KEKUASAAN DI ATAS LOGIKA UANG.

Kliping Koran Bali Post, 17 Juni 2013

1

KEKUASAAN DI ATAS LOGIKA UANG
Oleh
Ida Bagus Gde Pujaastawa
“Hari gini tidak korupsi, apa kata dunia?” Barangkali itulah slogan yang tepat bagi
para koruptor, mengingat kian maraknya fenomena korupsi di negeri ini. Berbagai kasus
korupsi dan tindakan lainnya yang merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh
aparatus negara dikhawatirkan akan menggeser kultur demokrasi ke arah kultur kekuasaan
kleptokrasi yang dilandasi oleh logika uang. Fenomena ini kiranya menarik untuk difahami
sebelum korupsi benar-benar menjadi bencana nasional.
Hedonisme Penguasa dan Pengusaha
Umumnya motif korupsi di kalangan elite bukanlah sekadar untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan hidup, melainkan untuk memenuhi hasrat keinginan yang tiada batas.
Akibatnya, jabatan dan kekuasaan yang identik dengan tugas dan tanggungjawab untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat justru menjadi arena penyemaian gaya hidup hedonis.
Bagi kaum hedonis, mengejar kedudukan atau jabatan bukanlah terdorong oleh amanat
penderitaan rakyat, melainkan untuk melampiaskan hasrat kekuasaan, karena di dalamnya
mereka memperoleh kenikmatan sebagai kelas penguasa yang memiliki kewenangan

memerintah atau mengatur kelas yang dikuasai. Melalui kekuasaan mereka dapat melakukan
praktik abuse of power , yakni tindakan-tindakan untuk mempertahankan kekuasaan dengan
menggunakan instrumen kekuasaan termasuk membangun kolaborasi dengan elite
pengusaha (korporat) sebagai sponsor politik.
Dari sejumlah kasus korupsi yang melibatkan para elite kekuasaan di negeri ini
terindikasi bahwa para elite penguasa sejatinya juga adalah pengusaha yang memanfaatkan
kekuasaan untuk memaksimalisasi laba. Logika kekuasaan bukan lagi logika pengabdian,
melainkan logika dalam lembaran mata uang. Berkembangnya logika uang tak terlepas dari
pengaruh ideologi kapitalisme global yang mengusung semangat mengejar keuntungan tiada
batas. Semangat ini tidak hanya dianut oleh kalangan korporat, tapi juga telah menyusup
pada kalangan birokrat. Bagi mereka, nikmatnya tahta belum terasa sempurna tanpa
dukungan harta yang melimpah. Kesempatan sebagai penguasa sekaligus juga dimanfaatkan
sebagai pengusaha untuk mencari kekayaan melalui sejumlah perusahaan yang dibangun
dan dijalankan dengan relasi primordial.
Jika di kalangan elite penguasa terdapat hasrat berusaha, maka di kalangan elite
pengusaha pun terdapat hasrat berkuasa. Bagi mereka, kenikmatan hidup bergelimang harta
belumlah lengkap sebelum merasakan nikmatnya tahta. Dengan dukungan dana yang
berlimpah, kekuasaan dapat ”dibeli” dengan mudah. Kekuasaan baik di bidang politik
maupun ekonomi telah menjadi bagian dari gaya hidup hedonis kelompok elite yang diraih
dengan segala cara. Akibatnya, para pemimpin negeri bukanlah orang-orang yang memiliki

jiwa kenegarawanan, melainkan kelompok oligarki ”pengusaha yang berkusa” dan
”penguasa yang berusaha”.
Logika Uang dan Integritas
Meskipun dalam modus vivendi demokrasi mengedepankan aspek kompetensi,
konstituensi, dan integritas sebagai modal utama bagi para calon aparatus negara, namun
dewasa ini logika uang telah menjadikan modal finansial sebagai modal utama. Implikasi
dari hal ini adalah orang-orang yang cerdas dengan integritas moral yang tinggi, akan sulit

2

mencapai posisi strategis jika tidak didukung modal finansial yang kuat. Sebaliknya, mereka
yang culas dengan integritas moral yang rendah, namun didukung modal finansial yang
kuat, memiliki peluang lebih besar untuk mencapai posisi strategis.
Berkembangnya logika uang membuat demokrasi bukanlah merupakan sistem
politik tanpa cela. Jauh sebelumnya Socrates bahkan cenderung menolaknya, karena
menurut filosof ini demokrasi memberi peluang bagi orang-orang yang secara kebetulan
mendapat dukungan suara untuk memerintah. Socrates tentulah memahami dengan baik
bahwa rakyat tidaklah selalu memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap paling
mampu, tetapi lebih kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya, orang-orang yang
disukai dan dipilih oleh rakyat, bukanlah selalu orang-orang yang berkompeten untuk

membela nasib mereka, melainkan orang-orang yang bersedia membayar suara mereka.
Ketidakpercayaan
Maraknya kasus korupsi yang melibatkan kalangan elite di negeri ini telah membuat
masyarakat kian kurang percaya pada para pemimpinnya. Disadari atau tidak, dramaturgi
korupsi yang gemar dimainkan oleh kalangan elite tidak saja mengajarkan kepada rakyat
untuk selalu bersikap curiga atau tidak percaya terhadap kebijakan-kebijakan para
pemimpinnya. Di satu sisi, sikap seperti ini memang perlu ditumbuhkan untuk mengontrol
hegemoni kekuasaan, namun di sisi lain, dapat membuat masyarakat apatis karena
menganggap di balik berbagai kebijakan yang mengatasnamakan pembangunan kerap
terselip hasrat-hasrat pribadi penguasa. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila
berbagai program pembangunan dengan jargon pemberdayaan masyarakat mengalami
kegagalan karena rakyat tidak percaya bahwa program tersebut akan benar-benar
memberdayakan mereka.
Kini, logika uang telah menjadikan modal finansial sebagai modal paling utama
untuk meraih jabatan, menggeser kemampuan kompetensi dan integritas moral. Hal ini
membuka ruang yang sangat lebar bagi kaum pemilik modal untuk membeli kekuasaan.
Sebagaimana ideologi kapitalisme yang dianutnya, jabatan dan kekuasaan yang dibelinya
dianggap investasi untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa peduli amanat
penderitaan rakyat. Akhirnya, gaya hidup hedonis menyebabkan tergusurnya budaya malu
oleh budaya pongah untuk mengejar kenikmatan yang bersumber dari hawa nafsu.

Akibatnya, jabatan dan kekuasaan lebih dimaknai sebagai tahta kenikmatan daripada tugas
dan tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Penulis : Antropolog
Universitas Udayana).

3