TUGAS PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

(1)

TUGAS PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

A. KRITIK-KRITIK GLOBAL MENGENAI PIDANA PENJARA(PRISON)

Pandangan global mengenai kritikan terhadap pidana penjara (prison) dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu:

1. Extrem :

- Golongan abolisionis menghendaki dihapuskanya pidana penjara;

- International Conference on Prison Abolition (ICOPA) sejak tahun 1983 di Toronto, Canada.

Prof. Herman Bianchi menyatakan “The institution of prison and imprisonment are to be for ever abolished, entirely and totally, no trace should be lift of this darkside in human history” (lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selama-lamanya secara keseluruhan. Tidak sedikitpun (bekas) yang patut diambil dari sisi yang gelap di dalam sejarah

2. Moderat: pandangan yang masih menerima pidana penjara dengan pembatasan/kritik: - Dari sudut strafmodus;

Kritik ini melihat dari sudut pelaksanaan pidana penjara. Jadi dari sudut sistem pembinaannya (treatment) dan kelembagaan/institusinya. Adanya Standard Minimum Rules (SMR) for the Treatment of Prisoners yang diterima oleh Kongres PBB ke-1 tahun 1955 yang kemudian disetujui oleh Ecosoc pada tanggal 31 juli 1957 (resolusi PBB No.663 C. XXIV)

- Dari sudut strafmaat;

Kritik ini melihat dari sudut lamanya pidana penjara, khususnya ingin membatasi atau mengurangi penggunaan pidana penjara pendek.

- Dari sudut strafsoort.

Kritik ini melihat adanya kecenderungan untuk mengurangi atau membatasi penjatuhan pidana penjara secara limitatif dan selektif

B. KRITIK-KRITIK GLOBAL PIDANA PENJARA YANG TIMBUL DARI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB)

1. Kongres PBB ke-1 tahun 1955 menciptakan Standard Minimum Rules (SMR) for the Treatment of Prisoners yang diterima oleh yang kemudian disetujui oleh Ecosoc pada tanggal 31 juli 1957 (resolusi PBB No.663 C. XXIV).

2. Kongres PBB ke-2 th. 1960 di London yang antara lain menyatakan : - penggunaan pidana penjara pendek secara luas tidak dikehendaki; - penghapusan menyeluruh pidana penjara pendek tidaklah mungkin; - pengurangan berangsur-angsur dengan meningkatkan bentuk-bentuk


(2)

- dalam hal pidana penjara pendek tidak dapat dihindari, pelaksanaannya harus terpisah/tersendiri dan pembinaannya harus konstruktif, pribadi dan dalam lembaga terbuka (open institution).

3. Kongres PBB ke-5 th. 1975 di Geneva menyatakan :

"As a matter of public policy, the use of imprisonment should be restricted to those offenders who needed to be neutralized in the interest of public safety and for the protection of society". (Sebagai suatu kebijakan publik, penggunaan penjara harus dibatasi kepada mereka pelaku yang perlu dinetralkan/masyarakatkan dalam kepentingan keselamatan publik dan untuk melindungi masyarakat).

4. Kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas (Venezuela) menyatakan : "Believing that the tendency observable in many countries to avoid imposing prison sentences as far as possible can be taken further without undue risk to public policy“ (Percaya bahwa kecenderungan diamati di banyak negara untuk menghindari hukuman penjara mengesankan, sejauh mungkin dapat diambil lebih lanjut tanpa resiko yang tidak perlu dalam kebijakan publik).

