MENGGALI KEARIFAN PENDIDIKAN PESANTREN TRADISIONAL (Studi Kasus di Pondok Pesantren Ummul Quro, Cicalengka, Kab. Bandung).

(1)

2014 / UN . 40 . 2 . 7 /PL / 2014 MENGGALI KEARIFAN PENDIDIKAN PESANTREN TRADISIONAL

(Studi Kasus di Pondok Pesantren Ummul Quro, Cicalengka, Kab. Bandung)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Oleh:

Hamka Mujahid Ma’ruf 0903913

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Di era globalisasi ini, pengaruh dari luar semakin gencar. Gesekan atau bahkan benturan antar budaya adalah sesuatu yang tidak terhindarkan sehingga mau tidak mau harus dihadapi. Perubahan sosial-budaya akan terus terjadi dan tatanan nilai-nilai moral pun semakin beresiko mengalami pergeseran. Dalam suatu proses perubahan sosial, ada yang perlu berubah dan ada yang tidak boleh berubah. Abdurrahman Wahid mengatakan, “Ada yang tetap dan tidak mengalami perubahan, seperti prinsip moral/etika yang mengatur kehidupan kita; tetapi ada pula yang mengalami perubahan, terutama mengenai manifestasi prinsip itu akibat proses modernisasi” (Wahid, 2010a: 128-129).

Pengaruh dari luar adalah salah satu faktor pemicu perubahan sosial yang paling besar. Pengaruh dari dunia luar tidak selalu berdampak buruk dan begitu pun dengan budaya bangsa yang kita miliki, tidak semuanya patut dipertahankan. Oleh sebab itu, kita harus memiliki pemahaman yang benar atas perubahan-perubahan sosial. Dengan begitu, kita akan mampu memilih pilihan yang tepat; mana yang perlu dipertahankan, mana yang perlu dirubah. Seperti apa yang dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid (dalam Mastuhu, 1994: 35), „Dalam hal memilih sesuatu, peliharalah hal-hal baik yang telah ada, sambil mengembangkan hal-hal baru yang lebih baik.‟

Selanjutnya Abdurrahman Wahid mengingatkan kepada kita bahwa; jangan sampai perubahan-perubahan sosial yang terjadi menyebabkan kita “kehilangan budaya” karena ketika kita mengalami “kehilangan budaya”, itu tidak dapat diganti oleh apa pun. Dan tentunya kita sama-sama tidak menginginkan perubahan sosial yang liar. Apalagi perubahan-perubahan itu menyangkut hampir seluruh aspek kehidupan kita sebagai bangsa. Kita tentu tidak mengingini perubahan asal berubah sehingga kita kembali tertinggal dalam mencari keseimbangan antara hal-hal material dan immaterial, atau sering disebut sebagai “pembangunan material dan “pembangunan spiritual”. Kita menginginkan keseimbangan yang secara relatif akan mengarahkan nilai-nilai yang


(3)

berkembang, menjadi sesuatu yang positif dan konstruktif bagi kehidupan bangsa dalam jangka waktu panjang (Wahid, 2010a: 128-129).

Kita harus mencari keseimbangan antara hal-hal material dan immaterial. Sehingga menghindari model pembangunan yang timpang adalah suatu keniscayaan. Jangan sampai kita mengalami ketimpangan kebudayaan seperti yang dialami oleh saudara-saudara kita di belahan bumi Barat. Berikut ini, penulis akan memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana kebudayaan Barat mengalami ketimpangan dan bahkan cenderung melakukan perusakan atas dirinya sendiri. Eamonn Kelly mengatakan;

Tidak ada masyarakat dalam sejarah dunia yang pernah menikmati standar kehidupan yang dialami orang Amerika sekarang. Akan tetapi semenjak tahun 1960, tingkat perceraian telah meningkat dua kali lipat, angka bunuh diri remaja tiga kali lipat, kriminal kekerasan empat kali lipat, populasi penjara lima kali lipat, dan beberapa perkiraan menempatkan kasus depresi di tahun 2000 menjadi 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan yang ada di tahun 1900. Orang Amerika sekarang kurang bahagia daripada orang di 40 tahun yang lalu, meskipun faktanya mereka menghasilkan uang 2,5 kali lipat lebih banyak (Kelly, 2010: 63).

Apa yang dikatakan oleh Eamonn Kelly di atas hanya sebagian kecil dari indikator-indikator yang menjelaskan bahwa kebudayaan Barat modern sedang mengalami ketimpangan. Berdasarkan ekplorasi yang dilakukan oleh penulis, ketimpangan-ketimpangan lain yang melanda kebudayaan Barat modern dapat ditemukan dalam (Armstrong, 2011: 14-16, 505-506; Azra, 2007: 69; Capra, 2007: 3, 44; Chittick, 2010: xiv, 17-26; Kelly, 2010: 60-66; Lickona, 2012: 6; Muthahhari, 2001: 30-40; Naomi, 2009: 350-351; O‟Neil, 2008: xi; Syaifudin, 2012: 235-276; Tafsir, 2012: 59-61; Hidayat, 2012: xiv, 194, 268-274; Hidayat, 2013: 111; Wilber, 2012: 5, 128, 161-162; Zuhri, 2007: 35-37).

Kebudayaan Barat modern mengalami ketimpangan tersebut karena pembangunan mereka lebih cenderung hanya pada aspek material sedangkan aspek spiritual kurang mendapatkan perhatian (Wilber, 2012: 5). Kita perlu memahami latar belakang, mengapa, kebudayaan Barat modern menjadi seperti sekarang ini dan bagaimana keharusan kita dalam menyikapinya. Sementara itu, ironisnya, dalam era globalisasi ini,


(4)

nilai-nilai kebudayaan yang mendominasi adalah kebudayaan Barat modern seperti apa yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir berikut ini;

Pengaruh dari luar yang dominan dan patut diwaspadai adalah kebudayaan Barat. Di antara sekian banyak kebudayaan yang perlu diidentifikasi yang terpenting ialah kebudayaan yang sekarang sedang merasuki dunia, termasuk Indonesia, yaitu kebudayan Barat. Yang sedang berlangsung di kita sekarang ialah pertarungan antara kebudayaan Pancasila dengan kebudayaan Barat. Inilah hakikat globalisasi kebudayaan yang kita hadapi sekarang. Kebudayaan lain juga ada tetapi pengaruhnya tidak sebesar pengaruh kebudayaan Barat (Tafsir, 2012: 56).

Dominasi kebudayaan Barat ini telah diprediksi sebelumnya oleh Arnold J. Toynbee. Toynbee (dalam Azizy, 2004: 1) mengatakan: „Para ahli sejarah di masa mendatang akan berkata bahwa kejadian yang besar di abad ke-dua puluh adalah pengaruh kuat kebudayaan Barat terhadap semua masyarakat di dunia‟. Dewasa ini, prediksi Toynbee tersebut sudah terbukti. Di mana, hampir tidak ada aspek kehidupan kita yang tidak terpengaruh oleh kebudayaan Barat modern. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun; Ibnu Khaldun (dalam Supardan, 2008: 101) mengatakan bahwa kelompok yang terkalahkan selalu senang mengekor ke kelompok yang menang, baik dalam slogan, pakaian, kendaraan, dan tradisinya.

