SNFP UM 2016 NOVIKA LESTARI

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016

Penerapan Etnosains dalam Pembelajaran Fisika
NOVIKA LESTARI
Pascasarjana Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Negeri Yogyakarta
E-mail: novika.lestarii@gmail.com
ABSTRAK: Etnosains adalah pengetahuan sains yang diperoleh dengan meneliti sains yang
terdapat dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Indonesia memiliki potensi daerah
yang beraneka ragam khususnya kebudayaan. Potensi daerah yang mengandung unsur
kebudayaan umumnya mempunyai penalaran khusus yang diturunkan turun temurun dari
nenek moyang. Sebagian penalaran tersebut dapat dijelaskan secara sains. Oleh karena itu,
kebudayaan memiliki potensi menjadi bahan ajar yang konstektual. Di era globalisasi,
pendidikan memiliki peran penting dalam menjaga kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat
atau daerah. Globalisasi dapat menghilangkan identitas suatu kelompok masyarakat di suatu
daerah, bahkan dapat menghilang identitas suatu bangsa. Makalah ini menyajikan salah satu
upaya yang mungkin dapat dilakukan pendidik sains (khususnya fisika) di Indonesia untuk
menjaga kebudayaan daerah dalam menghadapi MEA 2016. Secara berturut-turut dibahas
tentang: peran potensi daerah dalam pendidikan, etnosains dalam pembelajaran fisika dan cara
mengembangkan bahan ajar fisika berbasis etnosains. Diharapkan dapat membantu usaha
pemerintah untuk merevitalisasi identitas bangsa dengan cara memperkenalkan kebudayaan
kepada generasi muda dengan cara mengi1ntegrasikannya dalam pembelajaran fisika. Manfaat

yang lain semoga dapat sekaligus membantu pendidik fisika mengembangkan sebuah bahan ajar
yang memuat potensi daerah atau local content yang memadai.
Kata Kunci: etnosains, bahan ajar fisika, local content, dan MEA

PENDAHULUAN
Era globalisasi merupakan tantangan bagi seluruh negara berkembang seperti
negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dampaknya negara-negara di Asia Tenggara
yaitu Indonesia, Malaysia, Brunai, Filipina, Singapura, Kamboja, Laos, Nyanmar,
Vietman dan Thailand membentuk suatu wadah yang dikenal dengan nama
Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Tujuan dibentuknya MEA adalah menjaga kestabilan
ekonomi negara- negara yang menjadi anggotanya dengan menjadikan kawasan negara
anggotanya sebagai pasar tunggal. Aktifitas keluar masuknya barang dan jasa di
negara-negara tersebut akan semakin mudah. Akibatnya tidak hanya meningkatkan
ekspor dan impor suatu negara, namun juga terbuka lebarnya bursa tenaga kerja
antarnegara tesebut. Tenaga kerja lokal yang dianggap kurang terampil akan
digantikan dengan tenaga kerja dari luar. Perlu adanya peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM) yang memadai agar warga Indonesia tidak menjadi pembantu di
negaranya sendiri. Oleh karena itu, Indonesia harus memposisikan dirinya sejajar
dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Pembentukan kualitas sumber daya manusia menjadi langkah penting dalam

menghadapi MEA. Salah satu caranya dengan menyadarkan peserta didik Indonesia
untuk mengenali potensi diri dan lingkungannya. Indonesia dikenal sebagai negara
yang memiliki beraneka ragam potensi daerah. Potensi daerah yang dimiliki suatu
wilayah dipengaruhi oleh budaya dan posisi geografisnya. Seseorang yang tinggal
didaerah khatulistiwa akan memiliki budaya dengan orang yang tinggal di daerah
empat musim seperti Jepang. Jenis flora dan fauna yang ada di kedua daerah tersebut
juga berbeda-beda. Akibatnya keragaman potensi daerah menjadi kekayaan tak ternilai
harganya bagi suatu bangsa. Potensi daerah yang dimiliki bangsa Indonesia
diantaranya kebudayaan dari beragam kelompok masyarakat, dan margasatwa
endemik. Pengintegrasian potensi daerah dalam pendidikan menjadi penting dalam
melestarikan budaya dan lingkungan sekitar. Hal ini sejalan dengan UU RI Nomor 20
ISBN 978-602-71279-1-9

