PENGARUH TINGKAT KEMATANGAN BENIH TERHADAP VIGOR DAN VIABILITAS PADA DUA GENOTIPE PADI KETAN (Oryza sativa glutinous.).

PENGARUH TINGKAT KEMATANGAN BENIH TERHADAP
VIGOR DAN VIABILITAS PADA DUA GENOTIPE PADI
KETAN (Oryza sativa glutinous.)

OLEH

VERONICA FATHNOER
0810212093

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014

12

PENGARUH TINGKAT KEMATANGAN BENIH TERHADAP
VIGOR DAN VIABILITAS PADA DUA GENOTIPE PADI
KETAN (Oryza sativa glutinous.)

ABSTRAK


Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Benih Jurusan
Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang. Penelitian
berlangsung selama 2 bulan dari bulan Desember 2012 sampai Januari 2013.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui interaksi antara tingkat
kematangan genotipe terhadap viabilitas dan vigor benih padi ketan, genotipe padi
ketan yang memiliki viabilitas dan vigor terbaik dan tingkat kematangan benih
padi ketan yang memberikan viabilitas dan vigor terbaik. Penelitian disusun
berdasarkan Rancangan Acak Lengkap dalam bentuk Faktorial dengan 2 faktor
perlakuan dan tiga kali ulangan. Faktor pertama (A) adalah genotipe yang terdiri
atas dua taraf perlakuan, yaitu genotipe padi ketan putih dan genotipe padi ketan
putih. Faktor kedua (B) adalah tingkat kematangan yang terdiri atas empat taraf,
yaitu 25 HSBM, 30 HSBM, 35 HSBM dan 40 HSBM. Data hasil pengamatan
dianalisis secara statistika dengan uji F pada taraf nyata 5% dan dilanjutkan
dengan uji Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5%. Dari
hasil penelitian memperlihatkan adanya interaksi antara tingkat kematangan pada
genotipe benih padi ketan terhadap viabilitas dan vigor benih yang dihasilkan,
Genotipe padi ketan terbaik adalah benih padi ketan hitam (daya kecambah
78,00%, perkecambahan hitung pertama 59%, uji muncul batu bata 82,67%) Pada
padi ketan putih viabilitas dan vigor benih yang tinggi diperoleh dari benih yang

dipanen pada 35-40 HSBM, sedangkan pada padi ketan hitam sudah dapat
diperoleh benih yang memiliki vigor dan viabiltitas yang tinggi pada 25-30
HSBM.
Kunci : Tingkat Kematangan, Genotipe, Viabilitas, Vigor, Padi Ketan.

13

EFFECT OF SEED MATURITY ON VIABILITY AND VIGOR
OF TWO GLUTINOUS RICE (Oryza sativa glutinous)

ABSTRACT

This experiment was conducted at the Seed Technology Laboratory, Department
of Agronomy, Faculty of Agriculture, Andalas University from December to
January 2013 to compare the effect of maturity on viability and vigor of two
glutinous rice genotypes, to determine which genotype had the better viability and
vigor and how seed maturity affected viability and vigor. The two genotypes used
were : white glutinous rice and black glutinous rice. The second factor was seed
maturity (25, 30, 35, 40 days after anthesis). Analysis of variance (ANOVA using
F statistic) was used to determine whether the answered parameter were statistic

significantly differential to 5% level sub quant analysis used Duncan NMRT also
at the 5% level. Seed maturity affected the viability and vigor of both glutinous
rice genotypes of all treatment, the black genotypes gave the highest viability and
vigor (78,00% germination between days 5-14, 59% germinate at 5, 82,67%
germination in pots) at 25 days after anthesis. For the white genotype the best
result was obtained with seed harvested 35-40 days after anthesis whereas for the
black genotypes the best seed were harvested 25-30 days after anthesis.

Keywords : maturity, genotypes, viability, vigor, glutinous rice

14

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Beras ketan merupakan salah satu jenis bahan pangan yang dikonsumsi
oleh sebagian masyarakat Indonesia. Beras ini dapat dikonsumsi sebagai nasi atau
diolah menjadi tepung untuk aneka kue. Ketan membantu pembentukan sel darah
merah sekaligus meningkatkan daya tahan tubuh terhadap beberapa penyakit
karena ketan memiliki kandungan zat besi hingga 15,52 ppm, sehingga berkhasiat

untuk tubuh.
chirosis),

Khasiatnya memperbaiki

kerusakan sel hati (hepatitis dan

mencegah gangguan fungsi ginjal, mencegah kanker dan tumor,

memperlambat penuaan, berfungsi sebagai antioksidan, membersihkan kolesterol
dalam darah, dan mencegah anemia (Tribunnews, 2011).
Beras ketan putih berwarna putih tidak transparan, karena hampir
seluruh patinya merupakan amilopektin, beras ketan hitam disebabkan aleuron
dan endosperm memproduksi antosianin dengan intensitas tinggi sehingga
berwarna

ungu

pekat mendekati hitam sedangkan, beras merah aleuronnya


mengandung gen yang memproduksi antosianin yang merupakan sumber warna
merah atau ungu (Santika dan Rozakurniati, 2010). Golongan padi biasa tidak
memiliki zat perekat pada permukaan berasnya, sehingga warnanya agak
transparan. Sedangkan pada golongan padi ketan, warnanya tidak transparan
karena pada permukaan berasnya terdapat zat perekat. Beras ketan seluruh
bagian butirnya mengapur atau kelam, tetapi kekerasan butirnya sama dengan
beras bukan ketan (Damardjati dan Purwani, 1991).
Data pada tahun 2013 menyebutkan bahwa impor beras ketan mencapai
120.000 ton, beras ketan diimpor dari Thailand dan Vietnam, sedangkan sentra
produksi beras ketan di Indonesia hanya ada di tiga daerah seperti di Subang,
Jawa Tengah dan Jawa Timur (Pokja, 2013). Varietas yang biasa ditanam adalah
varietas ciasem, IR65, lusi, ketonggo dan setail (Pelita, 2009).
Padi ketan banyak dijumpai di pasaran umumnya berasal dari varietas
lokal. Varietas lokal umumnya berumur dalam (5-6 bulan) dengan potensi hasil
40-50% lebih rendah dibanding varietas unggul. Varietas unggul beras ketan yang
telah dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian merupakan
varietas unggul lahan sawah irigasi yang jumlahnya sedikit dan penelitian tentang

