ANALISIS BENTUK DAN MAKNA KRIA KEMASAN DAUN PISANG DALAM SAJIAN MAKANAN DI KAMPUNG NAGA KABUPATEN TASIKMALAYA.

(1)

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB. I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan ... 5

D. Manfaat ... 6

E. Telaah Pustaka ... 7

F. Kerangka Teori ... 13

G. Metode Penelitian dan Pengumpulan Data ... 17

1. Metode Penelitian ... 17

2. Teknik Pengumpulan Data ... 19

3. Sistematika Penulisan... 20

BAB. II MEDIA DAN TEKNIK SENI KRIYA KEMASAN MAKANAN .. 22

A. Pengertian Seni Kriya ... 22


(2)

viii

C. Jenis-Jenis Seni Kriya ... 24

D. Seni Kriya Modern ... 25

E. Seni Kriya Penyajian Makanan Modern ... 29

F. Pengaruh Kemasan Makanan Modern pada Lingkungan ... 31

1.Masalah Sampah ... 31

2.Bencana Leuwi Gajah ... 33

BAB. III METODE PENELITIAN ... 34

A. Metoda Penelitian ... 34

B. Subyek dan Lokasi Penelitian ... 39

C.Lokasi Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ... 40

1. Observasi (Observation) ... 41

2. Wawancara (Interview) ... 42

3. Studi Dokumentasi ... 45

4. Analisis Data ... 46

5. Member Chek ... 48

6. Tahap Validitas ... 49

7. Kepercayaan (Credibility) ... 49

8. Keteralihan (Transferability)... 51

9. Kebergantungan (Dependability) ... 51

10. Kepastian (Confirmability) ... 52

BAB. IV PROFIL DAN SEJARAH KAMPUNG NAGA ... 53


(3)

ix

1. Pola Komunikasi ... 53

2. Rutinitas Keseharian dan Cara Berpakaian ... 56

3. Makanan dan Keunikan Mereka Dalam Menerima Tamu ... 59

4. Budaya Gotong Royong ... 60

5. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Kampung Naga ... 61

6. Kepemimpinan Khas Kampung Naga ... 66

7. Kesenian Khas Kampung Naga ... 68

8. Corak Arsitektur dan Peralatan ... 71

B. Geografi dan Kependudukan Kampung Naga ... 74

1. Geografis Kampung Naga ... 74

2. Demografis Kampung Naga ... 76

C. Sejarah Kampung Naga... 77

BAB. V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 80

A. Aspek Sejarah ... 82

B. Fungsi Seni Kriya Penyajian Makanan Bagi Masyarakat Kampung Naga ... 83

C. Seni Kriya Makanan Berbungkus Daun Pisang di Kampung Naga ………. ... 83

1.Daun Pelapis Piring ... 84

2.Pincuk Terbuka Lebar ... 85

3.Lontong Terlipat ... 87

4.Lontong Biting ... 88


(4)

x

6.Timbel ... 90

D.Nilai-nilai Seni pada Penyajian Makanan dengan Daun Pisang ... 92

1. Nilai Spiritual ... 92

2. Nilai Kesederhanaan ... 93

3. Nilai Kelestarian Budaya ... 94

4. Nilai Estetika ... 95

5. Nilai Natural ... 96

6. Nilai Kebersamaan ... 100

7. Nilai Kekuatan. ... 101

8. Nilai Kesehatan ... 103

9. Nilai Aromaterapi ... 103

E. Upacara Adat Kampung Naga Dengan Sajian Makanan. Daun Pisan ………... 105

1. Upacara Pernikahan ... 105

2. Upacara Muludan ... 107

3. Upacara Pertengahan Tahun ... 107

4. Hari Raya Idul Fitri ... 108

F. Upaya Masyarakat Kampung Naga Melestarikan Budaya Seni Kriya Makanan yang Menggunakan Bungkusan Daun Pisang ... 108

G.Upaya Pewarisan Seni Kriya pada Kaum Muda ... 109

H.Upaya Kaum Muda dalam Mewarisi Seni Kriya Makanan yang Menggunakan Bungkusan Daun Pisang ... 110


(5)

xi

BAB. VI KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI... 111

A.Kesimpulan ... 111

B.Implikasi ... 112

C.Rekomendasi ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 116

LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1 Insrumen Wawancara……….118

Lampiran 2 Wawancara ... 119

Lampiran 3 Foto-foto ... 123

Istilah- Istilah ………124 Riwayat Hidup


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan zaman yang cenderung mengglobal membawa pengaruh yang luas bagi kehidupan masyarakat. Pergeseran nilai-nilai budaya terjadi di hampir seluruh kawasan, termasuk kawasan Asia dan terlebih Indonesia. Banyak masyarakat di negeri ini telah meninggalkan warisan budaya nenek moyang, terutama generasi muda yang cenderung lebih condong kepada budaya Barat, dan melupakan nilai-nilai budaya sendiri. Ini terjadi karena pengaruh kapitalisme yang semakin luas membuat masyarakat semakin lemah memahami kearifan lokal dari budaya-budaya daerahnya sendiri. Hal ini dijelaskan Mamannoor (2002: 87) dalam bukunya Wacana Kritik Seni Rupa di Indonesia:

Analisis hakikat kehidupan sehari-hari dalam masyarakat kapitalis sangat krusial untuk memahami teknologi, meski teknologi itu sendiri bukanlah kekuatan yang menentukan, bagi Benjamin, ia mempunyai pengaruh penting. Mengikuti Marx, Benjamin yakin bahwa penggunaan alat musik modern akan berdampak pada fotisisme komoditas. Pemikiran yang sudah terkontaminasi tadi tidak berdaya untuk memahami kekinian yang diletakkan dalam konteks hubungan-hubungan sosial histories. Penggunaan teknologi secara luas akan membentuk tingkah laku manusia.

Perkembamgan ekonomi dan pemasaran makanan semakin deras mengalir hingga ke pelosok perkampungan kecil, dan membuat orang-orang melupakan kemasan makanan tradisional mereka sendiri. Kemasan-kemasan makanan menjadi daya tarik tersendiri terhadap konsumen seperti anak-anak. Diawali dengan melihat iklan di televisi, kemasan makanan itu menarik dan menggoda selera, sehingga membekas dalam ingatan, dan akhirnya mereka membelinya.


(7)

Padahal sebagian besar kemasan makanan itu tidak ramah lingkungan dan menimbulkan masalah tersendiri bagi masyarakat.

Telah lama kita mendengar masalah sampah di ibu kota. Gunungan sampah, saluran mampet, bahkan bencana longsornya sampah yang menelan korban jiwa kerap kali kita dengar beritanya dari media. Ketika diperhatikan, ternyata sebagian besar sampah itu berasal dari kemasan-kemasan makanan anorganik yang tidak bisa terurai dengan pembusukan. Lebih jelasnya, sebagian besar sampah itu adalah kemasan plastik, yang tentu saja tidak membusuk dan mencemarkan tanah. Ini menjadi bukti, banyak makanan berkemasan plastik atau kaleng yang menimbulkan masalah serius bagi lingkungan. Masyarakat Kampung Naga yang mencintai dan membanggakan budaya leluhurnya dalam cara mengemas makanan dalam kehidupan sehari-hari, resepsi-resepsi atau upacara adat. Suatu cara membungkus makanan yang bernilai seni tinggi, dunia seni menyebutnya media seni kriya. Cara ini tetap mereka lakukan sampai sekarang sebagai budaya yang telah mendarah daging dalam kehidupannya.

Melestarikan budaya dari leluhur bukanlah berusaha memisahkan diri dari lingkungan yang semakin modern, melainkan justru itu sebuah upaya mengintegrasikan diri dalam kehidupan nasional, memelihara karakter asli bangsa Indonesia. Sebagaimana diulas Kayam, dalam bukunya Seni, Tradisi, Masyarakat (1981: 65)

Peranan seni tradisonal dalam suatu proses seperti integrasi nasional dan modernisasi itu nampaknya akan lebih banyak artinya sebagai unsure “sintesis”. Dalam satu wilayah kultur seperti Asia Tenggara, di mana “dialog”—dan bukan “konfrontasi”—yang nampaknya dipilih sebagai ssuatu “kewicaksanaa“ (wisdom) utama, peranan seni tradisional itu akan lebih-lebih berarti pada kemampuannya untuk merangkum unssur-unsur.


(8)

Kayam (1981: 57) juga menegaskan bahwa, melestarikan budaya leluhur merupakan upaya melepaskan diri dari ikatan-ikatan penjajah:

Dalam keputusan atau keinginan untuk melepaskan dirinya dari ikatan sejarah yang kurang menguntungkan, apakah itu ikatan yang berbentuk penjajahan bangsa lain ataupun ikatan lainnya—wilayah-wilayah itu bersepakat untuk meneliti kembali warisan-warisan yang mereka miliki itu, untuk kemudian dipilih kembali sebagai “bahan pokok” , baru menyusun suatu tata yang dianggap akan lebih menguntungkan dan lebih memintas jalan pendek sejarah perkembangan wilayah itu. Penelitian dan pemilihan kembali warisan atau percobaan menemukan “bahan pokok” baru inilah, saya kira, yang disebut “mencari kesepakatan idiom”. Dan ini pulalah saya kira yang disebut “Proses integrasi nasional”.

Mereka terbiasa bukan karena mereka tinggal jauh dari kehidupan masyarakat lainnya yang lebih modern. Secara geografis, Kampung Naga memiliki wilayah yang tidak terisolir. Letaknya hanya sekitar 500 meter dari jalan raya yang menghubungkan Kota Tasikmalaya dan Garut. Kampung Naga dengan luas 4 ha, secara administratife adalah bagian dari Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Oleh karena itu masyarakat Kampung Naga dapat dengan mudah berbaur dengan masyarakat lain di sekitarnya termasuk dalam bidang ekonomi. Mereka juga mengikuti perkembangan zaman, berbelanja makanan ke pasar dan membeli barang-barang dan makanan berkemasan plastik. Ini menunjukkan bahwa mereka bukan berarti tidak bisa mengemas makanannya dengan bungkus yang lebih praktis seperti plastik dan kertas sebagaimana yang biasa dilakukan kebanyakan orang di luar perkampungan mereka. Mereka lakukan karena begitu kuat memegang teguh terhadap ajaran yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya. Masyarakat Kampung Naga meyakini bahwa dengan menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang berarti telah menghormati karuhun (leluhur) yang apabila melakukan


(9)

sesuatu yang tidak dilakukan oileh karuhun merupakan sesuatu yang tabu dan bisa menimbulkan malapetaka. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi setiap orang.

