(Buku Monograf) Presiden, Partai Politik, dan Masyarakat.

Y
GPB Suka Arjawa

PRESIDEN,
PARTAI POLITIK,
DAN MASYARAKAT

buku arti

Arti Foundation

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
©GPB Suka Arjawa

Penerbit :
Buku Arti
e-mail : asbaliku@yahoo.co.id

Pracetak :
Nyoman Krining
Sampul

Ketut Pangus
Cetakan pertama, Mei 2015

Diterbitkan berkat bantuan program Widya Pataka
Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Bali

ISBN: 978-979-1145-90-9

Datar Isi
Ucapan Terima Kasih

v

Pengantar
Pemilihan Presiden di Tengah Perubahan Sosial

ix

PRESIDEN
Presiden Itu Harus Diatur Juga

3
Faktor Perpecahan Dalam Pemilihan Calon Presiden
6
Menyikapi Calon Presiden Dari Istri Pejabat Negara
10
Lepaskan ”Set Kedua”, Kosentrasi Pada Set Berikut!
14
Baik Buruk Calon Presiden yang Berani Tampil Lebih Dulu 18
Kelemahan Popularitas Calon Presiden Indonesia
22
Realitas Televisi Dalam Perebutan Presiden Indonesia
26
Presiden Dalam Mata “Pancingan’ Relawan
30
Saling Membagi Informasi Untuk Memajukan Indonesia
34
Citra Dalam Pelantikan Presiden Indonesia
38
Mewujudkan Quick Wins Dalam Pemerintahan
Indonesia Baru

41
Melihat Jokowi Menjalankan Pemerintahan
Tanpa “Politik”
44
Menghargai Presiden Memilih Anggota Kabinet
47
Memberikan Kesempatan Kabinet untuk Bekerja,
Bekerja dan Bekerja
50
Membangun Masyarakat Dewasa dan Berkesadaran
53

GPB Suka Arjawa

iii

PARTAI-PARTAI
“Partai Pemulung”
59
Ngaku Kalah Atau Sekedar Strategi?

62
Mengatasi Sanksi Sosial Terhadap Partai Demokrat
65
Kesediaan Berkorban dan Mengalah Dari Partai Politik
69
Penyebaran Inspirasi Dari Gabungan Partai Politik
73
Sisi Lain Konlik Internal Partai Demokrat
77
Hindari Jadi Parpol Pahlawan ”Kepagian”
81
Zigzag Politik Golkar dan Potensi Poros Ketiga
85
Menyaksikan Babak Lanjutan Dinamika Partai Golkar
89
Membuang Kesempatan Memperbaiki Citra
93
Dinamika Golkar Dalam Politik Indonesia
96
Menerawang Masa Depan Golkar Pasca Munas Bali

100
Menunggu Respon Politik Dari Konstituens Golkar
103
Di Balik Sikap Bolak-balik Pemilihan Kepala Daerah
107
Agar Partai Tak Hancur dan Kekuasaan Tak Melayang
111
MASYARAKAT
Menyindir Aparat Lewat Sandal Jepit
117
Minoritas, Dilema Demokrasi, dan Rhoma Irama
121
Elite Politik Seharusnya Mampu Menjadi Promotor
125
Korupsi dan Kekuatan Modal Sosial
129
Strategi untuk Memaksimalkan Bantuan Langsung Tunai
133
Hubungan Perusahan-Buruh Menjadi Tantangan
Pemerintah

137
Sikap Kepada Perempuan: Tradisionalis di Tengah
“Modernisasi”
141
Jika Ratu Adil Bertemu Ratu Adil Dalam Pemilu
145
Melindungi Rakyat Dari Pembohongan Politik
149
Berbagai Persoalan Menghadang Bonus Demograi
153
Potensi Perubahan Sosial Jika Kewenangan
Pemilihan di DPRD
157
Kemandirian Beras, Blusukan, dan Undang-Undang Desa
161

iv

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT


RAKYAT DAN WAKILNYA
Politisi Muda Cerdas, Bukan yang Perlihatkan
Otot Lengan
167
Mencari Sosok Anggota Legislatif Berwawasan Luas
171
Kesempatan untuk Memperbaiki Kualitas Caleg
175
Waspada Memilih Politisi di Tengah Perubahan Sosial
179
Peran dan Makna Keterlibatan Politisi di Masyarakat
183
Persiapan Menghadapi Kenyataan Usai Pemilu
187
Masyarakat Kerja Keras Mengawal Perda RTRW
191
Daerah Tingkat II, Kebijakan Otonomi Paling Ideal
195
Memanfaatkan Sisa Waktu Secara Maksimal
199

Pilihan Senator Cermin Sikap Politik Masyarakat
203
Tanda-Tanda Kebingungan dan Kegagalan Reformasi
Indonesia
207
Negara Lain Memutari Mars, Politisi Indonesia
Berputar-Putar
211
Kegaduhan dan Kekonyolan Penampilan Awal
Anggota DPR
215
Tentang Penulis

219

GPB Suka Arjawa

v

Ucapan Terima Kasih


B

uku ini disusun berdasarkan tulisan yang telah diuat di harian
Balipost pada penerbitan periode 2004 sampai dengan 2014.
Sebagai penulis, saya sudah menulis cukup banyak artikel,
baik dengan nama sendiri maupun nama samaran di harian ini. Saya
berterma kasih kepada harian ini yang telah menerbitkan tulisan saya
sejak dekade sembilanpuluhan, malah sejak akhir dekade delapan
puluhan. Pada awalnya tulisan tersebut berkisar pada masalahmasalah internasional, sesuai studi yang saya tempuh. Akan tetapi,
mulai akhir dekade sembilanpuluhan, tulisan ini berkisar pada
politik domestik dan persoalan-persoalan sosial domestik yang
sedang hangat pada waktu itu. Tulisan yang dibuat sebagian besar
merupakan analisis dan respon keadaan politik dan sosial yang
sedang hangat, baik internasional maupun nasional, sehingga dapat
dikatakan tulisan ini mengaca kepada situasi hangat pada waktu
tersebut.
Dalama buku yang merupakan kumpulan tulisan ini, dipilih
tiga kelompok tulisan yang masing-masing mengacu kepada tema
presiden dengan segala persoalan yang terjadi dan dihadapi,

persoalan partai politik dan terakhir adalah kemasyarakatan. Dalam
hal kemasyarakatan, digabungkan dengan tulisan tentang Dewan
Perwakilan Rakyat, sebab bagaimamanapun parlemen merupakan
wakil rakyat dengan berbagai dinamika yang ada di sekitarnya.
Kita perlu menyoroti hal kepresidenan karena posisi ini menjadi
politik tinggi dan besar di Indonesia. Posisi presiden menjadi rebutan
elit Indonesia, bukan saja elit politik tetapi juga elit ekonomi dan
budaya. Posisi tersebut memungkinkan bagi elit politik, ekonomi,

