PENGEMBANGAN MODEL PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA UNTUK MEMULIHKAN SISTEM NILAI: Studi Kasus Pada Masyarakat Melayu Sambas.

(1)

ix DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

PERNYATAAN... iii

KATA PENGANTAR………... iv

PENGHARGAAN DAN UCAPAN TERIMAKASIH... v

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL………... xi

DAFTAR GAMBAR……….. xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I. PENDAHULUAN………... 1

A.Latar Belakang Masalah Penelitian………... 1

B. Rumusan Masalah Penelitian... 12

C. Tujuan Penelitian... 14

D. Manfaat Penelitian... 15

E. Asumsi Penelitian... 16

F. Kerangka Pemikiran Penelitian... 17

G. Metode Penelitian... 22

H. Lokasi dan Subyek Penelitian... 24

BAB II. KAJIAN PUSTAKA... 26

A.Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Teori Sosialisasi... 26

B.Pendidikan Anak dalam Perspektif Teori Perubahan Sosial... 34 C. Pengasuhan Anak dalam Keluarga... 51

D.Pendidikan Anak dalam Keluarga... 74

E.Komunikasi dalam Pengasuhan Anak... 85

F. Pendidikan Nilai dalam Pengasuhan Anak... 93

G.Pendidikan Anak dalam Perspektif Islam... 120

H.Keterkaitan Pendidikan Umum/Nilai dengan Model Pengasuhan Anak dalam Keluarga... 137 I. Hasil Penelitian Terdahulu... 144

BAB III. METODE PENELITIAN... 149

A. Alur Pemikiran Penelitian... 149

B. Pendekatan Penelitian………... 150

C. Teknik dan Alat Pengumpulan Data... 157

D. Lokasi dan Subyek penelitian... 159

E. Pengumpulan Data... 160


(2)

x

G.Definisi Operasional... 163

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 167

A. Hasil Penelitian dan Pembahasan... 167

1. Gambaran Umum Masyarakat Sambas... 167

a. Kondisi Geografis dan Demografis... 167

b. Kondisi Sosial Budaya... 179

c. Sistem Kekerabatan... 184

d. Falasafah Hidup dan Perkawinan... 186

e. Sistem Religi... 195

f. Kesenian... 197

g.Sistem Sosial... 199

2. Sistem Nilai Keluarga Melayu Sambas dalam Kaitannya dengan Pola Pengasuhan Anak... 201 3. Pola Pengasuhan Anak Pada Masyarakat Melayu Sambas... 242 4. Sistem Nilai Asli dan Pergeseran Nilai pada Masyarakat Melayu Sambas... 257 5. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pergeseran Sistem Nilai pada Masyarakat Melayu Sambas... 270 6. Masalah dan Hambatan Penyebab Menurunnya Kualitas Pengasuhan Anak pada Masyarakat Melayu Sambas... 287 7. Konsep Pendidikan untuk Memperbaiki Sistem Nilai di Masyarakat Melayu Sambas... 295 8. Strategi dalam Memperbaiki Sistem Nilai di Masyarakat Melayu Sambas... 303 B.Temuan Penelitian... 314

C.Pengembangan Model Pengasuhan Anak dalam Keluarga 329 V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 332

A.Kesimpulan... 332

B.Rekomendasi... 336

DAFTAR PUSTAKA... 341

LAMPIRAN... 351


(3)

xi

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Paradigma Tipe Perubahan Sosial... 50 2. Jumlah Desa/Kelurahan di Kabupaten Sambas Tahun 2007... 170 3. Penduduk Kabupaten Sambas Menurut Jenis Kelamin Tahun

2007...

172

4. Keadaan Pendidikan Penduduk Kabupaten Sambas Tahun 2007...

175

5. Indikator Keberhasilan Pembangunan Pendidikan Tahun 2007 177 6. Jumlah Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2007... 178 7. Jumlah Penganut Agama Menurut Jenis Agama Tahun 2007... 196 8. Jumlah Rumah Ibadah Menurut Jenis Agama Tahun

2007...


(4)

xii

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 21

2. Dimensi dan Isi Nilai-Moral-Norma... 109

3. Alur Metode Penelitian... 150

4. Peta Wilayah Kabupaten Sambas Tahun 2007……… 168

5. Luas Wilayah Kabupaten Sambas Menurut Kecamatan (km2) Tahun 2007... 169 6. Jumlah Curah Hujan Di Kabupaten Sambas Tahun 2007... 171

7. Struktur Organisasi Hukum Adat Melayu Sambas... 204

8. Model Modifikasi Pola Pengasuhan Anak... 330

1. Ed 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.


(5)

xiii

10.DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Sumber Data Wawancara/Responden……… 351

2. Dokumentasi Responden………... 353

3. Instrumen Penelitian... 355 4. Surat Edaran Bersama Kepala Dinas Pendidikan Kab. Sambas

Dengan Kepala Kantor Departemen Agama Kab. Sambas...

358

5. Peraturan Daerah Kabupaten Sambas Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2004 tentang Projumina...

360

6. Surat Keputusan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Nomor: 2801/H40.7/PL/2009...

390

7. Surat Permohonan Izin Mengadakan Studi

Lapangan/Penelitian Nomor: 400/50/Kesra 2009...

392

8. Surat Permohonan Izin Mengadakan Studi

Lapangan/Penelitian Nomor: 578/H40.7/PL/2009...

393

9. Surat Ijin Belajar dari Rektor Universitas Tanjungpura Nomor: 3323/H22/KP/2007...


(6)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Penelitian

Transformasi nilai terjadi dalam masyarakat dengan beragam cara dan sistem pewarisan. Setiap kelompok masyarakat memiliki cara dan variasi dalam mewariskan setiap nilai kepada generasi berikutnya. Namun, tidak semua nilai dapat diwariskan, banyak di antara nilai-nilai tersebut hilang dan menjadi cerita masa lalu, karena generasi berikutnya tidak menjadikan nilai tersebut sebagai panduan hidupnya. Di samping itu, orang tua (generasi pendahulu) tidak memiliki sistem pewarisan nilai yang ketat.

Sistem nilai umumnya ditransformasi melalui usaha pendidikan yang dilakukan generasi tua. Pendidikan tersebut ada yang bersifat formal (persekolahan) maupun pendidikan luar sekolah (nonformal dan informal). Transformasi budaya dan adat istiadat yang membangun sistem nilai tersebut, dalam keluarga ditransformasi oleh orang tua kepada anak-anaknya melalui pendidikan informal. Keluarga melakukan transformasi melalui pola asuh yang dilakukan. Pola asuh tersebut menentukan corak dan ragam prilaku anak yang pada gilirannya menjadi cermin transformasi nilai keluarga tersebut. Pengasuhan keluarga pada anak pada gilirannya menjadi faktor penentu dalam menentukan transformasi sistem nilai dalam masyarakat tersebut.

Transformasi nilai berdampak pada terjadinya perubahan-perubahan tatanan sosial dan nilai yang ada di suatu masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi dalam bentuk asimilasi dan disimilasi nilai lama menjadi


(7)

2 nilai-nilai yang dianggap baru. Perubahan nilai tersebut dapat terjadi dalam bentuk yang positif, namun bisa juga perubahan terjadi kenegatif. Sebagian masyarakat kita beranggapan bahwa nilai-nilai baru dipandang lebih baik dibandingkan dengan nilai-nilai lama, terutama perubahan yang datangnya dari luar daerah bahkan luar negara. Sebaliknya, bagi sebagian masyarakat yang lain, nilai-nilai lama dianggap lebih baik dan nilai baru dipandang dapat merusak tatatan nilai lama. Masalahnya, nilai-nilai baru itu dianggap dapat menghilangkan identitas masyarakat, karena tidak berakar dari tradisi dan sistem nilai masyarakat tersebut. Sehingga menimbulkan keresahan masyarakat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di tengah masyarakat, bukan hanya disebabkan ketidaksiapan masyarakat terhadap perubahan tersebut, melainkan karena perubahan tersebut tidak membawa perubahan ke arah lebih baik dari sisi nilai dan norma masyarakat.

Menurut Yunus (1990:263) pertentangan antara nilai lama dan nilai baru, misalnya di suku Melayu Minangkabau, telah terjadi sejak awal abad ke-19. Perang Padri di Minangkabau merupakan bentuk pertentangan antara nilai lama dengan nilai baru yang menjelma menjadi persoalan politik. Ketika itu kaum baru melihat persoalan adat sudah bersatu dengan agama sehingga mereka menganggap perlu melakukan reformasi, berupa pemurniaan ajaran Islam, dan hal ini mendapatkan penentangan dari golongan tua (lama).

Pertentangan ini menyebabkan terjadinya tatanan sosial masyarakat Melayu Minangkabau dan berubahnya sistem pendidikan, yang semula hanya mengajarkan pendidikan agama, kini diajarkan pula pengetahuan umum di


(8)

3 sekolah-sekolah agama. Reformasi ini pula yang menyebabkan seorang anak dapat mewarisi kekayaan yang merupakan hasil usaha ayahnya.

Sesungguhnya, menurut Yunus (1990:264) persoalan modernisasi bagi masyarakat Melayu Minangkabau bukan merupakan hal yang baru, namun sudah terjadi sejak lama. Namun demikian, sebagaimana kebanyakan modernisasi di banyak etnis di Indonesia, kemajuan pendidikan, sebagai tanda dari modernisasi, telah menyebabkan anak muda etnis Melayu merantau dan meninggalkan tanah kelahirannya. Pada gilirannya mereka kembali ke daerahnya, mereka berani mengkritik adat istiadat yang dianut para leluhurnya. Dengan kata lain, perubahan atau pergeseran nilai yang terjadi dalam masyarakat Melayu Minangkau tidak dapat dilepaskan dari perubahan dan orientasi modernisasi yang terjadi secara global.

Perubahan global terjadi terutama karena pandangan (ideologi) dunia terhadap pembangunan yang menuntut terjadinya perubahan-perubahan yang menjadi prasyaratnya. Suwarsono dan Alvin (2000: 4) mencatat berbagai perubahan terjadi karena pandangan modernisasi dalam berbagai belahan dunia, terutama negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Berdasarkan pandangan tersebut paling tidak terdapat tiga jenis perspektif tentang perubahan dunia dalam konteks pembangunan, yakni perspektif modernisasi, perspektif dependensi, dan perspektif sistem dunia. Umumnya, negara-negara ketiga yang selama ini tereksploitasi bangkit untuk berpijak secara mandiri menganut paham pembangunan dependensi. Oleh karena itu, paham ini memberikan saran kepada


(9)

4 dunia ketiga untuk melepaskan hubungan dengan negara-negara Barat yang telah terlebih dahulu menghembuskan pandangan modernisasi.

