 1908 dan diakui sebagai badan hukum berdasarkan Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) tanggal 5 September 1908 Nomor 9, merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum di Indonesia.

Kode etik hanya berlaku efektif apabila dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam lingkungan profesi notaris itu sendiri. Kode Etik Notaris menjadi tolok ukur perbuatan anggota kelompok profesi notaris dan merupakan upaya pencegahan terhadap perbuatan yang tidak etis bagi anggotanya. Kode etik dilandasi oleh kenyataan bahwa notaris sebagai pengemban profesi adalah orang yang memiliki keahlian dan keilmuan dalam bidang kenotariatan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang kenotariatan.

34


(34)

sehingga dapat menjadi fundamen hukum utama tentang status harta benda, hak, dan kewajiban seorang klien yang menggunakan jasa notaris tersebut.35

a. Etika notaris dalam menjalankan tugasnya

Kode etik berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari (Pasal 2 Kode Etik Notaris). Kode Etik Notaris ditetapkan di Bandung pada tanggal 28 Januari 2005, merupakan prinsip-prinsip etika yang harus diikuti oleh notaris di Indonesia, berisikan pengaturan tentang hal-hal sebagai berikut:

b. Kewajiban-kewajiban profesional notaris c. Etika tentang hubungan notaris dengan kliennya d. Etika tentang hubungaan dengan sesama rekan notaris e. Larangan-larangan bagi notaris

3. Pengertian Akta

Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.36

Akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dsb) resmi yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh notaris atau pejabat pemerintah yang berwenang.37

35

Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,

Notaris, Kurator, dan Pengurus), Cetakan Ke I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal 133

36

Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Edisi Ketujuh, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2006, hal 149.

37

Sudarsono, Kamus Hukum, PT Asdi Mahasatya, Jakarta, 2007, hal 25

Walaupun ada pembagian akta ke dalam akta otentik dan akta di bawah tangan, namun dari


(35)

definisi di atas sudah terlihat adanya sifat otentik dari suatu akta. Yaitu dalam pembuatannya disaksikan dan disahkan oleh notaris atau pejabat yang berwenang.

Menurut Soedikno Mertokusumo, akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.38

Akta terdiri dari akta otentik dan akta di bawah tangan. Skripsi ini membatasi pembahasannya pada pengertian akta otentik, karena sesuai dengan batasan pokok permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai pertanggungjawaban pidana notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta. Hal ini juga sesuai dengan batasan pengertian yang diberikan undang-undang mengenai akta notaris ialah “akta otentik” yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan undang-undang.

Soedikno memberikan definisi yang lebih umum, menurutnya yang terpenting dalam suatu akta ialah tanda tangan pihak-pihak yang mengikatkan diri. Fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau mengindividualisir sebuah akta, dengan tujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain.

39

Secara teoritis, akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Secara dogmatis (menurut hukum positif), akta otentik adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata: suatu akta otentik ialah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh

38

Soedikno Mertokusumo, Loc.Cit.

39


(36)

undang-undang (welke in de wettelijke vorm is verleden) dan dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum (door of ten overstaan van openbare ambtenaren) yang berkuasa untuk itu (daartoe bevoegd) di tempat di mana akta dibuatnya.40

Berdasarkan penjelasan di atas, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata:41

a. Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik.

b. Namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, dengan syarat apabila akta itu ditandatangani para pihak

Otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat saja. Di samping itu cara membuat akta otentik itu harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Fungsi terpenting daripada akta adalah sebagai alat bukti. Tentang kekuatan pembuktian akta dapat dibedakan atas:42

40

Soedikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 153.

41

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Penyitaan, Pembuktian,

dan Putusan Pengadilan, Cetakan Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 566.

42


(37)

a. Kekuataan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) b. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) c. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht)

Sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak seperti akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Kekuatan pembukt ian lahir ini berlaku bagi kepentingan dan terhadap setiap orang tidak terbatas bagi para pihak saja.

Kekuataan pembuktian formil didasarkan atas benar tidaknya pernyataan yang dibuat oleh yang bertanda tanagan di dalam akta tersebut. Kekuatan pembuktian formil memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.

