BAB II DISKURSUS MASYARAKAT MADANI DAN PARTAI POLITIK

(1)

BAB II

DISKURSUS MASYARAKAT MADANI DAN PARTAI POLITIK

Masyarakat madani dan partai politik merupakan wadah dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Di samping keduanya, bentuk ekspresi lainnya terjelma juga dalam wujud kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi lain seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas), organisasi non pemerintah (NGO’s), dan lain sebagainya.1 Namun, dalam perkembangannya, semua bentuk ekspresi tersebut, kecuali partai politik, digolongkan dalam masyarakat madani (civil society). Sedangkan partai politik bukan merupakan bagian dari masyarakat madani, karena ia merupakan bagian dari masyarakat politik (political society).2 Kalau masyarakat madani diyakini sebagai agen-agen perubahan menuju kehidupan yang sejahtera dan berperadaban, tidak demikian halnya dengan partai politik. Partai politik dianggap tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan ‘nafsu birahi’ kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang 1Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,”

http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> pada 15 Desember 2013, diakses tanggal 23 Januari 2014; L. David Brown dan Archana Kalegaonkar, ”Addressing Civil Society’s Challenges: Support Organizations as Emerging Institutions,” Institute for Development Report (IDR) Reports, Volume 15, Number 2, (1999), 1-2; Carlo Ruzza, “The International Protection Regime for Minorities, the Aftermath of the 2008 Financial Crisis and the EU: New Challenges for Non-State Actors,” dalam International Journal on Minority and Group Rights 18 (2011), 219– 220; Marvin B. Becker, “An Essay on the Vicissitudes of Civil Society with Special Reference to Scotland in the Eighteenth Century,” dalam Indiana Law Journal, Volume 72, Issue 2 Article 8 (1997), 462; Carmen Malena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can we measure civil society? A proposed methodology for international comparative research,” dalam Development in Practice, Volume 17, Number 3, June (2007), 339; Civicus, “State of Civil Society 2013: Creating an enabling environment,” dalam Civicus: World Alliance for Citizen Participation (2013), 10.

2Carmen Malena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can we measure civil society?....,” 340; Civicus, “State of Civil Society 2013....,” 10.


(2)

mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu ketimbang mensejahterakan rakyat semesta.

Pertanyaan yang muncul atas penjelasan di atas, bagaimanakah sebenarnya watak dasar masyarakat madani dan partai politik? Mengapa meskipun sama-sama ‘anak kandung’ demokrasi, namun keduanya dikonsepsikan bertentangan bahkan bermusuhan? Atau apakah malah justru mereka sebenarnya saling bekerja-sama mewujudkan harmoni mengabdi pada ‘ibu’ demokratisasi? Menjawab pertanyaan tersebut, penulis bersandar pada pendekatan sosiologi-politik yang dikembangkan oleh Lipset dan Rokkan (1987).3 Mereka berpendapat bahwa munculnya organisasi masyarakat dengan beragam bentuknya mendahului munculnya partai politik dan sistem kepartaian. Dengan demikian, kajian tentang masyarakat madani mendahalui kajian tentang partai politik.

A. Masyarakat Madani dalam Peradaban Dunia

Dalam perkembangan awal genealogi politik, konsep masyarakat madani, meminjam istilah Bahtiar Effendy, “dengan enak,” disejajarkan sama dengan civil society.4 Dalam tradisi Eropa sebelum abad ke-18, terdapat berbagai macam istilah yang berpadanan dengan civil society. Menurut World Health Organization (WHO), kata civil society berakar pada kata 'civics', yang berasal dari kata Latin 'civis', yang berarti warga negara. Peradaban ketatabahasaan Romawi dan Yunani mengenalnya dengan kalimat political society, 'Masyarakat politik.' Tradisi politik Yunani juga mengenal istilah ‘politike koinona” yang dipopulerkan oleh Aristoteles (384 SM–322 SM).5 Turunannya, dalam 3Seymour M. Lipset dan Stein Rokkan, Cleavage Structures, Party System, and Voter Alignments (New York: Free Press, 1987). Lihat juga Jacob Beilasiak, “Substance and Process in the Development of Party Systems in East Central Europe,” dalam Communist and Post-Communist Studies, 30, No. 1 (1997), 23-44; Herbert Kitschelt, dkk., “Citizen, Politicans, and Party Certilization: Political Representation, and State-Failure in Post-Industrial Democracies,” dalam Europe Journal of Political Research 37 (2000), 149; Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi (Jakarta: Gramedia, 2009), 23.

4Bahtiar Effendy, “Wawasan Al-Qur’an Tentang Masyarakat Madani,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol I, No. 2, (1999), 76; Bahtiar Effendy, Agama Publik dan Privat: Pengalaman Islam Indonesia (Jakarta: UIN Press, 2009), 83-85.

5WHO, “Understanding Civil Society: Issues for WHO,” dalam Discussion Paper Civil Society Initiative: External Relations and Governing Bodies, No. 2, CSI/2002/DP2, February (2002), 4.


(3)

bahasa Latin disebut ‘societas civilis,’ yang mula-mula dipakai oleh Cicero (106 SM-43 SM), seorang orator, politisi, dan filosof Roma. Kebudayaan Prancis mengistilahkannya dengan societe civile, dan

burgerliche Gesellchaft dalam bahasa Jerman. Bahkan di Nusantara-pun, menurut Da’i dan Antropolog Indonesia Bambang Pranowo, embrio dari masyarakat madani telah ada dengan istilah manunggaling kawula ing gusti.6

Britannica Online Encyclopedia mendefinisikan civil society

dengan, “dense network of groups, communities, networks, and ties that stand between the individual and the modern state,” suatu jaringan yang erat antar kelompok, komunitas, jejaring, dan hubungan yang berdiri antara individu dan negara modern.”7 Cohen dan Arato lebih rinci mendefinisikannya sebagai suatu kondisi kehidupan masyarakat modern yang berlandaskan di atas prinsip-prinsip egaliterisme dan inklusivisme universal. Ia merupakan sebuah bentuk pengalaman dalam mengartikulasikan kepentingan politik dan dalam pengambilan keputusan kolektif. Hal tersebut sangat penting dalam pembentukan dan pengembangan demokrasi, “modern civil-society is based on egalitarian principles and universal inclution, experience in articulating the political will and in collective decision making is crucial to the reproduction of democracy.“8 Lembaga aliansi internasional untuk partisipasi masyarakat sipil, Civicus, mewakili mayoritas pakar dalam bidang ini lebih spesifik mendefinisikan masyarakat madani sebagai, “the arena, outside of the family, the state, and the market, which is created by individual and collective actions, organisations and institutions to advance shared interests,”9 arena di luar keluarga, negara, dan pasar yang dibuat oleh aksi individu dan kolektif, berbagai organisasi atau institusi untuk menyalurkan kepentingannya. Definisi terakhir inilah yang menghadapkan 6Lihat detail tentang pembahasan manunggaling kawulo gusti versi politik dalam Bambang Pranowo, Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Tangerang: Pustaka Alvabet, 2009).

7http://global.britannica.com/EBchecked/topic/1916880/civil-society, diakses tanggal 10 Januari (2013).

8Jean L. Kohen, and Andrew Arato, Civil Society and Political Theory (Cambridge: The MIT Press, 1992), 19.

9Carmen Malena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can we measure civil society?....,” 340; Civicus, “State of Civil Society 2013....,” 10; Marvin B. Becker, “An Essay on the Vicissitudes of Civil Society with Special Reference to Scotland in the Eighteenth Century,” 47; Byaruhanga Julius, “Civil Society Contributions in EU’s Democratic Governance,” dalam Makalah Konfrensi Internasional Democratic Governance and Civil Society, University of Osnabrueck, Germany (2013), 3-4.


(4)

masyarakat madani merupakan oposisi dari negara, bahkan harus berhadap-hadapan dengan negara.

