Hubungan Paparan Asap Rumah Tangga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bagian Atas pada Balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan Tahun 2014

(1)

Hubungan Paparan Asap Rumah Tangga dengan Kejadian

Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bagian Atas pada Balita di

Puskesmas Tegal Sari-Medan Tahun 2014

Oleh:

LIA OKTAVIA SARI 110100120

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

Hubungan Paparan Asap Rumah Tangga dengan Kejadian

Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bagian Atas pada Balita di

Puskesmas Tegal Sari-Medan Tahun 2014

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

LIA OKTAVIA SARI 110100120

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

LEMBAR PENGESAHAN MAHASISWA T.A 2014/2015

Hubungan Paparan Asap Rumah Tangga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bagian Atas pada Balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan Tahun 2014

Nama : Lia Oktavia Sari NIM : 110100120

Pembimbing Penguji I

(dr. Rini Savitri Daulay, M. Ked (ped), Sp.A) (dr. Sumondang Pardede, Sp.PA) NIP: 19790928 200501 2 004 NIP: 19550329 198303 2 002

Penguji II

(dr. Syamsul Bihar, M. Ked (paru), Sp.P) NIP: 19821219 20081 2 1004

Medan, 15 Desember 2014

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP : 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang terus berkembang dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular pada bayi dan anak-anak. ISPA terutama terjadi di negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah termasuk Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan, prevalensi ISPA pada tahun 2007 di Indonesia dan data Dinas Kesehatan Kota Medan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sebesar 25,5% balita menderita ISPA.

Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan desain Cross-Sectional untuk melihat hubungan paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita yang dilakukan di Puskesmas Tegal Sari-Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui 60 data kuesioner pada bulan Agustus 2014–September 2014 yang dikumpulkan secara consecutive sampling. Data yang dikumpukan dianalisis secara univariat menggunakan statistik deskriptif dan bivariat menggunakan Fisher’s Exact Test.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat sebanyak 56,7% balita menderita ISPA bagian atas. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara paparan asap bahan bakar masak dengan ISPA bagian atas (p = 1,000), tidak ada hubungan paparan asap rokok dengan ISPA bagian atas (p = 0,126) , dan tidak ada hubungan paparan asap obat nyamuk dengan kejadian ISPA bagian atas (p = 0,126). Tidak terdapatnya hubungan pada analisis bivariat maka penelitian ini tidak dapat dilanjutkan dengan melakukan analisa multivariat.


(5)

ABSTRACT

Upper Respiratory Tract Infection (URTI) is a disease that continues to grow and still a major cause of morbidity and mortality in infants and children. URTI occurs especially in countries with low and middle per capita income including Indonesia. Based on URTI prevalence survey that is conducted in 2007 in Indonesia and the data of Medan City Health Office in 2012, there are 25,5% of infants who suffered from URTI.

This research is an analytic study with cross-sectional design to examine the relationship of household smoke exposure in the development of upper respiratory tract infection in infants in Primary Health Care of Tegal Sari-Medan. Datas are collected from 60 questionnaires which is selected by consecutive sampling in August 2014 - September 2014. Datas were analyzed in univariate analysis by using descriptive statistics and bivariate analysis by using Fisher’s Exact Test.

The result shows that there were 56.7% of children under five suffered from upper respiratory tract infection. The results of the bivariate analysis showed no association between exposure to cooking fumes fuel with upper respiratory tract infection (p = 1.000), there was no association between exposure to cigarette smoke with upper respiratory tract infection (p = 0.126), and there is no relationship of exposure to smoke repellent with upper respiratory tract infection (p = 0.126). Due to absence of relationship in the bivariate analysis, multivariate analysis can’t be conducted.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang te;ah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini. Sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, laporan hasil penelitian ini disusun sebagai rangakaian tugas akhir dalam menyelesaikan program pendidikan di program studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya Tulis Ilmiah ini berjudul “Hubungan Paparan Asap Rumah Tangga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bagian Atas pada Balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan Tahun 2014”. Dalam proses menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD, KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Rini Savitri Daulay, M. Ked (ped), Sp.A, selaku dosen pembimbing penulis yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikirannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis, mulai dari awal penyusunan penelitian, pelaksanaan di lapangan, hingga selesainya laporan hasil penelitian ini.

3. dr. Sumondang Pardede, SpPA dan dr. Syamsul Bihar, SpP, selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.

4. Ibu Sondang dan Ibu Tia, selaku staf administrasi Puskesmas Tegal Sari-Medan yang telah membantu proses pengambilan data dalam penelitian ini.

5. Orang tua penulis, Ayahanda Jaloster Sitinjak dan Ibunda Rumondang Batuara, serta ketiga kakak penulis Mauli Hasoloan, Floria Eva, dan Dessy Mariana yang senantiasa mendukung dan memberikan bantuan dalam menyelesaikan laporan penelitian ini.


(7)

6. Sahabat-sahabat penulis yang luar biasa atas dukungan , motivasi, dan masukan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan laporan penelitian ini.

Penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu kedokteran.

Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan hasil penelitian ini di kemudian hari.

Medan, Desember 2014


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3Tujuan Penelitian ... 3

1.4Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut ... 5

2.1.1 Definisi ... 5

2.1.2 Patofisiologi ... 5

2.1.3 Etiologi ... 7

2.1.4 Faktor Risiko ... 7

2.1.5 Klasifikasi ... 12

2.1.6 Diagnosis ... 13

2.1.7 Penatalaksanaan ... 15

2.2 Hubungan paparan asap rumah tangga dengan kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut bagian atas pada balita ... 16


(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 19

3.1 Kerangka Konsep ... 19

3.2 Definisi Operasional ... 19

3.3 Hipotesis ... 21

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 22

4.1 Jenis Penelitian ... 22

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

4.2.1 Waktu Penelitian ... 22

4.2.2 Tempat Penelitian ... 22

4.3 Populasi dan Sampel ... 22

4.3.1 Populasi ... 22

4.3.2 Sampel ... 23

4.4 Metode Pengumpulan Data... 24

4.4.1 Data Primer ... 24

4.4.2 Data Sekunder ... 25

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 25

4.5.1 Pengolahan Data ... 25

4.5.2 Analisis Data ... 26

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 27

5.1 Hasil Penelitian ... 27

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 27

5.1.2 Deskripsi Data Penelitian ... 28

5.1.3 Karakteristik Responden ... 28

5.1.4 Hasil Analisa Penelitian ... 35

5.2 Pembahasan ... 37

5.2.1 Insidensi Kejadian ISPA bagian atas ... 37

5.2.2 Hubungan Paparan Asap Bahan Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA Bagian Atas pada Balita ... 38


(10)

5.2.3 Hubungan Paparan Asap Rokok dengan Kejadian ISPA

Bagian Atas pada Balita ... 39

5.2.4 Hubungan Paparan Asap Obat Nyamuk dengan Kejadian ISPA Bagian Atas pada Balita ... 41

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

6.1 Kesimpulan ... 43

6.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Definsi Operasional Asap Rokok 19

3.2. Definsi Operasional Asap Dapur 20

3.3. Definsi Operasional Asap Obat Nyamuk 20

3.4. Definsi Operasional ISPA Bagian Atas 21

5.1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden 28

5.2. Distribusi Frekuensi Usia Responden 29

5.3. Distribusi Frekuensi Jenis Bahan Bakar Masak Responden 29

5.4. DistribusiFrekuensi Membawa Responden Saat Orang Tua Memasak 30

5.5. Distribusi Frekuensi Jumlah Waktu Memasak Orang Tua Responden 30

5.6. Distribusi Frekuensi Adanya Anggota Keluarga Responden yang Merokok 30

5.7. Distribusi Frekuensi Jumlah Anggota Keluarga Responden yang Merokok 31

5.8. Distribusi Frekuensi Jumlah Batang Rokok Anggota Keluarga Responden 31

5.9. Distribusi Frekuensi Jenis Rokok Anggota Keluarga Responden 32 5.10. Distribusi Frekuensi Keberadaan Responden Saat Anggota Keluarga Merokok 32

5.11. Distribusi Frekuensi Jumlah Waktu Merokok Anggota Keluarga Responden 33

5.12. Distribusi Frekuensi Penggunaan Obat Nyamuk Responden 33 5.13. Distribusi Frekuensi Jenis Obat Nyamuk Responden 34 5.14. Distribusi Frekuensi Jumlah Penggunaan Obat Nyamuk


(12)

5.15. Distribusi Frekuensi Lama Waktu Paparan Obat Naymuk 35 5.16. Distribusi Frekuensi Status ISPA pada Responden 35 5.17. Hubungan antara Paparan Asap Bahan Bakar Masak dengan

ISPA Bagian Atas pada Balita 36 5.18. Hubungan antara Paparan Asap Rokok dan ISPA Bagian

Atas pada Balita 36 5.19. Hubungan antara Paparan Asap Obat Nyamuk dengan ISPA

Bagian Atas 37


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar 3.1 Kerangka Konsep 19


(14)

DAFTAR SINGKATAN

ASI Air Susu Ibu

Balita Bayi bawah lima tahun BBLR Bayi Berat Lahir Rendah

CO Carbon Monoksida

Depkes Departemen Kesehatan

Dinas Dinas Kesehatan DPT Difteri Pertusis Tetanus

hMPV Human metapneumovirus

IL Inter Leukin

ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut Kemenkes Kementrian Kesehatan

PAH Polycyclic Aromatic Hydrocarbon

PMN Polimorfonuclear

SPSS Statistic Package for Social Science WHO World Health Organization


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Surat Persetujuan Komisi Etik Lampiran 3 Surat Izin Survei Awal Penelitian Lampiran 4 Surat Izin Penelitian

Lampiran 5 Lembar Permohonan Menjadi Responden Lampiran 6 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 7 Kuesioner


(16)

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang terus berkembang dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular pada bayi dan anak-anak. ISPA terutama terjadi di negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah termasuk Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan, prevalensi ISPA pada tahun 2007 di Indonesia dan data Dinas Kesehatan Kota Medan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sebesar 25,5% balita menderita ISPA.

Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan desain Cross-Sectional untuk melihat hubungan paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita yang dilakukan di Puskesmas Tegal Sari-Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui 60 data kuesioner pada bulan Agustus 2014–September 2014 yang dikumpulkan secara consecutive sampling. Data yang dikumpukan dianalisis secara univariat menggunakan statistik deskriptif dan bivariat menggunakan Fisher’s Exact Test.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat sebanyak 56,7% balita menderita ISPA bagian atas. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara paparan asap bahan bakar masak dengan ISPA bagian atas (p = 1,000), tidak ada hubungan paparan asap rokok dengan ISPA bagian atas (p = 0,126) , dan tidak ada hubungan paparan asap obat nyamuk dengan kejadian ISPA bagian atas (p = 0,126). Tidak terdapatnya hubungan pada analisis bivariat maka penelitian ini tidak dapat dilanjutkan dengan melakukan analisa multivariat.


