PENDAHULUAN Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Terdiagnosa Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut (ISPAA) Di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora Tahun 2013.

(1)

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Tingkat kejadian menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 kejadian per anak setiap tahunnya di negara berkembang dan 0,05 kejadian per anak setiap tahunnya di negara maju. Di indonesia sekitar 10 juta kejadian ISPA pada anak terjadi setiap tahunnya. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13 % merupakan kasus berat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Kejadian batuk dan pilek pada balita diperkirakan terjadi 2-3 kali per tahun. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%) (KemenKes R1, 2012).

Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri. Antibiotik yang digunakan secara tidak tepat dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan, salah satunya resistensi bakteri terhadap antibiotik yang ada. Selain itu tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat-obat yang lain dapat meningkatkan terjadinya Drug Related Problem (DRP). Sehubungan dengan adanya DRP, setiap farmasis harus dapat mendeteksi, mengatasi, dan mencegah masalah-masalah yang terjadi atau akan terjadi dalam pengelolaan dan penggunaan antibiotika (Worokarti, 2005)

Indonesia sebagai daerah tropis yang berpotensi menjadi daerah endemik dari beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman kesehatan bagi kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya peningkatan kasus maupun kematian akibat ISPA, misalnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh asap karena kebakaran hutan, gas buangan yang berasal dari sarana transportasi dan polusi udara dalam rumah karena asap dapur, asap rokok, perubahan iklim global antara lain perubahan suhu udara, kelembaban, dan curah hujan merupakan ancaman kesehatan terutama pada penyakit ISPA(Daroham & Mutiatikum, 2009).


(2)

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan dan faktor penjamu(WHO, 2007).

Infeksi saluran pernapasan atas akut (ISPaA) mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah yang kecil. Di negara berkembang, otitis media merupakan penyebab ketulian yang masih dapat dicegah dan merupakan kontributor yang signifikan bagi perkembangan dan masalah belajar anak. Selain itu, faringitis streptokokus dapat diikuti dengan demam rematik akut. Walaupun kelompok usia utama yang diperhatikan untuk deteksi penyebab faringitis karena streptokokus untuk mencegah demam rematik akut adalah 5-15 tahun, penanganan klinis yang sama juga sesuai untuk anak yang lebih muda karena kasus demam rematik dapat menyerang kelompok usia ini (WHO, 2003).

Penelitian yang dilakukan di Puskesmas Purwareja I Klampok Banjarnegara oleh Hapsari dan Astuti pada tahun 2007, menunjukan bahwa penggunaan antibiotik yang paling banyak digunakan adalah kotrimoksazol (86,7%), sedangkan amoksisilin lebih sedikit (13,3%). Kotrimoksazol lebih banyak digunakan kerena merupakan antibiotik pilihan pertama yang diberikan untuk penderita ISPA, sedangkan amoksisilin merupakan antibiotik pilihan kedua yang diberikan apabila kotrimoksazol tidak ada atau habis(Hapsari & Astuti, 2007).

Di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora angka kejadian ISPaA merupakan kejadian tertinggi (60%) dari semua kunjungan pasien yang berobat ke puskesmas terutama pada anak, sehingga mendorong peneliti untuk melakukan evaluasi lebih lanjut penggunaan antibiotik untuk penyakit ISPaA dengan judul “Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak Terdiagnosa Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut (ISPaA) di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora Tahun 2013”.


(3)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, disusunlah permasalahan penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran terapi antibiotik pada pasien anak terdiagnosa ISPaA di puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora tahun 2013?

2. Apakah penggunaan antibiotik pada pasien anak terdiagnosa ISPaA di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora tahun 2013 sudah tepat berdasarkan buku pedoman standar terapi dari WHO tahun 2003?

C. Tujuan penelitian

1. Mengetahui gambaran terapi antibiotik pada pasien anak terdiagnosa ISPaA di puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora tahun 2013.

2. Mengetahui dan mengevaluasi ketepatanpenggunaan antibiotik pada pasien anak terdiagnosa ISPaA di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora tahun 2013 yang dibandingkan dengan standar terapi dari WHO tahun 2003.

