KEKUASAAN DI ATAS LOGIKA UANG.

(1)

Makalah

KEKUASAAN DI ATAS LOGIKA UANG

OLEH

I.B.G. PUJAASTAWA

--- JURUSAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA

SEMINAR NASIONAL

MEMBEDAH FENOMENA KORUPSI SEBAGAI BENCANA NASIONAL UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

DAFTAR ISI

1.Pendahuluan ... 1

2. Dramaturgi Korupsi... 2

3. Logika Uang dalam Hedonisme Penguasa dan Pengusaha... 3

4. Logika Uang dan Integritas... 4

5. Transformasi Budaya Malu ke Budaya Pongah... 6


(3)

1

KEKUASAAN DI ATAS LOGIKA UANG

Oleh

Ida Bagus Gde Pujaastawa

1. Pendahuluan

“Hari gini tidak korupsi, apa kata dunia?” Barangkali itulah slogan yang tepat bagi

para koruptor, mengingat kian maraknya fenomena korupsi di negeri ini. Belakangan ini berita tentang kasus korupsi tidak saja menjadi sajian utama pemberitaan berbagai media massa, tetapi juga menjadi topik obrolan yang hangat hingga ke warung-warung kopi.

Maraknya fenomena korupsi di Indonesia menyebabkan seakan di negeri ini hampir tiada hari tanpa korupsi. Berdasarkan hasil survei pelaku bisnis yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, ternyata Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia-Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Sementara di tingkat dunia, hasil survai Bribe Prayer Indeks (BPI) dalam Transparancy International 2011 yang dilakukan terhadap 28 Negara di Dunia, Indonesia bercokol pada posisi keempat terkorup di dunia.

Melihat kenyataan di atas, tidaklah mengherankan jika sejumlah pihak juga menjuluki

Indonesia sebagai “negeri para koruptor”, karena perilaku korup kian menjadi tabiat aparat di berbagai lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Berdasarkan hasil survai yang dilakukan oleh Soegeng Sarjadi Syndicate (Mei, 2012), tidak tanggung-tanggung, lembaga yang meraih predikat terkorup di negeri ini justru lembaga parlemen yang merepresentasikan kepentingan rakyat Indonesia (baca DPR). Empat lembaga lain yang masuk lima besar dalam kategori lembaga terkorup adalah Kantor Pajak, Kepolisian, Partai Politik dan Kejaksaan Agung.

Maraknya kasus korupsi dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh kalangan aparatus negara dikhawatirkan akan menggeser kultur demokrasi ke arah kultur kekuasaan kleptokrasi. Fenomena ini kiranya menarik untuk difahami sebelum korupsi benar-benar menjadi bencana nasional.

Narasumber adalah dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Membedah Fenomena Korupsi sebagai Bencana Nasional yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT ke-50 Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Dies Natalis ke-50 Universitas Udayana. Denpasar, 5 Juli 2012.


(4)

2 2. Dramaturgi Korupsi

Para aparatus negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif tidak ubahnya para aktor yang sangat piawai mengkemas peran yang elok untuk dipentaskan di

”panggung depan” yang sejatinya tidak lebih dari politik pencitraan atau tebar pesona untuk merebut simpati atau dukungan publik. Di depan publik mereka senantiasa menunjukkan perilaku santun, bijak, dan sejuta citra elok lainnya untuk mengelabui agar perilaku menyimpang yang mereka jalani tidak kentara di mata publik. Kalaupun sesekali tampak berlaku keras atau kasar, itu pun dengan alasan masih dalam konteks membela kepentingan rakyat.

Untuk membangun citra positif di mata publik mereka dengan mudah dapat membayar media untuk mempublikasi keterlibatannya dalam sejumlah program atau

kebijakan yang dianggap membela kepentingan rakyat. Sebaliknya di ”belakang panggung”

sejatinya mereka berperan bebas sambil diam-diam merancang skenario rahasia untuk keberlangsungan pentas menipu rakyat. Terkuaknya kasus korupsi proyek Pembangunan Wisma atlet di Palembang, Pembangunan Sekolah Olahraga Nasional (SON) di Bukit Hambalang, Pembangkit Listrik Tenaga Surya, serta pengadaan Al Quran merupakan kasus paling mutakhir dari sederetan kasus yang mengindikasikan adanya skenario para elite untuk menggerogoti uang negara di balik kebijakan yang mengatasnamakan pembangunan.

