Penentuan Lc50 Ekstrak Etanol Akar Tuba [Derris elliptica(Roxb.)]Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Uraian Tumbuhan
Tumbuhan akar tuba[Derris elliptica (Roxb.)] tersebar luas di Indonesia,

biasanya banyak tumbuh liar di hutan-hutan, di ladang-ladang yang sudah di
tinggalkan. Tumbuhan tuba memiliki tingi 5-10 meter, ranting berwarna coklat
tua, daun tersebar bertangkai pendek, memanjang sampai bulat, sisi bawah hijau
keabu-abuan, kelopak berbentuk cawan,biji 1-2, biasanya berbuah pada bulan
April-Desember (Sitepu, 1995).
2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Sistematikatumbuhan akar tuba (Derris elliptica (Roxb.)) sebagai
berikut(Herbarium medanense, 2016):
Kingdom

: Plantae

Divisi


: Spermatophyta

Class

: Dicotyledoneae

Ordo

: Fabales

Famili

: Papilionaceae

Genus

: Derris

Spesies


: Derris elliptica (Roxb).

Nama Lokal

: Tuba

2.1.2 Nama Daerah
Nama daerahtanaman tuba adalah tuba jenuh (Karo), tuba (Toba), tuba
(Sunda), tuba jenong (Simalungun), tuba (Jawa) (Sitepu, 1995).

5
Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Bagian yang Digunakan
Bagian yang digunakan adalah akar(Ryzki, 2014).
2.1.4 Penggunaan Tumbuhan
Akar tuba[Derris elliptica (Roxb.)] digunakan sebagai racun panah, racun
ikan, skabicid, dan insektisida (Ryzki, 2014).
2.1.5 Kandungan Kimia Akar Tuba

Tumbuhan akar tuba ini memiliki kandungan rotenone (C23H22O6),
rotenone ini sejenis racun kuat untuk ikan dan serangga (insektisida) sehingga
menyebabkan ikan atau serangga bisa dikendalikan.Serangga bisa dikendalikan
baik dalam ruangan maupun diluar ruangan. Disamping rotenone sebagai bahan
bio aktif utama, bio aktif lain yang terdapat pada tumbuhan akar tuba [Derris
elliptica(Roxb.)]

adalah

deguelin,

elliptone,

dan

toxicarol

(Kardinan,

2000).Kandungan senyawa rotenone yang terdapat pada bagian akar tumbuhan

tuba, yaitu 0,3-12%,rotenonerelatif aman bagi kesehatan manusia. Oleh karena
itu, ikan nila yang telah diracun oleh akar tuba aman untuk di konsumsi manusia
(Kardinan,2001).

2.2 Ekstraksi
Ekstraksiberasal dari kata “extrahere”, “to draw out”, yaitu suatu cara
untuk menarik satu atau lebih zat dari asalnya. Umumnya zat berkhasiat tersebut
dapat ditarik, namun khasiatnya tidak berubah. Tujuan utama ekstraksi adalah
mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat
pengobatan dari zat-zat yang tidak dibutuhkan, agar lebih mudah dipergunakan
(kemudahan diabsorpsi,rasa,dan pemakaian)dandisimpandibandingkan
6
Universitas Sumatera Utara

simplisia asal, dengan tujuan pengobatan yang lebih terjamin (Syamsuni, 2006).
Hasil ekstraksi disebut dengan ekstrak, yaitu sediaan pekat yang diperoleh
dengan mengektraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan. Simplisia yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah
bahan alamiah yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali

dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (DepkesRI., 2000).
Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan yaitu cara dingin
dan cara panas.
2.2.1 Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi
menggunakan

adalah
pelarut

penyarian
disertai

simplisia

sesekali

dengan


pengadukan

cara
pada

perendaman
temperatur

kamar.Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus menerus disebut
maserasikinetik sedangkan yang dilakukan panambahan ulang pelarut setelah
dilakukan

penyaringan

terhadap

maserat

pertama


dan

seterusnya

disebutremaserasi.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator
dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang
umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap
pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat
(Depkes RI., 2000).

7
Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Cara Panas
a. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia pada temperatur titik didihnya
menggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana pelarut

akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.
b. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50°C.
c. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru,
dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan
terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel.
d. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 15 menit.
e. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 30 menit (Depkes RI., 2000).