GPB Suka Arjawa

vii

budaya, saling berebutan. Rakyat yang memahami persoalan ini,
menjadi tersenyum, bahkan tertawa karena seolah mereka hanya
merebut posisi presiden saja tetapi setelah memegang posisi tidak
mampu menjalankannya dengan baik. Menjadi bulan-bulanan lawan
politik dan massa karena kebanyakan para “perebut” itu hanya melihat
hal kepresidenannya saja tanpa berupaya melihat bagaimana rasa
dan tugas menjalankan hal ikhwal tentang kepresidenan. Sedangkan

partai politik perlu dikedepankan karena bukan saja menjadi aktor
tetapi juga agen dalam sistem politik suatu negara. Sudah jelas juga
Indonesia. Partai politik memegang peran penting sebagai jembatan
kepentingan antara rakyat dengan pemerintah dan negara dalam
mencapai kesejahteraan. Di organisasi ini pula para aktor politik
digodog sebelum ia menjadi tokoh legislatif atau eksekutif. Bahkan
sampai sekarang konstitusi Indonesia masih mengharuskan calon
presiden dicalonkan oleh partai politik. Tentang partai politik di
Indonesia, dinamikanya sungguh menarik. Ia tidak hanya menjadi
lokasi bagi pemegang keputusan politik untuk beraktivitas, akan
tetapi dapat juga menjadi ajang untuk melepaskan diri dari bayangbayang masa lalu.
Misalnya seorang pengangguran tiba-tiba saja mendapatkan
keberadaannya di partai politik dan kemudian justru menjadi kunci
dalam sikap politik partai tersebut. Partai dengan demikian boleh
dikatakan mampu membelokkan karir seseorang. Organisasi ini
jelas mempunyai peran untuk mencari kekuasan dan pengaruh,
dan selanjutnya apabila berhasil menduduki posisi politik, juga
dapat memeperbaiki kondisi ekonomi seseorang. Maka, tidak
heran kemudian posisi-posisi struktural pada partai politik menjadi
rebutan, yang ujung-ujungnya dapat membuat konlik internal partai.
Selanjutnya, perjalanan pemerintah maupun kenegaraan tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Harus diakui, setelah reformasi dan kebebasan
berekspresi diberlakukan di Indonesia, dipadu dengan kemajuan
teknologi komunikasi, membuat keterlibatan masyarakat Indonesia
sebagai partisipan politik, menjadi tinggi. Ada banyak pendapat, ide,
usul sampai protes yang muncul dan diutarakan secara langsung
masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, kepada

viii

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT

pemerintah. Bagaimanapun hal ini merupakan subangan positif.
Dalam konteks realitas politik, boleh dikatakan partisipasi politik
masyarakat ini adalah dalam bentuk informal, yang disuarakan tidak
melalui cara formal di lembaga pemerintahan. Meski demikian,
partisipasi seperti ini penting dan bahkan menjadi tontonan bagi
masyarakat. Kritikan dan usulan melalui radio atau televisi, tentu saja
dapat disaksikan secara langsung oleh banyak masyarakat Indonesia.
Sebaliknya, apabila kita melihat salah satu peran dari anggota DPR
(D), tidak lain mereka adalah wakil-wakil rakyat yang melakukan
partisipasi politik secara formal di gedung parlemen. Para anggota
legislatif ini membawa aspirasi politik dari masyarakat, yang dalam
hal ini adalah masyarakat konstituensnya. Melalui perwakilan di DPR
(D) inilah masyarakat akan memberikan masukan atau tuntutan yang
berkaitan dengan tujuan kesejahteraan mereka.
Dengan alasan-alasan seperti itulah, maka tiga tema tersebut,
yakni kepresidenan, kepartaipolitikan, dan kemasyarakatan
penting untuk dilihat, dibaca kembali dan sudah tentu direnungkan
bagaimana komentar yang harus diberikan di kemudian hari. Tentu
maksudnya perkembangan pemikiran, ide dan sikap kritis di masa
mendatang. Berdasarkan tulisan tersebut dapat dibuat pikiran
baru terhadap tiga tema diatas. Sebagai tambahan, saya mencoba
memberikan berbagai pendapat di bagian pendahuluan pada buku
ini. Saya lebih banyak mengupas pada hal-hal yang berkaitan dengan
kepresidenan karena sebagai negara berkembang dan menganut
budaya paternalistik, hal kepresidenanlah yang akan lebih banyak
menentukan arah negara di masa depan.
Saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas diterbitkannya
buku yang memuat kumpulan tulisan ini. Saya juga mengucapkan
banyak terima kasih kepada Pemda Bali yang telah memberikan
pembiayaan atas penerbitan buku ini. Selanjutnya tidak dapat
dilepaskan peran sahabat Gung Mas Ruscitadewi yang telah
memfasilitasi terbitnya tulisan ini. Jelas saya mengucapkan terima
kasih kepada pihak Bali Post yang telah menerbitkan tulisan-tulisan
penulis. Kepada Aryantha Soethama saya juga mengucapkan terima
kasih atas penerbitan dan koreksi dari tulisan di buku ini.
Tentu saja tiada gading yang tidak retak. Penulis memohon

GPB Suka Arjawa

ix

maaf apabila di dalam tulisan-tulisan ini masih banyak kekurangan.
Pencantuman tanggal pemuatan di Harian Balipost, kemungkinan
tidak semuanya tepat karena data yang tercatat pada komputer
berpotensi berbeda dengan tanggal pemuatan di koran. Akhrinya saya
persembahkan buku ini untuk anggota “pasukan khusus” di keluarga
kami, Ibun, Ageks dan Abetzs. Terima kasih untuk semuanya.
GPB Suka Arjawa

x

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT

Pengantar

Pemilihan Presiden
di Tengah Perubahan Sosial

P

osisi presiden seolah-olah menjadi lokus paling diincar oleh
para pejabat atau politisi di berbagai negara. Akan tetapi, kalau
dilihat secara seksama, pengaruh seorang presiden tentu saja
tetap terbatas. Misalnya dilakukan dengan undang-undang dan
konstistusi negara. Malah sejarah India memperlihatkan bahwa
orang paling berpengaruh pada masyarakat bukanlah presiden tetapi
tokoh kharismatis. Mahatma Gandhi selalu dihubung-hubungkan
dengan kemerdekaan negara itu dari Inggris dan selalu pula dikaitkan
dengan gerakan satyagraha, perlawanan tanpa kekerasannya yang
termasyur itu. Di Iran, tokoh paling berpengaruh bukanlah presiden,
tetapi pemimpin agama Islam, yang disebut dengan Ayatollah.
Negara-negara seperti Amerika Serikat atau Filipina, menempatkan
presiden sebagai pemimpin politik, pemimpin negara dan pemimpin
pemerintahan.
Secara sosiologis, di jaman reformasi ini hubungan antara rakyat
dengan presiden sangat dekat. Di jaman Orde Baru, hubungan
tersebut “disambungkan” oleh lembaga perwakilan, yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Lembaga inilah yang pada waktu itu
secara konstitusional diberikan mandat untuk memilih presiden.
Suara rakyat yang jumlahnya ratusan ribu itu, disalurkan oleh satu
orang wakilnya di MPR untuk memilih presiden. Akibatnya, ada
keterputusan antara apa yang dirasakan oleh rakyat dengan pilihan

