MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING KEAGAMAAN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU.

(1)

MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING KEAGAMAAN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Bimbingan dan

Konseling

Promovendus

FATCHIAH E. KERTAMUDA 1008927

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2013


(2)

Model Bimbingan dan Konseling

Keagamaan untuk Meningkatkan

Kesejahteraan Psikologis Ibu

Oleh

Fatchiah E Kertamuda

S.Pd dari UKSW Salatiga, Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, 1992 MSc, East Texas State University, USA in Counseling and Guidance, 1995

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) dalam bidang Bimbingan dan Konseling

© Fatchiah E Kertamuda 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Desember 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Disertasi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

(4)

ABSTRAK

Fatchiah E Kertamuda. 2013. Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Ibu-Ibu PKK.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu dan mengetahui kefektifan model tersebut. Penelitian ini menggunakan research & development dan metode penelitian menggunakan mixed methods research design. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) profil kesejahteraan psikologis ibu-ibu PKK di 3 kelurahan Bekasi secara umum berada pada kategori sedang. (2) Merumuskan model hipotetik bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu yang terdiri atas beberapa komponen yaitu: rasional, deskripsi dan masalah kebutuhan, tujuan, asumsi model, target intervensi, komponen program, langkah-langkah kegiatan, kompetensi konselor untuk implementasi model, struktur dan isi intervensi, evaluasi dan indikator keberhasilan. (3) Model tersebut efektif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis yang melingkupi dimensi otonomi, dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi penguasaan lingkungan, dimensi pertumbuhan pribadi, dimensi tujuan hidup dan dimensi penerimaan diri. Berdasarkan hasil tersebut, model bimbingan dan konseling keagamaan dapat direkomendasikan sebagai salah satu program konseling untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada ibu.

Kata kunci: ibu-ibu PKK, kesejahteraan psikologis, model bimbingan dan


(5)

ABSTRACT

Fatchiah E Kertamuda. 2013. Model of Religious Guidance and Counseling to Enhance the Psychological Well-Being of Mothers Members of Empowerment and Family Welfare Movement.

This study aimed to develop a religious guidance and counseling model to promote psychological well-being and to identify the effectiveness of the model. This study used research & development and mixed methods research design. The result of this study showed that (1) the profile of psychological well-being of mother were in moderate category. (2) Formulate hypothetical model of religious guidance and counseling to improve maternal psychological well-being consists of several components: rationale, description and the problem needs, objectives, assumptions of model, targeted interventions, program components, activity measures, counselor competencies for the implementation of the model, the structure and content of the intervention, evaluation and indicators of success. (3) The model is effective to improve the psychological well-being that encompass dimension autonomy, dimension positive relations with others, dimension environmental mastery, dimension personal growth, dimension purpose in life and dimension self-acceptance. Based on these results, the model of religious guidance and counseling could be recommended as one of the counseling program to improve psychological well-being of the mother.

Keywords: mother Member of PKK (Empowerment and Family Welfare


(6)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan...i

Abstrak………..iii

Halaman Pernyataan...v

Kata Pengantar………vi

Ucapan Terima Kasih……….viii

Daftar Isi………..xiii

Daftar Tabel……….xv

Daftar Gambar………...xvii

Daftar Lampiran………...xviii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah………..16

C. Tujuan Penelitian……….17

D. Asumsi……….17

E. Manfaat Penelitian………...18

BAB II. KAJIAN TEORETIK BIMBINGAN DAN KONSELING KEAGAMAAN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A. Konsep Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan ……….20

B. Konsep Bimbingan dan Konseling di Seting Kemasyarakatan……….……….47

C. Konsep Kesejahteraan Psikologis………...52

D. Konsep Kesejahteraan Psikologis dalam Perspektif Islam……….67

E. Konsep Peran Ibu dalam Keluarga……….71

F. Penelitian yang Relevan……….………87

BAB III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian………..91

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………..93

C. Pengembangan Instrumen Penelitian………...94

D. Subyek Penelitian………...100

E. Teknik Pengumpulan Data………...101

F. Prosedur Penelitian……….102

G. Teknik Analisis Data Penelitian……….105


(7)

A. Profil Kesejahteraan Psikologis Ibu ….…….………....110

B. Hasil Pertimbangan Pakar terhadap Model Hipotetik Bimbingan dan Konseling Keagamaan Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Ibu-Ibu PKK ………119

C. Hasil Uji Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Ibu-Ibu PKK……….154

D. Pembahasan Hasil Penelitian ………185

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan………206

B. Implikasi ………...207

C. Rekomendasi……….210

DAFTAR PUSTAKA...212 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

TABEL 3.1 Kisi-Kisi Kuesioner Kesejahteraan Psikologis………..96 TABEL 3.2 Hasil Uji validitas dan Uji reliabilitas Instrumen

Kesejahteraan Psikologis……….100 TABEL 4.1 Profil Kesejahteraan Psikologis Ibu-Ibu PKK

Tiap Kelurahan……….111

TABEL 4.2 Teknik Bimbingan dan Konseling Keagamaan………137 TABEL 4.3 Pertimbangan Pakar terhadap Model Hipotetik Bimbingan

dan Konseling Keagamaan untuk Meningkatkan

Kesejahteraan Psikologis Ibu-ibu….………151 TABEL 4.4 Masukan Pakar terhadap Model Hipotetik Bimbingan

dan Konseling Keagamaan untuk Meningkatkan

Kesejahteraan Psikologis Ibu-ibu….………152 TABEL 4.5 Hasil Uji Normalitas Varian Data Normalized Gain…………...154 TABEL 4.6 Hasil Uji Homogen Varian Data Normalized Gain……….155 TABEL 4.7 Hasil Analisis Kovarian Kelompok Eksperimen dan

Kelompok Kontrol ……….……….156

TABEL 4.8 Deskripsi Data Pra-Pasca Tes Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Pada Tiap Dimensi


(9)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 3.1 Rangkaian Penelitian danPengembangan Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan untuk Meningkatkan

Kesejahteraan Psikologis Ibu ………..105 GAMBAR 3.2 Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan

untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Ibu ………...109 GAMBAR 4.1 Profil Kesejahteraan Psikologis Ibu-Ibu PKK ………110 GAMBAR 4.2 Profil Dimensi-Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Ibu-ibu PKK……….112

GAMBAR 4.3 Skor Profil Dimensi-Dimensi Kesejahteraan Psikologis…….113 GAMBAR 4.4 Profil Kesejahteraan Psikologis Ibu PKK

pada Dimensi Otonomi………114 GAMBAR 4.5 Profil Kesejahteraan Psikologis Ibu PKK pada

Dimensi Hubungan Positif dengan Orang Lain ……….115 GAMBAR 4.6 Profil Kesejahteraan Psikologis Ibu PKK pada

Dimensi Penguasaan Lingkungan………...116 GAMBAR 4.7 Profil Kesejahteraan Psikologis Ibu PKK pada

Dimensi Pertumbuhan Pribadi………117 GAMBAR 4.8 Profil Kesejahteraan Psikologis Ibu PKK pada

Dimensi Tujuan Hidup………118

GAMBAR 4.9 Profil Kesejahteraan Psikologis Ibu PKK pada

Dimensi Penerimaan Diri ……. .………119 GAMBAR 4.10 Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan

untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Ibu ………….178 GAMBAR 4.11 Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan

pada Dimensi Otonomi ………..179

GAMBAR 4.12 Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan pada Dimensi Hubungan Positif dengan Orang Lain …….. .180 GAMBAR 4.13 Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan


(10)

GAMBAR 4.14 Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan

pada Dimensi Pertumbuhan Pribadi ………182 GAMBAR 4.15 Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan

pada Dimensi Tujuan Hidup ………...183

GAMBAR 4.16 Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 SK Pembimbing Penulisan Disertasi

Lampiran 2 Validasi Instrumen Kesejahteraan Psikologis Lampiran 3 Surat Pernyataan Penimbang Instrumen Lampiran 5 Riwayat Hidup Penulis


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Di era globalisasi persaingan untuk maju sangat ketat. Setiap individu, keluarga dan masyarakat dituntut untuk mengembangkan sikap dan perilaku, kemandirian pribadi, keluarga dan masyarakat agar tidak keliru dalam menerima globalisasi. Tantangan yang dihadapi antara lain perkembangan sumber daya manusia, pergeseran tata nilai, pemanfaatan sumber daya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan tatanan internasional dan penanganan manajemen pemerintah dan pembangunan nasional yang dipengaruhi oleh beberapa faktor terkait. Ketahanan keluarga diperlukan sebagai upaya mewujudkan keluarga sejahtera (Tim Penggerak PKK, 2008: 2).

Keluarga merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdapat hubungan spesifik, aturan-aturan, dan peran-peran, dari masing-masing anggota yang memiliki keunikan tersendiri (Ivey, Simek-Morgan, 1993). Selanjutnya, Stinnett & DeFrain (Gladding, 2009:383) mengemukakan bahwa keluarga yang sukses, bahagia dan kuat perlu diimbangi oleh komitmen, penghargaan, kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota dalam keluarga.

Pandangan-pandangan tersebut menunjukkan bahwa sebagai salah satu agen perubahan (agent of change), keluarga memberikan arti penting bagi seluruh anggota keluarga. Peran keluarga menjadi faktor penentu terciptanya hubungan dalam keluarga sehingga dapat terbangun keluarga yang kuat dan bahagia.


(13)

Penelitian yang dilakukan oleh Rathi & Rastogi (2007:32) mengungkapkan bahwa kualitas hubungan dalam keluarga, terutama hubungan dengan orang tua merupakan faktor penting untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja. Selanjutnya, Fulkerson et al (2007:183) menyatakan bahwa hubungan keluarga yang lekat dapat melindungi anak remaja dari pengalaman negatif termasuk tekanan emosional, pikiran untuk bunuh diri, dan kenakalan. Penelitian lain yang dilakukan menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan sosial (seperti keluarga, teman-teman, peran dari kelompok) memiliki kesejahteraan yang baik dibanding orang-orang yang sedikit teman atau keluarga (Birditt & Antonucci, 2007:600). Birditt & Antonucci juga menyatakan bahwa setiap anggota dalam keluarga perlu memiliki pemahaman bahwa hubungan dalam keluarga penting untuk kesejahteraan secara psikologis, pengaruh komposisi dan kualitas hubungan sosial juga perlu ditingkatkan dan dikembangkan.

Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa kualitas hubungan sosial seseorang baik itu dalam lingkungan sosial maupun lingkungan keluarga terutama hubungan antara orang tua dan anak dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Setiap anggota dalam keluarga memiliki peran penting untuk menjadikan kehidupan keluarga yang diidam-idamkan.

Salah satu sosok yang penting dalam kehidupan keluarga adalah ibu. Ibu adalah sosok yang mampu memberikan pengaruh kuat terhadap kehidupan rumah tangga. Kelekatan antara ibu dan anak, menurut Kartini Kartono (1986:270) secara fisiologis dan psikologis telah terjalin sejak mula pertama sel telur dibuahi. Sebagai


(14)

hasil ikatan fisik tersebut timbul insting-insting keibuan, jauh sebelum bayi dilahirkan. Pertalian yang kokoh antara ibu dan anak akan terus berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yaitu terutama selama anak keturunan itu belum mampu melakukan penyesuaian diri, dan belum mampu berdiri sendiri di dalam masyarakat, atau selama anak belum dewasa.

Ibu adalah seorang perempuan yang memiliki multi peran dalam kehidupan sehari-hari. Tugas ibu di antaranya memberikan kebutuhan fisik dan psikologis pada anak, mendidik anak (Singgih & Singgih, 2008), merawat anak-anaknya termasuk menjaga keseimbangan, antisipasi, merencanakan kebutuhan keluarga (Larson dalam Smith, Linda Del Fabro., Suto, Melinda., Chalmers, Andrew., Bacman, Catherine, 2011:41) dan juga sebagai makhluk sosial yang berpartisipasi aktif di lingkungan sosial (Kartini Kartono, 1986:32). Ibu yang memberi nilai tinggi pada kemampuan bersosialisasi, berbagi dengan orang lain, dan memimpin atau memengaruhi anak, memiliki anak yang lebih asertif, prososial, dan mampu memecahkan masalah Santrock (2008:79).

Peran dan fungsi seorang ibu dalam keluarga akan memberikan kekuatan dalam keluarga dan stabilitas keluarga. Ibu memainkan peran yang sangat besar dalam membentuk sosialisasi anak-anaknya. Melly Sri Sulastri (2007:35) mengemukakan bahwa peranan ibu sebagai pendidik “utama” dalam pendidikan keluarga berupaya mengembangkan dan membimbing anak-anaknya untuk memiliki kepribadian yang kuat sebagai pribadi yang beraklakulkarimah.


(15)

Komunikasi ibu-anak dipandang sebagai „jendela‟ yang memberikan pemahaman terhadap sosial dan emosional anak (Howe, Rinaldi, Recchia, 2010:16). Kekuatan keluarga dan kesejahteraan psikologis ibu dalam menjalankan perannya diharapkan dapat terwujud kebahagiaan dalam diri ibu dan keluarganya. Dalam pandangan Islam, sumber kebahagiaan manusia datang dari dua arah, yaitu dari manusia dan dari Tuhan. Manusia yang ingin memperoleh kebahagiaan, maka ia harus beriman, beribadat dan beramal saleh, sementara kebahagiaan yang datang dari

Tuhan berupa syafa‟at dan rahmat (Mubarok, 2002:14).

Kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989:1071) adalah suatu pencapaian penuh potensi psikologis seseorang. Kesejahteraan psikologis terdiri atas 6 dimensi (Ryff, 1989:1071) yang menjadikan seseorang mampu untuk menerima diri, berhubungan positif dengan orang lain, mandiri, menciptakan dan menguasai lingkungannya, memiliki tujuan hidup dan mengembangkan pribadinya. Dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis tersebut merupakan faktor penting bagi ibu agar dapat menjalankan tugasnya lebih baik.

Kesejahteraan psikologis, menurut Vazquez, Hervas, Rahona, Gomez (2009:20), merupakan kondisi seseorang yang memiliki diri yang positif termasuk kesadaran akan keterbatasan diri, mengembangkan dan menjaga hubungan baik dengan orang lain, menciptakan lingkungan yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan, mengembangkan diri dan kebebasan diri, memiliki kemampuan mengatur hidup yang sesuai dengan upaya diri serta mengembangkan diri sesuai kemampuan dirinya. Kesejahteraan psikologis, menurut Hansen dan Slagsvold (2008:6)


(16)

merupakan konsep yang terdiri dari dua komponen yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif terdiri atas kepuasan akan kehidupan, diri sendiri dan domain kehidupan lainnya. Sedangkan komponen afektif terdiri atas perasaan yang menyenangkan seperti kegembiraan, kebanggaan, kebahagiaan dan perasaan yang tidak menyenangkan seperti sedih, depresi, dan kesepian.

Kesejahteraan psikologis, menurut Rathi & Rastogi (2007:32), adalah konsep yang cukup kompleks dengan beragam komponen yang mengikutinya. Bech (1993) mengartikan kesejahteraan psikologis sebagai suatu keadaan yang berhubungan dengan ukuran kualitas hidup yang subjektif. Beddington et al (2008:1057) mengemukakan bahwa kesejahteraan psikologis memiliki pandangan positif dalam kehidupan dan perasaan baik tentang diri, secara langsung mendukung pengalaman hidup yang lebih positif.

Peran dan tanggung jawab ibu adalah penting dalam keluarga. Seorang ibu perlu memiliki sikap positif terhadap dirinya agar mampu untuk mengembangkan pribadinya. Ibu mampu mengendalikan perilakunya, mampu mengontrol dan menciptakan lingkungan yang nyaman dalam keluarga, serta memiliki tujuan dalam hidup. Kesejahteraan psikologis, menurut Keyes et al (2002:1007), membutuhkan adanya perubahan dalam hidup, seperti adanya kepuasan hidup, keseimbangan antara afeksi positif dan afeksi negatif.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan keluarga apabila tidak dapat diatasi secara tepat dan seimbang dapat menimbulkan permasalahan pada peran ibu. Penelitian terkait dengan permasalahan yang dihadapi keluarga akan


(17)

memengaruhi kesejahteraan psikologis dan sistem keluarga tersebut. Rosenberg (Musdalifah, 2007:70) mengungkapkan bahwa ketika sebuah keluarga mengalami kesulitan, maka dapat diasumsikan bahwa keluarga tersebut mengalami disfungsi struktur. Penelitian yang dilakukan oleh Adler et al, Klebanov et al, MacFadyen (McKenry & Price,2000:258) menunjukkan bahwa faktor ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, pendapatan yang kurang mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan (well being) seseorang. Reaksi terhadap tekanan ekonomi terlihat dari perilaku yang dimunculkan di antaranya adalah meningkatnya rasa marah, permusuhan, depresi, kecemasan, psikosomatik, kesehatan fisik yang buruk. Selain itu dampak dari tekanan ekonomi keluarga adalah berkurangnya kualitas hubungan antara orang tua-anak, pernikahan, pertemanan hingga dapat menimbulkan ketegangan dan gangguan dalam kehidupan dan aktivitas sosial dengan lingkungan.

Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Grundy et al (2007:679) bahwa konflik dalam pernikahan, pemahaman terhadap pola pengasuhan dan kasih sayang dapat mempengaruhi kesejahteraan pada anak-anak. Profil dan karakteristik keluarga dengan kualitas yang tinggi dan sedikit konflik berhubungan dengan meningkatnya

self esteem dibanding dengan keluarga yang penuh konflik dan penolakan (Birditt &

Antonucci, 2007:601). Kualitas pada bentuk interaksi dalam keluarga selama masa remaja akan mempengaruhi perilaku pada masa dewasa (Dinero et al, 2008:625).

Seorang individu akan lebih efektif berubah jika keluarganya berubah. Jika satu keluarga dalam masalah, baik orang tua maupun anak akan terlibat dalam terapi keluarga (Olson dan DeFrain, 2006:360). Teori ini menyebutkan bahwa segala


(18)

sesuatu yang terjadi pada anggota keluarga akan mempengaruhi dengan kuat setiap orang dalam keluarga (Goldenberg dan Golderberg dalam Olson dan DeFrain, 2006:381).

Setiap ibu akan dihadapkan pada situasi yang dapat menghambat peran dan fungsinya. Ibu memiliki cara yang berbeda-beda dalam menghadapi persoalan-persoalan yang terkait dengan diri dan keluarganya. Oleh karena itu, adakalanya cara yang dilakukan ibu dapat bertentangan dengan keadaan yang diharapkannya.

Perkembangan zaman dan kemajuan di berbagai aspek kehidupan menjadikan peran seorang ibu mengalami perubahan. Wewenang dan wibawa para ibu menanjak dalam keluarga. Pergeseran dalam kemampuan intelektual, khususnya tingkat pendidikan kaum perempuan merupakan salah satu perkembangan sekaligus masalah baru dalam keluarga. Emansipasi dalam kehidupan sosial juga turut menentukan hubungan harmonisasi antara bapak dan ibu serta anak-anak di rumah (Dadang Johari, 2006:44).

Perubahan tersebut dapat menyebabkan permasalahan pada fungsi seorang ibu dalam keluarga. Selain mempunyai tugas dalam peran keluarga yang menjadi tanggung jawab, ibu yang bekerja memiliki tanggung jawab di luar keluarganya, yaitu tanggung jawab sebagai pekerja. Wyn et al (2003:4) mengemukakan banyak wanita yang memiliki peran ganda seperti menjadi pasangan, pengasuh, dan karyawan. Mereka mengakui bahwa peran tersebut berdampak pada kesehatan diri dan keluarga. Ibu yang bekerja di luar rumah dan menjadi satu-satunya pencari nafkah dengan


(19)

berpenghasilan rendah juga sering mengalami posisi sulit untuk menyeimbangkan kesehatan keluarga dan tanggung jawab mereka dengan kewajiban kerja.

Kesejahteraan psikologis ibu yang rendah dapat mempengaruhi perannya di dalam keluarga. Kesejahteraan psikologis yang rendah, menurut Ryff (1989:25), dapat menjadikan seseorang merasa tidak puas terhadap diri sendiri, kurang percaya terhadap hubungan dengan orang lain, tidak mampu bekerjasama, kekhawatiran terhadap harapan dan evaluasi dari orang lain, merasa tidak mampu untuk mengubah dan meningkatkan situasi, tidak peduli dengan kesempatan di lingkungan sekitar, tidak menyakini bahwa hidup ini berarti, kurang memiliki keinginan untuk berkembang dan tumbuh.