D. Tinjauan Pustaka 1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) a. Definisi

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pluera) (KemenKes RI, 2012). Secara anatomik ISPA dikelompokan menjadi ISPA atas misalnya batuk pilek (influenza), faringitis, sinusistis, otitis media dan ISPA bawah seperti bronkitis, bronkiolitis, pneumonia. ISPA atas jarang menimbulkan kematian walaupun insidennya jauh lebih tinggi dari pada ISPA bawah (Said, 1994).

b. Infeksi saluran pernapasan atas akut (ISPaA) 1) Influenza

Influenza adalah infeksi aku yang menyerang saluran pernapasan dengan gejala demam ≥38oC disertai batuk dan atau sakit tenggorokan (KemenKes RI, 2012). Penyakit influenzabersifat endemik di seluruh dunia dan epidemik di


(4)

beberapa daerah tertentu yang di sebabakan oleh virus influenza tipe A, B dan C. Penyakit ini sangat menular dan sering diikuti komplikasi infeksi bakterial(Soedarto, 2007).

Populasi penduduk yang padat dan usia anak-anak merupakan predisposisi utama epidemi influenza. Influenza pada usia lanjut sering diikuti infeksi sekunder berupa bakteri pneumonia (Soedarto, 2007).

Pengobatan influenza tidak menggunakan antibiotik, cukup istirahat dan mendapatkan cairan dengan diet rendah lemak. Pemberian untuk terapi simtomatis dapat menguragi keluhan panas, batuk dan lainya. Pemberian kodein sulfat sebagai obat untuk mialgia dan sefalgia lebih baik hasilnya dibandingkan dengan pemberian aspirin (Soedarto, 2007).

2) Otitis media akut

Otitis media merupakan inflamasi pada telinga bagian tengah dan terbagi menjadi otitis media akut, otitis media efusi dan otitis media kronik (DepKes RI, 2005). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri yang menyebabkan radang telinga tengah. Kondisi ini biasanya terjadi bersamaan dengan infeksi saluran pernapasan atas (ISPa). Gejala termasuk sakit telinga, demam, mual tinggi,muntah dan diare. Selain itu, gangguan pendengaran, kelumpuhan wajah dan meningitis juga dapat terjadi (WHO, 2003).

Otitis media akut paling baik didiagnosis dengan menggunakan otoskop pneumatik. Otitis media akut ditandai dengan gendang tellinga (membran timpani) yang berwarna kemerahan dan adanya penurunan mobilitas. Kemerahan ringan pada gendang telinga bukan merupakan bukti yang cukup untuk mendiagnosis otitis media. Demam terjadi pada kurang lebih setengah kasus yang didiagnosis dengan otoskop (WHO, 2003).

Terapi pada otitis media menggunakan antibiotik minimal 5 hari (antibiotik oral yang sama seperti yang digunakan pada pasien pneumonia yang rawat jalan : kotrimoksasol oral, amoksisilin oral, atau ampisilin oral) (WHO, 2003).

Dosis antibiotik untuk pengobatan otitis media pada anak lini pertama yaitu amoksisilin 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis. Untuk line kedua


(5)

digunakan kotrimoksazol dengan dosis pada anak 6-12 mg terbagi dalam 2 dosis pemberian (DepKes RI, 2005).

Terapi penunjang lain analgesik dan antipiretik dengan memberikan paracetamol untuk nyeri atau demam tinggi, telinga anak dikeringkan dengan kapas berpilin jika keluar nanah. antihistamin dan vasokonstrikstor tidak efektif untuk otitis media akut maupun kronis(WHO, 2003).

3) Faringitis

Faringitis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan dari faring (terletak di bagian belakang dari tenggorokan) dan sering meluas ke jaringan sekitarnya, yang biasanya menyebabkan rasa sakit ketika menelan. Ini adalah hal yang sangat sering terjadi dan seringkali menunjukkan gejala sakit tenggorokan. Faringitis banyak di derita anak – anak yang berusia 5-15 tahun di daerah dengan iklim panas (DepKes RI, 2005). Faringitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus, seperti influenza (flu). Infeksi bakteri seperti radang tenggorokan, suatu reaksi alergi, atau refluks asam lambung juga dapat menyebabkan faringitis (WHO, 2003).