Modernisasi telah mengubah tatanan masyarakat dunia ketiga untuk bekerja lebih keras agar dapat bersaing dengan negara-negara maju. Modernisasi, di Indonesia, disejajarkan dengan pembangunanisme, suatu gerakan membangun di berbagai aspek dan atas nama pembangunan masyarakat harus berkorban bahkan memberikan kepemilikan kekayaan atau tanah. Atas nama pembangunan, pemerintah demikian perkasa untuk memaksa hak-hak rakyat. Di lain pihak secara perlahan, namun pasti masyarakat mengalami perubahan pola kehidupan, dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri. Lahan-lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan industri yang dianggap menjanjikan penyerapan tenaga kerja lebih banyak. Namun ternyata yang berubah bukan sekadar mata pencaharian, namun pola kebudayaan industri telah mengubah kebiasaan hidup masyarakat bertani.

Pola hidup bertani sudah tidak diminati lagi di Indonesia, karena dianggap tidak menjanjikan lagi. Masyarakat kebanyakan lebih memilih menjadi buruh pabrik dan menjadi instrumen dari sebuah mata rantai sistem produksi. Sayangnya semua perubahan tersebut tidak dihitung oleh pemerintah, yang terjadi pemerintah membiarkan setiap perubahan yang terjadi, termasuk secara fisik alih fungsi lahan pertanian. Padahal tidak setiap kegiatan industri memberi keuntungan secara jangka panjang. Kebergantungan masyarakat terhadap industri menyebabkan pola hidup modern menjadi bagian tak terpisahkan dari mereka. Hampir di setiap kota di Indonesia, terutama kota-kota besar mengalami ”alih fungsi kebudayaan” dan pola hidup masyarakatnya menjadi masyarakat metropolitan. Mereka


(10)

5 menghendaki keserbamudahan dalam memperolah banyak hal, terutama dalam mendapatkan pendapatan. Budaya instan ini merupakan efek yang ditimbulkan dari modernisasi yang berkembang di Indonesia.

Perubahan sistem nilai tersebut, pada masyarakat Melayu Sambas terjadi karena secara geografis masyarakat Melayu Sambas berbatasan dengan wilayah negara lain, yaitu Malaysia dan Brunei. Kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak dipengaruhi dan diilhami oleh budaya Melayu Malaysia, terutama kehidupan ekonomi negara tersebut yang sudah lebih maju, dibandingkan dengan pola dan kehidupan negara Indonesia. Bagi masyarakat Melayu Sambas yang bekerja di negeri Jiran, ringgit Malaysia atau dolar Brunei jauh lebih berharga dan berarti bagi kehidupan mereka daripada rupiah Indonesia. Terutama masyarakat Melayu yang bertempat tinggal di daerah-daerah perbatasan. Karena produk yang dibeli oleh orang Aruk dan orang Sajingan sampai saat ini memang lebih banyak produk dari Malaysia, sebab barangnya lebih murah harganya, lebih banyak, lebih mudah didapat dan apa saja yang kita cari ada di Malaysia, apalagi orang Aruk dan Sajingan belanjanya di Pasar Biawak Kucing. Karena Pasar Biawak lebih dekat dengan Aruk hanya berjarak kurang lebih 500 meter saja. Di samping itu juga pada umumnya orang Aruk dan Sajingan bekerjanya di Malaysia, sehingga uang yang dipakai untuk berbelanja juga menggunakan uang ringgit (Pabali, 2009:31). Begitu juga bagi masyarakat perbatasan yang lain seperti masyarakat Jagoi Babang dan masyarakat Badau Kapuas Hulu.

Oleh karena itu, bagi sebagian besar masyarakat Melayu Sambas meninggalkan tradisi lama, sebab ketergantungan ekonomi mereka bukan ke


(11)

6 negeri sendiri (Indonesia). Inilah merupakan salah satu faktor penyebab perubahan nilai di masayarakat Melayu Sambas.

Perubahan nilai pada masyarakat Melayu Sambas juga terjadi karena berbagai pergesekan budaya dengan etnis lain yang datang ke wilayah ini, terutama dari pulau Jawa. Secara umum, masyarakat Melayu Sambas memiliki tingkat ekonomi yang lebih rendah, bahkan miskin dibandingkan ekonomi masyarakat pendatang atau masyarakat etnis Cina. Persaingan ini memicu kecemburuan sosial dan berujung pada konflik yang tidak bisa diselesaikan secara hukum positif. Peristiwa konflik etnis tahun 1999 antara masyarakat etnis Melayu Sambas dengan etnis Madura antara lain disebabkan oleh pergesekan budaya, disamping disparitas kehidupan ekonomi. Konflik tersebut telah mengubah kehidupan mereka dalam mendidik anak-anaknya. Anak-anak mereka dididik dalam pola pendidikan keluarga dengan mewariskan rasa dendam antar-sesama etnis. Mereka menyimpan barang-barang yang digunakan sewaktu berperang dengan etnis Madura tersebut, seperti tengkorak, pedang, baju dan lain-lain.

Sebagaiman dikemukakan Yunus (1990: 149) penyebaran masyarakat Melayu ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk juga ke negara lain di Asia Tenggara disebabkan oleh dua aspek. Pertama, keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaan tanpa menggunakan tanah-tanah yang telah ada. Hal ini berhubungan dengan kondisi bahwa seorang anak laki-laki tidak memperoleh hak tanah warisan untuk kepentingan dirinya. Kedua, adanya perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang yang merasa dikalahkan akan meninggalkan kampung dan keluarga serta menetap di tempat lain.


(12)

7 Pandangan hidup masyarakat sebuah wilayah akan menentukan bagaimana pola pewarisan nilai yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Pada masyarakat tradisional pola pewarisan nilai dipandang lebih ketat dibandingkan dengan pola pewarisan nilai masyarakat liberal. Pada masyarakat liberal nilai yang dianggap tinggi adalah kemampuan beradaptasi dengan informasi baru dan pengetahuan baru. Sementara itu, pada masyarakat tradisional kemampuan mempertahankan pola-pola lama justru dianggap sebagai sebuah keberhasilan.

Demikian pula nilai adat, budaya, dan nilai agama akan berpengaruh dalam menetapkan pola pengasuhan anak dalam keluarga. Nilai budaya dan agama biasanya menjadi faktor dominan bagi seseorang dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua yang berpandangan bahwa nilai agama dan nilai sosial lebih penting daripada faktor material akan mewariskan prinsip dan sikap hidup yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya yang dianutnya dibandingkan dengan sikap-sikap yang sifatnya materialisme. Bahkan dalam beberapa segi, pandangan hidup yang didasarkan pada ajaran agama bersifat transenden dan jauh memandang ke depan, bukan hanya untuk kehidupan seseorang di dunia, namun juga di akhirat kelak. Berbeda dengan keluarga yang mengarahkan anaknya pada kesuksesan hidup dunia semata yang ukurannya materi (fisik) belaka, mereka akan mengajarkan anaknya untuk mendapatkan harta sebanyak mungkin dengan berbagai cara. Keluarga seperti ini biasanya menjadikan harta dan status sosial sebagai ukuran keberhasilan keluarga.

Sistem kekerabatan menentukan dari pihak mana pola pewarisan terjadi, apakah dari pihak keluarga bapak atau dari pihak keluarga ibu. Dalam kebanyakan


(13)

8 masyarakat Indonesia pola pewarisan dari pihak bapak dipandang lebih dominan daripada pewarisan dari pihak keluarga ibu. Namun, pola demikian tampak dalam pewarisan yang sifatnya material, lain halnya dengan pewarisan nilai, pihak ibu, mengingat peran dan fungsi domestik ibu, lebih banyak memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.

Pengasuhan anak merupakan tugas keluarga, adapun pendidikan formal merupakan implikasi lain dari sebuah sistem sosial dan pendidikan yang ada di masyarakat. Hadirnya pendidikan formal maupun nonformal bukan berarti tugas keluarga dalam mendidik dan pengaruh anak-anak menjadi hilang. Tugas mendidik dan mengasuh anak oleh keluarga tetap lestari selama masyarakat kita memandang perlunya pewarisan nilai kepada generasi berikutnya.

Pengasuhan anak merupakan keunikan budaya suatu masyarakat. Oleh karena itu pola pengasuhan akan berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat lain. Keluarga dalam suatu masyarakat melakukan pengasuhan dengan pola yang relatif sama, memberikan dasar yang sama dalam pembentukan keperibadian anak, sehingga terbentuklah keperibadian etnik. Ini berarti bahwa orang –orang yang berasal dari suatu kelompok etnik akan memiliki sikap mental dan keperibadian serta pola perilaku yang tidak berbeda. Selanjutnya, melalui pengasuhan itu budaya suatu masyarakat dilestarikan dan diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, pendidikan informal (keluarga) melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan sepanjang hayat (life long education). ( Adiwikarta, 2009: 4-5).


(14)

9 Sekaitan ini, Soelaiman (1994: 27) menyatakan bahwa orang tua berfungsi sebagai mediator atau perantara antara anak dan masyarakat dalam memberikan saringan, menyeleksi dan menafsirkan kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang ada di sekitarnya. Orang tua tidak hanya dapat menyampaikan peristiwa yang ada di masyarakat, tetapi dia harus menyeleksinya dan menafsirkan sesuai dengan pemahaman dan kebaikan anak-anaknya. Banyak peristiwa dan kebudayaan di sekitar kita yang tidak baik diserap begitu saja, peran orang tua dalam menyaring dan menafsirkan kebudayaan tersebut menjadi demikian penting. Karena keluarga merupakan lingkungan belajar bermasyarakat bagi anak-anak dalam mengenal aneka ragam peran dan status sosial yang dimiliki warga masyarakat, termasuk persiapannya sebagai ayah dan ibu di kemudian hari.

Pewarisan nilai merupakan salah satu fungsi keluarga di samping fungsi yang lainnya. Untuk dapat terjadi pewarisan nilai, keluarga harus membangun sistem komunikasi yang intensif. Sistem nilai ini akan berjalan secara baik apabila masing-masing pihak menyadari peran dan fungsinya dalam keluarga.

Pendidikan dalam keluarga tidak berakhir pada saat anak menyelesaikan masa balitanya. Pada saat anak mencapai usia sekolah pun, keterlibatan keluarga dalam pendidikan anak berjalan terus. Pada saat itu keluarga, sebagai pendukung utama bagi pendidikan formal anak-anaknya, melalui dua peran penting, yaitu (1) memfasilitasi pendidikan anak sejak Taman Kanak-Kanak sampai seleksi Pendidikan Tinggi, (2) membimbing belajar, terutama pada saat Pendidikan Dasar. Banyak studi menunjukkan bahwa mutu keberhasilan anak di sekolah amat


(15)

10 ditentukan oleh kualitas keluarga beserta kualitas dukungan yang diberikannya. (Adiwikarta, 2009: 5).