5. Kongres PBB ke-7 th. 1985 di Milan (Italia) :

Dalam Resolusi ke-2 mengenai "Reduction of the prison population, alternatives to imprisonment, and social integration of offenders", antara lain dipertimbangkan : a) bahwa hasil-hasil atau studi penelitian menunjukkan bahwa di banyak negara,

meningkatnya jumlah dan lamanya pidana penjara tidak mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pencegahan kejahatan, dan pencegahan itu lebih dapat dicapai secara efektif dengan pendeteksian kejahatan secara pasti dan cepat;

b) bahwa hasil-hasil kongres yang lalu dan Resolusi Ecosoc No. 46/1984 tgl. 25 Mei 1984 mendorong untuk meningkatkan penggunaan sanksi-sanksi yang non-custodial.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Resolusi ke-2 itu menyatakan antara lain :

a) agar negara anggota meningkatkan usaha untuk mengurangi akibat-akibat negatif dari pidana penjara;

b) negara anggota harus mengefektifkan penelitian-penelitian mengenai sanksi- sanksi non-custodial untuk mengurangi populasi penjara;

c) pidana penjara hendaknya hanya dijatuhkan sebagai suatu sanksi dari upaya terakhir, dengan mempertimbangkan :

- sifat dan bobot keseriusan tindak pidana;

- kondisi-kondisi sosial yang relevan menurut hukum, dan - keadaan-keadaan lainnya yang bersifat pribadi dari sipelaku.

Pada prinsipnya, pidana penjara jangan dikenakan kepada pelanggar-pelanggar ringan (petty offenders).


(3)

d) apabila sanksi non-custodial digunakan, pada prinsipnya sanksi-sanksi tersebut harus digunakan sebagai bentuk sanksi yang benar-benar merupakan alternatif dari pidana penjara dan bukan sebagai bentuk sanksi "di samping" pidana penjara;

e) masyarakat umum harus diberi informasi yang lebih baik mengenai keuntungan-keuntungan dan pentingnya sanksi-sanksi non-custodial dibandingkan dengan pidana penjara;

f) menghindari sejauh mungkin penggunaan pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar, khususnya dengan menjamin/memastikan bahwa : - pidana denda dijatuhkan sesuai dengan kemampuan membayar dari sipelanggar; - sebelum seseorang dipenjarakan karena tidak membayar denda, semua keadaan

dipertimbangkan sepenuhnya;

- di samping pidana penjara, sanksi non-custodial dapat dikenakan.

g) Memohon kepada Komite Pencegahan dan Pengendalian Kejahatan (Committee on Crime Prevention and Control) untuk mendorong perhimpunan bangsa-bangsa regional dan lembaga-lembaga interregional agar mengembangkan sanksi-sanksi non-custodial yang efektif dan tindakan-tindakan pengintegrasian sosial bagi para pelanggar serta pembatasan penggunaan pidana penjara.

6. Resolusi PBB 45/113 : "UN Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty"

a) Pidana penjara harus digunakan sebagai upaya terakhir ("Imprisonment should be used as a last resort").

b) Perampasan kemerdekaan anak :

- harus ditetapkan sebagai upaya terakhir dan

- untuk jangka waktu minimal yang diperlukan serta - dibatasi untuk kasus-kasus yang luar biasa/eksepsional.

7. SMR-JJ (The Beijing Rules) Resolusi MU-PBB 40/33, th. 1985 a) Rule 17.1 :

- pembatasan kebebasan/kemerdekaan pribadi anak (restrictions on the personal liberty of the juvenile) hanya dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin;

- perampasan kemerdekaan pribadi (deprivation of personal liberty) jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan serius atau terus menerus

melakukan tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi lain yang lebih tepat;

b) Rule 19.1 :

- Penempatan seorang anak dalam lembaga harus selalu ditetapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu minimal yang diperlukan.


(4)

8. UN SMR For Non-Custodial Measures (The Tokyo Rules) Resolusi MU-PBB 45/110 tgl.14 Desember 1990

a) pembatasan kemerdekaan hanya dapat dibenarkan dilihat dari sudut keamanan masyarakat (public safety), pencegahan kejahatan (crime prevention), pembalasan yang adil dan penangkalan (just retribution and deterrence), dan tujuan utama dari sistem peradilan pidana adalah “reintegrasi pelaku tindak pidana ke dalam

masyarakat” (“reintegration of offender into society”);

b) meningkatnya populasi penjara dan semakin padatnya penjara merupakan faktor yang menimbulkan kesulitan untuk diterapkannya SMR for the Treatment of Prisoners

C. KRITIK-KRITIK GLOBAL PIDANA PENJARA YANG TIMBUL DARI INTERNATIONAL CONFERENCE ON PRISON ABOLITION (ICOPA)

International Coference on Prison Abolition merupakan konverensi yang bertujuan dalam menghapus pidana penjara (golongan extrem). Berikut merupakan pelaksanaan-pelaksanaan ICOPA:

1. 1983 - ICOPA I, the First International Conference on Prison Abolition ; Toronto, Canada.