GPB Suka Arjawa

xi

yang dijatuhkan oleh anggota MPR. Akan tetapi, karena sudah
ketentuan seperti demikian, rakyat tidak dapat berbuat banyak.
Sistem politik sudah memungkinkan jalannya pemilihan seperti itu.
Ketika kemudian politik berganti, dengan adanya reformasi yang
diperjuangkan rakyat (dipelopori mahasiswa) tahun 1998, suasanya
sangat berubah. Keterikatan antara rakyat dengan presiden boleh
dikatakan dekat. Kedekatan ini terlihat karena rakyat secara langsung
memilih presiden tanpa harus melalui perantara lembaga. Peran
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memilih presiden sudah
pupus dan kemudian digantikannya secara langsung. Ini merupakan
perubahan sosiologis sangat penting bagi sistem kenegaraan
Indonesia. Adanya pilihan seperti ini perlu dijelaskan secara
sosiologis karena bagaimanapun wujud politik itu, pada akhirnya
akan menukik menuju masyarakat. Manfaat dari perubahan cara
memilih presiden itu langsung dapat diterjemahkan oleh masyarakat.
Dengan adanya perubahan seperti itu, maka secara sosiologis
dapat dijelaskan beberapa hal. Yang pertama, dari sisi perubahan
sosial. Yang dimaksudkan perubahan sosial disini adalah adanya
perbedaan pola kedekatan masyarakat melalui cara memilih
pemimpin tertinggi di suatu negara. Perbedaan yang jelas sekali
kelihatan antara apa yang terjadi di masa lalu dengan masa sekarang.
Perbedaan cara memilih itu, pasti memberikan orientasi rasionalitas
kepada masyarakat. Apabila di masa lalu, masyarakat lapisan bawah
tidak peduli dengan apa yang terjadi di tingkat politik atas, kini
sebaliknya. Perubahan itu cukup tajam. Dengan sistem pemilihan
secara langsung terhadap presiden tersebut, rakyat paling bawah
pun, yang mempunyai pendidikan paling minimal (bahkan tidak
berpendidikan) harus menggunakan keintelektualannya untuk
melakukan pilihan. Secara sosiologis, dalam konteks teori pilihan
rasional, masyarakat akan “dipaksa” menggunakan kemampuan
kognisinya untuk melakukan pilihan tersebut, betapapaun
minimalnya kemapuan kognisi tersebut. Seminim-minimnya
kemampuan kognitif, tetap memberikan sumbangan positif apabila
dikembangkan. Di tengah berbagai informasi yang kini menjadi
pilihan sosial, masyarakat akan mencoba mendengarkan informasi
tentang presiden atau kandidat presiden. Atau paling kurang, mereka

xii

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT

akan bertanya dengan rekan-rekannya, dengan kualitas pertanyaan
yang berbeda. Jika dulu mereka bertanya, dengan kalimat awal
“siapa” kini, adalah “bagaimana”. Artinya terkesaan di masa lalu,
di jaman Orde Baru, presiden itu sudah dipatok dengan calon yang
sudah ada. Kini dengan pertanyaan “bagaimana”, mereka tertantang
untuk mengetahui gambaran-gambaran calon presiden yang
ditampilkan oleh partai politik.
Perubahan sosial tidak hanya menyangkut masalah kualitas
pemilihan lewat upaya-upaya rasionalitas tersebut, tetapi juga
tentang keberanian masyarakat dalam melakukan sikap kritis secara
langsung. Ini merupakan perubahan tidak saja pada sikap sosial tetapi
juga perubahan dalam budaya politik. Ada beberapa budaya politik
yang tercatat di masyarakat. Di masa lalu, orientasi politik masyarakat
lebih banyak diam dan menyerahkan semua persoalan politiknya
kepada elit. Akan tetapi dengan adanya sistem presiden yang dipilih
secara langsung, maka orientasinya untuk terlibat di dalam sistem
politik juga secara langsung, dan subyektif. Artinya, masyarakatlah
yang akan melakukan penilaian dan memilih presiden berdasarkan
persepsinya mandiri. Dalam bilik pemilihan, ia akan mencoblos
sesuai dengan persepsinya sendiri terhadap calon-calon yang sudah
ada. Tentu juga perubahan sosial tersebut menyangkut peran wanita.
Dalam mengemukanan pendapat, kaum perempuan di Indonesia
sudah ikut terlibat lebih besar. Ini tidak lain merupakan hasil dari
sosialisasi politik kepeda perempuan, dimana yang dimaksudkan
disini adalah proses penanaman nilai-nilai dan pembentukan sikap
politik dan pola tingkah laku politik wanita (Siagian, 1996: 228)
Setelah pemilihan langsung presiden dilakukan di Indonesia,
cara paling bagus untuk melihat kualitas presiden adalah seperti
apa yang diperlihatkan pada tahun 2014. Masing-masing kandidat
dihadapkan kepada panelis yang kemudian mengajukan beragam
pertanyaan kepada calon. Ini jelas merupakan perubahan orientasi
dibanding dengan cara-cara yang dipakai sebelumnya, dan disiarkan
secara nasional melalui televisi. Disini, yang muncul bukan saja
upaya untuk mengeluarkan pengetahuan sang kandidat tetapi juga
keserempakan sikap dan pikiran pada tingkat sosial. Keserempakan
sikap ini berupa kesadaran dari masyarakat untuk melihat secara

GPB Suka Arjawa

xiii

langsung perdebatan dan penampilan kandidat di televisi, tetapi
juga secara bersamaan muncul upaya maksimal dari panelis untuk
mengeluarkan kemampuan bertanya, menggali potensi-potensi,
kelebihan dan kekurangan kandidat. Pada saat yang sama juga muncul
ke permukaan bagaimana hal ikhwal kualitas dari kandidat presiden
mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Ini merupakan upaya yang
luar biasa dari sistem demokrasi yang muncul dengan menghadirkan
calon presiden yang mampu mendorong keserempakan semua pihak
tersebut.
Sikap masyarakat untuk “sengaja” duduk di depan televisi (atau
mungkin datang langsung ke studio), merupakan upaya kognitif,
subyektiikasi agar betul-betul mengetahui kemampuan kandidat
presiden. Rakyat akan menilainya dan kemudian, dengan cara seperti
itu mereka mampu menangkap pemahaman-pemahaman sendiri
orientasi dan kecerdasan dari sang kandidat. Malah, di desa-desa
rakyat tidak sekedar menonton di televisi, akan tetapi secara langsung
juga melakukan diskusi dengan rekan-rekan tentang pendapat,
kelebihan dan kekurangan dari calon presiden ini. Sikap dan
tindakan ini dimungkinkana begitu karena di desa, nonton bersama
televisi itu masih terjadi. Secara langsung, akan muncul dialektika,
pendapat baru dan pikiran baru terhadap calon presiden yang ada.
Ini merupakan pengayaan. Jadi, budaya politik masyarakat akan
menuju pada sikap subyektif. Cara seperti ini akan menghasilkan
pilihan lebih cerdas dan rasional karena mereka memilih bukan hasil
petunjuk dari orang lain, atau atas dasar indoktrinasi pihak lain,
tetapi merupakan pilihan berdasarkan olah pikir secara mandiri.
Masyarakat yang mampu melakukan olah pikir sendiri dan membuat
keputusan politik sendiri, merupakan cikal bakal kecerdasan politik.
Dan kecerdasan berpolitik merupakan syarat utama dari sebuah
demokrasi.
Panelis jelas dipilih orang-orang yang cerdas dan dipandang
mampu menggali pertanyaan-pertanyaan untuk kandidat. Alur
yang lebih penting kemudian adalah bagaimana sang kandidat
memberikan jawaban yang merupakan hasil olah otak dari kandidat
bersangkutan. Televisi merupakan sebuah panggung publik
dengan jangkauan lebih luas. Tetapi studio televisi mempunyai

