HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK PADA SISWA SMA NEGERI 2 SEMARANG - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

(1)

i SKRIPSI

Oleh: Uni Setyani M2A002085

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG APRIL 2007


(2)

ii

Diajukan Kepada Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat

Guna Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Psikologi

SKRIPSI

Oleh : Uni Setyani M2A002085

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG APRIL 2007


(3)

iii

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Psikologi

Pada Tanggal

___________________

Mengesahkan

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Ketua Progam Studi,

Drs. Karyono, M.Si.

Dewan Penguji, Tanda Tangan

1. Harlina Nurtjahjanti, S.Psi., M.Si. _____________ 2. Annastasia Ediati, S.Psi., M.Sc. _____________ 3. Dra. Sri Hartati, M.S. _____________


(4)

iv

!

"# ! !

!

!


(5)

v $ % $ $ % $ $ % $ $ % $ # $ % $ # $ % $ # $ % $ # $ % $ """" & && & # ' # ' # ' # ' (((( #### " $ " " $" $ "" " $ " # # # # ) " ) " ) " ) "

# # "

## ## ""

# # "

# " $

# " $

# " $

# " $

# $ $ # $ $ # $ $ # $ $ " " " " $ # $ # $ # $ # # " # " # "

# " ####

$ $

$ $

$ $

$ $

$ " $

$ "$ " $$

$ " $

* # ) $ * # ) $ * # ) $ * # ) $ +, +, +, +,

! # "

! # "

! # "

! # "

""""

$ +

$ +

$ +


(6)

vi

#

)

'

'

$ '

$

#

)

'

'

$ '

$

#

)

'

'

$ '

$

#

)

'

'

$ '

$

1000 langkah dimulai dari 1

%! &

! ''

'

'


(7)

vii

SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan tuntunan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Proses terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga penulis ucapkan terimakasih kepada : 1. Drs. Karyono, M.Si selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro.

2. Annastasia Ediati, S.Psi., M.Sc selaku pembimbing utama yang penulis kagumi dan hormati. Terimakasih telah bersedia menyisihkan waktu, perhatian, dan bimbingan selama penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi. Terimakasih juga atas kesempatan-kesempatan yang diberikan pada penulis untuk mengembangkan diri.

3. Dra. Diana Rusmawati selaku pembimbing pendamping yang telah bersedia menyisihkan waktu, perhatian, kata-kata yang menyejukkan, semangat, kesabaran, dan bimbingan selama penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi.

4. Endah Mujiasih, S.Psi., M.Si selaku dosen wali yang telah memberikan arahan selama penulis menuntut ilmu di Program Studi Psikologi.

5. Seluruh staf Pengajar Program Studi Psikologi atas segala pengetahuan yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswi Prodi Psikologi Undip.


(8)

viii

bantuan, bimbingan, waktu, kebaikan, dan keramahan yang telah diberikan. 9. Seluruh guru SMA Negeri 2 Semarang atas bantuan, keramahan, dan

nasehatnya.

10.Siswa-siswi SMA Negeri 2 Semarang yang telah bersedia menjadi subjek penelitian.

11.Bapak, Ibu, terimakasih, terimakasih, terimakasih...atas semua doa, cinta dan kasih sayang, dorongan, semangat, kesabaran, perhatian, pengorbanan dan semua yang tidak mungkin bisa nanda balas. Bapak, ibu, aku sayang...

12.Mbak Ema, Adit, Meli, Afi. Aku bangga menjadi bagian dari persaudaraan ini... Mbak dan adik-adik membuat hidupku bermakna, indah dan berwarna... Jangan lelah mengingatkanku ya...

13.Edy Saputro, makasih buat kasih sayang, perhatian, kesabaran, kelapangan dada, semangat dan dukungannya. Terimakasih juga buat keluarganya atas perhatian dan kasih sayangnya.

14.Sahabat-sahabatku, Ratna..., you are the best!, Enoy..., makasih buat masukan dan kritikannya, Etin..., kita memang tumbuh bersama, tapi kamu selalu dua langkah di depanku, Dinoel ’daranista’..., semangat!, Rani CTD, temanku berngapak-ngapak ria, Diah ’PonDor’ IFLH..., jagain kos ya...


(9)

ix

senyum dong..., Nita ’talia’, Hesti, Septi Dwi, Amel. Buat band terkeren, gaLs!, Nicu, Ayo Cu...priatin...priatin.., Sandra, Bhono, Septi. Kapan kita manggung lagi? Love you all.

16.Temen-temen 2002, The Narcissers, Fitri, Asih, Ami, Susan, Novi, Rositem, Dyas, Dyah Khusna, Deasy Rani, Prima, Zamroni, dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu…Keep in touch ya...

17.Anak-anak kos Fadila, Wiwik, Uci, Diah, Ndeh, Iki, Intan, Atik, Lina, Mila, Dila. Dasar anak-anak yang aneh....

18.Terimakasih juga kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan yang telah diberikan.

Semarang, April 2007


(10)

x

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

UCAPAN TERIMAKASIH...vi

DAFTAR ISI...ix

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR...xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

ABSTRAK...xvi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Menyontek ... 12

1. Pengertian Intensi Menyontek ... 12

2. Aspek-aspek Intensi Menyontek... 14

3. Faktor-faktor Yang mempengaruhi Intensi Menyontek ... 19


(11)

xi

3. Arti Penting Konsep Diri dalam Menentukan

Perilaku ...27

4. Konsep Diri Remaja...28

C. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Intensi Menyontek ... 33

D. Hipotesis Penelitian ... 39

BAB III. METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian...40

B. Definisi Operasional ... 40

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ...41

D. Metode Pengumpulan Data...43

E. Daya Beda Aitem, Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 48

a. Uji Daya Beda Aitem...48

b. Uji Validitas Alat Ukur ... 49

c. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 50

F. Metode Analisis Data... 50

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN A. Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian...52

1. Orientasi Kancah Penelitian...52

2. Persiapan Penelitian ...55


(12)

xii

2. Uji Hipotesis ...67

D. Deskripsi Sampel Penelitian ...69

BAB V. PENUTUP A. Pembahasan...72

B. Simpulan ...81

C. Saran ...82


(13)

xiii

Tabel 1. Blue Print Skala Intensi Menyontek ... 45

Tabel 2. Sebaran Aitem Skala Intensi Menyontek... 46

Tabel 3. Blue Print Skala Konsep Diri ... 47

Tabel 4. Sebaran Aitem Skala Konsep Diri ... 47

Tabel 5. Sebaran Aitem Skala Intensi Menyontek untuk Try Out... 58

Tabel 6. Sebaran Aitem Skala Konsep Diri untuk Try Out...59

Tabel 7. Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Intensi Menyontek... 61

Tabel 8. Distribusi Aitem Valid Skala Intensi Menyontek untuk Penelitian ... 62

Tabel 9. Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Konsep Diri ... 63

Tabel 10. Distribusi Aitem Valid Skala Konsep Diri untuk Penelitian ... 63

Tabel 11. Waktu Pelaksanaan Penelitian ... 64

Tabel 12. Sampel Penelitian... 65

Tabel 13. Deskripsi Statistik Penelitian ... 68

Tabel 14. Rangkuman Analisis Regresi Sederhana Variabel Penelitian ... 68

Tabel 15. Koefisien Persamaan Garis Regresi... 68


(14)

(15)

xv

Gambar 1. Tingkat Spesifikasi Intensi... 18 Gambar 2. Teori Tingkah Laku Terencana... 22


(16)

xvi

Uji Coba ... 90

Lampiran B. Sebaran Data Try Out Variabel Konsep Diri... 93

Lampiran C. Sebaran Data Try Out Variabel Intensi Menyontek... 104

Lampiran D. Uji Daya Beda dan Reliabilitas Skala Konsep Diri ... 115

Lampiran E. Uji Daya Beda dan Reliabilitas Skala Intensi Menyontek... 121

Lampiran F. Skala Konsep Diri dan Intensi Menyontek untuk Penelitian... 126

Lampiran G. Sebaran Data Penelitian Variabel Konsep Diri ... 129

Lampiran H. Sebaran Data Penelitian Variabel Intensi Menyontek... 139

Lampiran I. Uji Normalitas Variabel Penelitian ... 158

Lampiran J. Uji Linearitas Variabel Penelitian... 159

Lampiran K. Uji Hipotesis Variabel Penelitian ... 161

Lampiran L. Hasil Wawancara ... 165

Lampiran M. Dokumentasi.. ...187


(17)

xvii

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

ABSTRAK

Sekolah merupakan lingkungan pendidikan sekunder bagi remaja setelah lingkungan keluarga. Bagi seorang siswa dunianya adalah sekolah, dan tugas-tugas siswa yang utama adalah tugas-tugas sekolah. Gambaran dan penilaian siswa tentang keadaan diri sendiri pada saat sekarang dan keinginan di masa mendatang akan mempengaruhi cara siswa melaksanakan tugas-tugas sekolah. Konsep diri meliputi penilaian siswa terhadap kemampuan dan ketidakmampuan diri yang akan mempengaruhi perilaku siswa dan berperan dalam menentukan cara yang dilakukan siswa dalam usaha meraih prestasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan intensi menyontek pada siswa SMA Negeri 2 Semarang.

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan Skala Intensi Menyontek dan Skala Konsep Diri yang disebarkan kepada 245 subjek penelitian. Skala Intensi Menyontek terdiri dari 37 aitem dengan α = 0,939, dan Skala

Konsep Diri terdiri dari 27 aitem dengan α = 0,888.

Analisis data yang digunakan untuk mengetahui hubungan positif antara konsep diri dengan intensi menyontek adalah uji statistik parametrik teknik analisis regresi sederhana. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya hubungan negatif dan sangat signifikan antara konsep diri dengan intensi menyontek yang ditunjukkan oleh angka korelasi rxy = - 0,464 dengan p = 0,000 (p<0,05), sehingga hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif antara konsep diri dengan intensi menyontek pada siswa SMA Negeri 2 Semarang dapat diterima. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan intensi menyontek pada siswa SMA Negeri 2 Semarang. Hubungan antara kedua variabel tersebut berarti bahwa semakin positif konsep diri maka semakin rendah intensi menyontek, sebaliknya semakin negatif konsep diri akan semakin tinggi intensi menyontek. Hasil tersebut memberi informasi bagi siswa untuk meningkatkan konsep diri, sehingga dapat mengurangi intensi menyontek. Dari penelitian ini didapatkan sumbangan efektif konsep diri terhadap intensi menyontek sebesar 21,5 %.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan nasional Indonesia saat ini memiliki tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut tercantum dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1989 bab 2 pasal 4 yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (2006), yang kemudian ditegaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tahun 2005 nomor 19 tahun 2005 bab 2 pasal 4, mengenai tujuan standar pendidikan nasional. Secara singkat, pendidikan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas secara utuh, yaitu yang bermutu dalam seluruh dimensinya: kepribadian, intelektual, dan kesehatannya (Sindhunata dalam Indarto dan Masrun, 2004, h. 412).