PFMO-145

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
Tahun 2003 yang menyatakan bahwa keragaman budaya dan lingkungan merupakan
salah satu pokok yang perlu diperhatikan dalam menyusun kurikulum pendidikan
Indonesia.
Peran pendidikan dalam membangun pembelajaran berbasis potensi daerah belum

maksimal. Permasalahan utama disebabkan pembelajar kurang memiliki kesadaran
akan kekayaan daerahnya. Masih ditemukan peserta didik yang tidak mengetahui
potensi daerahnya sendiri (Wahyudi, 2014). Masuknya budaya asing juga menyebabkan
tergerusnya budaya-budaya yang berasal dari nenek moyang. Parahnya ada generasi
muda yang menolak tegas budaya nenek moyangnya tersebut (Herimanto & Winarno,
2010: 34). Akibatnya pemerintah menekankan agar dalam menyusun kurikulum harus
disesuaikan dengan potensi daerahnya. Namun, pada pelaksanaannya pembelajaran
potensi daerah dijadikan sebagai mata pelajaran khusus dari kurikulum pembelajaran.
Mata pelajaran tersebut dikenal umum sebagai muatan lokal. Obanya (2005)
menyatakan untuk siswa sekolah menengah pembelajaran berbasis potensi daerah
sebaiknya diintegrasikan dalam disiplin ilmu secara implisit. Hasil yang ingin
diperoleh dari pendidikan sekolah menengah adalah meningkatkan kecakapan hidup.
Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pembelajaran
berbasis etnosains.
Etnosains berasal dari bahasa Yunani yaitu enthos (bangsa) dan logos
(pengetahuan) (Werner & Fenton, 1970:537). Etnosains bermakna pengetahuan sains
yang diperoleh dengan meneliti sains yang terdapat dalam kebudayaan suatu kelompok
masyarakat. Pengetahuan etnosains mengintegrasikan antara dua pandangan yaitu
emik dan etik (House, et al, 2004: 19, Morris,1999). Pengetahuan asli yang
dikemukakan masyarakat disebut emik, sedangkan penalaran dari ahli sains tentang

kebudayaan itu disebut etik. Pengetahuan berbasis etnosains bermafaat dalam
menghasilkan
pandangan
baru
dalam
mengelola
proses
pembelajaran.
Alhasil,pembelajaran etnosains dapat menjadikan lingkungan sekitar sebagai sarana
pembelajaran yang efektif. Pembelajaran dianggap efektif jika sesuai yang diharapkan
baik waktu maupun ketercapaian dari siswa.
Fisika merupakan cabang ilmu sains yang mempelajari gejala-gejala alam dan
dampak yang ditimbulkannya. Proses dari gejala alam yang berulang-ulang
mengakibatkan munculnya pengetahuan yang hanya berdasarkan pada penalaranpenalaran dari suatu kelompok masyarakat atau disebut emik. Hasil dari penalaran ini
kemudianditurunkan secara turun temurun oleh nenek moyang. Hasil penalaran ini
tidak dapat dipandang sebagai mitos belaka karena sebagian penalaran ini ada yang
dapat dijelaskan secara sains, dan ada pula yang belum dapat dijelaskan secara sains.
Penalaran yang dapat dijelaskan secara sains akan berpotensi sebagai sumber dan
sarana belajar yang bersifat konstektual.
METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini berupa studi literatur tentang peranan potensi daerah dalam
pendidikan, etnosains dalam pembelajaran fisika dan metode-metode yang digunakan
dalam mengembangkan bahan ajar fisika berbasis etnosains. Kajian literatur berasal
dari analisis deskriptif terhadap jurnal-jurnal yang relevan dengan pembelajaran
etnosains. Hasil analisis deskriptif tersebut kemudian diinterprestasikan menjadi
panduan dalam mengembangkan pembelajaran dan menyusun bahan ajar berbasis
etnosains dalam pembelajaran fisika.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Peran Potensi Daerah dalam Pendidikan
Pembelajaran berbasis potensi daerah telah dikembangkan sejak 1950 di Taiwan.
Konsep pembelajaran ini yaitu mengintegrasikan potensi daerah pada pembelajaran.
Awalnya potensi lokal yang terdapat pada masyarakat dikembangkan oleh masyarakat
disekitarnya dalam bentuk pengetahuan lokal. Misalnya masyarakat Indonesia
mempercayai bahwa tidak boleh makan malam setelah melewati jam 19.00. Pantangan
ISBN 978-602-71279-1-9