Konsepsi masyarakat madani Yunani dari Aristoteles tentang polis

(kota) biasanya dijadikan embrio pertama pembentukan civil society.10 Intinya, menurut Keane (1988)11 terma itu bermakna warga negara ikut terlibat aktif dalam kehidupan politik negara dengan berpartisipasi dalam membentuk lembaga negara dan kebijakan-kebijakannya. Pada masa itu, seorang anggota civil society atau masyarakat kota, dengan sendirinya juga berarti warga dari negara (citizen) setempat. Civil society sebagai ‘anak kandung’ demokrasi12 sampai dengan abad ke-18, disamakan dengan negara (the state), yakni sekelompok masyarakat yang mendominasi seluruh kelompok lain. Konsepsi societies civilies

Cicero merupakan sebuah komunitas warga yang mendominasi komunitas yang lain. Terma yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi.

Menurut Bambang Pranowo, intelektual Muhammadiyah yang NU, ungkapan Jawa kearifan lokal bagi masyarakat madani yang khas bangsa Indonesia, semakna dengan manunggaling (jumbuhing) kawulo ing gusti. Dalam khazanah tasawuf, konsep itu umum dikenal sebagai bersatunya hamba dengan Penciptanya. Namun, lebih luas konsep itu juga bisa dipakai untuk khazanah politik. Adagium itu dalam hal ini bermakna bersatunya antara rakyat dengan negara. Gusti, bagi manusia Jawa, tidak hanya bermakna Tuhan, ia juga bermakna kepala pemerintahan atau raja.13 Dalam bahasa pedalangan dikatakan “gung

binathara bau dhendha nyakrawati,” pemimpin yang memiliki pribadi agung, suci berwibawa, bijaksana, menjaga keadilan dan menegakkan hukum dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Dalam konsep kekuasaan Jawa tersebut, pemberian kekuasaan yang besar kepada raja diimbangi dengan ketentuan bahwa raja harus bijaksana. Seorang raja 10International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, entri pembahasan “Civil Society/Public Sphere: History of the Concept,” Elsevier Science Ltd, (2001), 1897.

11J. Keane, “Despotism and Democracy: The Origins and Development of the Distinction between Civil Society and the State 1750-1850,” dalam J. Keane (ed.) Civil Society and the State (London: Verso, 1988), 35–36.

12Ivan Doherty “Democracy Out of Balance: Civil Society Can’t Replace Political Parties,” dalam Policy Review, April dan Mei (2001), 25

13Bambang Pranowo, “Islam and Social Change,” dalam Mata Kuliah SPs UIN Jakarta, 4 November, 2014.


(5)

harus bersifat “berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta,” meluap budi luhur mulia dan sifat adilnya terhadap sesama. Selain itu, tugas raja adalah “anjaga tata titi tentreming praja”, yakni menjaga keteraturan dan ketentraman hidup rakyat demi tercapainya suasana “karta tuwin raharja,” aman dan sejahtera.14

Menurut penulis, menariknya lagi, kata madani, dalam bahasa Jawa bermakna menyamai, sepadan, sederajat, selevel atau setingkat. Sehingga, dalam konsep politik, karena domainnya adalah relasi antara rakyat dan negara, maka tentu saja yang dimaksud dengan masyarakat

madani versi jawa adalah masyarakat yang sederajat, sepadan dengan negara dalam mengelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam cerita Dewa Ruci, kesentausaan yang diraih oleh sang Bima sebagai gusti bukanlah ketika ia telah mensejahterakan dirinya. Akan tetapi ketika ia mampu menyatukan diri dengan rakyatnya bersama membangun negara yang adil dan makmur.15

Pada perkembangan abad 20 ini, konsep masyarakat madani digunakan untuk memahami gerakan demokratisasi yang bersifat universal, sebagaimana yang belakangan ini mendominasi wacana politik di berbagai negara.16 Pemahaman semacam itu terutama berkembang setelah keberhasilan gerakan-gerakan civil society di beberapa negara Eropa Timur dan Tengah, seperti di Polandia, Yugoslavia, Hungaria, Cekoslowakia, dan sebagainya. Konsep tersebut kemudian dipahami sebagai suatu wilayah masyarakat yang independen dan relatif bebas dari intervensi kekuasaan negara.17

Setelah era-era tersebut hingga sekarang, konsep dan ragam bentuk

civil society mengalami perkembangan yang kompleks dalam proses demokratisasi. Tiada bentuk baku yang tunggal tentang apa dan bagaimana bangunan civil society di dunia ini. Namun demikian, umumnya, teori ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu civil society vis a

14HAR. Tilaar, “In Search of New Paradigms in Educational anagement and Leadership Based on Indigenous Culture: The Indonesian Case,” dalam HAR. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21 (Magelang: Tera, 1998), 196.

15Lihat Hamid Nasuhi, Serat Dewa Ruci: Tasawuf Jawa Yasadipura I (Jakarta: Ushul Press, Lembaga Peningkatan dan Jaminan Mutu, dan UIN Jakarta Press, 2009).

16Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi Civil Society, Syariah dan HAM, Fundamentaalisme, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana, 2013), 125.

17Muhammad AS. Hikam, “Wacana Intelektual Tentang Civil Society di Indonesia,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol I, No. 2, (1999), 33; lihat juga M. Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani Di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol I, No. 2, (1999), 10.


(6)

vis negara, civil society yang berelasi dengan negara.18 Teori masyarakat madani, meski sebangun dengan civil society, adalah khas istilah Islam dan juga kearifan lokal (local wisdom) Indonesia. Tauhid dan semangat Pancasila sebagai platform berbangsa dan bernegara, terutama sila kesatu, menjadi basis utama paradigma relasi rakyat dan negara. Oleh karenanya, masyarakat madani mempunyai keunikan tersendiri yang membedakannya dengan teori civil society pada umumnya.

John Keane,19 melihat civil society sebagai arena sosial yang mengandung kebebasan (freedom), perserikatan sukarela (voluntary association), keragaman hubungan manusia, jati diri, serta nilai-nilai, yang terpisah dari kekuasaan politik negara dan pemerintah. Bagi Keane dan para ahli ilmu sosial lainnya yang berhaluan liberal, berbagai macam kekuasaan dalam civil society tidak bersumber dari satu hal, seperti penguasaan sarana produksi, tetapi dari berbagai macam faktor yang sangat beragam dan heterogen. Oleh sebab itu, Keane melihat hubungan setara antara negara dan civil society itu mengandung penyaluran kekuasaan ke aneka macam wilayah publik yang terdapat di dalam dan di antara negara dan civil society.20 Menurut Keane, sebagaimana yang dikutip oleh Azra, demokrasi bukanlah musuh bebuyutan ataupun teman-kental kekuasaan negara. Demokrasi menghendaki pemerintah untuk memerintah masyarakat sipil secara tidak berlebihan ataupun terlalu sedikit. Sementara itu, tatanan yang lebih demokratis tidak bisa dibangun melalui kekuasaan negara. Ia juga tidak bisa diciptakan tanpa kekuasaan negara.21

Para pakar politik, ketika menjelaskan tentang civil society sebagai sebuah konsep, mereka lebih berkecenderungan mengacu pada ranah publik (public sphere) per se, vis a vis ranah negara (state sphere). 18Sukron Kamil dengan mengikuti polarisasi MW. Folley dan Bob Edwards membagi tiga konsep masyarakat madani. Formulasi pertama diartikulasikan oleh de Toqueville dan Adam Ferguson yang menekankan pada aspek horisontal masyarakat (budaya). Formulasi kedua diartikulasikan oleh Jacek Kuron dan Adam Michnik yang menekankan aspek vertikal (struktural). Kamil dan Iwan Gardono Sujatmiko menambahkan formulasi ketiga, yaitu gabungan I dan II. Lihat Pemikiran Politik Islam Tematik, 129-132.

19J. Keane, “Despotism and Democracy: The Origins and Development of the Distinction between Civil Society and the State 1750-1850,” dalam J. Keane (ed.) Civil Society and the State (London: Verso, 1998), 35–72.

20J. Keane (ed.), Democracy and Civil Society (London: Verso, 1998), xiii; Bachtiar Alam, “Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan,” 196.

21Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, 6.