2.3 Pestisida
Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama, baik insekta, jamur
maupun


gulma,

sehingga pestisida dikelompokkan

menjadi:

Insektisida

(pembunuh insekta), Fungisida (pembunuh jamur), dan Herbisida (pembunuh

8
Universitas Sumatera Utara

tanaman pengganggu/gulma). Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan
memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga
digunakan dirumah tangga untuk memberantas nyamuk, lalat, kecoa, dan berbagai
serangga penganggu lainnya, akan tetapi pestisida ini secara nyata banyak
menimbulkan keracunan pada makhluk hidup. Bermacam jenis pestisida telah
diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan
berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga.

Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka penggunaan pestisida
perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia maupun
makhluk hidup lainnya (Djunaedy, 2009).
Penggunaan pestisida kimia yang berlebihan akan meningkatkan biaya
pengendalian, mempertinggi kematian organisme non target serta dapat
menurunkan kualitas lingkungan. Oleh karena itu penggunaan pestisida alami
merupakan alternatif yang saat ini digunakan untuk mengurangi dampak pestisida
kimia

terhadap

lingkungan

sebagai

contoh

akar

tuba


[Derris

elliptica(Roxb.)](Kardinan, 2005).
Pestisidayangmasuk dalam jumlah besar dapat bersifat racun bagi biota
yanghidup di perairan, misalnyaikan-ikan. Pestisida secara langsung maupun tidak
langsung akan menganggu kualitas air sehingga kelangsungan hidup dan
pertumbuhan ikan juga akan terganggu (Rudiyanti dan Ekasari, 2009).
Pestisida nabati diartikan sebagai pestisida yang bahan dasarnya berasal
daritumbuhan karena terbuat dari bahan-bahanalami maka jenis pestisida ini
mudah teruraidi alam sehingga relatif aman bagi manusia.Beberapa tanaman yang
dapat digunakansebagai pestisida nabati antara laindaun mimba,daun tembakau,

9
Universitas Sumatera Utara

kulit akar mindi, biji srikaya, biji mahoni, daun sirsak, akartuba, dan juga berbagai
jenis gulma sepertibabandotan (Samsudin, 2008).
Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari
tumbuhan yang berkhasiat mengendalikan seranganhama. Cara kerja pestisida
nabati sangat spesifik (Djojosumartono, 2004):
- Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa,
- Menghambat pergantian kulit,
- Mengganggu komunikasi serangga,
- Menyebabkan serangga menolak makan,
- Menghambat reproduksi serangga betina,
- Mengurangi nafsu makan,
- Memblokir kemampuan makan serangga,
- Mengusir serangga, dan
- Menghambat perkembangan patogen penyakit.
Pestisida alami merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik
dari daun, buah, biji, atau akar yang memiliki senyawa atau metabolit sekunder
dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu (Djunaedy,
2009).Meskipun disebut ramah lingkungan, tidak berarti pestisida alami memiliki
daya racun (toksisitas) yang rendah.Beberapa jenis pestisida botani seperti nikotin,
memiliki daya racun yang lebih tinggi dibandingkan dengan pestisida sintetis,
terutama jika termakan.Dengan demikian penggunaan pestisida alami juga perlu
diperhatikan toksisitasnya terhadap organisme non sasaran (Novizan, 2004).

2.4 Keracunan Pestisida
Di sampingmanfaat yang diberikan, pestisida juga sekaligus memiliki
10
Universitas Sumatera Utara