PFMO-146

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016

ini ternyata dapat dijelaskan secara sains. Pada pukul 19.00 sampai 22.00 kinerja organ
lambung akan menurun melemah yang menyebabkan lambung sulit untuk mencerna
makanan. Akibatnya pada jam tersebut, perlu mengurangi jumlah makanan yang sulit
dicerna tubuh seperti makanan yang banyak mengandung gula dan serat. Meskipun
dapat dijelaskan secara ilmiah, pembelajaran yang berasal dari pengetahuan lokal
jarang diperkenalkan dalam pembelajaran formal.
Pengetahuan lokal berasal dari penalaran dan ide-ide dari masyarakat lokal
tentang kehidupan sehari-hari termasuk budaya tradisional, nilai, kepercayaan dan
pandangan dunia (Dei, 1993). Pengetahuan ini juga dimaknai kumpulan pengetahuan,
praktik dan representasi yang menggambarkan hubungan makhluk hidup dengan satu
sama lain dan dengan lingkungan fisik mereka, adaptif dan telah turun temurun oleh
transmisi budaya (Berkes et al 2000). Mozzocchi (2006) juga menerangkan pengetahuan
lokal diartikan pengembangan konsep lingkungan yang menekankan karakter simbiosis
manusia dan alam. Dengan demikian, disimpulkan bahwa pengetahuan lokal memiliki
karakteristik yaitu pengetahuan ini tertanam dalam komunitas tertentu tersebut,
bersifat kontekstual terikat, tidak percaya pada nilai-nilai individualis, tidak membuat
dikotomi subjek atau objek dan membutuhkan komitmen untuk konteks lokal tidak
seperti pengetahuan barat yangnilai mobilitas dan melemahkan akar lokal (Banuri &
Apffel-Marglin, 1993: 10-18). Kelebihan pengetahuan lokal dibandingkan pengetahuan
barat yaitu sifatnya yang holistik, fungsional dan adaptif terhadap perubahan

lingkungan sosial dan alam, dan telah diturunkan turun temurun selama ribuan
generasi (Rist & Dahdous, 2006). Fakta inimenjadikan pengetahuan lokal sebagai batu
pijakan beberapa tren konvergen dari pemikiran sosial sain dan pengembangan dalam
pelaksanaannya (Agrawal,1995).
Dampak pembelajaran berbasis pengetahuan lokal masih cukup minim. Hal ini
disebabkan pembelajaran berbasis pengetahuan lokal dianggap rendah dibandingan
format pembelajaran berbasis barat (Quigley, 2009). Adanya perbedaan antara sistem
pengetahuan lokal dan ilmiah sering membuat benturan budaya yang serius bagi siswa
lokal yang memiliki perbedaan pandangan dunia, budaya, dan bahasa pada kelasnya
(Aikenhead, 2009). Alhasil, pembelajaran yang memuat ruang lingkup lintas budaya
sulit dipahami oleh peserta didik (McKinley, 2007). Pembelajaran yang berasal dari
pengetahuan lokal dapat dijadikan alternatif dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Faktanya penerapan pengetahuan lokal baik budaya maupun bahasa dapat membantu
peserta didik dalam memahami pembelajaran dan mempertahankan identitasnya (Lee,
2001). Akibatnya, pengembangan kurikulum sains berbasis pengetahuan lokal dalam
memahami fenomena fisik menjadi tantangan bagi praktisi pendidikan (Aikenhead &
Elliott, 2010).
Etnosains dalam Pembelajaran Fisika
Pembelajaran etnosains menjadi isu hangat yang dikemukaan oleh ahli pendidikan
untuk menjaga potensi kebudayaan yang dimiliki suatu daerah. Etnosains merupakan