Tata kehidupan tersebut berdasarkan kepada pandangan dan pola kehidupan yang sederhana, yang tersirat dalam ungkapan “teu saba, teu banda, teu boga, teu weduk, teu bedas, teu gagah, teu pinter (tidak bepergian, tidak menyimpan harta, tidak mempunyai apa-apa, tidak mempunyai kekuatan, tidak kuat, tidak gagah, tidak pintar). Masyarakat Kampung Naga beranggapan bahwa mereka tidak diwarisi oleh leluhurnya sesuatu yang lebih, tetapi justru mereka diwarisi suatu keharusan hidup dalam kesederhanaan. Falsafah hidup sederhana tampaknya yang membuat mereka berada di tengah masyarakat global, namun tetap bisa bertahan dengan adat istiadat leluhur yang dipegang teguh. Masyarakat Kampung Naga melihat kemasan-kemasan makanan di pasaran beserta daya tariknya, namun mereka tetap cinta pada budaya leluhurnya, mengemas makanan dengan daun pisang, sebuah media kemasan makanan yang sederhana, namun bernilai seni tinggi.

Semua hal itu mendorong penulis menganalisis bentuk dan media seni kriya penyajian makan kelompok adat masyarakat Kampung Naga, dan mengungkap nilai-nilai seni pada cara pengemasan sederhana itu.


(10)

B. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang yang telah disebutkan di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan untuk menjadi bahan bahasan dalam karya tulis ini: 1. Bagaimanakah kebudayaan masyarakat Kampung Naga?

2. Apa saja media dan teknik kemasan seni kriya pada penyajian makanan di masyarakat Kampung Naga?

3. Bagaimanakah makna, fungsi dan tujuan bentuk kemasan daun pisang dalam penyajian makanan?

C. Tujuan

Prama (2005: 106), seorang motivator yang renungannya selalu menyentuh, dalam bukunya Rumah Kehidupan Penuh Keberuntungan: Membangun Keberuntungan dengan Menyelami Diri, membagi model manusia ke dalam dua golongan, ada golongan pencinta dan ada golongan inovator, yang keduanya memiliki perbedaan:

Lain inovator, lain juga para pencinta. Bila inovator bergerak melalui kata-kata keras seperti menemukan, melawan, menantang, dan menundukkan, manusia pencinta memasuki wilayah-wilayah diluar logika dengan cinta dan keikhlasan. Ratusan tahun yang lalu, Niezche dan kawan-kawan memang pernah mengumumkan kalau perkembangan logika dalam iptek, bisa membuat mantra yang membuat matinya Tuhan dan agama. Lebih dari seratus tahun setelah pengumuman mematikan terakhir dikumandangkan, tampaknya apa yang mereka perkirakan mati ternyata masih hidup dan sehat-sehat saja sampai sekarang.


(11)

Menjadi pencinta, demikianlah salah satu tujuan menganalisis kemesan seni kriya bungkusan makanan yang menggunakan daun pisang pada salah satu kelompok adat Kampung Naga, di samping tujuan yang lainnya diantaranya:

1. Mendeskripsikan jenis dan media kemasan seni kriya penyajian makanan pada masyarakat Kampung Naga.

2. Mendeskripsikan fungsi kemasan daun pisang untuk kelestarian budaya mereka, dan lingkungan hidupnya.

3. Manganalisis pesan tersirat di balik bentuk dari media seni kriya penyajian makanan daun pisang masyarakat Kampung Naga.

4. Mengungkap kenyataan bahwa di balik kesederhanaan cara penyajian makanan itu, terkandung nilai-nilai yang tinggi.

D. Manfaat

1. Bagi peneliti: Dapat mengenal bentuk dan media seni kriya dalam penyajian makanan masyarakat Kampung Naga beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

2. Bagi pendidikan: Menambah wawasan tentang seni kriya dalam penyajian makanan masyarakat Kampung Naga beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

3. Bagi masyarakat: Melestarikan dan menghargai kesederhanaan dalam penyajian makanan yang ramah lingkungan.


(12)

E. Telaah Pustaka

Masyarakat adat merupakan satu komunitas masyarakat yang sangat kental dengan adat istiadat yang telah tertanam sejak lama. Berdasarkan perspektif sosio-ekologis, masyarakat adat di Indonesia dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: Kelompok Pertama bumi yang terdiri dari masyarakat Kanekes di Banten dan Masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan, di mana mereka percaya sebagai kelompok masyarakat perpilih yang bertugas menjaga kelestarian bumi. Kelompok kedua, yaitu kelompok masyarakat Kasepuhan dan masyarakat Suku Naga yang juga cukup ketat dalam memelihara dan menjalankan adat tetapi masih membuka ruang cukup luas untuk berhubungan dengan dunia luar. Kelompok ketiga, adalah masyarakat-masyarakat adat yang tergantung dari alam (hutan, sungai, laut, dan lain-lain) dan mengembangkan sistem pengelolaan yang unik tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat. Masuk ke dalam kelompok ini di antaranya masyarakat adat Dayak dan Penan di Kalimantan, masyarakat Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, dan Masyarakat Dani di Papua Barat.

Dalam satu masyarakat adat berkembang budaya yang khas yang tidak dimiliki komunitas lainnya. Budaya masyakat itu sendiri berkembang karena ada suatu kebiasaan pada masyarakat terdahulu yang kemudian diwarisi oleh generasi berikutnya. Sehingga budaya saat ini sering juga dikatakan sebagai bentuk kebiasaan masyarakat tertentu.


(13)

Haris dan Moran dalam Komunikasi Antar Budaya suntingan Mulyana & Rakhmat ( 1990: 87) mengatakan:

Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan social mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan-kebiasaan, praktek-praktek, dan tradisi-tradisi untuk terus hidup dan berkembang diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. (….) generasi-generasi berikutnya terkondisikan untuk menerima kebenaran-kebenaran tersebut tentang kehidupan di sekitar mereka, pantangan-pantangan dan nilai-nilai tertentu ditetapkan, dan melalui banyak cara orang-orang menerima penjelasan tentang perilaku yang dapat diterima untuk hidup dalam masyarakat tersebut.

Budaya yang berkembang dalam suatu lingkungan juga memiliki nilai-nilai kuat untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai-nilai ini merupakan suatu bentuk aturan tidak tertulis yang secara tidak langsung telah disepakati oleh masyarakatnya. Serta Pelanggaran terhadap aturan tersebut pada umumnya akan menimbulkan sanksi sosial. Budaya adalah gaya hidup unik suatu kelompok masyarakat tertentu. Karena keunikannya tersebut maka setiap budaya dari suatu suku bangsa tidak sama dengan suku bangsa lainnya. Masing-masing mempunyai ciri khas. Sehingga apabila seseorang akan memasuki suatu budaya baru maka ia perlu beradaptasi, menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungan terdahulu dimana mereka pernah tinggal.

Budaya dalam masyarakat terkadang tidak konsisten. Meskipun budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi, suatu waktu dapat terkontaminasi oleh budaya-budaya lain. Hal demikian terjadi salah satunya karena tingkat mobilitas suatu masyarakat. Seorang warga yang merantau ke daerah lain akan


(14)

mengenalkan budayanya pada masyarakat setempat, begitu pula pada saat kembali kepada lingkungannya akan membawa hal baru yang ia peroleh dari masyarakat perantauannya tersebut. Kebudayaan itu sendiri lahir dan berkembang seiring dengan waktu. Budaya akan berkembang dan berevolusi dari waktu ke waktu. Namun seperangkat karakteristik dimiliki bersama oleh sebuah kelompok secera keseluruhan dan dapat dilacak, meskipun telah berubah banyak dari generasi ke generasi.

Pertukaran budaya ini terjadi disebabkan adalanya proses komunikasi, sehingga, Mulyana (1990: 97) mengatakan: “Bahwa setiap praktek komunikasi pada dasarnya adalah suatu representasi budaya, atau tepatnya merupakan realitas budaya yang sangat rumit”. Budaya dan komunikasi berinteraksi sangat erat dan dinamis. Budaya muncul melalui komunikasi, dan sebaliknya budaya pun mempengaruhi cara berkomunikasi masyarakat bersangkutan.

Budaya tidak hanya berkaitan dengan kebiasaan, kesenian, dan kepercayaan suatu masyarakat, tetapi budaya adalah suatu yang kompleks. Dikutip oleh Singer (1972: 527), Taylor mengatakan: “Culture or civilization, taken ini its wide ethnographic sense, is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, ang any other capabilities and habits acquired by mas as a member of society”. Dalam pengertian tersebut dinyatakan bahwa budaya meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai masyarakat. Budaya menampakkan diri pada pola karya seni yang dihasilkan oleh


(15)

masyarakat yang berfungsi sebagai model dan tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam masyarakat di suatu lingkungan Geografis tertentu.

Marzali (1997: xix), mengutip pendapat Goodenough, mengatakan bahwa:

Budaya suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui dan dipercayai seseorang agar dia dapat berprilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyakarat. Budaya bukanlah suatu fenomena materian: dia tidak hanya terdiri atas benda-benda, manusia, prilaku atau emosi. Dia adalah suatu pengorganisasian dari hal-hal tersebut (mind), model yang mereka punya untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan seterusnya menginterpretasikan hal ihwal tersebut.

Kompleksitas yang terdapat dalam suatu budaya pada akhirnya akan menampilkan suatu prilaku sosial, yang kemudian menjadi ciri suatu suku bangsa. Kebudayaan merupakan pengetahuan yang diperoleh, dan digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial.

Kebudayaan, di mana nampak berbeda dengan yang lainnya, tetap mempunyai hakikat yang meliputi:

1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.

2. Kebudayaan telah ada terlebih daulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya generasi yang bersangkutan. 3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. 4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban, tindakan

yang diterima dan ditolak, tindakan yang dilarang dan tindakan yang diizinkan.


(16)

Hakekat kebudayaan tersebut nampak di lingkungan Kampung Naga. Kebudayaan yang merupakan peninggalan dari leluhur mereka; tecermin dalam bentuk benda-benda fisik dan dalam proses menjalankan upacara adat. Tidak hanya karena ingin melestarikan adat yang sudah ada tetapi warga Kampung Naga menjalankan ritual kebudayaan karena keyakinan, bahwa itu harus mereka lakukan dan apabila tidak dilaksanakan akan menimbulkan malapetaka. Dengan menjalankan ritual-ritual terdahulu secara tidak langsung telah menghormati leluhur.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang kompleks terdiri dari berbagai unsur sebagaimana dikemukakan Purwasito (2002: 98) bahwa budaya mengandung beberapa unsur meliputi:

a. Bahasa

b. Sistem pengetahuan c. Organisasi Sosial

d. Sistem Peralatan hidup dan teknologi e. Sistem mata pencaharian hidup f. System religi

g. Kesenian

Unsur-unsur tersebut, satu dengan lainnya akan saling mempengaruhi sistem peralatan hidup dan teknologinya. Di samping tujuh unsur tersebut letak geografis dapat ditambahkan sebagai salah satu hal yang akan mempengaruhi bagaimana budaya dalam masyarakat terbentuk.