Faringitis yang paling umum disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes yang merupakan Streptocci Grup A hemolitik. Bakteri lain yang mungkin terlibat adalah Streptocci Grup C, Corynebacterium diphteriae, Neisseria Gonorrhoeae (DepKes RI, 2005).

Faringitis mempunyai gejala dengan karakteristik yaitu demam dengan secara tiba – tiba, terasa nyeri pada tenggorokan, terasa nyeri saat menelan, mual. Faring palatum, tonsil tampak berwarna kemerahan dan tampak juga adanya pemebengkakan.

Tanda klinis faringitis streptokokus pada anak usia di bawah 5 tahun : a) Pembesaran kelenjar limfe leher yang lunak.

b) Eksudat faring berwarna putih.

c) Tidak ada tanda yang mengarah pada nasofaringitis virus : rinore, konjutivis, batuk (WHO, 2003).

Pengobatan pada faringitis jika diduga faringitis streptokokus (biasanya pada anak usia 3 tahun atau lebih), diberikan: Benzatin penisilin (suntikan


(6)

tunggal)600.000 unit untuk anak usia di bawah 5 tahun atau 1.200.000 unit untuk anak usia 5 tahun atau lebih, jika dapat dipastikan adanya perbaikan selama 10 hari diberikan ampisilin atau amoksisilin selama 10 hari atau penisilin V (fenoksimetipenisilin) 2-4 kali sehari selama 10 hari. Dosis amoksisilin yang diberikan pada anak yaitu 3x250 mg (DepKes RI, 2005). Kotrimoksasol tidak direkomendasikan untuk nyeri tenggorokan yang disebabkan oleh streptokokus karena tidak efektif untuk faringitis yang disebabkan oleh streptokokus (WHO, 2003).

Terapi pendukung lain yang diberikan yaitu dengan analgesik antipiretik (paracetamol, ibuprofen), kumur dengan larutan garam dan tablet hisap untuk nyeri tenggorokan (DepKes RI, 2005).

4) Sinusitis

Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus parasanal. Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya di awali dengan infeksi saluran pernapasan atas. Sinusitis pada umumnya berkembang sebagai komplikasi, bakteri penyebanya adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzea dan Moraxella catarrhalis (DepKes RI, 2005).

Tanda lokal sinusitis adalah tersumbatnya hidung, sekeret hidung yang kental berwarna hijau kekuningan atau jernih, dapat juga disertai bau, nyeri pada wajah di area pipi, diantara kedua mata dan dahi. Tanda umumnya seperti batuk, demam tinggi, sekait kepala atau migraine serta menurunnya nafsu makan (DepKes RI, 2005).

Terapi pokok pada sinusitis lini pertama dengan pemberian antibiotik yaitu amoksisilin, kotrimoksazol, eritromisin dan doksisilin. Dosis amoksisilin pada anak yaitu 20 – 40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis. Kotrimoksazol pada anak yaitu 6 – 12 mg terbagi dalam 2 dosis.

Terapi pendukung juga diberikan pada penderita sinusitis dengan pemberian analgesik dan dekongestan, penggunaan antihistamin dibenarkan pada sinusitis yang disebabkan oleh alergi namun perlu diperhatikan bahwa antihistamin akan mengentalkan sekret. Pemakaian dekongestan dapat mempermudah untuk mengeluarkan sekret (DepKes RI, 2005).