potensiuntuk dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan.
Tercemarnya tanah, air, udara dan unsur lingkungan lainnya olehpestisida, dapat
berpengaruh buruk secara langsung maupuntidak langsung terhadap manusia dan
kelestarian lingkunganhidup.Pencemaran lingkungan pada umumnya terjadi
karenapenanganan pestisida yang tidak tepat dan sifat fisiko kimiapestisidanya
(Suprapti, 2011).
Bahan-bahan racun pestisida masuk ke dalam tubuh organisme (jasad
hidup) berbeda-beda menurut situasi paparan. Mekanisme masuknya racun
pestisida tersebut dapat melalui melalui kulit luar, mulut dan saluran makanan,
serta melalui saluran pernapasan.Melalui kulit, bahan racun dapat memasuki poripori atau terserap langsung ke dalam sistem tubuh, terutama bahan yang larut
minyak (polar).Keracunan ini menimbulkan gejala keracunan setelah waktu yang
relatif lama karena kemampuannya menumpuk (akumulasi) dalam lemak yang
terkandung dalam tubuh. Racun ini juga apabila mencemari lingkungan (air,
tanah) akan meninggalkan residu yang sangat sulit untuk dirombak atau dirubah
menjadi zat yang tidak beracun karena kuatnya ikatan kimianya. Demikian pula
halnya, ada yang dapat terurai di dalam tubuh manusia atau hewan tapi
menghasilkan metabolit yang juga masihberacun (Ngatidjan, 2006).
Pestisida yang diaplikasikan untuk memberantas suatu hama tanaman atau
serangga penyebar penyakit tidak semuanya mengenai tanaman. Sebagian akan
jatuh ke tanaman, atau perairan disekitarnya, sebagian lagi akan menguap ke
udara, yang mengenai tanaman akan diserap tanaman tersebut ke dalam jaringan
kemudian mengalami metabolisme karena pengaruh enzim tanaman. Pestisida
yang diserap oleh tanah atau perairan akan terurai karena pengaruh suhu,
kelembaban, jasad renik dan sebagainya. Penguraian bahan pestisida tersebut
11
Universitas Sumatera Utara

tidak terjadi seketika itu juga, melainkan sedikit demi sedikit.Sisa yang tertinggal
inilah yang kemudian diserap sebagai residu.Jumlah residu pestisida dipengaruhi
oleh suhu, kelembaban, jasad renik, sinar matahari, dan jenis dari pestisida
tersebut (Pohan, 2004).
Pengaruh secara langsung maupun secara tidak langsung akibat adanya
pencemaran pestisida akan mengganggu kualitas air, sehingga kelangsungan
hidup dan pertumbuhan ikan juga akan terganggu. Pengaruh secara langsung
disebabkan oleh akumulasi pestisida dalam organ-organ tubuh akibat tertelan
bersama-sama makanan yang terkontaminasi, atau akibat rusaknya organ-organ
pernafasan sehingga dapat mematikan ikan budidaya dalam jangka waktu tertentu,
sedangkan secara tidak langsung adalah menurunnya kekebalan tubuh terhadap
penyakit dan terhambatnya pertumbuhan ikan (Mega dan Abdulgani, 2013).

2.5 Kualitas Air
Air merupakan media vital bagi kehidupan ikan. Suplai air yang memadai
akan memecahkan masalah dalam budidaya ikan secara intensif, yaitu dengan
menghanyutkan berbagai kumpulan dari bahan buangan dan bahan beracun
sehingga kondisi air optimal untuk pemeliharaan. Selain jumlah air yang tersedia,
kualitas air memenuhi syarat adalah salah satu kunci keberhasilan budidaya ikan.
Kemampuan ikan untuk mengonsumsi oksigen dipengaruhi oleh toleransi ikan
terhadap stres, temperatur/suhu air, pH, dan konsentrasi CO2 serta sisa
metabolism lain seperti amoniak (Taurusman, 1996).
Kandungan oksigen yang terlarut berbeda dalam air mempunyai pengaruh
yang berbeda bagi organisme akuatik.Suhu merupakan faktor abiotik diduga
memiliki pengaruh besar terhadap toksisitas suatu bahan kepada ikan. Suhu
12
Universitas Sumatera Utara

perairan yang semakin tinggi akan menyebabkan metabolisme ikan yang semakin
meningkat dan berakibat meningkatnya kadar amoniak dalam air (Puspowardoyo
dan Abbas, 1992).
Cara terbaik untuk menjamin kadar oksigen terlarut dalam air tetap tinggi
adalah dengan mempertahankan air tetap bersuhu rendah, mengganti air dalam
wadah dengan air yang baru serta mempertahankan oksigen melalui proses difusi
yang cukup, yaitu dengan aerasi yang menimbulkan gerakan air yang sedang atau
tidak terlalu keras (Huet, 1994).
2.5.1 Parameter Kualitas Air
Untuk menghindari terjadinya wabah penyakit akibat kualitas air yang
tidakbaik, sebaiknya air yang akan dimanfaatkan untuk memelihara ikan dianalisis
terlebihdahulu. Pemeriksaan air ditujukan terhadap sifat fisika, kimia, dan
keadaan biota airlainnya, khususnya makhluk hidup yang berpotensi mengganggu
kehidupan ikan, baikberupa pemangsa (predator), pesaing (kompetitor) ataupun
jasad penyebab penyakit(patogen). Dengan demikian, air yang digunakan benarbenar sesuai bagi kehidupanikan yang akan dipelihara (Daelami, 2001).
1. Oksigen terlarut
Oksigen diperlukanikan untuk respirasi dan metabolisme dalam tubuh
ikanuntuk aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi dan lain-lain. Dalam
pengelolaan kesehatan ikan sangat pentingkarena kondisi yang kurang optimal
untuk pertumbuhan dan perkembangan dapat mengakibatkan ikan stres sehingga
mudah terserang penyakit (Suciptodan Prihartono, 2005).
2. Suhu
Semua jenis ikan umumnya mempunyai