Akta yang dibuat oleh pejabat tidak lain hanya untuk membuktikan kebenaran apa yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh pejabat. Apabila pejabat mendengar keterangan pihak yang bersangkutan, maka itu hanyalah berarti telah pasti bahwa pihak yang bersangkutan menerangkan demikian, terlepas dari kebenaran isi keterangan tersebut. Kebenaran dari pernyataan pejabat serta bahwa akta itu dibuat oleh pejabat adalah pasti bagi siapapun, maka pada umumnya akta pejabat tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil.43

43


(38)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk meneliti hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.44

Penelitian doctrinal dilakukan tidak sebatas melakukan inventarisasi hukum positif, akan tetapi juga memberikan koreksi terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Kemudian menguji apakah postulat normatif dapat atau tidak dapat diterapkan untuk sebuah perkara konkrit.

Penelitian ini disebut juga dengan penelitian doctrinal (doctrinal reseacrh).

45

2. Sumber Data

Penelitian dilakukan dengan menganalisis putusan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana notaris terhadap akta yang dibuatnya yaitu studi Putusan MA No. 1099K/PID/2010. Hal ini dilakukan untuk melihat penerapan hukum positif terhadap perkara konkrit yang terjadi di masyarakat terutama terhadap pertimbangan hakim yang menjadi dasar menjatuhkan putusan.

Data yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut mencakup:

44

Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum, hal 53 45


(39)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan dibuat oleh pihak-pihak yang berwenang. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Undang-Undang.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya.46

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah kamus hukum.

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana notaris, dan putusan MA No. 1099K/PID/2010, majalah dan internet yang berkaitan dengan permasalahan yang telah dipaparkan penulis pada perumusan masalah di atas.

3. Metode Pengumpulan Data

Keseluruhan data di dalam skripsi ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian dengan berbagai bahan bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, pendapat para sarjana dan bahan lainya yang berkaitan dengan skripsi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan konsep, teori dan doktrin serta pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan telaahan penelitian ini.

46

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan


(40)

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data yang sering disebut penelitian yang holistik. Dikatakan holistik karena mencari informasi sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya tentang aspek yang diteliti. Ketentuan bahwa data-data yang berbeda tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dari objek yang diteliti.47

G. Sistematika Penulisan

Gambaran secara keseluruhan mengenai skripsi ini akan dijabarkan penulis dengan cara menguraikan sistematika penulisannya yang terdiri atas 4 (empat) bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh secara sistematis terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Batasan Pelanggaran Etik Notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Memberikan penjelasan mengenai kedudukan notaris dan batasan pelanggaran yang dapat dilakukan notaris dalam UUJN dan Kode Etik Notaris, sejauh mana perbuatan notaris dapat dikatakan telah melanggar ketentuan UUJN dan Kode Etik Notaris, serta

47


(41)

fungsi Majelis Pengawas Notaris dan Dewan Kehormatan Notaris dalam menentukan bahwa notaris telah terbukti melakukan pelanggaran untuk kemudian dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya dan diteruskan kepada proses acara di pengadilan.

Bab III Pertanggungjawaban Pidana Notaris terhadap Akta yang dibuatnya. Memberikan penjelasan mengenai masalah perbuatan pidana dan teori pertanggungjawaban pidana, subjek hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, pertanggungjawaban pidana notaris terhadap akta yang dibuatnya, serta mekanisme pertanggungjawaban pidana notaris yang terbukti melakukan perbuatan pidana.

Bab IV Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Notaris San Smith dalam kasus Putusan MA No. 1099K/PID/2010. Menberikan analisis hukum terhadap kasus dengan melihat pertimbangan hukum dan penerapan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan, mengetahui teori-teori apa yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan dan menetapkan pertanggungjawaban pidana notaris.

Bab V Kesimpulan dan Saran. Merupakan bagian akhir yang berisikan kesimpulan dan saran dari penulis atas hasil penelitian dan kaitannya dengan masalah yang dirumuskan.


(42)

BAB II

BATASAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN NOTARIS DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK

NOTARIS

A. Kedudukan Notaris Selaku Pejabat Publik Terhadap Akta yang Dibuat Sesuai dengan Syarat Formil Ditinjau dari UUJN dan Kode Etik Notaris 1. Notaris Sebagai Pejabat Publik

Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) dan Pasal 1868 KUHPdt.48

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, bahwa notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki para pihak atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan akta tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur pembuatan akta notaris, sehingga Jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum tidak perlu lagi diberi sebutan lain yang berkaitan dengan kewenangan notaris. Jabatan notaris

Pasal 1 PJN menyatakan bahwa:

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.

