Perbandingan Angka Kapang Khamir (AKK) rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) - USD Repository
PERBANDINGAN ANGKA KAPANG KHAMIR (AKK) RIMPANG
SEGAR TEMULAWAK, SERBUK RIMPANG TEMULAWAK, DAN
EKSTRAK ETANOLIK RIMPANG TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza Roxb)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh: Thomas Anggun Dian Prakoso
NIM : 068114130
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
PERBANDINGAN ANGKA KAPANG KHAMIR (AKK) RIMPANG
SEGAR TEMULAWAK, SERBUK RIMPANG TEMULAWAK, DAN
EKSTRAK ETANOLIK RIMPANG TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza Roxb)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh: Thomas Anggun Dian Prakoso
NIM : 068114130
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
PERSEMBAHAN KEPADA :
Tuhan Yesus Kristus
Almarhum Bapaku Felix Santoso Inspirasiku
Ibuku Veronica Sukarni Atas Kerja Keras dan Perhatian
Adikku yang Tangguh
Teman-teman yang Memberi Semangat
MENGELUH, MENYERAH, DAN BANGKIT
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
Angka Kapang Khamir (AKK) Rimpang Segar
judul “Perbandingan
Temulawak, Serbuk Rimpang Temulawak, dan Ekstrak Etanolik Rimpang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)” untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Semua keberhasilan dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini tak lepas dari dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :
1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. C.M. Ratna Rini Nastiti M. Pharm., Apt., selaku Ketua Program Studi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
3. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan banyak waktu untuk mendampingi dan memberikan arahan dan usulan dalam penyusunan skripsi.
4. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. dan Maria Dwi Budi Jumpowati S.Si, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, kritikan dan saran yang membangun dalam penyusunan skripsi.
5. Veronica Sukarni dan Felix Santoso (Alm), kedua orang tua penulis yang telah memberi makna kehidupan.
6. Teman proyek payung Krismawulan, Dwi Priharyanti, Maria Diyan M, Felisia Wulan A, Ignasius Eka W, Joice Sola G.S, Melia Sari D terima kasih atas kerja sama dalam suka duka.
7. Segenap laboran (mas Wagiran, mas Sigit, mas Sarwanto, mas Andri, mas Otok) dan pak Timbul atas bantuan dalam penyediaan alat, bahan dan penggunaan laboratorium.
8. Adikku (Didacus Kurniawan Wahyu Widodo dan Lusia Tri Wuri Kartika Sari) yang selalu memberikan dukungan.
9. Semua teman-teman FST 2006, teman band, dan semua yang telah membantu penulis dalam memberi semangat dan penyelesaian skripsi.
Penulis telah berusaha sebaik-baiknya untuk menyelesaikan skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan di dalamnya. Maka penulis mengharapkan kritik dan saran. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kefarmasian.
.
Penulis Thomas Anggun Dian Prakoso
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 18 Agustus 2010 Penulis,
Thomas Anggun Dian Prakoso
INTISARI
Rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) adalah bahan baku yang banyak digunakan dalam pembuatan obat tradisional karena merupakan salah satu tanaman obat unggulan yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Rimpang dan serbuk sebagai bahan baku obat tradisional harus memenuhi persyaratan berdasarkan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 (Anonim, 1994) dan untuk ekstrak berdasarkan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004). Salah satu persyaratan keamanan tersebut adalah jumlah cemaran kapang khamir < 10 CFU/gram.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kapang khamir (AKK) dari rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak, selain itu mengetahui apakah nilai AKK masing-masing sampel memenuhi persyaratan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 (Anonim, 1994) dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004), dan mengetahui perbandingan nilai AKK pada sampel.
Penelitian ini termasuk ekperimental quasi dengan rancangan deskriptif– komparatif dengan analisis statistik uji T. Rimpang temulawak yang digunakan berasal dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta diperoleh pada bulan November 2009 dengan kondisi rimpang masih segar untuk menghindari penyimpanan yang lama. Uji cemaran kapang khamir dilakukan pada rimpang segar temulawak hasil pencucian, serbuk rimpang temulawak kering hasil pengeringan, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak.
Hasil penelitian didapatkan nilai AKK rimpang segar temulawak 2,2
5
4
0,57 x 10 CFU/g, serbuk rimpang temulawak 5,0 5,0 x 10 CFU/g, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak <10 CFU/g. Uji T pada sampel menunjukkan nilai AKK rimpang segar temulawak lebih besar daripada serbuk rimpang temulawak dan nilai AKK serbuk rimpang temulawak lebih besar daripada nilai AKK ekstrak etanolik rimpang temulawak. Nilai AKK rimpang segar dan serbuk rimpang temulawak tidak memenuhi persyaratan, sedangkan pada ekstrak etanolik rimpang temulawak jumlah cemaran kapang khamir memenuhi persyaratan.