Lantas mengapa, Barat bisa mendominasi kebudayaan masyarakat dunia? Samuel P. Huntington memberikan jawabannya, “Dalam sejarah, perluasan pengaruh suatu peradaban biasanya terjadi secara simultan dengan berkembangnya kebudayaan. Dan untuk menyebarkan nilai-nilai, praktik-praktik dan institusi-institusinya kepada masyarakat lain, selalu melibatkan penggunaan kekuasaan. Sebuah peradaban universal memerlukan kekuatan universal” (Huntington, 2010: 141). Jawaban dari Huntington tadi, diperkuat oleh Paulo Freire. Freire mengatakan, “Dapat dijumpai kebudayaan yang dominan dan subordinatif yang menunjukkan adanya suatu kepentingan (yang berbeda), dan kemudian kebudayaan tersebut terbentuk dari kekuasaan yang tidak seimbang” (Freire, 2004: 20).

Paham-paham yang menjadi pondasi kebudayaan Barat modern disadari atau tidak telah mewabah ke seluruh dunia dan masyarakatnya, dan mungkin sudah menjangkiti


(5)

diri kita sendiri. Martin L. Sinaga mengatakan, “Roh pragmatisme dan materialisme sudah sangat keterlaluan menguasai jiwa. Lalu orang mengatakan, agama-agamalah yang paling berkemampuan untuk mengimbangi pragmatisme dan materialisme itu. Dan semoga agama-agama itu sendiri tidak dikuasai oleh roh kepentingan dan pementingan diri-sendiri” (Sinaga, 2000: 153). Menurut Sinaga, untuk mencegah wabah pragmatisme dan materialisme agar tidak menjangkiti diri kita, solusinya ada pada penguatan nilai-nilai agama serta pengimplementasiannya dalam kehidupan. Hal senada diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat. Hidayat mengatakan bahwa “Warisan terbaik itu bukan tumpukan harta, tetapi kualitas pendidikan yang baik dan nilai-nilai keagamaan” (2013: 49). Lantas, mengapa agama? Mengapa bukan yang lain? Di bawah ini penulis akan menjawabnya dengan mengutip tulisan K. Bertens;

Tidak bisa diragukan, agama merupakan sumber nilai dan moral yang paling penting. Dan tidak bisa disangkal bahwa, agama mempunyai hubungan erat dengan moral. Dalam praktik hidup sehari-hari, motivasi kita yang terpenting dan terkuat bagi perilaku moral adalah agama. Moral mendapat daya ikat yang kuat dari agama. Bagi orang beragama, Tuhan adalah dasar jaminan untuk berlakunya tatanan moral (Bertens, 2011: 31-41).

Sekarang pertanyaannya; bagaimana caranya agar nilai-nilai keagamaan bisa terinternalisasi dan diimplementasikan dengan baik dan konsisten? Jawabannya adalah melalui pendidikan keagamaan. Pendidikan keagamaan bisa dimulai sejak di lingkungan keluarga. Setelah itu, pendidikan agama bisa lebih dikembangkan di lingkungan yang lebih besar daripada lembaga keluarga yaitu lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan yang jelas-jelas menjadikan agama sebagai dasarnya dan Tuhan sebagai tujuannya, salah satunya adalah pesantren (Mastuhu, 1994: 55). Ditinjau dari segi ajaran dan identitas keagamaan santri, pesantren tergolong lembaga pendidikan yang eksklusif karena ajaran yang diajarkan adalah ajaran agama Islam dan santrinya pun adalah orang yang beragama Islam. Tapi, sesuatu yang inklusif tidak selalu lebih benar dan lebih baik daripada sesuatu yang eklusif. Dalam beberapa hal, eklusifitas memang diperlukan. Dalam konteks pendidikan, meskipun nilai-nilai moral antara agama yang satu dengan agama yang lain mempunyai banyak kesamaan tetapi dalam aspek lain seperti aspek teologis dan ritual tidak bisa disama-samakan (Bertens,


(6)

2011: 38-39). Yang paling penting dalam memandang dan menyikapi realitas perbedaan bukanlah dengan menyama-nyamakan perbedaan melainkan bersatu dalam perbedaan dalam bingkai nilai-nilai moral universal.

Ada beberapa tipe pesantren. Dalam penelitian ini, pesantren yang diteliti adalah pesantren tradisional. Pengertian sederhananya, pesantren tradisional adalah pesantren yang masih mempertahankan sistem pendidikan, strukur kepengurusan, dan literatur-literatur yang menjadi sumber kajiannya sama seperti dahulu, sejak keberadaan pesantren itu sendiri. Menurut Mastuhu, pengertian “tradisional” dalam batasan ini menunjuk bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun (300-400) yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia (1994: 55).

Pesantren tradisional adalah lembaga pendidikan yang unik dan mempunyai ciri khas tersendiri. Bahkan, para ahli mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan asli Indonesia atau disebut sebagai indigenous (Madjid, 1997: 3). Oleh karena kekhasan dan orisinalitasnya inilah sudah sepatutnya pesantren tradisional perlu dipahami, dihargai, dan kalau perlu, terus dilestarikan. Mengapa pesantren tradisional perlu dilestarikan? Karena pesantren tradisional adalah suatu warisan budaya. Menurut Abdurrahman Wahid, “kehilangan budaya” tidak dapat diganti oleh apa pun (Wahid, 2010a: 128-129).

Ali Shari‟ati berkata bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menyadari dan memahami jati dirinya sendiri;

Perbedaan antara cendikiawan Timur yang bebas dan cendikiawan Timur yang berpikir kebarat-baratan adalah bahwa yang pertama tidak pernah ingin membatasi dirinya pada norma-norma intelektual yang diimpor dari Barat, sedangkan yang kedua menganggap Barat sebagai model yang harus ditiru. Tipe yang berorientasi ke Barat mungkin seorang intelektual, sangat terpelajar, dan seorang sarjana, walaupun demikian, ia terlalu terasing atau terpisah dari masyarakatnya untuk dapat mempengaruhi secara konstruktif. Tipe ini tidak dapat menjadi pemimpin rakyatnya yang sadar dan paham, karena ia tidak mengenal kenyataan-kenyataan dan kebutuhan-kebutuhan nyata dari masyarakatnya. Dilihat dari peranan sosialnya, ia selalu sengaja menjadi individu yang tidak matang, impoten, bingung, dan lemah, serta tercerabut dari


(7)

akar masyarakatnya, walaupun ia sendiri hidup dari masyarakatnya (Shari‟ati, 1987: 107-108).

Apanya yang perlu dilestarikan dari lembaga pendidikan yang bernama pesantren tradisional? Yang terpenting adalah nilai-nilai kearifannya. Di bawah ini penulis akan menyebutkan nilai-nilai kearifan yang dimiliki pesantren tradisional berdasarkan hasil eksplorasi penulis melalui kajian pustaka. Nilai-nilai kearifan pesantren tradisional diantaranya;

Kearifan Pesantren Sumber

Latar belakang berdirinya pesantren adalah untuk menegakkan kebajikan dan memberantas keburukan yang diawali dengan perbaikan diri sendiri.