(17)

ABSTRACT

Upper Respiratory Tract Infection (URTI) is a disease that continues to grow and still a major cause of morbidity and mortality in infants and children. URTI occurs especially in countries with low and middle per capita income including Indonesia. Based on URTI prevalence survey that is conducted in 2007 in Indonesia and the data of Medan City Health Office in 2012, there are 25,5% of infants who suffered from URTI.

This research is an analytic study with cross-sectional design to examine the relationship of household smoke exposure in the development of upper respiratory tract infection in infants in Primary Health Care of Tegal Sari-Medan. Datas are collected from 60 questionnaires which is selected by consecutive sampling in August 2014 - September 2014. Datas were analyzed in univariate analysis by using descriptive statistics and bivariate analysis by using Fisher’s Exact Test.

The result shows that there were 56.7% of children under five suffered from upper respiratory tract infection. The results of the bivariate analysis showed no association between exposure to cooking fumes fuel with upper respiratory tract infection (p = 1.000), there was no association between exposure to cigarette smoke with upper respiratory tract infection (p = 0.126), and there is no relationship of exposure to smoke repellent with upper respiratory tract infection (p = 0.126). Due to absence of relationship in the bivariate analysis, multivariate analysis can’t be conducted.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Masalah kesehatan saat ini merupakan hal utama yang harus diperhatikan, terutama pencegahan dan pengendalian penyakit menular. Pencegahan dan pengendalian penyakit menular di fasilitas pelayanan kesehatan sama sekali tidak boleh diabaikan. Penyakit atau patogen yang menular merupakan masalah yang terus berkembang, tidak terkecuali ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) (Kemenkes, 2013).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung sampai alveoli termasuk adneksanya: sinus, rongga telinga tengah, dan pleura. Berdasarkan anatomi dibagi menjadi ISPA bagian atas dan ISPA bagian bawah

Menurut World Health Organization, ISPA merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak- anak dan orang tua terutama di negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah (WHO, 2007).

(Depkes, 2012).

Insiden ISPA menurut kelompok balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta episode), Cina (21juta episode), Pakistan (10 juta episode) dan Indonesia (6juta episode) (Depkes, 2012).


(19)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut merupakan masalah kesehatan yang utama di Indonesia karena masih tingginya angka kejadian ISPA terutama pada balita. Selain itu, ISPA berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di pelayanan kesehatan dan merupakan urutan pertama penyebab kematian pada kelompok balita. Berdasarkan survei yang dilakukan prevalensi ISPA pada tahun 2007 di Indonesia sebanyak 25,5% dan kematian balita yang disebabkan ISPA sebanyak 22,30% dari seluruh kematian balita (Maramis, 2013).

Pada tahun 2012, dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara terdapat 3 kabupaten/kota yang melaporkan 0 (nol) kasus yaitu Kabupaten Nias Utara, Batubara dan Kota Binjai. Kabupaten dengan jumlah penderita kasus ditemukan dan ditangani terbanyak adalah Kabupaten Simalungun yaitu 32,44%, disusul dengan Kota Medan sebesar 25,50% dan Kabupaten Deli Serdang sebesar 21,53% (Dinkes, 2012).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan. Dari angka-angka di pelayanan kesehatan Indonesia didapat sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di rumah sakit (Sitorus, 2012).

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA, seperti : lingkungan dan host. Menurut penelitian sebelumnya faktor lingkungan yang mempengaruhi adalah kondisi kualitas udara dalam ruangan yang dipengaruhi oleh polusi udara dalam ruangan (indoor air polution). Pencemaran udara dalam ruangan disebabkan oleh aktifitas penghuni dalam rumah: perilaku merokok anggota keluarga, penggunaan bahan bakar masak, dan penggunaan obat nyamuk dalam rumah tangga. Sedangkan faktor host yang dapat mempengaruhi terjadinya ISPA antara lain: umur, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan status imunisasi. Balita adalah kelompok umur yang memiliki daya tahan tubuh yang belum cukup berkembang dengan baik. Oleh sebab itu, buruknya kondisi lingkungan dalam rumah tangga terhadap balita akan mempermudah terserang penyakit khususnya infeksi saluran pernapasan (Layuk et al., 2013).


(20)

Berdasarkan banyaknya kasus ISPA pada anak, peneliti tertarik untuk melalukan penelitian tentang hubungan paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan. Dengan adanya data ini diharapkan menambah pengetahuan tentang hubungan antara paparan asap dalam rumah tangga dengan angka kejadian ISPA bagian atas pada balita dan penanganannya dapat dilaksanakan lebih baik dan maksimal.

1.2Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari- Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui insidensi angka kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.

2. Untuk mengatahui hubungan antara status kebiasaan merokok dalam rumah dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.

3. Untuk mengetahui hubungan antara status penggunaan jenis bahan bakar kayu atau arang dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.

4. Untuk mengetahui hubungan antara status penggunaan jenis bahan bakar minyak tanah dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.

5. Untuk mengetahui hubungan antara status penggunaan jenis bahan bakar gas atau listrik dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.


(21)

6. Untuk mengetahui hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk bakar, listrik, dan gas dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari- Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian.

2. Bagi masyarakat umum, dapat memberikan gambaran dan meningkatkan pengetahuan tentang ISPA bagian atas.

3. Bagi praktisi kesehatan, dapat memberikan informasi kesehatan tentang hubungan paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita.

4. Bagi peneliti lain, dapat dijadikan sebagai informasi tambahan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubugan dengan ISPA bagian atas pada balita.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut 2.1.1 Definisi

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau dikenal sebagai Acute Respiratory Infections (ARI) adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran pernapasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura

Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan, dan akut.

(Depkes, 2012).

Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh manusia dan berkembang sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli, beserta organ adneksa lainnya seperti rongga sinus, rongga telinga tengah, dan pleura. Sedangkan infeksi akutadalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut dari suatu penyakit (Sitorus, 2012).

2.1.2 Patofisiologi

Gejala yang ditimbulkan oleh ISPA tergantung oleh sifat mikroba, respon inflamasi pada paru-paru host dan lingkungan. Ketika mikroba terdeposit pada paru-paru, mekanisme sistem pertahanan yang didistribusikan ke seluruh saluran pernapasan dari hidung sampai ke permukaan alveolar dapat dihasilkan (Mizgerd, 2008).

Mikroba harus terlebih dahulu memasuki sel pada permukaan tubuh untuk menginfeksi inangnya. Jalur masuk umumnya adalah lapisan mukosa saluran pernapasan melalui inhalasi droplet udara atau aspirasi oral. Epitel saluran napas bagian atas terutama terdiri dari epitel kolumnar bersilia yang ditutupi oleh selaput lendir . Silia bergerak bolak-balik dan berinteraksi dengan selaput lendir, sehingga partikel yang masuk terperangkap (Simoes et al., 2006).


(23)

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya mikroba dengan tubuh. Masuknya mikroba sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong mikroba atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal, maka mikroba akan bereplikasi dan merusak lapisan epitel mukosa saluran pernafasan. Sel epitel yang rusak akan merangsang natural killer dan limfosit untuk menghasilkan sitokin. Setelah melintasi epitel, partikel mikroba memasuki membran basal. Di bawah membran basal terdapat sub-epitel, dimana mikroba bertemu dengan cairan jaringan, sitem limfatik, dan fagosit yang menguraikan beberapa sitokin dan interferon untuk mencegah replikasi lebih lanjut. Pelepasan mikroba pada membran basal menyediakan akses penyebaran secara sistemik

Sitokin yang dihasilkan akan menimbulkan suatu respon sistemik berupa demam dan mialgia. Sedangkan respon lokal akibat sitokin akan menimbulkan batuk yang parah. Selain itu sistem pertahanan tubuh manusia juga merangsang lebih banyak lagi sel fagosit termasuk Limfosit B dan T. Antibodi yang dihasilkan oleh limfosit B akan

(Manjarrez-Zavala et al., 2013).

membunuh mikroba melalui opsonisasi, netralisasi, dan aktivasi komplemen (Manson & Summer, 2010).

Sel yang rusak juga akan meningkatkan produksi IL-8, sebagai akibatnya mukosa saluran pernapasan dirangsang untuk menghasilkan sekresi mukus yang cukup banyak. Sekresi mukus yang berlebih menyebabkan penderita batuk sebagai usaha untuk mengeluarkan mukus (Treanor, 2008). Mukus yang dihasilkan akan menghalangi proses difusi dan osmosis oksigen pada alveolus. Perubahan tersebut akan berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa oleh darah. Penurunan itu secara klinis akan membuat penderita mengalami pucat sampai sianosis. Apabila seseorang mengalami gangguan imunitas yang rendah tanpa adanya kerusakan saluran pernapasan, maka agen-agen yang masuk akan sulit di bunuh sehingga menimbulkan gejala infeksi. Gejala pada ISPA bukan merupakan efek langsung dari jumlah virus yang berplikasi atau jumlah sel yang terinfeksi, tetapi disebabakan oleh mediator inflamasi yang dihasilkan (Riyadi & Sukarmin, 2009).


(24)

Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus, jamur dan lain-lain. Bakteri penyebab ISPA antara lain Group A streptococci ( 5-15% dari semua kasus faringitis pada usia dewasa; 20-30% pada anak- anak), Group C and G streptococci,

2.1.3 Etiologi

Neisseria gonorrhoeae, Arcanobacterium (Corynebacterium) hemolyticum, Corynebacterium diphtheriae, Atypical bacteria (Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae), Anaerobic bacteria. Virus penyebab ISPA antara lain adalah Adenovirus, Coronavirus, Enterovirus, hMPV (Human metapneumovirus), Influenza virus, Parainfluenza virus, Rhinovirus, and Respiratory Syncytial Virus (RSV) (Maneggethi, 2013).

2.1.4 Faktor Risiko

1. Faktor Host a. Usia

Faktor risiko tertinggi kejadian ISPA terjadi pada balita. Balita (bayi dibawah umur lima tahun) merupakan anak yang berusia 0-59 bulan. Bayi merupakan masa permulaan dari suatu kehidupan manusia. Apabila kita mengenali perkembangan balita, maka kita akan mengenali apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita hindarkan agar masa bayi ini berkembang se-optimal mungkin dan dengan demikian akan menjadi dasar yang baik bagi perkembangan manusia dewasa (Depkes, 2006).