xiv

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT

tantangan lebih besar. Kesalahan kandidat politik yang berjuang
memperebutkan posisi eksekutif (atau posisi jabatan apapun), terlihat
pada melihat panggung itu sekdar di selingkaran studio televisi saja.
Padahal, jangkauan televisi jauh lebih luas. Karena itulah kemudian
sikap dan penampilan kandidat di televisi ini sangat berpengaruh.
Mereka harus mampu menjawab pertanyaan demi memuaskan
semua penonton televisi, bukan hanya mereka-mereka yang ada di
studio saja. Kesiapan inilah yang sering kali mempengaruhi hasil dari
penampilan televisi dari kandidat politik, maupun presiden dalam
berpenampilan di televisi. Konon hal inidapat dimanfaatkan dengan
baik ketika John F. Kennedy bertarung dengan Richard Nixon
dalam perdebatan di televisi. Kenndy bertarung memakai baju jas
yang warnanya tegas hitam sehingga penonton dapat menafsirkan
ketegasananya. Sedangkan Nixon memakai jas abu-abu sehingga
tidak dapat dipersepsikan tegas.
Pada kampanye presiden Indonesia tahun 2014, teknik ini sudah
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum dan berlangsung dengan
baik. Jika dicari kekurangannya, maka di tengah arus informasi yang
demikian leluasa sekarang, dengan teknologinya yang sudah ada,
maka ketidakterlibatan penelepon langsung itulah yang menjadi
kekurangannya. Seharusnya diberikan kesempatan masyarakat
bertanya secara langsung, di luar panelis yang sudah ada, kepada
presiden. Sekali lagi, cara ini juga menambah satu keserempakan
yang ada, yaitu sikap serempak masyarakat yang tidak hanya
menonton televisi tetapi juga mempunyai niat dan tindakan untuk
menanyakan secara langsung kepada calon presiden secara langsung.
Ini sekaligus akan dapat dipakai untuk mengetahui sejauh mana
posisi kecerdasan sosial masyarakat, terutama pada bidang politik.
Akan bisa dilihat kualitas pertanyaannya melalui telepon, caranya
menempatkan substansi pertanyaan serta susunan kalimatnya
ketika bertanya. Hal ini dimungkinkan karena telepon seluler kini
sudah ada dimana-mana. Dan dapat juga dilihat kalangan penanya
secara langsung tersebut dari struktur sosial. Misalnya, tua, muda,
pelajar, mahasiswa,, kaya, miskin dan seterusnya. Akan memberikan
sumbangan penting dalam konteks keintelektualan dari masyarakat
Indoensia.

GPB Suka Arjawa

xv

Perubahan orientasi masyarakat menjadi pekerjaan penting bagi
politisi dan pembuat kebijakan Indonesia, terutama saat pemilihan
presiden. Pada kondisi ini, masyarakat akan dapat bersikap secara
langsung terhadap kepemilihan presiden. Secara tidak langsung
akan mampu memberikan pendidikan politik dan latihan berpolitik.
Sasarannya adalah bahwa di masa depan, sikap politik masyarakat
ini tidak dilakukan secara serampangan dan kekerasan tetapi sopan
dan santun dengan cara berbicara yang bagus dan runut. Dalam
level negara, hal ini akan memerlukan waktu yang lama. Akan tetapi
harus dilakukan demi pendidikan politik tersebut. Ditambah dengan
contoh-contoh yang dilakukan oleh elit masyarakat, apalagi oleh elit
politik, maka keinginan untuk mendapatkan masyarakat yang santun
dalam berpolitik akan dapat dipercepat. Bagi Indonesia, kesantunan
dan kesopanan politik ini sangat penting. Bukan saja untuk memutus
sejarah politik yang terkesan tidak santun sejak tahun 1965, akan
tetapi juga demi mendukung kekayaan ragam budaya dan kekayaan
alam Indonesia yang melimpah. Politik yang tidak santun akan
menguras pikiran dan waktu sehingga membuat upaya kosentrasi
mengurusi segala kekayaan alam Indonesia, tidak dapat dilakukan.
Hasil politik tidak santun adalah konlik dan kecurigaan. Dan output
dari konlik tersebut adalah ketidakkosentrasian dan ketidaksadaran
akan potensi diri. Itulah yang terjadi di Indonesia sekarang, sehingga
membuat segala kekayaan budaya dan alam itu dikuras oleh pihakpihak lain. Atau terkuras oleh monopoli-monopoli tertentu.
Komunikasi Politik
Akibat adanya sistem yang berbeda dalam pemilihan presiden
tersebut, maka faktor kedua yang harus dipertimbangkan adalah
pada komunikasi politik. Dalam tataran sistem politik suatu negara,
komunikasi politik pada hakekatnya merupakan fungsi input yang
menyampaikan informasi-informasi politik (Haryanto:1982:55).
Sebagai fungsi input, artinya komunikasi politik ini akan memberikan
masukan-masukan politik ke dalam sistem politik yang berlangsung
di satu negara. Tetapi harus juga dilihat bahwa komunikasi politik
tersebut tidak saja hanya berada pada tataran rakyat, tetapi juga
akan berkaitan dengan kelompok-kelompok politik, individual, partai

xvi

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT

politik, dan pada akhirnya lingkungan politik. Komunikasi politik ini
akan berubah sesuai dengan apa yang diperkenalkan dalam model
sistem pemilu yang baru. Kajian-kajian di lapangan, komunikasi
politik ini meluas, malah ikut memperbarui cara berbicara rakyat
di berbagai tempat. Jika di masa lalu, anggota masyarakat ketakuta
berbicara di ruang-ruang publik, maka ketika ada perubahan orientasi
seperti setelah refromasi ini, pembicaraan tersebut menjadi jelas,
berani dan terkadang terasa berlebihan.
Komunikasi politik hematnya dapat dibagi menjadi beberapa hal.
Sebagai sebuah tindakan mengungkap ujaran, komunikasi politik itu
dapat dimaknai sebagai cara berbicara, mengemukakan pendapat
kepada siapapun dari sesorang atau kelompok, atau organisasi yang
memuat tentang pesan-pesan politik. Pesan-pesan itu dapat berupa
upaya mempengaruhi, menambah pengetahuan tentang konsepsi
politik, propaganda, sampai dengan hal-hall yang menjatuhkan pihak
lain dengan tujuan mendapatpakn power atau kekuasaan.
Perubahan sistem pemilihan presiden dari masa Orde Baru
yang menyerahkannya kepada wakil rakyat di MPR kepada sistem
pemilihan langsung, membuat komunikasi politik pihak-pihak yang
ada di sekitar calon presiden juga ikut berubah. Pada masa lalu, di
jaman Orde Baru, komunikasi dalam bentuk ujaran politik tersebut
bersifat formal, elitis dan periodic pada waktu tertentu. Formal dalam
artian, komunikasi yang bersifat politik lebih banyak dilakukan
oleh instansi-instansi pemerintah pada pertemuan-pertmuan
khusus. Misalnya partai politik mengadakan pertemuana tertentu
yang khusus membicarakan masalah kekuasaan pemerintah. Atau
lembaga perguruan tinggi mempermasalahkan pergantian kekuasaan
melalui seminar atau diskusi di ruangan kelas. Tidak ada masyarakat
yang tertarik melakukan pembicaraan seperti ini di ruangan publik.
Dikatakan elit karena yang membicarakan masalah-masalah politik
itu adalah para tokoh di pemerintahan. Ini tidak lain disebabkan
oleh sistem pada waktu itu yang sangat terkait antara poisis politik
dengan struktur di pemerintahan. Seorang pejabat di pemerintah
akan menjadi pejabat juga di organisasi Golkar. Inilah yang dimasa
lalu dinamakan rekrutmen politik yang tertutup, yakni hanya orangorang tertentu saja dapat diangkat menjadi pejabat pemerintah