toleransi

yang rendah

terhadapperubahan suhu air. Terjadinya kenaikanmaupun penurunan yang besar
13
Universitas Sumatera Utara

berakibat kurang baik bagikehidupan ikan.Perubahan suhu ini dampaknya akan
tampak jelas terutama bilaterjadi perubahan dari dingin ke panas. Dampak yang
jelas terlihat adalah stressdengan gejala ikan berenang melonjak-lonjak,
mengapung dan bernafas dipermukaan, serta terjadi kematian bila hal tersebut
berlangsung relatif lama.Kisaran suhu yang baik bagi kepentingan budidaya ikan
adalah antara 25-320C.Kisaran suhu ini umumnya terjadi di daerah beriklim
tropis, seperti Indonesia.
3. Derajat keasaman (pH)
Keadaan pH yang dapat mengganggu kehidupan ikan adalah pH yang
terlalurendah (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi (sangat basa). Setiap
jenisikan akan memperlihatkan respon yang berbeda terhadap perubahan pH
dandampak yang ditimbulkannya berbeda (Daelami, 2001).
4. Amoniak
Amonia diperairanberasal dari hasil pemecahan nitrogenorganik
(protein danurea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air,
berasal daridekomposisi bahan organik (biota akuatik yang telah mati) yang
dilakukan olehmikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi.

2.6

Mortalitas
Mortalitas atau kematian adalah merupakan keadaan hilangnya semua

tanda-tanda kehidupan secara permanen yang dapat terjadi setiap saat setelah
kelahiran hidup (WHO, 1992). Kematian dapat menimpa kapan saja dan dimana
saja.Mortalitas merupakan ukuran jumlah kematian pada suatu populasi, skala
besar suatu populasi, per dikali satuan (Daelami, 2001).

14
Universitas Sumatera Utara

2.7

Toksisitas
Toksisitas adalah daya racun yang berarti kemampuan suatu bahan atau zat

yang menyebabkan keracunan. Toksikan adalah bahan atau agent yang mampu
menghasilkan efek merugikan pada sistem biologi yang akan menyebabkan
kematian. Beberapa toksikan yang disebutkan seperti pestisida, klorin, limbah
industri yang bersifat racun dan karsinogenik (Koeman, 1983).
Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan
tingkat toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar dan digunakan juga untuk
pemantauan rutin suatu limbah.Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan uji
merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi perairan yang berfungsi untuk
mengetahui apakah effluent atau badan perairan penerima mengandung senyawa
toksik

dalam

konsentrasi

yang

menyebabkan

toksisitas

akut.Pengaruh

zatpencemarantara lain berhubungan dengan lamanya pajanan/pemaparan serta
konsentrasi atau dosis zat pencemar. Untuk melihat berbagai efek yang
berhubungan dengan waktu pemaparan.Uji toksisitas akut (LC50 dan LD50),
dilakukan dengan memberikan zat kimia/toksikan yang sedang diuji sebanyak satu
kali dalam jangka waktu singkat (24, 48, 96 jam) (Rossiana, dkk., 2007).
Parameter yang diukur biasanya berupa kematian hewan uji, yang hasilnya
dinyatakan sebagai konsentrasi yang menyebabkan 50% kematian hewan uji
(LC50) dalam waktu yang relatif pendek satu sampai empat hari (Husni dan
Esmiralda, 2010).
Sebelum percobaan toksisitas dilakukan, sebaiknya telah ada data
mengenai identifikasi, sifat obat, dan rencana penggunaannya. Data ini dapat
dipakai untuk mengarahkan percobaan toksisitas yang akan dilakukan untuk