Dalam konteks ini, Lawang (1985) dalam Umberan (1996:29) menyatakan karakteristik keluarga yang perlu diperhatikan berikut ini.

1. Keluarga terdiri atas orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan, ikatan darah dan adopsi.

2. Para anggota suatu keluarga bisanya hidup bersama-sama dalam satu rumah dan mereka membentuk satu rumah tangga (house hold). Kadang-kadang dalam satu rumah tangga terdiri atas pasangan suami isteri dan dan keluarga lainnya.

3. Keluarga itu merupakan satu kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan saling berkomunikasi, yang memainkan peran suami isteri, bapak dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, peran saudara dan saudari. Peran-peran ini erat kaitannya dengan tradisi masyarakat setempat, dan perasaan-perasaan yang muncul dari pengalaman keluarga itu.

4. Keluarga itu mempertahankan suatu kebudayaan bersama, yang sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang lebih luas. Dalam hal ini Kebudayaan Melayu Sambas, misalnya sama dengan kebudayaan Melayu lainnya.

Dalam hal ini penyampaian benda-benda budaya atau peristiwa budaya dari satu angkatan kepada angkata lain merupakan fungsi pelestarian (fungsi konservasi) dalam pendidikan. Dengan cara ini pendidikan melakukan proses pengawetan kebudayaan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat sehingga lahir


(16)

11 sebuah tradisi dan standar kehidupan yang relatif sama. Oleh karena itu, Soelaeman (1994:81) membagi 10 fungsi keluarga, yaitu fungsi edukasi, fungsi sosialisasi, fungsi proteksi, fungsi afeksi, fungsi religius, fungsi ekonomis, fungsi rekreasi, dan fungsi biologis.

Masyarakat Melayu Sambas sebagai salah satu etnis yang ada di Indonesia memiliki pola yang khas dalam melestarikan nilai-nilai keluarga. Pandangan hidup, kekerabatan, adat-istiadat, sistem sosial, dan pendidikan keluarga merupakan faktor-faktor yang menentukan pola pengasuhan dalam keluarga. Berdasarkan penelitian Umberan (1995:76) kesibukan bekerja kedua orang tua masyarakat Melayu telah memungkinkan kehidupan anak-anak mereka terlantar, tidak terdidik secara baik dan hubungan di antara anggota keluarga menjadi rengggang dan kurang harmonis. Pola pengasuhan ini dilandasi oleh nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Melayu Sambas yang mayoritas beragama Islam. Nilai-nilai tersebut digambarkan dalam kehidupan keluarga dan pola hubungan di antara anggota keluarga dan antara anggota keluarga dengan masyarakat. Pola pengasuhan ini bermuara pada tujuan agar pada satu sisi lestarinya nilai-nilai lama (baik) yang menjadi karakteristik masyarakat Melayu Sambas dan pada sisi lain generasi berikutnya memiliki kemajuan dan dapat berkiprah dalam masyarakat yang lebih luas.

Sistem nilai yang tersirat dan tersurat dalam pola pengasuhan masyarakat Sambas menarik untuk dikaji. Selain karena penelitian seperti ini belum pernah dilakukan para peneliti terdahulu, kajian akademik terhadap sistem nilai pengasuhan akan memungkinkan kuatnya argumentasi pelestarian pola


(17)

12 pengasuhan di tengah terpaan globalisasi yang memperok-porandakan budaya masyarakat kita. Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan sebagai upaya mengkaji keunggulan lokal (local genius) tentang basis nilai dan norma yang terdapat dalam pola pengasuhan anak masyarakat Melayu Sambas. Basis nilai dan norma menempati posisi penting dalam struktur masyarakat tradisional dan kini eksistensinya dipertaruhkan karena berbagai desakan perubahan budaya di sekitarnya.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Pokok permasalahan penelitian ini ialah kurangnya perhatian orang tua terhadap pengasuhan anak-anaknya. Padahal keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama bagi anak memberikan pengaruh yang besar dalam pola pengasuhan anak. Kondisi keluarga sekarang ini tidak lagi sepenuhnya berada di bawah pengaruh orang tua secara keseluruhan, karena alat kominikasi yang semakin cangkih, seperti televisi, telepon genggam (HP) dan internet telah memberikan pengaruh kepada anak-anak di dalam keluarga. Masalah tersebut semakin diperparah dengan semakin sibuknya ayah dan ibu dalam pekerjaannya masing-masing sehingga pengasuhan anak-anak diserahkan kepada orang lain, seperti nenek, bibi, saudaranya, pembantu dan orang yang dipercaya. Karena itu, dalam perilaku anak banyak dipengaruhi oleh perilaku orang lain dan tayangan televisi dibandingkan dengan pengaruh ayah dan ibunya.

Selanjutnya, ditambah lagi ketika anak berada di luar lingkungan rumah, mereka bertemu dengan berbagai perilaku, seperti pergaulan bebas dikalangan remaja. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya pergeseran nilai


(18)

13 khususnya pada anak-anak dan umumnya pada masyarakat. Untuk itu perlu pemecahannya melalui rumusan pengembangan model dalam pengasuhan anak dalam keluarga, sehingga perilaku anak, orang tua dan masyarakat memjadi baik.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan fokus masalah dalam penelitian ini, yaitu apakah yang menyebabkan terjadinya pergeseran sistem nilai pada masyarakat Melayu Sambas kearah yang menghawatirkan? Untuk menjawab masalah tersebut diperlukan langkah-langkah dan strategi-strategi yang dapat dijadikan solusi dalam memulihkan pergeseran sistem nilai di masyarakat. Untuk itu diperlukan pengembangan model pengasuhan anak dalam keluarga yang sesuai dengan kondisi anak, keluarga dan masyarakat.

Permasalahan tersebut selanjutnya dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan di bawah ini.

Pertama, pergeseran sistem nilai seperti apakah yang terjadi pada masyarakat Melayu Sambas dalam kaitan pengasuhan anak dalam keluarga? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti merumuskan pertanyaan operasional berikut ini:

1) Bagaimana sistem nilai keluarga Melayu Sambas dalam kaitannya dengan pola pengasuhan anak?

2) Bagaimana sistem nilai asli dan pergeseran nilai saat ini pada masyarakat Melayu Sambas?


(19)

14 3) Faktor-faktor apa yang paling berpengaruh terhadap terjadinya

pergeseran sistem nilai di masyarakat Melayu Sambas?

Kedua, pengasuhan anak dalam keluarga seperti apakah yang seharusnya dilakukan orang tua dan calon orang tua di masyarakat Melayu Sambas? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti rumuskan dalam bentuk pertanyaan operasional berikut ini:

1) Bagaimana konsepsi pendidikan yang paling tepat untuk memperbaiki sistem nilai di masyarakat Melayu Sambas?

2) Strategi apa yang paling tepat dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem nilai di masyarakat Melayu Sambas?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini mendeskripsikan strategi pemulihan sistem nilai melalui pengasuhan anak pada masyarakat Melayu Sambas. Tujuan tersebut disusun dalam bentuk langkah-langkah praktis yang dapat digunakan oleh para orang tua dan calon orang tua dalam pengasuhan anak di dalam keluarga. Adapun tujuan khususnya yaitu untuk mengetahui, mendesskripsikan, menganalisis dan menemukan:

Pertama, pergeseran sistem nilai yang terjadi pada masyarakat Melayu Sambas dalam kaitannya dengan pengasuhan anak dalam keluarga yang mencakup:

1) Sistem nilai keluarga Melayu Sambas dalam kaitannya dengan pola pengasuhan anak.


(20)

15 2) Sistem nilai asli dan pergeseran nilai saat ini pada masyarakat Melayu

Sambas.

3) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya pergeseran sistem nilai pada masyarakat Melayu Sambas.

Kedua, pengasuhan anak dalam keluarga yang seharusnya dilakukan orang tua dan calon orang tua untuk memperbaiki sistem nilai di masyarakat Melayu Sambas yang mencakup:

1) Konsep pendidikan yang tepat dikembangkan untuk memperbaiki sistem nilai dalam pengasuhan anak di keluarga pada masyarakat Melayu Sambas.

2) Strategi dan langkah yang dapat diangkat dalam pengembangan model pengasuhan anak di keluarga untuk memperbaiki sistem nilai pada masyarakat Melayu Sambas.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat bersifat teoretik dan empirik. Secara teoretik penelitian ini bermanfaat dalam rangka mengembangkan bidang keilmuan pendidikan nilai terutama dalam kaitannya dengan pola pengasuhan anak pada sebuah masyarakat Melayu. Manfaat ini didasarkan pada kenyataan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan orang tua dalam pengasuhan anak akan menentukan masa depan anak tersebut. Sebagai sebuah sistem nilai pola pengasuhan anak berdampak positif bagi perkembangan dan masa depan anak. Sistem ini harus dilestarikan demi terjaganya transformasi nilai pada generasi muda pada sebuah masyarakat. Penelitian seperti ini masih dirasakan langka sehingga kehadiran


(21)

16 peneliti ini sangat bermanfaat bagi upaya kajian akademik terhadap sistem nilai masyarakat yang sudah berlangsung lama dan saat ini mulai tergerus karena berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Secara empirik penelitian ini berkontribusi pada penguatan sistem lama dan strategi pemertahanan serta pemulihan pola pengasuhan yang ada di masyarakat Melayu Sambas. Sistem sosial yang tergerus karena berbagai faktor harus direservasi dengan berbagai upaya termasuk upaya akademik sehingga keyakinan akan pentingnya nilai-nilai pola pengasuhan anak akan semakin terkuatkan. Penelitian ini bermanfaat sebagai salah satu strategi dalam melestarikan sistem nilai yang ada di masyarakat Melayu Sambas. Melalui penelitian ini diharapkan lahir kesadaran secara empirik di masyarakat Melayu Sambas atas nilai-nilai lama yang luhur yang selama ini mereka kesampingkan karena alasan faktor ekonomi dan pragmatisme hidup.

E. Asumsi Penelitian

Penelitian ini dilandasi oleh asumsi-asumsi berikut ini.

1). Sistem nilai dalam keluarga Melayu Sambas berkaitan dengan pola pengasuhan anak. Semakin liberal pola pengasuhan keluarga dilakukan terhadap anak akan semakin bebas dan longgar anak terhadap nilai.

2). Sistem nilai asli (lama) mengalami pergeseran nilai pada masyarakat Melayu Sambas disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor longgarnya pola pengasuhan, faktor ekonomi/kemiskinan, longgarnya pendidikan agama dan longgarnya adat-istiadat. Ini diprediksi merupakan penyebab terjadinya pergeseran nilai-nilai lama dalam masyarakat Melayu Sambas.


(22)

17 3). Konsep pendidikan yang tepat diperlukan untuk memperbaiki sistem nilai di masyarakat Melayu Sambas. Pola pendidikan yang berbasis pada nilai lama masyarakat Melayu Sambas yang agamis dan tradisi yang sarat dengan muatan-muatan nilai.