Kata kunci : temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb), angka kapang khamir
(AKK), rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, ekstrak etanolik rimpang temulawak
ABSTRACT
Curcuma xanthorrhiza Roxb (Javanese turmeric) rhizome is one of themost popular material that is used in the production of traditional medicine, because it has included one of special plant that is published by Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Rhizome and powder as a
starting material to produce traditional medicine, it must fulfill the requirement from Kepmenkes No. 661/ Menkes/SK/VII/1994 (Anonim, 1994) and for extract must fulfill requirement from Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004). One of the safety requirement is the number of mold/yeast contamination < 10 CFU/gram.
This research were aimed to calculate number of yeast/mold contamination from fresh rhizome, powder, etanolic extract of C. xanthorrhiza, to know that the number of mold/yeast contamination from sample are fulfill the requirement or not, and to know the comparison of number mold/yeast contamination from samples.
This research was a quasi experimental research with descriptive – comparative design and statistical analysis by T test. C. xanthorrhiza rhizome that used in this research were come from Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta collected in November 2009 in the fresh condition to avoid from long term storage. The number of mold/yeast contamination were tested in the material of fresh rhizome after washing process, powder of drying crude drug, and etanolic extract of C. xanthorrhiza.
Based on the quantification the number of mold/yeast contamination from
5
fresh C. xanthorrhiza rhizome was 2,2 0,57 x 10 CFU/g, from powder of dry
4 symplicia was 5,0 5,0 x 10 CFU/g, and from etanolic extract was <10 CFU/g.
Based of the result of t test, the number of mold/yeast contamination of fresh rhizome higher than the powder, and the number of mold/yeast contamination of powder higher than extract. Fresh rhizome and dry powder didn’t fulfill the requirement, but for extract fulfilled the requirement.
Key words : Curcuma xanthorrhiza (Javanese turmeric), number of mold / yeast contamination, fresh rhizome, powder , extract
DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................. v
DAFTAR TABEL
Tabel I. Hasil Identifikasi Makroskopik Rimpang Kering Temulawak
30 Tabel II. Hasil Identifikasi Organoleptik Rimpang Kering Temulawak
30 Tabel III. Data Nilai AKK Rimpang Segar Temulawak Hari ke -5 .........
41 Tabel IV. Data Nilai AKK Serbuk Rimpang Temulawak Hari ke-5 .......
42 Tabel V. Data Nilai AKK Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak Hari ke-5 ...........................................................................................
42 Tabel VI. Data Nilai AKK Rimpang Segar Temulawak, Serbuk Rimpang Temulawak, dan Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak ………………… ......................................................................... 43
Tabel VII. Uji T Rimpang Segar dan Serbuk Rimpang Temulawak dengan
Statistical Product and Service Solution (SPSS) ....................... ………….……... ...... ....... ...... ...... . .....
44 TabelVIII. Uji T Serbuk Rimpang dan Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) ......................................................................................
45
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Penampang Melintang Rimpang Segar Temulawak dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta ..................................
31 Gambar 2. Penampang Melintang Rimpang Temulawak Berdasarkan MMI (Anonim, 1979)............................................................
31 Gambar 3. Pertumbuhan Kapang Khamir Pada Perlakuan, Kontrol Media, dan Kontrol Pelarut ...................................................
40
LAMPIRAN
Lampiran 1. Angka Kapang Khamir (AKK) Sampel Rimpang Segar Temulawak dan Perhitungannya ..........................................
52 Lampiran 2. Angka Kapang Khamir (AKK) Sampel Serbuk Rimpang Temulawak dan Perhitungannya ...........................................
56 Lampiran 3. Angka Kapang Khamir (AKK) Sampel Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak dan Perhitungannya ...........................
60 Lampiran 4. Data Uji Angka Kapang Khamir (AKK) Rimpang Segar Temulawak, Serbuk Rimpang Temulawak, dan Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak ..............................................
64 Lampiran 5. Hasil Uji T antar Rimpang Segar Temulawak dan Serbuk Rimpang Temulawak ............................................................
64 Lampiran 6. Hasil Uji T antara Serbuk Rimpang Temulawak dan Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak ................................
65 Lampiran 7. Pertumbuhan Koloni Kapang Khamir Sampel Rimpang Segar Temulawak pada Pengenceran 10
- <
- 5 ………………….… …. >1015 ………………..…… ….>1015 ……………………………………………………………….. ….>10
65 Lampiran 8. Pertumbuhan Koloni Kapang Khamir Sampel Serbuk Rimpang Temulawak pada Pengenceran 10
67 Lampiran 7. Pertumbuhan Koloni Kapang Khamir Sampel Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak pada Pengenceran 10
69 Lampiran 7. Tabel t berdasarkan Hartley (1970)………………..………… ….
72
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Kebutuhan simplisia temulawak sebagai bahan baku obat tradisional di Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2003 menduduki peringkat pertama dilihat
dari jumlah serapan simplisia temulawak di industri obat tradisional. Temulawak merupakan satu dari sembilan tanaman unggulan yang dikembangkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Temulawak disebut tanaman unggulan karena temulawak tumbuh hampir di seluruh Indonesia dan telah digunakan secara luas oleh masyarakat. Kegunaan temulawak dalam masyarakat adalah mengobati penyakit saluran pencernaan, kandung empedu, pankreas, dan dapat dipergunakan sebagai tonikum (Anonim, 2008).
