Implikatur Dalam Jargon Politik Partai Pdi Perjuangan Dan Partai Gerindra Pada Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Periode 2014-2019

(1)

IMPLIKATUR DALAM JARGON POLITIK PARTAI PDI PERJUANGAN DAN PARTAI GERINDRA PADA PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL

PRESIDEN PERIODE 2014-2019

SKRIPSI

OLEH

HOTMA TUA SIDABUTAR NIM 100701016

100701016

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

IMPLIKATUR DALAM JARGON POLITIK PARTAI PDI PERJUANGAN DAN PARTAI GERINDRA PADA PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

PERIODE 2014-2019 Oleh:

HOTMATUA SIDABUTAR NIM 100701016

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan mengikuti skripsi yang telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Asrul Siregar, M.Hum. Dra. Sugihana br.Sembiring, M.Hum. NIP 19590502 198601 1 001 NIP 19600307 198601 2 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Prof. Dr . Ikhwanuddin Nasution, M.Si. NIP196209251989031017


(3)

Skripsi ini telah diterima oleh Panitia Ujian Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya , Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra.

Panitia Ujian

No. Nama Jabatan Tanda Tangan

1. Prof.Dr. Ikhwanuddin Nasution, M,Si. Ketua 2. Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P Sekretaris 3.


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya orang lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang tertulis sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila penyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pemabatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

\

Medan, Juni 2014


(5)

IMPLIKATUR DALAM JARGON POLITIK PARTAI PDI PERJUANGAN DAN PARTAI GERINDRA PADA PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL

PRESIDEN PERIODE 2014-2019

HOTMA TUA SIDABUTAR

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Implikatur dalam Jargon Politik Partai PDI Perjuangan dan Partai Gerindra pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019.” Metode yang digunakan adalah metode padan dengan menggunakan data jargon politik yang dimuat dalam media luar ruangan seperti baliho dan spanduk. Data kemudian dianalisis berdasarkan teori H.Paul Grace, J.L. Auistin dan Searle yang digunakan sebagai kerangka. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan implikatur dan tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam jargon politik partai PDI Perjuangan dan partai Gerindra pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Teori yang digunakan adalah bagian dari pragmatik , yaitu teori implikatur oleh H. Paul Grice dan tindak tutur oleh J.L Auistin dan Searle. Temuan ini menunjukkan bahwa implikatur yang terkandung dalam Jargon politik partai PDI Perjuangan dan partai Gerindra pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019 adalah cenderung mengarah kepada bentuk ajakan/himbauan. Hal ini didukung oleh konteks pada saat tuturan itu terjadi, yaitu pada saat suasana kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 juli 2014. Dalam jargon politik tersebut juga ditemukan tiga jenis tindak tutur yaitu (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, (3) tindak perlokusi. Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle (Leech, 1993:164), dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan jargon politik Partai PDI Perjuangan dan Partai Gerindra pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019 mencakup 4 jenis tindak ilokusi.


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Bapa Maha Pengasih dan Penyayang, atas kasih dan karunia-Nya yang tiada henti-hentinya kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada orang tua tercinta, Bapak Rusman Sidabutar dan Ibu Romanti Situmorang, karena telah memberikan dukungan moral, material, kasih sayang yang tanpa batas, dan doa yang tidak pernah berhenti. Kiranya kasih setia dan kemurahan Tuhan senantiasa bersama dengan kita semua.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menemui kesulitan, akan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik berupa dorongan nasihat, dukungan, moral, dan petunjuk praktis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak yang telah membantu penulisan ini, yaitu :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Ikhwanuddin Nasution. M.Si., selaku ketua Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, selaku sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Asrul Siregar, M.Hum., selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis , baik dalam perkuliahan maupun saat proses penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Sugihana br. Sembiring, M.Hum., selaku pembimbing II yang telah banyak memberi dukungan dan membantu penulis dalam penyusunan proposal hingga penyelesaian skripsi ini.


(7)

6. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang linguistik, sastra maupun bidang-bidang umum lainya, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

7. Abang dan adik penulis tercinta, Rinto Sidabutar dan Dermawan Sidabutar yang telah banyak berkorban untuk penulis dari awal memasuki perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini. (Terima kasih sebesar-besarnya telah membimbing dan berkorban banyak hal untuk saya adik mu ini).

8. Rekan-rekan ankatan’010 yang telah banyak memberi bantuan dan saran selama perkuliahan hingga penulisan skripsi ini, terhusus buat Osen Hutasoit (bagur ) yang telah banyak berkorban dan sepenuh hat menemani penulis dalam mengelilingi kota Medan guna pengumpulan data .

9. Adik-adik di Departemen Sastra Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu per satu telah banyak meberi dukungan doa dan semangat kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.

10.Teman-teman satu kost Rebab 26: Ardy, Benny, Combo, Limber, Nevo, Irwan, candra Silalahi, Candra Simamora dan terkhusus buat sahabat sekamar penulis KOMBES (Eli Fernando Nababan), kalian semua seperti keluarga bagi penulis.

11.Teman-teman seperjuangan anti penindasan (GENK 14) terima kasih telah hadir dalam hidup penulis. (MAJU TERUS, PANTANG MUNDUR)

12.Khusunya Esta Veronika Sirait yang selalu hadir memberikan semangat dukungan yang tidak henti kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis menerima segala saran dan kritik yang dapat menyempurnakan isi skripsi ini. Terima kasih.


(8)

Medan, Juni 2014 Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN... i

ABSTRAK ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Masalah ... 6

1.3 Batasan Masalah ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 8

2.1.1 Implikatur ... 8

2.1.2 Jargon Politik ... 8

2.2 Landasan Teori... 9

2.2.1 Pragmatik ... 9

2.2.2 Implikatur ... 10

2.2.3 Tindak Tutur ... 13


(10)

2.3 Tinjauan Pustaka ... 19

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 21

3.1.2 Waktu Penelitian ... 21

3.2 Sumber Data ... 21

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 21

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ... 22

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Bahan analisis ... 35

4.2 Analisis Implikatur Jargon Politik Partai PDI Perjuangan dan Partai Gerindra pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019 ... 36

4.2.1 Analisi Implikatur Jargon Politik Partai PDI Perjuangan pada Pemilihan Presien dan Wakil Presiden Periode 2014-2019 ... 37

4.2.2 Analisi Implikatur Jargon Politik Partai Gerindra pada Pemilihan Presien dan Wakil Presiden Periode 2014-2019 ... 48

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 60


(11)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

IMPLIKATUR DALAM JARGON POLITIK PARTAI PDI PERJUANGAN DAN PARTAI GERINDRA PADA PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL

PRESIDEN PERIODE 2014-2019

HOTMA TUA SIDABUTAR

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Implikatur dalam Jargon Politik Partai PDI Perjuangan dan Partai Gerindra pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019.” Metode yang digunakan adalah metode padan dengan menggunakan data jargon politik yang dimuat dalam media luar ruangan seperti baliho dan spanduk. Data kemudian dianalisis berdasarkan teori H.Paul Grace, J.L. Auistin dan Searle yang digunakan sebagai kerangka. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan implikatur dan tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam jargon politik partai PDI Perjuangan dan partai Gerindra pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Teori yang digunakan adalah bagian dari pragmatik , yaitu teori implikatur oleh H. Paul Grice dan tindak tutur oleh J.L Auistin dan Searle. Temuan ini menunjukkan bahwa implikatur yang terkandung dalam Jargon politik partai PDI Perjuangan dan partai Gerindra pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019 adalah cenderung mengarah kepada bentuk ajakan/himbauan. Hal ini didukung oleh konteks pada saat tuturan itu terjadi, yaitu pada saat suasana kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 juli 2014. Dalam jargon politik tersebut juga ditemukan tiga jenis tindak tutur yaitu (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, (3) tindak perlokusi. Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle (Leech, 1993:164), dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan jargon politik Partai PDI Perjuangan dan Partai Gerindra pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019 mencakup 4 jenis tindak ilokusi.


(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dunia perpolitikan di Indonesia mengalami perkembangan pesat bila ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas pada saat ini. Beraneka ragam partai politik yang bersaing dalam merebut tampuk kekuasaan dalam pusaran pejabat pemerintahan menambah gairah perpolitikan negeri ini. Dalam upaya menyosialisasikan visi-misi partai politik kepada masyarakat melalui kegiatan kampanye, yang diwarnai dengan maraknya penggunaan jargon-jargon bertema politik yang secara intensif disuarakan guna memikat simpati masyarakat pemilih untuk memenangkan pertarungan merebut kursi pemerintahan.

A. Chaer dan L. Agustina (2010: 68) menjelaskan bahwa jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. (BDK Nuryadi dalam Robins 1992: 62). Ungkapan yang digunakan tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia.

Penggunaan jargon oleh partai politik, khusus para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) guna membangun citra dan sebagai sarana penyampaian identitas yang mengandung muatan politik kini marak dikumandangkan dalam kegiatan kampanye. Jargon yang bertema politik ini diharapkan mampu meyakinkan masyarakat tentang pandangan capres ke depan, sehingga pada akhirnya masyarakat memutuskan untuk memilih mereka sebagai penguasa RI 1 dalam pemilihan presiden (pilpres). Fenomena menjamurnya penggunaan jargon dengan mengangkat isu – isu sosial seperti : katakan tidak pada korupsi, suara golkar suara rakyat, berjuang untuk kesejahteraan rakyat, JK-WIN, SBY Ber Budi, Mega-Pro, Hanura tak akan khianat hidup mati bersama rakyat, dan masih banyak lagi


(14)

disalurkan kepada masyarakat dengan berbagai media yang ada, baik media cetak, elektronik, dan internet.