(Mastuhu, 1994: 20).

Perubahan sosial yang dilakukan oleh pesantren dilakukan dengan cara-cara damai, dialogis, dan menyejukkan.

(Nafi‟, 2007: 151-152; Sholeh, 2007: 40). Sejarah membuktikan bahwa pesantren selalu berperan

aktif dalam menghadapi penjajahan.

(Suryanegara, 2010: xv; Rahardjo, 1974: 10; Mastuhu, 1994: 148; Sukamto, 1999: 77). Pesantren adalah lembaga pendidikan yang terbuka bagi

siapa pun di saat lembaga pendidikan kolonial hanya terbuka bagi kalangan tertentu.

(Suharto, 2011: 28; Umiarso, 2011: 2; Rahardjo, 1974: 4).

Prioritas pendidikan pesantren adalah membangun manusia beriman sekaligus berakhlak terpuji.

(Mastuhu, 1994: 55-56; Mastuhu, 1994: 62; Dhofier, 2011: 45). Ajaran moral pesantren sangat kuat karena berlandaskan

ajaran agama (Islam).

(Nafi, 2007: 151; Mastuhu, 1994: 16, 26, 57, 65; Rahardjo, 1974: 51, 52).


(8)

nilai-nilai moral yang berlandaskan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.

Rahardjo, 1974: 2, 42).

Pendidikan moral di pesantren berporos pada proses pembiasaan dan berlangsung sepanjang hari, selama dua puluh empat jam.

(Mastuhu, 1994: 58, 153; Rahardjo, 1974: 69).

Poros utama pendidikan pendidikan pesantren adalah keteladanan kiai.

(Suharto, 2011: vii, 141; Sukamto, 1999: 14; Rahardjo, 1974: 45, 49). Pesantren adalah lembaga pendidikan yang dianggap

memberikan pendidikan moral yang sangat efektif.

(Mastuhu, 1994: 24-25; Rahardjo, 1974: 54).

Kiai, ustadz, santri, semua orang-orang di dunia pesantren memandang dan meyakini bahwa segala aktivitasnya dalam dunia kepesantrenan sebagai ibadah, pengabdian kepada Tuhan.

(Rahardjo, 1974: 67; Kurniawan dan Mahrus, 2011: 231-232; Dhofier, 2011: 45; Mastuhu, 1994: 56, 62, 133).

Orientasi utama orang-orang pesantren adalah hidup setelah kematian, akhirat.

(Mastuhu, 1994: 56, 126-127; Dhofier, 2011: 45; Rahardjo, 1974: 42).

Orang-orang pesantren dididik agar tidak terlalu mencintai harta benda duniawi dan dididik agar senantiasa bersyukur.

(Rahardjo, 1974: 42).

Aktivitas mencari ilmu di pesantren tidak didasari motivasi yang bersifat materialistik.

(Suharto 2011: x-xi; Rahardjo, 1974: 76; Dhofier, 2011: 45) Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak

mengeluarkan ijazah formal dan merupakan lembaga pendidikan yang berprinsip bahwasanya pendidikan adalah proses yang tidak pernah berakhir dan mesti dilaksanakan sepanjang hayat.

(Suharto 2011: xi; Dhofier, 2011: 44-45; Rahardjo, 1974: 48; Mastuhu, 1974: 41, 65).


(9)

Pola pendididikan pondok pesantren membangun solidaritas sosial yang erat.

(Rahardjo, 1974: 70; Sukamto, 1999: 101-102)

Pesantren ikut membangun rasa persatuan dan kesatuan bangsa karena keragaman daerah asal dan latar belakang kesukuan para santri.

(Nafi‟, 2007: 152).

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang kuat mempertahankan identitas dirinya di tengah arus perubahan sosial

(Rahardjo, 1974: 43; Dhofier, 2011: 41; Madjid, 1997: vii-xv; Nafi‟, 2007: 152).

Walaupun demikian banyak kearifan yang dimiliki pesantren tradisional, tidak dipungkiri bahwa pesantren bukanlah lembaga yang sudah sempurna sehingga tidak perlu diubah atau diperbaiki. Pesantren bukanlah sesuatu yang sakral seperti wahyu yang tidak tersentuh; sebab, ide tentang pesantren sendiri beserta sistem di dalamnya hanyalah buatan manusia, oleh sebab itu, transformasi (dan reformasi) pesantren adalah suatu keniscayaan.

Ketika penulis menyadari bahwa pendidikan pesantren tradisional memiliki ciri khas dan kelebihan tersendiri, pada saat yang bersamaan, ironisnya, eksistensi pesantren tradisional sendiri tengah mengalami kegoncangan. Bahkan Rumadi mengatakan bahwa banyak pesantren tradisional yang mengalami kemunduran, bahkan banyak pula yang sudah mengalami kepunahan (Rumadi, 2009: 126).

Apakah pondok pesantren tradisional benar-benar terancam punah? Bisa jadi memang begitu. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis sebagai peneliti, peneliti menemukan beberapa indikasi yang mendukung dugaan tersebut. Salah satu indikatornya terlihat dari semakin sedikitnya jumlah santri di pondok pesantren tradisional. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah karena adanya (semacam) perasaan dilematis pada diri orang tua; jika memilih untuk memberi anaknya pendidikan pondok pesantren tradisional, para orangtua khawatir nantinya anak mereka tidak bisa bersaing di dunia kerja di masa depan. Sementara, di


(10)

sisi lain, sampai saat ini, secara konsisten masih banyak orang tua yang menaruh harapan dan berkeyakinan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan moral yang sangat efektif (Mastuhu, 1994: 24-25). Oleh sebab itu, menurut Abdurrahman Wahid (2010b: 65-70) solusinya adalah pendidikan sekolahan dan pesantrenan tidak dijadikan pilihan yang dipilih salah satunya melainkan diambil kedua-duanya .

Lantas, apa masalahnya apabila akhirnya pondok pesantren tradisional benar-benar punah? Seperti apa yang sudah penulis ungkapkan bahwa pesantren tradisional memiliki banyak nilai-nilai kearifan. Sehingga, dikhawatirkan, jika pesantren tradisional hilang maka nilai-nilai kearifannya pun akan ikut menghilang. Oleh sebab itu, penulis ingin melakukan penelitian ini. Dalam pikiran penulis, jika kearifan pesantren ini digali, dikembangkan, dan diamankan maka kalaupun bentuk pesantren tradisional dalam bentuknya yang sekarang sudah benar-benar menghilang, tapi setidaknya nilai-nilai kearifan yang menjadi substansi pendidikannya bisa terus diawetkan dan diwariskan ke generasi-generasi berikutnya.