GPB Suka Arjawa

xvii

(Romli, 2005: 144). Tokoh-tokoh masyarakat, seperti tokoh budaya,
para penggerak ekonomi, kelompok orang kaya dan sejenisnya
juga mendominasi pembicaraan-pembicaraan politik. Mereka
tidak hanya berbicara di lingkungan formal, tetapi terkadang juga
membicarakannya di saat upacara adat atau sembahyang. Dengan
demikian, sifat politik itu lebih banyak elitis. Pembicaraan politik
yang sifatnya nasional, sangat periodik dan pada waktu yang telah
ditentukan. Terutama satu tahun menjelang pemilihan umum
atau setahun menjelang sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
instansi-instansi pemerintah akan ramai-ramai menggelar apa yang
dinamakan kebupatan tekad pada waktu itu. Kebulatan tekad ini
biasanya pada waktu itu adalah memberikan gelar sebagai Bapak
Pembangunan bagi Presiden Soeharto dan ditambahi embel-embel
agar Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat memilih kembali
Soeharto menjadi presiden.
Akan tetapi, setelah adanya pemilihan langsung presiden
ini, komunikasi politik dalam bentuk ujaran tersebut, bebas dan
berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di masa Orde Baru.
Pembicaraan soal suksesi kepemimpinan, bahkan tentang penjatuhan
presiden, diujarkan oleh masyarakat secara terbuka melalui berbagai
macam media. Kelompok-kelompok politik juga bebas mengutarakan
calon presidennya dengan berbagai embel-embel. Dan masyarakat
umum juga melakukan hal yang sama tanpa ketakutan ditangkap atau
dikritik oleh siapapun. Monopoli komunikasi politik tersebut tidak
hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat. Dan
yang paling penting juga adalah keterlibatan perempuan, baik pada
bidang politik maupun sebagai partisipan politik. Perkembangan
tersebut merupakan perkembangan penting karena mengubah
konstelasi sikap kritis sebelumnya yang lebih didominasi kaum lakilaki. Partisipasi ini merupakan bagian dari sikap kritis perempuan,
dimana mencoba membongkar segala sesuatu yang memojokkan
perempuan (:Fuadi, 2013: 302) Inilah yang bisa dikatakan sebagai
bentuk perubahan yang signiikan dalam model komunikasi politik
setelah jaman reformasi.
Dilihat dari teori perubahan sosial, sesungguhnya fenomena
ini memperlihatkan sebagai model perubahan revolusioner dalam

xviii

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT

bidang komunikasi politik. Indikatornya adalah adanya perubahan
paling mendasar dan cepat terhadap pola komunikasi tersebut.
Hal mendasar terletak pada du ahal, yaitu aktor yang menjadi
pembawa komunikasi dan metode komunikasinya. Aktornya tidak
lagi dikuasai oleh pemerintah, tetapi khalayak umum, bahkan tanpa
memperlihatkan pendidikannya. Mereka dapat mengutarakan apa
saja pendapatnya tentang presiden dan calon presiden yang disulkan.
Metodenya, tidak lagi terkontrol dengan memakai waktu dan alat
tertentu tetapi dilakukan secara mandiri, dengan ujaran mandiri. Soal
waktu, kalau dilihat dari kemunculannya, maka model komunikasi
politik yang bebas ini tidak hanya tahun 2014 tetapi sesungguhnya
telah berakar sejak kejatuhan rejim Orde Baru tahun 1998.
Mengacu kepada hasil dari adanya komunikasi politik yang bebas
ini, memang tidak dapat dikatakan secara instan sukses. Bahwa
sekarang tetap menghasilkan para politisi yang tetap mementingkan
dirinya sendiri, presiden yang juga masih belum mampu membuat
keputusan yang cepat, ini mungkin bukan merupakan hasil yang
baik dari komunikasi politik yang telah dilakukan sejak jauh hari
sebelumnya. Akan tetapi, dengan adanya berbagai kebebasan
mengeluarkan pendapat itu, setidaknya masyarakat telah mampu
menyelami pembelajaran politik, sampai dengan berbagai hasil yang
didapatkannya.
Sikap Kepada Presiden
Dalam sosiologi politik, yang juga penting dilihat adalah
bagaimana perilaku atau sikap masyarakat terhadap kebijakankebijakan politik yang ada, termasuk juga kepada presiden terpilih
dan pencitraannya di masyarakat. Salah satu yang menjadi bagian
perhatian dari sosiologi politik terletak pada sikap dan perilaku
masyarakat terhadap kebijakan yang ada (Setiadi, Kolip, 2013:21).
Kampanye presiden termasuk cara pandang masyarakat terhadap
kebijakan-kebijakan yang dibuat presiden, dapat dikatakan sebagai
sebuah bagian dari pembelajaran sosiologi politik. Apabila dibawa
ke ranah Orde Baru, bahwa perilaku dan sikap masyarakat terhadap
kebijakan presiden, pasif. Kebanyakan mereka mengakui apa yang
diungkapkan oleh presiden. Ini telah menjadi budaya pada waktu

GPB Suka Arjawa

xix

itu dan sekaligus juga kebiasaan masyarakat, mulai dari struktur
masyarakat kelas atas sampai dengan masyarakat paling bawah.
Harus diakui sikap pasif seperti ini pada akhirnya menjadi gaya,
kebiasaan dan kemudian menurun dicontoh oleh generasi-generasi
setelahnya. Reformasi yang terjadi tahun 1998 sesungguhnya harus
berjuang keras untuk mengubah perilaku ini karena generasi yang
“tersedia” pada tahun 1998, adalah mereka-mereka yang sudah
terbiasa dengan perilaku sosial seperti itu. Mungkin kegagalan
memberantas korupsi di masa reformasi, disebabkan oleh adanya
perilaku seperti ini. Intinya, sikap masyarakat pada jaman Orde Baru
kepada presiden, adalah pasif.
Akan tetapi, mengatakan sikap pasif ini terus-terusan terjadi
sampai akhir masa jabatan Presiden Soeharto dan Orde baru, tidak
dapat dikatakan secara total. Kejatuhan Orde Baru dan turunnya
kekuasaan Presiden Soeharto merupakan hasil dari pemikiranpemikiran berani dan kritis. Sikap dari masyarakat, yang saat itu
dipelopori oleh mahasiswa di Jakarta, adalah berani dan kritis. Yang
dibutuhkan masyarakat saat itu adalah seorang pemimpin yang juga
menjadi negarawan, bukan sekedar politisi. Seorang negarawan
harus mampu menunjukkan keilmuannya untuk melaksanakan hal
kepemrintahan. Mereka menggunakan ilmu pengetahuan sebagai
sarana dalam menjalankan pemerintahan (Kelsen, 2014: 422). Inilah
yang menjadi tuntutaan masyarakat. Ilmu pengetahuan merupakan
pengetahuan yang dapat ditulis, terlupakan dan dipelajari kembali
dalam wajud dan substansinya yang tidak berubah. (Pakpaham,
1996: 111). Lepas dari dukungan dari pihak luar negeri maupun
dari pihak-pihak tertentu di dalam negeri, kenyataannya adalah
bahwa suara mahasiswa dan masyarakat itu, berhasil menjatuhkan
kekuasaan Orde Baru dan melengserkan Soeharto dari kekuasaan.
Secara spesiik juga harus dilihat bahwa ketika mahasiswa melakukan
demonstrasi di Jakarta, banyak anggota-anggota masyarakat yang
menyediakan bahan makanan dan minuman untuk dikonsumsi oleh
para demosntran. Hal ini menandakan bahwa komponen masyarakat
yang bersikap kritis itu bukan hanya dari kalangan intelektual saja,
tetapi juga komponen yang datang dari luar pelajar tersebut. Ibu
rumah tangga mungkin dapat dimasukkan ke dalam konteks ini.