(7)

Meskipun ranah privat (private sphere) dan ranah pasar(market sphere) juga merupakan pilar-pilar kunci dalam civil society. Thomas Janoski (1998)22 menjelaskan bahwa civil society dapat dipahami dari diskursus di antara empat ruang, yaitu: negara, publik, pasar, dan privat dan pengejawantahannya dalam membangun kemanusiaan, persaudaraan, dan kesejahteraan. Bagi Janoski, civil society merupakan representasi dari sebuah ruang publik yang dinamis dan responsif terhadap negara. Ruang publik terdiri dari berbagai organisasi sosial (voluntary organization) dan ruang pasar terdiri atas perusahaan milik pribadi ataupun patungan. Meskipun Janoski memasukkan ruang privat dan keluarga dlam konsepsinya, ia tidak menjelaskan lebih jauh apa dan bagaimana ruang privat tersebut. Meskipun demikian, dari penjelasan Cohen dan Arato bisa diketahui tentangnya. Ruang privat itu ditujukan untuk kehidupan secara pribadi, pandangan atau prinsip pribadi, dan jejaringnya. Dengan demikian, dibutuhkan untuk mengkombinasikan keempat ruang tersebut. Satu sisi mencakup paradigma teori dari Gramsci dan Habermas yang berkecenderungan dengan pembahasan ruang publik.23 Di sisi yang lain, dilengkapi dengan paradigma Cohen dan Arato yang berfokus pada ruang privat.

22Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society: A Framework of Rights and Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic Regimes (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 12; lihat juga Andi Faisal Bakti, “Women in the West and in Indonesia: How Can Islam Contribute to Social Development?” dalam Journal Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 1, September, Ternate, Indonesia, (2010), 2-20; Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity caharactersitics is necessary for Horizontal Conflict resolution In Indonesia,”dalam Identity, Culture, and Politics Vol. 9, No. 1 (July 2008); Andi Faisal Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid Interpretation of Civil Society, Pluralism, Secularism and Democracy,” dalam Asian Journal of Social Sciences, Brill, Leiden, Vol 33, No. 3 (November, 2005); Andi Faisal Bakti, “Paramadina and its Approach to Culture and Communication: An Engagement in Civil Society,” dalam Archipel, Paris, 68 (December, 2004); Andi Faisal Bakti, “Paramadina” dalam Bulletin of the International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden/Amsterdam June (2004).

23Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006), 18; Thania Paffenholz dan Christoph Spurk, “Civil Society, Civic Engagement, and Peacebuilding,” dalam Social Development Papers Conflict Prevention and Reconstruction, Paper The World Bank No. 36/October (2006), 2; Robert W. Cox, “Civil Society at the Turn of the Millenium: Prospects for an Alternative World Order,” Review of International Studies, Vol. 25, No. 1 (Jan., 1999), 3-4; European Commission, “The Roots of Democracy and Sustainable Development: Europe's Engagement with Civil Society in External Relations,” dalam Communication from the Commission to the European Parliament, The Council, The European Economic and Social Committee and The Committee Of The Regions, Brussels, 12.9.2012, COM (2012), 3.


(8)

Dalam skema, pendapat Janoski adalah berikut ini,

Sementara itu, secara konseptual, menurut Dawam Rahardjo, yang membawa pertama kali istilah masyarakat madani di Indonesia adalah Anwar Ibrahim yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, menyampaikan pidatonya pada Simposium Nasional pada Festival Istiqlal 1995. Masyarakat madani adalah masyarakat yang bermoral, masyarakat yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat, masyarakat yang mampu mendorong daya usaha dan


(9)

inisiatif individu.24 Lebih lanjut, menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani tidak bisa dipisahkan dengan akar kata din dalam konsep Madinah dan tamadun. Masyarakat madani harus berlandaskan kepada masyarakat yang berilmu, yang mendorong pembangunan dan kemajuan berlandaskan akhlak dan nilai etika. Pencapaiannya adalah dengan pelaksanaan ekonomi kerakyatan dan budaya masyarakat. Masyarakat madani sepadan dengan ungkapan mujtama’ madani, yang pernah dipopulerkan oleh ulama dan reformis Mesir Sheikh Muhammad Abduh.25 Istilah inipun terbilang baru, Naquib al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam, yang mula-mula mencetuskannya. Kata “madani” pada masyarakat madani dipadankan dengan kata hadlari, tsaqafi atau tamaddun dalam bahasa Arab yang mana mengacu pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan.26

Nurcholis Madjid yang menjadi motor utama konsep ini di Indonesia mengartikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang berperadaban (ber-madaniyyah atau mudun atau civilization) karena tunduk dan patuh (dana-yadīnu) kepada ajaran kepatuhan (dīn) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Ia pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum (lawless) Arab jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang penguasa seperti yang selama ini menjadi pengertian umum tentang negara.27 Oleh karena itu, menurutnya Bachtiar Effendy, civil society dengan enak dicarikan padanannya dalam kosa-kata Melayu masyarakat madani.28 Bahkan Effendy menambahkan, justru salah-kaprah jika menterjemahkan civil society dengan masyarakat sipil meski secara verbatin semata hal itu dibenarkan.

Rasulullah Muhammad di kota Madinah membangun masyarakat madani yang keadilan, keterbukaan, dan demokratis, dengan landasan paling pokok yaitu takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya. Takwa kepada Allah dalam arti semangat Ketuhanan Yang Maha Esa 24M. Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani Di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal,” 23.

25Anwar Ibrahim, “Akhlak, Ilmu & Etika Asas Masyarakat Madani,” dalam http://anwaribrahimblog.com/?s=masyarakat+madani, diakses tanggal 1Februari 2014.

26Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society..., 37.

27Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), 164.

28Bachtiar Effendy, “Wawasan Al-Qur’an Tentang Masyarakat Madani,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol I, No. 2, (1999), 76.


(10)

sebagaimana yang menjiwai Pancasila. Peristilahan tersebut dalam Kitab Suci al-Qur’an disebut semangat Rabbaniyah,29







































 























 





































Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.), karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali Imran/3: 79).

Atau ribbiyah













































 



































Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran/3: 146).

Menurut Nurcholis Madjid, rabbaniyah dan ribbiyah merupakan

hablun mina Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista. Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban,


(11)

masyarakat madani atau civil society. Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, sebagaimana dikutip Madjid, disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi.30

Berdasarkan paparan di atas, menurut penulis, masyarakat madani berbeda corak ideologi dengan civil society. Civil society berdimensi individualisme, sekulerisme, bahkan barbarian. Masyarakat madani berdimensi komunal, religiusitas, dan humanis. Ia bisa berbentuk organisasi masyarakat dalam berbagai hal, semisal sosial, agama, budaya dan tak terkecuali partai politik. Uniknya, Frans Magnis Suseno, Romo Katolik, menolak kesekuleran civil society di atas. Ia-pun mendobrak ‘tembok maha sempit,’ pakem dan claim batasan sejarah civil society tersebut. Beliau tidak keberatan dengan dan memakai istilah masyarakat madani. Ia juga memperluas batasan cakrawala masyarakat madani dapat dirunut pada tradisi religiusitas

Ibrahimiyyah, sebagai Bapak Monoteistik. Ibrahim memproklamirkan kekeliruan laku-praktek keagamaan dan praktek sosial yang berlaku di tanah kelahirannya, bukan dengan wahyu semata, akan tetapi terdahulu dengan ke-swa-mandiriannya menjadi oposisi dan mitra negara.31

Menurut Schattscheider, masyarakat madani menjadi mitra negara dalam puncaknya berbentuk sebagai partai politik.32 Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider, “Political parties created democracy.” Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem

30Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi, 168-169.

31Frans Magnis Suseno, “Demokrasi: Tantangan Universal,” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), 129-130. Lihat pula entri “Civilization, Concept and History of,” dalam International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, (Tp; Elsevier Science Ltd., 2001), 1903.

32David Adamany, “The Political Science of E. E. Schattschneider: A Review Essay,” dalam The American Political Science Review, Vol. 66, No. 4 (Dec., 1972), 1322.