Kenyataan bahwa sistem pendidikan Indonesia yang menggunakan nilai dari tes atau evaluasi belajar terhadap materi yang diberikan sebelumnya untuk menunjukkan kemajuan dan penguasaan ilmu anak didik, menyebabkan masyarakat memandang prestasi belajar hanya dari pencapaian nilai yang tinggi,


(19)

bukan pada prosesnya. Pandangan tersebut menimbulkan tekanan pada siswa untuk mencapai nilai yang tinggi. Tekanan yang dirasakan akan membuat siswa lebih berorientasi pada nilai, bukan pada ilmu. Siswa dapat mempersepsi ujian sebagai alat untuk menyusun peringkat dan dapat menyebabkan dirinya mengalami kegagalan, bukan sebagai instrumen yang dapat menunjukkan kemajuan dalam proses belajar (Sujana dan Wulan, 1994, h. 2-3).

Kemungkinan mengalami kegagalan diangggap sebagai ancaman dan merupakan stimulus yang tidak menyenangkan. Ada berbagai respon yang dilakukan siswa dalam menghadapi ancaman kegagalan, misalnya mempelajari materi secara teratur atau berlatih mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan guru. Ada pula siswa yang memberikan respon menghindari ancaman kegagalan tersebut dengan menyontek (Gibson dalam Sujana dan Wulan, 2004, h. 1).

Perilaku menyontek bukan cara yang benar untuk memperoleh nilai tinggi. Menurut Indarto dan Masrun (2004, h. 411-413) perilaku menyontek menjadi masalah karena akan menimbulkan kekaburan dalam pengukuran kemampuan siswa, guru menjadi sulit untuk menentukan penilaian secara objektif. Nilai yang diperoleh tidak dapat membedakan antara siswa yang memperoleh nilai tinggi karena kemampuan dan penguasaannya terhadap materi dengan siswa yang memperolehnya karena menyontek. Perilaku menyontek juga dapat merugikan pelakunya. Berdasarkan wawancara dengan guru SMA Negeri 2 Semarang diperoleh informasi bahwa siswa-siswi kelas unggulan dipilih dari siswa yang memiliki nilai tertinggi di kelas sebelumnya. Apabila seseorang menjadi siswa kelas unggulan karena nilai yang diperoleh dari menyontek, siswa akan merasa


(20)

kesulitan karena kemampuannya tidak sesuai dengan standar siswa kelas unggulan. Masalah yang kemudian muncul adalah siswa merasa kesulitan mengikuti tuntutan bagi siswa kelas unggulan. Selain itu, kebiasaan menyontek dapat memupuk kepribadian tidak jujur yang dapat terbawa dan diterapkan dalam situasi baru, misalnya dalam dunia kerja.

Sejarah Cina Kuno menyebutkan bahwa pada zaman pemerintahan Kaisar Wen Ti pada tahun 77 Masehi telah diberlakukan aturan ujian yang ketat bagi orang-orang yang mengikuti ujian menjadi pegawai kerajaan. Peserta yang kedapatan menyontek dalam ujian tersebut diancam hukuman mati (Alhadza, 1998). Informasi di atas menunjukkan bahwa praktik menyontek sudah ada sejak dulu, sekaligus menunjukkan bahwa menyontek bukanlah permasalahan ”sepele”. Namun, sekarang praktik menyontek banyak dijumpai dalam dunia pendidikan, masyarakat pun cenderung mentolerir dan menganggapnya sebagai hal yang wajar (Haryono, dkk, 2001, h. 10). Sering terdengar ungkapan bahwa menyontek adalah seni dalam sekolah; merupakan hal yang aneh dan tidak wajar jika ada orang yang tidak pernah menyontek selama hidupnya (Poedjinugroho, 2005). Penelitian Schab (dalam Sujana dan Wulan, 1994, h. 3) menunjukkan 93 persen siswa menyatakan bahwa menyontek merupakan sesuatu yang normal dalam pendidikan. Kenyataan tersebut juga terdapat di SMA Negeri 2 Semarang. Berdasarkan wawancara dengan empat orang guru dan tiga orang siswa, seluruhnya menyatakan bahwa menyontek adalah hal biasa dan wajar dilakukan oleh seorang siswa.


(21)

Praktik menyontek yang hangat dibicarakan pada tahun 2006 lalu adalah pada kasus Ujian Nasional (UN). Di Garut, Jawa Barat, seorang siswa dari SMP Daya Susila membeberkan bocoran jawaban ujian mata pelajaran matematika yang diperoleh dari temannya. Berkat bocoran tersebut siswa mendapat nilai tinggi untuk matematika, yakni 9,33. Kasus serupa terjadi di Cilegon, Banten, yang dilakukan oleh salah seorang siswa SMK Negeri 1 Cilegon. Kasus-kasus tersebut diberitakan dalam Headline News stasiun televisi Metro TV pada tanggal 28 Juni 2006, pukul 20.00 WIB. Surat kabar Suara Merdeka tanggal 24 Juni 2006 memberitakan bahwa beberapa siswa SMA Negeri 2 Semarang mengaku menerima jawaban Ujian Nasional untuk mata pelajaran matematika dari gurunya melalui SMS. Pada saat ujian, SMS yang berisi jawaban soal dari guru tersebut diterima para siswa pada waktu yang telah disepakati bersama. Setelah menerima SMS yang berisi kunci jawaban, para siswa mengirimkan kembali SMS tersebut kepada teman-teman yang lain, kemudian mengisi jawaban soal sesuai dengan isi SMS.

Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof. Dr. Mungin Edi Wibowo, MPd dalam surat kabar Suara Merdeka tanggal 26 Juni 2006 mengungkapkan keprihatinannya karena sebagian siswa SMA Negeri 2 Semarang tersebut memiliki percaya diri yang rendah sehingga mau menerima tawaran bocoran jawaban. SMA Negeri 2 Semarang tercatat sebagai sekolah unggulan yang memiliki akreditasi A, dan masuk dalam kategori Sekolah rintisan Kategori Mandiri (SKM). Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa siswa-siswi SMA Negeri Semarang pada dasarnya memiliki kemampuan yang baik. Fakta tersebut


(22)

didukung dengan wawancara dengan guru yang menyebutkan bahwa rata-rata prestasi siswa termasuk tinggi.

Kebijakan pemerintah menaikkan standar minimal nilai kelulusan menjadi 4,25 pada Ujian Nasional tahun 2006 telah membuat siswa dan guru merasa resah dan terpacu untuk melakukan kecurangan demi menaikkan tingkat kelulusan. Menurut Irawan, Sekretaris Koalisi Pendidikan (2006), salah satu penyebab terjadinya berbagai kecurangan yang dilakukan oleh siswa dan guru dalam Ujian Nasional adalah citra daerah dan sekolah yang dipertaruhkan dari hasil ujian nasional. Mengutip pemberitaan harian Republika tanggal 17 Mei 2006, Irawan menuliskan salah satu bukti pentingnya hasil Ujian Nasional terhadap citra daerah dan sekolah terjadi di Garut. Bupati daerah tersebut mengancam akan memutasi kepala sekolah yang kelulusan siswanya di bawah 95 persen. Ujian Nasional tampaknya tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi menjadi instrumen bagi sekolah dan daerah agar dianggap berhasil memajukan pendidikan. Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa tidak ada penghargaan terhadap proses belajar dan kerja keras siswa dan guru. Dampak paling berbahaya adalah, lewat kecurangan, siswa secara tidak langsung belajar untuk tidak menghargai proses, cara apa pun boleh digunakan, benar atau salah, asalkan tujuan dapat tercapai. Kondisi ini tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan pemerintah.

Menurut Poedjinugroho (Kompas, 2005, h. 4-5) permasalahan pokok dunia pendidikan Indonesia yang sebenarnya adalah perilaku menyontek. Perilaku menyontek dapat membuat seseorang menjadi pembohong publik sejak dini


(23)

(Suara Merdeka, 2006, h. 18). Sebagian orang berpendapat bahwa siswa yang terbiasa menyontek di sekolah memiliki potensi untuk menjadi koruptor atau penipu ulung nantinya (Alhadza, 1998).

Indarto dan Masrun (2004, h. 411) mendefinisikan menyontek sebagai perbuatan curang, tidak jujur, dan tidak legal dalam mendapatkan jawaban pada saat tes. Menyontek juga dapat didefinisikan sebagai tindakan kecurangan dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah (Sujana dan Wulan, 1994, h. 1). Perilaku menyontek dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: menulis contekan di meja atau di telapak tangan, menulis di sobekan kertas yang disembunyikan di lipatan baju, bisa juga dengan melihat buku pedoman atau buku catatan sewaktu ujian (Mulyana, 2002). Seiring perkembangan teknologi, telepon genggam dapat digunakan sebagai sarana untuk menyontek, yaitu dengan menyimpan data contekan di memori telepon genggam atau saling berkirim jawaban melalui SMS (short message service) pada saat ujian (Muljadi, 2006). Penyalahgunaan telepon genggam sebagai sarana untuk menyontek seperti di atas telah terjadi di SMA Negeri 2 Semarang pada Ujian Nasional tahun 2006.

Anderman, dkk (1998, h. 84-85) menjelaskan bahwa menyontek merupakan hal yang biasa di kalangan remaja SMA karena siswa sekolah lanjutan lebih berfokus pada peringkat dan performa dibandingkan dengan siswa sekolah dasar. Menurut Schab (dalam Klausmeier, 1985, h. 388), siswa SMA menyontek karena adanya tekanan untuk memperoleh nilai baik agar dapat masuk ke perguruan tinggi atau untuk mempertahankan rata-rata nilai yang sudah diperolehnya.


(24)

Faktor-faktor yang membuat seorang siswa menyontek antara lain menurut Schab (dalam Klausmeier, 1985, h. 388), yaitu malas belajar, tuntutan dari orang tua untuk memperoleh nilai baik karena orang tua banyak yang menganggap nilai akademis sama dengan kemampuan. Faktor yang lain adalah takut bila mengalami kegagalan dalam meraih prestasi (Glasser dalam Pudjijogjanti, 1985, h. 27). Sesungguhnya seluruh aspek kehidupan masyarakat selalu merupakan dikotomi antara gagal dan berhasil. Konsep gagal dan berhasil akan menjadi sandaran dalam pelaksanaan tugas, serta dalam menyusun sikap atau pandangan terhadap kemampuan yang dimiliki. Siswa yang berhasil mencapai prestasi akademis yang tinggi pada akhirnya akan merasa kompeten dan berarti. Sebaliknya, siswa yang gagal meraih nilai yang tinggi akan merasa tidak kompeten dan tidak berarti, dengan demikian tampak bahwa pencapaian akademis digunakan sebagai hal penting yang dapat meningkatkan harga diri. Kenyataannya, prestasi akademis tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan, tetapi juga oleh variabel non kognitif seperti kepribadian, dan konsep diri sebagai seperangkat sikap yang dinamis dan memotivasi seseorang (Burns, 1993, h. 356). Konsep diri merupakan hal penting dalam membentuk tingkah laku, termasuk tingkah laku menyontek. Pendidik semakin menyadari dampak konsep diri terhadap tingkah laku anak dalam kelas dan terhadap prestasinya (Soemanto, 1998, h. 185).