Berdasarkan pandangan tentang kesejahteraan psikologis, maka penelitian ini mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Carol Ryff. Teori tersebut telah mewakili aspek-aspek yang dikemukakan oleh pendapat-pendapat ahli lainnya.

Fenomena dan penelitian empirik yang terjadi di kehidupan keluarga menunjukkan ibu memiliki peran penting untuk mewujudkan keluarga yang diidamkan. Salah satu cara yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu adalah melalui bimbingan dan konseling keagamaan. Alasannya adalah orientasi keagamaan diharapkan mampu mengatasi persoalan-persoalan kehidupannya dengan cara yang positif berdasarkan keyakinan dan pengetahuan terhadap aspek religi.

Agama, menurut Onedera (2008:13), memainkan peran penting dalam kehidupan banyak orang. Bukti empirik menunjukkan bahwa keyakinan beragama


(20)

telah berkontribusi secara positif terhadap kesehatan mental. Pada saat ini, menurut Carlson, Kirkpatrick, Hecker, & Killmer (Onedera, 2008:18), agama telah menunjukkan peningkatan dalam literature terkait dengan pernikahan dan keluarga. Kartono (1986:33) menyebutkan salah satu dari fungsi keibuan adalah sivilisasi keagamaan. Fungsi ini sebagai salah satu tugas ibu-ibu adalah mewariskan nilai-nilai

keagamaan untuk menuntun anak manusia pada “asal dan akhir kehidupan”. Ibu

sebagai salah satu anggota keluarga akan berupaya dalam pengembangan diri yang berlandasakan hidup religius.

Selanjutnya, Greenfield, Vailland dan Marks (2009:196) mengemukakan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa keagamaan mungkin akan lebih utama bagi perempuan daripada pria. Hubungan sosial yang lebih kuat mempengaruhi kesehatan mental perempuan daripada laki-laki, pada perempuan aspek relasional sosial berbeda dengan laki-laki. Hood, Hill, Spilka, Bernard (2009) menjelaskan bahwa sepanjang abad 20, perempuan telah menunjukkan perlawanannya di setiap terkait dengan ikatan psikososialnya. Namun, perubahan besar tersebut menunjukkan bahwa perempuan mulai mengalami perubahan terhadap kontrol laki-laki di hampir semua aspek kehidupan mereka. Peran klasik perempuan dalam kaitannya dengan agama juga mulai berubah secara radikal pada 1960-an. Perempuan mulai mengembangkan cara-cara baru untuk mencapai arah mereka sendiri. Perempuan, menurut Argyle (2000:143), cenderung berperilaku sensitif secara sosial, ramah, dan peduli dengan kesejahteraan orang lain,. Selain itu perempuan juga ditemukan lebih merasa menderita, mengalami kecemasan dan perasaan bersalah. Mereka juga mengambil


(21)

tanggung jawab lebih untuk memberikan dukungan sosial dan mempertahankan hubungan dalam keluarga dan kelompok sosial lainnya. Levin (Greenfield, Vailland dan Marks, 2009:196) menyatakan perempuan lebih kuat menginternalisasikan sifat-sifat dan perilaku yang lebih kongruen dengan nilai-nilai agama.

Fitrah beragama merupakan potensi yang arah perkembangannya akan tergantung pada kehidupan beragama lingkungan dimana orang itu hidup, terutama lingkungan keluarga (Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, 2008:135). Syamsu Yusuf (2009:5) menyatakan pengintegrasian nilai-nilai agama dalam konseling merupakan upaya yang sangat berarti bagi pengembangan profesi konseling yang lebih komprehensif. Sejalan dengan beberapa kajian (Shafranske, 2005:500) bahwa terdapat relevansi terkait dengan agama dengan praktik klinis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan keterlibatan agama dengan kesehatan mental dan kesehatan fisik. Pada penelitian lain juga ditemukan tidak hanya keterlibatan agama yang meningkatkan penyesuaian psikologi tetapi komitmen agama juga berhubungan dengan berkurangnya faktor-faktor penting yang menghambat kesehatan mental, serta berkontribusi meningkatkan emosi positif untuk membantu lebih mampu bertahan, lebih kreatif, dan bijak, lebih bermakna, lebih socially

integrated dan semua yang tekait dengan kesehatan fisik (Fredrickson dalam

Shafranske, 2005:499 ).

Saat ini telah berkembang bimbingan dan konseling keagamaan baik dalam setting pendidikan maupun dalam setting kemasyarakatan. Konseling dalam seting kemasyarakatan merupakan konseling yang diberikan oleh konselor dalam seting


(22)

non-kependidikan. Konselor dalam seting kemasyarakatan berperan memberikan bantuan pada tugas-tugas tertentu dalam seting non-formal. Layanan bimbingan dan konseling diberikan di luar pendidikan formal seperti di organisasi-organisasi, rumah sakit, pusat-pusat kesehatan dan rehabilitasi, perguruan tinggi, rumah sakit, dan praktek swasta. Salah satu sosok yang menjadi konsumen utama layanan konseling di setting kemasyarakatan adalah perempuan (Gladding,1992:459). Perempuan, memiliki perbedaan kebutuhan dan bentuk sosialisasi yang berbeda sehingga membuat mereka lebih peduli terhadap konseling. Perempuan juga masih ketinggalan dalam tingkat kebebasan, status, akses yang terkait dengan peran sosial dan kesempatan karir dibandingkan laki-laki (Axelson, Meadow dalam Gladding, 1992: 459).

Salah satu organisasi yang berada dalam seting kemasyarakatan adalah Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga. Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga selanjutnya disingkat PKK adalah gerakan nasional dalam pembangunan masyarakat dari bawah yang pengelolaannya dari, oleh dan untuk masyarakat menuju terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak mulia dan berbudi luhur, sehat sejahtera, maju dan mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungan (Tim Penggerak PKK, 2008:5).

Aktivitas yang terdapat dalam gerakan PKK merupakan bagian dari serangkaian aktivitas untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Namun, pada kenyataannya terdapat beberapa kendala dan hambatan dalam menjalankan perannya


(23)

di organisasi dan di dalam keluarga. Hambatan ini memengaruhi kesejahteraan psikologisnya sehingga menimbulkan gejala-gejala atau indikator yang menunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan psikologis ibu.

Pandangan tersebut di atas menunjukkan bahwa pentingnya bimbingan dan konseling keagamaan bagi ibu. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya melalui model bimbingan dan konseling keagamaan dipandang sebagai salah satu cara bantuan dalam proses untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu.

Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2008:153) mengemukakan landasan religius dalam bimbingan dan konseling mengimplikasikan bahwa konselor sebagai

helper”, pemberi bantuan dituntut untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada konseli. Peran konselor, menurut Latipun (2003:204), menjadi faktor penting yang diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa penyerahan diri pada Tuhan karena ketidak mampuan, penemuan makna hidup, dan ajaran-ajaran keagamaan yang lain dapat dijadikan sebagai bagian dari konseling.

Bimbingan dan konseling bidang keagamaan telah diprogramkan secara formal dengan dasar-dasar nilai ilmiah sejak perang Dunia II pada tahun 1941. Pada saat itu Angkatan Bersenjata Amerika Serikat memerlukan pembinaan mental-spiritual keagamaan sebagai motivasi yang mendorong semangat juang mereka (H.M Arifin, 1994:11). Ragam bimbingan dan konseling keagamaan di antaranya konseling Islami, konseling pastoral, dan konseling Kristen. Bimbingan dan konseling


(24)

keagamaan berlandaskan nilai-nilai Islam, menurut Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2008:70), merupakan suatu proses bantuan yang diberikan kepada individu (baik secara perorangan maupun kelompok) agar memperoleh pencerahan diri dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama melalui uswah hasanah, pembiasaan atau pelatihan, dialog dan pemberian informasi yang berlangsung sejak usia dini sampai usia tua, dalam upaya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

H.M Arifin (1994:62) mengemukakan konseling pastoral bertujuan untuk memberikan bantuan pemecahan problema seseorang secara individual, dengan melalui proses pencerahan batin lewat potensi keimanan yang semakin kuat berpengaruh dalam pribadi, sesuai dengan agama yang dianut, pada hakekatnya tidak juga terlepas dari pendekatan keagamaan individu yang bersangkutan. Wade, Worthington, Vogel (2008:100) menyebutkan bahwa konseling Kristen sama efektifnya dengan konseling yang ada, dengan tingkat yang sebanding kedekatan dalam hubungan terapeutik. Konseling Kristen menurut mereka, dapat membantu konseli dan konselor untuk menggunakan intervensi agama yang kongruen untuk membina hubungan terapeutik keduanya, 83%-100% konseli dari pusat konseling Kristen bersedia untuk mendiskusikan topik-topik terkait dengan masalah personal yang dihadapi konseli.

Hubungan bimbingan konseling keagamaan dan kesejahteraan psikologis dapat ditinjau dari beberapa hasil penelitian. Beberapa penelitian yang menyatakan bahwa satu bidang penelitian yang telah memberikan wawasan ke dalam hubungan antara agama dan kesehatan mental adalah perbedaan individu yang menampilkan


(25)

orientasi intrinsik dan ekstrinsik terhadap agama (Gorsuch dalam Joshi, Shobhna., Kumari, Shilpa., & Jain, Madhu, 2008:347). Ramayulis (2007:97) mengemukakan sikap keagamaan yang merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang mendorong sisi orang tersebut untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama. Sikap keagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif, perasaan terhadap agama merupakan komponen afektif dan perilaku terhadap agama sebagai komponen konatif yang saling berintegrasi satu sama lain secara kompleks. Selanjutnya, kaitan bimbingan dan konseling keagamaan dengan kesejahteraan psikologis menunjukkan bahwa individu yang memiliki orientasi intrinsik agama mempengaruhi setiap aspek dalam kesejahteraan psikologis.