disiplin lintas ilmu yang menghubungkan antropologi atau budaya manusia dengan
pembelajaran sains. Etnosains menjanjikan etnografi baru dalam memajukan
antropologi budaya (Sturtevant, 1964). Elizabet (1973) mengklaim bahwa budaya
dipandang dari "dalam ke luar dan bukan dari luar ke dalam" (Tyler, 1969: 20), dan juga
memberikan kerangka logis untuk studi dan interpretasi budaya aturan perilaku
tertentu dan tanggapan keberagaman budaya. Beberapa cabang yang termasuk dalam
etnosains seperti etnoastronomi (Fabianm, 2001), etnoklimatologi (Orlove, Chiang, &
Cane, 2002), dan etnofisika (Abonyi & Okafor, 2014). Pembelajaran ini bertujuan
merekonstruksi pengetahuan kebudayaan dan kearifan lokal dari pengetahuan
barat.Pembelajaran ini sangat fleksibel dan berguna dalam menggabungkan penelitian
dasar dan terapan ilmiah (Dahdouh-Guebas, 2006).
Etnosains berperan besar dalam menjaga identitas suatu bangsa. Dengan kata lain,
etnosains dapat menjadi ciri khas dari suatu bangsa. Sebagai perwujudan dari ciri khas,

ISBN 978-602-71279-1-9

PFMO-147

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
etnosains dapat meningkatkan nilai suatu bangsa di dunia global. Kurangnya perhatian

dari generasi muda Indonesia menyebabkan pemerintah khawatir akan hilangnya
identitas bangsa. Upaya pemerintah dalam revitalisasi identitas bangsa dapat didukung
dengan pembelajaran yang berbasiskan etnosains. Pembelajaran berbasis etnosains
menjadi tren baru dalam mengembangkan masyarakat yang mampu membuat
keputusan dalam menyelesaikan masalah sehari-hari.
Etnosains dalam fisika dimaknai sebagai sebuah hasil dari proses analisis prinsip
fisika yang terkandung dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Misalnya hasil
kajian etnosains dari kebudayaan masyarakat penglipuran Bali. Suastra (2005)
melakukan kajian tentang berbagai topik sains asli yang ada pada masyarakat tersebut.
Ditemukan 11 topik kajian yang dapat dijelaskan secara sains seperti penggunaan
pasak yang terbuat dari batang bambu dalam membuat sambungan. Bagi masyarakat
setempat tujuan pembuatan pasak tersebut adalah meminimalisir pasak patah saat
terjadi guncangan gempa dan penggunaan bambu sebagai bahan bakunya agar pasak
dapat bertahan pada udara lembab. Analisis sains atau analisis pembelajaran barat
menyebutkan bahwa sambungan pasak dapat berfungsi sebagai sendi engsel yang
berakibat saat terjadi gempa pasak hanya akan bergeser dan penggunaan bambu untuk
mengatisipasi korosi yang diakibatkan udara lembab.
Ada enam teori dalam membangun pembelajaran berbasis etnosains (Cheng, 2002).
Keenam teori tersebut yaitu Theory of Tree (teori menanam pohon), Theory of Birdcage
(teori memelihara burung dalam sangkar), Theory of Crystal (teori mengasah batu