Salah satu bentuk budaya itu adalah interaksi simbolik. Adalah sebuah teori yang berusaha menjelaskan sebuah teori yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna melalui symbol-simbol yang nampak.


(17)

Dikutip oleh Spradley, (1997: 89) mengemukakan tiga premis mengenai landasan teori ini.

Premis pertama, “Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka”. Premis kedua, yang mendasari interaksionalisme simbolik adalah bahwa “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain”. Premis ketiga, adalah “makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dihadapi.”

Esensi interasksionalisme adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Simbol atau lambang yang digunakan merupakan hasil kesepakatan bersama untuk menunjukkan sesuatu. Misalnya kata wortel ditujukan untuk jenis sayuran yang berwarna oranye. Simbol-simbol inipun tidak hanya berupa benda nyata tetapi juga meliputi perkataan, dan perilaku.

Menurut teoretisi interaksi simbolik “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Pernyataan tersebut sesuai dengan kenyataan. Karena dalam setiap kita berinteraksi disadari maupun tidak, tersirat simbol-simbol yang mewakili diri kita. Seperti cara berbicara, dialek yang digunakan, intonasi dalam menekankan kata yang diucapkan, dan gaya berpakaian. Ini semua dapat merepresentasikan apa yang dimaksud oleh sang komunikator.


(18)

Prinsip-prinsip teori simbolik yang dikemukakan Mulyana, (1990: 79) di antaranya adalah:

1. Manusia tidak seperti hewan yang lebih rendah, manusia diberkahi dengan kemampuan berfikir.

2. Kemampun berfikir ini dipengaruhi oleh intraksi

3. dalam intraksi sosial orang belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berfikir.

4. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi khas manusia.

5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksiberdasarkan interpretasi mereka atas situasi.

6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, antara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relative, dan kemudian memilih salah satunya.

7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin-menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.

Berdasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, maka sangat mungkin satu simbol mempunyai makna yang beraneka ragam. Tergantung kepada interpretasi masing-masing individu, situasi yang mendukung saat simbol itu muncul, dan juga latar belakang individu yang bersangkutan.

F. Kerangka Teori

Setiap masyarakat akan mengembangkan strategi untuk pemuasan estetika dan oleh karena itu, kemudian, muncullah pedoman untuk strategi adaptif guna pemuasan kebutuhan estetik. Selain sebagai pedoman dan adaptif, kesenian juga sebagai simbol, yakni simbol ekspresi yang menyimpan makna, gagasan,


(19)

abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, pengalaman yang dipahami dan dihayati bersama oleh masyarakat.

Ekspresi kesenian berdasarkan uraian di atas akan selalu terkait. Oleh karena itu, ekspresi kesenian dari kebudayaan masyarakat petani akan berbeda dengan ekspresi kebudayaan masyarakat pegunungan dalam skala mikro, sebab pada dasarnya berkesenian adalah ekspresi spiritual pencipta seni itu sendiri. Mamannoor, (2002: 135) berpendapat:

Spiritualitas dalam seni ibarat ruh, jiwa dan batin yang menghidupkan makna dan nilai seni untuk mencapai suatu tujuan penghayatan. Di dalam tujuan penghayatan tersebut terdapat manifestasi bentuk dan realitas yang keseluruhannya mencuatkan nilai-nilai batin. Spiritualitas religius dalam seni bukan sekedar memberikan gambaran yang baik, melainkan ia adalah kebajikan keajikan yang terungkapkan.

Dengan demikian pada lapisan masyarakat pasti memiliki ekspresi kesenian yang khas, sistem simbol dan bentuk strategi adaptasinya dalam memenuhi kebutuhan akan keindahan (kebutuhan integratife yang akan menselaraskan kebutuhan lainnya). Kesenian adalah komponen sosiokultural yang bersifat universal. Isi dari kesenian adalah kesan-kesan atau pengungkapan simbolik yang bersifat fisik, mempunyai nilai estetis, emosional intelektual bagi para anggota masyarakat.

Pemenuhan kebutuhan seni yang sesuai dengan sistem kebudayaan masyarakat itu menjadi suatu keunikan tersendiri. Di samping itu tuntunan internal dan eksternal dalam proses kreatif penciptaan seni akan menentukan keragaman ekspresi seni tersebut. Munculah kemudian adanya klasifikasi


(20)

kesenian yang didasarkan atas jenis media ungkap (seni rupa, seni musik, seni tari dan seni drama); klasifikas-klasifikasi lain sehingga menimbulkan seni profan, seni sakral, seni tradisional, seni modern, seni postmodern, dan lain-lain.

Dari uraian di atas, seni adalah medium antara materialisme dunia dengan spiritual. Seni adalah sesuatu yang memuat hal-hal yang identitas, sesuatu yang tidak kita kenal sebelumnya, dan kini dapat dikenali sebagai karya seorang seniman. Meskipun demikian, niat itu ada, berkembang dan dibakukan di dalam dan melalui tradisi-tradisi suatu masyarakat. Kesenian pada akhirnya mampu menopang kolektivitas nilai, karena kesenian seperti halnya kebudayaan juga dimiliki oleh masyarakat, itupun dalam kenyataan empirik didukung oleh individu-individu dalam suatu masyarakat. Penciptaan seni oleh individu-individu itu pada dasarnya tidak akan terlepas dari sistem budaya yang dimilikinya secara bersama. Oleh karena itu, sebuah ekspresi kesenian akan dapat dipahami dan diterima secara sosial karena di dalamnya terdapat asas-asas yang dimiliki secara bersama.

Konstruksi konseptual masyarakat dalam perspektif struktural fungsional masyarakat yang menekankan kepada keteraturan (order), tertib sosial, dan sosial, serta keseimbangan (equilibrium). Konstelasi mayarakat seperti disebabkan karena tiga hal penting, yaitu : pertama, adanya nilai-nilai budaya bersama; kedua, adanya nilai yang dikembangkan menjadi norma; dan ketiga, adanya nilai-nilai yang dibutuhkan oleh individu jadi motivasi. Dengan demikian lembaga


(21)

kemasyarakatan mewujudkan dalam berbagai bentuk norma, budaya dan kebiasaan bersama dapat dijadikan sebagai kebijakan dalam menjelaskan aturan masyarakat.

Masyarakat dalam kajian ini dipandang sebagai organisme yang di dalamnya selalu diupayakan suatu keadaan yang memperjuangkan tertib dan aturan sosial serta mengedepankan keseimbangan. Konsep ini adalah inti dari pandangan yang lebih mengarah kepada upaya mewujudkan komitmennya dalam membangun keseimbangan, tertib dan aturan sosial. Perilaku anggota masyarakat memiliki dua alternatif terdiri dari pasangan-pasangan berbeda yang terdiri dari lima variabel yaitu: 1) Netral perasaan, 2) Arah diri atau arah kolektif, 3) Partikularisme atau universalisme, 4) Status Bawaan dan Status Perolehan, dan 5) Campur baur kekhususan.

Tindakan masyarakat dapat saja didasari karena perasaan tertentu netral saja; apakah tindakan itu berorientasi pribadi atau untuk kepentingan umum; apakah masyarakat bertindak atas prinsip-prinsip umum yang berlaku tanpa pilih kasih atau melakukan karena relasi-relasi khusus; apakah yang diperoleh seseorang itu karena ciri bawaan ataukah atas prestasi atau kualitas pelayanan kepada orang lain. Apakah memfungsikan sebagai bagian dari fungsi sosial tertentu sehingga memperoleh sesuatu atas fungsi tersebut atau tidak perlu merinci apa yang seharusnya biasa diperoleh dari masyarakat.


(22)

G. Metode Penelitian dan Teknik pengumpulan Data

1. Metode Penelitian

Keterangan tentang apa itu yang disebut metode dijelaskan oleh Bagus dalam karyanya Kamus Filsafat ( 1996: 635 - 636)

Metode secara harfiyah menggambarkan jalan atau cara totalitas yang dicapai dan dibangun. Kita mendengkati pengetahuan suatu bidang secara metodis apabila kita mempelajarinya sesuai rencana, mengerjakan bidang-bidangnya yang tertentu, mengatur berbagai kepingan pengetahuan secara logis dan mengahasilkan sebanyak mungkin hubungan. Akhirnya, kita mencoba mengetahui masing-masing dan setiap hal bukan hanya bahwa hal itu ada melainkan juga mengapa hal itu ada, bagaimana adanya—jadi kita ingin mengetahui bukan hanya fakta-fakta melainkan juga alas an atau dasar fakta-fakta ini.

Metode pertama adalah pendekatan. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam kajian yakni pendekatan budaya, yakni suatu pendekatan dalam penelitian yang lebih memperhatikan hubungan-hubungan fungsional dalam struktur yang bertingkat-tingkat, di mana antar gejala satu sama lain saling berkaitan dan membentuk suatu kesatuan dan holistik.

Untuk memperoleh penjelasan mengenai hubungan antar unsur tersebut, maka diperlukan informasi yang meluas dan mendalam. Pengumpulan informasi yang menjadi serangkaian data penjelas dalam pendekatan ini harus berdasar pada pandangan masyarakat setempat sebagai landasan prinsipil yang harus ditaati dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian posisi peneliti adalah menafsirkan situasi sosial budaya yang nampaknya punya hubungan dengan tempat waktu,


(23)

obyek, pelaku, aktifitas, tindakan, dan perasaan-perasaan masyarakat yang bersangkutan mengenai pola budaya belajar masyarakat Kampung Naga.

Berdasarkan pandangan itu, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian itu yakni: (a) Teknik pengamatan atau observasi, yakni teknik yang menekankan pada kecermatan panca indra dalam mengamati gejala fisik yang berhubungan dengan budaya belajar produktif, keterampilan menulis dan keterampilan hidup kolektif. (b) Teknik pengamatan terlibat, yakni teknik pengamatan mengenai hubungan tindakan manusia dengan manusia lain. (c) Teknik wawancara berstruktur. Teknik wawancara penting dilakukan untuk melengkapi teknik observasi. Teknik wawancara berstruktur adalah wawancara yang dilakukan melalui sejumlah informan yang setara dengan cara struktur yang bertingkat-tingkat, yakni dengan menggunakan pedoman wawancara yang dirancang sebelum wawancara dilakukan mengenai suatu topik permasalahan; (d) Teknik wawancara mendalam atau deep interview yang digunakan untuk melengkapi teknik pengamatan terlibat, yakni dengan cara konfirmasi kembali kepada sumber lainnya yang dipandang tepat. Dalam wawancara mendalam memerlukan informan kunci (key information) guna memperoleh validitas data yang diperoleh dari teknik pengamatan terlibat; dan (e) Teknik studi dokumen¸ yakni teknik menggali informasi melalui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian yang dikaji.