4). Diperlukan strategi yang paling tepat untuk memperbaiki sistem nilai pada masyarakat Melayu Sambas. Strategi yang disusun berdasarkan penggalian strategi lama yang diadaptasi berdasarkan tuntutan dan tantangan saat ini sehingga tidak meninggalkan esensi perkembangan zaman. Perpaduan antara dua kondisi ini akan memberikan perspektif terhadap realitas masa depan yang dikehendaki masyarakat Melayu. Masa lalu yang unggul dan tergerusnya budaya lama sehingga saat ini memprihatinkan harus menjadi pertimbangan dalam menentukan strategi rehabilitasi budaya dan sistem nilai.

F. Kerangka Pemikiran Penelitian

Pengasuhan merupakan proses pendidikan informal yang dilakukan keluarga dalam rangka mewujudkan fungsinya. Fungsi keluarga dimaksud adalah mendidik dan mentransformasikan nilai-nilai yang dianut orang tua kepada anaknya. Berdasarkan teori sosialisasi keluarga harus menjadi institusi yang mengantarkan anak-anak pada pemahaman keberadaan masyarakat sehingga mereka dapat hidup sebagai anggota masyarakat. Pengasuhan telah menjadi tradisi pada keluarga yang memandang anak sebagai amanah Allah. Anak bukan hanya penerus generasi, namun juga kepercayaan yang harus ditunaikan dengan cara mendidik dan membesarkan sesuai dengan fungsi manusia di muka bumi ini.


(23)

18 Pengasuhan, dengan demikian, berproses secara alamiah, terjadi secara tradisi dan dilandasi oleh kepentingan yang panjang dan luas.

Di tengah masyarakat kita, dijumpai model pengasuhan anak yang beragam, seiring dengan berkembangnya interaksi orang tua dan anak, terutama semakin berkurangnya peran ibu dalam keluarga. Dalam model pengasuhan tradisional, ibu merupakan sosok yang setiap saat menjadi pelindung bagi anak-anaknya dibandingkan dengan peran seorang bapak. Pembagian peran antara ibu dan bapak, baik di luar rumah maupun secara domestik, menempatkan ibu sebagai orang tua yang selalu dekat dengan anak. Namun, seiring perkembangan dan peran ibu yang juga berkiprah di luar rumah, pola pengasuhan anak pun mulai berubah. Kini anak-anak diasuh oleh orang lain (pengaruh) di luar ibu dan bapak, mengingat berbagai kesibukan yang dialami oleh orang tua di luar rumah. Pada gilirannya, pola pengasuhan tersebut terjadi secara melembaga melalui lembaga-lembaga pengasuhan atau pendidikan. Namun, demikian, tetap saja peran orang tua dalam mendidik anak tidak dapat dilepaskan, bahkan mendapatkan banyak tantangan, mengingat gelombang perubahan yang semakin deras dalam kehidupan seorang anak.

Pengasuhan tidak dilepaskan dari peran keluarga di dalamnya. Bagaimanapun perubahan yang terjadi, keluarga, khususnya di Indonesia, memiliki fungsi dalam mendidik anak. Sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama yang beragama Islam, menempatkan keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama dalam mendidik anak-anaknya. Bagaimana anak hidup di masyarakat merupakan cermin bagaimana keluarga mendidik mereka.


(24)

19 Oleh karena itu, pola pengasuhan rupanya tidak hanya dapat dilakukan berdasarkan pada rutinitas dan ritualitas semata, melainkan harus mendapatkan sentuhan dari aspek pendidikan, terutama karena tantangan saat ini membutuhkan adanya terobosan dalam pendidikan keluarga.

Pengaruh keluarga dapat saja hilang apabila orang tua tidak melakukan pemantauan terhadap perkembangan anak, terutama dalam hal pergaulan dan interaksi dengan masyarakat sekitar. Kita memahami bahwa dibandingkan dengan kondisi keluarga pengaruh dari luar keluarga jauh lebih besar dan memungkinkan anak mendapatkan panutan lain di luar keluarga. Hal ini terjadi pada masyarakat Melayu, tradisi pengaruhan yang selama ini berlangsung berubah karena berbagai tantangan baik secara eksternal, maupun internal dalam keluarga itu sendiri.

Berubahnya pola pengasuhan dalam keluarga memungkinkan berubahnya sistem nilai di masyarakat. Pola pengasuhan akan kalah dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang bersifat pragmatis, seperti ekonomi dan sosial. Pada masyarakat Melayu Sambas perubahan tersebut terjadi karena banyak faktor, baik yang internal maupun secara eksternal. Secara internal, kesibukan kerja dan reposisi peran ibu mempengaruhi pola kehidupan keluarga. Di samping itu, secara eksternal pengaruh ekonomi dan perlombaan memperbaiki hidup dari aspek ekonomi telah mengesampingkan nilai-nilai yang sudah tertanam sejak lama dalam keluarga. Faktanya, nilai-nilai yang tertanam dalam keluarga berubah dan hilang manakala individu dihadapkan pada kebutuhan pragmatik.


(25)

20 Berubahnya tatanan hidup masyarakat Melayu Sambas tidak terlepas dari perubahan global pembangunan, di mana kemajuan material menjadi ukuran bagi kemajuan seseorang. Nilai-nilai kemajuan yang diletakkan pada aspek materi telah menyebabkan masyarakat berlomba-lomba mengumpulkan materi. Nilai-nilai sosial, adat-istiadat, bahkan agama dianggap tidak lebih penting dari tercukupinya kehidupan material. Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat Melayu secara umum disebabkan oleh disparitas ekonomi yang senjang dibandingkan dengan etnis-etnis lain. Sementara itu, karena geografis yang berbatasan, mereka memperoleh kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan, tanpa mensyaratkan keterampilan khusus dan tingkat pendidikan. Berlomba-lombalah mereka menjadi tenaga kerja di perusahaan-perusahaan perkebunan Malaysia dan Brunei Darussalam. Mereka tidak lagi memandang penting pendidikan, mengingat selama ini pendidikan dianggap tidak memberikan jaminan terhadap kelayakan hidup mereka.

Pola pengasuhan yang intens di masyarakat Melayu, kalau demikian, tidak akan dapat berarti mengingat terjadi mutualis antara orang tua dan anak-anak untuk menjadi komponen produksi yang menghasilkan ekonomi keluarga. Pola pengasuhan mereka akan mengubah posisi anak menjadi instrumen ekonomi keluarga. Inilah kondisi yang memprihatinkan masyarakat Melayu sekaligus mengubah pola hidup dan sistem nilai masyarakat selama ini.

Dengan melihat fakta dan realitas demikian perlu dipikirkan dan dilakukan kajian mengenai relevansi konsep pendidikan keluarga terutama dalam konteks pengasuhan anak. Konsep pendidikan keluarga yang benar-benar sesuai dengan


(26)

21 kebutuhan keluarga bukan hanya mengokohkan peran dan fungsi keluarga namun juga akan merevitalisasi nilai-nilai keluarga yang pada gilirannya akan dibawa ke tengah masyarakat. Dalam konteks ini revitalisasi harus dilakukan dengan cara memulihkan nilai-nilai pendidikan dalam keluarga dan memapankan peran orang tua. Proses pemilihan ini harus didasarkan pada kajian terhadap nilai-nilai lama yang masih dianggap relevan untuk dilestarikan dan peninjauan aspek pendidikan yang berperan penting dalam memapankan sebuah tradisi pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kerangka penelitian ini dapat digambarkan melalui bagan berikut ini.

Berdasarkan gambar kerangka pemekiran di atas dapat dijelaskan beberapa konsep berikut ini :

1. Pengasuhan anak menentukan masa depan kehidupan masyarakat. GAMBAR 1 KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN

KERENTANAN M ASYARAKAT

M ASA DEPAN M ASYARAKAT YANG LEBIH BAIK M ODIFIKASI

POLA ASUH (M ODEL) POLA ASUH

TRADISIONAL

PERGESERAN NILAI SITUASI KEHIDUPAN LINGK.

GEOGRAFIS EKONOM I PENDIDIKAN A G A M A NILAI/ ADAT

PENGARUH GLOBAL


(27)

22 2. Pola asuh pada masyarakat melayu Sambas berlangsung secara tradisional yang dipengaruhi oleh sistem nilai/adat, agama, lingkungan giografis, kondisi ekonomi, dan tingkat pendidikan orang tua.

3. Pola asuh tradisional mengalami pergeseran akibat dari pergeseran nilai, perkembangan situasi dan pengaruh lingkungan global.

4. Pergeseran pola asuh melahirkan kerentanan pada masyarakat.

5. Untuk mewujudkan masyarakat masa depan yang lebih baik perlu modifikasi pola asuh (model pola asuh).

G. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Kirk dan Miller (1986:9) sebagaimana dinyatakan ulang Moleong (2002: 3) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.

Masalah yang ditetapkan dalam penelitian ini berkaitan dengan rendahnya kemampuan para orang tua dalam pengasuhan anak. Mengingat karakteristik masalah yang berkaitan dengan berbagai aspek sehingga memerlukan pendalaman serta kajian yang mendalam dan terfokus, maka pradigma yang digunakan adalah naturalistik dengan pendekatan kualitatif.

Penelitian ini disebut kualitatif, sebab menurut Nasution (1988: 18) ”sifat data yang dikumpulkan bercorak kualitatif”, tidak menggunakan alat-alat ukur. Sedangkan bila disebut naturalistik, karena situasi lapangan penelitian bersifat


(28)

23 ”natural” atau wajar, sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi, diatur dengan eksperimen atau test. Sedangkan Bogdan (1982: 3) menjelaskan bahwa, penelitian kualitatif acapkali disebut naturalistik, sebab peneliti tertarik menyelidiki peristiwa-peristiwa sebagaimana terjadi secara natural. Sementara Moleong (1996: 5) menegaskan bahwa metode kualitatif lebih mudah disesuaikan, dapat menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian, dan lebih peka untuk menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.

Tahap-tahap penelitian yang dilakukan peneliti adalah berikut ini.

Pertama, orientasi, yaitu peneliti mengadakan persiapan-persiapan antara lain; surat permohonan izin penelitian, alat tulis, alat perekam dan konsep untuk panduan di lapangan. Tujuan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh izin penelitian dari pejabat yang berwenang, dan memperoleh gambaran umum tentang situasi dan kondisi lokasi penelitian (Sambas).

Kedua, tahap eksplorasi, yaitu peneliti sudah mendapatkan gambaran tentang permasalahan yang ada di Sambas, data ini diperoleh melalui wawancara dan observasi secara mendalam.

Ketiga, peneliti mengadakan pengamatan hasil wawancara untuk dianalisis dan ditulis dalam bentuk laporan.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga macam teknik, yaitu: 1) wawancara mendalam, 2) observasi, dan 3) studi dokumentasi.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut.