(12)

politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties.”33

B. Dinamika Partai Politik dalam Membangun Negara

Partai politik sebagaimana masyarakat madani merupakan salah satu bentuk perwujudan kebebasan berserikat sebagai salah satu prasyarat berjalannya demokrasi. Kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi baik secara formal maupun informal. Kecenderungan demikian itu merupakan suatu keniscayaan (organizational imperatives).34 Kecenderungan bermasyarakat yang pada prinsipnya adalah kehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati nurani.35 Organisasi partai politik dibentuk oleh warga negara untuk memperjuangkan kepentingan politik. Membentuk suatu organisasi adalah salah satu wujud dari adanya kebebasan berserikat. Kebebasan tersebut dipandang merupakan salah satu hak asasi yang fundamental dan melekat pada manusia sebagai makhluk sosial. Kebebasan berserikat terkait erat dengan hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani, serta kebebasan berekspresi.

Jimly Asshiddiqie dari sisi etimologis menjelaskan bahwa kata partai berasal dari akar kata part yang berarti bagian atau golongan. 33SC. Stokes, “Political Parties and Democracy,” 245. Lihat pula Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,” http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> pada 15 Desember 2013, diakses tanggal 23 Januari 2014.

34Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 44; Anies R Baswedan, (2004). “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory,” dalam Asian Survey, 44, (2004), 669-670; Michael Buehler dan Paige Tan, “Party-Candidate Relationships in Indonesian Local Politics: A Case Study of the 2005 Regional Elections in Gowa, South Sulawesi Province,” dalam Indonesia, 84, (2007), 41-42.

35Kecenderungan berorganisasi ini menjadi salah satu bagian dari teori perjanjian sosial yang dikemukakan baik oleh John Locke maupun J.J. Rousseu. Lihat, George H. Sabine, A History Of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt Rinehart And Winston, 1961), 517-541, 575-596. Sedangkan pentingnya kebebasan nurani (Freedom of Concience) bagi harkat manusia dan kemanusiaan dikemukakan oleh Nurcholish Madjid dalam tulisan berjudul “Kebebasan Nurani (Freedom of Concience) dan Kemanusiaan Universal sebagai Pangkal Demokrasi, Hak Asasi dan Keadilan,” dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya Dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta; Paramadina, 1994), 123-144.


(13)

Kata partai menunjuk pada golongan sebagai pengelompokan masyarakat berdasarkan kesamaan tertentu seperti tujuan, ideologi, agama, bahkan kepentingan. Pengelompokan itu bentuknya adalah organisasi secara umum, yang dapat dibedakan menurut wilayah aktivistasnya, seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, serta organisasi politik. Dalam perkembangannya, kata partai lebih banyak diasosiasikan untuk organisasi politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang politik.36

Beberapa ahli memberikan konsep tentang partai politik secara berbeda-beda, namun memiliki elemen-elemen yang hampir sama. MacIver menyatakan “We may define a political party as an association organized in support of some principle or policy which by constitutional means it endavour to make the determinant of government.”37 Sedangkan Miriam Budiardjo mendefinisikannya sebagai “Suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kekuasaan politik dengan cara konstutisional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanan mereka.38 Definisi tersebut senada dengan pendapat R.H Soltau yang mendedahkan bahwa partai politik adalah, “A group of citizens more or les organized, who act as a political unit and who, by the use of their voting power, aim to control the goverment and carry out their general policies,”39 sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.

Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik menjaskan bahwa “partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan

36Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, 45.

37R.M. MacIver, The Modern State, First Edition (London: Oxford University Press, 1955), 398.

38Miriam budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2004), 160.


(14)

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”40

Dengan demikian, partai politik dapat dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, partai sama dengan masyarakat madani merupakan penggolongan masyarakat dalam organisasi secara umum yang tidak terbatas pada organisasi politik. Sedangkan dalam arti sempit, partai adalah partai politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang politik (political society).

Perkembangan politik menunjukkan adanya tiga komponen sebagai deskripsi kata ‘partai’, yaitu partai dalam pemerintahan, partai sebagai organisasi (politisi profesional), dan partai sebagai kelompok pemilih.41 Namun dalam paradigmatik politik, partai politik lebih dititikberatkan berfungsi sebagai sebuah organisasi atau institusi, khususnya aspek perantara (mediasi) antara kepentingan rakyat dan negara. Keberadaan dan perkembangan organisasi partai politik didasari oleh dua kondisi, yaitu penerimaan terhadap kekuatan yang plural dalam masyarakat dan pentingnya perwakilan politik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Aspirasi rakyat yang berbeda-beda merupakan legitimasi untuk mengorganisir diri agar semuanya dapat terwakili.42

Dari perspektif sejarah, embrio partai politik telah ada dalam kurun masa negara-kota Romawi pada masa pemerintahan Raja Tarquin (616 SM – 509 SM). Dalam kerajaan tersebut, kelompok masyarakat terbelah menjadi dua kelompok; patricians yang merupakan kaum aristokrat, dan plebeians yang merupakan kaum pengusaha dan kelas menengah, yang selanjutnya menjadi pionir dari fraksi-fraksi politik dalam kerajaan tersebut.43 Pada masa itu pula, forum rakyat di balai kota diadakan untuk mendengarkan tanggapan rakyat terhadap kinerja

40Lihat UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, Pasal 1.

41Mengutip Muchamad Ali Syafa’at, partai terdiri atas tiga elemen, yaitu party-in-electorate, the party organization, dan the party-in-government. Lihat Muchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959 – 2004),” dalam Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2009), 56.

42Studi tentang perkembangan partai politik dan model-modelnya dibahas secara menyeluruh dari aspek politik dalam Maurice Duverger, Political Parties (London: Metheun & Co., 1964).

43E. P. Thompson, “Patrician Society, Plebeian Culture,” dalam Journal of Social History, Vol. 7, No. 4 (summer, 1974), 382-405; CD. Barnett, “The Roman gens’ influence on loci of power in the Early Republic,” dalam Macquarie Matrix: Vol.2.1, Agustus (2012), 2-3; Karl-J. Hölkeskamp, “Conquest, Competition and Consensus: Roman Expansion in Italy and the Rise of the "Nobilitas," dalam Historia: Zeitschrift für Alte Geschichte, Vol. 42, No. 1 (1993), 12-39.


(15)

pemerintah kerajaan. Dengan kata lain, hal ini merupakan suatu representasi dari partisipasi politik secara langsung dan nyata oleh rakyat yang disebut demokrasi langsung. Namun dalam perkembangannya, wilayah negara yang luas dan banyaknya penduduk di dalamnya, membuat demokrasi secara langsung tidak mungkin dipraktekkan. Isu yang timbul dalam dunia politik pun makin luas dan kompleks, sehingga mustahil bagi tiap warga negara untuk selalu berkecimpung di dalamnya dan turut menyelesaikan masalah yang ada. Untuk itu, diperlukan pembagian kerja yang meliputi berbagai bidang. Rakyat memberi wewenang pada perwakilan mereka untuk membuat kebijakan yang nantinya berdampak pada diri mereka sendiri. Pada perkembangannya, politisi cenderung bergabung dengan partai politik. Partai politik muncul sebagai organisasi yang mampu berkoordinasi dengan anggotanya, melintasi batas daerah, di dalam majelis maupun lembaga eksekutif. Inilah demokrasi representatif.

Dalam perkembangan partai politik berikutnya, di Inggris sejak akhir abad 17 telah terdapat dua faksi utama embrio dari partai politik modern, yaitu yang disebut Whigs dan Tories.44 Kaum Whigs dari awalnya adalah kelompok yang anti-monarki tetapi sekaligus mendukung raja Georg I, sementara kaum Tories adalah penganut monarki murni tapi sangat keras menolak raja yang berkuasa saat itu, karena sang raja sangat tergantung pada parlemen.45 Partai Whig adalah pendukung Revolusi yang menyokong protestanisme dengan menghalangi seorang Katholik menjadi raja atau ratu Inggris. Oleh 44David Stasavage, “Partisan politics and public debt: The importance of the ‘Whig Supremacy’ for Britain’s financial revolution,” dalam European Review of Economic History, XX (2007), 123-126; Wesley Allen Riddle, “Culture and Politics: The American Whig Review, 1845-1852,” dalam Humanitas, Volume VIII, No. 1, (1995), 46-48. Uniknya, menurut Robert B. Baowollo kata Whig adalah suatu ungkapan dari dialek Skotalandia yang berarti penggiring ternak (Dover), sementara tory adalah ungkapan di kalangan masyarakat Irlandia yang artinya maling atau pencuri. Kristalisasi whig dan tory sebagai political oponents mempunya rujukan pada konflik agama saat itu. Kaum Whigs dan pendukung mereka adalah para pengikut Presbiterian yang fanatik dari Skotlandia yang merangkul kelompok protestan. Sementara para pembangkang yang setia pada Paus, yang kemudian di Irlandia dikenal dengan nama Whiteboys, adalah kaum Tories. Lihat Robert B. Baowollo “Robinocracy: Demokrasi dan Korupsi,” dalam http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/08/08/0006.html, diakses tanggal 10 Maret 2014.