(24)

2. Teknik Pengumpulan Data

Sumber informasi atau data yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh melalui studi lapangan, yakni melalui observasi atau pengamatan, baik berupa pengamatan biasa ataupun pengamatan terlibat. Sumber informasi pengamatan adalah keadaan dan kejadian yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat Kampung Naga, seperti: (a) peta pemukiman; (b) jenis bangunan yang ada; (c) jalan-jalan yang saling menghubungkan antar kampung; (d) kegiatan-kegiatan; (f) kegiatan keagamaan; (g) kegiatan keterampilan hidup sehari-hari. Observasi atau pengamatan terlibat digunakan untuk memperhatikan pada (a) suasana kehidupan; (b) suasana pekerjaan; (c) berbagai proses kegiatan bekerja; (d) proses pembelajaran kriya melukis.

Interview atau wawancara penting dalam penggalian informasi dari para informan yang memiliki pengetahuan banyak mengenai pola budaya belajar yang akan mencapai keterampilan hidup kolektif di Kampung Naga. Wawancara yang dilakukan menggunakan tehnik wawancara mendalam yang digunakan untuk menggali suatu informasi penting di lapangan sehingga dapat mencapai pemahaman yang menyeluruh mengenai masalah yang diteliti. Informan yang ditetapkan dalam penelitian ini berada di lingkungan masyarakat Kampung Naga, di antaranya; (a) para tokoh masyarakat Kampung Naga; (b) sesepuh Kampung Naga; (c) staf pemerintah desa Kampung Naga; (d) para guru sekolah Kampung Naga; (e) para guru mengaji; (f) para orang tua Kampung Naga; (g) pemuda-pemudi Kampung Naga; (h) anak-anak Kampung Naga.


(25)

H. Sistematika Penulisan

1. BAB I: PENDAHULUAN

Terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian Telaah Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Langkah-langkah Penelitian, Sistematika Penulisan.

2 . BAB II: LANDASAN TEORI / KAJIAN PUSTAKA

Terdiri dari konsep/teori dan pendapat yang menjadi landasan dalam penelitian ini.

3. BAB: IV METODOLOGI PENELITIAN

Menjelaskan tentang metode apa yang akan digunakan dalam penelitian, menentukan sumber data, teknik pengumpulan data dan jenis instrumen, penyususnan dan analisis data.

4. BAB: III PROFIL DAN SEJARAH KAMPUNG NAGA

Menjelaskan perihal sejarah yang sebenarnya profil Kampung Naga dan tradisi kehidupannya yang merupakan kebanggaan daerah setempat dan penghargaan kepada nenek moyangnya.. Analisis yang kami tawarkan lebih kepada studi kasus.


(26)

5. BAB: V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Menjelaskan tentang fungsi aspek media seni seni kriya penyajian makanan yang dibungkus daun pisang dan nilai-nilai seni apakah yang terkandung dalam seni kriya masyarakat Kampung Naga.

6. BAB: VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Merupakan kesimpulan dari pembahasan dan hasil temuan penelitian. Sebagai acuan dalam penyusunan kesimpulan peneliti harus memahami penelitian secara keseluruhan sebagai suatu system dengan tujuan penelitian yang akan dicapai.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

Apabila di Bab I telah dijelaskan kerangka berpikir untuk memperjelas fokus penelitian, sementara Bab II dibahas tinjauan teori yang relevan dan beberapa hasil penelitian sebelumnya, maka pada Bab III ini dikemukakan tentang pendalaman teori seni budaya berbasis nilai Islam prosedur penelitian. Sedangkan Bab IV lebih kepada prosedur penelitian.

A. Metode Penelitian

Keterangan tentang apa itu yang disebut metode, dijelaskan oleh Lorens Bagus dalam karyanya Kamus Filsafat ( 1996 : 635-636)

Metoda secara harfiyah menggambarkan jalan atau cara totalitas yang dicapai dan dibangun. Kita mendekati pengetahuan suatu bidang secara metodis apabila kita mempelajarinya sesuai rencana, mengerjakan bidang-bidangnya yang tertentu, mengatur berbagai kepingan pengetahuan secara logis dan menghasilkan sebanyak mungkin hubungan. Akhirnya, kita mencoba mengetahui masing-masing dan setiap hal bukan hanya bahwa hal itu ada, melainkan juga mengapa hal itu ada, bagaimana adanya—jadi kita ingin mengetahui bukan hanya fakta melainkan juga alasan atau dasar fakta-fakta ini.

Metoda pertama yang penulis gunakan adalah pendekatan penelitian.. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan budaya, yakni suatu pendekatan dalam penelitian yang lebih memperhatikan hubungan-hubungan fungsional dalam struktur yang bertingkat-tingkat, dimana antar gejala satu sama lain saling berkaitan dan membentuk suatu kesatuan dan holistik.

Untuk memperoleh penjelasan mengenai hubungan antar unsur tersebut, maka diperlukan informasi yang meluas dan mendalam. Pengumpulan informasi


(28)

yang menjadi serangkaian data penjelas dalam pendekatan ini harus berdasar pada pandangan masyarakat setempat sebagai landasan prinsipil yang harus ditaati dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian posisi peneliti adalah menafsirkan situasi sosial budaya yang nampaknya punya hubungan dengan tempat , waktu, obyek, pelaku, aktifitas, tindakan, dan perasaan-perasaan masyarakat yang bersangkutan mengenai pola budaya masyarakat Kampung Naga.

Berdasarkan pandangan itu, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian itu yakni: (a) Teknik pengamatan atau observasi, yakni teknik yang menekankan pada kecermatan panca indra dalam mengamati gejala fisik yang berhubungan dengan budaya belajar produktif, keterampilan menulis dan keterampilan hidup kolektif. (b) Teknik pengamatan terlibat, yakni teknik pengamatan mengenai hubungan tindakan manusia dengan manusia lain. (c) Teknik wawancara berstruktur. Teknik wawancara penting dilakukan untuk melengkapi teknik observasi. Teknik wawancara berstruktur adalah wawancara yang dilakukan melalui sejumlah informan yang setara dengan cara struktur yang bertingkat-tingkat, yakni dengan menggunakan pedoman wawancara yang dirancang sebelum wawancara dilakukan mengenai suatu topik permasalahan; (d) Teknik wawancara mendalam atau deep interview yang digunakan untuk melengkapi teknik pengamatan terlibat, yakni dengan cara konfirmasi kembali kepada sumber lainnya yang dipandang tepat. Dalam wawancara mendalam memerlukan informan kunci (key information) guna memperoleh validitas data yang diperoleh dari teknik pengamatan terlibat; dan (e) Teknik studi dokumen¸


(29)

yakni teknik menggali informasi melalui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian yang dikaji.

Penelitian ini tidak bermaksud untuk mengungkapkan hubungan antar variabel melalui studi korelasi atau regresi untuk mengkaji hipotesis tertentu. Rumusan masalah dalam penelitian ini menuntut peneliti untuk melakukan explorasi dalam rangka memahami dan menjelaskan masalah yang diteliti melalui komunikasi yang intensif dengan sumber data. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam proses penelitiannya.

“Qualitative research” mengandung arti bahwa peneliti harus mempunyai tingkat intensitas pemahaman terhadap suatu konsepsi atau teori. Konsepsi ini merupakan perspektif teoretis yang dijadikan pedoman proses inquiri oleh peneliti. Bila tidak demikian, maka apa yang dihasilkan penelitian hanyalah merupakan kumpulan informasi (data) belaka. Bila kumpulan informasi (data) itu tersusun secara terarah dan terorganisasi dalam suatu struktur pemikiran tertentu, maka data tersebut mempunyai makna untuk menjelaskan masalah yang diteliti.

Qualitaive research” merupakan istilah luas yang menerangkan dan mencakup segala bentuk penelitian yang memiliki ciri-ciri yang bersamaan. Data yang dikumpulkan biasanya disebut sebagai data “lunak” (soft data). Karena data tersebut berupa uraian yang kaya akan deskripsi mengenai kegiatan subyek yang diteliti dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan hasil yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Dalam penelitian kualitatif, pertanyaan penelitian tidak dirumuskan atas dasar devinisi operasional dari suatu


(30)

variabel penelitian. Pertanyaan penelitian kualitatif dirumuskan dengan maksud untuk memahami gejala yang kompleks dalam kaitannya dengan aspek-aspek lain. Penelitian kualitatif ini menggunakan metoda studi kasus (case study), karena memusatkan diri secara intensif pada satu objek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, dengan kata lain data dalam studi ini dikumpulkan dari berbagai sumber. Sebagai sebuah studi kasus maka data yang dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dan hasil penelitian ini hanya berlaku pada kasus yang diselidiki. Metoda studi kasus ini sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme (individu), lembaga atau gelaja tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit. Metoda penelitian seperti ini lebih tepat menggunakan studi kasus (case study) .

Alasan peneliti memilih metoda studi kasus adalah karena adanya keinginan peneliti untuk menghubungkan seni kriya modern dan seni kriya tradisional khususnya yang telah membudaya di Kampung Naga, lalu membandingkannya dan mengungkap nilai-nilai lebih dari seni tradisional itu. Bagi penulis, ini sebuah aktifitas yang sangat menarik minat karena sifatnya yang langsung meneliti ke lapangan dan mendapatkan data original dan alami/natural.

Masunah (1984: 23) dalam Disertasinya mengemukakan bahwa penelitian studi kasus adalah salah satu metoda penelitian yang meneliti fenomena kontemporer dengan menggunakan pendekatan penelitian naturalistik, seperti penjelasannya berikut ini:


(31)

The case study research method as an empirical inquiry that investigates a contemporary phenomenon within its real-life cotext; when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple sources of evidence are used.

Menurut pengertian di atas, penelitian studi kasus adalah sebuah metoda penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber data. Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, obyek yang dapat diangkat sebagai kasus bersifat kontemporer, yaitu yang sedang berlangsung atau telah berlangsung tetapi masih menyisakan dampak dan pengaruh yang luas, kuat atau khusus pada saat penelitian dilakukan. Secara sekilas, metoda penelitian ini sama dengan metoda penelitian kualitatif pada umumnya.

