Gambaran Derajat Nyeri Pasca Bedah Pada Pasien Trauma Muskuloskeletal Dengan Menggunakan Alat Ukur Vas (Visual Analogue Scale) Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Nyeri
Pada tahun 1968, McCaffery mendefinisikan nyeri sebagai “whatever the experiencing
person says it is, existing whenever she says it does”. Definisi ini menegaskan bahwa nyeri

itu sangat subjektif dan tidak ada alat ukur objektif terhadap nyeri. Pada tahun 1979,
International Association for the Study of Pain 7 mendefinisikan nyeri adalah pengalaman

sensori dan emosi yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan.
Nyeri adalah pengalaman, sifatnya subjektif, penilaiannya tergantung apa yang dilaporkan
pasien. Sensasi nyeri adalah fenomena neurobiokimia yang melibatkan banyak zat-zat
biokimia yang diwujudkan dalam bentuk neurotransmiter nyeri. Neurotransmiter ini
teraktivasi akibat rangsangan yang diterima oleh nosiseptor. Nosiseptor adalah reseptor
sensorik khusus yang bertanggung jawab untuk rangsangan noxious (tidak menyenangkan)
misalnya rasa sakit. ( Clark C W et al.2009; IASP.2011)
2.2. Patofisologi Nyeri
Ada empat proses yang terlibat dalam nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan
persepsi. Transduksi adalah proses merubah sinyal nyeri dari mekanik, suhu, kimia menjadi
suatu sinyal-sinyal listrik yang akan diterima diujung-ujung saraf. Kerusakan jaringan
menyebabkan terlepasnya substansi kimiawi endogen seperti bradikinin, substansi P,

serotonin, histamin, ion H, ion K, prostaglandin. Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan
ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor. (Butterworth JF.2006)
Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa fosfolipid yang mengandung asam
arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung nosiseptif aferen. Asam arakhidonat atas pengaruh
prostaglandin (PG) endoperoxide synthase akan membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan
PGH2) dan akan membentuk mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri seperti tromboksan
(TXAβ), prostaglandin (PGEβ, PGβα), prostasiklin (PGIβ). Terbentuk pula leukotrien (LT)
atas pengaruh 5-lipooksigenase.Setelah kerusakan jaringan, timbul mediator nyeri atau
inflamasi berupa substansi P, PGs, LTs dan bradikinin. (Butterworth JF.2006)
Sel mast juga aktif dan akan melepaskan histamin. Kombinasi senyawa ini
menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah lokal
5

sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam ruang interstisial jaringan yang
rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon inflamasi yang merupakan langkah pertama
dalam proses pertahanan terhadap cedera jaringan dan reparasi luka. (Setiabudi A. 2005)
Pada akhirnya mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan LTs tidak langsung
diaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar dapat dirangsang oleh senyawa lain
seperti bradikinin, histamin sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu respon stimuli yang
meningkat, pada kondisi normal sudah menimbulkan sakit. Pelepasan mediator kimiawi terus

menerus dapat menyebabkan stimulasi dan sensitisasi terus menerus pula sehingga terjadi
hiperalgesia, allodina dan proses ini berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan. (Macrae
WA. 2001)
Selanjutnya lekotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofag dan basofil yang akan
menstimulus dan meningkatkan pelepasan eikosanoid, yaitu metabolit yang terlepas akibat
terjadinya metabolisme asam arakhidonat. Lekotrien D4 juga melepas substansi P dan secara
tidak langsung bekerja pada neuron sensoris dengan menstimulus sel lain untuk melepaskan
bahan neuron aktif. Leukosit Poli Morfo Nuklear (PMN) melepaskan leukotrien B4
(LTB4).Keduanya berperan dalam sensitisasi nosiseptor.Pada inflamasi, sistem imun akan
melepaskan sitokin proinflamasi: interleukin IL1 , IL6, TNF, IFN. Sitokin ini dengan cepat
akan berinteraksi dengan saraf perifer melalui mediator. IL1 berinteraksi dengan neuron
sensoris, mengaktifkan eikosanoid dalam sel seperti fibroblas dan menyebabkan terlepasnya
prostaglandin. Platelet dan sel mast melepas serotonin yang langsung mengaktifkan atau
mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia. Proses transduksi dapat dihambat
oleh obat anti inflamasi non steroid atau non-steroid antiinflamatory drugs (AINS/NSAID).
Transmisi adalah proses berikutnya dari transduksi berupa penyaluran sinyal-sinyal nyeri
berupa sinyal listrik. Dalam keadaan hiperalgesia intensitas impuls akan membesar yang
kemudian ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer lewat radiks posterior menuju
kornu posterior medula spinalis. Serabut perifer terdiri dari serabut sensoris, motorik somatik,
motorik otonomik. Akson dari neuron primer bermielin atau tidak bermielin, dibungkus