(29)

24 1) Tahap persiapan, meliputi kegiatan yang berhubungan dengan administrasi

dan perizinan penelitian.

2) Tahap pengumpulan data, meliputi kegiatan-kegiatan penelitian dalam rangka pengumpulan data, baik observasi lapangan, wawancara, kajian dokumentasi dan lain-lain.

3) Tahap pengolahan data, meliputi kegiatan menganalisis dan memverifikasi data-data penelitian untuk kemudian dibahas dan disimpulkan berdasarkan rumusan dan tujuan penelitian.

4) Tahap penyusunan data, meliputi kegiatan penyusunan data yang sudah diverifikasi dan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian

H. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sambas, Tebas, Jawai, Pemangkat, Salatiga, Teluk Keramat, Paloh, Galing dan Sajingan Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Yang menjadi subjek penelitian ini adalah penduduk masyarakat Melayu Sambas. Mereka dipilih karena memiliki karakteristik yang berbeda dalam pola pengasuhan anak dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Secara populasi, Kabupaten Sambas merupakan wilayah yang banyak dihuni oleh etnis Melayu. Dibandingkan dengan kabupaten lainnya, Kabupaten Sambas relatif homogen karena sebanyak 84% penduduknya berpenduduk Melayu. Dengan karakteristik yang homogen ini dapat diasumsikan bahwa prilaku yang tercermin merupakan representasi dari keberadaan dan kondisi sebenarnya masyarakat Melayu Sambas.


(30)

25 Cara pemilihan subjek dilakukan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini (sampling purposive). Nasution (1988: 11), menyatakan bahwa metode naturalistik tidak menggunakan sampling random atau acak dan tidak pula menggunakan populasi sampel yang banyak. Sampel biasanya sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian atau penentuan sampel penelitian secara purposif. Dalam penelitian ini subyek penelitian ditentukan peneliti berdasarkan kepentingan penelitian dalam mengumpulkan data. Kabupaten Sambas terdiri dari 19 kecamatan dan 184 desa dengan jumlah penduduk 488.199 jiwa. Sementara data-data tersebut dipilih berdasarkan keberagaman atau strata sosial dan pendidikan masyarakat. Keberagaman ini diharapkan dapat mewakili kondisi data yang dikehendaki.


(31)

149 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Alur Pemikiran Penelitian

Pada bab ini diawali dengan mengemukakan alur pemikiran penelitian, yakni langkah-langkah berpikir yang dilakukan peneliti dalam mengkaji masalah yang telah ditentukan pada bagian terdahulu. Berangkat dari permasalahan, peneliti memasuki subjek penelitian dengan menerapkan pendekatan kualitatif berbekal rambu-rambu pengumpul data yang akan dikembangkan lebih lanjut di lapangan. Selanjutnya peneliti terlibat dengan subjek penelitian secara terus menerus, mencatat peristiwa-peristiwa yang dilihat, didengar dan dirasakan serta melakukan komunikasi dengan berbagai pihak yang menjadi subjek penelitian.

Semua catatan yang terkumpul dipilih dan dipilah-pilah, kemudian ditetapkan sebagai data penelitian. Selanjutnya, data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan teori-teori yang telah ditetapkan pada bab II.


(32)

150

Gambar 3. Alur Metode Penelitian

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini berjudul Pengembangan Model Pengasuhan Anak dalam Keluarga untuk Memulihkan Sistem Nilai, yang menuntut pendekatan secara konprehensif untuk melihat dan menyelidiki berbagai peristiwa yang terjadi secara natural, untuk itu peneliti memilih metode naturalistik dengan pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif interaktif (McMillan & Schumacher dalam Dahlan, 2002: 1),

Masalah Penelitian

Pendekatan penelitian (kualitatif)

Teknik Pengumpulan Data (Wawancara, Observasi, Dan Dokumentasi)

Subjek Penelitian :

Masyarakat Melayu Sambas (Tokoh Masyarakat, Agama, Adat, Dan Kepala Keluarga)

Teknik Pengolahan Data Data


(33)

151 yaitu telaah mendalam dengan teknik tatap muka dalam menghimpun informasi dalam tatanan natural. Peneliti memaknai fenomena yang diamati. Ini berarti peneliti kualitatif membangun gambaran yang utuh, kompleks dengan penjabaran perspketif partisipan secara rinci.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Kirk dan Miller (1986: 9) sebagaimana dinyatakan ulang Moleong (2002: 3) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.

Pendapat lainnya diungkapkan Bolgan dan Taylor (1975:5) bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurutnya, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Stephen Isaac & William B. Michael (1981: 48) mengemukakan bahwa Case and Field Study Research adalah “to study intensive the background current status, and environmental interactions of a given social unit, and individual, group, institution or community". Pengertian tersebut menurut Nasution adalah bentuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia d i dalamnya.


(34)

152 Bogdan dan Biklen (1982: 27-30) serta Lincoln dan Auba (1985: 39-44) mengemukakan beberapa karakteristik penelitian kualitatif, yaitu penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity), karena ontologi alamiah peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain, merupakan alat pengumpul data utama. Pada waktu pengumpulan data d i lapangan peneliti berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan. "Manusia sebagai alat" dapat berhubungan responden atau objek lainnya dan hanya manusia yang mampu mengerti. Menilai serta mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan d i lapangan. Metode kualitatif lebih mudah menyesuaikan apabila menghadapi kenyataan ganda d i lapangan. Metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan dengan pola-pola nilai yang dihadapi. Penelitian kualitatif menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substantif yang berasal dari data, karena: Pertama, tidak ada teori apriori yang dapat mencakup kenyataan ganda. Kedua, penelitian ini mempercayai apa yang dilihat sehingga berusaha untuk sejauh mungkin menjadi netral. Ketiga, teori dari dasar lebih responsif terhadap nilai-nilai kontekstual.

Menurut Moleong (2002: 4-7) penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri: bersifat alamiah atau pada konteks suatu keutuhan karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya; manusia sebagai alat pengumpul data utama (instrumen); analisis data secara induktif; menggunakan metode kualitatif; analisis data dilakukan secara induktif; memiliki grand theory yang berasal dari data; lebih bersifat deskriptif yang berasal dari berbagai sumber data; lebih


(35)

153 mementingkan proses daripada hasil; adanya batas yang ditentukan oleh fokus; adanya kriteria khusus untuk keabsahan data; desain bersifat sementara; dan hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.

Banyak istilah untuk menyebut penelitian kualitatif ini. Mulyana (2001) menyebut istilah ini dengan istilah pendekatan subjektif (interpretif) atau penelitian humanistik. Moleong menyebutnya sebagai penelitian alamiah. Intinya, realitas sosial dianggap sebagai interaksi-interaksi yang komunikatif. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya sekedar mencari hubungan sebab akibat, tetapi meneliti perilaku manusia (tindakan).

Menuru Mulyana (1999: 25) pendekatan objektif dan pendekatan subjektif sering dianalogkan dengan pendekatan etik (dari luar) dan pendekatan emik (dari dalam). Pendekatan subjektif (emik) bertujuan untuk meneliti makna kultural dari “dalam”; analisisnya cenderung bersifat idiografik - bertujuan merumuskan proposisi-proposisi yang sesuai dengan kasus yang diteliti - alih-alih nomotetik–bertujuan menggeneralisasikan kasus pada populasi (Allport, 1942: 146-148). Pendekatan subjektif (fenomenologis) terhadap perilaku individu dapat dilacak hingga ke definisi Coley (1902) dalam Susilo (2008:85) dan Mead (1934) dalam Susilo (2008:67-68) tentang diri (self). Pendekatan ini mengkritik pendekatan positivistik dalam arti bahwa ia membatasi kemungkinan perilaku manusia yang dapat dipelajari. Berbeda dengan pendekatan positivistik yang memandang individu sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka, pendekatan fenomenologis memandang bahwa manusia jauh dari pasif.


(36)

154 Penelitian ini menggunakan teknik analisis secara induktif berarti pencarian data bukan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian diadakan. Analisis disini merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan. Analisis dilakukan terhadap data-data yang dikumpulkan berdasarkan teknik pengumpulan data. Analisis dilakukan secara deskriptif mencakup data dan fakta yang ada di lapangan. Analisis dilakukan dengan menjadikan payung teori sebagai basis atau titik tolak penelitian.

Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, bagan, sketsa dan angka yang berkait dengan subjek penelitian. Data tersebut berasal dari hasil wawancara, catatan lapangan, foto, "video-tape", dokumen pribadi, catatan, memo dan dokumen resmi lainnya. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi ulasan data untuk memberikan gambaran d i lapangan, kemudian menganalisis data yang akan ditulis pada laporan penelitian ini. Dengan demikian peneliti tidak memandang bahwa sesuatu itu sudah demikian keadaannya.

Penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi “proses" daripada "hasil". Peneliti menetapkan batas atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam lokasi penelitian. Yang menjadi dasar teoritik penelitian kualitatif ini adalah pendekatan fenomenologis, interaksi simbolis, kebudayaan dan etnometodologis. Pendekatan fenomenologis berusaha mengerti subyek dari segi pandangan mereka sendiri. Interaksi simbolis mendasarkan diri pada pengalaman manusia yang ditengahi dengan penafsiran; segala sesuatu tidak memiliki pengertian sendiri-sendiri, sedang pengertian itu dikenakan padanya oleh seseorang.


(37)

155 Kebudayaan dipandang sebagai kerangka teoritis untuk mengerti pengalaman yang menimbulkan perilaku. Etnometodologi merupakan studi tentang bagaimana individu menciptakan dan mencapai kehidupannya sehari-hari.

Penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang digunakan dalam naturalistik inkuiri ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Nasution (1988:9-11) menjelaskan ciri-ciri penelitian kualitatif sebagai berikut: 1) sumber data adalah situasi yang wajar "natural setting" berdasarkan observasi situasi yang wajar; 2) mengutamakan data langsung, yaitu peneliti sendiri yang datang ke lapangan; 3) menonjolkan rincian kontekstual, yaitu mengumpulkan dan mencatat data secara mendetail; 4) triangulasi, yaitu memeriksa kebenaran dengan memperoleh data dari sumber lain; 5) peneliti sebagai instrumen utama, tidak menggunakan alat-alat seperti tes atau angket, melainkan lewat pengamatan dan wawancara untuk memahami interaksi antarmanusia; 6) mencari makna d i belakang kelakuan atau perbuatan, sehingga dapat memahami masalah atau situasi yang dihadapi; 7) sangat deskriptif, yang dituangkan dalam bentuk laporan dan uraian; 8) subyek yang diteliti dianggap berkedudukan sama dengan peneliti; 9) mengutamakan perspektif emik, yaitu mementingkan pandangan responden; 10) sampling purposif yang dipilih menurut tujuan penelitian dan biasanya hanya sedikit; 11) verifikasi, yaitu mencari kasus-kasus yang berbeda lebih dipercaya; 12) partisipasi tanpa menganggu, untuk memperoleh data dan situasi yang alamiah; 13) menggunakan edit trail (melacak) untuk mengetahui apakah data yang dikumpulkan sesuai dengan maksud penelitian; 14) mengadakan analisis sejak awal penelitian dan seterusnya sepanjang masa penelitian; 15) mementingkan proses dan


(38)

156 memperhatikan perkembangan terjadinya sesuatu.