(7)

Tabel 1. Standar Penggunaan Antibiotik pada Terapi ISPaA Anak

Diagnosa Antibiotik

Influenza Tidak perlu antibiotik Otitis media Lini pertama : Amoksisilin

Line kedua : Kotrimoksazol

Faringitis Lini pertama : Penisilin G, Penisilin VK, Amoksisilin Line kedua : Eritromisin, Azitromisin, Cefalosporin

golongan 1 atau 2

Sinusitis Lini pertama : Amoksisilin, Kotrimoksazol, Eritromisin, Doksisiklin

Lini kedua : Cefuroksim, Klaritromisin, Azitromisin

Tabel 2. Dosis antibiotik untuk ISPaA

Antibiotik Cara pemberian Dosis / frekuensi Bentuk Sediaan

Jumlah per dosis (dalam tablet, kapsul, atau ml) berdasarkan berat badan dalam kg 3-5kg 6-9kg 10-14kg 15-19kg 20-29kg Amoksisilin Oral Oral 15 mg/kg setiap 8 jam 15 mg/kg setiap 8 jam

Tablet 250 mg Sirup berisi 125 mg dalam 5 ml 0,25 2,5 0,5 5 0,5 10 1 10 1 - Ampisilin Oral Intramuskulara atau intravena 25 mg/kg setiap 6 jam 50 mg/kg setiap 6 jam

Tablet 250 mg Vial 500 mg, campur dengan 2,5 ml 0,5 1 1 2 1 3 1 4-5 2 5-6 Kotrimoksasolc Oral (trimetoprim-sulfametoksasol ;TMP-SMX) Oral Oral 4 mg trimetoprim/kg setiap 12 jam 4 mg

trimetoprim/kg setiap 12 jam 4 mg

trimetoprim/kg setiap 12 jam

Untuk dewasa berisi 80 mg TMP +400 mg SMX

Untuk anak mengandung 20 mg TMP +100 mg SMX Sirup berisi 40 mg TMP + 200 mg SMX/5 ml

0,25 1c 2,5 0,5 2 5 1 3 7,5 1 3 7,5 1 4 -

Untuk dugaan faringitis sterptokokus (bukan untuk pneumonia) Penisilin V

Oral

(fenoksimetil-penisilin)

12,5 mg/kg setiap 6 jam atau 25 mg/kg setiap 12 jam

Tablet 125 mg 0,5 1 1 2 2 3 2 3 2 3 (WHO, 2003).


(8)

2. Antibiotik a. Definisi

Definisi yang diberikan oleh Turpin dan Veludi tahun 1957, antibiotik adalah semua senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganismehidup atau yang diperoleh melalui sintesis yang memiliki indeks kemoterapi tinggi, yang manifestasi aktivitasnya terjadi pada dosis yang sangat rendah secara spesifik melalui inhibisi proses vital tertentu pada virus, mikroorganisme ataupun juga berbagai organisme bersel majemuk (Wattimena et al., 1991).

Antibiotik termasuk keluarga besar antiinfeksi yang berasal dari kuman, baik semisintesis (sebagian dari kuman) maupun sintesis (seluruhnya direkayasa). Antibiotik beranggotakan 8 keluarga, yaitu betalaktam, maklorid, tetrasiklin, kuinolon, aminoglikosida, kloramfenikol, obat jamur, dan antibiotik lainnya. Khasiat atau kegunaannya adalah membunuh kuman patogen (penyebab penyakit) yang menyebabkan infeksi (Azwar, 2004).

b. Pertimbangan Dasar Penggunaan Antibiotik

Pertimbangan penggunaan antibiotik secara rasional bukan hanya atas dasar sifat kimia antibiotik, mekanisme kerjanya, spektrum kerjanya, spektrum aktivitasnya dan daya kerjanya. Akan tetapi perlu kajian profil nasib antibiotik dalam tubuh meliputi absorbsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresinya. Selain itu juga perlu diperhatikan efek samping dan toksisitas akibat antibiotik (Wattimena et al., 1991).

c. Kegagalan Terapi Antibiotik

Resistensi bakteri terhadap antibiotik membawa masalah tersendiri yang dapat menggagalkan terapi dengan antibiotik. Resistensi dapat merupakan masalah individual dan epidemiologik. Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap antibiotik tertentu yang dapat berupa resistensi alamiah, resistensi karena adanya mutasi spontan dan resistensi karena adanya gangguanpada sitoplasma atau resistensi karena adanya pemindahan gen yang resisten atau plasmid (resistensi silang) (Wattimena et al., 1991).