Ketika skenario korupsi yang dimainkan mulai terbongkar, skenario-skenario baru pun disusun untuk menyelamatkan diri dan sedapat mungkin mempertahankan citra positif di mata publik. Di antaranya dengan memanipulasi penampilan dengan mengenakan atribut-atribut yang melambangkan keimanan seakan menunjukkan kepada publik bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman yang menjadi korban dari habitus birokrat yang korup. Lebih parah lagi jika sistem penegakan hukum juga terjebak dalam skenario permainan dramaturgi, maka langkah pemberantasan korupsi pun bisa menjadi sebatas pentas di

”panggung depan”. sementara di balik ”panggung” para tahanan koruptor dengan mudah

menikmati berbagai fasilitas dan kenyamanan, termasuk pelesiran ke luar negeri.

Dramaturgi yang berkepanjangan dan tak kunjung berakhir dapat mengundang frustasi dan ketidakpercayaan rakyat terhadap penegakan hukum. Akumulasi frustasi dan ketidakpercayaan yang kian memuncak berpotensi bagi lahirnya gerakan-gerakan perlawanan rakyat yang bersifat nativistik.


(5)

3 Hal yang menarik untuk dicermati dalam fenomena korupsi dewasa ini adalah mereka yang terlibat korupsi adalah kalangan elite aparatus negara yang terdidik dan memiliki penghasilan yang cukup memadai pula. Motif korupsi pada kelompok elite ini jelas-jelas bukanlah untuk sekadar memenuhi tuntutan kebutuhan hidup melainkan lebih bertujuan untuk memenuhi hasrat keinginan mereka yang tiada batas. Akibatnya, jabatan dan kekuasaan yang semestinya identik dengan tugas dan tanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru dijadikan arena penyemaian gaya hidup hedonis, yakni gaya hidup yang lebih mengedepankan kenikmatan duniawi pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat banyak.

Bagi kaum hedonis, perburuan kedudukan atau jabatan bukanlah terdorong oleh amanat penderitaan rakyat, melainkan untuk melampiaskan hasrat kekuasaan, karena di dalamnya mereka memperoleh kenikmatan sebagai kelas penguasa (the ruling class) yang memiliki kewenangan untuk memerintah atau mengatur kelas yang dikuasainya (the ruled

class). Dengan memanfaatkan kekuasaannya mereka dengan mudah melakukan

praktik abuseofpower, yakni tindakan-tindakan untuk mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan instrumen-instrumen kekuasaan yang melekat padanya termasuk membangun kolaborasi dengan elite pengusaha (korporat) sebagai sponsor politik. Melalui relasi transaksional, kolaborasi antara birokrat dan korporat sangat berpotensi melahirkan kleptokrasi dalam bentuk tindakan korupsi yang dilakukan oleh kalangan birokrat dan tindakan merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh kalangan korporat. Dengan demikian, antara penguasa dan pengusaha akhirnya berbagi kenikmatan dari hasil permufakatan-jahat mereka.

Dari sejumlah kasus korupsi yang melibatkan para elite kekuasaan di negeri ini juga mengindisikasikan bahwa para elite penguasa sejatinya adalah pengusaha yang memanfaatkan kekuasaan untuk melampiaskan libido kapitalisnya guna memaksimalisasi laba. Dengan demikian, logika kekuasaan bukan lagi logika pengabdian, melainkan logika dalam lembaran mata uang, sehingga tidaklah mengherankan jika berbagai kasus penyalahgunaan kekuasaan lebih banyak dideterminasi oleh logika uang.

Berkembangnya logika uang tak terlepas dari pengaruh kapitalisme Global. Ideologi kapitalis yang identik dengan semangat mengejar keuntungan tiada batas tidak hanya dianut oleh kalangan korporat, tapi juga telah menyusup pada kalangan birokrat. Bagi mereka, nikmatnya tahta belum terasa sempurna tanpa dukungan harta yang melimpah. Kesempatan


(6)

4 sebagai penguasa sekaligus juga dimanfaatkan sebagai pengusaha untuk memperkaya diri melalui sejumlah perusahaan yang dibangun dan dijalankan dengan relasi primordial. Akibatnya, berbagai proses tender proyek pembangunan sulit terhindar dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Jika di kalangan elite penguasa terdapat hasrat berusaha, maka di kalangan elite pengusaha pun terdapat hasrat berkuasa. Bagi mereka, kenikmatan hidup bergelimang harta belum terasa lengkap sebelum merasakan nikmatnya tahta. Dengan dukungan dana yang

berlimpah mereka dengan mudah dapat ”membeli” kekuasaan. Kekuasaan baik di bidang

politik maupun ekonomi telah menjadi bagian dari gaya hidup hedonis kelompok elite yang diraih dengan segala cara. Akibatnya, negeri ini pun dipimpin oleh kelompok oligarki

”pengusaha yang berkusa” dan ”penguasa yang berusaha” yang cenderung mencari kenikmatan pribadi di atas penderitaan rakyatnya.