Berlatar belakang dari maraknya penggunaan jargon dalam kampanye politik capres 2014 ini, penulis bermaksud mencoba mendalami makna penggunaan jargon tersebut untuk menambah pengetahuan tentang profil maupun seluk-beluk mengenai capres tersebut dari sisi penggunaan jargon sebagai sarana pembangunan citra, identitas dan penyampaian visi- misi. Selain itu, hal lain yang mendasari penelitian ini adalah penelitian tentang penggunaan bahasa kampanye parpol belum banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak, mengingat bahwa bahasa kampanye dan maraknya jargon selalu akan muncul dalam peta persaingan politik dulu hingga saat ini.

Kajian implikatur dianggap penting karena terikat konteks untuk menjelaskan maksud implisit dari tindak tutur penuturnya. Dengan demikian praanggapan lawan tutur bermacam-macam bergantung pada referensi dan pemahaman konteks yang dimilikinya untuk membuat inferensi terhadap impikatur dari seorang penutur. Untuk memahami bentuk-bentuk bahasa yang implikatif perlu adanya pengkajian dan analisis yang mendalam. Selain itu dalam, mengkaji dan menganalisis diperlukan kepekaan dengan konteks yang melingkupi peristiwa kebahasaan itu, supaya maksud terselubung di balik jargon politik benar-benar dimengerti oleh masyarakat.

Dengan melihat secara khusus teks-teks yang digunakan dalam wacana jargon politik kampanye politik saat ini, kita dapat membangun kesimpulan tentang kedudukan bahasa dalam kampanye tersebut. Bahasa-bahasa dalam wacana jargon politik tersebut berdiri sebagai sesuatu yang harus dibaca dan dilihat. Kata-kata tersebut memberi kita ide dan visi-misi baru yang mempengaruhi cara berpikir kita. Untuk dapat mempengaruhi pembaca, wacana jargon politik biasanya ditampilkan dengan suatu gaya pengungkapan yang khas. Kekhasan dari wacana jargon kampanye itu sangat menarik.


(15)

Pragmatik merupakan subdisiplin linguistik interdisipliner yang tidak hanya terbatas pada kerangka teori saja namun merupakan ilmu yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Pragmatik cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke arah formalisme. Penerapan pragmatik dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dengan menganalisis bentuk-bentuk penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulisan yang berwujud tuturan.

Dalam kajian ilmu pragmatik juga dibahas tentang implikatur. Salah satu aplikasi bahasa sebagai alat komuniksi adalah implikatur dalam jargon kampanye politik. Implikatur adalah ujaran atau pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Dilihat dari sudut pandang pragmatik, dalam penggunaan jargon kampanye politik banyak implikatur di balik janji-janji yang disampaikan kepada rakyat. Pada dasarnya jargon kampanye politik ini lekat dengan situasi politik yang terkait dengan dukung-mendukung. Hal ini dijumpai ketika adanya pemilihan umum seperti pemilu presiden dan wakil presiden. Tahun 2014 ini merupakan tahun pemilu karena tahun ini akan digelar pesta demokrasi terbesar di negeri ini yakni pada pemilihan presiden dan wakilnya pada 9 Juli 2014 yang diawali dengan kampanye yang sangat menarik. Hingga saat ini berbagai partai politik telah mempersiapkan kandidat capres dan cawapres yang secara internal dirasa mampu merebut perhatian publik untuk menduduki kursi kepresidenan. Partai PDI Perjuangan sebagai partai tertua dengan koalisi moncong putih terdiri dari 5 partai yaitu: 1.Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P), 2. Partai Nasional Demokrat (Nasdem), 3. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 4. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan 5. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) mengusung calon presiden (capres) Ir.H.Joko widodo dan calon presiden (cawapres) H.Jusuf Kalla serta Partai Gerindra sebagai partai baru dengan koalisi merah putih terdiri dari 6 partai yaitu: 1. Partai Gerakan Indonesia Raya


(16)

(Gerindra), 2. Partai Amanat Nasional (PAN) 3. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), 4. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), 5. Partai Bulan Bintang (PBB), 6. Partai Golangan Karya (Golkar) yang telah menjelma menjadi partai besar saat ini mengusung capres H.Prabowo subianto dan cawapres H.Hatta Rajasa yang akan bertarung dalam pemilihan umum (pemilu) 2014. Kedua partai ini dinilai penulis sebagai 2 partai besar yang hadir dalam kancah perpolitikan di Indonesia mewakili 2 dimensi waktu yang berbeda, yakni Partai PDI Perjuangan sebagai representasi partai lama, dan Partai Gerindra sebagai representasi partai baru. Untuk itu agar lebih memahami lagi seluk beluk kedua capres usungan dua partai besar itu maka akan dilakukan analisis guna menemukan implikatur dan tindak tutur dari jargon politik kedua partai tersebut.

Grice (1967 dalam soemarmo, 1988:170) mengemukakan bahwa untuk menggunkan bahasa secara efektif dan efesien diperlukan kaidah penggunaan bahasa. Kaidah ini terdiri dari 2 pokok, yaitu: (1) prinsip kooperatif yang menyatakan “katakana apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu’. (2) empat maksim percakapan yang terdiri dari maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Beliau juga menyatakan apabila salah satu dari empat maksim tersebut tidak dipatuhi berarti si pembaca bermaksud menyatakan sesuatu dibalik yang diucapkanya. Dengan demikian, ucapan tersebut mempunyai implikatur karena mempunyai maksud dibalik ucapan itu (Lubis, 1993:74).

Jargon politik ini jelas mengandung implikatur dan hal ini sangat menarik. Untuk menemukan implikatur yang terdapat pada suatu ujaran dibutuhkan kaidah pertuturan. Kaidahb tersebut terdiri dari: (1) penentuan makna dasar dari ucapan itu, (2) penentuan implikaturnya yang terdiri dari penganutan prinsip kooperatifnya, nilai evaluatifnya dan kemungkinan kesimpulanya (siregar,1997:39).


(17)

Bentuk Jargon kampanye politik pemilihan calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2014 ini dalam media luar ruang seperti baliho dan juga spanduk tidak terlepas dari tindak tutur. Dalam menemukan makna dibalik penggunaan jargon tersebut harus benar-benar disadari pentingnya konteks ucapan tuturan. Tuturan dalam jargon kampanye politik ini memiliki keunikan tersendiri dan sangat menarik untuk diteliti karena mengandung banyak pesan yang dapat diungkap di dalamnya. Menemukan makna dibalik penyuaraan penggunaan jagon tersebut serta jenis tindak tutur yang terkandung dalam jargon tersebut merupakan alasan peneliti tertarik untuk mengangkat “implikatur dalam jargon politik Partai PDI Perjuangan dan Partai Gerindra pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019” sebagai judul penelitian.

1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang diteliti dirumuskan sebagai berikut:

1. Implikatur apakah yang terdapat dalam jargon politik partai PDI Perjuangan dan partai Gerindra pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019 ? 2. Tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam jargon politik PDI Perjuangan dan

partai Gerindra pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019 ?

1.3 Batasan Masalah

Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada analisis pragmatik yang meliputi implikatur dan tindak tutur yang terdapat dalam jargon politik PDI Perjuangan dan partai Gerindra pada pilpres 2014. Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah jargon politik yang penulis batasi hanya pada media cetak khususnya baliho dan spanduk , sedangkan data yang digunakan untuk analisis, penulis batasi mulai rangkaian periode tahun 2014.


(18)

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menentukan implikatur yang terdapat dalam jargon politik parta PDI Perjuangan dan Partai Gerindra pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. 2. Menentukan dan menganalisis jenis-jenis tindak tutur yang terdapat dalam jargon

politik partai PDI Perjuangan dan partai Gerindra pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019.

1.5Manfaat penelitian

1. Secara teoretis, penelitian ini dapat menjadi sumber masukan bagi penelitian yang ingin membicarakan tentang implikatur dan jenis tindak tutur penggunaan kedua jargon politik partai PDI Perjuangan dan partai Gerindra pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019.

2. Secara praktis, penelitian ini menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat dalam memahami implikatur dan jenis tindak tutur dibalik penggunaan kedua jargon politik oleh partai PDI Perjuangan dan partai Gerindra pada pilpres 2014 guna menentukan hak suara.


(19)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI,2007:588). Paparan konsep ini dapat bersumber dari para ahli, pengalaman peneliti, dokumentasi, dan nalar yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dengan adanya konsep, peneliti akan semakin mudah mengembangkan ide dan gagasannya untuk memperjelas hasil penelitian.

2.1.1 Implikatur

Implikatur merupakan satu kajian bidang ilmu pragmatik. Implikatur adalah ujaran atau pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan atau dengan kata lain tuturan yang disampaikan itu dicakup dalam dua bagian yaitu apa yang disampaikan (makna dasar) dan apa yang diimplikasikan (makna lain/implikaturnya).

2.1.2 Jargon Politik

Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu (A. Chaer dan L. Agustina 2010: 68), (BDK Nuryadi dalam Robins 1992: 62). Ungkapan yang digunakan tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia.