mulia), Theory of DNA (teori DNA), Theory of Amoeba (teori cara hidup amuba), serta
Theory of Fungus (teori cara hidup jamur). Pembelajaran jenis Theory of Tree
didasarkan pada nilai-nilai lokal dan aset budaya tetapi menyerap pengetahuan global
yang cocok dan teknologi untuk mendukung pengembangan masyarakat lokal dan
individu sebagai warga setempat; Pemilihan pengetahuan global dalam instruksi
tergantung pada kebutuhan masyarakat setempat dan preferensi budaya. Pembelajaran
Theory of Crystal mengidentifikasi kebutuhan inti dan nilai-nilai lokal sebagai benih
dasar untuk mengakumulasi mereka pengetahuan global yang relevan dan sumber daya
untuk pendidikan; Pemahaman struktur pengetahuan lokal adalah dasar yang
diperlukan bagi siswa untuk mengakumulasi pengetahuan dan kebijaksanaan global. ),
Theory of Birdcage menerapkan kerangka kerja lokal dengan batas-batas ideologi yang
jelas dan norma-norma sosial untuk desain kurikulum sehingga semua kegiatan
pendidikan dapat memiliki fokus lokal jelas ketika manfaat dari paparan pengetahuan
global yang luas dan input. Theory of DNA menerangkan pembelajaran harus sangat
selektif baik pengetahuan lokal dan global dengan tujuan untuk memilih unsur-unsur
terbaik dari mereka. Theory of Amoeba beban budaya dan nilai-nilai lokal dapat
diminimalkan dalam desain kurikulum dan pengajaran dalam rangka untuk
membiarkan siswa harus benar-benar terbuka untuk pembelajaran global. Theory of
Fungus memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi dan mempelajari secara
menyeluruh pengetahuan global yang berharga dan diperlukan untuk perkembangan

mereka sendiri. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang memuat norma-norma
ketimuran yang tinggi. Selain itu, peran teknologi modern masih sulit untuk masuk
pada kelompok-kelompok masyarat tertentu. Dengan demikian, Indonesia masih
menerapkan Theory of Birdcage dalam menerima budaya global.
Pembelajaran ethnosains di Indonesia menekankan pada menjaganya nilai-nilai
dan norma yang ada di kelompok masyarakat. Pembelajaran yang berbasis ethnosains
melibatkan merancang model praktis integrasi sistem pengetahuan lokal dan sains
barat sebagai proses perkembangan dan perubahan yang lebih seimbang (Abonyi,
Achimugu & Adibe, 2014). Peran guru cukup penting dalam mengintegrasikan
pembelajaran etnosains dalam lingkungan belajar. Oleh karena itu, guru harus
memahami prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam mengintegrasikan etnosains
dalam pembelajaran fisika. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya sebagai berikut (Iegal,
2003).
ISBN 978-602-71279-1-9

PFMO-148

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Mengetahui sejarah, metode, prinsip dan perkembangan dari pembelajaran fisika.
Menguasai kompetensi, prinsip dan konsep yang dasar dari pembelajaran fisika.
Memiliki kemampuan pedagogik dalam mengajarkan fisika.
Memiliki keyakinan bahwa pengetahuan yang diajarkannya tersebut valid.
Memperhatikan keragaman manusia, bahan dan teknik atau sumber pendidikan.
Menghidari kelompok dominan.
Menghindari adanya unsur dogmatis dan moralis.
Menghidari membuat kesimpulan seluruh kebudayaan berdasarkan satu unsur
budaya (langsung dan umum).
Ada lima hal yang dapat diangkat dalam pembelajaran berbasis etnosains yaitu
pemikiran historis dari masyarakat dalam mengatur alam, istilah khusus setiap
kelompok masyarakat, penalaran holistik pada berbagai sektor pengetahuan dan
teknologi, pemikiran yang dinamis konsep dari konsep budaya serta bahan yang
bermanfaat pada pembangunan budaya (Weber et al., 1995). Beberapa upaya yang
dapat dilakukan dalam menerapkan pembelajaran ini (Abonyi, Achimugu & Adibe,
2014) yaitu:
1. Merancang jaringan dari campuran konsep fisika dengan integrasi terhadap
pengetahuan lokal yang tepat dan kaitan yang melintasi batas-batas antara
pengetahuan lokal dan barat.
2. Pengembangan bahan ajar pembelajaran untuk pembelajar berdasarkan konsep asli,
praktek dan produk.
3. Membangun ruang kelas dengan fokus utama pada kewirausahaan lokal untuk
tujuan perbaikan dan internasionalisasi.
4. Pengenalan bahan ajar pendidikan sains multibahasa untuk memfasilitasi akses dan
pemanfaatan pengetahuan lokal terhadap budaya dan memastikan hubungan antar
keduanya.
Dengan demikian, peran guru sebagai pendidik perlu mengetahui prinsip-prinsip yang
perlu dilakukan sebelum mengintegrasikan sains dalam pembelajaran serta melakukan
tahapan-tahapan rinci dalam mengintegrasikan pembelajaran ini.