(9)

d. Dasar Penggunaan Antibiotik

Prinsip dasar penggunaan antibiotik untuk penyakit yang disertai dengan demam harus memilikai alasan yang tepat. Antibiotik merupakan obat yang berkhasiat membasmi infeksi bakterial, sehingga satu-satunya alasan penggunaan antibiotik adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, dengan atau tanpa demam (Mansjoer et al., 1999).

Penggunaan antibiotik untuk terapi perlu didasari pada berbagai pertimbangan khusus menuju penggunaan antibiotik secara rasional, asas penggunaan rasional suatu antibiotik ialah seleksi antibiotik yang selektif terhadap mikroorganisme penginfeksi dan efektif untuk memusnahkannya dan sejalan dengan hal ini memiliki potensi terkecil untuk menimbulkan toksisitas, reaksi alergi ataupun resiko lain bagi pasien (Wattimena et al., 1999).

Resiko penyalahgunaan antibiotik secara luas :

1) Kebanyakan antibiotik menimbulkan efek samping dan reaksi toksis.

2) Hipersensitivitas dapat diinduksi sehingga memungkinkan terjadi berbagai reaksi ringan ataupun gawat pada pemakaian berulang antibiotik tersebut. 3) Flora normal usus sering dimodifikasi sehingga meningkatkan kemungkinan

untuk terjadinya super infeksi.

4) Mutan mikroba yang resisten sering terseleksi dari populasi bakteri dan merupakan ancaman bahaya individual atau epidemiolagik.

5) Status patofisiologi pasien sering kali menuntut perhatian khusus pada desain terapi dengan antibiotik.

6) Faktor lingkungan, seperti diet, terapi lain yang dilaksanakan sejajar ataupun bersama-sama dengan terapi antibiotik merupakan hal-hal yang perlu diperhitungkan pengaruhnya terhadap antibiotik (Wattimena et al., 1999).

E. Keterangan Empiris

Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran dan persentase kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien anak terdiagnosa Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut (ISPaA) di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora tahun 2013.


(1)

beberapa daerah tertentu yang di sebabakan oleh virus influenza tipe A, B dan C. Penyakit ini sangat menular dan sering diikuti komplikasi infeksi bakterial(Soedarto, 2007).

Populasi penduduk yang padat dan usia anak-anak merupakan predisposisi utama epidemi influenza. Influenza pada usia lanjut sering diikuti infeksi sekunder berupa bakteri pneumonia (Soedarto, 2007).

Pengobatan influenza tidak menggunakan antibiotik, cukup istirahat dan mendapatkan cairan dengan diet rendah lemak. Pemberian untuk terapi simtomatis dapat menguragi keluhan panas, batuk dan lainya. Pemberian kodein sulfat sebagai obat untuk mialgia dan sefalgia lebih baik hasilnya dibandingkan dengan pemberian aspirin (Soedarto, 2007).

2) Otitis media akut

Otitis media merupakan inflamasi pada telinga bagian tengah dan terbagi menjadi otitis media akut, otitis media efusi dan otitis media kronik (DepKes RI, 2005). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri yang menyebabkan radang telinga tengah. Kondisi ini biasanya terjadi bersamaan dengan infeksi saluran pernapasan atas (ISPa). Gejala termasuk sakit telinga, demam, mual tinggi,muntah dan diare. Selain itu, gangguan pendengaran, kelumpuhan wajah dan meningitis juga dapat terjadi (WHO, 2003).

Otitis media akut paling baik didiagnosis dengan menggunakan otoskop pneumatik. Otitis media akut ditandai dengan gendang tellinga (membran timpani) yang berwarna kemerahan dan adanya penurunan mobilitas. Kemerahan ringan pada gendang telinga bukan merupakan bukti yang cukup untuk mendiagnosis otitis media. Demam terjadi pada kurang lebih setengah kasus yang didiagnosis dengan otoskop (WHO, 2003).

Terapi pada otitis media menggunakan antibiotik minimal 5 hari (antibiotik oral yang sama seperti yang digunakan pada pasien pneumonia yang rawat jalan : kotrimoksasol oral, amoksisilin oral, atau ampisilin oral) (WHO, 2003).