Model bimbingan dan konseling keagamaan dianggap sebagai upaya penting untuk membantu ibu agar memiliki kemampuan menghadapi persoalan-persoalan kehidupannya hingga dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis. Berdasarkan analisis dan pengalaman para ahli terkait dengan penerapan model bimbingan dan konseling keagamaan, model ini telah memberikan dampak positif bagi beberapa pihak seperti konseli dan konselor di lingkungan kemasyarakatan. Dampak positif tersebut di antaranya adalah mendorong keyakinan agama yang taat dan praktek untuk mencapai pertumbuhan rohani, kesejahteraan, kebahagiaan, tujuan hidup dan kepuasan dalam pernikahan, keluarga, dan dalam hubungan dengan orang lain. Selain itu, bimbingan dan konseling keagamaan memberikan dampak positif terkait dengan


(26)

rasa sukacita, damai, sejahtera, kepercayaan diri, mengatasi kesulitan dan konsekuensi kesehatan lainnya secara positif.

Dalam penelitian ini, model bimbingan dan konseling keagamaan yang akan dikembangkan dengan memperhatikan konsep konseling keagamaan secara umum dan juga konsep yang dikembangkan oleh Pargament (2003:101). Konsep keagamaan terdiri dari dimensi ideologi merupakan dimensi yang mengacu pada keyakinan agama dan arti penting agama dalam kehidupan seseorang; dimensi ritual mengacu pada perilaku yang diharapkan dari seseorang sesuai dengan agama yang diyakininya; dimensi pengalaman berkaitan dengan kehidupan mental dan emosional individu, termasuk rasa secara fisik, kesejahteraan psikologis dan kesejahteraan spiritual yang berasal dari keyakinan dan praktik keagamaannya; dimensi pengetahuan mengacu pada pengetahuan seseorang tentang agama dan dapat memiliki implikasi untuk dirinya sebagai individu sehingga dia dapat mengatasi kesulitan dalam menjalankan perannya di masyarakat; dan dimensi sosial (mengacu pada keyakinan dan praktik keagamaan yang dilakukan dan diamati dalam konteks sosial.

Model ini diasumsikan memiliki dampak positif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu. Kesejahteraan psikologis yang dimaksud adalah kemampuan otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup dan penerimaan diri. Dengan demikian maka penelitian ini berjudul Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Ibu.


(27)

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Latar belakang masalah penelitian dan landasan teoretik yang telah diuraikan di atas menjadi dasar untuk mengidentifikasi masalah sebagai berikut ini:

Pertama, kesejahteraan psikologis yang rendah dapat menjadikan ibu merasa

tidak puas terhadap diri sendiri, kurang percaya terhadap hubungan dengan orang lain, tidak mampu bekerjasama, kekhawatiran terhadap harapan dan evaluasi dari orang lain, merasa tidak mampu untuk mengubah dan meningkatkan situasi, tidak peduli dengan kesempatan di lingkungan sekitar, tidak meyakini bahwa hidup ini berarti, kurang memiliki keinginan untuk berkembang dan tumbuh.

Kedua, berdasarkan hasil studi pendahuluan yang terkait dengan rendahnya

tingkat kesejahteraan psikologis ibu, maka penting dilakukan upaya dengan pendekatan atau model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu. Kesejahteraan psikologis yang mencakup otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup dan penerimaan diri akan membentuk karakter dan kepribadian pada seorang ibu, sebagai anggota keluarga dan juga sebagai individu.

Pada penelitian ini fokus utama adalah “Apakah Model Bimbingan dan

Konseling Keagamaan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu?”

Secara lebih rinci masalah utama tersebut diuraikan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran atau profil kesejahteraan psikologis ibu PKK kelurahan Jaticempaka, Jatirahayu dan Jatiwaringin di kota Bekasi?


(28)

2. Seperti apa rumusan model hipotetik bimbingan dan konseling keagamaan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu?

3. Bagaimana efektifitas model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model bimbingan dan konseling keagamaan yang efektif bagi peningkatan kesejahteraan psikologis ibu. Secara khusus penelitian bertujuan:

1. Memperoleh gambaran tingkat kesejahteraan psikologis ibu yang meliputi dimensi: otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup dan penerimaan diri sebelum dan sesudah menjalani bimbingan dan konseling keagamaan.

2. Mengembangkan model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu PKK.

3. Memperoleh gambaran keefektifan model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu PKK.

D. Asumsi

Penelitian ini dilakukan berdasarkan asumsi berikut:

1. Ibu, sebagai salah satu sosok penting dalam keluarga, merupakan tempat pertama anak belajar dalam pembentukan kepribadian dan sifat mulia anak. Keluarga yang kuat akan menjadikan anak remaja berkembang dan berperilaku positif (Coll et al, 2008).


(29)

2. Orangtua harus bekerja bersama dalam mendidik anak dan menanamkan nilai-nilai yang positif kepada anak. Oleh karena itu penting bagi orangtua, terutama ibu, memiliki kesejahteraan psikologis agar dapat tercapai tujuan hidup. Feinberg dan Kan (2008:255) mengemukakan keserasian orangtua dalam pengasuhan mendukung dan mampu memenej konflik merupakan aspek inti dalam kehidupan keluarga.

3. Cinta kasih ibu merupakan jalinan emosi-emosi yang sangat kuat dan amat kompleks. Komponen-komponen instiktual dari keibuan pada manusia telah mengalami proses sublimasi dalam bentuk cinta kasih ibu yang multi-kompleks yang menjadi proses keberagamaan (Kartini Kartono, 1986:33). Proses ini menunjukkan bagaimana peran penting ibu menanamkan nilai-nilai, keyakinan dan praktik-praktik agama di kehidupan keluarga. Peran ibu menjadi salah satu faktor penentu dalam membentuk dan mendidik anak-anak dan keluarganya agar memiliki akhlak mulia dan penuh cinta kasih.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian bimbingan dan konseling keagamaan dianggap sangat penting dan perlu untuk membantu ibu untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis terutama terkait dengan dimensi-dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup dan penerimaan diri. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat (a) berguna sebagai bukti empirik tentang keefektifan model bimbingan dan konseling keagamaan untuk


(30)

meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu, (b) menjadi bahan masukan bagi pengembangan dan pendalaman keilmuan di bidang bimbingan dan konseling pada seting informal di masyarakat, khususnya dalam kajian bimbingan konseling keagamaan mengenai konsep kesejahteraan psikologis ibu yang berada di lingkungan kemasyarakatan, (c) menjadi bahan kajian untuk penelitian-penelitian selanjutnya, terutama mengenai perkembangan model-model bimbingan dan konseling keagamaan serta implementasinya di lingkungan kemasyarakatan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: a. Mengatasi masalah kesejahteraan psikologis yang terkait dengan otonomi, hubungan positif dengan orang lain, menciptakan dan menguasai lingkungannya, pertumbuhan dan pengembangan pribadi, tujuan hidup dan penerimaan diri pada ibu.

b. Implementasi model bimbingan dan konseling keagamaan bagi kelompok ibu-ibu PKK di kelurahan-kelurahan tentang peran bimbingan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis. Hal tersebut, dimaksudkan agar ibu-ibu memiliki pemahaman dalam mencapai kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan psikologis yang dimiliki ibu diharapkan dapat menjadi kekuatan untuk menghadapi persoalan-persoalan kehidupan dirinya dan juga keluarganya. Kesejahteraan psikologis seorang ibu dapat menjadi kekuatan suatu masyarakat dan menjadi kekuatan bangsa Indonesia baik dari segi ekonomi, sosial, politik dan moral bagi keluarga Indonesia di masa mendatang.


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu. Komponen program disusun berdasarkan kajian yang diawali dengan teori-teori tentang kesejahteraan psikologis dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, teori bimbingan dan konseling keagamaan serta kajian studi pendahuluan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (research & development). Pendekatan penelitian digunakan dengan alasan karena penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan produk yaitu model bimbingan dan konseling. Borg dan Gall (2003) menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan merupakan sebuah proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi hasil penelitian. Dalam penelitian ini, produk yang akan dihasilkan adalah model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu.

Desain penelitian ini menggunakan mixed methods research design. Mixed

methods research design, menurut Creswell (2009:204), adalah suatu prosedur untuk

mengumpulkan data, menganalisis dan mengkombinasikan kedua metode kualitatif dan metode kuantitatif dalam suaty penelitian tunggal untuk memahami masalah penelitian. Penggunaan metode kuantitatif dan metode kualitatif yang dikombinasikan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap


(32)

permasalahan penelitian dan pertanyaan penelitian daripada hanya menggunakan satu metode penelitian. Jenis desain yang digunakan adalah dengan jenis explanatory

mixed methods designs, yaitu prosedur pengumpulan data kualitatif untuk

mengeksplorasi suatu gejala, dan kemudian mengumpulkan data kuantitatif yang berkaitan dengan data kualitatif. Alasan penggunaan jenis desain tersebut karena penelitian dilakukan secara sekuensial yang terdiri dari 2 fase yaitu: (1) peneliti mengumpulkan data kuantitatif dan (2) peneliti mengumpulkan data kualitatif (Creswell, 2009:209).

Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini mengkaji kesejahteraan psikologis ibu dan keefektifan model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu sebagai implikasinya. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui validitas rasional model hipotetik bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu.

Pengembangan desain model menggunakan metode analisis deskriptif, metode pastisipatif kolaboratif, dan metode eksperimen. Metode analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis kesejahteraan psikologis ibu di 3 kelurahan yaitu kelurahan Jatirahayu, kelurahan Jaticempaka, dan kelurahan Jatiwaringin. Metode partisipatif kolaboratif dilakukan untuk uji kelayakan dan uji lapangan model hipotetik bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu. Uji kelayakan model hipotetik dilakukan meliputi uji rasional, uji keterbacaan dan uji coba terbatas. Dalam uji rasional melibatkan dua orang pakar konseling dan 1 orang pakar keagamaan. Sedangkan uji keterbacaan melibatkan 6


(33)

orang ibu-ibu PKK serta uji coba terbatas melibatkan 20 orang ibu-ibu PKK di kelurahan Jatirahayu.

B. Variabel dan Definisi Operasional

Dalam penelitian ini, variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu:

1. Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan.