2. 1985 -ICOPA II - Amsterdam

3. 1987 - ICOPA III Montreal, Canada. à berubah “penal abolition”. 4. 1989 - ICOPA IV - Poland

5. 1991 ICOPA V - Indiana, USA. This conference focused on Native/Aboriginal Justice and racism in the American Justice System.

6. 1993 ICOPA VI - Costa Rica. 7. 1995 ICOPA VII - Spain.

8. 1997 ICOPA VIII - Auckland, New Zealand. This conference was a good

opportunity to learn about Maori Justice and Alternative Justice models based on Maori traditions.

9. 2000 ICOPA IX - Toronto, Canada. focused on Transformative Justice and the Corporate Agenda¹s role in Criminal Justice.

10. 2002 (Sept/Okt) - ICOPA X in Lagos, Nigeria. The theme: Transformative Justice and Practical Alternative to the Penal System.

11. 2006 – ICOPA XI – Hobart, Tasmania. 7-11 Feb. 2006 à Temanya : Transformative Justice and Practical Alternative to the Penal System.

12. ICOPA XII tahun 2008 di Ireland. à berlangsung tgl. 23, 24 & 25 July 2008 - Kings College London.

13. Terakhir-terakhir ini diselenggarakan ICOPA XV di University of Ottawa, Canada tanggal 13-15 juni 2014.

ICOPA XII - International Conference on Penal Abolition Creating a scandal - prison abolition and the policy agenda 23, 24 & 25 July 2008 - Kings College London


(5)

Pada konferensi ICOPA ke-XII ini membicarakan tentang:

- the impact of the penal system on our communities and provide suggestions for new and alternative approaches (dampak dari sistem pidana di masyarakat dan

memberikan saran untuk pendekatan baru dan alternatif)

- It will look at custody and community interventions as alternatives to imprisonment; - prisons and the politics of poverty (alternatif pidana penjara dan politik dalam

menanggulangi kemiskinan)

- the role of the media and public opinion; (peran media dan pandangan masyarakat) - the role of privatisation and capitalism in penal policy today (peran privatisasi dan

kapitalisme dalam kebijakan pidana pada saat sekarang)

- and will look at other possibilities and approaches outside of a failing crime control agenda (melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam pendekatan kegagalan mengontrol kejahatan)


(6)

PERKEMBANGAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA DALAM KONSEP RUU KUHP Berbicara mengenai asas-asas hukum pidana, dapat dihubungankan dengan orientasi tiga masalah hukum pidana yaitu:

1. Asas-asas yang berhubungan dengan perbuatan (tindak pidana);

2. Asas-asas yang berhubungan dengan orang (pertanggungjawaban pidana); 3. Asas-asas yang berhubungan dengan pidana dan pemidanaan.

A. Asas Legalitas

KUHP (WvS) KONSEP 2012

Pasal 1 ayat (1)

“tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”

Pasal 1ayat (1)

“Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat

perbuatan itu dilakukan”

Pasal 2

Ayat (1): “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun

perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”

Ayat (2): “Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam


(7)

Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”

 Menurut pasal 2 ayat (1), sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, tidak hanya didasarkan pada asas legalitas formal (berdasarkan UU) tetapi juga didasarkan pada asas legalitas materil yaitu dengan memberi tempat kepada “hukum yang hidup/ hukum tidak tertulis”. Jadi asas kepastian hukum formal, diimbangi juga dengan kepastian hukum secara materil. Dengan kata lain, sifat melawan hukumnya perbuatan harus didasarkan pada landasan formal (legalitas formal), namun tidak mengurangi eksistensi sifat melawan hukum secara materil (legalitas materil).