Dalam proses penyampaian visi dan misi serta pesan-pesan politik yang salah satunya guna menyosialisasikan pendidikan politik kepada masyarakat. Setiap partai politik, terkhusus para kandidat calon presiden selalu berusaha menemukan formulasi dalam upaya yang paling efektif untuk merekrut massa dengan mengumandangkan jargon politik dalam


(20)

persaingan menuju kemenangan. Maraknya penggunaan jargon politik oleh parpol telah menambah gairah pesta demokrasi di negeri ini, proses sosialisasi jargon politik parpol mengisi sendi-sendi sumber informasi publik baik di media cetak, elektronik, dan dalam jaringan. Iklan-iklan yang berisi jargon politik tersebut juga menghiasi seluruh sudut-sudut kota di berbagai wilayah di negeri ini, baik iklan yang berukuran besar seperti baliho, spanduk dan plakat serta dalam ukuran kecil seperti brosur,poster dan selebaran.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Pragmatik

Menurut Geoffrey Leech (1983), secara praktis pragmatik dapat didefinisikan sebagai studi mengenai makna ujaran di dalam situasi tertentu. Ia juga mengartikan bahwa pragmatik umum sebagai kajian megenai kondisi-kondisi umum penggunaan bahasa secara komunikatif (oka, 1993: ix : 15).

Dalam penelitian ini, pembicaraan mengenai kajian pragmatik lebih dibatasi pada implikatur tindak tutur yang merupakan bagian dari suatu tuturan, dan konteks yang mempunyai perananan penting dalam situasi tuturan.

2.2.2 Implikatur

Gunpers (dalam Lubis, 1991:68), inferensi (implikatur) adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Mengacu pada pernyataan bahwa selalu benar apa yang dimaksud oleh si pembicara tidak sama dengan apa yang ditanggap oleh si pendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat atau sering juga terjadi si pembicara mengulangi kembali ucapannya mungkin dengan cara atau kalimat yang lain supaya dapat ditanggapi oleh si pendengar.


(21)

Berlangsungnya situasi percakapan seyogyanya dikuasai oleh hukum atau kaidah pragmatik umum menurut H.paul grice (1967 dalam soemarmo, 1988:171) disebut kaidah penggunaan bahasa. Kaidah ini mencakup peraturan tentang bagaimana suatu percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Kaidah ini terbagi atas 2 pokok yakni : (1) prinsip kooperatif yang menyatakan “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu” (2) terdapat empat maksim percakapan yang terdiri atas maksim kuantitas , maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai, misalnya seorang harus mengatakan bahwa Jakarta adalah ibu kota Indonesia, bukan kota-kota yang lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal demikian bisa terjadi.

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.

Contoh:

(3) Tetangga saya hamil

(4) Tetangga saya yang perempuan hamil

Ujaran (3) di atas lebih ringkas, juga tidak menyimpang nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu mengetahui bahwa wanitalah yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (4) sifatnya berlebihan. Kata hamil dalam (3) sudah menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam (4) justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas. hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas.


(22)

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevansi dengan masalah pembicaraan.

Contoh :

(5) + Ani, ada telepon untuk kamu.

- Saya lagi di belakang, Bu!

Jawaban (-) pada (5) di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila diamati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban (-) pada (5) mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima telepon itu. Fenomena (5) mengsiyaratkan bahwa fenomena relevansi tindak ucap peserta kontribusinya tidak selalu terletak pada makna ujaranya, tetapi memungkinkan pula pada apa yang diimplikasikan ujaran itu.

Maksim Pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak takabur, tidak taksa, dan tidak berlebihan serta runtut.

Contoh:

(6)+ mari berhenti dan cari tempat makan !

- oke, tapi tidak M-C-D-O-N-A-L-D-S!

Dalam (6) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara langsung, yakni dengan mengeja satu per satu kata Mc Donalds penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya.

Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah bahwa pendengarnya menganggap bahwa pembicaraannya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas. Apabila terdapat tanda-tanda bahwa salah satu dasar atau maksim tersebut tidak diikuti, maka ucapan itu mempunyai implikatur (Siregar,1997:30)


(23)

Contoh :

A.Nasinya sudah masak. Implikaturnya adalah silakan dimakan.

B.Saya punya sepeda. Implikaturnya adalah sepeda saya boleh anda pakai.

Kalimat-kalimat di atas mempunyai implikatur karena keduanya tidak sesuai dengan maksim kuantitas (sesuatu yang jelas masih dinyatakan). Jadi, pendengarnya harus memutuskan bahwa ada makna lain dibalik ucapan itu. Pada dasarnya setiap percakapan kita harus menganggap bahwa prinsip kooperatifnya selalu diikuti, maka tugas pendengarnya adalah menetapkan atau mengolah ucapan itu untuk menentukan makna dibaliknya dengan mempergunakan kaidah-kaidah yang ada.

2.2.3 Tindak Tutur

Menurut Searle, dalam komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekedar lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku atau tindak tutur. Lebih tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah (dalam rani, 2004:158).

Teori tindak tutur dikemukakan oleh John R. Searle (1983) dalam bukunya Speech Acts : An Essay in the Philosophy of language, membagi praktik penggunaan bahasa menjadi tiga macam tindak tutur, yaitu :

1. Tindak ‘lokusi’ yakni mengaitkan suatu topik dengan suatu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’ dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan


(24)

penjelasan dalam sintaksis. Dalam tindak ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi dan fungsi tuturan yang disampaikan si penutur, tetapi bermaksud untuk memberi tahu penutur (dalam Lubis,1991:9)

2. Tindak ‘ilokusi’ tindakan yang melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu. Pada tindak tutur ini, penutur mengungkapkan kalimat bukan dimaksudkan untuk memberi tahu penutur saja, tetapi ada keinginan penutur melakukan tindakan.

3. Tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu (Nababan, 1989:18, dalam lubis,1993:9).

Dalam ilmu bahasa dapat kita samakan tindak lokusi itu dengan “prediksi”, tindak ilokusi dengan ‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan ‘akibat suatu ungkapan’. Atau dengan kata lain dapat kita katakan bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat itu, ilokusi sebagai daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan lain-lain. Perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya

Kalimat: Nilai raportmu bagus sekali! Dari segi lokusi, ini hanya sebuah pernyataan bahwa nilai raport itu bagus (makna dasar). Dari segi ilokusi, dapat berupa pujian atau ejekan. Pujian kalau nilai raportnya memang bagus, dan ejekan kalau nilainya tidak bagus. Dari segi perlokusi dapat membuat pendengar itu menjadi sedih (muram) dan sebaliknya dapat mengucapkan terima kasih.

Ucapan yang tidak langsung itu tidak menyatakan pujian atau ejekan, tetapi mengharuskan si pendengar mengolahnya sehingga makna yang sebenarnya dapat ditentukannya.


(25)

Jadi, kalimat “nilai raportmu bagus sekali” bermakna dasar sebuah raport bernilai bagus. Prinsip kooperatifnya di sini dijalankan karena si pembicara menyatakan sesuai dengan tujuan pembicara itu. Dari segi evaluatifnya dapat dikatakan sebagai berikut: si pembicara menyatakan sesuatu dengan terang dan jelas dan ini biasanya mempunyai makna dibalik ujaran tersebut.

Dalam hal ini, Konteks dan penuturnya memegang peranan untuk menyatakan itu adalah orang tua kepada anaknya yang menunjukkan raportnya dan air muka orang tua itu tidak jernih, maka jelas daya ilokusi pernyataan itu adala kesalahan. Kesimpulan ini menentukan bagaimana respon si pendengar atau anak yang mempunyai raport tersebut. Ia mungkin akan menyatakan bahwa guru-gurunya tidak jujur atau juga mungkin hanya merasa sedih atau mungkin juga dapat menangis, atau ia menyatakan akan berusaha sekuat mungkin. Dan inilah nilai perlokusi.

Searle mengklarifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori, yakni :

1. Representatif atau asertif yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, dan melaporkan.

2. Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut dan memberi nasihat.

3. Komisatif yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya menjanjikan, menanawarkan.

4. Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan sebaginya.


(26)

5. Deklaratif yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan, misalnya mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.

2.2.4 Konteks

Konteks berasal dari Bahasa Latin ‘contexere’ yang berarti ‘menjalin bersama’. Kata konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang berhubungan dengan dirinya, yang terjalin bersama.

Hymes (1972, dalam Chaer, 1995:62), seorang pakar linguistik terkenal mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah :

1. S (Setting and Scane). 2. P (Participants)

3. E (Ends), merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.

4. A (Act sguence), mengacu kepada bentuk ujuran dan isi ujuran.

5. K (Keys), mengacu pada nada, cara dan semangat dimana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, serius, mengejek, bergurau.

6. I (Instrumentalities),

7. N (Norm of interaction and interpretation), mengacu pada tingkah laku yang khas dan sikap yang berkaitan dengan peristiwa tutur.

8. G (Genres), mengacu pada jenis penyampaian.

Setting berkenaan dengan tempat dan waktu tuturan berlangsung, sedangkan scane mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat


(27)

dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola, kita boleh berbicara keras-keras, tetepi di ruang perpustakaan harus seperlahan mungkin.

Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara dan pendengar, tetapi dalam hal khotbah di Mesjid, Khotib sebagai sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda apabila berbicara dengan orang tua atau gurunya bila dibandngkan kalau ia berbicara dengan teman sebayanya.

Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu khasus perkara, namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Dalam peristiwa tutur di ruang kajian linguistik, dosen yang cantik itu berusaha menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswanya, namun mungkin ada diantara para mahasiswa datang hanya untuk memandang wajah ibu dosen yang cantik itu.

Act seguence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaanya, dan apa hubungan antara apa


(28)

yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.

Keys mengacu pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegragf atau telepon. Instrumentalis ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan , seperti bahasa, ragam dialek atau register.

Norms of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dan lawan bicara.

Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah. doa dan sebagainya.

2.3 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan maka ada sejumlah sumber yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini. Adapun sumber tersebut adalah seperti beruikut. Wijana (2001) meneliti implikatur dalam wacana pojok. Dia menyimpulkan tentang fakta bahwa sebuah tuturan khususnya tuturan yang diutarakan untuk maksud mengkritik, mengecam, memberikan cara-cara dengan sopan, seperti halnya wacana pojok dikreasikan sedemikian rupa dengan tuturan-tuturan yang berimplikatur. Dalam hal ini kajian pragmatik harus memberikan kepastian konteks agar semakin sempit atau terbatas kemungkinan implikatur yang dapat ditimbulkan oleh sebuah tuturan.


(29)

Dewana (2001), dalam skripsinya Pasangan Bersesuaian dalam Wacana Persidangan (Analisis Implikatur Percakapan). Dia menyimpulkan tentang penerapan prinsip kerja sama serta empat maksim percakapan pasangan bersesuaian yang terdapat pada analisis implikatur percakapan dalam wacana persidangan adalah pola panggilan-jawaban, pola permintaan-penerimaan, pola permintaan informasi-pemberian, pola penawaran-permintaan-penerimaan, pola penawaran-penolakan.

Anina (2006) meneliti tentang implikatur percakapan dalam wacana humor berbahasa Indonesia. Dia menyimpulkan bahwa wacana humor berbahasa Indonesia memiliki karakteristik wujud lingual implikatur percakapan seperti kalimat deklaratif, interogatif, imperatif. Selain itu, implikasi pragmatis implikatur percakapan dalam wacana humor berbahasa Indonesia memiliki fungsi menghibur, menyindir, memerintah, dan mengejek.


(30)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi adalah letak atau tempat. Lokasi penelitian ini adalah sepanjang pinggiran jalan di kota Medan seperti Padang Bulan, Iskandar Muda, Gatot Subroto, Jl. Hayam Wuruk, dan tempat-tempat umum lainya di daerah Medan.

3.1.2 Waktu Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian jargon politik pemilihan umum calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia (RI 1) periode 2014-1019 dilakukan mulai April 2014-Juli 2014.

3.2 Sumber Data

Data dalam penelitian ini diambil dari teks jargon politik yang dimuat dalam media luar ruang yakni media massa cetak seperti baliho dan spanduk yang terdapat di sepanjang piggir jalan di kota Medan.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang dinyatakan dalam bentuk kalimat atau uraian (Nawawi, 1991:97). Data kualitatif dibagi menjadi data primer dan data sekunder. Data primer atau objek fokus pada penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode simak. Sedangkan teknik dasar yang digunakan dalam metode simak adalah teknik sadap, yakni peneliti sendiri sebagai instrument dalam penyadapan, yaitu peneliti membaca,


(31)

mempelajari dan memeriksa penggunaan bahasanya pada jargon politik partai PDI Perjuangan dan partai Gerindra pada pilpres 2014, selanjutnya mengunakan teknik catat.

Data sekunder diperoleh melalui sumber-sumber objek material tertulis lain seperti koran, brosur, baliho, tv, selebaran dan internet.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan penulis dalam upaya menemukan kaidah dalam tahapan analisis data adalah metode padan. Metode padan alat penentunya di luar , terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (laguage) yang bersangkutan (sudaryanto, 1993:13). Teknik merupakan jabaran metode yang ditentukan oleh alat yang dipakai. Fakta itu menunjukkan bahwa dalam berbicara tentang teknik, ihwal alat yang dipakai sangat penting untuk dibahas. Penulis sendiri menggunakan teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP sebagai teknik dasar di dalam penelitian ini. Adapun alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto, 1993:21). Sesuai dengan jenis penentu yang akan dipisah-pisahkan atau dibagi menjadi berbagai unsur itu, maka daya pilah itu dapat disebut daya pilah referensial. Sedangkan untuk teknik lanjutnya, penulis menggunakan teknik hubung banding menyamakan (HBS)

Contoh 1 :


(32)

Contoh data (1) dianalisis dengan menggunakan teori implikatur dan tindak tutur yang dijadikan landasan teori pada penelitian ini. Tuturan data (1) akan dianalisis sebagai berikut.

41 Tahun Berjuang untuk kesejahteraan Rakyat

“ Bersama PDI Perjuangan, Indonesia Hebat”

Langkah pertama untuk menganalisis implikatur dalam dalam data (1), terlebih dahulu harus diketahui apakah data (1) mematuhi empat maksim percakapan yang dikemukakan Grice atau tidak. Nantinya akan dapat diputuskan bahwa apabila data (1) terbukti telah melanggar salah satu dari empat maksim Grice, maka data (1) memiliki implikatur.


(33)

1. Maksim kuantitas mewajibkan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Tuturan pada data (1) bersifat kooperatif karena participants yang dalam hal ini partai PDI Perjuangan sebagai penutur, telah memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadai atau mencukupi.

2. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta pertuturan mengatakan hal yang sebenarnya dan berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Tuturan pada data (1) tidak bersiafat kooperatif karena tidak menuturkan hal yang sebenarnya dan berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Hal yang secara eksplisit yang terkandung dalam data tersebut yang berupa fakta memang ada, yakni perihal 41 tahun eksistensi partai PDI Perjuangan menghiasi peta perpollitikan negeri ini. Hal ini benar adanya karena partai ini memang selalu hadir untuk berjuang memimpin dan mengawal jalanya pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal lain yang menjadi acuan data ini tidak kooperatif adalah bukti-bukti yang mendukung untuk memperkuat pernyataan “Bersama PDI Perjuangan, Indonesia hebat”, belum memadai dan masih perlu pembuktian yang mendalam agar dapat membuka kebenaran dari tuturan dalam jargon politik data (1).

3. Maksim relevansi mewajibkan setiap peserta memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Tuturan dalam data (1) meberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Tuturan dalam data (1) memberikan kontribusi yang relevan terhadap masalah. Tuturan yang dimunculkan seleras dengan tema yang hendak disampaikan, yakni keberadaan partai PDI Perjuangn sebagai sarana/wadah dalam mencetak pemimpin negeri dalam proses menyukseskan roda pemerintahan atau sebagai organisasi yang siap dalam mengawal perjalanan bangsa dan negara dalam menciptakan cita-cita NKRI sesuai yang tertuang dalam amanat konstitusi. Partai ini hadir membawa Indonesia sebagai negara yang hebat sesuai dengan visi-misi partai yang konsisten selama 41 tahun mengawal perjalanan NKRI.


(34)

4. Maksim pelaksanaan mewajibakan setiap peserta pertuturan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan. Tuturan pada data (1 tidak diungkapkan secara langsungdan mengandung ketaksaan/ambigu karena dari pertuturan tersebut dapat memunculkan dua pemahaman atau lebih yang berbeda apabila dikaji secara pragmatik sesuai dengan tindak tutur yang dipakai. Penafsiran yang pertama (merujuk pada makna dasarnya) yaitu 41 tahun berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Bersama PDI Perjuangan , Indonesia hebat. Penafsiran yang kedua mengacu kepada bentuk implikaturnya yaitu informasi yang dituturkan itu merupakan suatu bentuk ajakan untuk memilih. Dengan kata lain, penutur secara tidak langsung mengajak dengan mengarahkan penawaran yang baik dalam ingatan masyarakat yakni Indonesia hebat bersama PDI Perjuangan, hal ini ditambahkan dengan kurun waktu eksistensi partai ini selama 41 tahun berdiri kokoh dalam mengawal NKRI. Dengan demikian, tuturan data di atas tidak menganut prinsip kooperatif.

Berdasarkan empat maksim percakapan Grice, maka dapat diputuskan bahwa tuturan pada data (1) mengandung impilkatur karena terbukti telah melanggar dua dari empat maksim percakapan tersebut, khususnya maksim kualitas dan maksim pelaksanaan.

Selanjutnya, setelah diketahui bahwa tuturan data (1) memiliki implikatur maka penentuan implikatur dapat dilanjutkan dengan melihat penganutan prinsip kooperatifnya yaitu dengan mengatakan “apa yang diperlukan saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu”. fakta di lapangan bahwa keadaan masyarakat Indonesia saat ini perlu adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Hal yang mencengangkan dapat kita lihat dari segi ekonomi, sejumlah masyarakat masih banyak hidup dalam garis kemiskinan dan tidak hidup selayaknya serta pemerataan pembangunan ekonomi yang timpang dan tidak berpihak kepada rakyat. Belum besarnya perhatian dan kinerja pemerintah dalam mengemban tugas kenegaraan secara penuh dalam memperjuangkan


(35)

kepentingan rakyat adalah pemicu yang melatarbelakangi keadaan rakyat yang masih terpuruk. Untuk itulah partai politik hadir dengan mengusung capres dan cawapresnya dengan segala pencitraan diri dengan menggunakan visi dan misi ke depanya, menunjukkan rekam jejak profil dengan polesan kata-kata berani, jujur, amanah, peduli, islami, profesioanal, menyuarakan perbuatan yang berpihak kepada kepentingan rakyat sebagai pilar utama , hingga gelar akademik menjadi askesoris diri yang diharapkan mampu mendongkrak citra diri mereka. Dengan demikian, tuturan data (1) menganut prinsip kooperatif.

Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Untuk menentukan nilai evaluatif data (1) dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang atau lingkungan yang berhubungan dengan diri yang terjalin bersamanya. Situasi yang digambarkan data (1) lekat dengan suasana politis yakni strategi partai politik dalam pengusungan capres dan cawapresnya dalam pemilu 2014 ini untuk menempati kursi presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019, sehingga partai politik dengan segala mesin partainya berusaha memenangkan usungan calonya dengan segala bentuk strategi politik, termasuk pemasangan baliho atau sapnduk yang berisi jargon politik racikan partai di areal ruang publik.

Pertimbangan nilai evaliatifnya adalah partai PDI Perjuangan adalah partai yang sudah puluhan tahun (41tahun) senantiasa berjuang untuk kesejahteraan rakyat dan berjuang mewujudakan Indonesia hebat. Simpulanya, implikatur dari data (1) adalah, bahwa PDI Perjuangan secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa PDI Perjuangan adalah partai yang besar dan tua serta lebih banyak memberi nuansa positif bagi kehidupan rakyat dan negara untuk menciptakan Indonesia yang hebat.

Auistin mengatakan bahwa ada tiga macam tindak tutur yang terjadi secara bersamaan dalam sebuah tuturan, yaitu : (1) tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’ dengan ‘predikat’ atau ‘topik’


(36)

dan penjelasan dalam sintaksis. (2) Tindak ‘ilokusi’ yaitu suatu pengucapan atau suatu pernyataan. tawaran, janji pernyataan, dan sebagainya. Ini erat hubunganya dengan bentuk-bentuk kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan. (3) Tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu.

Demikian pula halnya dengan data (1), dalam tuturan ini telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Auistin. Lokusinya adalah kesejahteraan rakyat harus diperjuangkan. Secara kultural, tuturan pada data (1) memunyai daya ilokusi sebagai pernyataan (citra diri parpol). Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya sebagai pernyataan (citra diri parpol), maka daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran. Dengan demikian, setelah membaca tuturan pada data (1), pembaca akan menyadari dan akan lebih bertindak hati-hati dalam menentukan hak suaranya dalam pemilihan nantinya, yaitu memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkompeten, memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan mampu menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik.

Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori, yakni: (1)representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. (2) Direktif yaitu ilokusi yang berujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat, (3)Komisatif yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya menjanjikan atau menawarkan. (4) Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan sebagainya. (5) Deklarasi yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu


(37)

keadaan hubungan, misalnya mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.

Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data 1 mencakup 3 jenis tindak ilokusi di atas karena tuturan tersebut merujuk kepada sebuah tindakan untuk mengusulkan atau menyatakan (representatif), yaitu selama 41 tahun PDI Perjuangan telah berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Menjanjikan, menawarkan suatu tindakan yang terikat di masa depan (komisatif), yaitu bersama PDI Perjuangan Indonesia hebat. Mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi (ekspresif), yaitu PDI Perjuangan hadir selama 41 tahun berjuang untuk kesejahteraan rakyat.

Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa data 1 memiliki implikatur dan tindak tutur.

Contoh 5:


(38)

Contoh data 5 dianalisis dengan menggunakan teori implikatur dan tindak tutur yang dijadikan landasan teori pada penelitian ini, sama halnya dengan penerapan pada contoh data 1. Tuturan data 5 akan dianalisis sebagai berikut.

INSPIRATOR PERUBAHAN UNTUK INDONESIA RAYA

BANGKIT

Menentukan implikatur dalam data 5 digunakan kaidah pertuturan yang sudah dijelaskan pada landasan teori yaitu penentuan prinsip kooperatifnya dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace adalah “katakana apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu”. Dalam data tersebut dituturkan bahwa “inspirator perubahan untuk Indonesia raya bangkit”, dengan memegang tujuan dari tuturan tersebut yaitu memberikan informasi yakni informasi mengenai citra diri sebagai sosok yang mampu manjadi isnpirator perubahan


(39)

Indonesia raya kepada pembaca/masyarakat. Selanjutnya dengan penganutan empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari empat maksim tersebut dilanggar, tuturan tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat maksim percakapan yang dikemukakan Grace dapat diputuskan bahwa tuturan data 5 mengandung implitur karena terbukti melenggar dua dari empat maksim tersebut yaitu maksim kualitas dan maksim pelaksanaan. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta pertuturan mengatakan hal yang sebenarnya berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Tuturan data 5 tidak bersifat kooperatif karena tidak tidak menuturkan hal yang sebenarnya dan tidak dapat dipastikan kebenaran dari tuturan tersebut. Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta pertuturan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Tuturan data 5 tidak diungkapkan secara langsung dan mengandung ketaksaan/ambigu karena dari tuturan tersebut dapat memunculkan dua pemahaman yang berbeda apabila dikaji secara pragmatik sesuai dengan konteks pada saat tuturan itu berlangsung. Teks baliho jargon politik di atas diutarakan penuturnya tidak semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, tetapi tiindak tutur di atas adalah untuk memengaruhi lawan tuturnya/masyarakat. Penafsiran yang pertama (merujuk pada makna dasarnya) yaitu H.Prabowo Subianto merupakan sosok inspirator perubahan untuk Indonesia raya bangkit. Penafsiran yang kedua mengacu kepada bentuk implikaturnya yaitu informasi yang dituturkan itu merupakan suatu bentuk penyampaian informasi citra diri agar mendapat simpati masyarakat. Dengan kata lain, penutur secara tidak langsung mengajak dengan menyuarakan slogan kebangkitan Indonesia raya bersama sosok inspirator perbuhan yaitu partai Gerindra yang mengsusung capres H. Prabowo Subianto untuk melenggang ke kursi RI 1. Dengan demikian, tuturan data di atas tidak menganut prinsip kooperatif.

Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan nilai evaluatif data 2 dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Konteks merujuk pada keseluruhan


(40)

situasi, latar belakang atau lingkungan yang berhubungan dengan diri yang terjalin bersamanya. Situasi yang digambarkan dalam data 5 lekat dengan suasana pemilihan umum legislatif dan eksekutif yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden yakni upaya dukung-mendukung dan mencari simpati masyarakat untuk memperebutkan kursi, terkhusus kursi presiden dan kursi wakil presiden RI periode 2014-2019. Hal ini dapat dibuktikan bahwa tuturan yang dituangkan kedalam media tulis berbentuk baliho ini berlangsung pada saat menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 untuk itu dapat diputuskan bahwa tuturan tersebut bertujuan mencari simpati masyarakat.

Auistin mengatakan bahwa ada tiga macam tindak tutur yang terjadi secara bersamaan dalam sebuah tuturan, yaitu(1) tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’ dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis. (2) Tindak ‘ilokusi’ yaitu suatu pengucapan atau suatu pernyataan, tawaran, janji pernyataan, dan sebagainya. Ini erat hubunganya dengan bentuk-bentuk kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan. (3) Tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu.

Demikian pula halnya dengan data 5, dalam tuturan ini telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Auistin. Lokusinya adalah “mewujudkan perubahan Indonesia raya ”. Secara kultural, tuturan data 5 memunyai daya ilokusi membentuk citra diri. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan suatu pernyataan yang mengungkapkan citra diri, maka daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran . Dengan demikian, setelah membaca tuturan data 5, pembaca yakni masyarakat pemilih akan menyadari dan akan lebih bertindak hati-hati dalam mementukan suaranya dalam pemilu mendatang, yaitu memilih pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang mampu menjadi lokomotif perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik.


(41)

Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data 5 mencakup 4 jenis tindak ilokusi di atas karena tuturan tersebut merujuk kepada sebuah tindakan untuk mengusulkan atau menyatakan (representatif), yaitu pemimpin yang memiliki inspirasi untuk mewujudkan perubahan bangkitnya Indonesia raya. Memerintah atau menasehati (direktif), yaitu untuk mewudakan Indonesia raya yang bangkit yang pasti pilihlah pemimpin yang memiliki inspirasi perubahan dan visi-misi menyongsong bangkitnya NKRI, pilihlah capres H. Prabowo Subianto. Menjanjikan, menawarkan atau suatu tindakan yang terikat di masa depan (komisatif), yaitu H.Prabowo Subianto merupakan pemimpin negeri yang memiliki kompetensi dalam melakukan perubahan menyongsong bangkitnya Indonesia raya. Mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi (ekspresif), yaitu Indonesia raya perlu dipimpin oleh pemimpin yang berkompeten yang mempu menjadi inspirator perubahan menuju bangkitnya Inodonesia raya.

Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa data 5 memiliki implikatur dan tindak tutur.