15
Universitas Sumatera Utara

meneliti berbagai efek yang berhubungan dengan cara dan waktu pemberian suatu
sediaan obat. Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Uji toksisitas akut
Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji
sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.
2. Uji toksisitas jangka pendek (subkronis)
Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia tersebut berulang-ulang,
biasanya setiap hari, atau lima kali seminggu, selama jangka waktu kurang lebih
10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun untuk
anjing. Namun, beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih pendek,
misalnya pemberian zat kimia selama 14 dan 28 hari.
1. Uji toksisitas jangka panjang (kronis)
Percobaan jenis ini mencakup pemberian zat kimia secara berulang selama
3 - 6 bulan atau seumur hidup hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit dan 24
bulan untuk tikus. Memperpanjang percobaan kronis lebih dari 6 bulan tidak akan
bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenik. Pengujian toksisitas suatu
senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu uji toksisitas umum dan uji toksisitas
khusus.Pengujian toksisitas umum meliputi pengujian toksisitas akut, subkronik,
dan kronik.Pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi, karsinogenik,
mutagenik, teratogenik, reproduksi, kulit, mata, dan tingkah laku (Manggung,
2008).
Toksisitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari farmakologi
yang merupakan efek biologis negatif akibat dari pemberian suatu zat.Toksisitas
suatu bahan dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk mencederai suatu
organisme hidup. Pengetahuan mengenai bahan kimia dikumpulkan dengan
16
Universitas Sumatera Utara

mempelajari efek-efek dari pemaparan bahan kimia terhadap hewan percobaan,
pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah seperti bakteri dan
kultur sel-sel dari mamalia di laboratorium dan pemaparan bahan kimia terhadap
manusia (Retnomurti, 2008).
Uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi besarnya konsentrasi
toksikan dan waktu pemaparan yang dapat menimbulkan efek toksik pada
jaringan biologis. Salah satu biota yang dapat digunakan untuk uji toksisitas
adalah ikan, dengan syarat harus mempunyai kepekaan tinggi yang memenuhi
syarat umur, berat, dan panjang, serta sesuai dengan ikan yang hidup di perairan
yang telah dalam keadaan tercemar (Pratiwi, dkk., 2012).
Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multiple
dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat,
biasanya reversibel yang secara statistik dapat menyebabkan kematian 50% dari
hewan percobaan dinyatakan dengan LC50.Nilai LC50 sangat berguna untuk
menentukan klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya.
2.7.1 Lethal Concentration (LC50)
LC50 (Lethal Concentration) merupakan konsentrasi yang menyebabkan
kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik
dan perhitungan. Berdasarkan waktu lamanya, metode penambahan larutan uji dan
maksud serta tujuannya maka uji toksisitas diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Klasifikasi menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term
bioassay), jangka menengah (intermediate bioassay) dan uji hayati jangka
panjang (long term bioassay). Klasifikasi menurut metode penambahan larutan
atau cara aliran larutan, yaitu uji hayati statik (static bioassay), pergantian larutan
(renewal biossay), mengalir (flow trough bioassay).
17
Universitas Sumatera Utara

b) Klasifikasi menurut maksud dan tujuan penelitian adalah pemantauan kualitas
air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa kimia, penentuan toksisitas serta
daya tahan dan pertumbuhan organisme uji (Rossiana, 2006).
Untuk mengetahui efek zat pencemar terhadap biota dalam suatu perairan,
perlu dilakukan suatu uji toksisitas zat pencemar terhadap biota yang ada yaitu
dalam bentuk Lethal Concentration (LC50). Jadi, uji toksisitas digunakan untuk
mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan durasi pemaparan yang dapat
menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis (Pratiwi, dkk., 2012).

2.8 Ikan Nila
Ikan nila selama ini dikenal dengan nama ilmiah Tilapia nilotica, namun
menurut klasifikasi terbaru pada tahun 1982 nama ilmiah ikan nila berubah
menjadi Oreochromis niloticus (Kordi, 2004).
2.8.1 Klasifikasi Ikan Nila
Klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus)adalah sebagai berikut :
Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Osteichtyes