B. Asas retroaktif dan asas dalam ada perubahan undang-undang

KUHP (WvS) KONSEP 2012

Pasal ayat (2)

“jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan,

Pasal 3

Ayat (1): “Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah


(8)

maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”

perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perun-dang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi pembuat”

Ayat (2): “Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut

peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan”

Ayat(3): “Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang- undangan yang baru”

 Pada asas retroaktif dalam konsep lebih mengacu pada model gabungan/keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan.

 Dalam pasal 3 ayat (2) dan (3) konsep asas “menerapkan aturan yang

menguntungkan/meringankan”, berlaku juga (diperluas) untuk terpidana. Kemudian dapat dilakukan “redetermining of punishment” dalam hal ada peraturan perundang-undangan yang baru dan meringankan walaupun putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

C. Asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum (no liability without unlawfulness)

Pasal 11 ayat (2) konsep 2012 menyatakan “Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan

perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”. Artinya untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana (sebagai salah


(9)

satu syarat dapat dijatuhinya pidana) perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang itu harus juga bersifat melawan hukum secara materil. Konsep berpendirian bahwa sifat melawan hukum merupakan unsur yang mutlak dari tindak pidana. Artinya, walaupun dalam perumusan delik tidak dirumuskan secara tegas adanya unsur melawan hukum , namun suatu perbuatan yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam undang-undang harus selalu dianggap bersifat melawan hukum.

D. Asas kesalahan (pertanggungjawaban pidana) 1. Asas culpabilitas “geen straft zonder schuld”

Berbeda dengan KUHP, didalam konsep ada bab tersendiri mengenai

“pertanggungjawaban pidana” asas umum yang fundamental dalam pertanggungjawaban pidana ialah asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas). Asas ini (merupakan asas kemanusiaan) dirumuskan secara langsung dalam pasal 37 ayat (1) : “Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan”, sebagai pasangan dari asas legalitas (asas kemasyarakatan) dan merupakan perwujudan pula dari ide kesimbangan monodualistik.

2. Asas strict liability (pertanggungjawaban yang ketat)

Pasal 38 ayat (1) : “Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”.

3. Asas vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti)

Pasal 38 ayat (2) : “Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.”

4. Erfolgshaftung (menanggung akibat)

Pasal 39 ayat (3) : “Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat tindak pidana tertentu yang oleh Undang-Undang diperberat ancaman pidananya, jika ia sepatutnya mengetahui kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan.”

E. Asas-asas yang berhubungan dengan pidana dan pemidanaan

Syarat pemidanaan menurut konsep bertolak dari keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Oleh karena itu syarat pemidanaan didasarkan pada dua pilar/asas yang sangat fundamental, yaitu “asas legalitas” (yang merupakan asas kemasyarakatan) dan “asas kesalahan/culpabilitas” (yang merupakan asas kemanusiaan/ individual). Selain kedua asas tersebut , masih ada terdapat asas-asas dalam pidana dan pemidanaan, yaitu sebagai berikut:

1. Asas dalam tujuan pemidanaan

Dalam tujuan pemidanaan (pasal 54 konsep), pada intinya terkandung asas


(10)

itu ditegaskan pula asas kemanusiaan (humanistik, yang menegaskan bahwa “pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.”

2. Asas dalam pedoman pemidanaan, ada ketentuan yang mengandung asas “permaafan hakim” (pasal 55 ayat (2) konsep). Di dalam asas “judicial pardon” ini terkandung ide/pokok pemikiran:

 Menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan;  Menyediakan “klep/katup pengaman (veiligheidsklep);

 Bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas (judicial corrective to the legality principle);

 Pengimplementasian/ pengintegrasian nilai atau paradigma “hikmah kebijaksanaan” dalam Pancasila;

 Pengimplementasian/ pengintegrasian “tujuan pemidanaan” ke dalam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan permaafan/pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan), jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak pidana” (asas legalitas) dan “kesalahan” (asas culpabilitas), tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”.