Burns (1993, h. 357) mengemukakan bahwa konsep diri dan prestasi akademik berkaitan secara erat. Konsep diri yang positif dapat membantu seseorang untuk meningkatkan kepercayaan terhadap dirinya sehingga dapat memotivasi seseorang untuk dapat menjadi lebih baik lagi. Sommerfeld dan


(25)

Watson (2000) mengungkapkan bahwa konsep diri global adalah prediktor terbaik bagi prestasi akademik siswa.

Mead (dalam Burns, 1993, h. 19) menjelaskan konsep diri sebagai pandangan, penilaian, dan perasaan individu mengenai dirinya yang timbul sebagai hasil dari suatu interaksi sosial. Konsep diri mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku individu, yaitu individu akan bertingkah laku sesuai dengan konsep diri yang dimiliki (Rahmat, 1996, h. 104). Pernyataan tersebut didukung oleh Burns (1993, h. 72) yang menyatakan bahwa konsep diri akan mempengaruhi cara individu dalam bertingkah laku di tengah masyarakat.

Brooks dan Emmert (dalam Rahmat, 2000, h. 105) menjelaskan lima ciri-ciri individu yang memiliki konsep diri yang positif dan negatif. Individu yang memiliki konsep diri positif mempunyai ciri-ciri: (1) merasa yakin akan kemampuannya; (2) merasa setara dengan orang lain; (3) menerima pujian tanpa rasa malu; (4) menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat; (5) mampu memperbaiki diri karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya. Sedangkan ciri-ciri individu dengan konsep diri negatif adalah: (1) peka terhadap kritik; (2) responsif terhadap pujian; (3) tidak pandai dan tidak sanggup dalam mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada orang lain atau hiperkritis; (4) merasa tidak disenangi oleh orang lain; (5) bersikap pesimis terhadap kompetisi yang terungkap dalam keengganan untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi.


(26)

Menurut Susana (2006, h. 19) individu yang memiliki konsep diri yang positif, akan membentuk penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri. Penghargaan terhadap diri yang merupakan evaluasi terhadap diri sendiri akan menentukan sejauhmana seseorang yakin akan kemampuan dan keberhasilan dirinya, sehingga segala perilakunya akan selalu tertuju pada keberhasilan. Seorang siswa yang memiliki konsep diri yang positif akan berusaha dan berjuang untuk selalu mewujudkan konsep dirinya. Sebaliknya, siswa yang memiliki konsep diri negatif akan memiliki evaluasi yang negatif terhadap dirinya. Pandangan siswa bahwa dirinya tidak kompeten atau bahkan bodoh, akan mempengaruhi cara belajar, mengerjakan tugas, dan mengerjakan ujian. Siswa merasa dirinya tidak mampu, sehingga merasa belajar pun tidak ada gunanya. Untuk mengatasinya, siswa akan memilih tidak menggunakan kemampuannya, dan mengandalkan orang lain atau sarana-sarana tertentu ketika ujian. Menyontek merupakan jalan pintas yang sering dipilih oleh siswa karena tidak menuntut usaha yang keras, tetapi efektif untuk mencapai tujuan. Padahal, keengganan untuk bekerja keras akan menyulitkan individu untuk mengembangkan diri (Pudjijogjanti, 1985, h. 44).

Uraian di atas menunjukkan bahwa konsep diri turut berperan penting dalam pembentukan tingkah laku menyontek. Meskipun tidak sesuai dengan tujuan pendidikan dan tidak meningkatkan kualitas manusia dari dimensi intelektual maupun kepribadian. (Indarto dan Masrun, 2004, h. 413), perilaku menyontek masih banyak dilakukan dalam dunia pendidikan Indonesia. Perilaku menyontek terjadi karena masyarakat memiliki pandangan bahwa prestasi belajar tercermin


(27)

dari pencapaian nilai yang tinggi, sehingga membuat siswa terpaku untuk memperoleh nilai tinggi dengan cara apa pun. Masyarakat cenderung semakin permisif sehingga menyebabkan perilaku menyontek semakin sulit dihilangkan. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa menyontek merupakan suatu permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dari tinjauan Psikologi. Untuk itulah penelitian ini diadakan, yaitu untuk menguji ada atau tidaknya hubungan antara konsep diri dengan intensi menyontek pada siswa SMA Negeri 2 Semarang.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara konsep diri dengan intensi menyontek pada siswa SMA Negeri 2 Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan intensi menyontek pada siswa SMA Negeri 2 Semarang, dan mencari sumbangan efektif konsep diri terhadap intensi menyontek.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Mengembangkan informasi mengenai intensi menyontek ditinjau dari konsep diri, sehingga dapat menambah referensi ilmiah di bidang Psikologi Pendidikan dan Psikologi Perkembangan.


(28)

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi guru dan pihak-pihak yang terkait sebagai dasar penyusunan program atau metode untuk mengurangi intensi menyontek pada siswa.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Intensi Menyontek 1. Pengertian Intensi Menyontek

Belum ada teori yang menjelaskan mengenai intensi menyontek, sehingga definisi intensi menyontek diperoleh dari definisi intensi dan definisi menyontek.

Secara sederhana, intensi dapat diartikan sebagai tujuan atau maksud seseorang untuk berbuat sesuatu (Kartono dan Gulo, 1987, h. 26). Intensi diartikan sebagai niat seseorang untuk melakukan perilaku didasari oleh sikap dan norma subjektif terhadap perilaku tersebut. Norma subjektif muncul dari keyakinan normatif akan akibat perilaku, dan keyakinan normatif akibat perilaku tersebut terbentuk dari umpan balik yang diberikan oleh perilaku itu sendiri (Fishbein dan Ajzen, 1975, h. 288). Fishbein dan Ajzen menambahkan bahwa intensi perilaku merupakan determinan terdekat dengan perilaku yang dimaksud dan merupakan prediktor tunggal terbaik bagi perilaku yang akan dilakukan seseorang. Sependapat dengan pernyataan tersebut, Semin dan Fiedler (1996, h.17) menyatakan bahwa prediksi terhadap perilaku paling tepat diperoleh dengan mengukur intensi.

Intensi juga dapat didefinisikan sebagai maksud, pamrih, keinginan, tujuan, suatu perjuangan guna mencapai satu tujuan, ciri-ciri yang dapat dibedakan dari proses-proses psikologi, yang mencakup referensi atau kaitannya dengan suatu objek (Chaplin, 1999, h. 254).


(30)

Berdasarkan uraian mengenai berbagai definisi intensi di atas, dapat disimpulkan bahwa intensi adalah niat atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu perilaku demi mencapai tujuan tertentu yang didasarkan pada sikap dan keyakinan orang tersebut maupun keyakinan dan sikap orang yang mempengaruhinya untuk melakukan suatu perilaku tertentu.

Intensi yang akan diukur dalam penelitian ini adalah intensi untuk melakukan perilaku menyontek. Menurut Sujana dan Wulan (1994, h. 1) menyontek merupakan tindakan kecurangan dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah. Menyontek juga dapat didefinisikan sebagai perbuatan curang, tidak jujur, dan tidak legal dalam mendapatkan jawaban pada saat tes (Indarto dan Masrun, 2004, h. 411). Sependapat dengan kedua definisi di atas, Haryono, dkk (2001, h. 10) mendefinisikan menyontek sebagai segala macam tindakan dalam ujian atau tes untuk memperoleh nilai secara tidak sah. Dengan demikian, menyontek dapat diartikan sebagai segala macan perbuatan curang, tidak, jujur, dan tidak legal untuk mendapatkan jawaban pada saat tes untuk memperoleh nilai secara tidak sah dengan memanfaatkan informasi dari luar.

Berdasarkan definsi intensi dan definisi menyontek yang diuraikan di atas, maka intensi menyontek didefiniskan sebagai niat atau keinginan seseorang untuk melakukan perbuatan curang, tidak, jujur, dan tidak legal untuk mendapatkan jawaban pada saat tes untuk memperoleh nilai secara tidak sah dengan memanfaatkan informasi dari luar, berdasar pada sikap dan keyakinan orang


(31)

tersebut maupun sikap dan keyakinan orang lain yang mempengaruhinya mengenai perilaku menyontek.

2. Aspek-aspek Intensi Menyontek

Belum ada teori yang membahas mengenai intensi menyontek, sehingga aspek-aspek intensi menyontek diperoleh dari bentuk-bentuk perilaku menyontek menurut Klausmeier, yang disertai dengan aspek-aspek intensi menurut Fishbein dan Ajzen.

Intensi sebagai niat untuk melakukan suatu perilaku demi mencapai tujuan tertentu memiliki beberapa aspek. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975, h. 292) intensi memiliki empat aspek, yaitu:

a. Perilaku (behavior), yaitu perilaku spesifik yang nantinya akan diwujudkan. Pada konteks menyontek, perilaku spesifik yang akan diwujudkan merupakan bentuk-bentuk perilaku menyontek yang diungkapkan oleh Klausmeier (1985, h. 388), yaitu menggunakan catatan jawaban sewaktu ujian/ulangan, mencontoh jawaban siswa lain, memberikan jawaban yang telah selesai pada teman, dan mengelak dari aturan-aturan.

b. Sasaran (target), yaitu objek yang menjadi sasaran perilaku. Objek yang menjadi sasaran dari perilaku spesifik dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu orang tertentu/objek tertentu (particular object), sekelompok orang/sekelompok objek (a class of object), dan orang atau objek pada umumnya (any object). Pada konteks menyontek, objek yang menjadi sasaran perilaku dapat berupa catatan jawaban, buku, telepon genggam, kalkulator, maupun teman.


(32)

c. Situasi (situation), yaitu situasi yang mendukung untuk dilakukannya suatu perilaku (bagaimana dan dimana perilaku itu akan diwujudkan). Situasi dapat pula diartikan sebagai lokasi terjadinya perilaku. Pada konteks menyontek, menurut Sujana dan Wulan (1994, h. 3) perilaku tersebut dapat muncul jika siswa merasa berada dalam kondisi terdesak, misalnya diadakan pelaksanaan ujian secara mendadak, materi ujian terlalu banyak, atau adanya beberapa ujian yang diselenggarakan pada hari yang sama sehingga siswa merasa kurang memiliki waktu untuk belajar. Situasi lain yang mendorong siswa untuk menyontek menurut Klausmeier (1985, h. 388) adalah jika siswa merasa perilakunya tidak akan ketahuan. Meskipun ketahuan, hukuman yang diterima tidak akan terlalu berat.

d. Waktu (time), yaitu waktu terjadinya perilaku yang meliputi waktu tertentu, dalam satu periode atau tidak terbatas dalam satu periode, misalnya waktu yang spesifik (hari tertentu, tanggal tertentu, jam tertentu), periode tertentu (bulan tertentu), dan waktu yang tidak terbatas (waktu yang akan datang).