(42)

BAB IV PEMBAHASAN 4.1Bahan Analisis

Seperti telah diuraikan di atas bahwa objek yang dijadikan sebagai sumber data penelitian ini ada delapan jargon politik, masing-masing partai politik diwakili oleh empat baliho/spanduk yang berisi jargon politik yang hendak dikaji peniliti. Adapun kedelapan jargon politik adalah sebagai berikut:

jargon politik Partai PDI Perjuangan 1. 41 Tahun

Berjuang untuk kesejahteraan Rakyat

“ Bersama PDI Perjuangan, Indonesia Hebat” 2. PEMIMPIN RAKYAT

LAHIR DARI RAKYAT

2.JOKOWI -JK ADALAH KITA 3. Indonesia Hebat !

jujur, merakyat, sederhana JOKOWI-JUSUF KALLA

CAPRES – CAWAPRES RI 2014 – 2019 PILIHAN KITA

4. JKW4P JK4WP 2014

RESTORASI MENUJU INDONESIA HEBAT !  Jargon politik Partai Gerindra


(43)

5. INSPIRATOR PERUBAHAN UNTUK INDONESIA RAYA BANGKIT

6. PRABOWO–HATTA

Prabowo presiden, rakyat sejahtera, Inodonesia Bangkit 7. KAMI PILIH GERINDRA !

GERINDRA MENANG PRABOWO PRESIDEN

INDONESIA BANGKIT

KALAU BUKAN SEKARANG, KAPAN LAGI ??? KALAU BUKAN KITA, SIAPA LAGI ???

8. Indonesia kuat

Atas nama Bangsa Indonesia 1.Prabowo / Hatta

4.2Analisis Implikatur Jargon Politik Partai PDI Perjuangan dan Partai Gerindra pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019.

Setelah data terkumpul maka akan dilakukan proses analisis berdasarkan kaidah pertuturan yang dikemukakan Grace, yaitu menentukan implikatur yang terdiri dari penganutan prinsip koperatifnya dan empat maksim percakapan serta menentukan tindak tutur apa yang terdapat dalam tuturan tersebut.

Penentuan implikatur jargon politik partai PDI Perjuangan dan partai Gerindra pada pilpres 2014 ini menggunakan kaidah pertuturan seperti yang sudah dijelaskan pada landasan teori, yaitu penentuan prinsip kooperatifnya dan empat maksim percakapan. Prinsip


(44)

kooperatif yang dikemukakan Grace adalah “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu”.

4.2.1 Analisis Implikatur Jargon Politik Partai PDI Perjuangan pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019.

PEMIMPIN RAKYAT LAHIR DARI RAKYAT

2.JOKOWI -JK ADALAH KITA

Menentukan implikatur dalam data 2 digunakan kaidah pertuturan seperti yang sudah dijelaskan pada landasan teori yaitu penentuan prinsip kooperatifnya dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace adalah “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu. Dalam wacana tersebut penutur menuturkan “pemimpin rakyat lahir dari rakyat, 2.Jokowi-JK adalah kita” dengan memegang tujuan dari tuturan tuturan tersebut yaitu mengajak masyarakat/pembaca agar memilih pasangan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan penganutan empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari empat maksim tersebut dilanggar maka tuturan tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat maksim percakapan yang dikemukakan Grace maka dapat diputuskan bahwa tuturan data 2 mengandung


(45)

implikatur karena terbukti melanggar satu dari empat maksim tersebut yaitu maksim pelaksanaan. Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta pertuturan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Tuturan data 4 tidak diungkapkan secara langsung dan mengandung ketaksaan/ambigu karena dari tuturan tersebut dapat memunculkan dua pemahaman yang berbeda apabila dikaji secara pragmatik sesuai dengan konteks pada saat tuturan itu berlangsung. Tuturan data di atas diutarakan penuturnya tidak semata-mata menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, tetapi tindak tutur data di atas untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Penafsiran yang pertama (mengacu pada makna dasarnya) tuturan tersebut hanyalah sebuah pernyataan saja tanpa ada tendensi lain yaitu pemimpin rakyat lahir dari rakyat, 2.Jokowi-JK adalah kita. Penafsiran yang kedua merujuk pada bentuk implikaturnya, yaitu pernyataan yang dituturkan itu merupakan suatu bentuk pengarahan pilihan dan ajakan agar pembaca memilih pasangan tersebut. Hal ini dikuatkan lagi oleh pernyataan yang menyebutkan “2. Jokowi-Jk adalah kita”. Penutur mengarahkan pilihan rakyat untuk memilih pasangan Jokowi-Jk sebagai presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019. Dengan demikian, tuturan data 2 di atasa tidak menganut prinsip kooperatif.

Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan nilai evaluatif data 2 dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Situasi yang digambarkan dalam data 4 lekat dengan suasana pemilihan umum partai politik yang terkait dengan dukung-mendukung yang memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019. Tuturan terjadi saat menjelang pemilu presiden dan wakil presiden, untuk itu dapat diputuskan bahwa tuturan tersebut bertujuan untuk mendapatkan simpati masyarakat akan pemimpin yang lahir dari rakyat yang intinya mengharapkan suara pemilih untuk mencoblos no 2 pada pemilu 9 juli 2014.


(46)

Berdasarkan tindak tutur yang dikemukakan Auistin di atas, dalam tuturan ini telah te rjadi secara serentak tiga macam tindak tutur. Lokusinya adalah pemimpin rakyat lahir dari rakyat, 2.Jokowi-JK adalah kita. Secara kultural tuturan data 2 mempunyai daya ilokusi yaitu mengajak. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan mengajak maka daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran dari masyarakat untuk mimilih calon pemimpin yang lahir dari rakyat yang membela kepentingan rakyat untuk kemajuan Indonesia tercinta. Dengan demikian, setelah membaca tuturan data 2 pembaca akan menyadari dan akan lebih bertindak hati-hati dalam memilih pasangan calon yang tepat untuk memilih pemimpin negeri ini ke depan.

Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data 2 mencakup 3 jenis tindak ilokusi di atas karena tuturan tersebut merujuk kesebuah tindakan untuk mengusulkan atau menyatakan (representatif), yaitu pemimpin rakyuat lahir dari rakyat. Memesan atau memohon (direktif), yaitu 2. Jokowi-JK adalah kita. Menyebutkan Jokowi-JK adalah kita, mampu mengarahkan pilihan dan sekaligus permohonan agar memilih pasangan ini karena pasangan pemimpin ini lahir dari rakyat. Mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi (ekspresif), yaitu Rakyat membutuhkan pemimpin yang lahir dari rakyat.

Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa tuturan data 2 memiliki implikatur dan tindak tutur.


(47)

Indonesia Hebat !

jujur, merakyat, sederhana JOKOWI-JUSUF KALLA

CAPRES – CAWAPRES RI 2014 – 2019 PILIHAN KITA

Menentukan implikatur dalam data 3 digunakan kaidah pertuturan seperti yang sudah dijelaskan pada landasan teori yaitu penentuan prinsip kooperatifnya dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace adalah “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu”. Dalam wacana tersebut dituturkan bahwa Indonesia yang hebat membutuhkan pemimpin RI yang jujur, merakyat, dan sederhana. Tujuan dasar dari percakapan itu adalah untuk mengajak masyarakat/pembaca agar memilih pasangan capres dan cawapres RI tersebut pada pemilu mendatang. Kemudian dilanjutkan dengan penganutan empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari empat maksim tersebut dilanggar maka tuturan tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat maksim percakapan yang dikemukakan Grace, dapat diputuskan bahwa data 3 mengandung implikatur karena terbukti melanggar dua dari empat


(48)

maksim percakapan tersebut yaitu maksim pelaksanaan dan maksim kualitas. Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta pertuturan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Data 3 tidak diungkapkan secara langsung, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuturan tersebut mengandung makna lain dari makna dasarnya atau mengandung unsur ketaksaan /ambigu . Oleh karena itu, ketika membaca teks data tersebut muncul dua pemahaman yang berbeda apabila salah satunya dikaitkan dengan konteks yang ada dan dikaji secara pragmatik. Data di atas diutarakan penuturnya tidak semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu,, tetapi tuturan data tersebut pada dasarnya untuk memengaruhi lawan tuturnya. Penafsiran yang pertama, jika dikaitkan dengan makna dasarnya adalah sebuah pernyataan, yaitu Indonesia hebat. Jujur, merakyat, sederhana bersama Jokowi-Jusuf Kalla capres-cawapres 2014-2029, pilihan kita. Penafsiran kedua, merujuk pada implikaturnya yaitu suatu bentuk penawaran dan sekaligus penwaran kepada masyarakat/pembaca supaya ikut berpartisipasi dan menggunkan hak suaranya untuk memilih pasangan capres-cawapres usungan PDI Perjuangan tersebut. Penutur yakni PDI Perjuangan dengan capres Jokowi dan cawapres Jusuf Kalla berusaha menarik simpatik pembaca dengan kalimat yang menarik, menyelipkan pernyataan cita diri dengan sosok jujur, merakyat, dan sederhana serta menawarkan pilihan kepada pembaca dengan menyebutkan “pilihan kita”. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi percakapan di atas tidak didasarkan pada bukti-bukti yang memadai karena pada kenyataanya belum dapat dilihat hasil tuturan tersebut. Dengan demikian, tuturan data di atas tidak menganut prinsip kooperatif.

Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan nilai evaluatif data 3 dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Situasi yang digambarkan dalam data 3 dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Situasi yang digambarkan dalam data 3


(49)

lekat dengan suasana pemilihan capres dan cawapres RI periode 2014-2019 pada 9 juli 2014 yang ditandai dengan memanasnya suhu politik dari dua partai politik yang bertarung untuk merebut simpatik pemilih dengan berbagai strategi menuju kursi istana. Tuturan dalam data ini terjadi saat menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden RI peirode 2014-2019 untuk itu dapat diputuskan bahwa tuturan dalam tersebut bertujuan untuk memengaruhi atau mengajak masyarakat/pembaca.