neurolema. Terbagi atas serabut A, B, C. Serabut A terbagi menjadi Aα, A , A dan Aδ.
Akson berakhir pada kulit dan bangunan lain sebagai anyaman rapat, dekat ujung akhir saraf,
bungkus perineural terbuka dan sel schwan menjadi ireguler. (Setiabudi A.2005)
Serabut aferen primer nosispetif khusus menghantarkan impuls nosispetif, yang
terdapat di kulit, periosteum, sendi, ligamen, otot, visera.Serabut yang menyampaikan impuls
6

nosiseptif hanya Aδ dan C, sehingga serabut tersebut tidak bermielin atau bermielin
halus.Stimulus yang dapat direspon adalah mekanik, mekanotermal. Impuls di neuron aferen
primer melewati radiks posterior masuk ke medula spinalis pada berbagai tingkat membentuk
sel bodi dalam ganglia radiks posterior. Serabut ini membelah dua, mengirim banyak cabang
kolateral. Serabut aferen primer berakhir pada lamina I, substansia gelaitnosa (lamina II, III),
lamina V, lamina IV. (Setiabudi A.2005)
Impuls ditransmisi ke neuron sekunder dan masuk ke traktus spinotalamikus
lateralis.Kornu posterior berfungsi sebagai jalur masuk decendens dari otak untuk melakukan
modulasi impuls dari perifer. Impuls selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di
korteks serebri dan diterjemahkan. Proses transmisi ini dapat dihambat oleh obat anestesi
local. (Setiabudi A.2005)
Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsangan nyeri yang terjadi ditingkat
medula spinalis. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama

menuju korteks serebri.Modifikasi dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi
(penghambatan). Impuls setelah mencapai kornu posterior medula spinalis akan mengalami
penyaringan intensitas yang bisa diperbesar atau dihambat. Sistem pengendali modulasi ini
adalah sistem gerbang kendali spinal atau the gate control theory of pain . Terdiri dari
substansia gelatinosa sebagai penghambat sel transmisi T, serabut aferen diameter besar akan
menutup gerbang, diameter kecil akan membuka gerbang. Cabang serabut decendens dari
otak ke substansia gelatinosa akan menambah hambatan sel transmisi T. Apabila impuls
melebihi ambang sel T maka akan melewati sistem kendali gerbang spinal dan diteruskan ke
pusat supraspinal di korteks somatosensoris. Impuls akan dipersepsi sebagai pengalaman
nyeri. Substansi yang bekerja sebagai modulator nyeri di medulla spinalis yaitu dinorfin,
enkefalin, noradrenalin, dopamin 5 HT2, GABA (Gama Amino Butiric Acid) akan
menghambat nyeri. Substansi yang meningkatkan nyeri yaitu substansi P, ATP (Adenosin
Triposphat), asam amino eksitatori. (Setiabudi A.2005; Butterworth JF.2006)
Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut mencapai korteks otak sehingga
mencapai tingkat kesadaran dan pada akhirnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa
tanggapan terhadap nyeri tersebut. Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari
proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses
subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus
dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik. Sel transmisi T didalam sistim gerbang
7


spinal kendali nyeri menerima impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls
melebihi atau sama dengan ambang T, impuls nosiseptif tersebut dapat melewati sistim
gerbang kendali dan diteruskan ke pusat-pusat supraspinal yang lebih tinggi di korteks
somatosensoris, korteks transisional dan sebagainya. Semua impuls nyeri sensoris perifer
serta sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan berintergrasi dan menimbulkan
persepsi yang diterima sebagai pengalaman nyeri. Secara sederhana persepsi adalah hasil
integrasi dari apa yang ada pada pusat kognisi, pusat afeksi dan sistem sensoris diskriminatif
yang dirasakan oleh individu, serta bagaimana cara individu tersebut menghadapinya. (Riley
and Boulis.2006; Setiabudi A. 2005)

2.3. Penilaian nyeri ( SAJA.2009;Butterworth JF.2006)
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri pasca
pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk
menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat
berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. Ada beberapa skala
penilaian nyeri:
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman
sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan

komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien
yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 1. WongBaker Faces Pain Rating Scale

8

2. Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ;
tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Gambar 2.Verbal Rating Scale.