Simplisia sebagai bahan dan produk obat tradisional harus diupayakan untuk memenuhi 3 paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu quality (kualitas), safety (keamanan), dan efficacy (manfaat) (Anonim, 2000). Untuk menghasilkan simplisia yang berkualitas baik, maka proses pemanenan dan pembuatannya harus dikontrol dengan baik mengikuti cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB). Industri obat tradisional banyak menggunakan bentuk serbuk dan ekstrak sebagai bahan baku pembuatan obat tradisional, sehingga tahap pembuatan kedua bahan ini harus dikontrol dengan baik. Tahap pencucian, pengeringan, dan tahap ekstraksi merupakan tahap yang penting dalam pengolahan simplisia karena dapat mempengaruhi kualitas simplisia dan ekstrak
Faktor yang mempengaruhi jumlah cemaran kapang khamir adalah lingkungan tumbuh tanaman. Tanah tempat tumbuh yang lembab dapat memungkinkan tumbuhnya kapang dan khamir dengan baik (Tjitrosono, 1986). Banyak di antara jenis kapang dapat menembus sel akar dan masuk ke jaringan rimpang, sehingga saat dipanen dan dicuci kapang yang telah menembus akar akan tetap ada di dalam rimpang sampai proses pengeringan. Berdasarkan penelitian (Triyono, 2004) dan (Wulandari, 2004), perbedaan tempat tumbuh tanaman dlingo sangat mempengaruhi jumlah cemaran kapang khamir. Daerah tempat tumbuh yang lebih lembab mempunyai cemaran kapang khamir yang lebih banyak dibandingkan tanaman yang tumbuh di daerah yang kering. Berdasarkan hal tersebut, maka temulawak dengan tempat tumbuh di daerah Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta perlu diteliti jumlah cemaran kapang khamir.
Banyak jenis kapang yang dapat merugikan kesehatan karena dapat menghasilkan mikotoksin yang sangat merugikan kesehatan. Aflatoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergilus flavus dapat mengakibatkan hepatitis dan kanker hati (Cole dan Cox, 1981). Angka kapang khamir (AKK) menunjukkan jumlah cemaran kapang khamir total yang ada dalam suatu sampel, jika nilai AKK besar, maka jumlah cemaran kapang khamir yang ada dalam sampel juga besar sehingga berbahaya untuk kesehatan masyarakat.
Tahap pencucian dapat membersihkan kotoran yang menempel pada rimpang (Anonim, 1985), sehingga rimpang segar hasil pencucian menjadi lebih bersih dari kontaminasi. Serbuk dari rimpang kering telah mengalami tahap Simplisia kering yang telah melewati proses pengeringan diharapkan mempunyai jumlah cemaran kapang khamir yang sedikit, karena kadar air menurun sehingga pertumbuhan kapang khamir terhambat. Ekstrak yang dihasilkan dari proses ekstraksi menggunakan cairan penyari etanol 70% juga diharapkan dapat mengeliminasi cemaran kapang khamir. Setelah mengalami tahap pengolahan tersebut diharapkan rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak mempunyai nilai angka kapang khamir yang memenuhi persyaratan Kepmenkes No. 661/ Menkes/SK/VII/1994 (Anonim, 1994) dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004) yaitu <
10 CFU/g sehingga aman digunakan sebagai bahan obat tradisional. Persyaratan di atas bertujuan untuk menjaga agar obat tradisional yang dihasilkan dari bahan baku yang sudah memenuhi standar dapat terjamin keamanannya dan menghasilkan produk yang reprodusible.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan nilai angka kapang khamir rimpang segar hasil pencucian, serbuk dari rimpang kering hasil pengeringan, dan ekstrak hasil ekstraksi dengan pelarut etanol 70% dari rimpang temulawak yang berasal dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta. Rimpang temulawak dipilih dari daerah Samigaluh karena banyak pasar yang memasok temulawak dari daerah ini.
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, timbul permasalahan sebagai berikut:
a. Berapa angka kapang khamir (AKK) pada rimpang temulawak segar, b. Apakah nilai AKK rimpang temulawak segar, serbuk, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak memenuhi persyaratan Kepmenkes No.
661/Menkes/SK/1994 (Anonim, 1994) dan Monografi Ekstrak Tanaman Obat Indonesia (Anonim, 2004) yaitu < 10 CFU/ g?
c. Bagaimana perbandingan nila AKK antara rimpang temulawak segar, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak?