Penelitia studi kasus sangat tepat digunakan pada penelitian yang bertujuan menjawab pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ terhadap sesuatu yang diteliti. Melalui pertanyaan penelitian yang demikian, substansi mendasar yang terkandung di dalam kasus yang diteliti dapat digali dengan mendalam.

Kecocokan dari penelitian studi kasus adalah peneliti dapat fokus pada kasus-kasus tertentu yang menarik. Hal ini sebagai upaya untuk menguji sebuah teori yang biasa terjadi atau topik tertentu yang menarik dan aktual. Peneliti harus mengumpulkan dan menyimpan beberapa sumber bukti secara komprehensif dan sistematis. Peneliti harus teliti mengamati objek studi kasus mengidentifikasi sebab musabab dan faktor-faktor yang terkait dengan fenomena yang diamati. Studi kasus penelitian ini adalah fleksibel, tetapi bila ada perubahan, mereka didokumentasikan secara sistematis.


(32)

B. Subyek dan Lokasi Penelitian

Salah satu karakteristik dan kekuatan utama penelitian studi kasus adalah dimanfaatkannya berbagai sumber dan teknik pengumpulan data. Dengan demikian teknik cuplikan (sampling) dalam penelitian ini bersifat bertujuan (purposive). Sehingga, yang menjadi subyek penelitian (informan) adalah mereka yang dianggap dapat memberikan informasi yang memadai berkaitan dengan pertanyaan penelitian ini. Oleh karenanya, terdapat beberapa subyek penelitian yang sengaja dipilih dan ditentukan peneliti sebagai sumber data. Subyek-subyek penelitian yang mendukung pada penghayatan nilai-nilai yang terkandung pada berbagai jenis seni kriya makanan di Kampung Naga.

Sejalan dengan pendapat di atas, penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan sementara penelitian berlangsung (emergent sampling design). Caranya yaitu, peneliti memilih unit sampel tertentu yang dipertimbangkan akan memberikan data yang diperlukan; selanjutnya berdasarkan data atau informasi yang diperoleh dari unit sampel sebelumnya itu, peneliti dapat menetapkan unit sampel lainnya yang dipertimbangkan akan memberikan data lebih lengkap. Praktek inilah yang disebut sebagai “serial selection of sample units. Unit sampel yang dipilih makin lama makin terarah sejalan dengan makin terarahnya fokus penelitian. Proses ini dinamakan sebagai “continuous adjustment or ‘focusing’ of the sample”. Dalam hubungan ini, Nasution (1988:32-33) menjelaskan bahwa penentuan unit sampel (responden) dianggap telah memadai apabila telah sampai kepada taraf “redundancy” (ketuntasan dan kejenuhan),


(33)

artinya bahwa dengan menggunakan responden selanjutnya boleh dikatakan tidak lagi diperoleh tambahan informasi baru yang berarti.

Bila memperhatikan ketentuan-ketentuan diatas, maka mengambil beberapa orang dari warga masyarakat Kampung Naga, tidak hanya para tetua di sana, melinkan juga dari kalangan bawah dan anak-anak mudanya, adalah suatu hal yang epektif. Ini dimaksudkan agar data lebih lengkap dan sebuah permasalahan dapat dilihat dari berbagai perspektif.

C. Lokasi Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah segala sesuatu yang berkaitan dengan ijin penelitian diselesaikan. Dalam hubungannya dengan masalah pengumpulan data, Nasution (1988: 37) memberikan petunjuk sebagai berikut: masing-masing peneliti dapat memberi sejumlah petunjuk dan saran berdasarkan pengalaman masing-masing, namun rasanya penelitian kualitatif hanya dapat dikuasai dengan melakukan sendiri sambil mempelajari cara-cara yang diikuti oleh para peneliti yang mendahuluinya. Sampai akhirnya peneliti akan menemukan caranya sendiri dalam memecahkan masalah-masalah khusus yang dihadapi.

Pengumpulan data dilakukan dengan senantiasa mempertimbangkan (1) kedekatan dengan orang-orang dan situasi yang diteliti, sehingga memungkinkan pemahaman mendalam dan rinci tentang apa yang sedang berlangsung; (2) berupaya mengungkap apa yang secara aktual terjadi dan dikatakan orang; (3) data kualitatif yang digali diarahkan pada sekumpulan besar uraian murni mengenai berbagai kegiatan, dan interaksi sosial; (4) data yang diupayakan


(34)

merupakan kutipan langsung dari informan yaitu dari apa yang dikatakan dan ditulis.

Teknik pengumpulan data yang relevan untuk digunakan dalam penelitian ini meliputi : (1) Observasi; (2) Wawancara; (3) Studi dokumentasi.

1. Observasi (Observation)

Observasi (Observation) dalam sebuah penelitian diartikan sebagai tindakan perhatian terhadap suatu objek dengan melibatkan seluruh indera untuk mendapatkan data. Jadi observasi merupakan pengamatan langsung dengan menggunakan penglihatan, penciuman, perabaan, pendengaran, atau kalau perlu dengan pengecapan. Observasi sebagai alat pengumpul data harus sistematis artinya observasi serta pencatatannya dilakukan menurut prosedur dan aturan-aturan tertentu sehingga dapat diulang kembali oleh peneliti lain. Selain itu hasil observasi harus memberikan kemungkinan untuk menafsirkannya secara ilmiah (Nasution, 2008: 107)

Observasi mempunyai tiga klasifikasi, yaitu: (1) Observasi berpartisipasi (Participant Observation); Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan orang yang akan diteliti/diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi ini, data yang diperoleh akan lebih lengkap dan tajam; (2) Observasi yang secara terang-terangan dan tersamar (overt observation); dalam observasi ini, peneliti dalam melakukan pengumpulan data menyatakan terus terang kepada sumber data


(35)

bahwa ia sedang melakukan penelitian. Namun ada saatnya pula peneliti melakukan penelitian secara tersamar apabila ingin memperoleh data yang masih dirahasiakan oleh sumber data; (3) Observasi yang tak berstruktur (unstructure observation); Observasi ini digunakan jika fokus penelitian belum jelas. Fokus penelitian akan berkembang selama kegiatan observasi berlangsung. Oleh karena itu dalam observasi ini tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi.

Sesuai dengan kerangka teori (paradigma penelitian) dan masalah yang diteliti, maka data yang akan dikumpulkan melalui observasi meliputi hal-hal sebagai berikut: Data yang menyangkut seni kriya makanan yang menggunakan bungkus daun pisang pada masyarakat Kampung Naga; sifat dari berbagai bentuk seni kriya itu; Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat berkaitan dengan seni kriya.

Kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam pembuatan seni kriya tersebut, penghayatan mereka pada karyanya, dan pemahaman mereka pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

2. Wawancara (Interview)

Wawancara (Interview) digunakan digunakan dalam penelitian ini untuk menghimpun data non-tindakan atau pra-perilaku (seperti alasan, motif dan persepsi) terhadap suatu hal maupun data yang bersifat tindakan umum yang telah dilakukan sebelumnya. Data yang dapat dihimpun melalui wawancara ini antara lain: pendapat, alasan, motif-motif, dan sikap dari informan. Dengan


(36)

menggunakan teknik wawancara, data utama yang berupa ucapan, pikiran, gagasan, perasaan dan tindakan dari peserta didik, guru mata pelajaran seni budaya, kepala sekolah dan komite sekolah, diharapkan dapat terungkap secara lebih teliti dan cermat. Untuk menghindari kekeliruan dalam pencatatan data, dilakukan pula perekaman menggunakan tape recorder setiap wawancara dilakukan. Setelah dilakukan wawancara, informasi yang diperoleh diolah dan dikonfirmasikan melalui tahap triangulasi. Hal ini dilakukan untuk memperoleh masukan mengenai kesesuaian data tersebut dengan kenyataan yang ada.

Esterberg (2002) dalam Sugiyono (2005: 73) mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu: (1) Wawancara terstruktur (Structured interview) digunakan peneliti sebagai teknik pengumpulan data bila peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperolehnya. Dalam melakukan wawancara, peneliti menyiapkan instrument penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternative jawabannya untuk setiap responden; (2) Wawancara semistruktur (Semistructure interview); digunakan peneliti untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya, peneliti mendegarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan informan; (3) Wawancara tak berstruktur (Unstructured interview); digunakan peneliti dalam penelitian pendahuluan atau bahkan untuk penelitian yang lebih mendalam tentang subyek yang diteliti. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap, maka peneliti melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang mewakili berbagai tingkatan yang ada dalam obyek. Wawancara tak berstruktur yang digunakan terdiri dari


(37)

dua jenis, yaitu wawancara yang berfokus atau focused interview dan wawancara bebas atau free interview. Wawancara yang terfokus berisi pertanyaan-pertanyaan yang tak mempunyai struktur tertentu. Wawancara bebas berisi pertanyaan-pertanyaan yang beralih-alih dari satu pokok ke pokok yang lain, sepanjang berkaitan dengan dan menjelaskan aspek-aspek masalah yang diteliti.

Aspek penting dalam pendekatan penelitian studi kasus yang berkaitan dengan penggunaan teknik wawancara adalah bahwa peneliti harus berusaha mengetahui bagaimana responden memandang persoalan atau keadaan dari segi perpektif, pikiran dan perasaannya. Secara garis besarnya, sesuai dengan paradigma dan masalah penelitian, data yang dikumpulkan melalui wawancara adalah:

a. Data yang Menyangkut Kepemimpinan di Kampung Naga Data tentang persepsi kuncen/ketua adat masyarakat itu sendiri terhadap

seni. Seni kriya penyajian makanan. Data terhadap persepsi masyarakat terhadap kuncen/ketua Kampung Naga dalam pelestarian budaya seni kriya bungkusan makanan yang menggunakan daun pisang.3. Data tentang persepsi masyarakat terhadap berbagai jenis makanan karya mereka dan variasi penyajiannya serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

b. Data yang Menyangkut Seni Kriya

.Data tentang bentuk seni kriya penyajian makanan yang menggunakan bungkusan daun pisang.Data tentang nilai-nilai seni kriya itu sendiri. Data yang menyangkut fungsi seni kriya itu bagi kehidupan masyarakat.


(38)

c. Data yang Menyangkut Pengembangan Materi Seni Kriya

Data tentang upaya pengembangan masyarakat terhadap pelestarian seni kriya. Data tentang kemampuan kaum muda dalam menerima warisan budaya seni kriya penyajian makanandi masyarakat Kampung Naga. Data tentang bagaimana para tetua sekarang mempelajari seni kriya itu dahulu. Data tentang upaya para pemimpin adat meyakinkan nilai-nilai yang terkandung dalam seni kriya makanan yang menggunakan bungkusan daun pisang. Data tentang faktor-faktor pendukung dan penghambat pembuatan seni kriya pembuatan makanan yang menggunakan bungkus daun pisang pada masyarakat Kampung Naga.