Pasal 1868 KUHPdt menyatakan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.

48

Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, (Selanjutnya disebut Buku II), hal 15.


(43)

diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai peristiwa hukum.

Pemberian kualifikasi notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya semula sebagai Pegawai Negeri.49

Wet op het Notarisambt yang mulai berlaku tanggal 3 April 1999, Pasal 1 huruf a menyebutkan bahwa: “Notaris: de ambtenaar”, notaris tidak lagi disebut sebagai Openbaar Ambtenaar sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Wet op het Notarisambt yang lama. Notaris sekarang ini tidak dipersoalkan apakah sebagai Pejabat Umum atau bukan, dan perlu diperhatikan bahwa istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini tidak bermakna umum, tetapi publik. Ambt pada dasarnya adalah jabatan publik, sehingga jabatan notaris adalah Jabatan Publik tanpa perlu atribut Openbaar.50

Apabila ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap

49

Ibid., hal 17. 50


(44)

ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUJN, maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut harus dibaca sebagai Pejabat Publik. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak sama dengan pejabat publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final51 serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan para pihak yang dituangkan dalam akta notaris yang dibuat di hadapan atau oleh notaris.52

Notaris merupakan suatu Jabatan (publik) mempunyai karakteristik, yaitu:53

a. Sebagai Jabatan

UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN.

Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara, menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau

51

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

52

Habib Adjie, Buku II, Op.Cit., hal 21. 53


(45)

tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.

b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya. Sebagai batasan agar jabatannya dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Apabila seseorang pejabat (notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UUJN.

c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah

Pasal 2 UUJN menyatakan bahwa notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri (pemerintah), dalam hal ini menteri yang diberi tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Meskipun notaris secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti notaris menjadi subordinasi (bawahan) yang mengangkatnya. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:

1) Bersifat mandiri (autonomous), 2) Tidak memihak siapapun (impartial),

3) Tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau pihak lain.


(46)

Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya (Pasal 36 ayat (1) UUJN). Notaris juga wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu (Pasal 37 UUJN).

Jabatan notaris bukan suatu jabatan yang digaji, notaris tidak menerima gajinya dari pemerintah sebagaimana halnya pegawai negeri, akan tetapi dari mereka yang meminta jasanya. Notaris adalah pegawai penerintah tanpa gaji pemerintah, notaris dipensiunkan oleh pemerintah tanpa mendapat pensiun dari pemerintah.54

e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat

Kehadiran notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan akta otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat, masyarakat dapat menggugat secara perdata notaris, dan menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, hal ini merupakan bentuk akuntabilitas notaris kepada masyarakat.

2. Hubungan Notaris dengan Para Penghadap

Penghadap datang ke notaris agar tindakan atau perbuatan hukumnya diformulasikan ke dalam akta otentik sesuai dengan kewenangan notaris,

54

G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan Ketiga, P.T. Gelora Aksara, Jakarta, 1992, hal 36.


(47)

kemudian notaris membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, maka dalam hal ini memberikan landasan kepada notaris dan para penghadap telah terjadi hubungan hukum. Notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut telah sesuai menurut aturan hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan yang bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut.55

Para penghadap datang dengan kesadaran sendiri dan mengutarakan keinginannya di hadapan notaris, yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta notaris sesuai aturan hukum yang berlaku, dan suatu hal yang tidak mungkin notaris membuatkan akta tanpa ada permintaan dari siapapun. Hubungan hukum antara notaris dan penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, dengan karakter:56

a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam bentuk pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu;

b. Mereka yang datang ke hadapan notaris, dengan anggapan bahwa notaris mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik;

c. Hasil akhir dari tindakan notaris berdasarkan kewenangan notaris yang berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri;

d. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan.