Subkelas

: Acanthopterygii

Ordo

: Percomorphi

SubOrdo

: Percoidea

Famili

: Cichlidae

Genus

: Oreochromis

Spesies

: Oreochromis niloticus

18
Universitas Sumatera Utara

2.8.2 Morfologi Ikan Nila
Ikan nila (Oreochromis nilotica) memiliki ciri morfologi, yaitu berjari-jari
keras, sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing.Tanda
lainnya yang dapat dilihat dari ikan nila adalah warna tubuhnya hitam dan agak
keputihan. Bagian bawah tutup insang berwarna putih, sedangkan pada nila
lokalputih agak kehitaman bahkan ada yang kuning.Sisik ikan nila berukuran
besar, kasar dan tersusun rapi (Setiawan, 2012).Warna tubuh ikan nila amat
bervariasi tergantung pada strain atau jenisnya. Mata ikan nila berbentuk bulat
menonjol, dan bagian tepi berwarna putih.Ciri pada ikan nila adalah garis vertikal
yang berwarna gelap di sirip ekor sebanyak enam buah. Garis seperti itu juga
terdapat di sirip punggung dan sirip dubur (Rukmana,1997).
Morfologi dan anatomi ikan nila (Oreochromis niloticus) dapat
dilihatsebagai berikut (Amri dan Khairuman, 2003).

Gambar 2.1Morfologi dan Anatomi Ikan Nila
Ikan nila berwarna putih kehitaman, makin ke perut makin terang.Pada
sirip ekor terdapat 6-12 garis melintang yang ujungnya berwana kemerahmerahan, sedangkan punggungnya terdapat garis-garis miring. Letak mulut ikan
terminal, garis rusuk(Linea lateralis) terputus menjadi dua bagian, letaknya
memanjang di atas sirip dada dengan jumlah sisik pada garis rusuk 34 buah
(Andrianto, 2005).
19
Universitas Sumatera Utara

Seperti ikan yang lain, jenis kelamin ikan nila yang masih kecil, belum
tampak dengan jelas. Perbedaannya dapat diamati dengan jelas setelah bobot
badannya mencapai 50 gram.Ikan nila yang berumur 4-5 bulan (100-150 g) sudah
mulai kawin dan bertelur.Tanda-tanda ikan nila jantan adalah warna badan lebih
gelap dari ikan betina, alat kelamin berupa tonjolan (papila) di belakang lubang
anus, dan tulang rahang melebar ke belakang.Sedangkan tanda-tanda ikan nila
betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang anus, dimana terdapat 2
lubang. Lubang yang di depan untuk mengeluarkan telur, sedang yang di belakang
untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung telur yang masak,dan
perutnya tampak membesar (Andrianto, 2005).
Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu jenis ikan air tawar
yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Ikan nila kini banyak dibudi
dayakan di berbagai daerah karena kemampuan adaptasinya bagus di dalam
berbagai jenis air. Nila dapat hidup di air tawar, air payau, dan air laut. Ikan nila
juga tahan terhadap perubahan lingkungan. Pertumbuhan cepat dan tahan terhadap
serangan penyakit. Para pakar budidaya ikan dari Departemen Perikanan dan
Akuakultur FAO menganjurkan agar ikan nila ini dibudidayakan karena dapat
dipelihara di kolam yang sempit, seperti kolam pekarangan atau comberan
(Ghufran, 2010).

20
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Daya Antibakteri Ekstrak Daun Pare (Momordica charantia) dalam Menghambat Pertumbuhan Streptococcus viridans

1 13 7

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Perbandingan Sifat Fisik Sediaan Krim, Gel, dan Salep yang Mengandung Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.)

7 83 104

Formulasi dan Karakterisasi Mikropartikel Ekstrak Etanol 50% Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) dengan Metode Semprot Kering (Spray Drying)

2 44 87

Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai Anti-Aging

13 76 98

Usulan Penentuan Harga Pokok Produksi Dengan Metode Activity Based Costing Di PT. Mutiara

0 16 95

Pengaruh Kepercayaan dan Kenyamanan Terhadap Keputusan Pembelian Ikan Hias Secara Online Di Facebook Sebagai Media Promosi (Studi pada konsumen Tan Aquarium Bandung)

11 67 75

Uji Efektivitas Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) sebagai Larvasida terhadap Larva Aedes aegypti Instar III

17 90 58

Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70 % Akar Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai Biolarvasida Potensial Effectiveness of Giving 70% Ethanol Root Extract Kecombrang (Etlingera elatior) against Aedes aegypti lar

2 34 76

Pengaruh Perbedaan Lama Kontak Sabun Ekstrak Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan Candida Albicans Secara In Vitro

0 0 5