3. Studi Dokumentasi

Untuk melengkapi data dan informasi yang dikumpulkan melalui observasi dan wawancara, dilakukan pengumpulan data melalui catatan-catatan, laporan-laporan, arsip-arsip atau peristiwa yang terekam dan berhubungan dengan materi penelitian yang terdokumentasi pada arsip di kuncen/tetua kampung. Dalam penelitian ini dokumen dapat dijadikan bahan triangulasi untuk mengecek kesesuaian data. Sebelum mengambil data dari dokumen, memerlukan beberapa petunjuk berikut: (1) Apakah dokumen itu otentik atau palsu, (2) apakah isinya dapat diterima sebagai kenyataan, dan (3) apakah data itu cocok untuk menambah pengertian tentang sejala yang diteliti. Adapun dokumen yang diteliti dan data yang diharapkan diperoleh dari padanya antara lain:


(39)

1. Catatan untuk mendata masalah yang biasa dibahas dalam diskusi kelompok adat.

2. Program upacara adat rutin bulanan atau tahunan berkaitan dengan jenis makanan yang disajikannya dan data otentik tertulis tentang hal itupun menjadi bahan dalam penelitian ini.

3. Hasil-hasil kegiatan pembuatan seni kriya makanan dan apa yang mereka jiwai dari pelestarian budaya leluhurnya itu.

4. Foto-foto untuk memperoleh data tentang bentuk kegiatan dan isi kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga.

5. Data-data lain yang bersifat dokumen dalam penelitian ini meliputi: (1) data seni kriya modern, (2) data tentang kampung Naga, dan (3) data seni kriya penyajian makanan di masyarakat Kampung Naga.

4. Analisis Data

Data mentah yang baru dikumpulkan biasanya disebut data “lunak” (soft date), karena data tersebut berupa uraian yang kaya akan deskripsi mengenai kegiatan subyek yang diteliti, pendapatnya dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan, yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Uraian-uraian seperti itu bisanya sangat sulit untuk ditangani melalui prosedur pengolahan statistik. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana data seperti itu diolah dan disajikan sehingga diketahui maknanya.

Persoalan yang dihadapi oleh peneliti kualitatif dalam menganalisis data, yaitu tidak adanya prosedur yang baku yang dapat dijadikan pedoman atau pola


(40)

anlisis data. Setiap peneliti memiliki cara-cara khusus. Dalam hubungan ini Nasution (1938: 126) menjelaskan sebagai berikut:

Analisis memerlukan daya kreatif serta kemampuan intelektual tinggi. Lagi pula tidak ada cara tertentu yang dapat diikuti untuk mengadakan analisis, sehingga tiap peneliti harus mencari sendiri metoda yang dirasakan cocok dengan sifat penelitiannya.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Hadisubroto (1983: 20) menyatakan sebagai berikut :

…bahwa dalam analisis data kuantitatif itu metodanya sudah jelas dan pasti; sedangkan dalam analisis data, kualitatif metoda seperti itu belum tersedia. Penelitilah yang berkewajiban menciptakannya sendiri. Oleh sebab itu ketajaman dan ketepatan analisis data kualitatif ini sangat tergantung kepada ketajaman melihat data oleh peneliti serta kekayaan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki peneliti.

Analisis data kualitatif adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan dan diketahui maknanya. Menyusun data jenis ini berarti menggolongkannya kedalam pola, tema, unit atau kategori. Apabila data diperoleh dari banyak sumber, maka data yang diperoleh diseleksi dan dibanding-bandingkan agar dapat dimasukkan ke dalam salah satu unit atau kategori. Tafsiran atau interpretasi menggambarkan perspektif atau pandangan peneliti dalam menyusun dan menjelaskan unit atau kategori, mencari hubungan di antara berbagai konsep, dan memberikan makna kepada analisis unit atau kategori itu.

Analisis data yang penulis lakukan dalam penelitian ini berpedoman kepada cara-cara yang disebutkan di atas. Adapun tahapan yang dilakukan adalah member chek dan validitas.


(41)

5. Tahap Member Chek

Tahap ini dimaksudkan untuk memperoleh kredibilitas hasil penelitian. Dijelaskan oleh Nasution (1988: 112) bahwa data itu harus diakui dan diterima kebenarannya oleh sumber informasi dan selain itu data itu juga harus dibenarkan oleh sumber informan lainnya. Maka ukuran kebenaran dalam penelitian naturalistic adalah kredibilitas. Untuk maksud tersebut “member chek” dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut:

Setiap kali setelah selesai melakukan wawancara, hasil wawancara tersebut dikonfirmasikan kepada responden yang bersangkutan untuk mendapat reaksi kesesuaian atau ketidaksesuaian antara informasi yang diberikan dengan yang dicatat oleh peneliti.

Untuk memperoleh keyakinan terhadap kebenaran informasi yang dikumpulkan, sebulan setelah tahap kedua selesai peneliti ke lapangan lagi untuk meminta reaksi responden mengenai kesesuaian atau ketidak sesuaian atas informasi yang peneliti kumpulkan. Pada tahap ini peneliti telah melakukan unitisasi atau kategorisasi informasi. Konfirmasi terhadap responden ini dilakukan dalam forum pertemuan masyarakat saat makanan bernilai seni kriya itu disajikan. Proses “unitisasi” ini adalah mengkordinasikan data sehingga data mentah itu dapat ditransformasikan secara sistematis menjadi unit-unit yang dapat dikelompokkan menurut karakteristik-karakteristiknya yang terkait. Pekerjaan-pekerjaan yang perlu dilakukan dalam ”unitisasi” ini adalah: membuat batas-batas setiap unit, memilah-milah unit berdasarkan batas-batas tersebut, dan mengidentifikasikan masing-masing unit untuk keperluan analisis berikutnya.


(42)

Proses “unitisasi” tersebut dilakukan bukan saja setelah data terkumpul, akan tetapi dilakukan pula selama proses pengumpulan data. Pada dasarnya proses kategorisasi ini tidak lain dari pada memilah-milah sejumlah unit menjadi satu kategori tertentu berdasarkan karakteristik-karakteristiknya yang “mirip”.

Menguraikan (secara tertulis) kategori-kategori itu untuk memahami semua aspek yang terdapat si dalamnya sambil terus mencari hal-hal baru. Dalam menguraikan setiap kategori tersebut, peneliti harus menjelaskan hubungannya satu sama lain sehingga tidak kehilangan konteksnya.

6. Tahap Validitas

Tahap ini dilakukan untuk memperoleh derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian data yang absah (valid) adalah data yang tidak berbeda antara data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek penelitian. Untuk menetapkan keabsahan (truntworthiness) data diperlukan tehnik pemeriksaan. Pelaksanaan tehnik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan dalam menguji keabsahan data, yaitu: derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).

7. Kepercayaan (credibility)

Kepercayaan (credibility) berkaitan dengan persoalan seberapa jauh kebenaran haasil penelitian dapat dipercaya. Apakah hasil penelitian itu mengungkapkan kenyataan-kenyataan sesungguhnya. Untuk memenuhi kriteria kepercayaan (credibility) dalam penelitian ini dilakukan hal-hal berikut :


(43)

Triangulasi. Triangulasi adalah proses untuk mencek kebenaran data dengan cara membandingkan dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan, pada waktu yang berlainan, dan dengan menggunakan metoda yang berlainan (Nasution, 1983: 115). Sebagai contoh dalam penelitian ini misalnya informasi mengenai kegiatan adat Kampung Naga dari wawancara dengan kuncen dibandingkan dengan informasi yang sama yang diperoleh dari masyarakat setempat melalui wawancara, bahkan dibandingkan pula dengan data hasil observasi data peneliti mengikuti kegiatan upacara adat yang sealu dilengkapi dengan makanan khas Kampung Naga. Cara seperti ini peneliti lakukan untuk informasi lainnya selama pelaksanaan penelitian.

Pengamatan yang terus-menerus (pralanced engagement). Dari proses pengumpulan data yang telah dikemukakan sebelumnya, tampak bahwa dalam penelitian ini peneliti melakukan pengamatan dan wawancara yang terus-menerus. Dengan cara demikian peneliti dapat memperhatikan sesuatu lebih cermat, terinci dan mendalam. Selama pengumpulan data/informasi di lapangan, terinci dan mendalam. Selama pengumpulan data/informasi di lapangan, penulis sebagai peneliti dapat membedakan hal-hal yang bermakna dan tak bermakna untuk memahami gejala tertentu. Melalui pengamatan yang kontinyu, penulis sebagai peneliti dapat memberikan deskripsi yang cermat dan terperinci mengenai segala apa yang diamati. Hasil semuanya itu dituangkan dan disusun dalam catatan di lapangan (Fieldnotes).


(44)

8. Keteralihan (Transferability)

Nilai keteralihan (Transferability) ini berkaitan dengan pertanyaan : Hingga manakah hasil penelitian ini dapat diaplikasikan atau digunakan dalam situasi lain. Dalam Bab I telah dijelaskan bahwa tujuan penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kelompok adat masyarakat Kampung Naga dalam melestarikan adapt kebiasaan peninggalan para leluhurnya, yang sampai saat masih menjadi kebanggaan dan mempunyai nilai-nilai misteri yang memiliki asumsi-asumsi dapat dipertangungjawabkan. Pelestarian seni budaya tersebut khususnya mendia penyajian seni kriya penyajian makanan kelompok masyarakat Kampung Naga, merupakan satu kemungkinan yang diterapkan dalam situasi lain dengan memungkinkan penyesuaian menurut keadaan masing-masing tanpa mengabaikan asumsi-asumsi yang mendasarinya.

9. Kebergantungan (Dependability)

Pengujian kebergantungan (dependability) dilakukan dengan cara “audit trail” terhadap keseluruhan proses penelitian artinya pemeriksaan terhadap ketelitian yang dilakukan sehingga timbul keyakinan bahwa apa yang dilaporkan itu demikian adanya. Dalam penelitian ini proses “audit trail” dilakukan oleh penulis sebagai peneliti (human instrument) sebagai berikut: (1) Menyusun data mentah yang diperoleh dari wawancara dan observasi dalam bentuk catatan lapangan; (2) Menyusun unit analisis atau kategorisasi informasi dan mendeskripsikannya sebagai hasil analisis data; (3) Merumuskan tafsiran dan


(45)

kesimpulan sebagai hasil sintesis data; dan (4) Melaporkan bagaimana proses pengumpulan data yang dilakukan.