55

Habib Adjie, Buku I, Op.Cit., hal 16-17. 56


(48)

Pasal 39 ayat (3) huruf c menyebutkan bahwa “penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan padanya ...”. Pengertian dikenal bukan dalam arti kenal akrab, tetapi kenal yang dimaksud dalam arti yuridis yaitu ada kesesuaian antara nama dan alamat yang disebutkan oleh yang bersangkutan di hadapan notaris dan juga dengan bukti-bukti atau identitas atas dirinya yang diperlihatkan kepada notaris. Hal lain yang harus diperhatikan ialah bahwa yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk melakukan suatu tindakan hukum yang akan disebutkan dalam akta.57 Adanya pernyataan di dalam akta bahwa “menghadap kepada saya, tuan A” telah dapat diketahui bahwa penghadap dikenal oleh notaris sebagai tuan A. Di bawah ini diberikan beberapa contoh dari hal-hal yang dapat terjadi di dalam praktek:58

a. Para penghadap dikenal oleh notaris, hal mana oleh notaris dinyatakan dalam akta yang dibuatnya. Hal sedemikian tidak terdapat pelanggaran, orang-orang yang disebut dalam akta itu dianggap benar-benar hadir di hadapan notaris, sampai dapat dibuktikan sebaliknya.

b. Di dalam akta dinyatakan, bahwa para penghadap dikenal oleh notaris, tetapi ternyata notaris melakukan kekhilafan mengenai identitas dari para penghadap, artinya notaris tidak mengenal para penghadap. Sekalipun undang-undang tidak menyatakannya secara tegas, akta itu tidak mempunyai kekuatan otentik.

57

Ibid., hal 148. 58


(49)

c. Notaris tidak mengenal para penghadap, tetapi diperkenalkan kepadanya sesuai dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, dalam hal ini tidak terdapat pelanggaran.

d. Notaris tidak mengenal para penghadap dan mereka diperkenalkan kepada notaris oleh dua orang saksi pengenal, yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang untuk menjadi saksi. Akibatnya ialah akta itu tidak mempunyai kekuatan otentik

e. Di dalam akta tidak disebutkan secara tegas tentang pengenalan atau mengenai adanya perbuatan memperkenalkan. Akibatnya akta hanya memiliki kekuatan sebagai akta di bawah tangan.

Secara prinsip, notaris bersifat pasif melayani para pihak yang menghadap kepadanya. Notaris hanya bertugas mencatat atau menuliskan dalam akta apa-apa yang diterangkan para pihak, tidak berhak mengubah, mengurangi atau menambah apa yang diterangkan para penghadap.59 Menurut Yahya Harahap, sikap yang demikian dianggap terlampau kaku, oleh karena itu pada masa sekarang muncul pendapat bahwa notaris memiliki kewenangan untuk:60

a. Mengkonstantir atau menentukan apa yang terjadi di hadapan matanya;

b. Oleh karena itu, dia berhak mengkonstantir atau menentukan fakta yang diperolehnya guna meluruskan isi akta yang lebih layak.

Sifat pasif ditinjau dari segi rasio tidak mutlak tetapi dilenturkan secara relatif dengan acuan penerapan bahwa pada prinsipnya notaris tidak

59

Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal 27. 60


(50)

berwenang menyelidiki kebenaran keterangan yang dikemukakan para pihak. Perihal keterangan yang disampaikan para pihak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan, maka notaris harus menolak membuat akta yang diminta.61

Hubungan notaris dengan para penghadap tidak dapat dipastikan atau ditentukan pada awal notaris dan para penghadap berhubungan, karena pada saat itu belum terjadi permasalahan apapun. Menentukan bentuk hubungan hukum antara notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1869 KUHPdt, bahwa akta otentik terdegradasi menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dengan alasan: (1) tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau (2) tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan dalam membuat akta, atau (3) cacat dalam bentuknya, atau karena akta notaris dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk menggugat notaris sebagai suatu perbuatan melawan hukum.62

Perbuatan melawan hukum dapat terjadi satu pihak merugikan pihak lain tanpa adanya suatu kesengajaan tapi menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Notaris dalam praktiknya melakukan pekerjaan berdasarkan kewenangannya atau dalam ruang lingkup tugas jabatan sebagai notaris berdasarkan UUJN. Sepanjang notaris melaksanakan jabatannya sesuai UUJN dan telah memenuhi semua tata cara dan persyaratan dalam pembuataan akta,

61

Ibid.