Mengembangkan Bahan Ajar Fisika Berbasis Etnosains
Bahan ajar merupakan kumpulan konten yang perlu dipelajari oleh siswa baik
berbentuk cetak atau yang difasilitasi oleh pengajar untuk mencapai tujuan tertentu
(Dick, Carey & Carey, 2009: 230). Ada tiga hal yang mendasari perlunya pengembangan
bahan ajar yaitu tuntutan kurikulum, karakteristik siswa dan kesulitan belajar siswa
(Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, 2008: 8-9). Esu, Enukoha & Umoren
dalam Ogbondah (2008: 17) menyatakan fungsi bahan ajar meliputi: (1) menerangkan
konsep; (2) meningkatkan peran siswa; (3) membantu guru dalam menjelaskan teori; (4)
memperluas pengetahuan siswa. Hal-hal perlu diperhatikan dalam menyusun bahan
ajar yaitu: (1) memahami standar isi dan standar kompetensi lulusan, silabus, program
semeter, dan rencana pelaksanaan pembelajaran; (2) mengidentifikasi jenis materi
pembelajaran berdasarkan pemahaman terhadap poin (1); (3) melakuan pemetaan
materi; (4) menetapkan bentuk penyajian; (5) menyusun struktur (kerangka) penyajian;
(6) membaca buku sumber; (7) mendraf (memburam) bahan ajar; (8) merevisi
(menyunting) bahan ajar; (9) mengujicobakan bahan ajar; dan (10) merevisi dan menulis
akhir (finalisasi).
Berikut salah satu metode yang dapat digunakan dalam merancang bahan ajar
berbasis etnosains.
1. Melakukan analisis terhadap konsep fisika dari sains lokal dan barat yang tidak
mengandung moralis dan dogmatis dari kelompok sekaligus tidak mengadung
kesimpulan yang digeneralisasikan.
2. Mengelompokan pengetahuan asli berdasarkan konsep, proses dan produk dari
sains.
ISBN 978-602-71279-1-9

PFMO-149

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
3. Menyusun perangkat pembelajalan beserta strategi yang tepat diterapkan dalam
bahan ajar fisika.
4. Menyusun kerangka atau draf bahan ajar fisika.
Melakukan revisi terhadap draf yang telah dibuat.
KESIMPULAN