45Wirjono Prodjodikoro Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, (Bandung: PT. Eresco Jakarta, 1981), 104-105.


(16)

sebab itu Partai Whig mendukung sepenuhnya Dinasti Hanover yang berasal dari Jerman karena beragama Protestan. Sebaliknya Partai Tory

pada masa awal Dinasti Hanover terpecah menjadi dua golongan, yaitu golongan yang bersedia menerima Dinasti Hanover dan golongan yang menginginkan kelanjutan Dinasti Stuart. Namun nama Tories dan

Whigs dalam perpolitikan Inggris berkembang sehingga tidak lagi mewakili arti awal dari istilah tersebut. Tories dan Whigs juga pernah dipakai untuk membedakan dua kelompok yang memiliki orientasi berbeda dalam hal kebijakan terhadap wilayah-wilayah koloni Inggris. Kelompok yang mendukung campur tangan yang besar dalam politik di koloni-koloni Inggris menyebut diri sebagai the Whigs. Sedangkan yang mempertahankan otoritas dan pretensi kerajaan serta hak-hak Gubernur Jenderal, terpaksa menerima sebutan Tories.’46

Dalam perkembangannya, anggota Tories biasanya adalah kaum pemilik tanah (bangsawan pemilik tanah), sedangkan pedagang dan pengusaha kaya (kaum kapitalis) biasanya berafiliasi dengan politisi

Whigs. Pada awal abad 19 kedua faksi ini menjadi partai politik massa yang diorganisasikan di semua level struktur sosial. Tories menjadi Partai Konservatif dan Whigs menjadi Partai Liberal. Kedua partai ini menjadi partai utama hingga pascaperang dunia I.47 Sedangkan Partai Buruh pada awalnya merupakan suatu faksi dalam Partai Liberal yang memperjuangkan kepentingan kelas buruh. Partai Buruh menjadi partai utama (major party) pada saat mendekati perang dunia I. Partai ini menjadikan sosialisme sebagai prinsip umum organisasinya.48

Amerika Serikat sebagai negara ‘anak kandung’ Inggris, dalam sejarahnya partai politik sama sekali tidak terpikirkan pada saat pembuatan konstitusi. Bahkan, para pendiri bangsa itu memandang partai politik dengan penuh kecurigaan. Salah satu prinsip argumentasi James Madison menerima konstitusi adalah bahwa sistem federalisme dan pemisahan kekuasaan akan mencegah setiap faksi dapat mengontrol aparat dan pemerintahan nasional. Faksi dalam hal ini adalah partai politik dan kelompok kepentingan.49 Namun demikian,

46Muchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia,” 56.

47Wirjono Prodjodikoro Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, 104-105.

48Muchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia....,” 57.

49MacIver, the Modern State, 397. Madison mendefinisikan faksi sebagai “a number of citizens, whether amounting to majority or minority of the whole, who are united and actuated by some common impulse of passion, or of interest, adverse to the rights of other citizens, or to the permanent and aggregate interest of the community.” Lihat Muchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia....,” 57.


(17)

keberadaan faksi-faksi itu sendiri telah ada pada saat pembentukan konstitusi dan diakui sebagai hal yang tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi kebebasan yang esensial bagi kehidupan politik. Untuk alasan ini, para pemimpin nasional mengecam faksi politik dan oleh karena itu tidak membuat ketentuan mengenai partai-partai politik. Perdebatan mengenai aspek-aspek tersebut mewarnai pemerintahan awal negara baru tersebut.50

Sekitar tahun 1790-an, timbul konflik antara beberapa partai pertama Amerika. Partai Federalis yang dipimpin Alexander Hamilton dan partai Republik (juga disebut Demokrat-Republik) yang dipimpin Thomas Jefferson, merupakan partai politik pertama di dunia Barat. Tidak seperti kelompok politik longgar dalam Dewan Rakyat Inggris atau di koloni Amerika sebelum revolusi, kedua partai ini memiliki program partai yang masuk akal serta mendasar, pengikut yang relatif stabil dan organisasi yang berkesinambungan.51

Federalis terutama mewakili kepentingan perdagangan dan manufaktur, yang mereka pandang sebagai kekuatan kemajuan di dunia. Mereka percaya hal ini dapat ditingkatkan hanya dengan pemerintahan pusat yang kuat yang mampu menghasilkan reputasi kepercayaan publik yang mapan dan mata uang yang stabil. Walau terang-terangan tidak mempercayai radikalisme laten orang kebanyakan, mereka tetap memiliki daya tarik bagi para pekerja dan produsen. Dukungan terkuat politik mereka terletak di negara bagian New England. Mereka memandang Inggris sebagai contoh yang perlu ditiru Amerika Serikat dalam segala hal. Oleh karena itu, mereka mendukung hubungan baik dengan negara induk.52

Partai Republik yang dipimpin Thomas Jefferson lebih mengutamakan kepentingan dan nilai pertanian. Mereka tidak mempercayai para bankir, hampir tidak memedulikan bidang niaga dan manufaktur, serta percaya bahwa kebebasan dan demokrasi dapat berkembang dengan sangat baik di masyarakat pedesaan yang terdiri atas para petani swasembada. Mereka nyaris tidak membutuhkan pemerintah pusat yang kuat. Sesungguhnya, mereka cenderung menganggap pemerintah sebagai sumber tekanan potensial. Oleh 50Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, Edisi Bahasa Indonesia (terj.) Michelle Anugrah (ttp: Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, 2005), 87.

51Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, 88.

52Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, 88.


(18)

karena itu, mereka lebih menyukai hak negara bagian. Posisi mereka paling kuat di wilayah Selatan.53

Dalam perkembangannya, partai politik di Amerika Serikat telah menjalankan peran besar dalam agregasi kepentingan politik di semua wilayah. Partai-partai tersebut telah menyediakan kendaraan bagi pilihan publik dan perubahan politik secara damai. Rakyat Amerika telah belajar menggunakan partai politik sebagai pengganti revolusi untuk melakukan perubahan dan mengontrol pemerintah. Sistem yang dibangun memungkinkan partai politik yang sedang berkuasa keluar dari pemerintahan dan partai politik yang berada di luar kekuasaan (the outs) mengambil giliran menjadi partai politik yang berkuasa (the ins).

Jika partai politik di Inggris dan Amerika terbentuk bersamaan dengan perkembangan dan pertumbuhan sistem demokrasi, maka di negara-negara jajahan partai politik dibentuk pada awalnya sebagai sarana pergerakan nasional. Partai-partai tersebut dapat duduk dalam dewan perwakilan ataupun menolaknya seperti yang terjadi di India dan Indonesia sebelum kemerdekaan.54

Keberadaan partai politik di Indonesia dapat dilacak sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu sudah mulai berkembang kekuatan-kekuatan politik dalam tahap pengelompokan yang diikuti dengan polarisasi, ekspansi, dan pelembagaan. Partai politik di Indonesia lahir bersamaan dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan yang menandai era kebangkitan nasional. Berbagai organisasi modern muncul sebagai wadah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Walaupun pada awalnya berbagai organisasi tidak secara tegas menamakan diri sebagai partai politik, namun memiliki program-program dan aktivitas politik.55

Bahkan menurut Yusril Ihza Mahendra, berdasarkan fakta-fakta historis, munculnya partai-partai politik masa pascakemerdekaan jelas bahwa beberapa partai telah berdiri jauh sebelum dikeluarkannya Maklumat Pemerintah yang ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta, atas saran Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu menegaskan 53Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, 89.

54Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 160; Partai pergerakan kemerdekaan di India misalnya adalah Partai Kongres. Sedangkan di Indonesia, banyak partai telah didirikan sebelum kemerdekaan sebagai alat pergerakan nasional mencapai kemerdekaan seperti SI, PNI, PSI, Partindo, dan lain-lain. Lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 (Jakarta: LP3ES), 114-115.


(19)

bahwa pemerintah “menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran paham yang ada di masyarakat.” Namun, Maklumat Pemerintah itu bukanlah penyebab berdirinya partai-partai. Maklumat itu adalah ‘pengesahan’ terhadap partai-partai yang telah berdiri.56

Kehadiran partai politik dalam sejarah politik Indonesia modern dimulai pada permulaan abad ke-20. Sejalan dengan berbagai kebijakan baru pemerintah Hindia-Belanda yang banyak dipengaruhi oleh politik etis, berbagai asosiasi yang bercorak etnis, kebudayaan, dan keagamaan bermunculan sejak tahun 1905. Partai-partai politik bermunculan setelah Gubernur Jenderal Idenburg memberikan keleluasaan kepada Sarekat Islam bergerak secara lokal, karena ia mengira organisasi ini tidak akan terlibat dalam aktivitas politik praktis. Partai-partai lain juga bermunculan dalam kurun 1910 sampai dengan 1930, seperti Indische Partij, ISDV, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927.57

Sepanjang empat dasawarsa abad ke-20, partai-partai politik memberikan kontribusi yang besar dalam menumbuhkan semangat nasionalisme Indonesia, kendatipun partai-partai itu tumbuh dan berkembang berdasarkan ideologi politik yang berbeda-beda. Sarekat Islam, Pergerakan Penyadar, dan Partai Islam Indonesia adalah partai-partai dengan ideologi politik Islam. PNI dan Partai Indonesia Raya (Parindra) berideologi nasionalisme. Sedangkan Partij Komunis Hindia (PKI) berideologi sosialisme. Perbedaan ideologi antarpartai kerap menjadi pangkal pertikaian di antara pemimpin pergerakan politik pada masa penjajahan Belanda. Perbedaan strategi dalam berjuang mencapai kemerdekaan, seperti antara kelompok kooperasi dan non-kooperasi juga menjadi sumber pertikaian. Meskipun memiliki visi politik yang berbeda-beda, partai-partai itu sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka berusaha sekuat tenaga agar rakyat mengerti politik dan memiliki kesadaran bahwa mereka sebagai bangsa yang terjajah harus berjuang mencapai kemerdekaan.58

Partai-partai itu juga telah mendorong tumbuhnya perdebatan-perdebatan intelektual dikalangan para pemimpinnya. Rakyat belajar dari perdebatan-perdebatan intelektual dan pidato-pidato rapat umum 56Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 181.

57Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, 177-178.


(20)

partai-partai politik masa itu. Partai-partai yang menghimpun massa dalam jumlah banyak itu telah melahirkan pemimpin-pemimpin politik dan masyarakat dari bawah. Hubungan antara pemimpin dan pengikut menjadi erat. Pemimpin-pemimpin partai tersebut, bersama pemimpin-pemimpin organisasi sosial dan keagamaan membawa Indonesia pada kemerdekaan pada tahun 1945.

C. Masyarakat Madani dan Partai Politik dalam Pancasila

Berdasarkan sila-sila Pancasila, terutama sila ke-2 dan ke-4, maka Sumber Hukum Negara Indonesia secara tersurat dan tersirat mengakomodasi terbentuknya masyarakat madani dan partai politik. Pancasila mendorong pemerintahan yang demokratis dan melindungi hak-hak asasi manusia. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan bila negara berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan pemerintahan yang demokratis dan melindungi hak hak asasi manusia. Sungguhpun demikian, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa,” merupakan asas yang paling fundamental bagi segenap cita bangsa Indonesia. Masyarakat madani dan partai politik yang tidak mengindahkan kaidah berketuhanan, secara prinsipil bertentangan dengan konstitusi bangsa.

Dalam konteks Indonesia, tidak hanya demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani saja yang menjadi syarat untuk terwujudnya Indonesia berkeadaban, tetapi juga pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia, ideologi Indonesia, identitas Indonesia, dan cita-cita Indonesia. Sehingga dengan demikian, perwujudan nilai-nilai Pancasila merupakan syarat mutlak untuk memajukan Indonesia yang berkeadaban. Pancasila secara alami lahir dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai yang terkandung dalam tiap butir sila Pancasila merupakan cerminan jati diri bangsa yang sudah melekat pada tiap sanubari warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, Pancasila belum dapat diterapkan secara maksimal, baik oleh kalangan masyarakat madani maupun partai politik. Padahal jika dikaji lebih lanjut, Pancasila dapat membawa negara Indonesia menjadi negara yang jauh lebih maju dari kondisinya sekarang. Bahkan menurut Azra, seharusnya, Pancasila yang menjadi civil religion dalam sistem demokrasi di Indonesia.59

59Equivalent Pangasi, “Azyumardi Azra: Jangan Kapok Jadi Orang Indonesia!,” Ungkapan tersebut disampaikan Azyumardi dalam talk show “Intoleransi dalam


(21)

Pancasila sebagai civil religion rakyat indonesia, meski belum sepenuhnya dihayati dan diamalkan, telah terbukti dalam meredam berbagai kemelut intoleransi politik dan demokrasi yang terjadi di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia. Azyumardi membandingkan kondisi Indonesia dengan kondisi di negara lainnya, terutama Timur Tengah. Menurutnya, sektarianisme yang terjadi di Timur Tengah cenderung meningkat setiap akhir pekan. Kondisi ini terlihat lebih buruk daripada Indonesia, padahal Indonesia memiliki realitas kemajemukan yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan negara apa pun. Sehingga menurut Azra, “Indonesia menjadi satu-satunya harapan dunia atas kompabilitas atau kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi. Sebelumnya, dunia berharap pada Turki. Namun berita tentang Turki beberapa waktu belakangan justru menggambarkan otoritarianisme pemerintah Turki.” Ia-pun menambahkan, “Indonesia masih bisa menjadi contoh kemajemukan agama bagi negara-negara lainnya,” di seluruh penjuru muka bumi ini.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesia yang memiliki kesesuaian antara agama dan demokrasi berdasarkan Pancasila, ada empat hal yang menurut Azyumardi perlu dilakukan, sebagaimana dikutip oleh satuharapan.com, yaitu:

“Pertama, perlu memperkuat multikulturalisme. Kedua, harus memperkuat religious based civil society (masyarakat madani berbasis agama) karena civil society semacam ini sudah ada bahkan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, dan sifatnya cukup inklusif,” Menurut Azyumardi, religious based civil society di Indonesia memiliki peran yang penting dalam menjaga kohesivitas di masyarakat. Sebab itu, setiap religious based society sepatutnya bersikap kritis, vokal, dan tidak mudah terprovokasi pada kepentingan politik tertentu. Hal ketiga yang menurutnya perlu dilakukan adalah penegakan public civility atau keadaban publik. “Sekarang makin banyak orang yang tidak malu untuk melakukan hal yang salah. Dan ini jelas berbahaya.” Azyumardi melanjutkan, “hal keempat yang juga vital untuk dilakukan adalah penegakan hukum. Melihat longgarnya pelaksanaan hukum di negeri kita ini, saya curiga, jangan-jangan kita justru terlalu toleran pada pelanggar hukum.” “Oleh karena itu, pemulihan kredibilitas aparat penegak hukum adalah hal yang sangat penting!”.60

Kehidupan Politik, Sebuah Realitas di Indonesia” yang dilaksanakan satuharapan.com pada Kamis (3/4) di Gedung Sinar Kasih, Jakarta Timur. Lihat versi online di http://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-jangan-kapok-jadi-orang-indonesia, diakses tanggal 2 Mei 2014.