62


(51)

dan yang bersangkutan telah pula sesuai dengan para pihak yang menghadap notaris, maka tuntutan dalam bentuk perbuatan melawan hukum tidak mungkin dilakukan.63

3. Hubungan Notaris dengan Akta yang Dibuatnya

Ditinjau dari segi pembuatan akta otentik, Pasal 1868 KUHPdt mengenal dua bentuk cara mewujudkannya:64

a. Dibuat oleh pejabat

Bentuk pertama, dibuat oleh pejabat yang berwenang. Biasanya akta otentik yang dibuat oleh pejabat meliputi akta otentik di bidang hukum publik dan dibuat oleh pejabat yang bertugas di bidang eksekutif yang berwenang untuk itu, yang disebut pejabat tata usaha negara. Umumnya akta otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan permohonan dari yang berkepentingan, tetapi ada juga tanpa permintaan dari yang berkepentingan. Pembuatan akta tersebut dikaitkan dengan fungsi tertentu seperti pembuatan berita acara atau putusan pengadilan, dibuat berdasar pelaksanaan fungsi penegakan hukum yang didasarkan undang-undang.

b. Dibuat di hadapan pejabat

Akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat pada umumnya:

1) Meliputi hal-hal yang berkenaan dalam bidang hukum perdata dan bisnis

2) Biasanya berupa akta yang berisi dan melahirkan persetujuan bagi para pihak yang datang menghadap dan menandatanganinya

63

Ibid., hal 18. 64


(52)

3) Para pihak yang berkepentingan datang menghadap pejabat yang berwenang, dan kepada pejabat itu mereka sampaikan keterangan serta meminta agar keterangan itu dituangkan dalam bentuk akta.

Pasal 1868 KUHPdt merupakan sumber untuk otensitas akta notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut:65

1) Akta harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum.

2) Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. 3) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

Akta yang dibuat oleh notaris dalam praktek notaris disebut Akta Relaas yang berisi uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Akta yang dibuat dihadapan notaris, dalam praktek notaris disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau diceritakan di hadapan notaris. Pembuatan akta baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama dalam pembuatan akta notaris yaitu harus ada keinginan atau kehendak dan permintaan para pihak, jika keinginan para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud.66

65

Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat

Publik, Refika Aditama, Bandung, 2009, (Selanjutnya disebut Buku III), hal 56-57.

66


(53)

Akta dibuat berdasarkan bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Lahirnya UUJN menegaskan keberadaan akta notaris dan mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan kewenangan notaris membuat akta secara umum, dengan batasan:67

a. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang. b. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik

mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.

c. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. Notaris membuat akta untuk setiap orang, tetapi agar menjaga netralitas notaris dalam pembuatan akta, ada batasan yang ditentukan dalam Pasal 52 UUJN.

d. Berwenang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat keduduka n dan wilayah jabatan notaris.

e. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan karakter yuridis akta notaris yaitu:68

a. Akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan undang-undang (UUJN).

67

Habib Adjie, Buku III, Op.Cit., hal 56. 68


(54)

b. Akta notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan keinginan notaris.

c. Meskipun dalam akta notaris tercantum nama notaris, tapi notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.

d. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat dalam akta notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut.

e. Pembatalan daya ikat akta notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.

Notaris membuat akta harus sesuai dengan syarat formil dan materiil pembuatan akta, yaitu:69

a. Syarat formil:

1) Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini notaris. 2) Dihadiri para pihak. (Pasal 39 UUJN)

3) Kedua belah pihak dikenal atau diperkenalkan kepada notaris. (Pasal 39 ayat (2) UUJN )

4) Dihadiri oleh dua orang saksi. (Pasal 40 ayat (1) UUJN)

69


(55)

5) Menyebut identitas notaris (pejabat), penghadap, dan para saksi. (Pasal 38 ayat (2), (3), dan (4) UUJN)

6) Menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta. (Pasal 38 ayat (2) UUJN)

7) Notaris membacakan akta di hadapan para penghadap. (Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN)

8) Ditandatangani oleh semua pihak. (Pasal 44 UUJN)

9) Penegasan pembacaan, penerjemahan dan penandatanganan pada bagian penutup akta. (Pasal 45 ayat (3) UUJN)

b. Syarat materiil:

1) Berisi keterangan kesepakatan para pihak. 2) Isi keterangan perbuatan hukum.