Berdasarkan tindak tutur yang dikemukakan Auistin di atas, dalam tuturan data ini telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur. Lokusinya pilihan kita untuk Inodenesia hebat adalah pemimpin yang memiliki sosok jujur,merakyat, dan sederhana. Secara kultural, tuturan data 3 mempunyai daya ilokusi yaitu mengajak. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan mengajak maka daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran dari masyarakat untuk memilih capres-cawapres yang akan menjadi pemimpin RI selama lima tahun kedepan yang memiliki visi-misi menjadikan Indonesia hebat serta memiliki kepribadian jujur,merakyat, dan sederhana. Dengan demikian, setelah membaca tuturan dalam data 3 akan menyadari dan akan lebih bertindak hati-hati dalam menentukan hak suaranya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 juli 2014, yaitu memilih pemimpin yang berkompeten dan benar-benar ingin membangun negeri ini kedepan yang lebih baik.

Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data 3 mencakup 2 jenis tindak ilokusi karena tuturan tersebut merujuk kepada sebuah tindakan untuk mengusulkan dan menyatakan (representatif), yaitu Indonesia hebat butuh pemimpin yakni capres-cawapres yang memiliki kepribadian yang jujur, merakyat,dan sederhana. Menjanjikan, menawarkan atau suatu tindakan yang terikat dimasa depan (komisatif), yaitu Mewujudkan Indonesia hebat dengan menghadirkan sosok kepribadian pemimpin yang jujur, merakyat, dan sederhana


(50)

Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa data 3 memiliki implikatur dan tindak tutur.

contoh 4

JKW4P JOKO WIDODO UNTUK PRESIDEN

JK4WP 2014 JUSUF KALLA UNTUK WAKIL PRESIDEN RESTORASI MENUJU

INDONESIA HEBAT !

Menentukan implikatur dalam data 4 digunakan kaidah pertuturan seperti yang sudah dijelaskan pada landasan teori yaitu penentuan prinsip kooperatifnya dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace adalah “katakana apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu” . dalam baliho tersebut dituturkan "JKW4P dan JK4WP 2014 restorasi menuju Indonesia hebat” dengan memegang tujuan dari tuturan tersebut yaitu untuk mengajak masyarakat


(51)

/pembaca agar memilih pasangan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan penganutan empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari maksim tersebut dilanggar maka tuturan tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat maksim percakapan yang dikemukakan Grace maka dapat diputuskan bahwa tuturan data 4 mengandung implikatur karena terbukti melanggar dua dari empat maksim tersebut yaitu maksim relevansi dan maksim pelaksanaan. Maksim relevansi mewajibkan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Tuturan yang tertuang dalam data baliho di atas tidak memberikan kontribusi yang relevan terhadap masalah. Tuturan yang dimunculkan tidak jelas atau tidak selaras dengan tema yang yang hendak disampaikan, yakni “restorasi menuju Indonesia hebat” mengacu pada substansi defenisi restorasi yakni pengembalian atau pemulihan kepada semula, maka tidak relevan dengan tema yang dituturkan dalam baliho tersebut sebab tidak menjelaskan hal yang menjadi persoalan yang seyogyanya hendak dilakukan proses restorasi. Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta pertuturan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Tuturan data 4 tidak diungkapkan secara langsung dan mengandung ketaksaan /ambigu karena dari tuturan tersebut dapat memunculkan dua pemahaman yang berbeda apabila dikaji secara pragmatik sesuai dengan konteks pada saat tuturan itu berlangsung. Tuturan data di atas diutarakan penuturnya tidak semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, tetapi tindak tutur tersebut untuk mempengaruhi lawan tuturnya agar memilih pasangan tersebut. Penafsiran yang pertama (merujuk pada makna dasarnya) adalah sebuah pernyataan yaitu Jkw4p dan Jk4wp 2014, restorasi menuju Indonesia hebat. Penafsiran yang kedua merujuk pada bentuk implikaturnya yaitu pernyataan yang dituturkan itu merupakan suatu bentuk pernyataan untuk mengarahkan pilihan masyarakat. Joko Widodo untuk presiden (Jkw4p) dan Jusuf Kalla (Jk4wp) untuk wakil presiden 2014 merupakan pernyataan yang bermuatan pengarahan pilihan pemilih untuk


(52)

capres dan cawapres tertentu, sebab dalam pernyataan itu disuratkan nama pasangan calon RI dan RI 2. Dengan demikian, tuturan data di atas tidak menganut prinsip kooperatif.

Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan nilai evaluative data 4 dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Situasi yang digambarkan dalam data 4 lekat dengan suasana kampanye parpol, capres dan cawapres terkait dukung-mendukung dalam memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Tuturan terjadi menjelang pemilihan pemilu 9 juli 2014, utuk itu dapat diputuskan bahwa tuturan tersebut diutarakan guna mempengaruhi pembaca/pemilih untuk memilih pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Berdasarkan tindak tutur yang dikemukakan oleh Auistin, dalam tuturan ini telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur. Lokusinya adalah restorasi menuju Indonesia hebat. Secara kultural, tuturan data 4 mempunyai daya ilokusi yaitu berisi keinginan atau harapan. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan penyampaian keinginan atau harapan, maka daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran dari masyarakat untuk memilih calon yang berkeinginan melakukan restorasi terhadap negeri ini menuju Indonesia hebat. Dengan demikian, setelah membaca tuturan data 4, pembaca akan menyadari dan akan lebih bertindak hati-hati dalam menentukan pilihanya dalam pemilhan 9 Juli 2014 yaitu memilih pasangan yang mampu dan berniat untuk merestorasi menuju Indonesia hebat.

Bersarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data 4 mencakup dua jenis tindak ilokusi karena tuturan tersebut merujuk kepada sebuah tindakan untuk mengusulkan atau menyatakan (representatif), yaitu Joko Widodo untuk presiden (Jkw4p)dan Jusuf Kalla untuk wakil presiden (Jk4wp) 2014. Menjanjikan , menawarkan atau suatu tindakan yang terikat di masa depan (komisatif), yaitu melakukan restorasi menuju Idonesia hebat.


(53)

Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa tuturan data 4 memiliki implikatur dan tindak tutur.

4.2.2 Analisis Implikatur Jargon Politik Partai Gerindra pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019.

Contoh 6

PRABOWO–HATTA

Prabowo presiden, rakyat sejahtera, Inodonesia Bangkit

Menentukan implikatur dalam data 6 digunakan kaidah pertuturan seperti yang sudah dijelaskan pada landasan teori yaitu penentuan prinsip kooperatifnya dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace adalah “katakana apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu”. Dalam data di atas penutur menuturkan “Prabowo-Hatta. Prabowo presiden, rakyat sejahtera, Indonesia bangkit” dengan memegang tujuan dari tuturan tuturan dalam data


(54)

tersebut yaitu untuk mengajak masyarakat/pembaca agar menggunakan hak suaranya untuk memilih pasangan capres Prabowo dan cawapres Hatta dalam pemilu 9 juli 2014. Kemudian dilanjutkan dengan penganutan empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari empat maksim tersebut dilanggar maka tuturan tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat maksim percakapan yang dikemukakan Grace, maka dapat diputuskan bahwa tuturan dalam data tersebut mengandung implikatur karena terbukti melanggar tiga dari empat maksim tersebut yaitu maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta pertuturan mengatakan hal yang sebenarnya dan berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Tuturan data 6 tidak bersifat kooperatif karena tidak menuturkan hal yang sebenarnya dan tidak dapat dipastikan kebenaran dari tuturan data tersebut. Jabatan presiden pada kenyataanya belum diduduki oleh Prabowo yang maju sebagai capres dalam pemilu 2014 dan jika akhirnya Prabowo terpilih dalam pesta demokrasi ini, maka belum tentu bisa disimpulkan jika kehidupan rakyat sejahtera dan Indonesia bangkit. Hal yang disampaikan dalam data 6 tersebut masih berupa asumsi yang secara bersama yang diungkapkan capres-cawapres dan partai politik pengusung sebagai bagian dari visi-misi. Maksim relevansi mewajibkan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Tuturan data 6 tidak memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah karena tidak hanya Prabowo yang jika nantinya duduk sebagai presiden RI periode 2014-2019 dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mewujudakan Indonesia bangkit, namun siapapun presiden yang nantinya akan terpilih berpeluang mewujudakan kesejahteraan rakyat dan mewudkan Indonesia bangkit. Mewujudakan kesejahteraan rakyat dan mewujudakan Indonesia bangkit menjadi impian seluruh rakyat Indonesia yang nantinya akan direalisasikan dalam pencalonanan diri menjadi capres dan cawapres RI. Jadi, tuturan data 6 dianggap kurang relevan.


(55)

Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta pertuturan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Tuturan data 6 dianggap berlebihan dan tidak diungkapkan secara langsung dan mengandung ketaksaan /ambigu karena dari tuturan data tersebut dapat memunculkan dua pemahaman yang berbeda apabila dikaji secara pragmatik sesuai dengan konteks pada saat tuturan itu berlangsung. Tuturan yang tertuang dalam data 6 diutarakan penuturnya tidak semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, tetapi tindak tutur data di atas untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Peafsiran yang pertama jika dikaitkan dengan makna dasarnya yakni sebuah pernyataan yaitu Prabowo-Hatta. Prabowo presiden, rakyat sejahtera, Indonesia bangkit. Penafsiran yang kedua merujuk pada bentuk implikaturnya yaitu pernyataan yang dituturkan itu merupakan suatu bentuk pencitraan diri. Yang mana penutur mengungkapkan sosok presiden Prabowo yang memiliki visi-misi dan sanggup mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mewujudakan Indonesia bangkit jika beliau mendapat kepercayaan dari seluruh rakyat Indonesia untuk memimpin negeri ini selama lima tahun kedepan. Dengan demikian, tuturan data 6 tidak menganut prinsip kooperatif.

Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan nilai evaluatif data 6 dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Situasi yang digambarkan dalam data 6 lekat dengan suasana pemilihan partai politik yang terkait dengan dukung-mendukung yang memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019. Tuturan terjadi saat menjelang pemilu presiden dan wakil presiden, untuk itu dapat diputuskan bahwa tuturan tersebut bertujuan untuk mendapatkan kesan atas figur Prabowo yang intinya mengharapkan suara pemilh untuk mencoblos no 1 pada pemilu 9 juli 2014.

Berdasarkan tindak tutur yang dikemukakan oleh Auistin di atas, dalam tuturan ini telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur. Lokusinya adalah Prabowo presiden. Rakyat sejahtera, Indonesia bangkit. Secara kultural data 6 mempunyai daya ilokusi yaitu


(56)

mengungkapkan citra diri/figur yang memiliki impian besar untuk negeri yakni mensejahterakan rakyat dan mewujudakan Indonesia bangkit. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya yakni memngungkap sosok atau figur capres maka daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran dari masyarakat agar lebih jelih memilih sosok/figur capres kedepan yang pada dasarnya berkompetensi dan mempunyai visi-misi mewujudakan kesejahteraan rakyat serta mewujudakan Indonesia bangkit, dan sosok Prabowo dinilai mampu menjadi presiden RI.

Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data 6 mencakup 3 jenis tindak ilokusi di atas karena tuturan tersebut merujuk kepada sebuah tindakan untuk mengusulkan atau menyatakan (representatif) Prabowo presiden. Memerintah atau memesan (direktif), yaitu Prabowo presiden. Menjanjikan, menawarkan atau suatu tindakan yang terikat di masa depan (komisatif), yatu Prbowo presiden. Rakyat sejahtera, Indonesia bangkit.

Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa data 6 memiliki implikatur dan tindak tutur.


(57)

KAMI PILIH GERINDRA ! GERINDRA MENANG PRABOWO PRESIDEN INDONESIA BANGKIT

KALAU BUKAN SEKARANG, KAPAN LAGI ??? KALAU BUKAN KITA, SIAPA LAGI ???

Menentukan implikatur dalam data 7 digunakan kaidah pertuturan seperti yang sudah dijelaskan pada landasan teori yaitu penentuan prinsip kooperatifnya dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace adalah “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu.” Dalam data tersebut penutur menuturkan “kami pilih Gerindra. Gerindra menang, Prabowo presiden, Indonesia bangkit. Kalau bukan sekarang, kapan lagi ?, kalau bukan kita, siapa lagi ?” dengan memegang tujuan dari tuturan tersebut yaitu untuk menyampaikan pilihan sekaligus untuk mempengaruhi masyarakat/pembaca agar memilih Partai Gerindra bersama calon presiden Prabowo untuk pemilu 9 juli 2014. Kemudian dilanjutkan dengan penganutan empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari empat maksim tersebut dilanggar maka tuturan tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat maksim percakapan yang dikemukakan Grace maka dapat diputuskan bahwa tuturan data 7 mengandung implikatur karena terbukti melanggar dua dari empat maksim tersebut yaitu maksim kualitas dan maksim pelaksanaan. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta pertuturan mengatakan hal yang sebenarnya dan berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Tuturan pada data 7 tidak bersifat kooperatif karena tidak menuturkan hal yang sebenarnya dan tidak dapat dipastikan kebenaran dari tuturan tersebut, yakni mengenai pilahan partai politik tertentu, belum bisa dinyatakan bahwa partai Gerindra menjadi pemenang pemilu pilpres 2014 yang secara otomatis menjadikan Prabowo sebagai presiden. Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta petuturan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak


(58)

berlebih-lebihan serta runtut. Tuturan data 7 tidak diungkapkan secara langsung dan mengandung ketaksaan/ambigu karena dari tuturan tersebut dapat memunculkan dua pemahaman yang berbeda apabila dikaji secara pragmatik sesuai dengan konteks pada saat tuturan itu berlangsung. Tuturan data di atas diutarakan penuturnya tidak semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, tetapi tindak tutur data di atas untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Penafsiran yang pertama dikaitkan dengan makna dasarnya yakni sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan yaitu kami pilih Gerindra. Gerindra menang, Prabowo presiden, Indonesia bangkit. Kalau bukan sekarang, kapan lagi ?, kalau bukan kita, siapa lagi ?. Penafsiran yang kedua merujuk pada bentuk implikaturnya yaitu Pernyataan dan pertanyaan. Pernyataan yang diutarakan itu merupakan sebuah bentuk penyampaian pilihan dan harapan sekaligus ajakan agar masyarakat/pembaca memilih partai Gerindra dan mendukung Prabowo sebagai presiden. Hal lain yang menjadi sisi lain dari implikatur data 7 ialah bentuk pertanyaan. “kalau bukan sekarang, kapan lagi?, kalau bukan kita, siapa lagi ?. Pertanyaan itu menyiratkan makna lain dari konten kalimat tersebut yakni bermaksud menyindir masyarakat tentang pilihan pada pemilu 9 juli 2014, agar menjatuhkan pilihanya pada capres Prabowo usungan Partai Gerindra. Dengan demikian, tuturan data 7 di atas tidak menganut prinsip kooperatif.

Langakah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan nilai evaluatif data 7 dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Situasi yang digambarkan dalam data 7 lekat dengan situasi politik dalam upaya mencari simpati masyarakat terkait dukung- mendukung yang memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019. Tuturan terjadi saat menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019 untuk itu dapat diputuskan bahwa tuturan tersebut bertujuan untuk mengajak atau mempengaruhi pembaca.


(59)

Berdasarkan tindak tutur yang dikemukakan oleh Auistin di atas, dalam tuturan ini telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Auistin. Lokusinya adalah Gerindra menang, Prabowo presiden untuk Indonesia bangkit. Secara kultural, tuturan data 7 mempunyai daya ilokusi yaitu menyatakan keinginan/harapan dan pilihan. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan peryataan keinginan/harapan dan pilihan maka daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran dari masyarakat untuk memilih capres yang memiliki visi-misi untuk menjadikan Indonesia bangkit. Dengan demikian, setelah membaca tuturan data 7 pembaca akan menyadari dan akan lebih bertindak hati-hati dalam menentukan hak suaranya dalam pemilihan nantinya, yaitu memilih pasangan capres dan cawapres yang mempunyai impian dan upaya mewujudakan Indonesia bangkit.

Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data 7 mencakup 3 jenis tindak ilokusi di atas karena tuturan tersebut merujuk kesebuah tindakan untuk mengusulkan atau menyatakan (representatif), yaitu kami pilih Gerindra. Gerindra menang,Prabowo presiden. Memerintah/menuntut yaitu kalau bukan sekarang, kapan lagi ?, kalau bukan kita, siapa lagi ?. Menjanjikan, menawarkan atau suatu tindakan yang terikat di masa depan (komisatif), yaitu Prabowo presiden maka Indonesia bangkit.

Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa data 7 memiliki implikatur dan tindak tutur.


(60)

Indonesia kuat

Atas nama Bangsa Indonesia 1.Prabowo / Hatta

Menentukan implikatur dalam data 8 digunakan kaidah pertuturan seperti yang sudah dijelaskan pada landasan teori yaitu penentuan prinsip kooperatifnya dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace adalah “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu”. Dalam wacana tersebut penutur menuturkan “Indonesia kuat, atas nama Bangsa Indonesia Prabowo-Hatta” dengan memegang tujuan dari tuturan tersebut yaitu agar pembaca/masyarakat memilih pasangan Prabowo dan Hatta. Kemudian dilanjutkan dengan penganutan empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari empat maksim tersebut dilanggar maka tuturan tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat maksim percakapan yang dikemukakan Grace dapat diputuskan bahwa tuturan data 8 mengandung dua dari empat


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin.2001. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Chaer, Abdul.1995.Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.Jakarta: Rinika Cipta.

Grice, H.p. 1975.“Logic and Conversation”. Syntax and Semantics, Speech Act,3. New York: Academic Press.

Hasan, Kailani.2001. Linguistik umum dan sosiolinguistik. Pekanbaru: Universitas RiaPress.

Koentjaraningrat.1990. PengantarIlmu Antropologi. Jakarta: Rineka cipta.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatic. Gramedia: London and New York.

Mulyana.2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Penyusun,Tim.2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustaka.

Rahardi, kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Erlangga.

Sibarani,Robert.2004. Antropolinguistik. Medan: poda.

siregar, Asrul.1997. “Pragmatik dalam Linguistik” (Diktat).Medan: Fakultas Sastra USU.

Soemarmo, 1988. Pragmatik dan Pengembangan Mutakhirnya. Universitas Katolik Atmajaya: Jakarta.


(2)

Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Wahana Kebudayaan

Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.


(3)

LAMPIRAN DATA

Data 1

Data 2


(4)

Data 3


(5)

Data 5

Data 6


(6)

Data 7