Model bimbingan dan konseling keagamaan didefinisikan sebagai layanan fasilitasi dari konselor (peneliti) kepada ibu (sebagai unit analisis). Layanan tersebut merupakan proses hubungan bantuan yang berkesinambungan melalui dimensi-dimensi keagamaan dengan tahapan aktivitas. Tahapan aktivitas yang terdapat dalam model ini berdasarkan konsep Pargament (2003) yang terdiri dari: dimensi ideologi, dimensi ritual, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan dan dimensi sosial. Model bimbingan dan konseling keagamaan ini terdiri dari metode-metode yang digunakan, struktur dan tahapan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling, serta evaluasi dan indikator keberhasilan model.

Model bimbingan dan konseling keagamaan terdiri dari dua bentuk yaitu (1) model bimbingan dan konseling keagamaan yang dimaksudkan sebagai upaya pengembangan kesejahteraan psikologis ibu-ibu PKK yang meliputi dimensi-dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan diri. (2) Panduan pelaksanaan model


(34)

bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu.

2. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being).

Kesejahteraan psikologis secara operasional didefinisikan sebagai skor pada skala kesejahteraan psikologis Ryff yang meliputi enam dimensi, yaitu (1) mandiri/otonomi (mengemukakan pendapat, menentukan keputusan sendiri, yakin dengan pendapat sendiri, pengakuan dari orang lain), (2) Berhubungan positif dengan orang lain (memperhatikan, saling mendukung, menjalin hubungan dengan orang lain, saling percaya), (3) Penguasaan lingkungan (mengelola tanggung jawab, melakukan pekerjaan dengan baik, mengatur waktu, memiliki gaya hidup yang sesuai dengan diri), (4) Pertumbuhan pribadi (memiliki pengalaman baru, mengembangkan diri, terbuka dengan pengalaman baru, mencoba cara baru), (5) Memiliki tujuan hidup ( memiliki rencana masa depan, fokus pada saat sekarang), (6) Menerima diri (sikap positif terhadap diri sendiri, menerima diri, merasa nyaman dengan diri sendiri, percaya diri dan positif terhadap diri).

C. Pengembangan Instrumen Penelitian

Langkah-langkah pengembangan instrument penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

1. Pengembangan kisi-kisi instrumen penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data tentang kesejahteraan psikologis pada ibu-ibu. Alat ukur yang digunakan adalah The Ryff scales of


(35)

360) untuk mengukur psychological well-being (kesejahteraan psikologis) seseorang. Penggunaan alat ukur ini telah mendapat ijin oleh Carol Ryff. Alat ukur ini telah diadaptasi sesuai kebutuhan penelitian. Alat ukur ini terdiri dari 42 item. Masing-masing item mempunyai rentang skala likert antara 1 hingga 6 (Sangat Tidak Setuju hingga Sangat Setuju). Item-item pada alat ukur ini merepresentatsikan kualitas-kualitas personal yang berkontribusi pada kesejahteraan psikologis seseorang yang terdiri dari 6 dimensi yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Berikut adalah kisi-kisi kuesioner kesejahteraan psikologis:


(36)

Tabel 3.1.

Kisi-Kisi Kuesioner Kesejahteraan Psikologis

No Dimensi Indikator No butir No butir No butir Jumlah

butir

Favorable Unfavorable

1 Otonomi Mengemukakan pendapat Menentukan keputusan sendiri

Yakin dengan pendapat sendiri

Pengakuan dari orang lain

1,2,3,4,5, 6,7

1,2,3,4, 5,6,7 7

2 Hubungan positif dengan orang lain

Penuh perhatian

Menjalin hubungan dengan orang lain

Saling Percaya,

8,9,10,11 ,12,13,14

8,9,10,11 12,13,14 7

3 Penguasaan lingkungan

Mengelola tanggung jawab, Melakukan pekerjaan dengan baik,

Mengatur waktu

Memiliki gaya hidup yang sesuai dengan diri

15,16,17, 18,19,20, 21

15,16,17, 18

19,20,21 7

4 Pertumbuhan Pribadi

Memiliki pengalaman baru Mengembangkan diri Terbuka dengan pengalaman baru

Mencoba cara baru

22,23,24, 25,26,27, 28

22,23,24,2 5

26,27,28 7

5 Tujuan hidup Memiliki rencana masa depan,

Aktif melaksanakan rencana Fokus pada saat sekarang dan masa lalu

Kegiatan sehari-hari 29,30,31, 32,33,34, 35 29,30,31,3 2

33,34,35 7

6 Penerimaan diri

Sikap positif terhadap diri sendiri,

Menerima diri

Merasa nyaman dengan diri sendiri

Percaya diri dan positif terhadap diri 36,37,38, 39,40,41, 42 36,37,38,3 9

40.41.42 7


(37)

2. Penimbangan (judgement) instrumen penelitian

Penimbangan instrumen dilakukan oleh dua orang pakar Bimbingan dan Konseling, dan satu orang psikolog. Tujuan penimbangan instrumen adalah untuk memperoleh kesesuaian antara isi setiap pernyataan dengan indikator variabel yang akan diukur dan diharapkan instrumen penelitian layak dipakai. Ketiga penimbang tersebut terdiri dari Dr. Ilfiandra, M.Pd (doktor dalam bidang bimbingan dan konseling Universitas Pendidikan Indonesia), Dr. Erham, M.Pd (doktor dalam bidang bimbingan dan konseling dari Universitas Islam Bandung) dan Dr. Ayu Dwi Nindyati (doktor dalam bidang Psikologi Universitas Paramadina).

Kegiatan penimbangan ini berorientasi pada validitas konstruk dan validitas isi, berupa variable, subvariabel, aspek/dimensi, dan indikator yang hendak diukur, redaksi setiap butir pernyataan, keefektifan susunan kalimat dan koreksi terhadap bentuk format yang digunakan.

Penimbang memberikan koreksi terhadap item yang kurang tepat dan kurang layak, baik secara konstruk maupun kebahasaannya. Setelah itu dilakukan revisi sesuai dengan masukan, saran-saran dan koreksi dari penimbang.

3. Uji keterbacaan instrumen penelitian

Langkah selanjutnya sebelum dilakukan uji coba instrument, untuk mengetahui validasi eksternal instrumen penelitian dilakukan uji keterbacaan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam istrumen penelitian dapat dimengerti susunan redaksi dan maknanya serta telah


(38)

sesuai/menggambarkan dimensi-dimensi yang terdapat dalam kesejahteraan psikologis.

Kegiatan ini dilakukan dengan menghadirkan enam orang ibu dari kelurahan Jaticempaka. Mereka diminta untuk mengerjakan instrument dengan waktu yang telah ditentukan. Setelah itu, ibu diajak untuk berdiskusi dan diminta untuk memberikan masukan terhadap setiap butir pernyataan yang dianggap masih membingungkan mereka. Masukan dari ibu-ibu tersebut, kemudian dikembangkan untuk melakukan revisi kisi-kisi instrumen penelitian. Selanjutnya instrumen disiapkan untuk ujicoba.

Uji coba intrumen penelitian dilakukan kepada 150 ibu di kelurahan Jatiwaringin, Jaticempaka dan Jatirahayu, Bekasi. Data hasil uji coba dianalisis tingkat validitas dan realiabilitasnya, setelah itu direvisi sehingga diperoleh instrument yang memiliki tingkat kesahihan dan keterandalan yang memadai. Jumlah item berupa pernyataan terdiri dari 42 item.

4. Validitas item dan reliabilitas instrumen

a. Uji validitas

Uji validitas adalah untuk melihat kesesuaian instrument penelitian dengan objek pengukuran. Tujuannya adalah sejauh mana skor dari suatu tes bisa memberikan gambaran tentang populasi atau sampel (Creswell, 2005). Jadi validitas tes pada dasarnya menunjukkan bahwa skor yang didapat dari suatu alat tes mempunyai arti, cocok dan bisa mengukur apa yang hendak diukur dari suatu


(39)

populasi atau sampel (Creswell, 2005). Anastasi dan Urbina (2006) menjelaskan bahwa validitas menitik beratkan pada apa maksud dari tes tersebut dan seberapa tepatnya hasil dari tes tersebut. Pada penelitian ini langkah uji validitas item dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi item-total product moment. Korelasi item total dipilih karena metode ini dapat digunakan untuk melihat hubungan suatu item dengan item yang lain yang memiliki dimensi yang sama. Penghitungan validitas item pernyataan dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS versi 16.0. Hasil menunjukkan bahwa seluruh butir pernyataan yang berjumlah 42 item adalah valid (terlampir).

b. Uji reliabilitas

Setelah melakukan uji validitas item kemudian dilakukan uji reliabilitas instrument. Creswell (2005) menjelaskan reliabilitas sebagai tingkat kestabilan dan

konsistensi dari suatu alat tes. Jadi skor seseorang akan cenderung sama atau mendekati

jika dilakukan tes dengan alat yang sama. Uji reliabilitas instrumen pada penelitian ini

akan dilakukan dengan metode penghitungan koefisien Alpha Cronbach dengan menggunakan koefisien Alpha Cronbach. Koefisien Alpha Cronbach adalah model

internal consistency score berdasarkan korelasi mean antara butir item yang ekivalen.

Uji reliabilitas instrumen bertujuan untuk mengetahui suatu instrument dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Instrument yang reliable akan menghasilkan data yang dapat dipercaya. Pengujian reliabilitas instrumen digunakan rumus Cronbach’s Alpha dan proses pengujiaan dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS versi 16.0. The Ryff Scales of Psychological Well-Being


(40)

merupakan skala yang sudah terstandar dan sudah melalui validitas isi. Hasil uji validitas dan uji reliabilitas instrument penelitian kesejahteraan psikologis secara lebih rinci disajikan pada tabel 3.2 berikut ini.

Tabel 3.2

Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Instrumen Kesejahteraan Psikologis Variabel Kesejahteraan Psikologis

Koefisien Korelasi Butir Total 0,323 s/d 0.933

Jumlah butir 42

Koefisien reliabilitas (Cronbach

Alpha) 0.976

D. Subyek Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu. Proses pengembangan model ini terdiri dari empat tahap. Subyek penelitian ditentukan berdasarkan tahap-tahap dan kegiatan dari pengembangan model. Penelitian ini melibatkan subyek sesuai dengan tahap dan jenis kegiatan penelitian.