3. Asas culpa in causa/asas actio libera in causa

Asas ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk tetap

mempertangungjawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika pelaku patut dipersalahkan (dicela) terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Jadi kewenangan hakim untuk memaafkan (tidak memidana) diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun ada alasan

penghapus/peniadaan pidana ( pasal 56 konsep 2012).

4. Asas elastisitas/fleksibilitas pemidanaan yang diformulasikan dalam “pedoman dan aturan pemidanaan”, antara lain sebagai berikut:

 Walaupun sanksi pidana dirumuskan secara tunggal (bersifat impertif/kaku), namun hakim dapat memilih alternatif pidana lainnya yang tidak tercantum dalam perumusan delik atau mengenakan pidana secara kumulatif dan dalam memilih salah satu jenis pidana, asasnya adalah mendahulukan jenis pidana yang lebih ringan (pasal 60 konsep 2012);

 Walaupun sudah ada putusan pemidanaan yang berkuatan tetap, masih dimungkinkan adanya modifikasi/perubahan/penyesuaian/peninjauan kembali (asas “modification of sanc-tion”; asas “the alteration/annulment/revocation of sanction”) terhadap putusan tersebut berdasarkan:

a) Adanya perubahan undang-undang atau perubahan “legislative policy” (pasal 3 konsep 2012);


(11)

b) Adanya perubahan/perbaikan/perkembangan pada diri terpidana (pasal 57 konsep 2012).


(1)

PERKEMBANGAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA DALAM KONSEP RUU KUHP Berbicara mengenai asas-asas hukum pidana, dapat dihubungankan dengan orientasi tiga masalah hukum pidana yaitu:

1. Asas-asas yang berhubungan dengan perbuatan (tindak pidana);

2. Asas-asas yang berhubungan dengan orang (pertanggungjawaban pidana); 3. Asas-asas yang berhubungan dengan pidana dan pemidanaan.

A. Asas Legalitas

KUHP (WvS) KONSEP 2012

Pasal 1 ayat (1)

“tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”

Pasal 1ayat (1)

“Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat

perbuatan itu dilakukan”

Pasal 2

Ayat (1): “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun

perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”

Ayat (2): “Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam


(2)

Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”

 Menurut pasal 2 ayat (1), sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, tidak hanya didasarkan pada asas legalitas formal (berdasarkan UU) tetapi juga didasarkan pada asas legalitas materil yaitu dengan memberi tempat kepada “hukum yang hidup/ hukum tidak tertulis”. Jadi asas kepastian hukum formal, diimbangi juga dengan kepastian hukum secara materil. Dengan kata lain, sifat melawan hukumnya perbuatan harus didasarkan pada landasan formal (legalitas formal), namun tidak mengurangi eksistensi sifat melawan hukum secara materil (legalitas materil).

B. Asas retroaktif dan asas dalam ada perubahan undang-undang

KUHP (WvS) KONSEP 2012

Pasal ayat (2)

“jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan,

Pasal 3

Ayat (1): “Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah


(3)

maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”

perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perun-dang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi pembuat”

Ayat (2): “Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut

peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan”

Ayat(3): “Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang- undangan yang baru”

 Pada asas retroaktif dalam konsep lebih mengacu pada model gabungan/keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan.

 Dalam pasal 3 ayat (2) dan (3) konsep asas “menerapkan aturan yang

menguntungkan/meringankan”, berlaku juga (diperluas) untuk terpidana. Kemudian dapat dilakukan “redetermining of punishment” dalam hal ada peraturan perundang-undangan yang baru dan meringankan walaupun putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

C. Asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum (no liability without unlawfulness)

Pasal 11 ayat (2) konsep 2012 menyatakan “Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan

perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”. Artinya untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana (sebagai salah


(4)

satu syarat dapat dijatuhinya pidana) perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang itu harus juga bersifat melawan hukum secara materil. Konsep berpendirian bahwa sifat melawan hukum merupakan unsur yang mutlak dari tindak pidana. Artinya, walaupun dalam perumusan delik tidak dirumuskan secara tegas adanya unsur melawan hukum , namun suatu perbuatan yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam undang-undang harus selalu dianggap bersifat melawan hukum.