Dosis antibiotik untuk pengobatan otitis media pada anak lini pertama yaitu amoksisilin 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis. Untuk line kedua


(2)

digunakan kotrimoksazol dengan dosis pada anak 6-12 mg terbagi dalam 2 dosis pemberian (DepKes RI, 2005).

Terapi penunjang lain analgesik dan antipiretik dengan memberikan paracetamol untuk nyeri atau demam tinggi, telinga anak dikeringkan dengan kapas berpilin jika keluar nanah. antihistamin dan vasokonstrikstor tidak efektif untuk otitis media akut maupun kronis(WHO, 2003).

3) Faringitis

Faringitis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan dari faring (terletak di bagian belakang dari tenggorokan) dan sering meluas ke jaringan sekitarnya, yang biasanya menyebabkan rasa sakit ketika menelan. Ini adalah hal yang sangat sering terjadi dan seringkali menunjukkan gejala sakit tenggorokan. Faringitis banyak di derita anak – anak yang berusia 5-15 tahun di daerah dengan iklim panas (DepKes RI, 2005). Faringitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus, seperti influenza (flu). Infeksi bakteri seperti radang tenggorokan, suatu reaksi alergi, atau refluks asam lambung juga dapat menyebabkan faringitis (WHO, 2003).

Faringitis yang paling umum disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes yang merupakan Streptocci Grup A hemolitik. Bakteri lain yang mungkin terlibat adalah Streptocci Grup C, Corynebacterium diphteriae, Neisseria Gonorrhoeae (DepKes RI, 2005).

Faringitis mempunyai gejala dengan karakteristik yaitu demam dengan secara tiba – tiba, terasa nyeri pada tenggorokan, terasa nyeri saat menelan, mual. Faring palatum, tonsil tampak berwarna kemerahan dan tampak juga adanya pemebengkakan.

Tanda klinis faringitis streptokokus pada anak usia di bawah 5 tahun : a) Pembesaran kelenjar limfe leher yang lunak.

b) Eksudat faring berwarna putih.

c) Tidak ada tanda yang mengarah pada nasofaringitis virus : rinore, konjutivis, batuk (WHO, 2003).

Pengobatan pada faringitis jika diduga faringitis streptokokus (biasanya pada anak usia 3 tahun atau lebih), diberikan: Benzatin penisilin (suntikan


(3)

tunggal)600.000 unit untuk anak usia di bawah 5 tahun atau 1.200.000 unit untuk anak usia 5 tahun atau lebih, jika dapat dipastikan adanya perbaikan selama 10 hari diberikan ampisilin atau amoksisilin selama 10 hari atau penisilin V (fenoksimetipenisilin) 2-4 kali sehari selama 10 hari. Dosis amoksisilin yang diberikan pada anak yaitu 3x250 mg (DepKes RI, 2005). Kotrimoksasol tidak direkomendasikan untuk nyeri tenggorokan yang disebabkan oleh streptokokus karena tidak efektif untuk faringitis yang disebabkan oleh streptokokus (WHO, 2003).

Terapi pendukung lain yang diberikan yaitu dengan analgesik antipiretik (paracetamol, ibuprofen), kumur dengan larutan garam dan tablet hisap untuk nyeri tenggorokan (DepKes RI, 2005).

4) Sinusitis

Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus parasanal. Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya di awali dengan infeksi saluran pernapasan atas. Sinusitis pada umumnya berkembang sebagai komplikasi, bakteri penyebanya adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzea dan Moraxella catarrhalis (DepKes RI, 2005).

Tanda lokal sinusitis adalah tersumbatnya hidung, sekeret hidung yang kental berwarna hijau kekuningan atau jernih, dapat juga disertai bau, nyeri pada wajah di area pipi, diantara kedua mata dan dahi. Tanda umumnya seperti batuk, demam tinggi, sekait kepala atau migraine serta menurunnya nafsu makan (DepKes RI, 2005).

Terapi pokok pada sinusitis lini pertama dengan pemberian antibiotik yaitu amoksisilin, kotrimoksazol, eritromisin dan doksisilin. Dosis amoksisilin pada anak yaitu 20 – 40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis. Kotrimoksazol pada anak yaitu 6 – 12 mg terbagi dalam 2 dosis.