Pada penelitian, pengambilan sampel dalam studi pendahuluan menggunakan metode purposive sampling. yang memiliki karakteristik sebagai berikut: telah menikah dan subyek penelitian termasuk dalam tahap perkembangan dewasa. Alasan pemilihan subyek penelitian berada dalam tahap perkembangan dewasa karena menurut Papalia et al. (2008), pada usia ini sifat dan gaya kepribadian menjadi


(41)

relative stabil, akan tetapi perubahan dalam kepribadian dapat dipengaruhi oleh tahapan dan peristiwa kehidupan. Selain itu keputusan tentang hubungan yang intim dan gaya hidup personal telah terjadi. Pada tahap ini juga mayoritas orang-orang dewasa telah menikah dan dari mereka mayoritas telah menjadi orangtua. Subyek penelitian pada studi pendahuluan adalah ibu-ibu PKK berjumlah 228 orang.

Pada tahap validasi dan pengembangan model, kegiatan penelitian melalui kelayakan isi/konstruk dan kelayakan konseptual model. Subyek penelitian ialah ahlil/pakar bimbingan dan konseling dan pakar keagamaan. Sementara pada tahap validasi empirik untuk ujicoba model, subyek penelitian adalah pengurus dan anggota PKK. Selanjutnya pada tahap uji efektifitas model untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis adalah ibu-ibu PKK. Subyek penelitian terdiri dari 20 ibu PKK Jaticempaka sebagai kelompok eksperimen dan 20 ibu PKK Jatiwaringin sebagai kelompok kontrol.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menggunakan teknik kuesioner dan studi dokumentasi seperti rekaman kegiatan. Data kualitatif diperoleh melalui lembar kegiatan subyek penelitian yang diberikan layanan bimbingan, dan wawancara; sedangkan data kuantitatif diperoleh melalui hasil kuesioner kesejahteraan psikologis yang diisi oleh subyek penelitian. Teknik kuesioner digunakan untuk mengetahui kondisi aktual tingkat kesejahteraan psikologis dan berguna untuk menganalisis kesejahteraan psikologis ibu.


(42)

F. Prosedur Penelitian

Berdasarkan tujuan yang akan dicapai, maka prosedur penelitian ditempuh melalui tahapan berdasarkan desain penelitian dan pengembangan (research and

development) menurut Borg & Gall (2003). Tahapan-tahapan tersebut terdiri dari

sembilan langkah, yaitu: (1) studi pendahuluan, (2) perencanaan, (3) penyusunan model awal, (4) memperbaiki model, (5) ujicoba, (6) memperbaiki kembali model hasil ujicoba, (7) melakukan ujicoba kembali, (8) menyempurnakan model menjadi model akhir, (9) diseminasi dan implementasi model.

Sembilan tahapan di atas dapat disederhanakan menjadi empat tahap yang disesuaikan kemampuan peneliti, sebagai berikut:

1. Pendahuluan. Pada tahap ini dilakukan dua kegiatan yaitu studi pustaka dan studi pendahuluan/kajian empirik. Studi pustaka dilakukan dengan tujuan untuk menelaah konsep-konsep teori tentang konseling keagamaan dan kesejahteraan psikologis serta hasil-hasil penelitian yang terkait dengan penerapan bimbingan dan konseling keagamaan. Hasil studi pustaka tersebut digunakan untuk mengembangkan dan mengaplikasikan bimbingan dan konseling keagamaan sebagai sebuah model.

Kegiatan selanjutnya adalah kajian empirik dengan melakukan asesmen kebutuhan. Tujuan kegiatan adalah untuk memperoleh gambaran mengenai profil kesejahteraan psikologis ibu-ibu PKK di 3 kelurahan yaitu kelurahan Jaticempaka, Jatiwaringin, dan Jatirahayu, Bekasi. Teknik yang digunakan dalam asesmen kebutuhan adalah inventori kesejahteraan psikologis dan juga dilakukan wawancara.


(43)

2. Perencanaan. Pada tahap ini perencanaan dan perancangan model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis disusun berdasarkan temuan-temuan pada studi pendahuluan. Selanjutnya, peneliti menyusun model hipotetik bimbingan dan konseling keagamaan yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu.

Model hipotetik yang dihasilkan terdiri dari beberapa komponen yaitu: rasional, deskripsi dan masalah kebutuhan, tujuan, asumsi model, target intervensi, komponen program, langkah-langkah kegiatan, kompetensi konselor untuk implementasi model, struktur dan isi intervensi, evaluasi dan indikator keberhasilan. Dalam rencana pelaksanaan model tersebut terdapat panduan pelaksanan model yang berisi komponen-komponen: pengantar, tujuan, karakteristik hubungan, norma kelompok, peran konselor, pelaksanaan layanan yang akan diberikan serta evaluasi dan indikator keberhasilan.

3. Pelaksanaan. Pada tahap ini dilakukan uji kelayakan model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis. Pada tahap ini dilakukan tiga kegiatan yaitu uji validasi isi, validasi empirik dan revisi model hipotetik.

Validasi isi bertujuan untuk memperoleh masukan para pakar bimbingan dan konseling terhadap model yang telah disusun. Para pakar terdiri dari 3 orang yaitu Dr.Nani Sugandhi, M.Pd. (Universitas Pendidikan Indonesia), Dr. Ipah Saripah, M.Pd. (Universitas Pendidikan Indonesia) dan Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag. (UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Psikologi). Proses validasi isi yang dilakukan melalui


(44)

diskusi langsung untuk memperoleh masukan kelayakan isi. Berdasarkan masukan tersebut model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu layak dipakai. Terdapat beberapa saran dan masukan terhadap model tersebut.(terlampir).

Pada tahap pelaksanaan selanjutnya, model yang telah dianalisis dan direvisi kembali, kemudian dilakukan uji lapangan pada model bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis. Dalam uji lapangan ada dua kegiatan yaitu (1) uji model terbatas yang terdiri dari uji coba terbatas dan uji efektivitas, (2) revisi model.

Uji model terbatas terbagi dua kegiatan yaitu uji coba terbatas dilakukan kepada 20 orang ibu-ibu PKK di kelurahan Jatirahayu. Tujuan dilakukannya uji terbatas adalah untuk mendapatkan masukan dari ibu-ibu PKK sebagai subyek dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu. Selanjutnya pada tahap ini dilakukan uji efektivitas, dengan tujuan untuk mengetahui keefektifan model tersebut. Fokus pada uji ini adalah untuk mengetahui apakah prosedur bimbingan dan konseling keagamaan dapat melibatkan seluruh partisipan secara aktif dalam proses bimbingan sehingga model tersebut berfungsi.

Setelah pelaksanaan uji terbatas kemudian dilakukan revisi sesuai hasil uji terbatas dan masukan terhadap model hipotetik dari segi konstruksi, materi dan pelaksanaan konseling. Selanjutnya penyusunan model akhir dalam bentuk pedoman bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis


(45)

ibu. Hasil uji keefektifan model tersebut sebagai dasar untuk menyempurnakan model operasional menjadi model yang teruji.

4. Hasil. Model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis selanjutnya direkomendasikan dan diimplementasikan kepada khalayak.

Berikut adalah gambar 3.1 tentang rangkaian penelitian dan pengembangan model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis:

Gambar 3.1

Rangkaian Penelitian dan Pengembangan Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Ibu

Pendahuluan Perencanaan Pelaksanaan Hasil

Model yang

direkomendasikan Uji terbatas

model Penyusunan

Model Hipotetik Konseling Studi Pustaka -keagamaan -kesejahteraan Psikologis Studi Pendahuluan -Profil kesejahteraan ibu-ibu PKK

Revisi Validasi Model

Oleh Pakar Analisis dan

revisi

Implementasi Model BK Keagamaan untuk meningkatkan Kesejahteraan Psikologis ibu

G. Teknik Analisis Data Penelitian

Data penelitian yang dianalisis terdiri dari data tentang kesejahteraan psikologis dan dimensi-dimensinya serta data untuk memperoleh hasil tentang efektivitas model.


(46)

Analisis data tersebut bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang profil kesejahteraan psikologis ibu-ibu PKK, rumusan model bimbingan dan konseling keagamaan, dan gambaran efektivitas model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu sebagai produk penelitian ini.

1. Analisis Profil Kesejahteraan Psikologis Ibu PKK

Profil kesejahteraan psikologis ibu dianalisis melalui beberapa tahapan. Azwar (2008) mengemukakan rumusan tahapan untuk memperoleh skor optimal, skor minimal, standar deviasi dan mean terotetik sebagai berikut:

a. Skor optimal = jumlah item alat ukur x skor tertinggi item b. Skor minimal = jumlah item alat ukur x skor terendah item

c. Satuan standar deviasi teoretik = skor maksmal – skor minimum / 6 d. Mean skor = Rentang skor / 3

Berdasarkan tahapan di atas, maka menurut Azwar (2004) didapatkan kriteria sebagai berikut:

X > M – 1 SD : Kategori Tinggi M –1 SD ≤ X < M + 1 SD : Kategori Sedang

M + 1 SD ≤ X : Kategori Rendah

2. Analisis Kelayakan Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Ibu

Model bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu terdiri dari beberapa dimensi yaitu: rumusan judul, rumusan rasional


(47)

model, rumusan deskripsi dan masalah kebutuhan, rumusan tujuan model, rumusan asumsi model, rumusan target intervensi, rumusan komponen model, rumusan langkah-langkah kegiatan, rumusan kompetensi konselor, rumusan struktur dan isi intervensi, rumusan evaluasi dan indikator keberhasilan model.

Teknik yang digunakan untuk menganalisis kelayakan model adalah (1) uji rasional model yang dilakukan oleh pakar bimbingan dan konseling serta pakar keagamaan; (2) uji keterbacaan model melibatkan ibu-ibu PKK; (3) uji terbatas pada model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu. Uji terbatas model dilakukan kepada 20 orang ibu PKK.

3. Analisis Efektifitas Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Ibu

Efektifitas model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu dilakukan dengan menganalisis tingkat kesejahteraan psikologis ibu sebelum dan sesudah mengikuti bimbingan dan konseling dalam pengujian lapangan model.

Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian eksperimen

pretest-posttest control group design. Alasan menggunakan desain ini adalah untuk

membandingkan keadaan kesejahteraan psikologis ibu sebelum dan sesudah perlakuan dengan kelompok pembanding.