2. Keaslian penelitian
Sejauh pengetahuan penulis, penelitian tentang perbandingan nilai angka kapang khamir rimpang temulawak segar, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak dari rimpang yang berasal dari Samigaluh belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai temulawak pernah dilakukan oleh Monica (2010) dengan judul “Uji Angka Lempeng Total pada Rimpang Basah, Rimpang Kering, dan Ekstrak Etanolik Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb)”.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis Informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang perbedaan angka kapang khamir (AKK) antara rimpang segar, serbuk, dan ekstrak etanolik dari rimpang temulawak yang berasal dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta.
b. Manfaat praktis Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kualitas, keamanan, dan mutu rimpang temulawak segar, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak, terutama dari nilai angka kapang khamir akan aman digunakan untuk pembuatan obat lebih lanjut sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui angka kapang khamir (AKK) dari masing-masing sampel rimpang temulawak segar, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak.
2. Untuk mengetahui apakah nilai AKK rimpang temulawak segar, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak memenuhi persyaratan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/1994 (Anonim, 1994) dan Monografi Ekstrak Tanaman Obat Indonesia (Anonim, 2004).
3. Mengetahui perbandingan nilai AKK pada masing – masing sampel rimpang temulawak segar, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak.
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang
semu. Di daerah Jawa Barat temulawak disebut sebagai koneng gede sedangkan di Madura disebut sebagai temu lobak. Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat dari mana temulawak ini menyebar ke seluruh dunia. Saat ini tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, Indocina, Barbados, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa (Arisandi dan Andriani, 2006).
Rimpang temulawak sudah sejak lama dikenal sebagai tanaman obat. Aroma dan warna khas dari rimpang temulawak berbau tajam, dan daging buahnya berwarna kekuningan. Daerah tumbuhnya selain di dataran rendah juga dapat tumbuh baik sampai pada ketinggian tanah 1.500 meter di atas permukaan laut (Arisandi dan Andriani, 2006).
Kadar minyak atsiri tidak kurang dari 6%. Khasiat rimpang temulawak untuk menambah pengeluaran empedu. Kegunaan lain temulawak dalam masyarakat adalah mengobati penyakit saluran pencernaan, kelainan hati, pankreas, dan dapat dipergunakan sebagai tonikum (Anonim, 2008). Kandungan kimia dalam rimpang temulawak : siklo isoren, mirsen, d- kamfer. P- tolil metilkarbinol, kurkumin. Rimpang temulawak memiliki epidermis bergabus, menggabus, di bawahnya terdapat periderm yang kurang berkembang. Korteks dan silinder pusat parenkimatik, terdiri dari sel parenkim berdinding tipis, berisi butir pati, dalam parenkim tersebar banyak sel minyak berisi minyak berwarna kuning dan zat berwarna jingga. Butir pati berbentuk pipih, bulat panjang sampai bulat telur memanjang, lamela jelas, hilus di tepi (Anonim, 1979).
B. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga, dan kecuali dinyatakan, lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Anonim, 1985). Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tanaman atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni. (Anonim, 1979).
Simplisia yang berkualitas tinggi merupakan syarat untuk memperoleh sediaan obat yang berdayaguna, maka dari itu diperlukan adanya standardisasi simplisia, seperti yang disyaratkan farmakope, tentang kadar campuran bahan aktif dan spektrum kerja simplisia. Jika sebagai akibat lamanya penyimpanan, simplisia tidak lagi memenuhi syarat yang terdapat dalam farmakope maka disarankan untuk tidak lagi digunakan (Voight,1994).
1. Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia dapat berbeda-beda antara lain tergantung pada bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen, waktu panen, dan lingkungan tempat tumbuh.
Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar. Senyawa aktif tersebut terdapat secara maksimal di dalam bagian tanaman atau tanaman pada umur tertentu. Di samping waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari. Untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimia dan fisik senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar matahari (Anonim, 1985).
2. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainya harus dibuang (Anonim, 1985).
3. Pencucian
Pencucian bertujuan menghilangkan kotoran-kotoran dan mengurangi mikroba-mikroba yang melekat pada bahan. Pencucian harus segera dilakukan setelah panen karena dapat mempengaruhi mutu bahan. Pencucian menggunakan air bersih seperti air dari mata air, sumur atau Perusahaan Air Minum (PAM). berkurang bahkan akan bertambah. Pada saat pencucian perlu diperhatikan air cucian dan air bilasannya, jika masih terlihat kotor ulangi pencucian/pembilasan sekali atau dua kali lagi. Perlu diperhatikan bahwa pencucian harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam bahan (Sembiring, 2007). Pencucian bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain sebagai berikut: a. Perendaman bertingkat Perendaman biasanya dilakukan pada bahan yang tidak banyak mengandung kotoran seperti daun, bunga, buah dan lain-lain. Proses perendaman dilakukan beberapa kali pada wadah dan air yang berbeda, pada rendaman pertama air cuciannya mengandung kotoran paling banyak. Saat perendaman kotoran-kotoran yang melekat kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Metode ini akan menghemat penggunaan air, namun sangat mudah melarutkan zat-zat yang terkandung dalam bahan (Sembiring, 2007).