Alasan selanjutnya, mengapa pondok pesantren tradisional perlu dipertahankan karena, pondok pesantren tradisional adalah suatu lembaga pendidikan yang unik, khas, dan bersejarah. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh beberapa ahli. Bahkan, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa, seandainya Indonesia tidak pernah dijajah oleh bangsa Eropa, niscaya universitas-universitas top di tanah air bukanlah seperti yang ada sekarang ini melainkan Universitas Tebuireng, Universitas Cipasung, Universitas Lirboyo, dan universitas-universitas yang berasal dari lembaga pendidikan keagamaan lainnya -- hal ini berdasarkan pada contoh-contoh seperti yang terjadi di Barat; universitas top seperti Harvard dan Oxford, pada awal berdirinya merupakan lembaga pendidikan yang berorientasi keagamaan (Madjid, 1997: 3).

Masalah-masalah yang telah dipaparkan oleh penulis layak dan penting untuk diteliti. Jika suatu permasalahan tidak diteliti, maka kita tidak akan tahu persis bagaimana kita harus menyikapinya. Langkah pertama untuk menyelesaikan suatu permasalahan adalah dengan menyadari dan mengetahui terlebih dahulu apa permasalahannya. Dan penelitian adalah salah satu upaya yang paling efektif untuk memahami permasalahan yang sedang terjadi. Oleh sebab itu, penelitian ini layak dan


(11)

penting dilakukan karena jika tidak; dikhawatirkan apa yang menjadi kegundahan dan kekhawatiran penulis yaitu, hilangnya kearifan pesantren tradisional bersamaan dengan punahnya lembaga pendidikan pesantren tradisional benar-benar terjadi.

Sebelum mengakhiri latar belakang masalah ini, penulis akan mengemukakan alasan-alasan lain penulis memilih tema ini berkaitan dengan status penulis sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Meskipun sebenarnya, alasannya sudah banyak penulis ungkapkan di atas, tetapi memang baru tersirat belum tersurat. Tema atau judul utama yang dipilih penulis adalah Kearifan Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional. Alasannya, diantaranya adalah;

Pertama, pemilihan tema ini dibenarkan oleh Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia. Regulasinya berbunyi seperti ini, “Untuk bidang pendidikan, skripsi difokuskan pada eskplorasi permasalahan dan atau pemecahan masalah pendidikan dan pengajaran dasar (SD, SMP, MTs), pendidikan menengah (SMA,SMK, Madrasah Aliyah), pendidikan tinggi, serta pada jalur pendidikan luar sekolah termasuk pendidikan keluarga” (2009: 11).

Kedua, secara garis besar, di mana pun, tujuan pendidikan hanya ada dua, seperti apa yang dikemukakan oleh Thomas Lickona, “Berdasarkan penelitian dari seluruh negara yang ada di dunia ini, pada dasarnya pendidikan (hanya) memiliki dua tujuan, yaitu membimbing para generasi muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku baik” (Lickona, 2012: 7). Sementara itu, secara khusus, tujuan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Sapriya, “Tujuan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Studies) adalah untuk membantu para anak dan remaja dalam mengembangkan potensinya agar menjadi warga negara yang baik dalam kehidupan masyarakat (Sapriya, 2007: 5). Dan begitu pun pendidikan di pesantren, tujuannya adalah agar santri mau dan mampu berperilaku baik, sesuai dengan ajaran agama Islam (Suharto 2011: xiii). Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat kita temukan benang merahnya bahwa diantara ketiganya, pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu membangun manusia yang baik.


(12)

Ketiga, di atas telah disebutkan bahwa pada dasarnya tujuan pendidikan adalah membangun manusia agar menjadi manusia yang baik. Untuk menjadi manusia baik, tentunya diperlukan standar tentang apa saja yang tergolong sebagai perilaku baik. Dalam konteks berbangsa dan bernegara (Indonesia), kita mempunyai konsesus mengenai hal tersebut dalam falsafah bangsa dan ideologi negara kita, Pancasila. Kemudian, dalam konteks sebagai umat beragama, kita juga mempunyai standar yang termanifestasikan dalam masing-masing ajaran agama kita. Dan patut diingat bahwa nilai dan moral yang berdasarkan pada keyakinan dan ajaran agama memiliki daya ikat yang paling kuat seperti apa yang dikemukakan oleh Bertens bahwa, “Tidak bisa diragukan, agama merupakan sumber nilai dan moral yang paling penting dan memiliki daya ikat yang paling kuat” (Bertens, 2011: 31-41).Dan yang tidak kalah penting dan tidak boleh dilupakan adalah bahwa filsafat, ilmu pendidikan, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmunya lainnya, semuanya, pada akhirnya bermuara pada ajaran agama (Sapriya, 2007: 6).

Keempat, kemungkinan besar penulis akan menjadi guru Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah. Diharapkan, wawasan dan pemahaman yang dimiliki penulis mengenai dunia kepesantrenan akan memperkaya dan memperdalam khazanah keilmuan dan pengalaman penulis mengenai lembaga pendidikan selain sekolah, khususnya pesantren. Bisa jadi penulis akan menerapkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam dunia pendidikan pesantren ke dalam dunia pendidikan sekolahan, atau bisa juga sebaliknya. Dengan demikian, maka akan tercipta harmonisasi, saling mengisi, melengkapi, dan memperbaiki.

Kelima, penulis merasa tertarik pada kajian tentang pendidikan pesantren tradisional. Faktor pemicunya diantaranya adalah latar belakang penulis yang dilahirkan di keluarga pesantren; selain itu, sejak kecil penulis sudah “makan bangku” pendidikan pesantren, bahkan pernah “mondok” di pesantren untuk waktu yang lumayan lama. Dan alasan kelima ini didukung oleh Joachim Wach; Wach (dalam (Mastuhu, 1994: 43-44) berkata bahwa, „Minimal ada tiga syarat untuk menguasai masalah dalam setiap studi ilmiah. Pertama, kekayaan nomenklatur. Kedua,


(13)

kemampuan metodologi. Ketiga, idealisme atau semangat keterlibatan dalam bidang yang diselidiki‟. Itulah beberapa alasan penulis dalam memilih tema penelitian ini.

Penelitian terhadap pesantren sudah banyak dilakukan. Sedangkan penelitian terhadap Pondok Pesantren Ummul Quro sendiri belum pernah dilakukan. Meskipun demikian, hasil-hasil penelitian terdahulu terhadap pesantren sejenis, akan banyak membantu penulis dalam melengkapi dasar-dasar teori yang dibutuhkan karena terdapat standar-standar baku bagi apa yang disebut sebagai pondok pesantren tradisional.

Ummul Quro bukanlah pesantren besar yang santrinya mencapai ribuan, Ummul Quro juga bukan pesantren yang sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu, tetapi Ummul Quro sama dengan pesantren besar seperti Pondok Pesantren Tebuireng, Lirboyo, dan Cipasung; sama-sama bisa digolongkan sebagai pondok pesantren tradisional karena pakem-pekem khas pesantren tradisional dimiliki oleh Pondok Pesantren Ummul Quro. Ummul Quro memang bukan pesantren besar, jangakaun pengaruhnya pun tidak begitu signifikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi itu bukanlah alasan untuk mengambil kesimpulan bahwa Pondok Pesantren Ummul Quro tidak layak untuk diteliti. Justru, bagi penulis, Pondok Pesantren Ummul Quro perlu diteliti karena bisa menjadi pembuktian bahwa, terlepas dari besar atau kecilnya suatu pesantren tradisional atau terlepas dari berapa lama umur berdirinya suatu pesantren tradisional, yang jelas, di antara mereka terdapat benang merah yang membuktikan bahwasanya pesantren tradisional memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan lembaga pendidikan lainnya. Dan ini juga membuktikan bahwa ternyata, transmisi dan regenerasi dari pesantren tradisional lama ke pesantren tradisional baru berjalan dengan baik sehingga tercipta homogenitas di antara pesantren-pesantren tradisional.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan Pondok Pesantren Ummul Quro?