Sependapat dengan Fishbein dan Ajzen, Smet (1994, h. 166) juga mengemukakan bahwa intensi memiliki empat aspek, yaitu:

a. Tindakan (action), bahwa intensi akan menimbulkan suatu perilaku. b. Sasaran (target), merupakan objek yang menjadi sasaran dari perilaku.

c. Konteks (context), menunjukkan pada situasi yang mendukung munculnya perilaku.


(33)

Berdasarkan aspek-aspek intensi dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa intensi memiliki empat aspek, yaitu perilaku atau tindakan, sasaran, situasi, dan waktu.

Sesuai definisinya, intensi merupakan niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku merupakan aspek utama dari intensi. Perilaku dapat berdiri sendiri atau digabung dengan aspek lainnya supaya lebih spesifik. Fishbein dan Ajzen (dalam Sarwono, 1997, h. 245) menjelaskan bahwa pengukuran yang dilakukan dapat memperkirakan perilaku yang muncul dengan lebih spesifik jika aspek-aspek intensi dimasukkan dalam pembuatan aitem. Semakin lengkap aspek intensi yang dipakai, maka akan semakin spesifik informasi yang didapatkan untuk memprediksi intensi perilaku individu.

Fishbein dan Ajzen (1975, h. 292-297) menjelaskan bahwa masing-masing aspek intensi memiliki tingkat spesifikasi, pada tingkat yang paling spesifik, seseorang berniat untuk menampilkan perilaku tertentu berkaitan dengan suatu objek tertentu, pada situasi dan waktu yang spesifik. Intensi memiliki lima tingkat spesifikasi. Semakin ke bawah, perilaku, situasi, dan waktu akan semakin spesifik, yang berarti intensinya akan menjadi lebih spesifik.

Tingkat pertama adalah intensi global yang merupakan kecenderungan seseorang untuk menunjukkan rasa senang atau tidak senangnya yang terwujud dalam perilaku terhadap suatu objek. Intensi global dapat dilihat secara langsung dengan bertanya pada seseorang untuk mengindikasikan apakah orang tersebut bermaksud menunjukkan reaksi mendukung atau tidak mendukung suatu objek. Tingkat kedua adalah tingkat intensi kelompok (cluster). Pengukuran terhadap


(34)

intensi ini dapat dilakukan dengan memberi pertanyaan yang bersifat umum. Tingkat yang ketiga, perilaku sudah berupa perilaku yang spesifik. Tingkat berikutnya, tingkat keempat, perilaku akan menjadi lebih spesifik dengan adanya situasi atau waktu yang tertentu. Tingkatan yang terakhir adalah tingkat kelima, yang merupakan tingkatan paling spesifik, yaitu intensi untuk melakukan perilaku spesifik, terhadap objek yang spesifik, pada situasi dan waktu yang spesifik. Contoh spesifikasi intensi dapat dilihat dalam bagan berikut ini:


(35)

Gambar 1. Tingkat Spesifikasi Intensi (Fishbein dan Ajzen, 1975, h. 296)

Tingkatan

I. Global

II. Kelompok /cluster III. Perilaku Spesifik IV. Perilaku & situasi atau waktu spesifik V.Perilaku, situasi & waktu spesifik

Menurut Klausmeier (1985, h. 388), menyontek dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

a. Menggunakan catatan jawaban sewaktu ujian/tes.

Survei yang dilakukan oleh Mulyana (2002) memperoleh informasi bahwa bentuk menyontek yang sering dilakukan adalah menulis contekan dalam kertas

Intensi untuk menunjukkan perilaku positif atau negatif terhadap orang tertentu

Subordinat - Superordinat

Mengagumi Pertemanan Jarak

sosial Hubungan dengan lawan jenis Memuji suatu usulan di sekolah, di tempat kerja Memuji suatu usulan, Mengagumi ide seseorang Bekerja untuk, Diperintah oleh Makan dengan, Diperlakukan dengan sama Mengundang ke kelompok saya, Mengeluarkan dari lingkungan saya Pergi kencan dengan, Menikah Bekerja shift malam, sepanjang hari Makan bersama di restoran, di rumah Mengundang ke kelompok saya pada hari Minggu, pada Jumat malam

Makan bersama di rumah pada Minggu pagi

Mengundang ke klub tenis pada Jumat malam

Kencan ke klab malam pada hari Rabu jam 3 pagi

Bekerja di pabrik pada shift malam Memuji saran di sekolah, pada Senin pagi

Pergi ke klab malam, menonton film saat kencan


(36)

yang kemudian dilipat kecil, menulis pada kertas tisu, menulis contekan di atas meja, menulis di tangan, atau mencatat pada kalkulator yang memiliki memori. b. Mencontoh jawaban siswa lain.

c. Memberikan jawaban yang telah selesai kepada teman.

d. Mengelak dari peraturan-peraturan ujian, baik yang tertulis dalam peraturan ujian maupun yang ditetapkan oleh guru.

Bentuk-bentuk perilaku menyontek mengalami perkembangan. Menurut Alhadza (1998), perilaku menyontek sekarang ini ditemukan dalam bentuk:

a. Perjokian seperti kasus yang sering terjadi dalam ujian. Misalnya dalam ujian masuk perguruan tinggi, seperti yang terjadi dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

b. Memberi lilin/pelumas atau menebarkan atom magnet pada lembar jawab komputer untuk mengecoh mesin scanner komputer, sehingga gagal mendeteksi jawaban dan menganggap semua jawaban benar.

Berdasarkan uraian mengenai bentuk-bentuk perilaku menyontek, dapat disimpulkan bentuk-bentuk perilaku menyontek adalah menggunakan catatan jawaban sewaktu ujian/tes, mencontoh jawaban siswa lain, memberikan jawaban yang telah selesai kepada teman, dan mengelak dari aturan-aturan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Menyontek

Intensi perilaku menururt Fishbein dan Ajzen (dalam Baron dan Byrne, 2003, h. 133) dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:


(37)

a. Sikap terhadap perilaku.

Sikap terhadap perilaku yang akan dilakukan dipengaruhi oleh keyakinan individu bahwa melakukan perilaku tertentu akan membawa pada konsekuensi-konsekuensi tertentu (behavioral beliefs) dan penilaian individu terhadap konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi pada individu (outcome evaluations). Keyakinan tentang konsekuensi perilaku terbentuk berdasarkan pengetahuan individu tentang perilaku tersebut, yang diperoleh dari pengalaman masa lalu dan informasi dari orang lain (Fishbein dan Ajzen, 1975, h. 132).

Sikap terhadap perilaku merupakan derajat penilaian positif atau negatif terhadap perwujudan perilaku tertentu. Individu memiliki sikap positif terhadap perilaku bila mempunyai keyakinan dan penilaian yang positif terhadap hasil dari tindakan tersebut. Sebaliknya, sikap terhadap perilaku negatif jika keyakinan dan penilaian terhadap hasil perilaku negatif (Ajzen, 1991, h. 120).

b. Norma subjektif terhadap perilaku.

Norma subjektif merupakan persepsi individu terhadap norma sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu. Norma subjektif ditentukan oleh keyakinan normatif (normative beliefs) mengenai harapan-harapan kelompok acuan atau orang tertentu yang dianggap penting terhadap individu dan motivasi individu untuk memenuhi atau menuruti harapan tersebut (motivations to comply). Keyakinan normatif diperoleh dari informasi orang yang berpengaruh (significant others) tentang apakah individu perlu, harus, atau dilarang melakukan perilaku tertentu dan dari pengalaman individu yang berhubungan dengan perilaku tersebut (Fishbein dan Ajzen, 1975, h. 303).


(38)

Semakin banyak orang yang dapat mempengaruhi individu untuk melakukan suatu perilaku sehingga individu semakin yakin akan perilaku tersebut untuk dilakukan dan menjadi keyakinan normatif bagi dirinya, serta semakin besar motivasi individu untuk memenuhi harapan-harapan dari orang yang berarti (significant others) bagi dirinya maka akan semakin diterima perilaku tersebut sebagai suatu norma subjektif bagi dirinya.

c. Persepsi terhadap kontrol terhadap tingkah laku.

Selain kedua faktor di atas, Ajzen memperluas teori mengenai intensi tindakan yang beralasan (reasoned action theory) dengan menambahkan faktor yang ketiga, yaitu persepsi terhadap kontrol terhadap tingkah laku, dalam teori tingkah laku terencana (theory of planned behavior). Persepsi terhadap kontrol tingkah laku merupakan penilaian terhadap kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan perilaku, atau penilaian seseorang mengenai seberapa mudah atau seberapa sulit untuk menampilkan perilaku. Individu tidak membentuk intensi untuk melakukan suatu perilaku kecuali merasa yakin memiliki kemampuan untuk menampilkan perilaku tersebut. Semakin tinggi persepsi terhadap kontrol perilaku, semakin tinggi intensi perilaku (Semin dan Fiedler, 1996, h. 22).

Intensi mencerminkan keinginan seseorang untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan persepsi terhadap kontrol tingkah laku sangat memperhatikan beberapa kendala realistis yang mungkin ada. Intensi tidak dengan sendirinya menjadi perilaku, karena masih tergantung pada faktor lain yaitu persepsi individu terhadap kemampuannya untuk mewujudkan perilaku dan kendala-kendala yang


(39)

diperkirakan dapat menghambat perilakunya (Sarwono, 1997, h. 249). Menurut Semin dan Fiedler (1996, h. 23) teori tingkah laku terencana menjelaskan bahwa persepsi terhadap kontrol tingkah laku bersama dengan sikap terhadap perilaku dan norma subjektif akan membentuk intensi, sedangkan persepsi terhadap kontrol perilaku dengan intensi akan mempengaruhi terwujudnya suatu perilaku. Semakin positif persepsi individu terhadap kemampuannya untuk menampilkan perilaku, semakin besar kemungkinan intensi terwujud menjadi perilaku.

Hubungan antara sikap terhadap perilaku, norma subjektif, persepsi terhadap kontrol terhadap tingkah laku, dan intensi untuk berperilaku sampai dengan perilaku tersebut ditampilkan berdasarkan teori tingkah laku terencana adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Teori Tingkah Laku Terencana (Semin dan Fiedler, 1996, h. 23)

Sikap terhadap tingkah laku

Norma Subjektif

Persepsi terhadap kontrol

tingkah laku

Perilaku Intensi untuk

berperilaku Keyakinan

tentang konsekuensi perilaku

Penilaian terhadap konsekuensi

Keyakinan normatif

Motivasi menuruti harapan orang yang berarti


(40)

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menyontek menurut Schab (dalam Klausmeier, 1985, h. 388) adalah:

a. Malas belajar.