10. Kepastian (Confirmability)

Pengujian tingkat kepastian (Confirmability) dalam penelitian non kualitatif disebut dengan uji obyektivitas penelitian. Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitiannya telah disepakati banyak orang. Dalam penelitian kualitatif, uji kepastian (Confirmability) mirip dengan penelitian kebergantungan (dependability), sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan.

Apabila memperhatikan proses analisis data di atas, tampak bahwa analisis data kualitatif dengan pendekatan studi kasus itu merupakan kegiatan yang berkesinambungan yang dilakukan sewaktu data tersebut dikumpulkan. Analisis data seperti itu dimungkinkan peneliti untuk berfikir bolak-balik mengenai data yang ada dengan strategi pengumpulan data berikutnya.


(46)

BAB V

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Sesuatu akan terlihat sederhana saja, tidak punya keistimewaan, sehingga sesuatu itu diungkap sisi keistimewaannya, menurut ilmu pengetahuan sain atau disiplin ilmu lainnya. Misalkan cicak, setelah dibahas melalui ilmu pengetahuan, keistimewaan dan kemampuan-kemampuannya, maka cicak akan tampak bukan binatang biasa lagi. Demikianlah seni kriya yang menggunakan bungkus daun pisang ini, supaya keistimewaan dan nilai seni kriya terungkap dan tidak lagi dipandang sebelah mata, pada bagian ini akan dilakukan pendataan berbagai deskripsi dan keunikannya.

Sedangkan sistematika penyusunan pembahasan penelitian ini berdasarkan acuan kerangka wawancara yang telah disusun dalam tabel berikut:

Tabel 5.1

ANALISIS HASIL WAWANCARA JENIS KEMASAN SENI KRIYA MAKANAN

PADA MASYARAKAT KAMPUNG NAGA

Dilaksanakan Tangal, 3, 7, 12, 16, 19, 23, 25, 27, 30 Maret 2010

No. Materi Pertanyaan Responden Keterangan Wakil Kuncen Kalangan Tua Kalangan Muda Masya-rakat 1 Adakah sejarah tersendiri berkaitan dengan seni kriya makanan yang menggunakan bukusan daun pisang? Ada karena masalah penyajian makanan sudah menjadi tradisi sejak dulu


(47)

2

Apa fungsi seni kriya bagi masyarakat Kampung Naga? Fungsi seni kriya bagi masyarakat kampuang Naga merupakan kegiatan yang menyenangkan dan penghargaan bagi para leluhur 3 Apasajakah jenis seni kriya bungkusan makanan yang menggunakan bungkusan daun pisang yang dihasilkan masyarakat Kampung Naga ?

Timbel nasi, penganan berbungkus segi tiga, lontong lipat, lontong berbiting, dan daun pelapis piring. 4 Apakah nilai-nilai yang terkandung dalam seni kriya penyajian makanan yang menggunakan bungkusan daun pisang? Nilai-nilai yang terkandung dalam penyajian makanan merupakan penghormatan dan penghargaan bagi para leluhurnya 5 Apakah ada upaya masyarakat untuk melestarikan budaya mereka? Ada, dengan di adakannya kegiatan adat yang dilaksanakan secara turun temurun meskipun zaman sudah berkembang 6 Pada upacara adat apasaja masyarakat Kampung Upacara adapt sasisahan atau kegiatan rutinitas yang


(48)

Naga menyajikan makanan bernilai seni kriya? biasa dilaksanakan dan peringatan hari besar 7 Apakah ada upaya mereka menyampaikan nilai-nilai seni kriya pada kalangan mudanya? Ada bagaimanapun kalangan musada merupan pewaris adapt budaya yang akan melanjutkan 8 Adakah upaya generasi muda masyarakat Kampung Naga untuk mewarisi budaya pembuatan seni kriya bungkusan makanan yang menggunakan daun pisang? Ada, karena dalam segala kegiatan uapacara adat selalu diliabatkan bahkan menjadi penggerak utama dalam pelaksanaan di lapangan

A. Aspek Sejarah

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, sebenarnya ada data otentik tentang sejarah Kampung Naga dalam buku yang tersimpan di Bumi Ageung, namun pada tahun 1956, Kampung Naga ini diserang oleh DI/TII dambil mengadakan pembakaran, dan dokumen sejarah serta benda-benda pusaka ikut terbakar.

Maka kapan seni kriya makanan di Kampung Naga mulai dibudayakan tidak ada data yang jelas, namun yang sampai kepada masyarakat tentang sejarah kampung naga berikut budayanya secara garis besarnya saja, karena memang sejarah Kampung Naga ini hanya disampaikan dari lisan ke lisan.


(49)

Nenek moyang masyarakat Kampung Naga dahulu mulai membiasakan membuat kriya bungkusan makanan dengan daun pisang ini terutama bila ada acara kenduri atau resepsi atau istilah sundanya hajatan. Makanan ini dibuat pada awalnya untuk supaya acara itu terasa istimewa. Sengaja makanannnya dibuat berbeda dari hari-hari biasanya, yang dengan perbedaan ini akan terasa berbeda antara hari-hari upacara adat dengan hari-hari yang lain.

Makanan ini mereka adakan terutama dalam upacara adat yang berhubungan dengan agama seperti Maulidan dan Pringatan tahun Baru Hijriyah. Sedangkan maksud mereka mengemas makanan dengan daun pisang, selain karena memang itu bungkusan yang tersedia, namun juga karena menurut pengalaman mereka daun pisang tidak membahayakan bagi kesehatan.

Aspek lainnya mengapa dahulu mereka menggunakan daun pisang sebagai kemasan makanan, ini untuk menunjukkan kesederhanaan dan kedekatan dengan alam. Kemudian kebiasaan ini turun temurun, diajarkan dari generasi ke geenerasi, dan tetap lestari hingga hari ini.

B. Fungsi Seni Kriya Penyajian Makanan bagi Masyarakat Kampung Naga

Sebagaimana telah disebutkan di atas, nenek moyang masyarakat Kampung Naga membungkus makanan dengan daun pisang dalam upacara-upacara tertentu agar hari upacara-upacara adat itu terasa berbeda dan istimewa dari hari-hari lainnya. Demikianlah apa yang mereka pegang hingga hari-hari ini. Sedangkan fungsi yang lebih sakral yaitu untuk menghormati budaya leluhur, yaitu budaya hidup sederhana, membuat peralatan sedanya dari benda-benda yang disediakan


(50)

alam. Misalnya, ketika orang lain lebih senang nasi itu disimpan di bakul alumunium atau bakul plastik, mereka tetap cinta bila nasi itu disimpan di bakul bambu, atau di piring beralaskan daun pisang atau dalam kemasan timbel sebagai ekspresi hormat mereka pada budaya leluhur dengan cara tidak menyalahi kebiasaan mereka. Mereka yakin, leluhurnya bisa hidup baik, aman dan tenteram karena sikap hidup sederhananya.

C. Seni Kriya Makanan Berbungkus Daun Pisang di Kampung Naga

1. Daun Pelapis Piring

Beberapa orang laki-laki memakai totopong atau penutup kepala khas masyarakat Kampung Naga. Baju mereka seragam putih yang dibiarkan terbuka memperlihatkan dada. Mereka berjalan beriringan hidmat sekali menuju rumah tempat upacara adat akan diadakan. Kedua tangan masing-masing membawa tetenong, wadah dari anyaman bambu yang dibuat jarang-jarang dan berlubang. berisi piring dan makanan yang ditutupi lembaran-lembaran daun pisang, yang nantinya akan mereka gunakan untuk alas makanan sekalipun mereka makan di atas piring. Cara pengemasan begini cukup sederhana namun efeknya pada makanan akan tampak lebih cantik. Sajian cantik ini akan mereka nikmati dan nanti setelah tuntas upacara adat. Agar lebih jelas bisa dilihat pada gambar berikut ini: Dalam pembuatanya tidak terlalu rumit sebagai pelapis piring saja agar makanan tersebut/ nasi dapat di sajikan dengan mudah dan sederhana.


(51)

Gambar : 5,2 Daun Pelapis Piring

Sumber

Dep.Pariwisata Tsm, ( 2002: 67 ), Sejarah Budaya Adat Kampung Naga

Makanan di piring beralaskan daun pisang ini akan membuatnya lebih cantik. bila makanan itu nasi, maka tampilannya akan bagaikan wajah gadis berbingkai kerudung berenda-renda. Gadis berkedung seperti ini tampak lebih cantik dan manis, dan itu karena pengaruh bingkainya di sekeliling wajahnya dan seperti itu pula pengaruh alas daun pisang bagi makanan yang dialasinya.

2. Pincuk Terbuka Lebar

Keunikan cara pembungkusan ini terletak pada kemampuannya menampung makanan berkuah. Dari tengah ke tepi daun dilipat sehingga daun membentuk cekungan yang pas untuk ditahan lekukan telapak tangan. Dan wadah makanan model ini akan semakin lengkap bila sendoknya terbuat dari daun pisang. Daun pisang selebar empat jari dilipat melintang, jepit dengan telunjuk dan jari tengah salah datu sisinya, dan sisi lainnya jepit dengan ibu jari dan


(52)

telunjuk. Cukup rumit memang, namun gambar di bawah ini bisa menjelaskannya dengan baik:

Gambar 5.3 Pincuk/ Takir

Sumber Jenis Makanan,Jenis Kemasan, dan Resep Makanan Oleh Andriati (2001: 43)

Nama Makanan : Nasi Kuning/ Wuduk Nama Kemasan : Pincuk/Takir

Bahan Kemasan : Daun Pisang,diolah dengan cara dileumpeuh

Teknik : Lipat, kedua ujungnya yang dilipat-lipat diberi semat Sehingga berfungsi sebagai wadah unutk makannya Lian-lain : Makanan khusus dalam berbagai acara kenduri bisyanya Syukuran atau upacara adat tradisional.

Tampak keserasian tak terkata antara daun wadah makanan dan sendok daunnya. Kreativitas sederhana yang alami tidak tercampuri bahan-bahan berbahaya. Murah harganya dan menambah kekaguman pada indahnya alam semesta. Sisi seni lain dari pincuk terbuka lebar ini adalah perlambang untuk manusia yang selalu terbuka dan hidupnya cerah ceria. Sebuah karya seni penginspirasi agar manusia senantiasa terbuka hati, menampakkan kecerahan, dan siap menerima apapun realitas kehidupan. Seni kriya bungkusan daun pisang berbentuk pincuk adalah sebaliknya. Dia lahir dari rasa bahagia dan rasa berserah, maka yang nampak darinya adalah keceriaan dan kebahagiaan jauh dari kesan susah gelisah dan banyak masalah.