Sebelum penelitian dilangsungkan, terlebih dahulu peneliti menyiapkan desain sementara sebagai pemandu awal penelitian dan selalanjutnya menetapkan fokus yang diinginkan. Penyiapan desain sementara untuk mengantisipasi adanya perbaikan, perubahan dan penyesuaian dengan fakta yang ditemukan di lapangan. Hal tersebut dibenarkan oleh Moleong (1996: 5) yang menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif lebih mudah disesuaikan, dapat menyajikan hakekat hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian secara langsung. Selain itu, metode tersebut lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan pola-pola nilai yang dihadapi.

Dalam menyusun desain penelitian ini, peneliti melakukan langkah-langkah berdasarkan pandangan Bogdan dan Biklen dalam Nasution (1992: 31) dan pendekatan studi kasus Yin (1983: 26) yaitu: (1) menentukan fokus penelitian, yaitu pengasuhan anak dalam keluarga; (2) menentukan paradigma penelitian kualitatif-naturalistik; (3) mencari teori-teori yang akan membimbing dan mengarahkan penelitian seperti teori-teori pengasuhan, nilai-nilai sosial budaya dan teori-teori pendidikan yang relevan; (4) menentukan sumber data dan lokasi para responden; (5) menentukan instrument penelitian berupa pedoman wawancara, observasi dan dokumen-dokumen; (6) menyiapkan rencana pengumpulan data dan pencatatan, rencana analisis data, rencana logistik, rencana mencapai tingkat kepercayaan akan kebenaran dan rencana penulisan serta penyelesaian penelitian.


(39)

157 C. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga macam teknik, yaitu 1) wawancara, 2) observasi, dan 3) studi dokumentasi.

1. Wawancara

Wawancara atau interview merupakan suatu bentuk komunikasi verbal. Wawancara atau interview ini merupakan percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Wawancara merupakan alat untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan atau dirasakan orang tentang berbagai aspek kehidupan dan kenyataan hidup. Melalui tanya jawab yang mendalam kita memperoleh informasi dan gambaran dunia mereka. Interview ini dalam penelitian ini dilakukan terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang menguasai dan dianggap ahli sesuai dengan topik penelitian. Di antara mereka adalah tokoh masyarakat, tokoh birokrasi, dan tokoh adat yang mewakili masyarakat Melayu Sambas.

Dengan teknik wawancara dapat digali informasi secara langsung dan mendalam mengenai keadaan masyarakat dan tata nilai yang ada di masyarakat. Wawancara dilakukan kepada berbagai komponen masyarakat yang merepresentasi masyarakat Melayu Sambas, terdiri atas tokoh masyarakat, pemuka agama, tokoh birokrasi, mantan birokrat, dan tokoh adat.

2. Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpul data yang dilakukan secara sistematis dan mengamati keadaan yang sebenarnya tanpa usaha mempengaruhi atau memanipulasikannya. Observasi dilakukan untuk mendapatkan keterangan bagaimana kondisi pengasuhan yang dilakukan masyarakat Melayu Sambas dalam


(40)

158 keluarga-keluarga mereka. Pengamatan dilakukan terhadap keluarga-keluarga yang masih menganut sistem lama (keluarga tradisional) dalam rangka memperoleh data yang objektif tentang pola pengasuhan anak. Selain itu, pengamatan juga dilakukan pada keluarga-keluarga modern yang sudah mengalami pergeseran tata nilai dan perspektif terhadap pola pengasuhan anak. 3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan metode pencarian data mengenai hal-hal yang diperlukan untuk penelitian, yaitu berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, metoda rapat, leger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1983:132).

Yang diamati dalam metode dokumentasi adalah informasi sekunder bukan benda hidup. Melalui teknik dokumentasi ini, data dikumpulkan: keadaan geografi, keadaan penduduk, mata pencaharian, tingkat pendidikan, data keagamaan yang berkaitan dengan kondisi masyarakat Melayu Sambas di Kabupaten Sambas.

Alat pengumpul data yang disiapkan oleh peneliti terdiri dari pedoman wawancara yang memuat berbagai pertanyaan berkaitan dengan masalah penelitian. Pedoman wawancara digunakan sebagai pemandu awal yang selanjutnya pertanyaan berkembang lebih luas dan mendalam yang diarahkan kepada fokus penelitian yang telah ditetapkan. Untuk melakukan observasi, peneliti menyiapkan pedoman yang dapat memandu melakukan observasi secara tepat, baik yang berkaitan dengan peristiwa, waktu, serta situasi yang mengharuskan peneliti hadir di lapangan sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesungguhnya serta dapat menghayati atmosfir yang terjadi di masyarakat.


(41)

159 D. Lokasi dan Subyek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sambas, Tebas, Pemangkat, Selatiga, Jawai, Teluk Keramat, Paloh, Galing dan Sajingan, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Sedang subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat Melayu Sambas, Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, kepala keluarga, dan orang-orang yang mengetahui serta memliki pengetahuan tentang masalah pengasuhan anak.

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya merupakan data tambahan. Sebagaimana diungkapkan Moleong (1993: 112), data tambahan penelitian dapat diperoleh dari sumber-sumber pada dokumen tertulis, dokumen foto dan data statistik.

Secara populasi, Kabupaten Sambas merupakan wilayah yang banyak dihuni oleh etnis Melayu. Dibandingkan dengan kabupaten lainnya, Kabupaten Sambas relatif homogen karena sebanyak 84% penduduknya berpenduduk Melayu. Dengan karakteristik yang homogen ini dapat diasumsikan bahwa perilaku yang tercermin merupakan representasi dari keberadaan dan kondisi sebenarnya masyarakat Melayu Sambas.

Cara pemilihan subjek dilakukan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini (sampling purposive). Nasution (1988: 11), menyatakan bahwa metode naturalistik tidak menggunakan sampling random atau acak dan tidak pula menggunakan populasi sampel yang banyak. Sampel biasanya sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian atau penentuan sampel penelitian secara purposif. Dalam penelitian ini subyek penelitian ditentukan peneliti berdasarkan


(42)

160 kepentingan penelitian dalam mengumpulkan data. Data-data tersebut dipilih berdasarkan keberagaman atau strata sosial dan pendidikan masyarakat. Keberagaman ini diharapkan dapat mewakili kondisi data yang dikehendaki.

E. Pengumpulan Data 1. Tahap Pralapangan

Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan sebagai berikut:

a. Dimulai sejak perkuliahan individual, peneliti telah berusaha mencari fokus permasalahan yang sesuai dengan Konsentrasi dan Program Studi Pendidikan Umum;

b. Mencari dan menentukan lokasi yang sesuai dengan permasalahan, yaitu Kabupaten Sambas Kalimantan Barat;

c. Mengadakan studi awal untuk menyusun desain penelitian; d. Mengusahakan izin penelitian:

a. Mengajukan permohonan izin kepada Direktur Program Pasca Sarjana UPI b. Meneruskan permohonan izin penelitian kepada Bupati Kabupaten Sambas.

2. Tahap Turun Kelapangan

Pada awal penelitian dimulai observasi dan wawancara masih bersifat umum fokusnya belum jelas. Pada tahap ini peneliti melakukan wawancara secara tidak terstruktur sebab observasi dan wawancara dilakukan hanya untuk menemukan fokus penelitian. Pada awal penelitian, peneliti merujuk kepada pandangan Dahlan (2002:4) bahwa seluruh fokus ditetapkan diperlukan adanya


(43)

161 masalah awal yang dibayangkan untuk menggambarkan dan mencari fokus serta pola pikir konseptual, mengarahkan kerja lapangan dan tanpa membatasi observasi.

Selanjutnya, pada tahap pekerjaan lapangan, peneliti mencari dan menggali data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menyusun pedoman umum untuk memperoleh data;

b. Mencari data yang berkaitan dengan model pengasuhan anak dalam keluraga;

c. Mengumpulkan data yang diperoleh dari lapangan, baik itu dalam bentuk catatan, rekaman dan dokumen.

Setelah fokus penelitian ditemukan, peneliti melakukan wawancara secara mendalam sehingga data yang diperoleh sudah spesifik. Kemudian yang diamati dan diteliti adalah phenomena yang terjadi dari suatu peristiwa yang nyata.

Teknik wawancara yang digunakan adalah semi tersetruktur, yaitu wawancara yang lebih menekankan pada bentuk wawancara terbuka, sebagaimana layaknya dialog, sehingga data yang dikumpulkan dapat sebanyak mungkin dan terfokus. Kemudian observasi dilakukan peneliti secara partisipatif sehingga peneliti dapat merasakan langsung suasana yang terjadi dalam interaksi sosial di lapangan. Observasi partisipatif merupakan pengamatan terhadap perilaku seseorang dan pengamat memainkan peran aktif dalam situasi atau konteks disaat suatu perilaku direkam. Observasi dilakukan disini untuk menagkap makna dan memotret praktek pengasuhan anak dalam keluarga yang dilakukan.


(44)

162 waktu, tempat dan identitas orang-orang yang terlibat. Pada dasarnya dalam tahap ini peneliti sendiri telah melakukan analisis terhadap data yang ditemukan.

Untuk memperoleh data yang dapat dipercaya, peneliti melakukan pengecekan data dan informasi ke berbagai pihak sehingga data betul-betul dapat dipercaya kebenarannya sebagai usaha trianggulasi (Nasution, 1992:26). Trianggulasi merupakan upaya melihat fenomena dari beberapa sudut, melakukan verifikasi temuan dengan menggunakan berbagai sumber informasi dan teknik. Menurut Moleong (1993:185) tahap ini merupakan tahap pemeriksaan data yang diperoleh dengan memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggali dan membaca dokumentasi berupa buku, majalah, surat-surat, peraturan pemerintah dan catatan-catatan kasus yang terjadi di lapangan. Setelah data terkumpul dan telah diadakan trianggulasi, peneliti melakukan pengecekan ulang data yang diperoleh dari lapangan. Selanjutnya peneliti mentranskrip rekaman wawancara dan mencatat hasil pengamatan serta menelaah dokumen kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan secara tertulis. Pada tahap akhir dalam pengumpulan data adalah memeriksa kesesuaian data antara temuan penelitian dengan data yang terhimpun melalui pelacakan terhadap catatan-catatan lapangan, teknik pengumpulan data dan analisis data.