2. Mengapa ketradisionalan Pondok Pesantren Ummul Quro masih dipertahankan? 3. Bagaimana pola interaksi antara kiai dengan santri?


(14)

5. Apa saja nilai-nilai luhur atau kearifan yang terdapat dalam pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Ummul Quro?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah. Jawaban-jawaban yang akan dideskripsikan tersebut yaitu;

1. Perkembangan Pondok Pesantren Ummul Quro.

2. Alasan kiai yang masih mempertahankan ketradisionalan pondok pesantrennya. 3. Pola interaksi antara kiai dengan santri.

4. Pola interaksi antara santri dengan santri.

5. Nilai-nilai luhur atau kearifan yang terdapat dalam pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Ummul Quro.

D. Definisi Istilah

Untuk meminimalisasi kesalahpahaman dalam memahami penelitian ini, diperlukan beberapa penjelesan mengenai beberapa istilah berikut ini;

1. Kearifan; Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata dasar kearifan adalah arif. Arif adalah kata sifat yang artinya bijaksana, cerdik cendikia, cerdik pandai, berilmu, paham, mengerti (luas wawasan). Jika kata arif ini ditambahkan imbuhan ke- dan –an, maka menjadi kearifan, fungsinya berubah dari yang asalnya kata sifat menjadi kata benda. Kearifan sama dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah kata benda yang artinya kepandaian dan kecermatan dalam bertindak jika menghadapi suatu kesulitan atau suatu masalah.

2. Pesantren; Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe- di depan dan akhiran -an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier, 2011: 41). Menurut


(15)

Mastuhu, arti pesantren secara istilah adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari dalam hidup bermasyarakat (1994: 55). 3. Pesantren Tradisional; Pesantren tradisional adalah pesantren yang masih

mempertahankan sistem pendidikan, strukur kepengurusan, dan literatur-literatur yang menjadi sumber kajiannya sama seperti dahulu, sejak keberadaan pesantren itu sendiri. Menurut Mastuhu, pengertian “tradisional” dalam batasan ini menunjuk bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun (300-400) yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia (1994: 55).

Dengan demikian, maksud dari judul penelitian ini; Menggali Kearifan Pendidikan Pesantren Tradisional adalah peneliti akan menggali kearifan atau nilai-nilai luhur apa saja yang terdapat di dalam pendidikan pondok pesantren tradisional. Sebagai lembaga pendidikan yang masih menerapkan sistem tradisional, tentunya pondok pesantren tradisonal mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan modern. Lembaga pendidikan modern yang dimaksud bukan hanya sekolah-sekolah klasikal seperti milik pemerintah ataupun swasta pada umumnya, melainkan banyak pula lembaga pesantren yang asalnya tradisional, kini sudah berubah menjadi lembaga pendidikan modern.

E. Manfaat Penelitian

Apabila tujuan-tujuan di atas telah tercapai, diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi „orang-orang di dunia pendidikan‟. Baik pihak yang mendidik, maupun pihak yang dididik. Walaupun sebenarnya, keduanya sama; sama-sama tidak boleh berhenti mendidik diri dengan terus belajar. Semoga, karya tulis (skripsi) ini bermanfaat bagi siapa pun yang berwenang dalam dunia pendidikan, baik yang kewenangannya hanya sebatas pada diri sendiri dan keluarganya maupun yang kewenangannya lebih luas dari sekadar pada diri sendiri dan keluarga. Semoga karya


(16)

ini bisa ikut ambil bagian, menjadi bagian kecil dari pertimbangan pihak-pihak pengambil keputusan agar keputusan yang diambil adalah keputusan terbaik, paling tepat, dan paling bijak.

Melalui penggalian kearifan-kearifan yang terdapat dalam pondok pesantren ini, diharapkan wawasan kita tentang pendidikan pesantren tradisional bertambah luas dan mendalam. Semoga hasil penggalian yang dilakukan oleh penulis merupakan gagasan yang bermanfaat dan bisa menjadi inspirasi bagi lembaga-lembaga pendidikan lain. Dan semoga, hasil penggalian ini bisa menumbuhkan rasa percaya diri di kalangan orang-orang pesantren. Orang-orang pesantren tradisional sudah selayaknya berbangga dengan pendidikan pesantren tradisional yang mereka dapatkan sekaligus selenggarakan. Karena ternyata, betapa banyak kearifan-kearfifan yang terkandung di dalam pendidikan pesantren tradisional.

F. Struktur Organisasi Skripsi

Penulisan skripsi ini tersusun dari lima bab dengan rincian sebagai berikut. Bab I adalah Bab Pendahuluan yang akan menguraikan secara umum tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi istilah, dan manfaat penelitian.

Bab II berisi kajian teoritis yang memuat tentang apa itu pesantren, apa saja unsur-unsur Pesantren, bagaimana perkembangan pesantren dari waktu ke waktu, apa saja tujuan pendidikan pesantren, dan bagaimanakah pendekatan pendidikan pesantren.

Bab III adalah Bab Metode, dalam bab ini diuraikan tentang apa atau siapa sajakah yang menjadi subjek penelitian, metode penelitian apa yang digunakan, teknik pengumpulan data seperti apa yang digunakan, dan bagaimanakah teknik analisis datanya.

Sementara itu, Bab IV berisi tentang pembahasan hasil penelitian. Proses untuk mendapatkan hasil penelitian adalah dengan cara menganalisis data-data yang telah dikumpulkan. Terakhir, Bab V adalah bab yang berisi simpulan dan saran.


(17)

(18)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Pondok Pesantren Ummul Quro didirikan sekitar tahun 1994. Pendirinya adalah Kiai Haji Popo Fachruddin Idris, B.A. Motif utama pendiriannya adalah pengabdian kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Jumlah santri yang pernah belajar di Pondok Pesantren Ummul Quro diketahui secara persis karena data para santri tidak dicatat dalam sistem administrasi yang terencana. Jika memakai perkiraan, dari masa ke masa, jumlah santrinya ada sekitar tiga puluhan. Tapi, jika jumlah santrinya diakumulasikan dari sejak berdiri hingga saat ini maka jumlahnya mencapai ratusan.