D. Asas kesalahan (pertanggungjawaban pidana) 1. Asas culpabilitas “geen straft zonder schuld”

Berbeda dengan KUHP, didalam konsep ada bab tersendiri mengenai

“pertanggungjawaban pidana” asas umum yang fundamental dalam pertanggungjawaban pidana ialah asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas). Asas ini (merupakan asas kemanusiaan) dirumuskan secara langsung dalam pasal 37 ayat (1) : “Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan”, sebagai pasangan dari asas legalitas (asas kemasyarakatan) dan merupakan perwujudan pula dari ide kesimbangan monodualistik.

2. Asas strict liability (pertanggungjawaban yang ketat)

Pasal 38 ayat (1) : “Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”.

3. Asas vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti)

Pasal 38 ayat (2) : “Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.”

4. Erfolgshaftung (menanggung akibat)

Pasal 39 ayat (3) : “Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat tindak pidana tertentu yang oleh Undang-Undang diperberat ancaman pidananya, jika ia sepatutnya mengetahui kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan.”

E. Asas-asas yang berhubungan dengan pidana dan pemidanaan

Syarat pemidanaan menurut konsep bertolak dari keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Oleh karena itu syarat pemidanaan didasarkan pada dua pilar/asas yang sangat fundamental, yaitu “asas legalitas” (yang merupakan asas kemasyarakatan) dan “asas kesalahan/culpabilitas” (yang merupakan asas kemanusiaan/ individual). Selain kedua asas tersebut , masih ada terdapat asas-asas dalam pidana dan pemidanaan, yaitu sebagai berikut:

1. Asas dalam tujuan pemidanaan

Dalam tujuan pemidanaan (pasal 54 konsep), pada intinya terkandung asas


(5)

itu ditegaskan pula asas kemanusiaan (humanistik, yang menegaskan bahwa “pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.”

2. Asas dalam pedoman pemidanaan, ada ketentuan yang mengandung asas “permaafan hakim” (pasal 55 ayat (2) konsep). Di dalam asas “judicial pardon” ini terkandung ide/pokok pemikiran:

 Menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan;  Menyediakan “klep/katup pengaman (veiligheidsklep);

 Bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas (judicial corrective to the legality principle);

 Pengimplementasian/ pengintegrasian nilai atau paradigma “hikmah kebijaksanaan” dalam Pancasila;

 Pengimplementasian/ pengintegrasian “tujuan pemidanaan” ke dalam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan permaafan/pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan), jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak pidana” (asas legalitas) dan “kesalahan” (asas culpabilitas), tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”.

3. Asas culpa in causa/asas actio libera in causa

Asas ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk tetap

mempertangungjawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika pelaku patut dipersalahkan (dicela) terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Jadi kewenangan hakim untuk memaafkan (tidak memidana) diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun ada alasan

penghapus/peniadaan pidana ( pasal 56 konsep 2012).

4. Asas elastisitas/fleksibilitas pemidanaan yang diformulasikan dalam “pedoman dan aturan pemidanaan”, antara lain sebagai berikut:

 Walaupun sanksi pidana dirumuskan secara tunggal (bersifat impertif/kaku), namun hakim dapat memilih alternatif pidana lainnya yang tidak tercantum dalam perumusan delik atau mengenakan pidana secara kumulatif dan dalam memilih salah satu jenis pidana, asasnya adalah mendahulukan jenis pidana yang lebih ringan (pasal 60 konsep 2012);

 Walaupun sudah ada putusan pemidanaan yang berkuatan tetap, masih dimungkinkan adanya modifikasi/perubahan/penyesuaian/peninjauan kembali (asas “modification of sanc-tion”; asas “the alteration/annulment/revocation of sanction”) terhadap putusan tersebut berdasarkan:

a) Adanya perubahan undang-undang atau perubahan “legislative policy” (pasal 3 konsep 2012);


(6)

b) Adanya perubahan/perbaikan/perkembangan pada diri terpidana (pasal 57 konsep 2012).