60Equivalent Pangasi, “Azyumardi Azra: Jangan Kapok Jadi Orang Indonesia!,” Ungkapan tersebut disampaikan Azyumardi dalam talk show “Intoleransi dalam Kehidupan Politik, Sebuah Realitas di Indonesia” yang dilaksanakan


(22)

Masyarakat madani dan partai politik memiliki peran sebagai sambungan paling penting antara rakyat dan negara dengan proses pembentukan peradaban pemerintahan yang baik dan bersih. Keberadaan masyarakat madani diperlukan sebagai kekuatan pengawas dan penyeimbang (chek and balances) kekuatan negara dalam hal menjalankan roda pemerintahan. Masyarakat madani Pancasilais yang bermoral, sadar hukum dan beradab mampu mewakili masyarakat umum atau rakyat dalam memperjuangkan kepentingan bersama kepada pemerintahan. Disamping itu, masyarakat madani akan mampu menekan pemerintah bila kebijakannya bertentangan dengan masyarakat umum. Sebaliknya, masyarakat madani akan menyokong pemerintahan yang berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Di samping itu, keberadaan partai diharapkan mampu mengagregasi beraneka macam kepentingan rakyat menjadi suatu input bagi pembutan kebijakan publik. Maka dari itu, demokrasi yang berdasarkan Pancasila mengindikasikan mekanisme kompetisi antar partai di dalam proses politik melalui parlemen agar fungsi agregasi kepentingan dapat berjalan. Kompetisi antar partai di sisi lain juga berguna untuk mengawasi akuntabilitas pemerintahan yang berjalan. Namun, kompetisi yang dimaksud tetap berada pada satu kerangka kerjasama untuk membentuk sistem pemerintahan yang kuat.

satuharapan.com pada Kamis (3/4) di Gedung Sinar Kasih, Jakarta Timur. Lihat versi online di http://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-jangan-kapok-jadi-orang-indonesia, diakses tanggal 2 Mei 2014.


(1)

keberadaan faksi-faksi itu sendiri telah ada pada saat pembentukan konstitusi dan diakui sebagai hal yang tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi kebebasan yang esensial bagi kehidupan politik. Untuk alasan ini, para pemimpin nasional mengecam faksi politik dan oleh karena itu tidak membuat ketentuan mengenai partai-partai politik. Perdebatan mengenai aspek-aspek tersebut mewarnai pemerintahan awal negara baru tersebut.50

Sekitar tahun 1790-an, timbul konflik antara beberapa partai pertama Amerika. Partai Federalis yang dipimpin Alexander Hamilton dan partai Republik (juga disebut Demokrat-Republik) yang dipimpin Thomas Jefferson, merupakan partai politik pertama di dunia Barat. Tidak seperti kelompok politik longgar dalam Dewan Rakyat Inggris atau di koloni Amerika sebelum revolusi, kedua partai ini memiliki program partai yang masuk akal serta mendasar, pengikut yang relatif stabil dan organisasi yang berkesinambungan.51

Federalis terutama mewakili kepentingan perdagangan dan manufaktur, yang mereka pandang sebagai kekuatan kemajuan di dunia. Mereka percaya hal ini dapat ditingkatkan hanya dengan pemerintahan pusat yang kuat yang mampu menghasilkan reputasi kepercayaan publik yang mapan dan mata uang yang stabil. Walau terang-terangan tidak mempercayai radikalisme laten orang kebanyakan, mereka tetap memiliki daya tarik bagi para pekerja dan produsen. Dukungan terkuat politik mereka terletak di negara bagian New England. Mereka memandang Inggris sebagai contoh yang perlu ditiru Amerika Serikat dalam segala hal. Oleh karena itu, mereka mendukung hubungan baik dengan negara induk.52

Partai Republik yang dipimpin Thomas Jefferson lebih mengutamakan kepentingan dan nilai pertanian. Mereka tidak mempercayai para bankir, hampir tidak memedulikan bidang niaga dan manufaktur, serta percaya bahwa kebebasan dan demokrasi dapat berkembang dengan sangat baik di masyarakat pedesaan yang terdiri atas para petani swasembada. Mereka nyaris tidak membutuhkan pemerintah pusat yang kuat. Sesungguhnya, mereka cenderung menganggap pemerintah sebagai sumber tekanan potensial. Oleh

50Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, Edisi Bahasa Indonesia (terj.) Michelle Anugrah (ttp: Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, 2005), 87.

51Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, 88.

52Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, 88.


(2)

karena itu, mereka lebih menyukai hak negara bagian. Posisi mereka paling kuat di wilayah Selatan.53

Dalam perkembangannya, partai politik di Amerika Serikat telah menjalankan peran besar dalam agregasi kepentingan politik di semua wilayah. Partai-partai tersebut telah menyediakan kendaraan bagi pilihan publik dan perubahan politik secara damai. Rakyat Amerika telah belajar menggunakan partai politik sebagai pengganti revolusi untuk melakukan perubahan dan mengontrol pemerintah. Sistem yang dibangun memungkinkan partai politik yang sedang berkuasa keluar dari pemerintahan dan partai politik yang berada di luar kekuasaan (the outs) mengambil giliran menjadi partai politik yang berkuasa (the ins).

Jika partai politik di Inggris dan Amerika terbentuk bersamaan dengan perkembangan dan pertumbuhan sistem demokrasi, maka di negara-negara jajahan partai politik dibentuk pada awalnya sebagai sarana pergerakan nasional. Partai-partai tersebut dapat duduk dalam dewan perwakilan ataupun menolaknya seperti yang terjadi di India dan Indonesia sebelum kemerdekaan.54

Keberadaan partai politik di Indonesia dapat dilacak sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu sudah mulai berkembang kekuatan-kekuatan politik dalam tahap pengelompokan yang diikuti dengan polarisasi, ekspansi, dan pelembagaan. Partai politik di Indonesia lahir bersamaan dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan yang menandai era kebangkitan nasional. Berbagai organisasi modern muncul sebagai wadah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Walaupun pada awalnya berbagai organisasi tidak secara tegas menamakan diri sebagai partai politik, namun memiliki program-program dan aktivitas politik.55

Bahkan menurut Yusril Ihza Mahendra, berdasarkan fakta-fakta historis, munculnya partai-partai politik masa pascakemerdekaan jelas bahwa beberapa partai telah berdiri jauh sebelum dikeluarkannya Maklumat Pemerintah yang ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta, atas saran Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu menegaskan

53Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, 89.

54Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 160; Partai pergerakan kemerdekaan di India misalnya adalah Partai Kongres. Sedangkan di Indonesia, banyak partai telah didirikan sebelum kemerdekaan sebagai alat pergerakan nasional mencapai kemerdekaan seperti SI, PNI, PSI, Partindo, dan lain-lain. Lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 (Jakarta: LP3ES), 114-115.


(3)

bahwa pemerintah “menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran paham yang ada di masyarakat.” Namun, Maklumat Pemerintah itu bukanlah penyebab berdirinya partai-partai. Maklumat itu adalah ‘pengesahan’ terhadap partai-partai yang telah berdiri.56

Kehadiran partai politik dalam sejarah politik Indonesia modern dimulai pada permulaan abad ke-20. Sejalan dengan berbagai kebijakan baru pemerintah Hindia-Belanda yang banyak dipengaruhi oleh politik etis, berbagai asosiasi yang bercorak etnis, kebudayaan, dan keagamaan bermunculan sejak tahun 1905. Partai-partai politik bermunculan setelah Gubernur Jenderal Idenburg memberikan keleluasaan kepada Sarekat Islam bergerak secara lokal, karena ia mengira organisasi ini tidak akan terlibat dalam aktivitas politik praktis. Partai-partai lain juga bermunculan dalam kurun 1910 sampai dengan 1930, seperti Indische Partij, ISDV, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927.57

Sepanjang empat dasawarsa abad ke-20, partai-partai politik memberikan kontribusi yang besar dalam menumbuhkan semangat nasionalisme Indonesia, kendatipun partai-partai itu tumbuh dan berkembang berdasarkan ideologi politik yang berbeda-beda. Sarekat Islam, Pergerakan Penyadar, dan Partai Islam Indonesia adalah partai-partai dengan ideologi politik Islam. PNI dan Partai Indonesia Raya (Parindra) berideologi nasionalisme. Sedangkan Partij Komunis Hindia (PKI) berideologi sosialisme. Perbedaan ideologi antarpartai kerap menjadi pangkal pertikaian di antara pemimpin pergerakan politik pada masa penjajahan Belanda. Perbedaan strategi dalam berjuang mencapai kemerdekaan, seperti antara kelompok kooperasi dan non-kooperasi juga menjadi sumber pertikaian. Meskipun memiliki visi politik yang berbeda-beda, partai-partai itu sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka berusaha sekuat tenaga agar rakyat mengerti politik dan memiliki kesadaran bahwa mereka sebagai bangsa yang terjajah harus berjuang mencapai kemerdekaan.58

Partai-partai itu juga telah mendorong tumbuhnya perdebatan-perdebatan intelektual dikalangan para pemimpinnya. Rakyat belajar dari perdebatan-perdebatan intelektual dan pidato-pidato rapat umum

56Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 181.

57Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, 177-178.


(4)

partai-partai politik masa itu. Partai-partai yang menghimpun massa dalam jumlah banyak itu telah melahirkan pemimpin-pemimpin politik dan masyarakat dari bawah. Hubungan antara pemimpin dan pengikut menjadi erat. Pemimpin-pemimpin partai tersebut, bersama pemimpin-pemimpin organisasi sosial dan keagamaan membawa Indonesia pada kemerdekaan pada tahun 1945.

C. Masyarakat Madani dan Partai Politik dalam Pancasila

Berdasarkan sila-sila Pancasila, terutama sila ke-2 dan ke-4, maka Sumber Hukum Negara Indonesia secara tersurat dan tersirat mengakomodasi terbentuknya masyarakat madani dan partai politik. Pancasila mendorong pemerintahan yang demokratis dan melindungi hak-hak asasi manusia. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan bila negara berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan pemerintahan yang demokratis dan melindungi hak hak asasi manusia. Sungguhpun demikian, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa,” merupakan asas yang paling fundamental bagi segenap cita bangsa Indonesia. Masyarakat madani dan partai politik yang tidak mengindahkan kaidah berketuhanan, secara prinsipil bertentangan dengan konstitusi bangsa.

Dalam konteks Indonesia, tidak hanya demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani saja yang menjadi syarat untuk terwujudnya Indonesia berkeadaban, tetapi juga pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia, ideologi Indonesia, identitas Indonesia, dan cita-cita Indonesia. Sehingga dengan demikian, perwujudan nilai-nilai Pancasila merupakan syarat mutlak untuk memajukan Indonesia yang berkeadaban. Pancasila secara alami lahir dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai yang terkandung dalam tiap butir sila Pancasila merupakan cerminan jati diri bangsa yang sudah melekat pada tiap sanubari warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, Pancasila belum dapat diterapkan secara maksimal, baik oleh kalangan masyarakat madani maupun partai politik. Padahal jika dikaji lebih lanjut, Pancasila dapat membawa negara Indonesia menjadi negara yang jauh lebih maju dari kondisinya sekarang. Bahkan menurut Azra, seharusnya, Pancasila yang menjadi civil religion dalam sistem demokrasi di Indonesia.59

59Equivalent Pangasi, “Azyumardi Azra: Jangan Kapok Jadi Orang Indonesia!,” Ungkapan tersebut disampaikan Azyumardi dalam talk show “Intoleransi dalam


(5)

Pancasila sebagai civil religion rakyat indonesia, meski belum sepenuhnya dihayati dan diamalkan, telah terbukti dalam meredam berbagai kemelut intoleransi politik dan demokrasi yang terjadi di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia. Azyumardi membandingkan kondisi Indonesia dengan kondisi di negara lainnya, terutama Timur Tengah. Menurutnya, sektarianisme yang terjadi di Timur Tengah cenderung meningkat setiap akhir pekan. Kondisi ini terlihat lebih buruk daripada Indonesia, padahal Indonesia memiliki realitas kemajemukan yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan negara apa pun. Sehingga menurut Azra, “Indonesia menjadi satu-satunya harapan dunia atas kompabilitas atau kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi. Sebelumnya, dunia berharap pada Turki. Namun berita tentang Turki beberapa waktu belakangan justru menggambarkan otoritarianisme pemerintah Turki.” Ia-pun menambahkan, “Indonesia masih bisa menjadi contoh kemajemukan agama bagi negara-negara lainnya,” di seluruh penjuru muka bumi ini.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesia yang memiliki kesesuaian antara agama dan demokrasi berdasarkan Pancasila, ada empat hal yang menurut Azyumardi perlu dilakukan, sebagaimana dikutip oleh satuharapan.com, yaitu:

“Pertama, perlu memperkuat multikulturalisme. Kedua, harus memperkuat religious based civil society (masyarakat madani berbasis agama) karena civil society semacam ini sudah ada bahkan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, dan sifatnya cukup inklusif,” Menurut Azyumardi, religious based civil society di Indonesia memiliki peran yang penting dalam menjaga kohesivitas di masyarakat. Sebab itu, setiap religious based society sepatutnya bersikap kritis, vokal, dan tidak mudah terprovokasi pada kepentingan politik tertentu. Hal ketiga yang menurutnya perlu dilakukan adalah penegakan public civility atau keadaban publik. “Sekarang makin banyak orang yang tidak malu untuk melakukan hal yang salah. Dan ini jelas berbahaya.” Azyumardi melanjutkan, “hal keempat yang juga vital untuk dilakukan adalah penegakan hukum. Melihat longgarnya pelaksanaan hukum di negeri kita ini, saya curiga, jangan-jangan kita justru terlalu toleran pada pelanggar hukum.” “Oleh karena itu, pemulihan kredibilitas aparat penegak hukum adalah hal yang sangat penting!”.60

Kehidupan Politik, Sebuah Realitas di Indonesia” yang dilaksanakan satuharapan.com pada Kamis (3/4) di Gedung Sinar Kasih, Jakarta Timur. Lihat versi online di http://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-jangan-kapok-jadi-orang-indonesia, diakses tanggal 2 Mei 2014.

60Equivalent Pangasi, “Azyumardi Azra: Jangan Kapok Jadi Orang Indonesia!,” Ungkapan tersebut disampaikan Azyumardi dalam talk show “Intoleransi dalam Kehidupan Politik, Sebuah Realitas di Indonesia” yang dilaksanakan


(6)

Masyarakat madani dan partai politik memiliki peran sebagai sambungan paling penting antara rakyat dan negara dengan proses pembentukan peradaban pemerintahan yang baik dan bersih. Keberadaan masyarakat madani diperlukan sebagai kekuatan pengawas dan penyeimbang (chek and balances) kekuatan negara dalam hal menjalankan roda pemerintahan. Masyarakat madani Pancasilais yang bermoral, sadar hukum dan beradab mampu mewakili masyarakat umum atau rakyat dalam memperjuangkan kepentingan bersama kepada pemerintahan. Disamping itu, masyarakat madani akan mampu menekan pemerintah bila kebijakannya bertentangan dengan masyarakat umum. Sebaliknya, masyarakat madani akan menyokong pemerintahan yang berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Di samping itu, keberadaan partai diharapkan mampu mengagregasi beraneka macam kepentingan rakyat menjadi suatu input bagi pembutan kebijakan publik. Maka dari itu, demokrasi yang berdasarkan Pancasila mengindikasikan mekanisme kompetisi antar partai di dalam proses politik melalui parlemen agar fungsi agregasi kepentingan dapat berjalan. Kompetisi antar partai di sisi lain juga berguna untuk mengawasi akuntabilitas pemerintahan yang berjalan. Namun, kompetisi yang dimaksud tetap berada pada satu kerangka kerjasama untuk membentuk sistem pemerintahan yang kuat.

satuharapan.com pada Kamis (3/4) di Gedung Sinar Kasih, Jakarta Timur. Lihat versi online di http://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-jangan-kapok-jadi-orang-indonesia, diakses tanggal 2 Mei 2014.