xx

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT

Terhadap pemerintahan Abdurahman Wahid dan B.J. Habibie,
sikap ini masih juga dapat dikatakan pasif. Tidak terlalu banyak yang
dapat diungkapkan karena pada pemerintahan ini model campuran
itu masih kelihatan. Maksudnya, sistem politik dengan kewenangan
MPR untuk menjatuhan presiden masih ada. Maka, kedua presiden
ini kemudian seolah-olah dijatuhkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Suara kritis mahasiswa dan masyarakat pada tahun 1998
itu tidak kelihatan pada pemerintahan B.J. Habibie dan Presiden
Abdurahman Wahid.
Maka, sikap kritis yang paling kelihatan justru terlihat pada masa
pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan pemerintahan Susilo
Bambang Yudoyono. Sikap kritis dari masyarakat ini secara sederhana
bisa diungkapkan melalui konsep mengomentari berbagai perilaku
dan kebijaksanaan yang dibuat presiden dan kemudian memberikan
berbagai pendapatnya. Mungkin hal ini dapat dikatakan hal yang
sangat sederhana apabila dikaitkan dengan teori kritis seperti dalam
pengertian sosiologi. Namun demikian, seperti yang diungkapkan
oleh Ritzer yang mengutip Bleich, bahwa teori kritis ini mengkritisi
segala aspek kehidupan sosial dan intelektual. Terhadap teori-teori
lain, salah satunya teori kritis tersebut mengkritisi positivism karena
pendekatan ini sangat menentang peran aktor yang dipandang
mempengaruhi berbagai tindakan sosial (Ritzer, Goodman, 2007:
177). Dengan memakai pendekatan sederhana tentang teori kritis
tersebut, dalam dikatakan bahwa berbagai komentar yang dilakukan
oleh masyarakat, termasuk sikap yang dikeluarkan oleh masyarakat
masuk kedalam ranah teori kritis tersebut.
Setelah turunnya Abdurahman Wahid sebagai presiden yang
kemudian digantikan oleh Megawati Soekarnoputri, pemilihan
seorang presiden di Indoensia dilakukan secara langsung. Disinilah
kelihatan sikap kritis masyarakat Indonesia. Tidak seperti yang
terjadi pada tahun 1998 ketika reformasi menjatuhkan rejim Orde
Baru, sikap terhadap Megawati sebagai pemimpin politik, sudah jauh
sangat menurun. Pada waktu jatuhnya Orde Baru, Megawati sebagai
pemimpin politik mendapatkan posisi teratas karena dipandang
mampu menyelesaikan persoalan yang ada di Indonesia. Ini misalnya
terlihat dari keberhasilan PDI Perjuangan meraih posisi paling tinggi

GPB Suka Arjawa

xxi

pada pemilihan umum tahun 1999. Akan tetapi setelah megawati
menjabat sebagai presiden menggantikan Gus Dur, maka terlihat
bagaimana kualitas kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang
sesungguhnya. Masyarakat yang sebelumnya menjadi pendukung
berat Megawati justru menjauh dan menyadari bahwa dari sisi
kepemimpinan, Megawati tidak mempunyai kapasitas yang kuat
untuk memimpin Indonesia. Hal yang sama juga terjadi kepada
kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sifat-sifat
semangat dan revolusioner yang ditampilkan oleh para pengurus
partai, dan juga pejabat partai yang duduk di pemerintahan, seperti
anggota DPR (D) dan kepala daerah, tidak berhasil memuaskan
rakyat. Maka, ketika diselenggarakan pemilihan presiden secara
langsung tahun 2004, Megawati yang berpasangan dengan Hasyim
Muzadi, kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudoyono dengan
Yusuf Kalla.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia telah
berhasil memperlihatkan sikap kritisnya. Sudah tentu sikap kritis
tersebut muncul sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan politik dan
cara Megawati membuat kebijakan yang dipandang tidak memuaskan
oleh rakyat. Salah satu yang paling kelihatan dari Megawati saat
menjadi presiden adalah kelambatan dan sikap diamnnya yang
terlalu banyak, sampai-sampai anak buahnya yang berada pada
lingkungan istana membuat semacam jargon “diam itu emas”. Ini
merupakan kelemahan dari Presiden Megawati Soekarnoputri.
Bahkan sangat mungkin, apabila dikaitkan, sikap kritis
masyarakat Indonesia ini kepada pemerintahan Megawati,
disebabkan oleh kritiknya secara tidak langsung kepada kultur.
Salah satu yang harus dilihat dari teori kritis adalah kritiknya kepada
kultur. Para pendukung teori kritis tidak menyukai adanya kultur
massa yang dibuat-buat seperti yang tampil di televisi itu, karena
terlalu memperlihatkan kepalsuan (Ritzer, 2007: 180). Kiranya sikap
kritis itu ditujukan untuk mengembalikan kepada realitas senyatanya
pada manusia. Maka, dengan konteks demikian, ungkapanungkapan seperti “diam itu emas”, “Megawati keturunan Soekarno
sang Proklamator” mencerminkan kepalsuan yang dipandang tidak
mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Padahal, bangsa Indonesia