Apakah pesantren tradisional perlu dirubah? Kalaupun perubahan benar-benar melanda pendidikan pesantren, sebenarnya, penggunaan kata “perubahan” tidak pas karena kata yang paling pas untuk menggambarkan hal tersebut bukanlah kata

“perubahan” melainkan kata “pengembangan”. Karena pondasi dan prinsip-prinsip pokok pendidikan pesantren tetap sama dan tak akan berubah atau dengan kata lain pondok pesantren akan tetap berjalan pada rel yang sama seperti sejak kelahirannya. Jadi, seekstrem apa pun perubahan yang terlihat di permukaan, tapi sebenarnya itu hanyalah pengembangan yang berasal dari pondasi dan prinsip-prinsip pokok pendidikan pesantren tradisional yang sama seperti sejak kelahirannya. Apa yang dimaksud dengan pondasi dan prinsip-prinsip pokok pendidikan pesantren tradisional? Pondasinya jelas, yaitu sumber utama ajaran agama Islam; Al-Quran, Hadis, Ijma, dan Qiyas. Sedangkan prinsip-prinsip pokok pendidikan pesantren adalah berkah, ikhlas, dan ibadah. Jadi, bagaimanakah hubungan antara pesantren tradisional dengan perubahan sosial? Jawabannya adalah, pesantren berjalan bukan mengikuti zaman tapi menyesuaikan dengan hukum agama. Atau dengan kata lain, pesantren tetap mengikuti zaman, asalkan tidak keluar dari koridor yang ditetapkan dalam ajaran agama.

Kiai memegang posisi sentral, baik dalam kepemimpinan intelektual pesantren maupun kepemimpinan lembaga. Posisi sentral seorang kiai sebagai pemimpin maupun sebagai guru inilah yang menyebabkan, konsep keberkahan kiai atau guru menjadi


(19)

sesuatu yang sangat penting dalam pendidikan pesantren. Di samping itu, bagi santri, kiai atau gurunya di pesantren merupakan orang tua mereka juga, tentunya selain orang tua yang melahirkan mereka. Sementara itu, hal serupa juga berlaku dalam hubungan antar santri. Hubungan persaudaraan antar santri sangat erat, bahkan bisa dikatakan bahwa santri mempunyai dua jenis saudara, yang satu adalah saudara satu kandungan dan yang satu lagi adalah saudara satu perguruan.

Hingga saat ini, masih banyak yang berkeyakinan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan akhlak (moral) yang sangat efektif. Salah satu kunci keberhasilan pendidikan akhlak di pesantren adalah keteladanan. Oleh sebab itu, wajar bila kiai memegang peranan yang sangat sentral. Bahkan konsep pendidikan di pesantren bisa dianggap sebagap pendidikan bermodel kiai-sentris. Kiai bukanlah orang yang sekadar memiliki wawasan keagamaan yang luas dan mendalam melainkan juga harus memiliki kesungguhan dan kekonsistenan dalam menjalankan ajaran agama dengan

seikhlas-ikhlasnya. “Sesungguhnya pengaruh sebuah perkataan terhadap jiwa akan tergantung pada kualitas orang yang menyampaikannya”, begitulah pandangan orang-orang pesantren.

Selain keteladanan, kunci pendidikan akhlak pesantren adalah pembiasaan. Pembiasaan ini didasari pemikiran bahwa biasanya, perubahan bisa berjalan dengan baik apabila dilakukan secara bertahap. Perubahan yang baik biasanya tidak bisa dilakukan secara instan. Bahkan pada awalnya, pembiasaan ini ditempuh dengan cara-cara pemaksaan. Contohnya pendidikan shalat pada anak. Pada awalnya, anak harus disuruh terus menerus atau diiming-imingi sesuatu agar mau shalat. Tapi, ini hanyalah salah satu tahapan yang akan selesai dan berlanjut ke tahap berikutnya. Anak yang awalnya harus dipaksa, dengan proses pendidikan yang berkesinambungan, pada waktunya, dia akan menyadari bahwa shalat adalah kewajiban dan kebutuhannya sendiri, sehingga tidak perlu lagi dipaksa.

Konsep pendidikan melalui pembiasaan ini bisa disejajarkan dengan konsep pendidikan kedisiplinan. Dalam pendidikan pesantren, santri dituntut agar disiplin. Tapi memang, pendidikan pesantren mempunyai ciri khas tersendiri dalam pendidikan kedisiplinannya, misalnya dalam hal waktu; bagi orang-orang pesantren, waktu diukur


(20)

dalam konteks dan dalam relevansinya dengan ritual-ritual peribadatan. Contohnya seperti, santri harus bangun ketika sudah adzan subuh. Di Ummul Quro, Kiai selalu membangunkan santri-santrinya. Mau tidur jam berapa pun, ketika sudah memasuki waktu shalat subuh, pokoknya santri harus bangun. Jadi, selain sebagai pemberi teladan yang dituntut agar senantiasa tampil „sempurna‟, Kiai adalah seorang pendidik yang juga menerapkan metode pembiasaan dengan tangannya sendiri. Inilah gambaran kecil pendidikan melalui pembiasaan yang terselenggara dalam pendidikan pesantren.

Alasan lain mengapa pendidikan pondok pesantren sangat efektif dalam membangun moral adalah karena dalam pendidikan pesantren diajarkan ilmu aqidah atau ilmu teologi. Ilmu ini bukan hanya dipelajari dalam tataran teori melainkan juga harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hanya meyakini bahwa Tuhan itu ada tidaklah cukup. Keyakinan ini harus terefleksikan dalam perbuatan sehari-hari dengan meyakini bahwa Tuhan itu selalu Melihat hamba-Nya. Keyakinan bahwa Tuhan selalu Melihat dan Mengawasi berdampak pada kesadaran diri untuk senantiasa menjaga perbuatan, baik yang terlihat oleh manusia ataupun tidak. Karena kalaupun tidak ada satu pun manusia yang melihat tetapi, Tuhan pasti Melihat.

Kearifan lain dari pendidikan pesantren adalah pendidikan syukur atau pendidikan agar senantiasa bersangka baik kepada Allah dan menerima takdir atau segala ketetapan-Nya. Pendidikan ini amatlah penting, apalagi di zaman serba matrealistik ini. Perasaan nikmat dan bahagia itu tidak terletak pada apa yang kita miliki atau dapatkan melainkan pada seberapa mampu kita mensyukuri takdir Allah. Perasaan merasa selalu kurang dan mengeluh secara otomatis akan semakin menjauhkan manusia dari kebahagiaan. Tapi, sikap mensyukuri takdir ini bukan berarti diam dan berhenti berupaya untuk mendapatkan yang lebih baik.

Berdasarkan data-data yang didapatkan peneliti pada rumusan masalah yang kelima ini, bisa diambil pemahaman bahwa kearifan-kearifan yang terdapat dalam pendidikan yang berlangsung di Pondok Pesantren Ummul Quro, jika disarikan maka akan muncul tiga konsep kunci, yaitu berkah, ikhlas dan ibadah. Mengenai ketiga konsep ini, peneliti akan memberikan sedikit penjabaran mengenai ketiga konsep tersebut. Pertama, Ukuran keberhasilan pendidikan pesantren bukanlah kemampuannya


(21)

dalam mencetak ulama. Adapun nanti ada keluaran pesantren ada yang menjadi ulama, itu merupakan bonus; bukan tujuan utama, inilah ikhlas. Kedua, tujuan utama pendidikan pesantren adalah membangun pribadi yang berakhlak mulia, inilah berkah. Dan ketiga, pendidikan pesantren adalah pendidikan yang menjadikan pembangunan akhlak sebagai orientasi utamanya dan Tuhan sebagai tujuannya, inilah penjabaran dari konsep ibadah dalam konteks pendidikan yang berlangsung di Pondok Pesantren Ummul Quro.