b. Penyemprotan Penyemprotan biasanya dilakukan pada bahan yang kotorannya banyak melekat pada bahan seperti rimpang, akar, umbi dan lain-lain. Proses penyemprotan dilakukan dengan menggunakan air yang bertekanan tinggi. Untuk lebih meyakinkan kebersihan bahan, kotoran yang melekat kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Proses ini biasanya menggunakan air yang cukup banyak, namun dapat mengurangi resiko hilang/larutnya kandungan dalam bahan (Sembiring, 2007). c. Penyikatan (manual maupun otomatis) Pencucian dengan menyikat dapat dilakukan terhadap jenis bahan yang keras/tidak lunak dan kotorannya melekat sangat kuat. Pencucian ini memakai alat bantu sikat yang digunakan bentuknya bisa bermacam-macam, dalam hal ini perlu diperhatikan kebersihan dari sikat yang digunakan. Penyikatan dilakukan terhadap bahan secara perlahan dan teratur agar tidak merusak bahan. Pembilasan dilakukan pada bahan yang sudah disikat. Metode pencucian ini dapat menghasilkan bahan yang lebih bersih dibandingkan dengan metode pencucian lainnya, namun meningkatkan resiko kerusakan bahan (Sembiring, 2007).
4. Perajangan Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan.
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil jangan langsung dirajang tetapi dijemur dengan keadaan utuh selama 1 hari. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki (Sembiring, 2007).
5. Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara pengawetan atau pengolahan pada bahan dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses pembusukan dapat terhambat.
Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah rusak dan tahan disimpan dalam waktu yang lama. Dalam proses ini, kadar air dan reaksi- reaksi zat aktif dalam bahan akan berkurang, sehingga suhu dan waktu yang dikeringkan. Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara 40 - 60 C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air 10%. Demikian pula dengan waktu pengeringan juga bervariasi, tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan seperti rimpang, daun, kayu ataupun bunga.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan adalah kebersihan (khususnya pengeringan menggunakan sinar matahari), kelembaban udara, aliran udara dan tebal bahan (tidak saling menumpuk). Pengeringan bahan dapat dilakukan secara tradisional dengan menggunakan sinar matahari ataupun secara modern dengan menggunakan alat pengering seperti oven (Sembiring, 2007).
Pengeringan hasil rajangan dari temu-temuan dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari dan oven pada suhu 30 - 50 C. Pengeringan pada suhu terlalu tinggi dapat merusak komponen aktif, sehingga mutunya dapat menurun. Di samping menggunakan sinar matahari langsung, penjemuran juga dapat dilakukan dengan menggunakan blower pada suhu 40 - 50
C. Kelebihan dari alat ini adalah waktu penjemuran lebih singkat yaitu sekitar 8 jam, dibandingkan dengan sinar matahari membutuhkan waktu lebih dari 1 minggu (Sembiring, 2007).
Pengeringan dapat menyebabkan perubahan-perubahan hidrolisa enzimatis, pencokelatan, fermentasi dan oksidasi. Ciri-ciri waktu pengeringan sudah berakhir apabila daun ataupun temu-temuan sudah dapat dipatahkan dengan mudah. Pada umumnya bahan (simplisia) yang sudah kering memiliki kadar air ± 8 - 10%. Dengan jumlah kadar air tersebut kerusakan bahan dapat ditekan baik
6. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian- bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering (Sembiring, 2007).
C. Ekstrak
1. Definisi ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi standar baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995).
Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing- masing monografi tiap ml ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 gram simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak kental adalah ekstrak cair di mana sebagian besar pelarut diuapkan sehingga kandungan pelarutnya tinggal 10%. Ekstrak kering adalah ekstrak di mana semua pelarutnya diuapkan sampai semua pelarut menguap semua (Sumaryono, 2004).
Ekstrak kental rimpang temulawak adalah ekstrak yang dibuat dari rimpang tumbuhan Curcuma xanthorrhiza Roxb, suku Zingiberaceae, mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 4,6% dan kurkuminoid tidak kurang dari 14,2 %. Ekstrak dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol 70% (Anonim, 2004).
2. Metode ekstraksi
Penyarian (ekstraksi) adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Pemilihan cairan penyari dan cara penyarian didasarkan pada zat aktif yang terkandung pada bahan tersebut (Anonim, 1986).
Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia atau bahan dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar (Voigt, 1994).