Berikut adalah bentuk desain (Heppner et al., 2008:152): O1 X O2


(48)

Hipotesis penelitian ini adalah

Ho : µpra-tes = µpasca-tes

H1: µpra-tes ≠ µpasca-tes

Metode yang digunakan untuk menguji efektivitas model bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu dengan melakukan analisis kovarian (ANAKOVA). Analisis data menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS 17.0 for windows. Dasar pengambilan keputusannya adalah dengan melihat perbandingan nilai Sig dengan α, yaitu jika nilai Sig. < α (0.05) maka


(49)

MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING KEAGAMAAN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU

Kesejahteraan Psikologis (Sebelum Layanan BK

Keagamaan) L A Y A N A N B K K E A G A M A A N Kesejahteraan Psikologis (Setelah Layanan BK Keagamaan)

Otonomi

Mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain

Hubungan dengan orang lain Kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain

Penguasaan lingkungan Kesulitan melakukan pekerjaan

dengan baik

Pertumbuhan pribadi Ketidakinginan untuk

berkembang

Tujuan hidup Kesulitan menentukan rencana

masa depan

Penerimaan diri Tidak puas dengan diri sendiri

Hubungan positif dengan orang lain -Kasih sayang; saling mendukung; menjalin hubungan dengan orang lain; saling percaya

Otonomi

- Mengemukakan pendapat; Menentukan keputusan sendiri; Yakin dengan pendapat sendiri; Pengakuan dari orang lain

Penguasaan lingkungan

-Melakukan pekerjaan dengan baik; mengatur waktu,; bekerja sesuai peran dan prioritas

Pertumbuhan pribadi

-Memiliki pengalaman baru; mengembangkan diri; terbuka dengan pengalaman baru; mencoba cara baru

Tujuan hidup

-Memiliki rencana masa depan; focus saat sekarang dan masa depan; kegiatan sehari-hari yang mendukung kesejahteraan psikologis

Penerimaan diri

-Sikap positif terhadap diri sendiri; Merasa nyaman dengan diri sendiri, Percaya diri

Gambar 3.2

Model Bimbingan dan Konseling Keagamaan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Ibu PKK


(50)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan, implikasi hasil penelitian dan rekomendasi.

A. Kesimpulan

Kesimpulan hasil penelitian ini disusun berdasarkan pembahasan hasil penelitian sebagai berikut:

1. Profil kesejahteraan psikologis ibu-ibu secara umum berada pada kategori sedang. Profil ini menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis ibu-ibu masih perlu untuk dikembangkan agar menjadi lebih baik. Secara perkembangannya, ibu-ibu telah memasuki usia dewasa dan telah mampu untuk mengembangkan sikap, wawasan dan pengalaman nilai-nilai ajaran agama, serta memiliki kemampuan dalam mengambil tanggung jawab. Profil kesejahteraan psikologis ibu ditinjau dari dimensi-dimensinya otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup dan penerimaan diri secara umum berada pada kategori sedang. Artinya, bahwa secara umum dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis masih perlu untuk dikembangkan agar setiap dimensi menjadi lebih baik.

2. Model hipotetik bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis yang dikembangkan terdiri dari rasional, deskripsi masalah dan kebutuhan, tujuan, target intervensi, komponen program, langkah-langkah kegiatan, kompetensi konselor, struktur dan isi materi, serta evaluasi dan indikator


(51)

keberhasilan. Pertimbangan yang dilakukan oleh pakar bimbingan dan konseling menunjukkan bahwa model hipotetik tersebut dipandang layak untuk digunakan sebagai salah satu layanan bimbingan dan konseling di setting kemasyarakatan seperti gerakan PKK.

3. Model konseling bimbingan dan konseling keagamaan telah terbukti efektif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu-ibu PKK di kelurahan Jaticempaka. Model bimbingan dan konseling keagamaan yang telah dikembangkan memiliki beberapa karakteristik diantaranya adalah (1) model ini efektif digunakan untuk ibu-ibu PKK dengan tingkat pendidikan dasar, menengah, dan juga tingkat pendidikan tinggi, (2) model ini juga efektif digunakan untuk ibu-ibu dengan status pernikahan baik itu yang menikah maupun status janda, (3) model ini dapat digunakan terutama untuk ibu-ibu yang beragama Islam dan dapat digunakan juga digunakan oleh agama selain agama Islam.

4. Efesiensi model tersebut telah dibuktikan dengan melakukan uji statistik terhadap kelompok eksperimen dan kelompok kontrol serta didukung oleh data kualitatif. Efektivitas model bimbingan dan konseling keagamaan meliputi enam dimensi kesejahteraan psikologis yaitu : (1) otonomi, (2) hubungan positif dengan orang lain, (3) penguasaan lingkungan, (4) pertumbuhan pribadi, (5) tujuan hidup, dan (6) penerimaan diri.


(52)

Dari kesimpulan hasil penelitian dapat dijelaskan adanya implikasi konseptual tentang pentingnya bimbingan dan konseling keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada ibu di dalam kehidupan keluarga. Dengan kata lain, kesimpulan penelitian ini, secara langsung dan tidak langsung mengandung muatan bahwa peranan bimbingan dan konseling keagamaan berimplikasi pada dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis pada ibu sebagai pendidik “utama” dalam keluarga. Hasil kesimpulan penelitian ini mengandung muatan pentingnya pengembangan penerapan teori dan praktek tentang bimbingan dan konseling keagamaan pada program gerakan PKK untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu.

1. Keberadaan bimbingan dan konseling keagamaan sebagai progam layanan pada dasarnya secara implikatif penting untuk kehidupan keluarga. Di dalam kehidupan keluarga meliputi pentingnya kesadaran ibu-ibu memahami peran dan tugasnya sebagai pendidik utama. Kedudukan ibu sebagai tokoh sentral sangat penting untuk melaksanakan kehidupan keluarga dan sebagai pusat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seperti kebutuhan-kebutuhan sosial dan kebutuhan-kebutuhan psikis. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut memungkinkan tercapai tujuan hidup berkeluarga yaitu keluarga sakinah, mawadah, warrahmah.

1. Implikasi tentang perlunya bimbingan dan konseling keagamaan untuk diterapkan dan diberikan kepada ibu-ibu agar kesejahteraan psikologis ibu lebih baik. Kesejahteraan psikologis merupakan suatu pencapaian penuh dari potensi psikologis


(53)

yang perlu dimiliki ibu. Keadaan ibu yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik maka ia memiliki kemampuan-kemampuan seperti memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan tingkah laku sendiri, mampu mengatur lingkungan, memiliki tujuan hidup, mampu mengembangkan potensi-potensi dalam dirinya serta menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya. Sikap ibu yang

menerima diri apa adanya merupakan sikap qana’ah. Pentingnya sikap qana’ah

dimiliki oleh seseorang karena sikap ini akan mempertebal rasa syukur terhadap apa yang dimilikinya. Firman Allah SWT:

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur maka Kami akan menambah nikmat kepadamu,

namun jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat

pedih” (QS Ibrahim:7).

2. Ibu, sebagai seorang anggota keluarga, dapat menjalankan tugas dan perannya dengan baik di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat apabila mereka memiliki kemampuan menciptakan hubungan baik dengan orang lain. Kemampuan ibu membina hubungan yang hangat, saling percaya, empati, dan mampu menjalin persahabatan yang kuat dengan orang lain berpengaruh positif terhadap kesejahteraan psikologisnya. Dalam Islam, Al-Qur’an menyebutkan hubungan manusia dengan sesama manusia (habl min an-nas), manusia mengembangkan dan memanfaatkan potensinya dalam bentuk menjalin persaudaraan. Allah SWT menyuruh umatnya mengutamakan perbuatan kasih sayang dan persaudaraan, bukan perilaku yang dilandasi permusuhan.

3.Kesimpulan penelitian ini berimplikasi pada pengetahuan, sikap dan ketrampilan ibu dalam menjalankan fungsi dan perannya dalam kehidupan bermasyarakat.


(54)

Penerapan model hipotetik kepada ibu-ibu kader PKK oleh konselor penting agar mereka memiliki ketrampilan dalam melaksanakan fungsi dan perannya di dalam kehidupan masayrakat. Konselor sebagai sosok professional perlu memiliki kompetensi yang mendukung untuk memahami fungsi dan peran ibu, mampu memiliki kemampuan untuk menjelaskan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis, memiliki keterampilan dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling keagamaan dan layanan responsive, memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan pihak-pihak di masyarakat agar tercipta budaya positif antar ibu di lingkungan sekitarnya, serta memiliki etika religius baik itu personal, sosial dan professional.

C. Rekomendasi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada beberapa pihak yang terkait dengan pengembangan kesejahteraan psikologis ibu. 1. Bagi konselor di setting kemasyarakatan:

a. Model bimbingan dan konseling keagamaan ini dapat menjadi salah satu layanan bimbingan dan konseling yang dapat diberikan kepada ibu-ibu PKK dan dapat menjadi bagian dari program atau kegiatan gerakan PKK yang telah ada di tiap kelurahan,

b. Dapat mengembangkan upaya-upaya bimbingan dan konseling lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu, mengingat banyaknya


(55)

kesejahteraan psikologis ibu-ibu PKK yang masih pada kategori sedang. Hal ini diperlukan karena tantangan permasalahan yang dihadapi ibu sangat kompleks.

2. Bagi para peneliti: Terkait dengan hasil penelitian yang terbatas hanya dilakukan di satu kelurahan maka peneliti selanjutnya perlu untuk melakukan uji efektivitas model bimbingan dan keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis secara lebih luas. Hal ini betujuan agar penelitian ini dapat diuji secara lebih luas dengan memperbanyak responden, memperluas area (tidak terbatas di kelurahan tapi dapat berkembang ke kecamatan).

3. Bagi pengembangan kelembagaan (Lurah dan Camat), hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi pengurus PKK di tingkat kelurahan dan kecamatan untuk mengembangkan model bimbingan dan konseling keagamaan sebagai bagian dari program gerakan PKK yang telah ada, dengan pemantauan dan pengawasan dari konselor ahli.