Makalah ini menyajikan penerapan etnosains dalam pebelajaran fisika. Berdasarkan
kajian tersebut diketahui pembelajaran etnosains baik diterapkan disekolah karena
membantu peserta didik mengembangkan potensi diri dan lingkungannya. Dampak
tidak langsung yang diperoleh yaitu membantu pemerintah dalam merevitalisasi
identitas bangsa, Pembelajaran etnosains dapat diintegrasikan dalam proses
pembelajaran dan bahan ajar.
DAFTAR RUJUKAN
Abonyi, O. S., Achimugu, L., & Njoku, M. I. A. (2014). Innovations in Science and
Technology Education: A case for ethnoscience based science classrooms. International
Journal of Scientific and Engineering Research, 5(1), 52-56.
Aikenhead, G. (2001). Integrating Western and Aboriginal sciences: Cross-cultural science
teaching. Research in Science Education, 31(3), 337-355.
Aikenhead, G. S., & Elliott, D. (2010). An emerging decolonizing science education in
Canada. Canadian Journal of Science, Mathematics and Technology Education, 10(4),
321-338.
Agrawal, A. (1995). Dismantling the divide between indigenous and scientific
knowledge. Development and change, 26(3), 413-439.
Banuri, T., & Apffel Marglin, F. (1993). Who will save the forests? Knowledge, power and
environmental destruction. United Nations University.
Berkes, F., Colding, J., & Folke, C. (2000). Rediscovery of traditional ecological
knowledge as adaptive management. Ecological applications, 10(5), 1251-1262.
Cheng, Y. C. (2001). Fostering Local Knowledge & Wisdom in Globalized Education.
In International Journal of Education Management.
Dei, G. J. (1993). Sustainable development in the African context: Revisiting some
theoretical and methodological issues. Africa Development/Afrique et Développement,
97-110.
Herimanto & Winarno. (2010). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
House, R. J., Hanges, P. J., Javidan, M., Dorfman, P. W., & Gupta, V. (Eds.).
(2004). Culture, leadership, and organizations: The GLOBE study of 62 societies. Sage
publications.
Lee, O. (2001). Culture and language in science education: What do we know and what do
we need to know?. Journal of Research in Science Teaching,38(5), 499-501.
McKinley, E. (2007). Indigenous Students. Handbook of research on science education, 1,
199.
Morris, I. (1999). Archaeology and gender ideologies in early archaic Greece.Transactions
of the American Philological Association (1974-), 129, 305-317.
Obanya, P. A. I. (2005, December). Culture-in-education and Education-in-Culture.
In Fifth conference of African Ministers of Culture (pp. 10-14).
Ogbondah, L. (2008). An appraisal of instructional materials used to educate migrant
fishermen s children in Rivers State, Nigeria. International Journal of Scientific
Research in Education, 1(1), 13-25.
ISBN 978-602-71279-1-9

PFMO-150

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
Orlove, B., Chiang, J., & Cane, M. (2002). Ethnoclimatology in the Andes A crossdisciplinary study uncovers a scientific basis for the scheme Andean potato farmers
traditionally use to predict the coming rains. American Scientist, 90(5), 428-435.
Quigley, C. (2009). Globalization and Science Education: The Implications for Indigenous
Knowledge Systems. International Education Studies, 2(1), 76-88.
Rist, S., & Dahdouh-Guebas, F. (2006). Ethnosciences A step towards the integration of
scientific and indigenous forms of knowledge in the management of natural resources
for the future. Environment, Development and Sustainability, 8(4), 467-493.
Suastra, I. W. (2005). Merekonstruksi Sains Asli (Indigenous Science) dalam Upaya
Mengembangkan Pendidikan Sains Berbasis Budaya Lokal di Sekolah. Jurnal
Pendidikan dan Pengajaran, 38(3), 377-396.
Sturtevant, W. C. (1964). Studies in ethnoscience. American Anthropologist,66(3), 99131.
Tyler, D. D. (1969). Evidence of a phosphate-transporter system in the inner membrane of
isolated mitochondria. Biochemical Journal, 111(5), 665-678.
Wahyudi, A. 2014. Implementasi Sekolah Berbasis Kearifan Lokal Di SD Negeri
Sendangsari Pajangan. Skripsi: tidak diterbitkan.
Weber, S., & Mitchell, C. (1995). That's funny, you don't look like a teacher!:
Interrogating images and identity in popular culture (No. 3). Psychology Press.
Werner, O., & Fenton, J. (1970). Method and theory in ethnoscience or
ethnoepistemology. A handbook of method in cultural anthropology, 537-578.

ISBN 978-602-71279-1-9

PFMO-151

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016

ISBN 978-602-71279-1-9

PFMO-152