Bayi usia di bawah 3 bulan mempunyai angka infeksi yang rendah, karena fungsi pelindung antibodi yang berasal dari ibu. Infeksi meningkat pada usia 3-6 bulan karena waktu ini adalah antara hilangnya antibodi dari ibu dan produksi antibodi bayi itu sendiri. Jumlah jaringan limfa akan meningkat pada masa anak- anak yang sedang tumbuh sehingga akan meningkatkan kekebalan tubuh. Semakin meningkatnya sistem pertahanan tubuh, anak-anak berusia 5 tahun yang mengalami infeksi pernapasan akan berkurang frekuensinya (Hartono & Rahmawati, 2012).


(25)

Air Susu Ibu (ASI) sangat dibutuhkan bayi dalam perkembangan otak dan tubuhnya. Di dalam ASI terdapat unsur protein yang sangat tinggi, sehingga dampaknya masih terasa hingga dewasa dalam menjaga kesehatannya. ASI dapat memperbaiki dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Hal ini disebabkan karena pada air susu ibu yang pertama keluar atau disebut colustrum dapat meningkatkan produksi antibodi, menjadi antioksidan dan antiradikal bebas (Devi, 2010).

b. ASI (Air Susu Ibu)

Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Imunisasai Influenza secara signifikan akan mengurangi prevalensi, insiden, dan durasi influenza serta memperbaiki gejala. Imunisasi DPT, pneumokokus, campak juga berperan dalam mencegah terjadinya ISPA (Public Health Ontario, 2013).

c. Imunisasi

Imunisasi yang diberikan pada anak tidak memberikan kekebalan tubuh terhadap ISPA secara langsung, melainkan hanya untuk mencegah faktor yang dapat memicu terjadinya ISPA. Masih tingginya ISPA pada balita yang telah menerima imunisasi lengkap disebabkan karena belum ada vaksin yang dapat mencegah ISPA secara langsung. Daya tahan tubuh anak yang rendah dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada balita yang telah memiliki imunisasi lengkap (Layuk et al., 2013).


(26)

d. BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) lebih sering terjadi pada balita BBLR dibandingkan dengan balita tidak BBLR. Hal ini disebabkan karena bayi BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh yang belum sempurna, sehingga bayi BBLR mempunyai daya tahan tubuh yang rendah. Bayi BBLR memiliki pusat pengaturan pernapasan yang belum sempurna,surfaktan paru-paru masih kurang, otot pernapasan lemah, tulang iga lemah, dan dapat disertai penyakit membran hialin. Selain itu, bayi BBLR mudah mengalami infeksi paru-paru dan gagal pernapasan (Sukmawati, 2010).

e. Pemberian vitamin A dan Zinc

Kadar vitamin A serum tidak hanya dipengaruhi oleh asupan yang banyak mengandung vitamin A, tetapi juga berhubungan dengan mikronutrien lain yang berperan dalam metabolisme dan transport vitamin A. Pada proses oksidatif vitamin A di jaringan perifer membutuhkan aktifasi dari zinc-dependent retinol dehydrogenase enzym. Vitamin A memiliki fungsi sebagai sistem kekebalan tubuh untuk deferensiasi limfosit T dan limfosit B, penghambatan apoptosis, serta mempertahankan integritas dan fungsi permukaan mukosa. Zinc diperlukan dalam aktifitas biologis tymulin, yang berguna untuk pematangan limfosit T dan produksi interleukin-2. Defisiensi Zinc akan mengganggu fungsi leukosit PMN, sel natural killer, dan aktivasi komplemen, sehingga memudahkan anak menderita ISPA. Defisiensi Zinc juga menyebabkan rendahnya kadar vitamin A (Feridansyah, 2010).

2. Faktor Lingkungan

Polusi udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi yang membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan. Polusi udara dapat dibagi menjadi dua jenis, polusi udara primer dan polusi udara sekunder. Polusi udara primer adalah substansi pencemar yang ditimbulkan langsung dari sumber pencemaran udara, sedangkan polusi udara sekunder a. Polusi udara


(27)

adalah substansi pencemaran yang terbentuk dari reaksi polusi primer di udara. Asap dalam rumah tangga sebagian besar merupakan polusi udara primer (Nurbiantara, 2010).

b. Ventilasi

Kualitas udara juga ditentukan oleh adanya ventilasi. Ventilasi adalah tempat pertukaran antara udara dalam ruangan dengan udara luar ruangan dan tempat masuknya sinar matahari ke dalam ruangan yang dapat membunuh mikroorganisme patogen. Ventilasi yang memenuhi syarat (minimum 10% luas lantai ruangan) dapat mengindari pengaruh buruk yang dapat merugikan kesehatan manusia pada suatu ruangan (Harahap, 2013).

c. Kepadatan hunian

Gaya hidup sehari-hari keluarga yang sering berkumpul bersama pada suatu lingkungan rumah akan memiliki risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan bagian atas maupun bawah. Paparan agen infeksi dalam keluarga,

Pesyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m²/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Rumah sederhana idealnya minimum 10 m²/orang, untuk kamar tidur diperlukan luas lantai 3m²/orang dan untuk mencegah penularan penyakit pernapasan jarak antara tepi tempat tidur satu dengan yang lain 90cm. Kamar tidur sebaiknya tidak digunakan lebih dari 2 orang pada orang dewasa (Soesanto et al., 2000).

paling intens terjadi ketika berbagi kamar tidur bersama ( Koch et al., 2003).

2.1.5 Klasifikasi

1. Berdasarkan lokasi anatomis a. Infeksi pernafasan bagian atas

Infeksi akut yang menyerang hidung hingga laring. Ini termasuk common cold, faringitis, tonsilitis, otitis media, dan sinusitis.


(28)

b. Infeksi pernafasan bagian bawah

Infeksi akut yang menyerang bagian di bawah laring hingga alveolus. Ini termasuk pneumonia, bronkitis, bronkiolitis (Holmgren, 2011).

2. Berdasarkan derajat keparahan penyakit a. ISPA ringan

Ditandai dengan satu atau lebih gejala batuk, pilek dengan atau tanpa demam.

b. ISPA sedang

Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala seperti pernafasan cepat, wheezing, sakit telinga, keluar sekret dari telinga, dan bercak kemerahan.

c. ISPA berat

Meliputi gejala ISPA sedang ditambah satu atau lebih gejala seperti penarikan sela iga kedalam sewaktu inspirasi, kesadaran menurun, bibir / kulit pucat kebiruan, stridor saat istirahat (Heriyana,2009).

3. Berdasarkan umur dan tanda-tanda klinis yang didapat a. Anak umur 2 bulan – 5 tahun

(1). Pneumonia berat

Tanda utama adanya tanda bahaya, yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, serta gizi buruk. Adanya tarikan dinding dada ke belakang, nafas cuping hidung, suara rintihan ,sianosis.

(2). Pneumonia tidak berat

Tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, disertai nafas cepat: lebih dari 50 kali / menit untuk usia 2 bulan – 1 tahun dan lebih dari 40 kali / menit untuk usia 1 tahun – 5 tahun.

(3). Bukan Pneumonia

Tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, tidak ada nafas cepat: kurang dari 50 kali / menit untuk anak usia 2 bulan–1 tahun dan kurang dari 40 kali / menit untuk anak usia 1 – 5 tahun.


(29)

b. Anak umur kurang dari 2 bulan (1). Pneumonia berat

Kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, demam, nafas cepat dengan frekuensi 60 kali / menit atau lebih, tarikan dinding dada.

(2). Bukan Pneumonia

Tidak ada nafas cepat, tidak ada tarikan dinding dada kedalam (Depkes, 2012).

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis ISPA ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis terhadap pasien. Pemeriksaan klinis dilakukan dengan inspeksi, perkusi, palpasi, maupun auskultasi.

1. Infeksi Akut Saluran Nafas Atas a. Nasofaringitis akut

Demam, gelisah, pilek, hidung tersumat, dapat terjadi sinusitis persisten pada semua umur.

b. Faringitis Akut

Gejala yang dominan adalah nyeri tenggorokan dan sakit menelan yang mungkin didahului oleh pilek atau gejala influenza lainnya. Nyeri ini kadang sampai ke telinga (otalgia) karena adanya nyeri alih (referred pain) oleh N IX. Hiperemia pada jaringan limfoid dinding belakang faring yang kadang disertai folikel bereksudat menandakan adanya infeksi sekunder. Pada permukaannya mungkin terlihat alur-alur sekret mukopurulen.

c. Rinitis

Hidung tersumbat, bersin, sekret hidung pada kasus yang menetap baunya tidak enak dan pengelupasan liang hidung anterior. Pada rinitis alergika yang bersifat musiman dapat terlihat membran mukosa cenderung pucat, jaringan lunak membengkak. Rinitis atrofi merupakan sekuele terhadap infeksi hidung yang berlangsung lama akan menyebakan sedikit sekret tetapi banyak kerak dan tenggorokan terasa kering.


(30)

d. Tonsilitis akut

Demam, pembesaran tonsil, kadang disertai sakit menelan. e. Abses Retrofaring

Mempunyai riwayat nasofaringitis atau faringitis akut. Dimulai dengan demam tinggi mendadak dengan kesukaran menelan, menolak makan, distres berat dengan nyeri tenggorokan, kepala hiperekstensi, kesulitan bernapas, sekresi berakumulasi dalam mulut, dan menyebabkan pengeluaran ludah karena kesukaran menelan.

f. Abses peritonsilar

Didahului faringotonsilitis akut. Penderita mengalami nyeri tenggorokan berat, trismus karena spasme muskulus pterigoideus, menolak untuk menelan dan berbicara.

g. Sinusitis

Demam > 39ºC, nyeri kepala, nyeri wajah, edema periorbital. h. Otitis Media Akut

Demam, penurunan pendengaran, sakit telinga, cairan purulen pada liang telinga (Arnold, 2000).mmm

2. Infeksi Akut Saluran Pernafasan Bawah a. Bronkitis Akut

Batuk produktif, ronki basah, demam, takipnu. b. Bronkiolitis Akut

Demam, nafsu makan berkurang, distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing , sesak napas. Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media.


(31)

c. Pneumonia

Batuk, demam, takipnu, suara pernapasan melemah, hipoksemia, sianosis, ronki basah, abnormalitas infiltrat pada roentgen tergantung penyebabnya (Goh et al., 1999).