3) Pembuatan akta sengaja dimaksudkan sebagai alat bukti.

Kedudukan notaris berkaitan dengan akta yang dibuatnya, parameternya harus kepada prosedur pembuatan akta notaris, dalam hal ini UUJN.70

70

Habib Adjie, Buku II, Op.Cit., hal 69.

Apabila semua prosedur telah dilakukan (telah memenuhi syarat formil dan materil), maka akta yang bersangkutan tetap mengikat mereka yang membuatnya di hadapan notaris. Memidanakan notaris dengan alasan-alasan pada aspek formil, tidak akan membatalkan akta notaris yang dijadikan sebagai objek perkara pidana tersebut. Aspek materiil dari akta notaris, segala hal yang tertuang harus dinilai benar sebagai pernyataan notaris dalam akta relaas dan harus dinilai sebagai pernyataan para pihak dalam akta pihak, hal


(56)

apa saja yang harus ada secara materiil dalam akta harus mempunyai batasan tertentu. Menentukan batasan seperti itu tergantung dari apa yang dilihat, didengar oleh notaris atau yang dinyatakan, diterangkan oleh para pihak di hadapan notaris.

B. Batasan Pelanggaran Dalam UUJN dan Kode Etik Notaris

Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum yang melanggar ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban sekaligus sebagai anggota dari Perkumpulan/organisasi Ikatan Notaris Indonesia memiliki kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya. Kewajiban dan larangan notaris diatur dalam UUJN (Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17) serta Kode Etik Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) sebagai berikut:

Pasal 16

(1) Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban:

a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protocol notaris;

c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undnag-undang menentukan lain;

f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;


(57)

g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

h. Membuat daftar yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;

i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf Hak tanggungan atau daftar nihil yang berkenaan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap

akhir bulan;

k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambing Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris;

m. Menerima magang notaris. Pasal 17

Notaris dilarang:

a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. Merangkap sebagai pegawai negeri;

d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat;

f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau badan usaha swasta;

g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan notaris;

h. Menjadi notaris pengganti;

i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan jabatan notaris.

Notaris sebagai anggota organisasi profesi notaris memiliki kewajiban dan larangan yang diatur dalam suatu kode etik dan memiliki sanksi atas pelanggaran yang dilakukan terhadapnya. Kewajiban notaris diatur dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris, yaitu:

Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib: 1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Notaris dapat dikatakan telah melanggar ketentuan UUJN dan Kode Etik Notaris dan dapat dijatuhi pidana apabila notaris telah terbukti secara sengaja melakukan tindakan di luar batasan-batasan sebagai berikut: Pertama, adanya tindakan hukum notaris dari aspek lahir, formil dan materil akta yang disengaja dan direncanakan bahwa akta yang dibuat notaris bersama-sama (sepakat) para penghadap untuk dijadikan dasar untuk melakukan tindak pidana. Kedua, adanya tindakan hukum dari notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai menurut instansi yang berwenang. Ketiga, tindakan tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris. Penjatuhan pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran di dalam UUJN dan Kode Etik Notaris, juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP.

2. Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung jawab, adanya unsur kesalahan pada diri pelaku dan tidak adanya alasan-alasan yang dapat menghapuskan pidana. Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya sepanjang perbuatan notaris melanggar


(2)

pasal-pasal tertentu dalam UUJN atau KUHP dan memenuhi syarat-syarat pertanggungjawaban pidana tersebut di atas. Kasus putusan MA No. 1099K/PID/2010 menetapkan pertanggungjawaban pidana notaris, bahwa adanya notaris telah terbukti berkerja sama dengan salah satu pihak yang menghadap untuk menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam Akta No. 165. Terdapat pertentangan antara dakwaan, pertimbangan hukum dan amar putusan dalam putusan judex factie. Notaris tidak dapat dikatakan sebagai orang yang “menyuruh melakukan” suatu tindak pidana karena notaris hanya mencatatkan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para penghadap. Kalaupun terbukti adanya kerja sama, maka notaris berperan sebagai orang yang “turut melakukan” suatu tindak pidana. Sikap majelis hakim dalam memutuskan kasus ini belum tepat, karena dalam menguraikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan tidak dilakukan dengan cermat dan tidak memperhatikan fakta-fakta di persidangan dan kedudukan notaris sebagai pejabat publik.