xxii

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT

saat itu memerlukan obat yang mujarab untuk menyembuhkan
penyakit seperti kesenjangan antara kaya dan miskin, kesenjangan
daerah Indonesia bagian barat, tengah dan timur serta bagaimana
mempercepat pemberantasan kemiskinan. Inilah yang membuat
Megawati kalah dalam pemilihan presiden pada pemilihan umum
tahun 2004.
Citra Internasional
Pemilihan presiden, dimanapun di dunia, juga akan sangat
menentukan citra negara dan bangsa. Di Indonesia, disamping
sebagai kepala pemerintahan, presiden juga adalah seorang kepala
negara. Sebenarnya, antara tugas sebagai kepela pemerintahan
dan kepala negara ini satu dalam dua hal. Sebagai kepala negara,
presiden akan mengangkat duta dan konsul, mengadakan perjanjian
dengan negara lain, juga menyatakan perang atau perdamaian
dengan negara-negara lain. Dalam konteks seperti ini, presiden
tentu mempunyai arti yang penting bagi negara-negara lain. Karena
itulah kemudian, secara politis presiden tersebut bisa mencerminkan
bagaimana hubungan suatu negara dengan negara lain di satu masa
yang akan datang. Track record presiden, perilaku politik sampai
kelompok politiknya, akan menjadi penentu bagi negara-negara lain
untuk memprediksi hubungan dengan negara tersebut.
Seperti misalnya terhadap Presiden Soeharto yang dibandingkan
dengan Presiden Soekarno di masa lalu. Ketika Presiden Soekrno
memegang kekuasaan di Indonesia, citra sebagai presiden yang
lincah dan tidak takut dalam pergaulan internasional, serta pernah
menantang negara-negara lain, membuat citranya di Asia Tenggara
cukup menakutkan dan negara-negara lain khawatir kalau eksietensi
negara mereka ditaklukkan oleh Indonesia di bawah kepemimpinan
Soekarno. Pada masa itu, Indonesia pernah konlik dengan Malaysia
dan konlik dengan Belanda masalah Irian barat. Di masa Soeharto,
citra ini berhasil ditekan karena dipandang Soeharto bukan presiden
yang ingin meluaskan wilayah Indonesia, meskipun pada waktu
itu Timor Timur masuk ke wilayah Indonesia pada jaman Presiden
Soeharto. Akan tetapi pembentukan ASEAN, yaitu organisasi negaranegara Asia Tenggara juga terjadi pada jaman Presiden Soeharto.

GPB Suka Arjawa

xxiii

Peembentukan organisasi ini menegaskan bahwa Indonesia
merupakan negar apecinta damai dan tidak ingin menganggu negaranegara lain.
Karena itulah, merupakan hal yang positif apabila seorang presiden
baru di suatu negara, melakukan kunjungan kerja ke negara-negara
tetangga segera setelah dilantik sebagai kepala negara. Tujuannya
tidak lain untuk memberitahukan secara simbolis kepada negaranegara tetangga tersebut bahwa negara bersangkutan mempunyai
niat bertetangga baik dengan negara-negara di sekitarnya. Melalui
kunjungan tersebut juga akan secara langsung dapat dilihat
bagaimana sesungguhnya gaya, kepribadian, sikap politik dari
kepala negara bersangkutan sehingga dapat secara langsung menilai
dan berdialog dengan presiden. Kunjungaan kepada negara-negara
tetangga sebaiknya merupakan prioritas bagi presiden baru. Setelah
itu adalah negara sahabat yang posisinya jauh. Sahabat dapat saja
berposisi kauh tetapi mempunyai kesamaan ide dan sumber daya.
Apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo ketika melakukan
kunjungan ke beberapa negara tetangga, merupakan releksi dari
posisinya sebagai kepala negara agar secara langsung negara
bersangkutan memahami bagaimana sikap politik, perilaku dan latar
belakang politik dari presiden baru Indonesia.
Masyarakat
Kalau dilihat dari konteks budaya politik masyarakat Indonesia,
sesungguhnya apa yang terjadi pada pemilihan presiden itu, budaya
politik yang diperlihatkan oleh masyarakat Indonesia adalah
campuran. Di satu sisi, orientasi kognitifnya sudah maju karena telah
mampu mengidentiikasi hasil dari sebuah kebijakan politik yang
dinilai gagal, tidak membuahkan hasil sesuai dengan yang dirasakan.
Orientasi afeksi nya juga sudah maju karena merasakan bagaimana
aktor politik tersebut, yaitu presiden, tidak dapat memusakan
perasaannya seperti yang diharapkan. Orientasi evaluatifnyapun
cukup tinggi karena pada akhirnya membuat keputusan tidak
memilih Megawati sebagai presiden lagi. Keputusan ini merupakan
sebuah pencapaian mengangumkan untuk bangsa yang selama tiga
decade tidak diberikan kesempatan untuk melakukan polihan politik

xxiv

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT

secara rasional, sesuai dengan pengetahuan politik masyarakat.
Apabila kemudian dilihat pilihan-pilihan presiden berikutnya
dari masyarakat, yaitu kepada Susilo Bambang Yudoyono dan Joko
Widodo, maka segala nilai yang telah dicapai berdasarkan orientasi
terhadap budaya politik tersebut, cukup meragukan. Masyarakat
kemudian cenderung memilih presiden berdasarkan kharisma
yang diperlihatkan oleh calon presiden yang ada. Susilo Bambang
Yudoyono dan Joko Widodo boleh dikatakan sebagai presiden
yang kharismatis. Dan presiden yang kharismatis, belum tentu juga
mempunyai kemampuan manajerial yang bagus untuk mengelola
negara, apalagi negara besar seperti Indoensia. Ada beberapa ciri
dari charisma yang melekat pada dua calon presiden itu, yakni polos,
kalem dan tidak neko-neko, atau berapi-api. Ini merupakan ciri khas
dari budaya Indonesia yang tidak mengemukakan apa yang ada
sesungguhnya di dalam hati.
Kedua, pada Susilo Bambang Yudoyono, ada nuansa kegantengan
dan pada Joko Widodo hal merakyatnya, melalui instrument
blusukan. Padahal dua intrumen itu sama sekali tidak terkait dengan
kemampuan manajemen. Rakyat Indoensia kiranya memilih presiden
berdasarkan hal ini. Tindakan blusukan, seperti yang dilakukan Joko
Widodo boleh dikatakan memutus paham lama yang tergambar
dalam konsepsi ptron-klien, konsepsi yang lebih tertuju pada
kepentingan para elit penguasa dengan kelompoknya (Moeljarto,
1996: 44). Tentu maksudnya adalah keberpihakan dalamm
menjalankan kebijakan. Masyarakat yang memilih pemimpinnya
berdasarkan charisma tersebut, tidaklah dapat dikatakan sebagai
masyarakat yang modern. Tradisionalisme masih menjadi dominasi
pemikiran dari masyarakat seperti ini. Dengan demikian, boleh
dikatakan bahwa sikap masyarakat Indonesia ini campuran. Pada
satu sisi sudah masuk modern karena memilih untuk tidak memilih
presiden yang dipandangnya gagal. Akan tetapi, pilihannya tetap
bercorak tradisional.
Sikap seperti ini tentu saja memiliki kelemahan yang bisa dilihat
secara mendasar. Yang pertama, dalam hal kecakapan manajemen
belum tentu akan mendapatkan presiden yang mampu mengelola
persoalan negara secara riil. Persoalan yang diurus presiden jelas