B. Saran

Beberapa saran peneliti kepada siapa pun yang membaca skripsi ini;

1. Antara sekolah dengan pesantren mempunyai kesamaan; sama-sama lembaga pendidikan. Oleh karena itu, studi banding ke pondok pesantren tradisional bisa menjadi pertimbangan. Studi banding pendidikan tidak selalu harus ke luar negeri atau ke sekolah-sekolah yang dianggap bagus, misalnya sekolah bertaraf internasional. Pondok pesantren tradisional bisa menjadi alternatif. Kalau melakukan studi banding ke pesantren, tentu, biayanya tidak akan semahal melakukan studi banding ke luar negeri. Studi banding ke pondok pesantren tradisional tidak akan kalah banyak manfaatnya dibandingkan dengan melakukan studi banding ke sekolah-sekolah di luar negeri.

2. Para aktivis pendidikan sekolah, bisa mengimplementasikan nilai-nilai luhur atau kearifan yang terdapat dalam pendidikan pesantren tradisional.

3. Masyarakat pesantren tradisional yang masih merasa rendah diri, hendaknya tidak merasa rendah diri karena ternyata banyak kelebihan yang dimiliki oleh pendidikan pesantren tradisional.

4. Masyarakat pesantren hendaknya tidak perlu rendah diri dan tidak pula menutup diri. Pesantren tradisional perlu membuka diri. Semoga dengan cara membuka diri dari pengaruh luar, perkembangan dan kemajuan menuju pendidikan pesantren tradisional yang lebih baik bisa semakin cepat terealisasi.


(22)

5. Apabila ada peneliti yang ingin melakukan penelitian serupa, disarankan agar lebih mengeksplorasi kearifan-kearifan pesantren tradisional secara lebih mendetail karena temuan-temuan dalam penelitian ini masih bersifat umum.


(23)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, As’ad Said. (2013). Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi;Gerakan-gerakan Sosial

Politik dalam Tinjauan Ideologis. Jakarta: LP3ES.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Armstrong, Karen. (2011). Masa Depan Tuhan; Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme. Bandung: Mizan.

Assegaf, Abd. Rachman. (2013). Aliran Pemikiran Pendidikan Islam; Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik sampai Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Azizy, A. Qadri. (2004). Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azra, Azyumardi. (2007). Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim; dari Australia hingga Timur Tengah. Bandung: Mizan.

Azra, Azyumardi. (2012). Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana.

Azra, Azyumardi. (2013). Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana.

Bertens, K. (2011). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bruinessen, Martin van. (2012). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Yogyakarta: Gading Publishing.

Burhanudin, Jajat. (2012). Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan.

Capra, Fritjof. (2007). Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Jejak.

Chittick, William C. (2010). Kosmologi Islam dan Dunia Modern; Relevansi Ilmu-Ilmu Intelektualisme Islam. Bandung: Mizan.

Creswell, John W. (2012). Research Design; Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dhofier, Zamakhsyari. (2011). Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Freire, Paulo. (2004). Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(24)

Hasan, M. Iqbal. (2002). Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia.

Hidayat, Komaruddin. (2012). Agama Punya Seribu Nyawa. Bandung: Noura Books. Hidayat, Komaruddin. (2013). Psikologi Kematian; Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Bandung: Noura Books.

Huntington, Samuel P. (2010): Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Jakarta: Qalam.

K. Yin., Robert. (2014). Studi Kasus; Desain dan Metode. Jakarta: RajaGrafindo. Kelly, Eamonn. (2010). Agenda Dunia Abad 21; Bangkit Menghadapi Tantangan Dunia yang Penuh Ketidakpastian. Jakarta: Indeks.

Kurniawan, Syamsul dan Erwin, Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Lickona, Thomas. (2012). Mendidik untuk Membangun Karakter; Bagaimana Sekolah Dapat Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Tanggung Jawab. Jakarta: Bumi Aksara.

Madjid, Nurcholish. (1997). Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Dian Rakyat.

Mardiyah. (2012). Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya Organisasi. Malang: Aditya Media Publishing.

Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.

Matsuki (eds.). (2004). Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.

Miles, Matthew B. & Huberman, A. Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Moleong, Lexy J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.

Muthahhari, Murtadha. (2001). Menguak Masa Depan Umat Manusia. Bandung: Pustaka Hidayah.

Nafi, M. Dian (Ed.). (2007). Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: LKiS. Naomi, Omi Intan. (2009). Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

O’neil, William F.(2008). Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahardjo, M. Dawam (ed.). (1974). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES. Rahman, B. M., Taher, E. P. (2013) Banyak Jalan Menuju Tuhan. Imania: Depok.


(25)

Rumadi. (2009). Renungan Santri; dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama. Jakarta: Erlangga.

Sapriya. (2007). Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Laboratorium PKn UPI.

Sarosa, Samiaji. (2012). Dasar-Dasar Penelitiaan Kualitatif. Jakarta: Indeks. Shariati, Ali. (1987). Tugas Cendikiawan Muslim. Jakarta: Rajawali.

Sholeh, Badrus (ed.). (2007). Budaya Damai Komunitas Pesantren. Jakarta: LP3ES. Silalahi, Ulber. (2010). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Sinaga, Martin L. (2000). Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga. Jakarta: Grasindo.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitain Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharto, Babun. (2011). Dari Pesantren untuk Umat. Reinventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi. Surabaya: Imtiyaz.

Sukamto. (1999). Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren. Jakarta: LP3S.

Supardan, Dadang. (2009) . Pengantar Ilmu Sosial; Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.

Suryanegara, Ahmad Mansur. (2010). Api Sejarah; Buku yang akan Mengubah Drastis Pandangan Anda tentang Sejarah Indonesia. Bandung: Salamadani.

Syaifudin. (2012). Tan Malaka; Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Tafsir, Ahmad. (2012). Filsafat Pendidikan Islam; Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia. Bandung: Rosda.

Tim Prima Pena. (tanpa tahun). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gitamedia Press. Umiarso., Zazin. (2011). Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan; Menjawab Problematika Kontemporer Manajemen Mutu Pesantren. Semarang: Rasail.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2009). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.

Wahid, Abdurrahman. (2010a). Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat. Jakarta: Kompas.

Wahid, Abdurrahman. (2010b). Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS.


(26)

Widjoyanto, Bambang., dkk. (2010). Koruptor itu Kafir; Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Bandung: Mizan.

Wilber, Ken. (2012). A Theory of Every Thing; Solusi Menyeluruh atas Masalah-Masalah Kemanusiaan. Bandung: Mizan.

Zuhri, Muhammad. (2007). Hidup Lebih Bermakna. Jakarta: Serambi.

Zuriah, Nurul. (2009). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.