2.1.7 Penatalaksanaan

1. Umur < 2 bulan a. Pneumonnia berat

Rujuk segera ke rumah sakit, beri 1 dosis antibiotik, obati demam jika ada, obati wheezing jika ada, anjurkan ibu untuk tetap memberikan ASI

b. Bukan Pneumonia

Tindakan perawatan di rumah, menjaga bayi tetap hangat, memberi ASI lebih sering, membersihkan lubang hidung jika megganggu pemberian ASI, anjurkan ibu kembali kontrol jika pernapasan cepat atau sukar, kesulitan minum ASI, sakitnya bertambah parah.

2. Umur 2 bulan-5tahun a. Pneumonia berat

Rujuk segera ke rumah sakit, beri 1 dosis antibiotik, obati demam jika ada, obati wheezing jika ada

b. Pneumonia

Tindakan perawatan di rumah, beri antibiotik selama 3 hari, anjurkan ibu kontrol 2 hari atau lebih cepat bila keadaan anak memburuk, obati demam jika ada, obati wheezing jika ada

c. Bukan Pneumonia

Bila batuk > 3 minggu merujuk, nasihati ibu untuk tindakan perawatan di rumah, obati demam jika ada, obati wheezing jika ada.


(32)

Periksa dalam 2 hari anak yang diberi antibiotik

a. Memburuk (tidak dapat minum, ada tanda bahaya) : rujuk segera ke rumah sakit

b. Tetap sama : ganti antibiotik atau rujuk

c. Membaik (napas melambat, panasnya menurun, nafsu makan membaik) : teruskan penggunaan antibiotik sampai tiga hari.

Obat yang biasa disediakan oleh pemerintah adalah tablet kotrimoksazol 480 mg, sirup kotrimoksazol 240mg/5ml, sirup kering amoksisislin125mg/5mg, tablet parasetamol 500 mg, sirup parasetamol 120mg/5ml (Depkes, 2012).

2.2 Asap Rumah Tangga

Polusi udara pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu polusi udara dalam ruangan dan polusi udara luar ruangan. Polusi udara dalam ruangan meliputi bahan bakar padat yang digunakan untuk memasak dan memanaskan, asap rokok, penggunaan insektisida atau obat nyamuk semprot maupun bakar. Polusi udara luar ruangan seperti pembakaran bahan bakar fosil. Dari berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa polusi udara sebagai faktor risiko terhadap terjadinya infeksi saluran pernapasan (Smith et al., 2000).

Pembakaran bahan biomasa (arang, kayu, batu bara) dalam rumah tangga memberikan jumlah yang cukup besar sebagai polutan yang merusak kesehatan t

Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH), ermasuk kandungannya dari berbagai partikulat terhirup seperti Carbon Monoksida (CO), nitrogen oksida, benzena, formaldehida, 1,3 butadiena, arsenik, timah dan fluor, sulfur oksida, poliaromatik senyawa seperti benzo (α) pyrene, dan unsur- unsur beracun lainnya. Ketika bahan bakar ini digunakan dalam kondisi ventilasi yang buruk dapat menyebabkan tingkat polutan udara dalam ruangan tinggi (Desai et al., 2004).

nitrogen dioksida, amonia, sianida, dan lain-lain. Bahan kimia yang komplesks pada asap rokok memiliki beberapa efek yang sangat beragam pada


(33)

kesehatan manusia. Perokok dan bukan perokok sama-sama dapat merugikan kesehatannya. Perokok menghirup asap rokok yang ditarik melalui ujung filter, asap ini merupakan jenis asap rokok utama (mainstream smoke). Bukan perokok menghirup

Insektisida adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai vektor baik secara langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan manusia. Ada berbagai klasifikasi insektisida berdasarkan rumus kimia, tetapi insektisida dalam lingkungan rumah yang biasa menimbulkan gangguan pernapasan adalah golongan pitretroid yang terdapat pada obat nyamuk bakar, semprot, dan listrik (Raini, 2009).

asap yang dipancarkan ke udara sekitar perokok dari hasil pembakaran atau yang disebut asap rokok sampingan (sidestream smoke). Asap rokok sampingan merupakan sumber utama asap tembakau lingkungan (Talhout et al., 2011).

kkk

2.3 Hubungan Paparan Asap Rumah Tangga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bagian Atas pada Balita

Asap dalam rumah tangga terdiri dari beberapa sumber yaitu bahan bakar masak (kayu, batubara, arang, minyak tanah, listrik, gas petroleum cair, biogas, dan kategori sisa bahan bakar lainnya

Mekanisme yang tepat dimana meningaktnya risiko ISPA terhadap efek asap bahan bakar pada anak-anak masih belum jelas. Efeknya mungkin dimediasi sebagian oleh inhalasi dan deposisi partikel pada saluran napas. Partikel asap yang berasal dari bahan bakar masak merupakan campuran kompleks dari senyawa organik yang mirip dengan senyawa dalam asap tembakau. Partikel- pertikel ini ), rokok, dan obat nyamuk. Jenis-Jenis asap tersebut merupakan suatu prediktor terjadinya ISPA dengan berbagai macam mekanisme perlawanan host yang spesifik maupun spesifik. Mekanisme non-spesifik termasuk filtrasi, mukosiliar dari trakea dan bronkus, fagositosis yang mempromosikan komponen cairan pada epitel, dan fagositosis oleh makrofag alveolar. Mekanisme spesifik termasuk berbagai komponen dari imunitas humoral dan selular. Cell mediated immunity dibutuhkan untuk membunuh organisme yang berada di dalam alveolar makrofag (Mishra et al., 2005).


(34)

telah terbukti menyebabkan penekanan pada respon sistem kekebalan tubuh. Secara khusus, partikulat dapat meningkatkan perlekatan bakteri pada mukosa pernapasan dan mengurangi aktivitas makrofag bakterisida dan gerakan kemotaksis. Asap dari arang dapat menyebabkan pengendapan partikel yang lebih besar di saluran pernapasan karena ukurannya yang sangat kecil (2,5 μm). Pengendapan mengakibatkan peradangan dan gangguan aktivitas mukosiliar. Dengan demikian pengurangan kapasita paru-paru dapat terjadi beberapa jam atau hari setelah paparan akut (Bautista et al., 2008).

Asap pada bahan bakar masak terutama mengandung jumlah yang besar dari hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) dapat menyebabkan penekanan imun sistem dan meningkatkan risiko infeksi. Paparan nitrogen oksida pada asap bahan bakar dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan reaktifasi bronkus sehingga rentan terhadap infeksi bakteri maupun virus (Mishra et al., 2005).

Pembakaran tembakau pada rokok akan membentuk bahan kimia aerosol yang menguap dan partikulat (3 x 10⁹

Komponen pada asap rokok

particles/mL asap rokok). Asap rokok mempromosikan pengendapan patrikel dalam saluran pernapasan yang lebih rendah, dimana asap tersebut akan mempengaruhi mekanisme pertahanan saluran pernapasan dalam berbagai tingkatan (Murin & Bilello, 2005).

termasuk nitrogen dioksida, amonia, sianida, aldehida, keton, akrolein, dan acids memiliki dampak negatif terhadap cilia. Nitrogen dioksida telah terbukti mempengaruhi kerusakan mukosiliar dan sistem imum humoral maupun selular. Kompleks campuran sulfur dioksida dan partikulat dapat mengurangi efektivitas pertahanan host terhadap agen mikroba dan saluran pernapasan. Ozon telah terbukti menyebabkan peradangan saluran pernafasan, meningkat permeabilitas bronkoalveolar, dan merusak fungsi makrofag

Insektisida golongan piretroid berdasarkan produknya dibagi menjadi piretroid yang berasal dari tumbuhan Chrysanthemum cinerariaefolium dan piretroid sintetis yang merupakan sintesa dari piretrin. Piretroid memiliki efek toksisitas yang rendah pada manusia, tetapi dapat menyebabkan keracunan dan kematian pada dosis tertentu dan tergantung cara masuknya ke dalam tubuh


(35)

manusia. Keracunan karena terhirup melalui saluran pernapasan dapat menyebabkan gangguan sistem imun dan iritasi seperti rinitis, radang kerongkongan (Raini, 2007).

Rusaknya respon pertahanan dan anatomi tubuh yang diakibatkan oleh berbagai macam polusi udara mempermudah suatu organisme yang masuk melalui inhalasi dan oral berkembang dengan baik karena tidak adanya usaha dari tubuh untuk melawan benda asing tersebut. Semakin berkembangnya organisme tersebut akan merangsang mediator mediator inflamasi seperti sitokin dan berbagai interferon yang akan menyebabkan suatu gejala peradangan (Fullerton et al., 2008).

Polusi udara dalam ruangan mempengaruhi perempuan dan anak-anak kecil jauh lebih banyak daripada sektor lain dari masyarakat. Orang tua biasanya menghabiskan 3-7 jam per hari terpapar asap bahan bakar masak dengan sering mebawa anak khususnya balita di dekatnya. Paparan asap yang lama secara perlahan akan merusak sistem pernapasan balita dan dengan kondisi saluran udara balita lebih kecil sehingga rentan terhadap peradangan, serta imun dan paru-paru yang belum berkembang sempurna akan mempengaruhi kejadian ISPA bagian atas dikarenakan kurangnya respon pertahanan saat benda asing menyerang tubuhnya (Warwick & Doig, 2004).


(36)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Asap Rokok Definisi Alat

ukur Cara ukur Hasil ukur

Skala ukur Asap/polusi yang

ditimbulkan oleh pembakaran rokok yang dapat dihirup di dalam ruangan

Lembar kuesioner

Angket 1. Terpapar (≥5 batang per hari)

2. Tidak Terpapar (<5 batang per hari)

Nominal Asap Rumah Tangga

- Asap Rokok

- Asap Bahan Bakar Masak - Asap obat nyamuk


(37)

Tabel 3.2 Definisi Operasional Asap Bahan Bakar Masak Definisi Alat

ukur Cara ukur Hasil ukur

Skala ukur Asap/polusi yang

ditimbulkan oleh bahan bakar digunakan untuk memasak:

minyak tanah, kayu bakar, gas, listrik yang dapat dihirup

Lembar kuesioner

Angket 1. Terpapar

(bila asap dapur terhirup oleh penghuni rumah ≥3 jam per hari) 2. Tidak Terpapar (bila asap dapur terhirup oleh penghuni rumah <3 jam per hari)

Nominal

Tabel 3.3 Definisi Operasional Asap Obat Nyamuk Definisi Alat

ukur

Cara ukur Hasil ukur Skala ukur Asap/polusi yang

ditimbulkan oleh obat nyamuk yang dapat dihirup di dalam ruangan

Lembar kuesioner

Angket 1. Terpapar (≥3 kali per minggu) 2. Tidak Terpapar

(<3 kali per minggu)


(38)

Tabel 3.4 Definisi Operasional ISPA Bagian Atas Definisi Alat

ukur

Cara ukur Hasil ukur Skala ukur ISPA bagian atas

adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas bagian atas

Rekam medik

Observasi 1. Mengalami

(hasil diagnosis dokter atau paramedis pada rekam medis menunjukkan balita mengalami ISPA bagian atas) 2. Tidak Mengalami

(hasil diagnosis dokter atau paramedis pada rekam medis menunjukkan balita tidak mengalami ISPA bagian atas) Nominal 3.3 Hipotesis

1. Ada hubungan antara asap rokok dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.

2. Ada hubungan antara asap bahan bakar masak dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.

3. Ada hubungan antara asap obat nyamuk dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.


(39)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan bulan Juli sampai September 2014.