Terapi pendukung juga diberikan pada penderita sinusitis dengan pemberian analgesik dan dekongestan, penggunaan antihistamin dibenarkan pada sinusitis yang disebabkan oleh alergi namun perlu diperhatikan bahwa antihistamin akan mengentalkan sekret. Pemakaian dekongestan dapat mempermudah untuk mengeluarkan sekret (DepKes RI, 2005).


(4)

Tabel 1. Standar Penggunaan Antibiotik pada Terapi ISPaA Anak

Diagnosa Antibiotik

Influenza Tidak perlu antibiotik

Otitis media Lini pertama : Amoksisilin

Line kedua : Kotrimoksazol

Faringitis Lini pertama : Penisilin G, Penisilin VK, Amoksisilin

Line kedua : Eritromisin, Azitromisin, Cefalosporin golongan 1 atau 2

Sinusitis Lini pertama : Amoksisilin, Kotrimoksazol, Eritromisin,

Doksisiklin

Lini kedua : Cefuroksim, Klaritromisin, Azitromisin

Tabel 2. Dosis antibiotik untuk ISPaA Antibiotik Cara pemberian Dosis / frekuensi Bentuk Sediaan

Jumlah per dosis (dalam tablet, kapsul, atau ml) berdasarkan berat badan dalam kg 3-5kg 6-9kg 10-14kg 15-19kg 20-29kg Amoksisilin Oral Oral 15 mg/kg setiap 8 jam 15 mg/kg setiap 8 jam

Tablet 250 mg Sirup berisi 125 mg dalam 5 ml 0,25 2,5 0,5 5 0,5 10 1 10 1 - Ampisilin Oral Intramuskulara atau intravena 25 mg/kg setiap 6 jam 50 mg/kg setiap 6 jam

Tablet 250 mg Vial 500 mg, campur dengan 2,5 ml 0,5 1 1 2 1 3 1 4-5 2 5-6 Kotrimoksasolc Oral (trimetoprim-sulfametoksasol ;TMP-SMX) Oral Oral 4 mg trimetoprim/kg setiap 12 jam 4 mg

trimetoprim/kg setiap 12 jam 4 mg

trimetoprim/kg setiap 12 jam

Untuk dewasa berisi 80 mg TMP +400 mg SMX

Untuk anak mengandung 20 mg TMP +100 mg SMX Sirup berisi 40 mg TMP + 200 mg SMX/5 ml

0,25 1c 2,5 0,5 2 5 1 3 7,5 1 3 7,5 1 4 -

Untuk dugaan faringitis sterptokokus (bukan untuk pneumonia) Penisilin V

Oral

(fenoksimetil-penisilin)

12,5 mg/kg setiap 6 jam atau 25 mg/kg setiap 12 jam

Tablet 125 mg 0,5

1 1 2 2 3 2 3 2 3 (WHO, 2003).


(5)

2. Antibiotik a. Definisi

Definisi yang diberikan oleh Turpin dan Veludi tahun 1957, antibiotik adalah semua senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganismehidup atau yang diperoleh melalui sintesis yang memiliki indeks kemoterapi tinggi, yang manifestasi aktivitasnya terjadi pada dosis yang sangat rendah secara spesifik melalui inhibisi proses vital tertentu pada virus, mikroorganisme ataupun juga berbagai organisme bersel majemuk (Wattimena et al., 1991).

Antibiotik termasuk keluarga besar antiinfeksi yang berasal dari kuman, baik semisintesis (sebagian dari kuman) maupun sintesis (seluruhnya direkayasa). Antibiotik beranggotakan 8 keluarga, yaitu betalaktam, maklorid, tetrasiklin, kuinolon, aminoglikosida, kloramfenikol, obat jamur, dan antibiotik lainnya. Khasiat atau kegunaannya adalah membunuh kuman patogen (penyebab penyakit) yang menyebabkan infeksi (Azwar, 2004).