F. Analisis Data Penelitian


(45)

163 sebagai berikut.

1. Tahap persiapan, meliputi kegiatan yang berhubungan dengan administrasi dan perizinan penelitian.

2. Tahap pengumpulan data, meliputi kegiatan-kegiatan penelitian dalam rangka pengumpulan data, baik observasi lapangan, wawancara, kajian dokumentasi dan lain-lain.

3. Tahap pengolahan data, meliputi kegiatan menganalisis dan memverifikasi data-data penelitian untuk kemudian dibahas dan disimpulkan berdasarkan rumusan dan tujuan penelitian.

4. Tahap penyusunan data, meliputi kegiatan penyusunan data yang sudah diverifikasi dan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari berbagai kesalahan pemahaman dan interpretasi terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti menganggap penting untuk menjelaskan beberapa istilah secara operasional berikut ini.

1. Pengembangan berasal dari kata akar kata kembang yang berarti bertambah sempurna. Sedangkan pengembangan adalah proses atau cara mengembangkan atau menjadikan sesuatu lebih bertambah sempurna atau lebih baik (Yusuf, 1995: 58). Dengan demikianarti pengembangan disini adalah suatu upaya untuk mengubah dan menambah sesuatu ke arah yang lebih maju, lebih besar dan lebih baik.

2. Model. Dalam konteks penelitian ini model dipahami sebagai pola yang dapat dirujuk untuk mengembangkan sebuah kegiatan pengasuhan anak


(46)

164 dalam keluarga. Model dibentuk berdasarkan landasan teoretis dan empirik yang ada di masyarakat Melayu Sambas. Model juga dirumuskan dengan memprediksi tantangan dan persoalan pengasuhan anak di masa mendatang.

3. Pengasuhan. Dalam penelitian ini pengasuhan diartikan sebagai sebuah proses pendidikan informal dalam keluarga, yang dilakukan oleh anggota keluarga, terutama bapak dan ibu. Pengasuhan dilakukan ketika anak-anak masih berada dalam tanggung jawab keluarga; sebelum dia menikah. Kegiatan pengasuhan ini mencakup seluruh kegiatan yang dibutuhkan anak, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan pendidikan. Pengasuhan dilakukan bukan sekadar karena anak menjadi tanggung jawab keluarga, namun ditujukan untuk menciptakan generasi masa depan yang lebih baik. 4. Memulihkan berasal dari akar kata pulih yang berarti kembali sebagai

semula atau kembali menjadi baik lagi. Sedangkan memulihkan adalah proses atau cara menjadikan suatu keadaan kembali baik seperti semula (Depdiknas, 2005:906). Dengan demikian arti memulihkan disini adalah suatu upaya untuk mengubah dan mengembalikan sesuatu ke arah yang lebih baik.

5. Sistem nilai. Penelitian ini menempatkan sistem nilai sebagai variabel penting, mengingat dalam penelitian ini pembahasan sistem nilai merupakan kunci. Sistem nilai diartikan sebagai sebuah tata-aturan yang terdapat di masyarakat mengenai bagaimana seseorang (warga masyarakat) berperilaku dan berkomunikasi. Sistem nilai ini bersifat


(47)

165 mengingat, dan siapapun yang melanggar sistem nilai secara sosial dia akan mendapatkan sangsi. Dalam keluarga sistem nilai berupa aturan-aturan yang disepakati secara internal dalam keluarga atau sistem yang secara turun-temurun dilakukan dan diyakini kebenarannya oleh anggota keluarga dan harus ditaati keberadaannya. Dalam masyarakat tradisional, dengan berbagai alasan, sistem nilai ini bersifat generatif dan ditansformasikan kepada generasi berikutnya. Bahkan dalam beberapa pandangan, keberhasilan sebuah keluarga ditandai dengan tertransformasikannya sistem nilai kepada generasi selanjutnya.

6. Nilai Lama. Setiap perubahan menyisihkan budaya lama yang tentu saja mengandung nilai lama. Dalam penelitian ini nilai lama ditafsirkan sebagai nilai-nilai yang dianut oleh para orang tua masyarakat Melayu Sambas dan dipandang sebagai ciri khas dan nilai kelompok yang secara turun-temurun dianut dan diyakini keberadaannya. Nilai lama tersebut saat ini mengalami degradasi dan penyisihan oleh nilai baru yang datang dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Melayu Sambas. Nilai lama dipandang sebagai nilai yang harmoni dan mencitrakan masayrakat Melayu Sambas. Mengingat posisi penting nilai lama, dalam penelitian nilai ini setiap nilai baru tidak selalu diartikan positif, terutama apabila nilai baru tersebut menggerus keberadaan nilai lama. Dalam penelitian ini nilai lama mendapatkan tempat yang strategis, mengingat topik ini merupakan kajian utama, bahkan penelitian ini bertujuan merevitalisasi nilai lama melalui berbagai pendekatan pendidikan.


(48)

166 7. Keluarga Melayu Sambas. Di pulau Kalimantan, suku Melayu tidak hanya terdapat di daerah Sambas (Melayu Sambas), tetapi juga terdapat Melayu Pontianak, Melayu Sanggau, Melayu Sukadana, Melayu Sintang, dan Melayu Kapuas Hulu. Meskipun pada dasarnya Suku Melayu memiliki kesamaan adat, dan terutama karena secara mayoritas beragama Islam, namun dalam penelitian ini suku melayu yang menjadi objek penelitian adalah suku Melayu Sambas. Suku Melayu Sambas berada di kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat.


(49)

332 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Pola pengasuhan yang mampu mengembangkan sistem nilai yang menekankan pada ajaran Islam, adat istiadat, dan penciptaan harmonisasi hubungan antara anak dan orang tua dalam keluarga, dengan memperhatikan perkembangan kehidupan masyarakat.

2. Sistem nilai keluarga Melayu Sambas dalam kaitannya dengan pola pengasuhan anak lebih menekankan pada aspek pendidikan. Sistem nilai yang tertanam dalam masyarakat Melayu Sambas adalah sistem nilai yang berbasis pada ajaran agama Islam. Di samping itu, adat memandu sistem nilai yang ada di masyarakat. Antara ajaran agama Islam yang dianut dengan hukum adat sama sekali tidak ada pertentangan, bahkan saling menguatkan. Dalam konteks ini muncul slogan, adat berlandaskan syara dan syara berlandaskan kitabullah. Pola pengasuhan yang terjadi lebih banyak dilakukan oleh ibu daripada bapak mengingat tugas bapak dalam masyarakat Melayu Sambas dipahami sebagai pencari nafkah. Seorang ibu benar-benar berperan bukan sekadar melahirkan dan menyusui namun mendidik anak-anaknya dengan ajaran agama Islam dan hukum adat, sehingga lahirlah anak-anak yang pandai sekaligus taat terhadap orang tua dan guru. Seorang ibu memperoleh cara mendidik anak secara turun-temurun dari orang tuanya


(50)

333 dan diteruskan kepada generasi berikutnya. Sistem nilai ini melembaga menjadi semacam hukum dalam masyarakat Melayu, terutama dalam berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat Melayu.

3. Pergeseran nilai pada masyarakat Melayu Sambas sudah terjadi sejak lama, termasuk akibat peristiwa konflik Sambas tahun 1999. Pergeseran ini ditandai dengan terjadinya pendangkalan orientasi hidup masyarakat Melayu Sambas yang menjadikan masalah ekonomi sebagai fokus dan tujuan hidup. Pergeseran nilai ini telah menyebabkan nilai-nilai lama dalam masyarakat Melayu Sambas digeser oleh berbagai pengaruh yang datang dari Barat. Korban pergeseran nilai adalah generasi muda yang tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, dan menjadikan kehidupan ekonomi (pekerjaan) sebagai fokus mereka di usia yang sangat dini (usia sekolah). Pergeseran itu secara sosial terlihat dari perubahan prilaku terhadap orang tua dan guru atau pola hidup mereka (anak muda) yang sudah tidak mengindahkan hukum adat bahkan hukum agama. Pergeseran juga terlihat dari banyaknya generasi muda Melayu Sambas tidak memahami ajaran agama Islam, dan tidak mengamalkannya, Hal ini tergambar dalan cerita Anak Hantu. Anak hantu kerjanya pada waktu magrib berkeliaran dijalan sambil menyanyi dan bergendang, selain itu apabila ketemu kambing, ayam dan kucing orang ditendang dan dibuang keparit. Ketemu kebun orang dirusak dan ketemu tembok/dinding orang dicoret-coret. Dan jika dia menimbang delapan ons dikatakan satu kilo dan jika dia mengukur delapan puluh senti dikatakannya satu meter dan


(51)

334 begitulah seterusnya pekerjaan anak hantu. Padahal dahulu sejak kecil anak-anak masyarakat Melayu Sambas memiliki karakteristik yang santun, penurut, menghormati orang tua dan guru serta pandai membaca al Qur’an. Hal ini tergambar di dalam cerita Si Miskin. Si Miskin pada awalnya adalah seorang yang dianggap bodoh oleh gurunya, tapi berkat ketaatannya, kepatuhannya, dan kejujurannya serta keyakinannya, pada akhirnya dia menjadi anak yang pintar dan pandai. Di lain pihak kebergantungan orang tua kepada anak-anaknya untuk cepat bekerja menjadi persoalan berikutnya yang menyebabkan nilai-nilai yang ada di masyarakat berubah.

4. Faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya pergeseran sistem nilai pada masyarakat Melayu Sambas bermuara pada persoalan ekonomi. Saat ini karena orientasi hidup yang materalis, para orang tua sudah tidak memikirkan pendidikan anak-anaknya, karena dengan mudah anak-anak Melayu Sambas dapat bekerja sebagai TKI di Malaysia atau di Brunei. Di samping itu terdapat faktor pendidikan yang rendah, kesehatan yang rendah, kemiskinan, terutama di pedesaan, faktor kurangnya pengetahuan orang tua dalam pengasuhan dan pendidikan anak di keluarga, kurangnya pendidikan agama, lemahnya ketokohan masyarakat Melayu, lemahnya keteladanan dari orang tua dan tokoh masyarakat, kurang kondusifnya lingkungan bagi menanaman nilai, lemahnya perekat budaya lokal sehingga dengan mudah ditinggalkan penganutnya. Di antara banyak faktor yang mempengaruhi, faktor ekonomi merupakan faktor dominan. Di


(52)

335 samping faktor lemahnya pengetahuan dan pengamalan agama dan adat istiadat yang dialami masyarakat Melayu Sambas.