Maserasi ganda yaitu jika simplisia dimaserasikan dua kali dengan bahan pelarut yang sama artinya bahan simplisia mula-mula hanya dengan setengah bagiannya kemudian dengan sisanya, diekstraksi dengan sedikit bagian bahan pelarut dan akhirnya dengan seluruh jumlah sisanya (Voigt, 1994).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan perawatan yang digunakan sederhana, dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna. Pada penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajad perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam dengan di luar sel. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari seperti penyari malam dan lain-lain (Anonim, 1986).
D. Pengujian Kapang Khamir (AKK) 1. Kapang
Merupakan fungi yang mempunyai bentuk seperti benang, terdiri atas dua bagian yaitu bagian miselium (kumpulan dari beberapa hifa, setiap hifa berukuran lebar 5 sampai 10 µm) dan spora (sel yang resisten). Kapang adalah mikroba aerobik (Pelczar dan Chan, 1986).
Hifa dikelilingi oleh dinding sel yang terdiri dari polisakarida. Kandungan tertinggi dalam dinding sel pada kebanyakan kapang adalah selulosa, tetapi pada dinding sel beberapa kapang terutama terdiri dari khitin. Hifa mungkin membentuk kumpulan miselium yang padat dan keras dengan dinding sel tebal.
Struktur ini disebut sklerotium (jamak: sklerotia) yang bersifat tahan terhadap pemanasan dan keadaan kering (Fardiaz, 1992).
Kapang dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan struktur hifanya, yaitu : (1) hifa tidak bersekat atau nonseptat, dan (2) hifa bersekat atau septat yang membagi hifa dalam mangan-mangan, di mana setiap mangan mempunyai satu atau lebih inti sel (nukleus). Dinding penyekat yang disebut septum (jamak = septat) tidak tertutup rapat sehingga sitoplasma masih bebas bergerak dari ruangan termasuk dalam kelas Ascomycetes, Basidiomycetes, dan Deuteromycetes, sedangkan kapang nonseptat terutama termasuk dalam kelas Phycomycetes (Zygomycetes dan Oomycetes). Pada kapang nonseptat inti sel tersebar di sepanjang hifa (Fardiaz, 1992).
Hifa mungkin tumbuh di bawah permukaan yaitu terendam di dalam substrat/makanan, atau pertumbuhannya mungkin muncul di atas permukaan substrat/makanan. Hifa dapat dibedakan atas dua macam yaitu: (1) hifa vegetatif atau hifa tumbuh, dan (2) hifa fertil yang membentuk bagian reproduksi. Pada kebanyakan kapang, hifa fertil tumbuh di atas permukaan, tetapi pada beberapa kapang mungkin terendam. Penyerapan nutrien terjadi pada permukaan miselium (Fardiaz, 1992).
Kapang mempunyai kisaran pH pertumbuhan yang luas, yaitu 1,5-11 sehingga dapat bertahan dalam kondisi yang asam maupun basa dan dapat tumbuh dengan mudah. Kapang dapat menghasilkan spora yang cukup resisten terhadap pemanasan (Anonim, 2009). Rimpang temulawak mempunyai kadar air yang cukup tinggi sehingga memungkinkan tumbuhnya kapang dengan baik selain itu tanah tempat tumbuh rimpang yang mengandung nutrisi juga sangat menunjang pertumbuhan kapang pada permukaan rimpang (Tjitrosono, 1986).
2. Khamir
Merupakan fungi uniseluler , mempunyai ukuran yang beragam berkisar antara 1 sampai 5 µm lebarnya dan panjangnya 5 sampai 30 µm. Biasanya berbentuk telur tetapi ada yang memanjang. Khamir tidak dilengkapi flagelum atau organ-organ penggerak. Khamir bersifat fakultatif yaitu dapat hidup dalam keadaan aerobik maupun anaerobik (Pelczar dan Chan, 1986).
Dinding sel khamir terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut Glukan khamir disebut juga selulosa khamir. Komponen ini terdiri dari polimer glukosa dengan ikatan beta-1,3 dan beta-1,6 (selulosa mempunyai ikatan beta-1,4 dan beta-1,6). Glukan merupakan komponen terbesar dari dinding sel khamir. Mannan, yaitu polisakarida yang terdiri dari unit D-mannosa dengan ikatan alfa- 1,6; alfa-1,2; dan sedikit alfa-1,3 (Fardiaz, 1992) .
Protein merupakan komponen dinding sel khamir yang jumlahnya relatif konstan, yaitu 6-8% dari berat kering dinding sel. Protein yang terdapat pada dinding sel termasuk juga enzim yang memecah substrat yang akan diserap, misalnya invertase dan hidrolase (Fardiaz, 1992).
Khitin yaitu suatu polimer linier dari N-asetilglukosamin dengan ikatan beta-1,4. Khitin yang terdapat pada dinding sel khamir menyerupai khitin yang terdapat pada skeleton luar serangga tetapi derajat polimerasinya lebih kecil sehingga lebih mudah larut. Lipid terdapat dalam jumlah 8,5-13,5 % mungkin lebih rendah pada beberapa spesies (Fardiaz, 1992).