4.2.2Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Tegal Sari-Medan. Alasan pemilihan tempat penelitian adalah Puskesmas Tegal Sari-Medan merupakan puskesmas yang memiliki insiden penyakit ISPA bagian atas yang banyak sehingga sampel yang diambil cukup representatif.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1Populasi

a. Populasi target adalah seluruh balita yang menderita ISPA bagian atas. b. Populasi terjangkau adalah seluruh balita yang menderita ISPA bagian atas


(40)

4.3.2 Sampel

Sampel penelitian ini adalah balita penderita ISPA bagian atas yang telah didiagnosis oleh dokter memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang datang berobat ke Puskesmas Tegal Sari-Medan.

1. Kriteria inklusi sbb :

a. Bayi atau anak usia kurang dari 60 bulan

b. Penderita ISPA bagian atas dan tidak ISPA bagian atas

c. Orang tua setuju, kooperatif serta mau mengisi kuesioner dan lembar persetujuan ikut penelitian

2. Kriteria eksklusi :

a. Terdapat penyakit saluran pernapasan kongenital b. Disertai dengan penyakit lain : Tuberkulosis, Asma

c. Anak yang datang berulang (didiagnosis ISPA bagian atas sebelumnya) Pemilihan sampel dilakukan dengan cara non-probability sampling yaitu consecutive sampling. Dengan cara pengambilan ini, peneliti mengambil subjek yang telah didiagnosis menderita ISPA bagian atas sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi (Dahlan,2013).

Perkiraan besar sampel pada penelitian ini diambil berdasarkan rumus penghitungan besar sample berdasarkan analisis yang digunakan :

(1) Analisis Bivariat untuk uji hipotesis dengan 1 populasi (Sastroasmoro, 2013)

� = �1.96 �(0,6)(0,4) + 0,84 � (0,8)(0,2)

0,8−0,6 �

2

� = 41

� = �����0 (1− �0) + ����� (1− ��)

�� − �0 �


(41)

Dengan 1. α = 0,05 2. Zα = 1,96

3. Zβ = 084

4. P0

5. Pa (clinical judgement) = 0,8 dengan effect size yang dianggap rendah yaitu 0,2 (Cohen, 1988)

(berdasarkan pustaka) = proporsi ISPA pada populasi adalah 0,59 yang dibulatkan menjadi 0,6 (Layuk, 2012)

(2) Analisis Multivariat untuk regresi logistik menggunakan aturan Harris (1985) yaitu dengan rumus :

n > 50 + 3 n > 53

Sehingga jumlah sampel yang terbesar adalah 54 orang. Untuk mengantisipasi kekurangan sampel maka besar sampel ditambah 10% dari jumlah sampel minimal. Sehingga jumlah sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah sebanyak 60 orang.

4.4 Metode Pengumpulan Data 4.4.1 Data Primer

Data primer yaitu data yang secara langsung dikumpulkan dari obyeknya, yakni melalui serangkaian angket dan kuesioner yang telah dilakukan uji validasi dan uji reliabilitas dan disebarkan kepada responden. Data primer ini dikumpulkan dengan meminta pendapat responden yang anaknya didiagnosa menderita ISPA bagian atas.


(42)

4.4.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari rekam medis Puskesmas Tegal Sari-Medan.

4.5 Ethical Clearance

Ethical clearance atau kelayakan etik adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh komisi etik penelitian untuk penelitian yang melibatkan makhluk hidup serta manusia, hewan dan tumbuhan, dimana dinyatakan bahwa suatu proposal riset layak dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Pada penelitian ini, kuesioner akan diberikan kepada pasien-pasien ISPA di Puskesmas Tegal Sari- Medan jika ethical clearence pada penelitian ini sudah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran USU.

4.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data 4.6.1 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan, tahap pertama adalah editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, tahap kedua adalah coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisis, tahap ketiga adalah entry yaitu memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputer dengan menggunakan program SPSS, tahap keempat adalah cleaning yaitu memeriksa kembali data yang telah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak (Dahlan, 2013).


(43)

4.6.2 Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan melaui 3 tahapan analisis yakni: 1. Analisis Data Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari masing-masing variabel independen yaitu asap rokok, asap dapur, asap obat nyamuk dan variabel dependen yaitu kejadian ISPA bagian atas pada balita. Variabel asap rokok, asap dapur, dan asap obat nyamuk dianalisis dengan menggunakan skala nominal, sedangkan kejadian ISPA bagian atas pada balita dengan menggunakan skala nominal.

2. Analisis Data Bivariat

Analisis data dilakukan dengan uji statistik menggunakan chi-square, untuk melihat adanya hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dengan derajat kemaknaan α = 0,05. Apabila p value < 0,05 maka Ho ditolak dan apabila p value > 0,05 maka Ho gagal ditolak (Sastroasmoro, 2013).


(44)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Puskesmas Tegal Sari merupakan pusat pelayanan primer tingkat kelurahan yang terletak di Jl. Srikandi No.4 Kelurahan Tegal Sari Mandala III Kecamatan Medan Denai. Dimana wilayah kerja Puskesmas bisa berdasarkan kecamatan atau kelurahan, faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografi, dan keadaan infrastruktur lainnya yang merupakan bahan pertimbangan dalam melakukan wilayah kerja Puskesmas. Kelurahan yang termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Tegal Sari adalah Kelurahan Tegal Sari Mandala I dan Kelurahan Tegal Sari Mandala III. Batas wilayah yaitu:

Kelurahan Tegal Sari Mandala I

- Sebelah Utara : Kelurahan Bantan Timur Kecamatan Medan Tembung - Sebelah Selatan : Kelurahan Tegal Sari Mandala III

- Sebelah Timur : Kelurahan Tegal Sari Mandala II

- Sebelah Barat : Kelurahan Sukaramai Kecamatan Medan Area Kelurahan Tegal Sari Mandala III

- Sebelah Utara : Kelurahan Tegal Sari Mandala I dan Mandala III - Sebelah Selatan : Kelurahan Binjai

- Sebelah Timur : Kelurahan Denai

- Sebelah Barat : Kecamatan Medan Area

Puskesmas Tegal Sari memiliki wilayah kerja seluas 87 Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 63.328 jiwa dan jumlah balita 6.712 jiwa. Terdapat 9 ruang kamar yang terdiri dari kamar periksa, kamar dokter, klinik sanitasi, apotek, kamar KIA, kamar imunisasi, kamar klinik gigi, kamar Lab/ TB paru. Penelitian dilakukan dengan mengambil data dari rekam medis balita yang telah didiagnosis dokter pada ruang kamar periksa.


(45)

5.1.2 Deskripsi Data Penelitian

Data penelitian yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang didapatkan dari orang tua balita yang setuju menjadi responden, sedangkan data sekunder merupakan data yang berasal dari rekam medis penderita ISPA dan tidak ISPA dengan mencatat identitas serta diagnosis pasien. Data yang diambil adalah berasal dari periode bulan Agustus hingga September 2014. Jumlah data keseluruhan yang didapat dan yang memenuhi kriteria inklusi adalah 60 buah.

5.1.3 Karakteristik Responden

Pada penelitian ini, karakteristik responden yang ada dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin, usia, penggunaan obat nyamuk bakar, anggota rumah yang merokok, bahan bakar yang digunakan untuk memasak, dan status ISPA. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden

Jumlah (orang) Persentase

Laki-laki 26 43.3

Perempuan 34 56.7

Total 60 100.0

Dari tabel 5.1 dapat diketahui bahwa mayoritas responden adalah perempuan yaitu 34 orang (56,7%) dengan selisih 8 orang dengan laki-laki yaitu 26 orang (43,3%).


(46)

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Usia Responden

Usia (bulan) Jumlah (orang) Persentase

3-11 7 11.7

12-20 14 23.3

21-29 12 20.0

30-38 11 18.3

39-47 10 16.7

48-56 6 10.0

Total 60 100.0

Dari tabel 5.2. dapat diketahui bahwa mayoritas responden berada dalam kelompok umur 12-20 bulan yaitu sejumlah 14 orang (23,3%). Sedangkan kelompok umur paling sedikit adalah 48-56 bulan yaitu hanya 6 orang (10%). Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Jenis Bahan Bakar Masak Responden

Jumlah (orang) Persentase

Minyak/Kayu 11 18.3

Gas/Kompor Elektrik 49 81.7

Total 60 100.0

Dari Tabel 5.3. dapat diketahui bahwa mayoritas responden menggunakan gas/kompor elektrik sejumlah 49 orang (81,7%). Sedangkan responden yang menggunakan minyak/kayu sebanyak 11 orang (18,3%).


(47)

Tabel 5.4. DistribusiFrekuensi Membawa Responden Saat Orang Tua Memasak

Jumlah (orang) Persentase

Membawa 9 15.0

Tidak Membawa 51 85.0

Total 60 100.0

Dari Tabel 5.4. dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang dibawa saat orang tua memasak sejumlah 9 orang (15%). Sedangkan responden yang tidak dibawa saat orang tua memasak hanyalah sejumlah 51 orang (85%).

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Jumlah Waktu Memasak Orang Tua Responden Jumlah (orang) Persentasi

kurang dari 3 jam 56 93.3

3 jam atau lebih 4 6.7

Total 60 100.0

Dari tabel 5.5. dapat diketahui bahwa mayoritas responden dengan jumlah waktu memasak orang tua kurang dari 3 jam sejumlah 56 orang (93,3%). Sedangkan responden dengan jumlah memasak orang tua 3 jam atau lebih hanyalah sejumlah 4 orang (6,7%).