5. Konsepsi pendidikan yang paling tepat untuk memperbaiki sistem nilai di masyarakat Melayu Sambas adalah konsepsi pendidikan sepanjang hayat (lifelong education). Konsepsi ini dilakukan dengan memadukan (mengintegrasikan) pendidikan informal (keluarga) yang bercorak keagamaan dan pendidikan umum. Konsepsi pendidikan ini harus disosialisasikan kepada masyarakat dengan memahamkan mereka bahwa pendidikan merupakan cara memperbaiki masa depan, bukan hanya berhubungan langsung dengan pekerjaan. Masa lalu masyarakat Melayu Sambas terutama pada masa kesultanan yang gemilang sehingga dijuluki Serambi Mekkah harus dihidupkan kembali. Kesadaran atas kebesaran masa lalu penting untuk menyadarkan bahwa mereka bukan bangsa yang kecil dan bodoh sehingga dengan mudah dapat dipengaruhi dengan budaya yang tidak baik. Konsepsi pendidikan sepanjang hayat tentu saja bersesuaian dengan falsafah pendidikan Islam yang mengajarkan mencari ilmu dari buaian hingga liang lahat. Dalam konteks penelitian ini pendidikan sepanjang hayat tentu saja dilakukan dengan membenahi dan mengokohkan fungsi keluarga karena lembaga inilah yang pertama dan utama dalam mengajarkan nilai-nilai kepada anak. Penguatan PAUD melalui lembaga keluarga dan pendidikan formal, mensyaratkan adanya interaksi yang intensif dan penciptaan lingkungan yang kondusif antara anak dengan orang tuanya. Selama orang tua tidak berperan secara baik, terutama dalam


(1)

345 Koentjaraningrat. (1990). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:

Penerbit Djambatan.

Koentjaraningrat. (1990). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kohlberg, L. (1981). The Fhilosophy of Moral Development. Cambridge: Harper & Row Publisher San Francisco.

Koran Harian. (2002) Pikiran Rakyat. Bandung: Tanggal 30 Agustus tahun 2002). Lauer, R.H. (2003). Perspektif tentang Perubahan Sosial. Terjemahan. Jakarta:

Penerbit Rineka Cipta.

Langgulung, H. (1980). Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al Maarif.

Lincoln. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Saqe Publications.

Mahasin, A. dkk. (1996). Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya di Jawa. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.

Maryadi R.B., dkk. (2008). ”Studi Identifikasi Kondisi Integrasi Antarkelompok Etnik Pasca Tragedi Konflik di Kabupaten Sambas”. Tidak dipublikasikan. Hasil Penelitian Universitas Tanjungpura, Pontianak. Mead, G.H. (1934). Mind, Self, and Society. Chicago: Univ. Chicago Press. McMillan, J. Schumacher, S. (2001). Research in Education A Conceptual

Introduction. New York: Longman, Inc.

Mudiyono dkk. (2000). ”Konflik Sosial di Kalimantan Barat: Perilaku Kekerasan Antara Etnik Madura-Dayak dan Madura-Melayu”. Tidak dipublikasikan. Hasil Penelitian Universitas Tanjungpura, Pontianak. Muhadjir. N. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta:

Rake Sarasin.

Mulyana, D. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosdakarya.

Mulyana, R., (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Moleong, L.J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja


(2)

346 Mifflen, F.J., Mifflen, S.C. (1986). Sosiologi Pendidikan. Terjemahan. Bandung:

Transito.

Nasution, H., (1986). Akal dan Wahyu. Jakarta: UI Press.

Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Natsir, M. (1988). Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah. Jakarta:

Girimukti Pasaka.

Nolte, D. L. (1997). Majalan otak anak-anak. Tira Pustaka Tigaraksa Satria. Nuzulian, U. (2007). ”Dampak Pertikaian di Kabupaten Sambas Terhadap

Perubahan Prilaku Kelompok Etnik Melayu Sambas”. Tidak dipublikasikan. Hasil Penelitian Universitas Tanjungpura, Pontianak. Ogbun, W.F. dan Nimkoff. M.F. (1964). Sociology. AP Peffter dan Simons

Internasional University Edition. Boston: Hougton Mifflin Campany. Parsons, T. Et al. (1961). Theories of Society: Foundations of Modern

Sociological Theory. New York: The Free Press.

Pabali, dkk. (2009). Eksistensi Budaya Lokal dan Rasa Kebangsaan Pada Masyarakat Perbatasan Kalimantan Barat. Transkrip Wawancara Penelitian Strategis di Aruk, Jagoi Babang dan Badau. Pontianak: Lembaga Penelitian Universitas Tanjungpura.

Purwana, B.H.S. (2003). Konflik Antarkomunitas Etnis di Sambas 1999, Suatu Tinjauan Sosial Budaya. Pontianak: Romeo Grafika.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Phenix, P.H. (1964). Realms of Meaning. New York: McGraw-Hill Book Company.

Poloma, M.M., (1979). Sosiologi Kontemporer. Terjemahan Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Qaimi, A. (2005). Peranan Ibu dalam Mendidik Anak. Jakarta: Penerbit Cahaya. Rakhmat, J. (1999). Rekayasa Sosial, Reformasi atau Revolusi? Bandung:

Rosdakarya.

Ritzer, G., Goodman, D.J. (2004). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media Group.


(3)

347 Rivai, M.S.S. (2004). “Pandangan tentang Globalisasi dan Dampaknya pada Tatanan Keluarga”. Dalam 50 Tahun Kiprah Mencerdaskan Bangsa, Pemikiran-pemikiran dari Bumi Siliwangi (S. Hamid Hasan, ed.). Bandung: UPI Press.

Rogers, E.M. (1983). Diffusion of Innovations. New York: The Free Press.

Roziqin, Z. M. (2007). Moral Pendidikan Di Era Global. Malang: Averroes Press. Sairin, S., (2002). Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Salim, A., (2002). Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sastrowardoyo, P. (2000). ”Solidaritas Masyarakat Suku Bangsa Madura Terhadap Pengungsi Korban Kerusuhan Sambas 1999”. Tidak dipublikasikan. Hasil Penelitian Universitas Tanjungpura, Pontianak. Sauri, S. (2006). Membangun Komunikasi dalam Keluarga. Bandung: Genesindo. Sauri, S. (2002). Penmgembangan Strategi Pendidikan Berbahasa Santun di Sekolah. (Studi Kasus di Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Bandung). Disertasi.

Sitorus, M.T. F. (1998). Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalana. Bogor: Kelompok DOKIS IPB.

Shihab, M.Q. (1992). Membumikan Al Quran, Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.

Sjarkawi, (2006). Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara.

Suhendi, H.H., Wahyu. R. (2001). Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. Bandung: Pustaka Setia.

Sunarto, H.A.B. (tt). Perkembangan Peserta Dididk. Jakarta: Ribeka Cipta. Soekanto, S. (1992). Sosiologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.

Soemardjan, S. (1986). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajahmada University Press.


(4)

348 Sumaatmadja, N.H. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi.

Bandung: Alfabeta.

Suwarsono dan Alvin Y. So. (2000). Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Sudjana, D. (1990). Peran Keluarga di Lingkungan Masyarakat. Makalah Pada Seminar LPPM Uninus Tanggal 11 Desember 1990. Bandung: PPI-LPPM Uninus.

Suryana. (2005). Keluarga Sebagai Sumber Pesan Pendidikan Nilai Paling Awal Bagi Anak. Bandung: Jurnal Tridharma No.8 Tahun XVII Maret 2005. Sundari, S. HS. (2005). Kesehatan Mental. Jakarta: Rineka Cipta.

Soedarsono, S. (2007). Hasrat untuk Berubah, Jati Diri Refleksi Empiris. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Soedarsono, S. (2008). Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Soelaeman, M.I. (1994). Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Alfabeta

Susilo, R.K.D. (2008). 20 Tokoh Sosiologi Modern. Jogyaakarta: Ar-Ruzz Media. Susanto, A.S. (1977). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina

Cipta.

Sunarto, H.A.B. (tt). Pengantar Sosiologi, Jakarta: LPFEUI.

Sridhar, Y.N. (2004). Metodology of Value Eduation. (online). File://J\Value. htm. Orientation in Teacher Education. (22 Juni 2004).

Syed. I.B. (2005). http://www.islamfortoday.com/syed07.htm).

Storey, J. (2003). Teori Budaya dan Budaya Pop, Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam

Syarief, H. (1997). ”Membangun Sumber Daya Manusia Berkualitas, Suatu Telaahan Gizi Masyarkat dan Sumber Daya Keluarga”. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB, Bogor, 6 September 1997.

Syahidin. (2004). Kajian Pedagogis Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat. ISBD di Perguruan Tinggi. Bandung: Kopertis Wlayah IV Jabar.


(5)

349 Sztompka, P. (2004). Sosiologi dan Perubahan Sosial. Terjemahan. Jakarta:

Prenada Media Grup.

Taftazani, I.S. (2004). “Al Qur’an dan Hakikat Manusia sebagai Landasan Pengembangan Pendidikan Umum”. Dalam 50 Tahun Kiprah Mencerdaskan Bangsa, Pemikiran-pemikiran dari Bumi Siliwangi (S. Hamid Hasan, ed.). Bandung: UPI Press.

Tafsir, A. (2002). Pendidikan Agama dalam Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tafsir, A. (1990). Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Turabian, K. L. (2008). A Manual for Writers of Research, Papers, Theses, and Dissertations. Chicago: The Chicago University Press.

Thoha, H. (1996). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yokyakarta: Pustaka Pelajar. Umberan, Musni dkk. 1995. Fungí Keluarga dalam Meningkatkan Sumber Daya

Manusia. Pontianak: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Jakarta: Transmedia Pustaka.

Usman, R. (2001). ”Konflik dalam Perspektif Komunikasi, Suatu Tinjauan Teoreris.” jurnal Mediator (2) 1, 31-41.

Viswanathan, G. (ed). (2003). Kekuasaan, Politik, dan Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Promethea.

Yaumil, A.A. (1995). Peranan Keluarga Dalam Pembentukan Keperibadian Anak. Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

Yin, R.K. (1983). The Case Study Method: An Annotated Bibliography, 1983-84 edition. Washington, DC: COSNOS Corporation.

Yin, R.K. (1997). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Yunus, U. (1990). “Kebudayaan Melayu”. Dalam Kontjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.


(6)

350 Yusuf, M. (1995). Program Pengembangan Profesional Petugas Bimbingan

Sekolah. PPS. UPI (Tidak Diterbitkan).

Veeger, KJ. (1985). Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Sejarah Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Winecoff, H.L. (1988). Velues Education Model. Hand Out Perkuliahan Pendidikan Nilai Pada Prodi PU S3. Bandung: PPS UPI.

Zohar, D dan Marshall, I. (2000). SQ: Spiritual Intelligence-Theultimate Intelligence. Diterjemahkan oleh Rahmani Astuti et.al. dengan judul SQ: ”Memanfaatkan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik dalam Memaknai Kehidupan.” Bandung: Mizan.