3. Angka kapang khamir (AKK) AKK adalah jumlah koloni kapang dan khamir yang ditumbuhkan dalam media yang sesuai setelah diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 – 25 C dan dinyatakan dalam satuan koloni/ml. Perhitungan angka kapang/khamir berdasarkan prosedur dalam Metode Analisis Pusat Pengujian Obat dan Makanan
Kapang dapat menghasilkan toksin yang berbahaya bagi kesehatan, salah satunya adalah aflatoksin. Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang dihasilkan
o
oleh jamur Aspergillus flavus, yang diproduksi pada suhu antara 7,5-40
C, dengan
o
suhu optimum 24-28 C Kapang khamir dapat tumbuh selama pemanenan, penyimpanan, dan dalam kondisi tanah lembab. Aflatoksin dapat menyebabkan toksigenik (menimbulkan keracunan), mutagenik (menimbulkan mutasi), dan karsinogenik (menimbulkan kanker) (Makfoeld,1993). Khamir dapat menyebabkan pembusukan pada bagian yang ditumbuhi karena sifatnya, yaitu mikroba fermentatif yang dapat menguraikan unsur organik menjadi alkohol dan CO seperti Saccharomyces cerevisiae (Anonim, 2010). Khamir dapat
2
menyebabkan reaksi alergi dan infeksi terutama pada populasi yang kekebalannya kurang (manula, orang sedang menjalani pengobatan dengan antibiotika, dan orang terinfeksi HIV), selain itu khamir juga dapat menyebabkan pembusukan dan dekomposisi bahan pangan (Anonim, 2009).
Cara paling umum untuk perhitungan jumlah koloni mikroba adalah dengan menggunakan perhitungan jumlah koloni (plate count). Dasarnya ialah membuat suatu pengenceran bahan dengan kelipatan 10, dari masing masing pengenceran diambil 1 mL dan dibuat taburan dalam cawan petri (pour plate) dengan medium agar yang macam dan caranya tergantung jenis mikroba yang diamati. Setelah diinkubasi dihitung jumlah koloni tiap cawan petri dari masing- masing pengenceran. Dari jumlah koloni tiap cawan petri dapat ditentukan jumlah mikroba tiap 1 mL atau gram bahan, yaitu dengan mengalikan jumlah koloni koloni dalam cawan petri dapat digunakan colony counter yang biasa dilengkapi dengan electronic register (Jutono, 1980).
Persyaratan AKK bagi sediaan berbentuk rajangan dan serbuk berdasarkan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional (Anonim, 1994) adalah tidak lebih dari 10 koloni/g, sedangkan persyaratan jumlah AKK untuk sediaan ekstrak berdasarkan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004) adalah tidak lebih dari 10 koloni/g.
E.
Landasan Teori
Rimpang temulawak adalah merupakan bahan baku yang banyak digunakan dalam pembuatan obat radisional. Simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi obat tradisional harus diupayakan memenuhi tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality (mutu), Safety (aman), dan Efficacy (manfaat) (Anonim, 2000). Simplisia yang digunakan pada pembuatan obat tradisional harus memenuhi persyaratan Kepmenkes No.
661/Menkes/SK/VII/1994 dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia termasuk juga nilai angka kapang khamir (AKK). Nilai angka kapang khamir bahan baku yang melebihi batas dapat mengurangi kualitas dan keamanan produk yang dihasilkan.
Rimpang temulawak sebelum digunakan menjadi bahan baku obat tradisional mengalami tahap pengolahan di antaranya pencucian, pengeringan, dan ekstraksi dengan hasil rimpang segar setelah pencucian, rimpang kering, dan ekstrak. Tiap tahap memiliki perlakuan yang berbeda dan dapat mempengaruhi penting yang menentukan hasil akhir termasuk jumlah cemaran kapang khamir sebagai salah satu parameter keamanan untuk persyaratan obat tradisional. Proses pencucian dapat menghilangkan tanah yang masih menempel pada rimpang sehingga cemaran kapang khamir yang menempel pada permukaan rimpang juga akan ikut tercuci. Adanya proses pengeringan menggunakan oven dapat meminimalisir pertumbuhan kapang khamir karena kandungan air pada sampel
o
berkurang. Oven juga dapat menjaga suhu 50 C sehingga proses pengeringan simplisia dapat berlangsung lebih cepat. Tahap ekstraksi menggunakan etanol 70% juga dapat mengurangi cemaran kapang khamir karena sifat etanol 70% sebagai disinfektan sehingga nilai angka kapang khamir pada ekstrak lebih sedikit dari serbuk dan rimpang segar.