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Adanya Anggota Keluarga Responden yang Merokok

Jumlah (orang) Persentase

Tidak Ada 12 20.0

Ada 48 80.0


(48)

Dari tabel 5.6. dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang terdapat anggota keluarga yang merokok yaitu sejumlah 48 orang (80%). Sedangkan responden yang tidak terdapat anggota keluarga yang merokok sejumlah 12 orang (20%). Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Jumlah Anggota Keluarga Responden yang

Merokok

Jumlah (orang) Persentase

Tidak ada 12 20.0

1 orang 41 68.3

Lebih dari 1 orang 7 11.7

Total 60 100.0

Dari tabel 5.7. dapat dilihat bahwa mayoritas responden dengan 1 orang anggota keluarga yang merokok sejumlah 41 orang (68,3%). Sedangkan responden dengan tidak ada anggota keluarga yang merokok sejumlah 12 orang (20%) dan responden dengan lebih dari 1 anggota keluarga yang merokok hanya sejumlah 7 orang (11,7%).

Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Jumlah Batang Rokok Anggota Keluarga Responden

Jumlah (orang) Persentase

Tidak merokok 12 20.0

Kurang dari 5 batang 16 26.7

5 batang atau lebih 32 53.3


(49)

Dari tabel 5.8. dapat dilihat mayoritas responden dengan jumlah 5 batang atau lebih pada anggota keluarga yang merokok dejumlah 32 orang (53,3%). Sedangkan responden dengan jumlah kurang dari 5 batang pada anggota keluarga yang merokok sejumlah 16 orang (26,7%) dan tidak ada anggota keluarga responden yang merokok sejumlah 12 orang (20%).

Tabel 5.9. Distribusi Frekuensi Jenis Rokok Anggota Keluarga Responden Jumlah (orang) Persentase

Tidak merokok 12 20.0

Non-filter 7 11.7

Filter 41 68.3

Total 60 100.0

Dari Tabel 5.9. dapat dilihat mayoritas responden yang anggota keluarga merokok dengan jenis filter sejumlah 41 orang (68,3%). Sedangkan tidak ada anggota keluarga responden yang merokok sejumlah 12 orang (20%) dan responden yang anggota keluarga merokok dengan jenis non-filter sejumlah 7 orang (11,7%). Tabel 5.10. Distribusi Frekuensi Keberadaan Responden Saat Anggota Keluarga

Merokok

Jumlah (orang) Persentase Tidak merokok

Tidak dekat

12 28

20.0 46.7

Dekat 20 33.3


(50)

Dari tabel 5.10. dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang tidak dekat saat anggota keluarganya merokok sejumlah 28 orang (46,7%), sedangkan responden yang dekat saat anggota keluarga merokok sejumlah 20 orang (33,3%) dan tidak ada anggota keluarga responden yang merokok sejumlah 12 orang (20%).

Tabel 5.11. Distribusi Frekuensi Jumlah Waktu Merokok Anggota Keluarga Responden

Jumlah (orang) Persentase

Tidak merokok 12 20.0

Kurang dari 3 jam 33 55.0

3 jam atau lebih 15 25.0

Total 60 100.0

Dari tabel 5.11. dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang anggota keluarga merokok dengan jumlah waktu kurang dari 3 jam sejumlah 33 orang (55%). Sedangkan responden yang anggota keluarga merokok dengan jumlah waktu 3 jam atau lebih sejumlah 15 orang (25%) dan tidak ada keluarga responden yang merokok sejumlah 12 orang (20%).

Tabel 5.12. Distribusi Frekuensi Penggunaan Obat Nyamuk Responden Jumlah (orang) Persentase

Tidak menggunakan 46 76.7

Menggunakan 14 23.3

Total 60 100.0

Dari tabel 5.12. dapat dilihat mayoritas responden tidak menggunakan obat nyamuk yaitu sejumlah 46 orang (76,7%). Sedangkan terdapat 14 (23,3%) responden yang menggunakan obat nyamuk.


(51)

Tabel 5.13. Distribusi Frekuensi Jenis Obat Nyamuk Responden

Jumlah (orang) Persentase

Tidak menggunakan 46 76.7

Bakar 5 8.3

Gas/Elektrik/Lotion 9 15.0

Total 60 100.0

Dari Tabel 5.13. dapat dilihat mayoritas responden tidak menggunakan obat nyamuk sejumlah 46 orang (76,7%). Sedangkan responden yang menggunakan obat nyamuk dengan jenis gas/elektrik/lotion sejumlah 9 orang (15%) dan respon dengan jenis obat nyamuk bakar sejumlah 5 orang (8,3%).

Tabel 5.14. Distribusi Frekuensi Jumlah Penggunaan Obat Nyamuk Responden Jumlah (orang) Persentase

Tidak menggunakan 46 76.7

Kurang dari 3 kali per minggu 7 11.7

3 kali atau lebih per minggu 7 11.7

Total 60 100.0

Dari tabel 5.14. dapat dilihat mayoritas responden tidak menggunakan obat nyamuk sejumlah 46 orang (76,7%). Sedangkan responden yang menggunakan obat nyamuk dengan penggunaan kurang dari 3 kali per minggu sejumlah 7 orang (11,7) dan responden dengan penggunaan obat nyamuk 3 kali atau lebih per minggu sejumlah 7 orang (11,7).


(52)

Tabel 5.15. Distribusi Frekuensi Lama Waktu Paparan Obat Naymuk Jumlah (orang) Persentase

Tidak menggunakan 46 76.7

Kurang dari 4 jam 5 8.3

4 jam atau lebih 9 15.0

Total 60 100.0

Dari tabel 5.15. dapat dilihat mayoritas responden tidak menggunakan obat nyamuk sejumlah 46 orang (76,7%). Sedangkan responden yang terpapar obat nyamuk selama 4 jam atau lebih sejumlah 9 orang (15%) dan responden yang terpapar obat nyamuk kurang dari 4 jam sejumlah 5 orang (8,3%).

Tabel 5.16. Distribusi Frekuensi Status ISPA pada Responden

Jumlah (orang) Persentase

ISPA 34 56.7

Tidak ISPA 26 43.3

Total 60 100.0

Dari tabel 5.15. dapat dilihat mayoritas responden memiliki status ISPA yaitu sejumlah 34 orang (56,7%). Sedangkan responden yang tidak ISPA sejumlah 26 orang (43,3%).

5.1.4. Hasil Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara paparan asap bahan bakar masak, paparan asap rokok, paparan asap obat nyamuk terhadap kejadian ISPA bagian atas pada balita. Data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini.


(53)

Tabel 5.17. Hubungan antara Paparan Asap Bahan Bakar Masak dengan ISPA Bagian Atas pada Balita

Paparan Asap Bahan Bakar Masak

ISPA Tidak ISPA

N % N %

Tidak terpapar 33 97.0 26 100.0

Terpapar 1 3.0 0 0

Total 34 100.0 26 100.0

Dari tabel 5.17.didapati bahwa jumlah penderita ISPA yang tidak terpapar asap bahan bakar masak sebanyak 33 orang (97%), sedangkan yang terpapar asap bahan bakar masak sebanyak 1 orang (3%). Penderita tidak ISPA yang tidak terpapar asap bahan bakar masak sebanyak 26 orang (100%) dan terpapar asap bahan bakar masak sebanyak 0 orang (0%).

Setelah dilakukan uji Fisher Exact Test (dalam hal ini uji Chi Square tidak dapat digunakan karena terdapat > 20 % sel mempunyai nilai harapan > 5) dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5%) diperoleh nilai p (p value) adalah 1,000 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan antara paparan asap bahan bakar masak dengan ISPA bagian atas pada balita.

Tabel 5.18. Hubungan antara Paparan Asap Rokok dan ISPA Bagian Atas pada Balita

Paparan Asap Rokok ISPA Tidak ISPA

N % N %

Tidak terpapar 27 79.4 24 92.3

Terpapar 7 20.6 2 7.7

Total 34 100.0 26 100.0

Dari tabel 5.18. didapati bahwa jumlah penderita ISPA yang tidak terpapar asap rokok sebanyak 27 orang (79,4%), terpapar asap rokok sebanyak 7 orang (20,6%). Penderita tidak ISPA yang tidak terpapar asap rokok sebanyak 24 orang (92,3%), terpapar asap rokok sebanyak 2 orang (7,7%).


(54)

Setelah dilakukan uji Fisher Exact (dalam hal ini uji Chi Square tidak dapat digunakan karena terdapat > 20 % sel mempunyai nilai harapan > 5) dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5%) diperoleh nilai p (p value) adalah 0,276 (>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan antara paparan asap rokok dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita.

Tabel 5.19. Hubungan antara Paparan Asap Obat Nyamuk dengan ISPA Bagian Atas

Paparan Asap Obat Nyamuk ISPA Tidak ISPA

N % N %

Tidak terpapar 28 82.3 25 96.2

Terpapar 6 16.7 1 3.8

Total 34 100.0 26 100.0

Dari tabel 5.21. didapati bahwa jumlah penderita ISPA yang tidak terpapar asap obat nyamuk sebanyak 28 orang (82,3%), terpapar asap obat nyamuk sebanyak 6 orang (16,7%). Penderita tidak ISPA yang tidak terpapar asap obat nyamuk sebanyak 25 orang (96,2%), terpapar asap obat nyamuk sebanyak 1 orang (3,8%). Setelah dilakukan uji Fisher’s Exact (dalam hal ini uji Chi Square tidak dapat digunakan karena terdapat > 20 % sel mempunyai nilai harapan > 5) dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5%) diperoleh nilai p ( p value) adalah 0, 126 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan antara paparan asap obat nyamuk dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita.

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian

5.2.1 Insidensi Kejadian Penyakit ISPA bagian atas

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari seluruh responden yang berjumlah 60 subjek penelitian ditemukan insidensi balita yang menderita ISPA bagian atas sebanyak 56.7%. Hasil penelitian ini menunjukkan insidensi yang tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Samsuddin di Puskesmas Sabat Kabupaten Langkat yaitu insidens kejadain ISPA bagian atas


(55)

pada balita adalah 60,8% (Samsudin, 2009). Penelitian lain yang dilakukan oleh Ribkadi Desa Lembang Batu Sura’ Sulawesi Selatan tahun 2012 juga menunjukkan insidens yang tidak jauh berbeda yaitu sebesar 59,4% (Ribka,2012).

Penelitian tersebut memiliki insidens ISPA bagian atas yang lebih tinggi sekitar 3-4% dibanding penelitian di Puskesmas Tegal Sari karena subjek penelitian dalam penelitian Samsuddin di Puskesmas Sabat lebih banyak yaitu mencakup 110 orang, sedangkan penelitian Ribka di Desa Lembang dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 96 orang.