Siswa malas berusaha karena merasa usaha apa pun yang dilakukan tidak akan banyak berperan dalam pencapaian hasil yang diharapkan (Sujana dan Wulan, 1994, h. 2). Siswa yang memiliki konsep diri negatif akan merasa pesimis dan tidak percaya pada kemampuan dirinya (Brooks dan Emmert dalam Rahmat, 2000, h. 105), sehingga malas berusaha karena merasa dirinya tidak kompeten dan tidak akan mampu mencapai prestasi yang diharapkan.

b. Ketakutan mengalami kegagalan dalam meraih prestasi.

Perasaan tidak kompeten atau bahkan bodoh pada siswa yang memiliki konsep diri negatif akan membuatnya merasa bahwa dirinya akan gagal (Susana, 2006, h. 25). Munculnya gambaran akan kegagalan dalam meraih prestasi belajar (nilai yang baik) membuat individu khawatir. Ketakutan terhadap suatu kegagalan dihindari dengan melakukan perbuatan menyontek (Gibson dalam Sujana dan Wulan, 1994, h. 2).

c. Tuntutan dari orang tua untuk memperoleh nilai baik.

Pandangan orang tua tentang penampilan, kemampuan, dan prestasi anak akan mempengaruhi cara pandang anak terhadap dirinya, atau dengan kata lain akan mempengaruhi konsep dirinya (Hurlock, 1997, h. 132). Harapan orang tua yang terlalu tinggi membuat anak cenderung gagal. Kegagalan yang dialami dapat mempengaruhi konsep diri anak dan menjadi dasar dari perasaan rendah diri dan tidak mampu. Misalnya jika orang tua menganggap nilai akademis sama dengan


(41)

kemampuan, orang tua akan mengharapkan anaknya mendapat nilai yang bagus tanpa berpikir sejauhmana pelajaran yang telah diserap oleh sang anak. Tuntutan orang tua semacam itu dapat menimbulkan keinginan pada anak untuk menyontek.

Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi intensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menyontek, maka faktor-faktor yang mempengaruhi intensi menyontek disimpulkan menjadi:

a. Sikap terhadap perilaku menyontek, yaitu penilaian positif atau negatif terhadap perwujudan perilaku menyontek yang ditentukan oleh keyakinan tentang konsekuensi perilaku menyontek dan evaluasi terhadap konsekuensi-konsekuensi tersebut.

b. Norma subjektif terhadap perilaku menyontek, ditentukan oleh keyakinan normatif mengenai harapan orang yang dianggap penting (significant other) atau kelompok acuan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku menyontek. c. Persepsi terhadap kontrol terhadap tingkah laku menyontek, yaitu penilaian terhadap kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan perilaku menyontek dan persepsi terhadap kendala realistis yang mungkin ada dalam memunculkan perilaku menyontek.

d. Malas belajar.

e. Ketakutan mengalami kegagalan dalam meraih prestasi. f. Tuntutan dari orang tua untuk memperoleh nilai baik.

Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi intensi menyontek adalah sikap terhadap perilaku menyontek, norma subjektif terhadap perilaku menyontek,


(42)

kontrol terhadap tingkah laku menyontek yang dipersepsikan, malas belajar, ketakutan mengalami kegagalan dalam meraih prestasi, dan tuntutan dari orang tua untuk memperoleh nilai baik.

B. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri

Mead (dalam Burns, 1993, h. 19) mendefinisikan konsep diri sebagai perasaan, pandangan, dan penilaian individu mengenai dirinya yang didapat dari hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Hurlock (1999, h. 237) konsep diri adalah pandangan individu mengenai dirinya. Konsep diri terdiri dari dua komponen, yaitu konsep diri sebenarnya (real self) yang merupakan gambaran mengenai diri, dan konsep diri ideal (ideal self) yang merupakan gambaran individu mengenai kepribadian yang diinginkan.

Brooks (dalam Rahmat, 2000, h. 99) menjelaskan konsep diri sebagai pandangan dan perasaan mengenai diri sendiri. Persepsi mengenai diri sendiri dapat bersifat psikis, sosial, dan fisik. Konsep diri dapat berkembang menjadi konsep diri positif atau negatif.

Konsep diri menurut Calhoun dan Accocella (1990, h. 67) adalah pandangan mengenai diri sendiri. Pandangan mengenai diri sendiri tersebut merupakan suatu proses mental yang memiliki tiga dimensi, yaitu pengetahuan, pengharapan, dan penilaian mengenai diri sendiri. Pengetahuan individu mengenai diri dan gambarannya berarti bahwa dalam aspek kognitif individu yang bersangkutan terdapat informasi mengenai keadaan dirinya, seperti nama, usia, jenis kelamin,


(43)

pekerjaan, suku bangsa. Dimensi yang kedua adalah harapan individu di masa mendatang. Dimensi ini juga disebut dengan diri ideal, yaitu kekuatan yang mendorong individu untuk menuju ke masa depan. Dimensi yang terakhir, penilaian terhadap diri sendiri, merupakan perbandingan antara pengharapan diri dengan standar diri yang akan menghasilkan harga diri.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri adalah pandangan individu mengenai dirinya, meliputi gambaran mengenai diri dan kepribadian yang diinginkan, yang diperoleh dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain.

2. Aspek-aspek Konsep Diri

Staines (dalam Burns, 1993, h. 81) menjelaskan ada tiga aspek dalam konsep diri, yaitu :

a. Konsep diri dasar. Aspek ini merupakan pandangan individu terhadap status, peranan, dan kemampuan dirinya.

b. Diri sosial. Aspek ini merupakan diri sebagaimana yang diyakini individu dan orang lain yang melihat dan mengevaluasi.

c. Diri ideal. Aspek ini merupakan gambaran mengenai pribadi yang diharapkan oleh individu, sebagian berupa keinginan dan sebagian berupa keharusan-keharusan.

Ahli lain, yaitu Hurlock (1999, h. 237), mengemukakan bahwa konsep diri memiliki dua aspek, yaitu :

a. Fisik. Aspek ini meliputi sejumlah konsep yang dimiliki individu mengenai penampilan, kesesuaian dengan jenis kelamin, arti penting tubuh, dan perasaan


(44)

gengsi di hadapan orang lain yang disebabkan oleh keadaan fisiknya. Hal penting yang berkaitan dengan keadaan fisik adalah daya tarik dan penampilan tubuh dihadapan orang lain. Individu dengan penampilan yang menarik cenderung mendapatkan sikap sosial yang menyenangkan dan penerimaan sosial dari lingkungan sekitar yang akan menimbulkan konsep yang positif bagi individu. b. Psikologis. Aspek ini meliputi penilaian individu terhadap keadaan psikis dirinya, seperti rasa percaya diri, harga diri, serta kemampuan dan ketidakmampuannya. Penilaian individu terhadap keadaan psikis dirinya, seperti perasaan mengenai kemampuan atau ketidakmampuannya akan berpengaruh terhadap rasa percaya diri dan harga dirinya. Individu yang merasa mampu akan mengalami peningkatan rasa percaya diri dan harga diri, sedangkan individu dengan perasaan tidak mampu akan merasa rendah diri sehingga cenderung terjadi penurunan harga diri.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat dua aspek konsep diri, yaitu fisik dan psikologis. Aspek fisik tersebut berhubungan dengan keadaan tubuh dan penampilan individu, sedangkan aspek psikologis berhubungan dengan harga diri, rasa percaya diri, dan kemampuan-ketidakmampuan.

3. Arti Penting Konsep Diri dalam Menentukan Perilaku

Konsep diri memiliki peranan penting dalam menentukan perilaku. Perilaku yang ditampilkan sesuai dengan bagaimana seseorang memandang dirinya. Menurut Pudjijogjanti (1985, h. 3) peran penting konsep diri dalam menentukan perilaku adalah:


(45)

a. Mempertahankan keselarasan batin.

Individu selalu berusaha mempertahankan keselarasan batinnya. Apabila memiliki pikiran, perasaan, atau persepsi yang saling bertentangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk menghilangkan ketidakselarasan dan situasi psikologis yang tidak menyenangkan tersebut, individu akan mengubah perilakunya.

b. Mempengaruhi individu dalam menafsirkan pengalaman.

Sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi individu dalam menafsirkan pengalamannya. Setiap individu memiliki sikap dan pandangan yang berbeda terhadap diri mereka. Oleh karena itu, sebuah kejadian yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda oleh individu yang berbeda.

c. Menentukan pengharapan individu.

Konsep diri merupakan seperangkat harapan serta penilaian perilaku yang merujuk kepada harapan-harapan tertentu. Dalam melaksanakan sesuatu, individu akan membuat patokan-patokan yang disesuaikan dengan keyakinannya akan kemampuan dirinya. Patokan tersebut mencerminkan harapan terhadap apa yang akan terjadi pada sesuatu yang sedang dilakukannya.

4. Konsep Diri Remaja

Siswa sekolah menengah atas termasuk dalam kelompok usia remaja. Menurut Monks, dkk (2002, h. 262) usia remaja berlangsung dari 12 sampai dengan 21 tahun, dengan pembagian: usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal; usia 15-18 tahun adalah masa remaja madya; 18-21 tahun adalah masa remaja akhir.


(46)

Individu tumbuh dan berkembang melalui beberapa periode atau fase perkembangan. Setiap fase perkembangan memiliki serangkaian tugas perkembangan yang harus diselesaikan dengan baik sehingga akan memperlancar pelaksanaan tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya. Tugas perkembangan seorang remaja menurut Havighurst (dalam Sarwono, 2002, h. 41) adalah:

a. Menerima kondisi fisiknya dan mampu memanfaatkan tubuhnya secara efektif. Penilaian positif terhadap keadaan fisik seseorang, baik dari diri sendiri maupun dari orang lain, akan membangun konsep diri ke arah yang positif. Penilaian positif akan menumbuhkan rasa puas terhadap diri, yang merupakan awal dari sikap positif terhadap diri. Sebaliknya penilaian yang buruk terhadap kondisi fisik baik dari diri sendiri maupun orang lain, akan membuat seseorang merasa ada kekurangan dari tubuhnya, sehingga merasa tidak puas terhadap kondidi fisiknya dan menjadi bersikap negatif terhadap diri sendiri (Pudjijogjanti, 1985, h. 10).

b. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin mana pun.

c. Menerima peran jenis kelaminnya sebagai laki-laki atau perempuan.

d. Berusaha mencapai kemandirian emosi dari orang tua dan orang dewasa lain. Menurut Richmond dan Sklansky (dalam Sarwono, 2002, h. 74), inti tugas perkembangan periode remaja awal dan menengah adalah memperjuangkan kebebasan (the strike for autonomy).