15


padi ketan ini sangat terbatas (Santika dan Rozakurniati, 2010).
Selain penyediaan padi ketan yang masih sedikit, penelitian tentang benih
padi ketan secara umum di Indonesia dan secara khusus di Sumatera Barat masih
sangat sedikit, bahkan penelitian tentang tingkat kematangan padi ketan lokal di
sumatera barat masih sangat minim sehingga penentuan waktu panen padi untuk
menghasilkan benih belum diketahui secara pasti, padahal sangat penting bagi
produsen benih dan petani. Benih masih menjadi masalah utama karena masih
terbatasnya penangkar benih yang bergerak pada perakitan varietas ketan
sehingga pengadaan benih dilaksanakan petani sendiri (Biro Bina Produksi, 2012).
Salah satu cara dalam meningkatkan mutu benih padi ketan yang
dihasilkan adalah penentuan waktu panen yang tepat terutama waktu masak
fisiologis biji padi ketan yang perlu dilakukan. Kondisi panen yang terbaik untuk
mendapatkan mutu dan jumlah panen yang tinggi adalah ketika masak fisiologis.
Pada saat masak fisiologis, benih akan mencapai mutu tertinggi dan hasil yang
maksimum.
Selama ini penilaian benih bermutu lebih banyak didasarkan pada aspek
fisik benih seperti kemurnian benih, warna benih serta aspek fisiologis seperti
daya kecambah dan vigor benih padahal menurut Syamun dan Manurung (2003)
mutu benih juga ditentukan oleh umur panen. Mutu fisiologis dipengaruhi oleh
proses perkembangan dan kemasakan benih. Jika sejak awal telah didapatkan

benih dengan proses perkembangan sempurna serta tingkat kemasakan yang
mencapai nilai fisiologis maksimal, maka pada tahap mekanisme produksi
selanjutnya benih telah mencapai mutu fisiologis yang tinggi pula.
Mutu fisiologis dari benih antara lain memiliki vigor dan daya
kecambah
tingginya

yang tinggi. Tingginya vigor dan daya kecambah mencerminkan
viabilitas

benih

(Sutopo, 2010). Berdasarkan kaidah Steinbauer

(Sadjad, 1994) bahwa benih yang memiliki viabilitas tinggi adalah benih yang
dipanen pada saat masak fisiologis. Saat masak fisiologis untuk masing-masing
spesies atau varietas berbeda-beda, Oleh karena itu penentuan saat panen yang
tepat merupakan hal yang penting dalam memproduksi benih bermutu. Penentuan
saat panen oleh petani umumya dilakukan secara visual berdasarkan umur
tanaman dan jumlah hari semenjak tanaman berbunga serempak atau ciri-ciri

morfologis lainnya, Penentuan berdasarkan umur panen berpatokan pada deskripsi
masing-masing varietas

16

Benih yang dipanen ketika masak fisiologis akan menunjukkan
pertumbuhan dan produksi yang optimal, sedangkan benih yang dipanen sebelum
maupun sesudah masak fisiologis pertumbuhan dan produksinya tidak akan
optimal. Hal ini dapat disebabkan karena benih tersebut belum sempurna (pada
panen sebelum masak fisiologis) atau telah memasuki masa penuaan (pada panen
sesudah masak fisiologis).
Pada tanaman padi ketan, umur panen bervariasi tergantung varietas dan
lingkungan tumbuh. Panen sebaiknya dilakukan pada fase masak panen yang
dicirikan dengan kenampakkan >90% gabah sudah menguning (30-40 hari setelah
berbunga merata), bagian bawah malai masih terdapat sedikit gabah hijau dan
kadar air gabah 21-25%. Panen yang dilakukan pada fase masak lewat panen,
yaitu pada saat jerami mulai mengering, pangkal mulai patah, dapat
mengakibatkan banyak gabah yang rontok saat dipanen (Perdana, 2010).
Pemulia diharapkan dapat menghasilkan benih padi ketan dengan
viabilitas dan vigor yang tinggi sehingga menguntungkan bagi petani. Viabilitas

dan vigor yang tinggi menandakan benih tersebut unggul. Benih yang unggul
dapat dihasilkan melalui persilangan atau perakitan dalam program pemuliaan
tanaman. Menurut Makmur (1988), Definisi atau batasan pemuliaan tanaman
adalah suatu metoda yang secara sistematik merakit keragaman genetik menjadi
suatu bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka penulis telah
melakukan penelitian yang berjudul “ Pengaruh Tingkat Kematangan Benih
terhadap Vigor dan Viabilitas pada Dua Genotipe Padi Ketan (Oryza sativa
glutinous.)”
B. Tujuan Penelitian
1.

Untuk mengetahui interaksi antara tingkat kematangan benih dengan
genotipe terhadap viabilitas dan vigor benih padi ketan.

2.

Untuk mengetahui genotipe padi ketan yang memiliki viabilitas dan vigor
terbaik.


3.

Untuk mengetahui tingkat kematangan benih padi ketan terbaik yang
memberikan viabilitas dan vigor terbaik.