5.2.2 Hubungan Paparan Asap Bahan Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA bagian atas pada balita

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita menderita ISPA bagaian atas yang terpapar asap bahan bakar sejumlah 1 orang (3%) dan yang tidak terpapar asap bahan bakar sejumlah 33 orang (97%). Berdasarkan uji Fisher Exact Test (dalam hal ini uji Chi Square tidak dapat digunakan karena terdapat > 20 % sel mempunyai nilai harapan > 5) dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5%) diperoleh nilai p (p value) adalah 1,000 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan antara hubungan paparan asap bahan bakar masak dengan ISPA bagian atas.

Hasil ini tidak sejalan dengan hasil yang didapatkan pada penelitian Mashyuda dimana penelitian tersebut ditemukan adanya hubungan bermakna antara paparan asap bahan bakar masak dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Bangko tahun 2012 dengan ditemukan balita ISPA yang terpapar dengan asap bahan bakar masak sebesar 85% sedangkan balita ISPA yang tidak terpapar sebesar 5% dengan nilai p (p value) adalah 0,045 (p < 0,05) (Mashyuda,2012).


(56)

Namun, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Valentina di Kelurahan Gelugur Darat I tahun 2013 berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi Squarediperoleh nilai p = 0,131 (p > 0,05) yang berarti bahwa tidak ditemukan adanya hubungan bermakna antara paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita (Valentina, 2013).

Pencemaran udara dalam ruangan merupakan kondisi perubahan ruangan yang disebabkan masuknya suatu zat atau bahan ke dalam ruangan akibat aktivitas manusia. Bahan bakar memasak dapat menyebabkan polusi udara asap dapur yang dapat menyebar ke dalam ruangan di dalam rumah sehingga mudah menimbulkan penyakit pernapasan khususnya ISPA bila terpapar dalam jangka waktu yang lama. Hasil penelitian valentina sesuai dengan hasil penelitian ini dengan hipotesis yang tidak terbukti, mungkin disebabkan karena dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 81,7% orang tua balita sudah menggunakan jenis bahan bakar yang baik (gas) ini mungkin disebabkan karena semakin membaikknya subsidi gas/elpiji dari pemerintah di daerah tempat penelitian ini. Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu lebih berbahaya dibandingkan dengan asap hasil pembakaran gas. Dari hasil penelitian juga didapatkan 85% ibu tidak membawa anaknya saat memasak dan jumlah waktu orang tua memasak yang tidak terlalu lama (<3 jam) sebanyak 93,3% sehinggawaktu paparan balita dengan asap yang dihasilkan tidak terlalu panjang untuk menimbulkan kejadian ISPA. Penelitian ini juga mungkin diakibatkan karena jumlah subjek penelitian yang sedikit.

5.2.3 Hubungan Paparan Asap Rokok dengan Kejadian ISPA bagian atas pada balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita yang mengalami ISPA bagian atas akibat paparan asap rokok adalah 7 orang (20,6%) dan tidak terpapar adalah 27 orang (79,4%). Berdasarkan uji Fisher Exact Test (dalam hal ini uji Chi Square tidak dapat digunakan karena terdapat > 20 % sel mempunyai nilai harapan > 5) dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5%) diperoleh nilai p ( p value) adalah 0,276 (p> 0,05) yang berarti hal ini menunjukkan bahwa paparan asap


(57)

rokok belum dapat disimpulkan sebagai faktor risiko kejadian ISPA bagian atas pada batita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.

Penelitian yang dilakukan oleh Yuwono di Puskesmas Kabupaten Kawungaten menunjukkan bahwa anak yang terpapar asap rokok mempunyai risiko terkena ISPA bagian atas 2,7 kali lebih besar dibandingan dengan anak yang tidak terpapar asap rokok. Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah satu atap dengan balita bukan penyebab langsung timbulnya penyakit ISPA bagian atas namun menjadi faktor tidak langsung yang dapat menimbulkan penyakit paru-paru. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernapasan (Yuwono, 2008). Penelitian Marhamah (2012) juga menunjukkan bahwa adanya hubungan paparan asap rokok dengan kejadian ISPA bagian atas dengan p value sebesar 0,025 ( p < 0,05).

Namun berbeda dengan penelitian Taisir (2005), tidak ada hubungan yang bermakna paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPAbagian atas pada balita. Adapun penelitian Chahaya dan Nurmaini (2005) di Deli Serdang, tidak ada pengaruh yang signifikan paparan asap rokok dengan kejadian ISPA.

Penelitian di Puskesmas Tegal Sari-Medan sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tasir dan Chahaya, ini mungkin disebabkan karena pada penelitian ini walaupun jumlah batang rokok pada keluarga yang merokok sebanyak 5 atau lebih setiap harinya dan diketahui bahwa dengan semakin banyak rokok yang dihisap semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA namun kebanyakan balita tidak dekat saat orang tuanya merokok (59%). Kondisi ini juga bisa disebabkan karena ventilasi rumah responden dalam keadaan yang cukup baik sebanyak 82,3%. Dengan adanya ventilasi yang memenuhi syarat dengan jumlah yang cukup dapat memelihara kondisi udara yang sehat bagi manusia. Menurut Yusup (2005) setiap ruang yang dipakai sebagai ruang kediaman sekurang-kurangnya terdapat satu jendela lubang ventilasi yang langsung berhubungan dengan udara luar bebas. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti kadar karbon dioksida yang bersifat racun yang dihasilkan rokok jumlahnya akan semakin meningkat. Tidak


(58)

adanya hubungan pada penelitian di Tegal Sari-Medan ini juga mungkin diakibatkan karena adanya faktor perancu lainnya seperti pemberian ASI yang baik serta berat badan lahir normal.

5.2.4 Hubungan Paparan Asap Obat Nyamuk dengan Kejadian ISPA bagian atas pada balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita yang mengalami ISPA bagian atas akibat paparan obat nyamuk adalah 6 orang (16,7%) dan tidak terpapar adalah 28 orang (82,3%). Berdasarkan uji Fisher Exact Test (dalam hal ini uji Chi Square tidak dapat digunakan karena terdapat > 20 % sel mempunyai nilai harapan > 5) dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5%) diperoleh nilai p adalah 0,126 ( p > 0,05) yang berarti hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ditolak yaitu tidak adanya hubungan asap obat nyamuk dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan.

Penelitian Ernawati dan Farich di Puskesma Karang Anyar menunjukan bahwa anak yang terpapar asap obat nyamuk meningkatkan risiko 1,7 kali lipat menderita ISPA dibandingkan dengan yang tidak terpapar. Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menurunkan kualitas udara dalam ruangan sehingga menyebabkan gangguan saluran pernapasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernapasan (Ernawati dan Farich, 2012).

Resti dan dan Gulo (2008) juga meneliti tentang hubungan paparan asap obat nyamuk dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita hasilnya menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli dengan nilai p = 0,454 (p > 0,05). Penelitian Resti dan Gulo sejalan dengan penelitian ini. Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan mungkin disebabkan karena responden lebih banyak yang tidak menggunakan obat nyamuk (76,7%) .Produk berbahan dasar kimia ini yang digunakan untuk membasmi nyamuk pada umumnya produk-produk semacam itu bersifat toksik, meninggalkan bau, dapat


(59)

menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan, pencemaran lingkungan.

Sedangkan bagi responden yang menggunakan obat nyamuk mungkin mereka sudah memiliki pengetahuan yang meningkat dan kemampuan orang tua responden untuk menggunakan obat nyamuk berupa gas/ elektrik. Penggunaan obat nyamuk bakar akan menghasilkan gas yang lebih banyak dibandingkan dengan dengan gas/elektrik sehingga akan meningkatkan paparan terhadap asap hasil pembakaran. Penelitian ini juga mungkin diakibatkan karena faktor perancu lainnya seperti ventilasi rumah yang baik dan kepadatan hunian dalam satu kamar yang baik dimana dari hasil kuesioner didapatkan mayoritas jumlah maksimal orang dewasa dalam satu kamar yaitu sebanyak 2 orang (70%).


(60)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian, maka dapat diambil kesimpulan mengenai hubungan antara hubungan paparan asap rumah tangga dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita sebagai berikut:

1. Dalam hasil penelitian dengan analisis univariat, disimpulkan insidensi ISPA bagian atas pada balita di Puskesmas Tegal Sari adalah 56,7% yaitu dari 60 orang responden, diperoleh sejumlah 34 orang responden mengalami ISPA bagian atas sedangkan yang tidak mengalami ISPA bagian atas adalah sejumlah 26 orang.

2. Untuk analisis bivariat, berdasarkan uji Fisher’s Exact dalam penelitian ini disimpulkan tidak terdapat hubungan antara paparan asap bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita yakni dengan p value > 0,05.

3. Berdasarkan uji Fisher’s Exact dalam penelitian ini disimpulkan tidak terdapat hubungan antara paparan asap rokok dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita yakni dengan p value > 0,05.

4. Berdasarkan uji Fisher’s Exact dalam penelitian ini disimpulkan tidak terdapat hubungan antara paparan asap obat nyamuk dengan kejadian ISPA bagian atas pada balita yakni dengan p value > 0,05.

6.2. Saran

Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dan Puskesmas Tegal Sari

1. Memberikan penyuluhan kepada orang tua yang mempunyai balita mengenai ISPA bagian atas meliputi tanda-tanda dan gejala penyakit, cara penularan, cara pencegahan, dan penanggulangan ISPA bagian atas.


(61)

2. Memberikan penyuluhan bahwa ibu atau pengasuh balita tidak membawa serta balita membawa balitanya ke dapur pada saat kegiatan memasak, dan mengurangi penggunaan jenis bahan kayu/arang, menghilangkan atau mengurangi aktivitas pencemaran udara dalam rumah dengan melakukannya diluar ruangan rumah atau di ruangan lain yang terpisah. 3. Memberikan penyuluhan pada keluarga dengan kondisi luas ventilasi

kamar tidur balitanya kurang agar sering membuka jendela, menambah lubang ventilasi atau jendela.

4. Memberikan berbagai penyuluhan pada keluarga dengan status kepadatan hunian rumah tidak sehat agar menambah beberapa kamar dengan konstruksi yang sesuai dengan kemampuan keluarga.

5. Memberika penyuluhan bagi orangtua yang memiliki balita tentang pemberian makanan yang bergizi dan berimbang dan ASI ekslusif kepada anaknya, serta membawa anaknya ke posyandu untuk mendapatkan imunisasi.