(47)

e. Mempersiapkan karir ekonomi. Remaja yang duduk di bangku sekolah menengah atas memberi perhatian yang besar pada tugas perkembangan ini karena karir ekonomi akan menentukan kebahagiaan remaja dimasa yang akan datang yaitu dalam pekawinanan dan keluarga (Hurlock, 1999, h. 10).

f. Mempersiapkan diri untuk membina perkawinan dan kehidupan berkeluarga. g. Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab.

h. Memiliki sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman bertingkah laku. Menurut Fishbein dan Ajzein (dalam Baron dan Byrne, 2003, h. 133) orang-orang yang penting bagi seseorang-orang (significant other) juga akan menjadi pedoman dalam memunculkan suatu perilaku. Apakah orang-orang yang penting tersebut berharap bahwa seseorang harus menampilkan suatu perilaku atau tidak.

Setiap tugas perkembangan akan mempengaruhi perkembangan konsep diri, karena pada dasarnya tugas-tugas perkembangan remaja tersebut adalah penyesuaian terhadap berbagai aspek kepribadian. Konsep diri adalah inti pola kepribadian (Hurlock, 1999, h. 237). Kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat menimbulkan konflik dan ketegangan. Konflik dan ketegangan yang dialami remaja merupakan situasi yang memungkinkan remaja menunjukkan kemampuannya. Konflik utama yang dialami remaja menurut Erikson (dalam Mussen, dkk, 1994, h. 528-530) adalah pembentukan identitas versus kebingungan peran (identity versus role confusion). Pencarian identitas menjadi penting selama masa remaja karena dihadapkan pada sejumlah perubahan psikologis, fisiologis, seksual, kognitif, intelektual, dan sosial yang baru dan


(48)

beragam. Salah satu usaha remaja untuk mengatasi masalah status atau identitas yang tidak jelas adalah dengan mencoba berbagai peran. Usaha ini dilakukan dengan harapan dapat mengembangkan seluruh ideologi dan minat remaja. Menurut Pudjijogjanti (1985, h. 25) ideologi dan minat merupakan arah untuk mengembangkan konsep diri remaja.

Masa remaja merupakan masa untuk menemukan diri sendiri, meneliti sikap hidup lama, serta mencoba hal-hal baru agar dapat mencapai pribadi yang dewasa (Pudjijogjanti, 1985, h. 24-25). Remaja harus mampu menghubungkan peran dan ketrampilan yang telah dicapai dengan tuntuan di masa mendatang. Pembentukan konsep diri pada remaja sangat penting karena akan mempengaruhi kepribadian, tingkah laku, dan pemahaman terhadap dirinya sendiri. Remaja memiliki konsep diri yang cenderung menetap dan stabil, yang sudah terbentuk sejak mulai masa kanak-kanak. Pada perkembangannya konsep diri akan ditinjau kembali dengan adanya pengalaman sosial dan pribadi yang baru (Hurlock, 1999, h. 239). Peninjauan kembali terhadap konsep diri didasarkan pada penilaian lingkungan terhadap keadaan diri individu, yang dapat bersifat kualitatif, yaitu mengubah sifat yang tidak diinginkan dengan suatu sifat yang dikagumi masyarakat, maupun bersifat kuantitatif, yaitu memperkuat sifat yang diinginkan dan memperlemah sifat yang tidak diinginkan. Peninjauan kembali yang lebih umum terjadi adalah yang bersifat kuantitatif (Hurlock, 1999, h. 245). Proses perubahan dalam peninjauan kembali tersebut merupakan hal yang harus terjadi pada remaja karena dalam proses pematangan kepribadiannya, remaja akan memunculkan sifat-sifat yang sesungguhnya (Sarwono, 2002, h. 74). Pernyataan tersebut didukung oleh


(49)

Mussen, dkk (1984, h. 530) yang menyebutkan bahwa perubahan merupakan tugas utama remaja.

Menurut Hurlock (1999, h. 237) konsep diri merupakan komponen inti kepribadian yang berkembang selama rentang kehidupan manusia sesuai dengan pengalamannya masing-masing. Mussen, dkk (1994, h. 326-327) menjelaskan tahap-tahap perkembangan konsep diri pada individu, yaitu:

a. Pada usia 18 bulan, anak mengenali wajah mereka sendiri dan menunjuk pada gambar diri mereka ketika namanya disebutkan. Pada masa kanak-kanak, anak mengembangkan pemahaman mengenai dirinya sendiri dan tempatnya di dalam masyarakat. Sampai usia tujuh tahun anak mendefinisikan diri dalam pengertian fisik. Mereka menyebut ciri-ciri diri mereka yang konkret dan dapat dilihat, seperti warna rambut, tinggi badan atau aktivitas lainnya. Pada pertengahan masa kanak-kanak pemahaman diri secara bertahap berubah menjadi fakta yang lebih abstrak dan psikologis. Anak membedakan pikiran dan tubuh, diri subjektif dan kejadian eksternal, serta karakteristik mental dan motivasional. Anak juga mulai berfikir mengenai diri mereka sendiri, menyadari bahwa mereka dapat memantau pikirannya sendiri dan merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.

b. Pada masa remaja sistem diri bersifat lebih abstrak, kompleks, dan koheren. Remaja lebih menekankan karakteristik psikologis internal, stabil, dan terintegrasi. Remaja juga menunjukkan pengertian kontinuitas yang riil, memadukan gagasan mereka mengenai diri saat ini dan yang akan datang pada pemahaman dirinya.


(50)

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tugas-tugas perkembangan pada remaja akan mempengaruhi perkembangan konsep dirinya. Pencarian identitas merupakan konflik utama yang dialami pada masa remaja. Konsep diri pada remaja cenderung menetap dan stabil, dengan peninjauan kembali yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Peninjauan kembali penting bagi remaja untuk mematangkan kepribadiannya, yang juga berarti memantapkan konsep dirinya karena konsep diri adalah inti pola kepribadian.

C. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Intensi Menyontek

Masa remaja masih merupakan masa belajar di sekolah (Monks dkk, 2002, h. 286). Bagi seorang siswa, dunianya adalah sekolah, tugas-tugasnya yang utama adalah tugas sekolah (Pudjijogjanti, 1985, h. 27). Sekolah menjadi lingkungan pendidikan sekunder bagi remaja setelah lingkungan keluarga (Sarwono, 2002, h.124).

Anak-anak di Indonesia pada umumnya bersekolah 6 hari dalam seminggu. Bagi remaja yang duduk di bangku SMA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolah, ini berarti seorang remaja SMA menghabiskan hampir sepertiga dari waktunya dalam sehari di sekolah. Oleh karena itu sekolah memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja (Sarwono, 2002, h.124), sehingga sekolah diharapkan dapat menciptakan lingkungan belajar yang dapat memenuhi kebutuhan remaja, serta memberi pengalaman baru yang dapat mengubah sikap atau pandangan remaja menjadi lebih positif, yaitu tumbuhnya perasaan dihargai, dimiliki, dan dianggap memiliki kemampuan (Pudjijogjanti,


(51)

1985, h. 27). Dengan kata lain, sekolah menjadi tempat penting bagi perkembangan kosep diri karena menurut Mead (dalam Burns, 1993, h. 19) konsep diri merupakan perasaan, pandangan, dan penilaian individu mengenai diri sendiri yang diperoleh dari hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya.

Di sekolah, remaja selalu dihadapkan pada situasi penilaian keberhasilan dari guru maupun teman, baik keberhasilan dalam ujian maupun dalam melaksanakan tugas sekolah (Pudjijogjanti, 1985, h. 27). Nilai diperoleh dari tes atau evaluasi belajar terhadap materi yang diberikan sebelumnya untuk menunjukkan sejauhmana kemajuan dan penguasaan ilmu siswa (Indarto dan Masrun, 2004, h. 413).

Secara psikologis remaja butuh untuk mengetahui statusnya di antara teman-temannya: apakah statusnya adalah siswa pilihan, siswa yang pandai, yang sedang, atau yang bodoh (Suryabrata, 1998, h. 298). Status yang diperoleh akan membentuk identitas dirinya, apakah identitasnya adalah anak pandai atau anak bodoh. Pada masa sekolah persetujuan kelompok teman sebaya lebih penting daripada persetujuan orang tua. Remaja ingin mengembangkan sifat-sifat yang dikagumi teman sebaya (Hurlock, 1999, h. 254), sehingga pada akhirnya prestasi akademis digunakan sebagai hal penting yang dapat meningkatkan harga diri (Pudjijogjanti, 1985, h. 27).

Selain itu nilai akademis juga menjadi penting karena adanya tuntutan dari orang tua. Orang tua menginginkan anaknya mendapatkan prestasi akademis yang tinggi (Sarwono, 2002, h. 85). Harapan-harapan dari teman dan orang tua seperti di atas menimbulkan tekanan tertentu dalam diri remaja, apalagi tujuan dan


(52)

harapan pendidikan juga semakin tinggi sehingga sejak awal siswa sudah dipaksa untuk meraih prestasi akademik yang tinggi (Sarwono, 2002, h. 117).

Pandangan, perasaan, dan penilaian individu terhadap dirinya akan mempengaruhi caranya dalam bertingkah laku, sehingga dalam menghadapi tuntutan sekolah, orang tua, dan teman sebaya tingkah laku yang muncul dipengaruhi oleh cara pandang remaja terhadap kualitas kemampuannya.

Menurut Mead (dalam Burns, 1993, h. 19), pandangan, penilaian, dan perasaan individu mengenai dirinya disebut dengan konsep diri. Konsep diri diperoleh dari hasil interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya. Tingkah laku seseorang dalam masyarakat dipengaruhi oleh konsep diri (Burns, 1993, h.72). Pandangan terhadap diri meliputi gambaran mengenai siapa dan bagaimana diri seseorang, apa saja kekuatan dan kelemahannya, selanjutnya akan mengarahkan seseorang untuk mengukur sejauhmana hal-hal tertentu dapat dilakukan atau tidak dapat dilakukannya (Hidajat, 2006, h. 86). Konsep diri dapat bersifat psikis dan fisik serta dapat berkembang menjadi konsep diri positif atau negatif (Brooks, dalam Rahmat, 2000, h. 99).

Brooks dan Emmert (dalam Rahmat, 2000, h. 105) menjelaskan lima ciri-ciri individu yang memiliki konsep diri yang positif dan negatif. Individu dengan konsep diri yang positif memiliki ciri-ciri: (1) merasa yakin akan kemampuannya; (2) merasa setara dengan orang lain; (3) menerima pujian tanpa rasa malu; (4) menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat; (5) mampu memperbaiki diri karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan


(53)

berusaha mengubahnya. Sedangkan ciri-ciri individu dengan konsep diri negatif adalah: (1) peka terhadap kritik; (2) responsif terhadap pujian; (3) tidak pandai dan tidak sanggup dalam mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada orang lain atau hiperkritis; (4) merasa tidak disenangi oleh orang lain; (5) bersikap pesimis terhadap kompetisi yang terungkap dalam keengganan untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi.