(1)

McKenry, Pattrick., Price, Sharon. (2000). Family & Change: Coping with stressful

events and transitions. USA: Sage Publications.

McLeod, J. (2006). Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus (terjemahan). Jakarta: Pranada.

Milardo, Robert (editor). (2001). Understanding families into the new millennium:

a decade in review. USA: National Council on Family Relations

Miller, Gery. (2003). Incorporating spirituality in counseling and psychotherapy : theory and technique. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Mubarok, A. (2002). Konseling Agama: Teori dan Kasus. Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Mueller, Paul., Plevak, David., Rummans, Theresa. (2001). Religious Involvement, Spirituality, and Medicine:Implications for Clinical Practice. Mayo Foundation for Medical Education and Research, 1225-1235.

Musdalifah. (2007). Building Family Competence. Iqra. Vol 3, Januari, h. 67-78. Nickles, Tiffany. (2011). The Role Of Religion And Spirituality In Counseling.

Psychology And Child Development Department. USA: College Of Liberal Arts, California Polytechnic State University

Okozi, I. (2010). Attachment to GodL Its Impact on the Psychological Wellbeing of Persons with Religious Vocation. Dissertation. Seton Hall University

Olson, David. DeFrain, John. (2006). Marriages and Families:Intimacy, Diversity

and Strengths. New York:McGraw Hill.

Onedera, Jill D. (2008). The Role of Religion in Marriage and Family Counseling, USA: Taylor & Francis Group.

Paloutzian, Raymond. (2009). Psychology of Religion Module. 7th edition. Texas : University of Texas.

Papalia, Diane., Olds, Sally W., Feldman, Ruth Duskin. (2008). Human


(2)

Pargament, Kenneth. (2007). Spiritually Integrated Psychotherapy: Understanding

and Addressing the Sacred. New York: The Guilford Press.

Pargament, K. (2003). Meaning. In Fetzer, Multidimensional Measurement of

Religiousness/Spirituality (pp. 19-24). USA: John E. Fetzer Institute.

Pargament, K.I. Koenig H.G, Perez L.M. (2000). The Many Methods of Religious Coping:Development and Initial Validation of the RCOPE. Journal Of

Clinical Psychology, Vol. 56(4), 519-543.

Pargament, Kenneth I., . Ano, Gene G., and Wachholtz, Amy B. (2005). The Religious Dimension of Coping: Advances in Theory, Research,and Practice. In C. L. Raymond F.Paloutzian, Handbook of the psychology of

religion and spirituality (p. 479-495). New York: The Guilford Press.

Pargament, K. I. (2007). Spiritually integrated psychotherapy : understanding and

addressing the sacred. New York: The Guilford Press.

Parker, Stephen. (2009). Faith development theory as a context for supervision of spiritual and religious issues. Counselor Education & Supervision. September, Vol 49, 39-53.

Passmore, Nola. (2003). Religius Issues in Counselling: Are Australian Psychologists “Dragging the Chain”? Australian Psychologists. Vol 38, No.

3, 183-192.

Perron, B. (2006). A Critical Examination of the environmental mastery scale.

Social Indicators Research, 171-188.

Ponterotto, Joseph., Costa-Wofford., Brobst, Karen E., Spelliscy, Dorota., Kacnski, Jaclyn M., Scheinholtz, Jennifer., (2007). Multicultural personality dispositions and Kesejahteraan psikologis. The Journal of Social

Psychology. Vo.147(2), 119-135.

Prayitno, Erman Amti. (2004). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

Pudrovska, Tetyana. (2010). What makes you stronger: age and cohor differences in personal growth after cancer. Journal of Health and Social Behavior. Vol.51,3,p.260-273.


(3)

Rathi, Neerpal. & Rastogi, Renu. (2007). Meaning in Life and Psychological

well-being in Pre-Adolescents and Adolescents. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology. January, Vol.33, No.1, 31-38.

Reiner, S. M. (2007). Religious and spiritual beliefs: an avenue to explore

end-of-life issues. USA: American Counseling Association.

Reis, Harry., Sheldon, Kennon., Bable, Shelly., Roscoe, Joseph., Ryan, Richard. (2000). Daily well-being: The Role of Autonomy, Competence and Relatedness. Society for Personality and Social Psychology, 419-435.

Richards, P Scoot., Bergin, Allen.(2007). A Spiritual Strategy for Counseling and Psychotherapy. 2nd edition. American Psychological Association, Washington DC.

Ryff,.C.D.1989. Happiness is everything or is it? Exploration on the meaning of

psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology.

Vol.57, No.6.pp 1069-1081.

Ryff, C.D. & Keyes, CLM. (1995). The Structure of Psychological well-being.

Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 69, No.4, pp 719-727.

Ryff, C.D., Keyes, CLM., Hughes, D,L., (2003). Status inequalities, perceived discrimination, and eudaimonic well-being: Do the challenges of minority life hone purpose and growth?. Journal of Health and Social Behavior. vol 44,3., pp 275-291.

Ryff, C.D. & Singer, B.H. (2006). Know Thyself and Become What You Are: a Eudaimonic Approach to Psychological Well-Being. Journal of Happiness

Studies, Springer, 9 (1), 13-39.

Santrock, John. W.,(2008). Educational Psychology. New York: Mc Graw Hill International edition.

Sarwono, Sarlito. W. (2001). Psikologi Sosial : Individu dan Teori-teori Psikologi

Sosial Cetakan Ketiga. Jakarta : Balai Pustaka.

Savage, Julie and Armstrong, Sarah. (2010). Developing Competency in Spiritual and Religious Aspect of Counseling. In J. Ericson Cornish, Handbook of

Multicultural Counseling Competency (pp. 379-414). New Jersey: John


(4)

Segrin, Chris., Taylor, Melissa. (2007). Positive interpersonal relationships mediate the association between social skills and kesejahteraan psikologis.

Personality and individual difference. Vol.43, 637-646.

Setiono, K. (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung: Widya Padjadjaran.

Shafranske, E. P. (2005). The Psychology of Religion in Clinical and Counseling Psychology. In R. P. Paloutzian, Handbook of The Psychology of Religion

and Spirituality (pp. 496-510). New York: The Guilford Press.

Sheffield, T. (2006). The Religious dimensions of advertising. New York: Palgrave Macmillan.

Sheldon, Kennon., Kasser, Tim., Smith, Kendra., Share, Tamara. (2002). Personal Goals and Psychological Growth: Testing an Intervention to Enhance Goal Attainment and Personality Integration. Journal of Personality. 1-30.

Singgih, Gunarsa., Singgih, Yulia. (2008). Psikologi praktis: anak, remaja dan

keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Smith, Linda Del Fabro., Suto, Melinda., Chalmers, Andrew., Bacman, Catherine. (2011). Belief in doing and knowledge in being mothers with arthritis. Vol.31. no.1. pp 40-48.

Spilka, Bernard., (2005). Religious Practice, Ritual, and Prayer. In C. L. Raymond F.Paloutzian, Handbook of the psychology of religion and spirituality (p. 365-377). New York: The Guilford Press.

Springer, Kristen., Hauser, Robert., Frees, Jeremy. (2008). Bad news indeed for Ryff’s six-factor model of well-being. Social Science Research. Pp.1-12. Sulastri, M. S. (2007). Aktualisasi Peranan Wanita Sebagai Ibu (Pendidik "Utama"

dalam Pendidikan Keluarga pada Era Globalisasi). In N. R. Arifah A Riyanto, Perspektif Pendidikan Kesejahteraan Keluarga dalam Kehidupan

Keluarga, Sekolah dan Masyarakat (p. 35). Bandung: Jurusan Pendidikan

Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan UPI. Surya, M. (2008). Mewujudkan Bimbingan dan Konseling Profesional. Bandung:

Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, FKIP UPI.


(5)

Syamsu, Yusuf, (2009). Konseling Spiritual Teistik. Bandung: Rizqi Press.

Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan. (2008). Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: UPI dan Rosdakarya.

Tarakeshwar, Nalini., Stanton ,Jeffrey & Pargament. Kenneth I.. (2003). Religion: An Overlooked Dimension in Cultural Psychology. Journal of

Cross-Cultural Psychology 2003; , 377-394.

Thompson, Rosemary. (2003). Counseling Techniquies: Improving relationships

with others, ourselves, our families, and our environment. USA: Taylor &

Francis.

Tim Penggerak PKK Kota Bekasi. (2008). Buku Saku Kader PKK. Bekasi: Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga.

Underwood. (2003). Daily Spiritual Experience. In F. Institute, Multidimensional

Measurement of Religiousness/Spirituality for use in Health Research (pp.

11-18). USA: John E. Fetzer Institute.

Vazquez, Carmelo., Hervas, Gonzalo., Rahona, Juan Jose., Gomez, Diego. (2009). Psychologycal well-being and health. Contribution of positive psychology.

Annuary of clinical and health psychology, Vol 5., pp.15-27.

Vieira, Paulo., Mata, Jutta., Silva, Marlene., Countinho, Silvia., Santos, Teresa., Sardinha, Luis., Teixeira., Pedro. (2011). Predictor of Psychological Well-being during Behavioral Obesity Treatment in Women. Journal of Obesity. 1-8.

Wade, N. G., Worthingon, E. L., & Vogel, D. L. (2008). Effectiveness of religiously tailored interventions in Christian therapy. Psychotherapy Research, 17(1), 91-105.

Weiss, Heather., Mayer, Ellen., Kreider, Holly. (2003). Making it work: low-income working mothers’involvement in their children’s education.

American Educational Research Journal. Vol.40, pp.879-901.

Williams, D. (2003). Commitmen. In Fetzer, Multidimensional Measurement of

Religiousness/Spirituality for Use in Health Research (pp. 71-74). USA:


(6)

Winefield, Helen., Gill, Tiffany., Taylor, Anne., Pilkington, Rhiannon. (2012). Psychological well-being and psychological distress: is it necessary to measure both. Psychology of Well-Being: Theory, Research and Practice, 1-14.

Wood, Alex., Joseph, Stephen., Matlby, John. (2009). Gratitude predics psychological well-being above the Big Five facets. Personality and

Individual Differences, 443-447.

Wyn, Roberta., Ojed, Victoria. (2003). Women, Work, and Family Health: A Balancing Act. Kaiser Women’s Health. April 2003.