(1)

dalam mencetak ulama. Adapun nanti ada keluaran pesantren ada yang menjadi ulama, itu merupakan bonus; bukan tujuan utama, inilah ikhlas. Kedua, tujuan utama pendidikan pesantren adalah membangun pribadi yang berakhlak mulia, inilah berkah. Dan ketiga, pendidikan pesantren adalah pendidikan yang menjadikan pembangunan akhlak sebagai orientasi utamanya dan Tuhan sebagai tujuannya, inilah penjabaran dari konsep ibadah dalam konteks pendidikan yang berlangsung di Pondok Pesantren Ummul Quro.

B. Saran

Beberapa saran peneliti kepada siapa pun yang membaca skripsi ini;

1. Antara sekolah dengan pesantren mempunyai kesamaan; sama-sama lembaga pendidikan. Oleh karena itu, studi banding ke pondok pesantren tradisional bisa menjadi pertimbangan. Studi banding pendidikan tidak selalu harus ke luar negeri atau ke sekolah-sekolah yang dianggap bagus, misalnya sekolah bertaraf internasional. Pondok pesantren tradisional bisa menjadi alternatif. Kalau melakukan studi banding ke pesantren, tentu, biayanya tidak akan semahal melakukan studi banding ke luar negeri. Studi banding ke pondok pesantren tradisional tidak akan kalah banyak manfaatnya dibandingkan dengan melakukan studi banding ke sekolah-sekolah di luar negeri.

2. Para aktivis pendidikan sekolah, bisa mengimplementasikan nilai-nilai luhur atau kearifan yang terdapat dalam pendidikan pesantren tradisional.

3. Masyarakat pesantren tradisional yang masih merasa rendah diri, hendaknya tidak merasa rendah diri karena ternyata banyak kelebihan yang dimiliki oleh pendidikan pesantren tradisional.

4. Masyarakat pesantren hendaknya tidak perlu rendah diri dan tidak pula menutup diri. Pesantren tradisional perlu membuka diri. Semoga dengan cara membuka diri dari pengaruh luar, perkembangan dan kemajuan menuju pendidikan pesantren tradisional yang lebih baik bisa semakin cepat terealisasi.


(2)

5. Apabila ada peneliti yang ingin melakukan penelitian serupa, disarankan agar lebih mengeksplorasi kearifan-kearifan pesantren tradisional secara lebih mendetail karena temuan-temuan dalam penelitian ini masih bersifat umum.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, As’ad Said. (2013). Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi;Gerakan-gerakan Sosial Politik dalam Tinjauan Ideologis. Jakarta: LP3ES.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Armstrong, Karen. (2011). Masa Depan Tuhan; Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme. Bandung: Mizan.

Assegaf, Abd. Rachman. (2013). Aliran Pemikiran Pendidikan Islam; Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik sampai Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Azizy, A. Qadri. (2004). Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azra, Azyumardi. (2007). Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim; dari Australia hingga Timur Tengah. Bandung: Mizan.

Azra, Azyumardi. (2012). Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana.

Azra, Azyumardi. (2013). Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana.

Bertens, K. (2011). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bruinessen, Martin van. (2012). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Yogyakarta: Gading Publishing.

Burhanudin, Jajat. (2012). Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan.

Capra, Fritjof. (2007). Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Jejak.

Chittick, William C. (2010). Kosmologi Islam dan Dunia Modern; Relevansi Ilmu-Ilmu Intelektualisme Islam. Bandung: Mizan.

Creswell, John W. (2012). Research Design; Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dhofier, Zamakhsyari. (2011). Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Freire, Paulo. (2004). Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(4)

Hasan, M. Iqbal. (2002). Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia.

Hidayat, Komaruddin. (2012). Agama Punya Seribu Nyawa. Bandung: Noura Books. Hidayat, Komaruddin. (2013). Psikologi Kematian; Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Bandung: Noura Books.

Huntington, Samuel P. (2010): Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Jakarta: Qalam.

K. Yin., Robert. (2014). Studi Kasus; Desain dan Metode. Jakarta: RajaGrafindo. Kelly, Eamonn. (2010). Agenda Dunia Abad 21; Bangkit Menghadapi Tantangan Dunia yang Penuh Ketidakpastian. Jakarta: Indeks.

Kurniawan, Syamsul dan Erwin, Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Lickona, Thomas. (2012). Mendidik untuk Membangun Karakter; Bagaimana Sekolah Dapat Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Tanggung Jawab. Jakarta: Bumi Aksara.

Madjid, Nurcholish. (1997). Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Dian Rakyat.

Mardiyah. (2012). Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya Organisasi. Malang: Aditya Media Publishing.

Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.

Matsuki (eds.). (2004). Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.

Miles, Matthew B. & Huberman, A. Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Moleong, Lexy J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.

Muthahhari, Murtadha. (2001). Menguak Masa Depan Umat Manusia. Bandung: Pustaka Hidayah.

Nafi, M. Dian (Ed.). (2007). Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: LKiS. Naomi, Omi Intan. (2009). Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

O’neil, William F.(2008). Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahardjo, M. Dawam (ed.). (1974). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES. Rahman, B. M., Taher, E. P. (2013) Banyak Jalan Menuju Tuhan. Imania: Depok.


(5)

Rumadi. (2009). Renungan Santri; dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama. Jakarta: Erlangga.

Sapriya. (2007). Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Laboratorium PKn UPI.

Sarosa, Samiaji. (2012). Dasar-Dasar Penelitiaan Kualitatif. Jakarta: Indeks. Shariati, Ali. (1987). Tugas Cendikiawan Muslim. Jakarta: Rajawali.

Sholeh, Badrus (ed.). (2007). Budaya Damai Komunitas Pesantren. Jakarta: LP3ES. Silalahi, Ulber. (2010). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Sinaga, Martin L. (2000). Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga. Jakarta: Grasindo.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitain Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharto, Babun. (2011). Dari Pesantren untuk Umat. Reinventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi. Surabaya: Imtiyaz.

Sukamto. (1999). Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren. Jakarta: LP3S.

Supardan, Dadang. (2009) . Pengantar Ilmu Sosial; Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.

Suryanegara, Ahmad Mansur. (2010). Api Sejarah; Buku yang akan Mengubah Drastis Pandangan Anda tentang Sejarah Indonesia. Bandung: Salamadani.

Syaifudin. (2012). Tan Malaka; Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Tafsir, Ahmad. (2012). Filsafat Pendidikan Islam; Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia. Bandung: Rosda.

Tim Prima Pena. (tanpa tahun). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gitamedia Press. Umiarso., Zazin. (2011). Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan; Menjawab Problematika Kontemporer Manajemen Mutu Pesantren. Semarang: Rasail.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2009). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.

Wahid, Abdurrahman. (2010a). Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat. Jakarta: Kompas.

Wahid, Abdurrahman. (2010b). Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS.


(6)

Widjoyanto, Bambang., dkk. (2010). Koruptor itu Kafir; Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Bandung: Mizan.

Wilber, Ken. (2012). A Theory of Every Thing; Solusi Menyeluruh atas Masalah-Masalah Kemanusiaan. Bandung: Mizan.

Zuhri, Muhammad. (2007). Hidup Lebih Bermakna. Jakarta: Serambi.

Zuriah, Nurul. (2009). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.