GPB Suka Arjawa

xxv

tidak hanya persoalan politik dalam arti garis besar saja (mencari
pendukung) tetapi sangat jauh lebih luas dari itu. Sudah jelas
presiden akan mengurusi masalah ekonomi, kejahatan, budaya,
sosial dan sebagainya. Akan tetapi, sering juga presiden harus
mengurusi intrik-intrik politik dari pesaingnya. Juga upaya-upaya
penyingkiran. Dihadapkan dengan kondisi seperti ini, presiden
yang hanya mengadalkan charisma saja, akan mudah goyang dalam
mengambil keputusan. Kemungkinan, Megawati Sokerano Putri dan
Joko Widodo terkena sindrom seperti ini sehingga lambat mengambil
keputusan. Megawati juga merupakan presiden yang mempunyai
charisma tersendiri, meski dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, terutama sebagai anaknya Presiden Soekarno, proklamator
RI, dan juga ditekan pada jaman pemerintahan Soeharto. Pada
konteks tertentu, hal yang sama juga terlihat pada Susilo Bambang
Yudoyono. Intinya, presiden yang terlalu mengandalkan kharisma
akan kelabakan apabila berhadapan dengan intrik-intrik politik dan
gerakan-gerakan politik yang mendadak.
Kedua, presiden yang terlalu mengandalkan kharisma, justru
dibebani tuntutan besar oleh rakyatnya. Artinya, rakyat pemilih
terlalu berharap agar presiden mampu menyelesaikan segala
persoalan di masyarakat. Ia dianggap sebagai ratu adil sehingga
mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala persoalan yang
ada. Padahal, seperti yang telah diutarakan tadi, tidak akan mungkin
presiden dapat menyelesaikan persoalan kompleks di masyarakat.
Dengan demikian, apabila presiden tidak mampu menyelesaikan
tugas yang dibebankannya, keterikatan masyarakat akan segera
berkurang dan nilai kharismanya langsung melemah. Ujungujungnya rakayat tidak akan memberikan dukungan lagi. Bahkan
mungkin sang presiden tidak akan dipercaya.
Ketiga, presiden yang dipilih secara kharismatis jelas mengabaikan
rasionalitas. Padahal, di tengah iklim global yang demikian kompleks
sekarang, rasionalitas harus menjadi tumpuan dari pemilihan
presiden. Seorang kepala negara harus terpilih berdasarkan
kemampuan-kemampuan intelektual, keterampilan, sosial, dan
sebagainya yang tentunya dapat diukur secara pasti. Cara mengukur
kemampuan itu, tidak saja dengan membaca trek rekordnya, akan

xxvi

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT

tetapi dapat dilihat pada saat ia di it dan proper test. Perdebatan calon
presiden yang diselenggarakan menjelang pemilihan merupakan
salah satu ajang untuk mengukur itu. Presiden yang tidak terpilih
secara rasional, akan secara mudah tidak mendapatkan kepercayaan
dari masyarakat pemilih.
Partai Politik
Partai politik merupakan alat utama bagi negara demokratis
untuk membuktikan kedemokrasiannya. Partai politik juga
merupakan salah satu infrastruktur politik, yakni suatu kelengkapan
yang diperlukan untuk menjalankan hal-hal yang bersifat kenegaraan
(Syaiie, Azhari, 2012: 79). Tidak dapat disangsikan bahwa disamping
partai politik, juga ada media massa dan keberanian masyarakat
untuk mengungkapkan pendapat. Kendati demikian, partai politik
tidak dapat tidak harus menjadi komponenn paling utama dalam
memperlihatkan kedemokrasian suatu negara. Ada empat hal yang
dapat dilihat sebagai peran utama partai politik dalam konteks ini.
Yang pertama adalah kemampuannya untuk merambah budaya
masyarakat. Artinya, sebagai sebuah entitas umum, partai politik
dapat dibentuk dengan nilai dasar yang mengarah kepada budaya,
suku atau agama. Dengan nilai dasar seperti ini akan mudah bagi
partai untuk mendapatkan massa berdasarkan nilai-nilai tersebut.
Tidak keliru mendirikan partai dengan nilai seperti ini karena
tujuannya adalah menyampaikan aspirasi masyarakat. Di masyarakat
aspirasi itu beragam, sesuai dengan budaya mereka. Kedua, dalam
sistem pemilihan umum di banyak negara, partai politik menjadi
“bahan utama” untuk mencoblos. Indonesia di jaman Orde Baru,
memilih mencoblos partai, bukan pada orang-orang yang ada di
dalam partai. Sebagai wujud pencoblosan itu, maka terlihatkan partai
politik sebagai “wakil” demokrasi karena akan menjadi sasaran pilihan
secara bebas dari masyarakat. Mereka boleh memilih satu partai
darisekian partai yang ikut sebagai kontestan pemilu. Ketiga, yang
menjadi fungsi penting dari partai politik adalah sebagai penghubung,
“jembatan” antara masyarakat dengan pemerntah atau negara. Setiap
anggota masyarakat yang hendak mengutarakan kehendaknya dapat
menggunakan partai ini untuk berkomunikasi dengan pemerintah.

GPB Suka Arjawa

xxvii

Partai lah yang akan menyampaikan persoslan itu melalui
perdebatan di parlemen. Menurut pendapat Plato, terbentuknya
negara bermula dari keinginan untuk memenuhi kebutuhaan yang
bemacam-macam tersebut dengan cara bekerjasama (Chmid,
1980: 14). Keempat, adalah kelanjutan dari bagian ketiga tadi, yaitu
memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara
formal di gedung parlemen. Mereka yang memperjuangkan tidak lain
adalah anggota-anggota partai politik yang telah berhasil menjadi
anggota parlemen. Cara ini lebih bagus dibanding dengan jaman
Orde Baru karena pada jaman itu, wakil rakyat yang dicalonkan
partai, diseleksi pemerintah terlebaih dahulu (Sihbudi, 1997: 157).
Saat ini masing-masing anggota parlemen mempunyai konstituens
yang ada di masyarakat. Dalam konteks keadilan, para elit partai
yang menjadi perwakilan masyarakat haruslah mampu menjadi
sarana untuk mencapai keadilan disetributif, yaitu suatu hubungan
antara negara dengan warga, yangberarti negara wajib memberikan
keadilan kepada masyarakat dalam bentuk kesejahteraan, bantuan,
subsidi dan kesempatan hidup bersama berdasar hak dan kewajiban
(Santoso, 2014: 92-93).
Karena berdekatan dengan nilai-nilai sosial itulah kemudian,
maka partai politik ini mempunyai masa-masa tertentu di hadapan
masyarakat. Dalam arti, jumlah anggota, simpatisan dan partisipan
partai tersebut dinamis, frekuentif yang dapat dilihat dari perolehan
suara pada saat pemilihan umum berlangsung. Ada kalanya partai
politik berhasil merebut posisi tinggi pada pemilihan umum akan
tetapi ada kalanya juga anjlok perolehan suaranya. Sesungguhnya
banyak faktor yang menjadi penentu dari perolehan suara partai
politik pada pemilihan umum. Akan tetapi apabila dikaitkan dengan
nilai-nilai budaya yang ada, perolehan suara partai politik pun akan
dipengaruhi juga. Penurunan perolehan suara merupakan indikasi
adanya penyimpangan pencapaian atau laju dari partai politik yang
menjauh dari nilai-nilai yang ada. Misalnya sebuah partai politik
tidak mampu memperjuangkan nilai-nilai budaya Bali, pasti akan
dijauhi oleh masyarakat Bali yang nilai masyarakatnya sangat
terkait dengan agama Hindu. Partai politik seperti ini harus segera
menyadarkan diri dengan keadannya tersebut. Secara teoritis, partai

xxviii

PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT

politik akan mampu kembali merebut hati rakyat kalau kebijakan
partai tersebut kembali kepada nilai-nilai sosial yang ada. Tentu saja,
seperti yang diungkapkan di depan tadi, partai politik juga sangat
ddpengaruhi oleh ketokohan seseorang, charisma serta pola dan gaya
pendkatannya kepada masyara