6. Meningkatkan peran puskesmas untuk memberi pelayanan terbaik bagi balita sakit, melakukan pembinaan kesehatan bagi masyarakat di dalam wilayah kerjanya, dan meningkatkan keaktifan petugas kesehatan puskesmas atau kader dalam penemuan penderita ISPA bagian atas.

Bagi masyarakat

1. Orangtua sebaiknya secara rutin maupun berkala memeriksa kesehatan dan tumbuh kembang anaknya ke posyandu/puskesmas untuk meningkatkan kesehatan balita serta mencegah terjadinya penyakit ISPA bagian atas. 2. Orangtua sebaiknya segera memeriksakan balitanya yang mengalami

gejala ISPA bagian atas seperti batuk, pilek, demam, sakit telinga, dan sakit tenggorokan ke puskesmas terdekat.

3. Orangtua sebaiknya mengurangi paparan polusi dalam ruangan terhadap balitanya seperti tidak merokok dekat dengan balita, menghindari membawa balita ke dapur saat kegiatan memasak, serta penggunaan obat nyamuk dilakukan beberapa jam sebelum tidur.


(62)

Bagi peneliti lain

1. Peneliti lain dapat menggunakan metode penelitian yang berbeda untuk mengetahui hubungan faktor-faktor risiko terjadinya ISPA bagian atas seperti dengan menggunakan case control ataupun cohort.

2. Peneliti lain sebaiknya menggunakan sampel penelitian yang lebih besar sehingga hasil penelitian dapat lebih baik dan lebih terpercaya.

3. Peneliti lain agar lebih baik mengkaji variabel- variabel lain yang mungkin akan mempengaruhi faktor risiko terjadinya ISPA bagian atas.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, J. (2000) ‘Infeksi Saluran Pernapasan Atas’. In: Nelson, W. ed. Nelson Textbook of Pediatrics. Jakarta: ECG, pp. 1455-1461.

‘Indoor Charcoal Smoke and Acute Respiratory Infections in Young Children in the Dominican Republic’, Oxford Journal, 169(5), pp. 572-580.

Cohen, J. (1988)Statistical power analysis for the behavioral sciences.

Dahlan, M. (2013) ‘Cara Pengambilan Sampel’, In: Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika, pp. 137-145.

2nd ed. NJ: Erlbaum.

Desai, M., Mehta, S. and Smith, K. (2004). Indoor Smoke from Solid Fuels: Assessing the Environmental Burden of Disease National and Local

levels. Available

at

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2012) ‘Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut’. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Available at: http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/FINAL%20DESIGN%20PED OMAN%20PENGENDALIAN%20ISPA.pdf [Accessed 23 March 2014].

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006) ‘Profil Kesehatan Indonesia 2004’. Jakarta: Pusat Data Kesehatan. Available at: http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan%20I ndonesia%202004.pdf. [Accessed 23 March 2014].

Devi, M. (2010) ‘Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Status Gizi Balita di Pedesaan’, Jurnal Teknologi dan Kejuruan, 30(2),pp.183-192.


(64)

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2012) ‘Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012’. Jakarta: Direktorat Promosi Kesehatan.

Available at:

Ernawati, and Farich, A. (2012). Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dan

Faktor Anak dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita di Desa Wayhuwi Puskesmas Karang Anyar Kecamatan Jati Agung Kabupaten Almpung Selatan Tahun 2012. Skripsi. Universitas Malahayati. Lampung.

Ferdiansyah, Nazir, H., Theodorus and Husin, S. (2010) ‘Hubungan Kadar Seng dan vitamin A dengan Kejadian ISPA dan Diare pada Anak’. Sari Pediatri, 12(4), pp. 241-6.

biomass fuel smoke is a major health concern in the developing world’, Oxford Journal, 102(9)

Goh, D., Shek, L. and Bee, L. (1999) ‘Paediatric Shared Care Programme’. National University Hospital Bulletin, 10, pp. 4-9.

, pp.843–851.

Gulo, and Resti, R. (2010). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) Pada Balita Di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias Tahun 2008. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Harahap, A.Y. (2013) Hubungan Lingkungan Rumah dan Status Imunisasi Terhadap Kejadian Kasus Campak pada Balita di Desa Hutaimburu Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2013. Available

at:

[Accessed 6 April 2014].

Hartono, R. and Rahmawati, D. (2012) ‘Infeksi Pernapasan’. In : ISPA Gangguan Pernapasan pada Anak Panduan bagi Tenaga Kesehatan dan Umum. Yogyakarta: Nuha Medika, pp. 1-4.


(1)

(2)

Lampiran 5

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Responden yang saya hormati, yang bertanda tangan di bawah ini saya : Nama : Lia Oktavia Sari

NIM : 110100120

Program Studi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Sedang melakukan penelitian dengan judul: “Hubungan Paparan Asap Rumah Tangga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapsan Akut Bagian Atas pada Balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan Tahun 2014”.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka bersama ini saya mohon kesediaan Bapak/Ibu yang memiliki anak balita usia 0-5 tahun untuk menjadi responden dan sekaligus menandatangani lembar persetujuan yang saya ajukan. Langkah selanjutnya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan pada lembar pertanyaan yang telah saya susun.

Penelitian ini akan memberikan konstribusi positif terhadap upaya peningkatan Pelayanan Kesehatan khususnya dalam Kesehatan Lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Tegal Sari Medan. Jawaban pada pertanyaan yang ada atau pengisian pada pernyataan kuesioner ini digunakan untuk penelitian dan dapat dapat memberikan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan dalam merumuskan kebijakan yang ada di bidang kesehatan lingkungan.

Demikian atas kesediaan Bapak/Ibu menjadi responden serta dengan segala bantuannya, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Medan, Juli 2014 Peneliti


(3)

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Yang Bertanda tangan dibawah ini, saya

Nama : ... Alamat Rumah : ... ...

Bersama ini saya menyatakan kesanggupan saya sebagai responden pada penelitian saudari Lia Oktavia Sari dengan judul: “Hubungan Paparan Asap Rumah Tangga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bagian Atas pada Balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan Tahun 2014”.

Demikian pernyataan ini saya buat, dengan sebenar-benarnya dan semoga dapat memenuhi harapan saudara.

Medan, Juli 2014 Yang menyatakan

Peneliti Responden


(4)

Lampiran 7

KUESIONER HUBUNGAN PAPARAN ASAP RUMAH TANGGA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT BAGIAN ATAS PADA BALITA DI PUSKESMAS TEGAL SARI-MEDAN

TAHUN 2014

Hari/ Tanggal:

I. Identitas Responden

1. Nama ayah : 2. Tempat/ tgl lahir : 3. Nama ibu : 4. Tempat/tgl Lahir : 5. Alamat : 6. Nama anak : 7. Jenis Kelamin : 8. Tempat/tgl lahir : 9. Usia : 10. Berat badan anak saat lahir

a. Kurang dari 2500 gram b. 2500 sampai 4000 gram c. Lebih dari 4000 gram 11. Mendapatkan ASI Esklusif

a. Tidak sampai usia 6 bulan b. Sampai usia 6 bulan atau lebih c. Tidak mendapatkan ASI 12. Jumlah Imunisasi pada anak

a. BCG : ... kali b. Hepatitis B : ... kali c. Polio : ... kali d. DPT : ... kali e. Campak : ... kali


(5)

1. Bahan bakar ibu saat memasak dalam rumah a. Kayu/minyak tanah

b. Gas/kompor elektrik

2. Apakah membawa anak anda saat memasak? a. Ya

b. Tidak

3. Berapa waktu untuk memasak? a. kurang dari 3 jam / hari b. 3 jam atau lebih / hari

4. Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah?

a. Ya b. Tidak

5. Jumlah anggota keluarga yang merokok dalam rumah a. 1 orang

b. Lebih dari 1 orang c. Tidak ada

6. Berapa jumlah batang rokok yang dikonsumsi setiap anggota keluarga yang merokok?

a. Kurang dari 5 batang / hari b. 5 batang atau lebih / hari c. Tidak ada

7. Jenis rokok yang digunakan

a. Filter (terdapat gabus pada bagian ujung)

b. Tidak filter (tidak terdapat gabus pada bagian ujung) c. Tidak merokok

8. Apakah saat merokok anak anda sering berada didekatnya a. Ya


(6)

9. Berapa lama anggota keluarga anda merokok dalam rumah a. Kurang dari 3 jam / hari

b. 3 jam atau lebih / hari c. Tidak merokok

10. Apakah ada penggunaan obat nyamuk dalam rumah? a. Ya

b. Tidak

11. Apakah jenis bahan obat nyamuk yang digunakan? a. Bakar

b. Gas/elektrik

c. Tidak menggunakan

12. Kapan penggunaan obat nyamuk a. Kurang dari 3 kali / minggu b. 3 kali atau lebih / minggu c. Tidak menggunakan

13. Berapa lama terpapar obat nyamuk dalam waktu sehari a. Kurang dari 4 jam / hari

b. 4 jam atau lebih / hari c. Tidak menggunakan

14. Jumlah orang dewasa dalam setiap 1 kamar tidur a. 2 orang atau kurang

b. Lebih dari 2 orang

15. Jumlah ventilasi atau jendela dalam setiap ruangan di rumah a. Satu atau lebih pada setiap ruangan


Dokumen yang terkait

Hubungan Status Imunisasi dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Balita Sakit (1-5 tahun) di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2014

1 46 60

Tindakan Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Saluran Kemit Pada Pasien Yang Terpasang Kateter Di Ruang Rindu A4 RSUP H. Adam Malik Medan

5 59 60

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA BALITA DI PUSKESMAS AJUNG KABUPATEN JEMBER

0 4 17

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA BALITA DI PUSKESMAS AJUNG KABUPATEN JEMBER

0 5 119

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA BALITA DI PUSKESMAS AJUNG KABUPATEN JEMBER

1 21 17

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KELUARGA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT Hubungan Antara Fungsi Keluarga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak Balita di Puskesmas Kartasura.

0 1 14

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KELUARGA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) Hubungan Antara Fungsi Keluarga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak Balita di Puskesmas Kartasura.

0 4 15

HUBUNGAN STATUS GIZI TERHADAP TERJADINYA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Puskesmas Pajang Surakarta.

0 1 14

HUBUNGAN LAMA PEMBERIAN ASI DENGAN KEJADIAN ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT) PADA BALITA USIA 2-5 Hubungan Lama Pemberian Asi Dengan Kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) Pada Balita Usia 2-5 Tahun Di Posyandu Kecamatan Kartasura.

0 2 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 1. Defenisi - Hubungan Status Imunisasi dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Balita Sakit (1-5 tahun) di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2014

0 1 13