3. Numerical Rating Scale (NRS)
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien
ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0
– 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan
nyeri yang sedang sampai hebat.

Gambar 3.Numerical Rating Scale


4. Visual Analogue Scale (VAS)
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan
skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir
garis (10) menandakan nyeri hebat.

9

Gambar 4.Visual Analoge Scale.
Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri
yang dirasakan.Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami
oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan
oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis
kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya mudah hanya menggunakan beberapa
kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian
pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling
baik dalam menilai derajat nyeri. Nilai VAS antara 0 – 4 dianggap sebagai tingkat nyeri yang
rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS> 4 dianggap
nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan
obat analgetik penyelamat (rescue analgetic ).

2.4. Klasifikasi Nyeri
Kejadian nyeri unik pada setiap individual kadang disertai dengan rasa takut, marah,
kecemasan, depresi dan kelelahan dan sering mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan.
Subjektivitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri.
Salah satu pendekatan yaitu dengan mengklasifikasi nyeri berdasarkan durasi (akut, kronik),
patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan, kanker).
2.4.1. Nyeri Akut dan Kronik
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas. Nyeri akut ini
dialami segera setelah pembedahan sampai 7 hari dan diakibatkan langsung adanya
kerusakan jaringan misalnya pembedahan. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan
sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri
10

kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi adanya penyakit seperti
kanker, end-stage organ dysfunction , infeksi HIV dan lain-lain. Nyeri kronik mungkin
mempunyai elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri punggung,
migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai kondisi patologis yang terdeteksi dan
perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar ( dorsal horn pada spinal cord)
membuat pengobatan menjadi lebih sulit. Pasien dengan nyeri akut dapat memperlihatkan
tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis,

nafas cepat) pada saat nyeri muncul tetapi nyeri kronik bisa tanpa disertai adanya respon
otonom. Nyeri kronik dapat berupa hiperalgesia dan allodinia yang pengobatan untuk nyeri
ini sangat sulit sehingga, penanganan untuk nyeri akut harus baik agar dapat mencegah
timbulnya nyeri kronik. (Mantyh P, 2002)
2.4.2. Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah
nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang
menyebabkan aktivasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung
jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat
kerusakan jaringan saraf pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi
jalur saraf aferen sentral dan perifer dan biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan
menusuk. Dampak dari cedera serabut saraf termasuk perubahan dalam fungsi saraf baik di
lokasi cedera dan daerah sekitar cedera. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering
memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik opioid. (Mantyh P, 2002)
2.4.3. Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar, lokalisasi yang difus dan mengarah ke daerah permukaan
tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.
Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti
keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral,
menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan. Nyeri viseral, seperti nyeri

somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot lurik sekitar, yang membuat dinding
perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi
malignan dari organ lunak dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggerogoti,
atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena.

11

Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos,
peregangan struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Pereganagan
pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena
kompresi pembuluh darah karena distensi berlebih dari jaringan. Impuls nyeri yang berasal
dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar melalui serat aferen yang berjalan
bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana impuls dari esofagus, trakea dan faring
melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis
dihantar melalui saraf parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari sistem
saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian pertama dari
empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk ke korda spinalis
melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls nyeri yang berasal dari jantung
hampir semua berasal dari iskemia miokard. Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah
tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat sensitif pada nyeri. ( Butterworth

JF.2006; Gunawan R.2011;Mwaka G.2013 )
2.4.4. Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi dan rasa
terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal,
tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi
peritoneal adalah nyeri somatik.Nyeri somatik biasanya lebih akut, intens, tajam, lokal, dan
diperburuk oleh gerakan. (IASP. 2011)
2.5 Open Reduction
Open Reduction Internal Fixation adalah sebuah prosedur bedah medis yang tindakannya

mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk
beberapa patah tulang. Open Reduction adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan
pembedahan sering dilakukan dengan fiksasi internal mengacu pada penggunaan kawat,
screws, pins, plate, intermedullary rods atau nail untuk mengaktifkan atau memfasilitasi

penyembuhan. Open Reduction Eksternal Fixation adalah reduksi terbuka dengan fiksasi
eksternal dimana prinsipnya tulang ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur. Sekrup
atau kawat ditransfiksasikan di bagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama
lain dengan suatu batang lain. (Solomon et al.2001)

12

2.6. Kerangka Teori

13