Remaja yang memiliki konsep diri positif akan menyukai dan menerima keadaan dirinya sehingga akan mengembangkan rasa percaya diri, harga diri, dan mampu melihat dirinya secara realistis. Remaja dengan konsep diri realistis akan lebih mampu menentukan tujuan yang sesuai dengan kemampuannya, sehingga akan lebih mudah mencapai tujuan tersebut (Adiyanti, 2006, h. 45). Bila konsep diri negatif, seseorang akan mengembangkan perasaan tdak mampu dan rendah diri, sehingga selalu merasa ragu dan kurang percaya diri (Hurlock, 1999, h. 238). Konsep diri akan akan mempengaruhi bentuk pendekatan yang dilakukan remaja dalam memahami dan melaksanakan suatu tugas di sekolah (Pudjijogjanti, 1985, h. 26). Pandangan remaja terhadap kualitas kemampuannya akan mempengaruhi motivasinya dalam melakukan tugas (Pudjijogjanti, 1985, h. 1).

Remaja dengan konsep diri positif akan memandang positif tuntutan-tuntutan dari sekolah, orang tua, dan teman sebaya karena memiliki pandangan yang positif terhadap kualitas kemampuannya. Remaja akan memandang seluruh tugas sebagai hal yang mudah diselesaikan karena percaya pada kualitas kemampuannya. Remaja dengan konsep diri positif tidak akan mudah putus asa karena memiliki keyakinan pasti berhasil karena kepandaiannya. Meskipun


(54)

mengalami kegagalan akan tetap bersikap positif. Remaja mampu memperbaiki diri dengan mengevaluasi usaha yang telah dilakukannya dan kemudian memperbaikinya (Arini, 2006, h. 26).

Remaja dengan konsep diri yang negatif cenderung memiliki pendekatan yang negatif dalam menghadapi tuntutan-tuntutan dari sekolah, orang tua, dan teman sebaya karena memiliki gambaran diri dan evaluasi diri yang negatif. Remaja dengan konsep diri negatif cenderung tidak mengetahui kelemahan dan kelebihannya sehingga merasa tidak mampu melakukan apa pun (Calhoun dan Acocella, 1990, h. 67). Pandangan dan sikap negatif terhadap kemampuan yang dimiliki membuat remaja memandang seluruh tugas sebagai suatu hal yang sulit dilakukan (Pudjijogjanti, 2006, h. 1).

Perasaan tidak kompeten akan membuat remaja bersikap pesimis terhadap kompetisi dan enggan berusaha dalam mencapai prestasi. Remaja menjadi malas berusaha karena merasa usaha apa pun yang dilakukan tidak banyak berperan mencapai hasil yang diinginkan. Tidak adanya kesediaan untuk bekerja keras membuat remaja memilih untuk menyontek daripada belajar (Sujana dan Wulan, 1994, h. 2-6). Selain itu, perasaan tidak kompeten juga menimbulkan keyakinan dalam diri remaja bahwa dirinya pasti gagal dalam mengerjakan suatu tugas (Pudjijogjanti, 1985, h. 1). Selanjutnya, menurut Gibson (dalam Sujana dan Wulan, 1994, h. 2) remaja memilih untuk menghindari kegagalan dengan menyontek.

Intensi tidak dengan sendirinya menjadi perilaku, karena masih tergantung pada faktor lain yang diperkirakan dapat menghambat atau mendukung


(55)

perwujudan perilaku (Sarwono, 1997, h. 249). Niat remaja untuk menyontek akan semakin besar jika berada dalam situasi tertentu yang dianggap mendukung untuk memunculkan perilaku menyontek. Perilaku menyontek pada umumnya akan muncul jika siswa merasa berada dalam kondisi terdesak, misalnya diadakan pelaksanaan ujian secara mendadak, materi ujian terlalu banyak, atau terdapat beberapa ujian yang diselenggarakan pada hari yang sama sehingga siswa merasa kurang memiliki waktu untuk belajar. Selain itu, menurut Klausmeier (1985, h.388) siswa akan terdorong untuk menyontek apabila merasa perilakunya tidak akan ketahuan. Meskipun ketahuan, hukuman yang diterima tidak akan terlalu berat.

Perilaku menyontek dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk: menggunakan catatan jawaban pada saat tes, mencontoh jawaban siswa lain, memberikan jawaban yang telah selesai pada teman, meskipun hal-hal tersebut tidak diperbolehkan dalam tes (Klausmeier, 1985, h. 388). Menurut Indarto dan Masrun (2004, h. 411) menyontek adalah perbuatan curang, tidak jujur, dan tidak legal dalam mendapatkan jawaban pada saat tes.

Uraian di atas menunjukkan bahwa konsep diri pada siswa berpengaruh dalam pembentukan intensi menyontek. Konsep diri yang positif cenderung akan membuat siswa percaya pada kemampuan dirinya dalam menghadapi ujian, sehingga tidak perlu mengandalkan orang lain atau pun sarana-sarana di luar dirinya dalam menghadapi ujian. Siswa yang mempunyai konsep diri positif cenderung tidak menyontek. Meskipun mengalami kegagalan, siswa dengan konsep diri positif mampu mengevaluasi kesalahan-kesalahannya dan kemudian


(56)

memperbaikinya. Sebaliknya konsep diri yang negatif cenderung membuat siswa merasa pesimis dan tidak percaya pada kemampuannya, sehingga siswa lebih memilih untuk menyontek dengan mengandalkan pencapaian prestasinya pada orang lain atau pun sarana-sarana di luar dirinya meskipun hal tersebut tidak diperbolehkan.

D. Hipotesis

Berdasar teori-teori yang telah diuraikan di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: ada hubungan negatif antara konsep diri dengan intensi menyontek pada siswa SMA Negeri 2 Semarang. Artinya, semakin positif konsep diri pada siswa, maka akan semakin rendah intensi menyonteknya. Sebaliknya, semakin negatif konsep diri siswa, maka semakin tinggi intensi menyonteknya.


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Kriterium : Intensi Menyontek

2. Variabel Prediktor : Konsep Diri

B. Definisi Operasional 1. Intensi Menyontek

Intensi menyontek adalah niat atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan curang, tidak jujur, dan tidak diperbolehkan oleh peraturan ujian ataupun guru untuk mendapatkan jawaban pada saat tes/ujian/ulangan untuk memperoleh nilai secara tidak sah dengan mengandalkan orang lain, memanfaatkan informasi dari luar, atau sarana tertentu yang diukur dengan Skala Intensi Menyontek yang disusun berdasarkan bentuk-bentuk perilaku menyontek menurut Klausmeier dan aspek-aspek intensi menurut Fishbein dan Ajzen, seperti yang telah diuraikan pada Bab II halaman 14-19. Semakin tinggi skor intensi menyontek yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi pula niat subjek untuk menyontek, dan sebaliknya.

2. Konsep Diri

Konsep diri adalah gambaran dan penilaian seseorang tentang keadaan diri sendiri pada saat sekarang dan keinginan di masa mendatang yang diukur dengan


(58)

skala Konsep Diri yang disusun berdasarkan aspek-aspek konsep diri menurut Hurlock, yaitu aspek fisik dan psikologis. Aspek fisik meliputi konsep mengenai penampilan diri, kesesuaian dengan jenis kelamin, menyadari arti penting tubuh, dan perasaan gengsi di hadapan orang lain yang disebabkan oleh keadaan fisiknya. Aspek psikologis merupakan penilaian seseorang terhadap keadaan psikis dirinya, seperti perasaan mengenai kemampuan atau ketidakmampuannya yang akan berpengaruh terhadap rasa percaya diri dan harga dirinya. Semakin tinggi skor konsep diri yang diperoleh menunjukkan semakin positif konsep diri pada siswa, dan sebaliknya.

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel

Populasi penelitian merupakan individu yang menjadi sumber data penelitian. Menurut Azwar (2003, h. 77) populasi merupakan sekelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Sekelompok subjek yang akan dikenai generalisasi tersebut terdiri dari sejumlah individu yang setidaknya mempunyai satu ciri atau karakteristik yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 2 Semarang kelas X, kelas XI, dan kelas XII reguler. Alasan penelitian dilakukan di SMA Negeri 2 Semarang adalah:

1. Seperti yang telah peneliti paparkan pada Bab I halaman 4, terdapat fenomena perilaku menyontek yang menonjol pada sekolah tersebut dalam Ujian Nasional tahun 2006. Kasus ini melibatkan seorang guru dan beberapa orang siswa yang menggunakan telepon genggam sebagai sarana untuk saling berkirim jawaban ujian. Berita mengenai kasus ini sempat menjadi topik hangat media selama kurun


(59)

waktu beberapa hari, dan pernah diulas oleh surat kabar Suara Merdeka pada tanggal 24 Juni 2006.

2. Belum pernah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara konsep diri dengan intensi menyontek di sekolah tersebut, dan adanya ijin dari pihak SMA Negeri 2 Semarang untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut.

Metode pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling kombinasi, yaitu stratified cluster random sampling. Menurut Hadi (2000, h. 225) stratified sampling digunakan dalam populasi yang terdiri dari golongan-golongan yang mempunyai susunan bertingkat, selanjutnya tiap-tiap stratum harus diwakili dalam sampel penelitian. Azwar (2003, h. 84) menjelaskan bahwa teknik sampling stratified digunakan untuk membedakan subjek dari strata atau lapisan kelas yang berbeda. Populasi penelitian terdiri atas tiga kelompok yang berbeda, yaitu kelas X, kelas XI, dan kelas XII. Menurut Sugiarto, dkk (2003, h. 74) melalui cara ini diharapkan sampel dapat terambil dan mewakili semua kelompok yang ada, sehingga tidak ada kelompok yang terabaikan. Selain itu diharapkan pengaruh tiap kelompok terhadap sampel dapat diabaikan. Tanpa stratifikasi, dapat terjadi sampel (atau sebagian besar sampel) yang terambil hanya akan terambil dari kelompok (strata) tertentu saja.

Selanjutnya dari tiap strata diambil sampel secara acak. Pengambilan sampel dari setiap strata tidak dilakukan terhadap individu, melainkan pada kelasnya (cluster). Teknik cluster sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan melakukan pemilihan subjek penelitian berdasarkan kelompok, bukan


(60)

subjek secara individual (Azwar, 2003, h. 87). Penelitian ini memiliki 28 unit populasi (cluster), dengan spesifikasi jumlah kelas X adalah 8 kelas, kelas XI berjumlah 10 kelas, dan kelas XII berjumlah 10 kelas. Kelas yang terpilih menjadi sampel penelitian ada 6 kelas, yaitu kelas X-4, kelas X-5, kelas XI IS-2, kelas XI IA-7, kelas XII IA-4, dan kelas XII IS-2.