Untuk menegaskan bahwa nilai AKK dari tiap sampel maka digunakan uji statistik, yaitu uji T yang berguna untuk melihat apakah mean yang secara empiris berbeda (lebih kecil atau lebih besar) mempunyai perbedaan yang signifikan/bermakna atau tidak, sehingga dengan uji T dapat ditegaskan apakah dua kelompok data mempunyai nilai lebih besar/kecil secara bermakna atau tidak.
F. Hipotesis
1. Nilai AKK rimpang segar temulawak lebih besar daripada nilai AKK serbuk
rimpang temulawak.
2. Nilai AKK serbuk rimpang temulawak lebih besar daripada nilai AKK ekstrak
etanolik rimpang temulawak.BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental quasi karena tidak ada
kontrol perlakuan. Rancangan penelitian adalah deskriptif komparatif yang menunjukkan jumlah angka kapang khamir tiap sampel dan dibandingkan dengan persyaratan yang telah ditentukan, yaitu Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 (Anonim, 1994) dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004). Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Farmakognosi Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
B.
Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel utamaa. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis sampel, yaitu hasil tiap tahap pencucian, pengeringan, dan ekstraksi (rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak).
b. Variabel tergantung Variabel tergantung pada penelitian ini adalah jumlah angka kapang khamir (AKK) dari rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak.
2. Variabel pengacau terkendali
Suhu inkubasi (20 – 25
C), lama inkubasi (5 hari), media yang digunakan (SDA), suhu pengeringan (50
C), cairan penyari etanol 70%, dan asal rimpang dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta
3. Variabel pengacau tak terkendali
Variabel pengacau tak terkendali pada penelitian ini adalah kondisi tempat tumbuh rimpang temulawak dan waktu pengeringan rimpang temulawak.
4. Definisi operasional
a. Rimpang segar temulawak adalah rimpang temulawak yang dibeli di pasar Beringharjo pada bulan November 2009, dengan memilih temulawak yang berasal dari daerah Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta. Rimpang dipilih yang tidak busuk, stok baru (belum mengalami penyimpanan lebih dari lima hari), tidak bertunas, dan permukaannya dalam keadaan kering.
b. Serbuk rimpang kering temulawak adalah serbuk yang didapatkan dari hasil penyerbukan rimpang segar temulawak yang dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 50
C, menggunakan mesin penyerbuk dan diayak dengan ayakan 8/14.
c. Ekstrak etanolik rimpang temulawak adalah sari rimpang temulawak yang didapatkan melalui proses maserasi selama 24 jam dengan menggunakan etanol 70%, disaring menggunakan kain kassa, kemudian diuapkan menggunakan waterbath selama ± 2 jam.
d. Pengeringan rimpang dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 50 C dalam kondisi oven tidak dihidupkan secara terus-menerus. e. Koloni kapang yang dihitung adalah koloni tunggal yang berserabut, berpenampilan seperti kapas (Pelczar dan Chan, 2008) tanpa membedakan warna dari koloni.
f. Koloni khamir yang dihitung adalah koloni tunggal yang berukuran lebih kecil dibandingkan koloni kapang dan tidak berserabut, berbentuk bulat atau bundar, dan tanpa membedakan warna dan bentuk dari koloni.
g. Angka kapang/khamir adalah jumlah koloni kapang dan khamir pada sampel rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak yang dihitung dengan rumus Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) (Anonim, 2006) tanpa membedakan morfologi koloni.
C. Bahan Penelitian
1. Bahan utama yaitu rimpang temulawak yang didapat dari pasar Beringharjo Yogyakarta yang berasal dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta.
2. Media yang digunakan untuk menumbuhkan koloni kapang khamir adalah Sabouraud Dextrose Agar (SDA).
3. Larutan pengencer menggunakan air suling agar (ASA) 0,05%.
4. Antibiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri menggunakan Kloramfenikol 100 mg/L (Brataco).
5. Bahan-bahan lain yang digunakan yaitu : Alkohol kelas farmasetis (Brataco), aquadest , spiritus.
D. Alat Penelitian
Microbiological Safety Cabinet , Vacuum rotary evaporator (Janke & Kunkel Ika Labortechnik ), Autoklaf, Inkubator, Vortex, Oven (Memmert), hot plate (Heidolph MR 2002), cawan petri (Pyrex), pipet volume, maserator, ayakan,
pipet tetes, ball pipet, tabung reaksi, labu Erlenmeyer, beker glass, gelas ukur, neraca analitik, lampu spiritus, waterbath, stirer magnetik, kapas, kertas pembungkus, dan alat-alat gelas.
E. Tata Cara Penelitian 1. Pengumpulan bahan
Penelitian ini menggunakan rimpang temulawak yang diperoleh dari pasar Beringharjo pada bulan November 2009, dipilih yang berasal dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakata dalam kondisi yang tidak busuk dan belum mengalami proses penyimpanan yang lama. Rimpang temulawak dibeli dari pedagang sebanyak 5 kg.