(53)

3. Lontong Terlipat.

Orang Sunda menyebut nasi kukus yang dikemas dengan kemasan ini dengan nama buras. Di atas daun pisang terbuka nasi setengah matang disimpan, kemudian kedua tepi daun tutupkan ke tengah, sedangkan kedua ujungnya dikerutkan dan dilipat ke bawah, sebelum kemudian dikukus. Dalam kemasan ini bukan hanya nasi, melinkan sayur, perutan kelapa, udang, ikan asin, atau jamur bisa dimasak dengan kemasan bentu ini, dan inilah hasilnya :

Gambar 5.4

Sumber Jenis Makanan,Jenis Kemasan, dan Resep Makanan Oleh Andriati (2001: 43)

Lontong Lipat/ Leupeut Nama Makanan : Lontong Lipat/Leupeut

Nama Kemasan : Bungkus

Bahan Kemasan : Daun pisang, diolah bersama dengan isinya (direbus) Teknik : Gulung, kedua ujungnya dilipat kebawah, bisa dua Leupeut di satukan di simpul.

Lian-laian : Makanan ringan pengganti Nasi, dibuat terutama untuk Kegiatan upacara tradisional.

Demikian rapi bentuknya, berkilauan, dan bersemu coklat setelah dikukus. Makanan di dalamnya terlindungi dengan baik dan membuatnya lebih awet. Makanan panas yang terbungkus plastik bisa membuat makanan itu cepat rusak atau basi, namun makanan dalam kemasan daun seperti ini membuatnya aman dan awet sebab sirkulasi udara tetap masuk dari celah-celahnya. Semakin tampak


(1)

yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai, kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen. setelah kuncen berdoa diiringi kepulan asap kemenyan, dilanjutkan dengan acara munjungan kepada orang tua. Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas dan di sinilah akan tampak bagaimana cara masyarakat Kampung Naga menyajikan makanan adatnya beserta jenis makanan-makanannya.

2. Upacara Muludan

Upacara adat ini diadakan pada bulan Rabiul Awwal, untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, SAW. Dalam upacara peringatan ini nyaris setiap rumah mempersiapkan makanan untuk mereka sajikan dalam upacara adat.

Melihat kenyataan ini, maka mereka tidak terlau berbeda jauh dari kebiasaan masyarakat Sunda lainnya, dan demikian pula makanan yang mereka sajikan dalam acara ini. Penganan-penganan manis dan asin juga nasi mereka sajikan dengan kemasan daun pisang.

Maka bisa dipastikan di bulan ini akan banyak dahan-dahan daun pisang yang dipenggal dan di halaman rumah akan banyak dihampari jemuran daun pisang, yang mana daun pisang itu sengaja dijemur agar saat pemakaian nanti lebih fleksibel tidak rapuh dan belah. Mereka lakukan itu sepenuh hati dengan tujuan untuk mengekspresikan kecintaan mereka terhadap Nabi Muhammad yang mereka akui sebagai panutan mereka.

3. Upacara Pertengahan Tahun

Upacara ini mereka adakan bulan Jumadilakir (Jumadil Akhir) untuk memperingati pertengahan tahun. Sama dengan memperingati upacara-upacara


(2)

lainnya, dalam upacara peringatan ini mereka menyajikan makanan yang kebanyakan menggunakan bungkusan daun pisang. Setelah kuncen atau wakil kuncen memberikan wejangan dilanjutkan dengan berdoa yang diamini oleh warga masyarakat Kampung Naga yang kemudian di akhiri dengan membuka makanan yang telah mereka persiapkan.

Jika demikian, begitu banyak upacara-upacara adat mereka, dan karenanya, dalam setahun, mereka akan sering mempersiapkan makanan untuk upacara adat. Untungnya dalam upacara pertengahan tahun ini, tidak semua warga diharuskan mempersiapkan makanan, namun hanya orang-orang tertentu yang teng telah dibagi jatah menyajikan makanan tahun itu.

4. Hari Raya Idul Fitri

Hari besar ummat Islam ini mereka rayakan juga karena pada dasarnya mereka mengaku menganut agama Islam. Sebab memang sebelumnya sama, sebulan Ramadhan penuh mereka melaksanakan ibadah shaum. Bedanya, yaitu, karena yang mereka anut adalah falsafah hidup sederhana, maka makanan yang disajikan tidak semewah masyarakat Sunda lainnya, yang biasanya berbelanja dan banyak menyajikan kue-kue dari pasar dan toko-toko, mereka tetap pada adat kebiasaannya, lebih banyak menyajikan makanan berbungkusan daun pisang.

F. Upaya Masyarakat Kampung Naga Melestarikan Budaya Seni Kriya

Makanan yang Menggunakan Bungkusan Daun Pisang.

Mempertahankan kelestarian bangsanya adalah naluri setiap makhluq hidup, dan naluri melestarikan itu berlaku pula pada adat kebiasaan mereka.


(3)

Masyarakat Kampung Naga berupaya melestarikan adat kebiasaan mereka. Mereka lestarikan upacara-upacara adatnya dan karenanya mereka lestarikan juga seni kriya makanan berbungkus daun pisang untuk kebutuhan pangan upacara-upacara itu.

Menjelang hari-hari akan diadakannya upacara adat, menjelang bulan mulud misalnya mereka sudah saling mengingatkan untuk persiapan upacara itu, agar masing-masing mempersiapkan diri untuk pembuatan makanan yang diperlukan dalam upacara adat itu. Mereka saling mengingatkan diantara tetangga dan keluarga di samping juga nantinya kuncen mengingatkan mereka ketika sampai bulan Mulud. Meskipun mereka tak menetapkan hukuman bagi orang yang meninggalkannya, namun masing-masing telah siap menjalankan kewajiban masing-masing untuk mempersiapkan makanan dan tampaknya mereka lakukan semua itu dengan penuh rela hati.

G. Upaya Pewarisan Seni Kriya Pada Kaum Muda

Memang tidak ada upaya khusus sebagaimana pendidikan formal mewariskan pengetahuan kepada genarasi mudanya. Upaya masyarakat Kampung Naga dalam mewariskan adat membuat seni kriya makanan yang menggunakan bungkusan daun pisang sambil memahamkan nilai-nilainya, mengalir secara alamiah saja. Mereka hanya mengajak anak-anaknya membantu dalam proses membuat makanan itu sekiranya anak itu sudah bisa diajak membantu.

Bahkan sebenarnya sebagian mereka ada yang tidak paham apa nilai dari seni kriya makanan yang menggunakan bungkusan daun pisang itu. hanya


(4)

peemimpin kampung atau kuncen, berupaya menghayati nilai-nilainya dan dalam upacara adat dia memberikan nasihat motifasi mengapa pembiatan seni kriya makanan yang menggunakan bungkusan daun pisang harus dilakukan. Di sinilah dia menyampaikan nilai-nilai seni kriya makanan yang menggunakan bungkusan daun pisang yang didengarkan oleh peserta upacara yang di antaranya ada anak-anak muda.

H. Upaya Kaum Muda dalam Mewarisi Seni Kriya Makanan yang

Menggunakan Bungkusan Daun Pisang

Umumnya mereka tidak secara sengaja mempelajarinya, karena memang para orang tuapun tidak dengan sengaja membuat program pengajaran pembuatan seni kriya makanan yang menggunakan bungkusan daun pisang itu. satu-satunya upaya kaum muda itu adalah mentaati perintah para orang tua mereka, karena tersebar anggapan di sana, orang yang menentang orang tua akan mendapatkan malapetaka, sebuah tambo yang sebenarnya merupakan bagian dari ajaran agama.

Namun karena banyak dari kaum muda kampung naga berdomisili di luar, maka ada pula kaum muda mereka yang tidak mewarisi kebiasaan membuat seni kriya makanan yang menggunakan bungkusan daun pisang ini. Mereka keluar ini antara lain karena ada aturan di Kampung Naga tidak boleh lebih dari empat puluh rumah.


(5)

116

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar, (2003). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

___________________,dan Suzana Alwasilah Senny. (2005). Pokoknya Menulis, Cara baru Menulis dengan Metode Kolaborasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Budiman, Kris (2005). Semiotika Sastra dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku Baik. ____________ ( 2004). Semiotika Visual, Yogyakarta: Buku Baik.

Bagus, Lorens (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Badudu, JS. dan Sutan Mohammad Zain (1994). Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Budiman, Kris (2005). Semiotika Sastra dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku Baik. Ganda Prawira, Nanang. (2008)a. Pengantar Metodologi Penelitian. Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia.

____________________. (2009)b. Pengantar Estetika, Jurusan Pendidikan Seni. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

___________________, (2009). Benang Merah Seni Rupa Modern. Bandung: CV. Bintang Warli Artika.

Ghulsyani, Mahdi, (1988). Filsafat–Sain menurut Al-Quran. Bandung: Penerbit Mizan

Gymnastiar, Abdullah (2005).30 Hari Menjemput Berkah: dari As Gym Renungan Setiap Hari Untuk Mencari Hikmah Sejati. Bandung: Khas MQ. Hartoko, Dick. (1984). Manusia dan Seni. Yogyakarya: Yayasan Kanisius.

James P. Spradley. (1997). Metode Etnografi. Yogya: PT. Tiara Wacana. Kayam, Umar. (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta : Sinar Harapan.

Mamannoor. (2002). Wacana Kritik Seni Rupa di Indonesia: Sebuah Telaah Kritik Jurnalistik dan Pendekatan Kosmologis. Jakarta: Penerbit Nuansa. Masunah, Juju dan Narawati Tati. (2003). Seni Pendidikan Seni . Bandung :


(6)

117

Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rakhmat (1990). Komunikasi Antar Budaya.

Bandung : Rosda Karya.

Nasution, S.(1992). Teknik Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nuraeni, Eka Dewi (2007). Kemasan Indah dan Penuh Makna. Bandung : CV. Citra Praya.

Prama, Gede (2005). Rumah Kehidupan Penuh Keberuntungan: Membangun Keberuntungan dengan Menyelami Diri. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Purwadarminto (1996). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Purwasito, Andrik (2002). Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah

University Press.

Sachari, Agus (2003). Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa : Desain, Arsitektur, Seni Rupa dan Kriya. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Singer, Milton (1972). The Concept of Culture. London: Collier Macmillan Publisher.

Soekanto, Soerjono. (2002). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Suara Karya (harian). Jakarta, 7 Novemver 2009.

Sugiyono (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sumardjo, Jakob.(2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Soetomo, Greg. (2003). Krisis Seni Krisis Kesadaran. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Swartz, L. Tubbs (2001). Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi.

Bandung: PT. Rosda Karya.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-Tiga. Jakarta : Balai Pustaka.

Terry Eagleton (1994) The Function of Criticism. New York: Verso.

Yudosaputra, Wiyoso. (2008). Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama, Jakarta : Yayasan Seni Visual Indonesia.