B. Saran

1. Perlu diperhatikan bahwa notaris tidak harus bersikap pasif dengan mengandalkan pada kebenaran formil dari akta yang dimintakan oleh para penghadapnya. Notaris perlu bersikap lebih hati-hati, teliti dan aktif dalam mencari kebenaran materill dalam pembuatan akta-aktanya untuk menghindari terjadinya sengketa terhadap akta yang telah dibuatnya.

2. Perlu diperhatikan bahwa notaris harus memenuhi syarat-syarat formil dan materil dalam pembuatan akta, meskipun notaris hanya mencatatkan apa-apa


(3)

yang diterangkan para penghadap, notaris harus memeriksa keterangan-keterangan atau dokumen-dokumen yang diberikan oleh para penghadap tersebut. Apabila terdapat kekurangan atau kejanggalan di dalamnya maka notaris harus memberikan penjelasan dan menolak untuk membuatkan akta. Hal ini dilakukan untuk menjaga profesionalitas notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat publik dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.

3. Perlu adanya pengetahuan dan kesadaran bagi penegak hukum untuk memahami dunia notaris dalam hal melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan agar mematuhi ketentuan UUJN khusunya Pasal 66 UUJN tentang tata cara pemanggilan notaris. Pemeriksaan terhadap notaris dan penyitaan minut akta harus melalui izin dari MPD.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A.R, Putri, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator Tugas-Tugas

Jabatan Notaris yang Berimplikasi Perbuatan Pidana, PT.

Sofmedia, Jakarta, 2011.

Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Cetakan Ketiga, Refika

Aditama, Bandung, 2011.

---, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan),

CV Mandar Maju, Bandung, 2009.

---, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, 2009.

---, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, Refika Aditama, Bandung, 2011

Anwar, H.A.K. Moch., Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Jilid I, Alumni, Bandung, 1982.

Budiono, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 2008.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008.

---, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

---, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

---, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008.

Fuady, Munir, Profesi Mulia (Etika dan Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa,

Advokat, Notaris, Kurator dan Pengurus), Cetakan ke-1, PT. Citra


(5)

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

---, Hukum Acara Pidana, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cetakan Ke-10, Sinar

Grafika, Jakarta, 2010.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2010.

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan ke-3, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Marlina, Peradilan Pidana Anak Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, PT Refika Aditama, Bandung, 2009.

Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-7, Cetakan ke-1, Yogyakarta, 2006.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Muhammad, Abdulkadir, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan

Permasalahannya, PT. Alumni, Bandung, 2007.

Mulyadi, Mahmud, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT Sofmedia, Jakarta, 2010.

Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993.

Pramudya, Kelik, Ananto Widiatmoko, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010.

Rahardjo, Satcipto, Ilmu Hukum, Cetakan ke-6, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.


(6)

Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1983.

Schaffmeister, D., N. Keijzer, dkk, Hukum Pidana, PT. Citra Adittya Bakti, Bandung, 2007.

Sianturi, S.R., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cetakan ke-4, Alumni Ahaem, Jakarta, 1983.

Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987. Sudarsono, Kamus Hukum, PT. Asdi Mahasatya, Jakarta, 2007.

Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Edisi I, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1994. Tobing, G.H.S. Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan Ketiga, PT Gelora

Aksara, Jakarta, 1992.

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT Ichtiar Baru, Jakarta, 1983.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Internet

pukul 19.22 WIB.

Bahan Perkuliahan

Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum, Tahun 2010


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perkawinan Poligami Tanpa Persetujuan Istri Yang Sah (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 330K/Pid/2012)

2 54 126

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam pemalsuan Akta Otentik (Studi tentang putusan Mahkamah Agung republik Indonesia Nomor:1014k/Pid/2013) Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam pemalsuan Akta Otentik (Studi tentang putusan Mahkamah Agung republik Ind

0 1 11

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 17

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 2

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 17

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 5 62

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 9

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA A. Jabatan Notaris - Tanggung Jawab Werda Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya

6 44 38