Peneliti menggunakan 3 kelas untuk melakukan uji coba alat ukur, dengan setiap strata diwakili oleh satu kelas. Kelas yang terpilih untuk uji coba adalah kelas X-10, kelas XI IA-5, dan kelas XII IS-3. Tiga kelas yang terpilih untuk uji coba tersebut berada di luar kelas yang dijadikan penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi, yaitu instrumen yang dapat dipakai untuk mengukur atribut psikologis. Menurut Azwar (2004, h. 4) skala sebagai alat ukur psikologis mempunyai karakteristik tertentu, yaitu :

1. Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang hendak diukur.

2. Berisi banyak aitem sehingga kesimpulan baru dapat diambil apabila semua aitem sudah direspon.

3. Respon subjek terhadap aitem tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah.


(61)

Penelitian ini menggunakan dua buah skala, yaitu Skala Intensi Menyontek dan Skala Konsep Diri. Kedua skala tersebut menggunakan model skala Likert, dengan modifikasi alternatif jawaban menjadi empat respon yang terdiri dari pernyataan yang favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung) terhadap objek sikap. Modifikasi alternatif respon dengan tidak menggunakan alternatif respon Netral (N), dilakukan berdasar alasan yang diungkapkan oleh De Vellis (1991, h. 69), yaitu:

1. Kategori netral memiliki arti ganda, sehingga tidak dapat diartikan sebagai Sesuai (S), atau Tidak Sesuai (TS).

2. Tersedianya jawaban tengah dapat menimbulkan kecenderungan memilih jawaban tengah tersebut (central tendency effect) bagi subjek yang ragu-ragu atas arah kecenderungan jawabannya.

3. Maksud kategori SS – S – TS – STS adalah untuk melihat kecenderungan subjek ke salah satu kutub.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Skala Intensi Menyontek

Skala intensi menyontek yang digunakan adalah skala Intensi Menyontek yang disusun oleh peneliti. Skala Intensi Menyontek ini meliputi bentuk-bentuk perilaku menyontek yang dikemukakan oleh Klausmeier (1985, h. 388), yaitu menggunakan catatan jawaban sewaktu tes, mencontoh jawaban siswa lain, memberikan jawaban yang telah selesai kepada teman, dan mengelak dari aturan-aturan, dan setiap bentuk perilaku menyontek tersebut mencakup aspek intensi yang dikemukakan oleh oleh Fishbein dan Ajzen (1975, h. 292) yang meliputi


(62)

perilaku, sasaran, situasi, dan waktu yang berkaitan dengan menyontek. Blue print dari skala intensi menyontek tercantum dalam tabel berikut :

Tabel 1. Blue Print Skala Intensi Menyontek

Jumlah Aitem Bentuk-bentuk Menyontek Aspek Intensi Indikator Perilaku

Fav Unfav

Bobot Menggunakan catatan jawaban sewaktu ujian/tes Perilaku Sasaran Situasi Waktu

Menggunakan suatu objek tertentu untuk menulis catatan jawaban, seperti kertas yang dilipat kecil, kertas tisu, meja, tangan, memori kalkulator, telepon genggam, pada situasi tertentu pada saat ujian/tes pada waktu yang tertentu

5 5 25%

Mencontoh jawaban siswa lain

Perilaku Sasaran Situasi Waktu

Menyontek jawaban teman saat ujian/tes pada situasi tertentu dan pada waktu yang tertentu pula

5 5 25%

Memberikan jawaban yang telah selesai pada teman

Perilaku Sasaran Situasi Waktu

Memberi contekan pada teman berupa jawaban ujian yang sudah dikerjakan pada situasi tertentu dan waktu yang tertentu pula

5 5 25%

Mengelak dari aturan-aturan

Perilaku Sasaran Situasi waktu

Tidak mentaati peraturan ujian/tes yang tertulis maupun yang diungkapkan oleh guru saat ujian pada situasi tertentu dan pada waktu tertentu

5 5 25%


(63)

Tabel 2. Sebaran Aitem Skala Intensi Menyontek Jumlah Aitem Bentuk-bentuk Menyontek Aspek Intensi Indikator Perilaku

Fav Unfav

Bob ot Menggunakan catatan jawaban sewaktu ujian/tes Perilaku Sasaran Situasi Waktu

Menggunakan suatu objek tertentu untuk menulis catatan jawaban, seperti kertas yang dilipat kecil, kertas tisu, meja, tangan, memori kalkulator, telepon genggam, pada situasi tertentu pada saat ujian/tes pada waktu yang tertentu

23, 25, 32, 36, 40 7, 15, 20, 34, 39 25% Mencontoh jawaban siswa lain Perilaku Sasaran Situasi Waktu

Menyontek jawaban teman saat ujian/tes pada situasi tertentu dan pada waktu yang tertentu pula

24, 27, 31, 33, 37 5, 12, 13, 18, 21 25% Memberikan jawaban yang telah selesai pada teman

Perilaku Sasaran Situasi Waktu

Memberi contekan pada teman berupa jawaban ujian yang sudah dikerjakan pada situasi tertentu dan waktu yang tertentu pula

2, 6, 14,16, 22 3, 10, 17, 19, 26 25% Mengelak dari aturan-aturan Perilaku Sasaran Situasi waktu

Tidak mentaati peraturan ujian/tes yang tertulis maupun yang diungkapkan oleh guru saat ujian pada situasi tertentu dan pada waktu tertentu

8, 11, 29, 30,

35

1, 4, 9, 28, 38

25%

TOTAL ITEM 20 20 40

Kategori jawaban yang digunakan pada skala Intensi Menyontek adalah Sangat Tidak Ingin (STI), Tidak Ingin (TI), Ingin (I), Sangat Ingin (SI). Pemberian skor bergerak dari 1 sampai 4. Penilaian terhadap aitem favorable adalah SI (Sangat Ingin) = 4, I (Ingin) = 3, TI (Tidak Ingin) = 2, STI (Sangat Tidak Ingin) = 1. Penilaian terhadap aitem unfavorable adalah SI (Sangat Ingin) = 1, I (Ingin) = 2, TI (Tidak Ingin) = 3, STI (Sangat Tidak Ingin) = 4.


(64)

Modifikasi kategori jawaban dimaksudkan untuk menghindari kerancuan dengan pengukuran perilaku.

2. Skala Konsep Diri

Skala Konsep Diri disusun berdasarkan aspek-aspek konsep diri menurut Hurlock (1999, h. 237), yaitu aspek fisik dan psikologis. Aspek fisik meliputi konsep mengenai penampilan diri, kesesuaian dengan jenis kelamin, menyadari arti penting tubuh, dan perasaan gengsi dihadapan orang lain yang disebabkan oleh keadaan fisiknya. Aspek psikologis merupakan penilaian terhadap keadaan psikis diri, seperti perasaan mengenai kemampuan atau ketidakmampuan yang akan berpengaruh terhadap rasa percaya diri dan harga diri.

Tabel 3. Blue Print Skala Konsep Diri Jumlah Item

Aspek

Favorable Unfavorable

Total Persentase

Fisik 11 11 22 50 %

Psikologis 11 11 22 50 %

TOTAL 22 22 44 100%

Tabel 4. Sebaran Aitem Skala Konsep Diri Jumlah Item

Aspek

Favorable Unfavorable

Total Persentase Fisik 1, 5, 12, 15, 17,

19, 21, 26, 28, 35, 44

3, 8, 10, 14, 22, 23, 30, 32, 33,

37, 40

22 50 %

Psikologis 2, 6, 11, 20, 24, 31, 34, 36, 38,

41, 43

4, 7, 9, 13, 16, 18, 25, 27, 29,

39, 42

22 50 %


(65)

Kategori jawaban yang digunakan dalam Skala Konsep Diri adalah Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Penilaian terhadap aitem favorable adalah SS (Sangat Sesuai) = 4, S (Sesuai) = 3, TS (Tidak Sesuai) = 2, STS (Sangat Tidak Sesuai) = 1. Penilaian terhadap aitem unfavorable adalah SS (Sangat Sesuai) = 1, S (Sesuai) = 2, TS (Tidak Sesuai) = 3, STS (Sangat Tidak Sesuai) = 4.

E. Daya Beda Aitem, Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Uji Daya Beda Aitem

Uji korelasi aitem total adalah uji konsistensi antar aitem dengan tes secara keseluruhan. Korelasi aitem total dilakukan untuk memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya sesuai dengan fungsi ukur tes yang dikehendaki. Selanjutnya aitem-aitem diukur daya bedanya. Daya beda aitem menunjukkan sejauh mana aitem mampu membedakan antara kelompok yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2004, h. 59). Daya beda aitem diperoleh dengan cara mengkorelasikan skor aitem dengan skor total. Koefisien korelasi aitem dengan skor total harus signifikan, untuk memperoleh skor total digunakan teknik korelasi product moment dari Pearson. Semakin tinggi korelasi positif antara skor aitem dengan skor total maka semakin tinggi pula konsistensi antara aitem tersebut dengan skor total yang diperoleh, sehingga daya bedanya juga semakin tinggi. Bila koefisien korelasinya rendah atau mendekati nol, maka berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi alat ukur tes dan daya bedanya tidak baik. Apabila korelasi berharga negatif, maka dapat diartikan


(66)

terdapat cacat pada aitem tersebut (Azwar, 2004, h. 59). Perhitungan untuk mencari indeks daya beda aitem dengan menggunakan analisis statistik SPSS Versi 12.0. Fungsi perhitungan ini adalah untuk menyeleksi aitem yang layak dipakai dengan nilai batas 0,3. Apabila aitem mempunyai koefisien korelasi lebih besar dari 0,3 maka aitem tersebut akan lolos seleksi dan digunakan sebagai bagian dari skala dalam bentuk final, tetapi apabila koefisien korelasi kurang dari 0,3 maka aitem dianggap mempunyai daya diskriminasi rendah dan tidak diikutkan dalam skala dalam bentuk final.

2. Uji Validitas Alat Ukur

Validitas adalah ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Menurut Azwar (2001, h. 52) tipe validitas berdasarkan cara estimasinya yang disesuaikan dengan sifat dan fungsi setiap tes, dapat digolongkan dalam tiga kategori besar, yaitu content validity (validitas isi), construct validity (validitas konstrak), dan criterion-related validity (validitas berdasarkan kriteria). Validitas yang akan diestimasi dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian isi tes atau aitem pada alat ukur dengan analisis rasional atau melalui professional judgment. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validasi ini adalah sejauhmana aitem-aitem tes mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (aspek representasi) dan sejauhmana aitem-aitem tes mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (aspek relevansi).


(1)

220


(2)

221

Siswa sedang mengerjakan skala uji coba


(3)

222


(4)

(5)

(6)