b. Pertimbangan Dasar Penggunaan Antibiotik

Pertimbangan penggunaan antibiotik secara rasional bukan hanya atas dasar sifat kimia antibiotik, mekanisme kerjanya, spektrum kerjanya, spektrum aktivitasnya dan daya kerjanya. Akan tetapi perlu kajian profil nasib antibiotik dalam tubuh meliputi absorbsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresinya. Selain itu juga perlu diperhatikan efek samping dan toksisitas akibat antibiotik (Wattimena et al., 1991).

c. Kegagalan Terapi Antibiotik

Resistensi bakteri terhadap antibiotik membawa masalah tersendiri yang dapat menggagalkan terapi dengan antibiotik. Resistensi dapat merupakan masalah individual dan epidemiologik. Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap antibiotik tertentu yang dapat berupa resistensi alamiah, resistensi karena adanya mutasi spontan dan resistensi karena adanya gangguanpada sitoplasma atau resistensi karena adanya pemindahan gen yang resisten atau plasmid (resistensi silang) (Wattimena et al., 1991).


(6)

d. Dasar Penggunaan Antibiotik

Prinsip dasar penggunaan antibiotik untuk penyakit yang disertai dengan demam harus memilikai alasan yang tepat. Antibiotik merupakan obat yang berkhasiat membasmi infeksi bakterial, sehingga satu-satunya alasan penggunaan antibiotik adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, dengan atau tanpa demam (Mansjoer et al., 1999).

Penggunaan antibiotik untuk terapi perlu didasari pada berbagai pertimbangan khusus menuju penggunaan antibiotik secara rasional, asas penggunaan rasional suatu antibiotik ialah seleksi antibiotik yang selektif terhadap mikroorganisme penginfeksi dan efektif untuk memusnahkannya dan sejalan dengan hal ini memiliki potensi terkecil untuk menimbulkan toksisitas, reaksi alergi ataupun resiko lain bagi pasien (Wattimena et al., 1999).

Resiko penyalahgunaan antibiotik secara luas :

1) Kebanyakan antibiotik menimbulkan efek samping dan reaksi toksis.

2) Hipersensitivitas dapat diinduksi sehingga memungkinkan terjadi berbagai reaksi ringan ataupun gawat pada pemakaian berulang antibiotik tersebut. 3) Flora normal usus sering dimodifikasi sehingga meningkatkan kemungkinan

untuk terjadinya super infeksi.

4) Mutan mikroba yang resisten sering terseleksi dari populasi bakteri dan merupakan ancaman bahaya individual atau epidemiolagik.

5) Status patofisiologi pasien sering kali menuntut perhatian khusus pada desain terapi dengan antibiotik.

6) Faktor lingkungan, seperti diet, terapi lain yang dilaksanakan sejajar ataupun bersama-sama dengan terapi antibiotik merupakan hal-hal yang perlu diperhitungkan pengaruhnya terhadap antibiotik (Wattimena et al., 1999).

E. Keterangan Empiris

Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran dan persentase kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien anak terdiagnosa Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut (ISPaA) di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora tahun 2013.


Dokumen yang terkait

Hubungan Paparan Asap Rumah Tangga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bagian Atas pada Balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan Tahun 2014

2 115 78

Distribusi Bakteri Aerob Penyebab Infeksi Saluran Kemih pada Pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari 2013 – Juni 2013

1 65 60

Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Infeksi Saluran Napas Atas Sebagai Salah Satu Faktor Resiko Terjadinya Otitis Media Akut Puskesmas Padang Bulan

0 38 74

Penatalaksanaan Glaukoma Akut

1 34 22

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK TERDIAGNOSA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS AKUT Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Terdiagnosa Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut (ISPAA) Di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora Tahu

2 13 15

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK TERDIAGNOSA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Terdiagnosa Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut (ISPAA) Di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora Tahun 2013.

0 3 11

PERBANDINGAN KETEPATAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEWASA PENDERITA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN Perbandingan Ketepatan Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Dewasa Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr. Moewardi Tahu

0 2 15

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI INSTALASI Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun 2011-2012.

0 3 13

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun 2011-2012.

0 6 17

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA ANAK DENGAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI PUSKESMAS I GATAK TAHUN 2009.

0 3 32