Libido kapitalisme kini juga telah merambah berbagai bidang melalui komodifikasi berbagai macam objek, seperti pendidikan, kesehatan, peradilan, lingkungan, bahkan juga agama juga dijadikan arena untuk mencari untung. Melalui komodifikasi, berbagai objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas dengan tujuan utaman untuk meraup keuntungan ekonomi yang maksimal. Akibatnya, segala urusan diwarnai logika uang yang

pada gilirannya mentransformasikan semangat ”membela yang benar” menjadi ”membela yang bayar”. Komodifikasi di bidang pendidikan, misalnya, telah melahirkan ”rezim

pendidikan” yang membuat ”orang miskin dilarang bersekolah” atau komodifikasi di bidang

kesehatan telah melahirkan ”rezim medis” yang membuat ”orang miskin dilarang sakit”, serta

komodifikasi pada bidang-bidang lainnya yang pada dasarnya dilandasi logika uang.

4. Logika Uang dan Integritas

Maraknya kasus korupsi yang terjadi di sejumlah lembaga negara merupakan potret dari betapa rendahnya integritas para aparatus negara, padahal aspek integritas merupakan salah satu dari tiga komponen kualifikasi yang diharapkan mampu mendorong dan mengembangkan kehidupan demokrasi yang sehat. Ketiga komponen kualifikasi tersebut adalah : (1) kompetensi, yaitu kemampuan dan keahlian dalam bekerja; (2) konstituensi, yaitu jumlah orang-orang yang memilih seseorang yang mewakili mereka; dan (3) integritas, yaitu kesadaran seorang politisi tentang nilai-nilai dan norma-norma yang tidak boleh dilanggar, karena jika dilanggar maka ia akan berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan politiknya sendiri (Kleden, 2004 : 3-4).


(7)

5 yudikatif, haruslah memenuhi standar dari tiga komponen kualifikasi tersebut. Artinya, seorang legislator, misalnya, di samping harus cerdas dan memiliki kemampuan yang memadai dalam basis kompetensi tertentu, juga merupakan figur pilihan rakyat yang dilegitimasi dengan perolehan dukungan suara yang memadai, serta menunjukkan dedikasi dan moralitas politik yang tinggi. Hal ini menjadi penting terkait tugas legislator dalam menyusun berbagai peraturan kenegaraan, selain dituntut intelegensi, juga harus benar-benar merupakan representasi rakyat, serta memiliki integritas moral yang tinggi. Tanpa semua itu peraturan dan perundang-undangan yang disusunnya dapat diperalat untuk melanggengkan ketidakadilan dan mengotori kesucian tugas yang diembannya.

Berkaitan dengan pentingnya intelegensi dan integritas moral politik, budayawan Mangunwijaya (1999 : 79), menyatakan bahwa demokrasi hanya dapat datang dari bangsa yang memiliki kebiasaan berpikir berdasarkan logika rasional. Menurutnya, suatu nasion demokrasi adalah nasion demokrasi yang cerdas serta mampu berelasi secara fair play. Namun kini, demokrasi telah tercemar oleh logika uang dan kekuasaan yang mengedepankan relasi transaksional.

Meskipun dalam modus vivendi demokrasi mengedepankan aspek kompetensi, konstituensi, dan integritas sebagai modal utama bagi para calon aparatus negara, namun dewasa ini logika uang telah menjadikan modal finansial sebagai modal yang paling utama. Implikasi dari hal ini menyebabkan orang-orang yang cerdas dengan integritas moral yang tinggi, namun tidak didukung modal finansial yang kuat, akan sulit untuk mencapai posisi strategis. Sebaliknya, mereka yang culas dengan integritas moral yang rendah, namun didukung modal finansial yang kuat, memiliki peluang lebih besar untuk mencapai posisi strategis.

Berkembangnya logika uang membuat demokrasi yang kini tengah diterapkan dan diperjuangkan negara-negara di berbagai belahan dunia bukanlah merupakan sistem politik tanpa cela. Jauh sebelumnya Socrates bahkan cenderung menolaknya, karena menurut filosof ini demokrasi memberi peluang bagi orang-orang yang dungu yang secara kebetulan mendapat dukungan suara untuk memerintah (Kleden, 2004). Socrates tentulah memahami dengan baik bahwa rakyat tidaklah selalu memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap paling mampu, tetapi lebih kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya, orang-orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat, bukanlah selalu orang-orang yang


(8)

6 berkompeten untuk membela nasib mereka, melainkan orang-orang yang bersedia membayar suara mereka.

Kini bukan lagi menjadi rahasia umum, jika posisi-posisi strategis bukannya diraih atas dasar kemampuan kompetensi dan integritas moral yang tinggi, melainkan atas dasar tumpukan uang. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika berapa lembar cek pelawat yang harus dibagi-bagikan untuk meraih posisi gubernur bank, berapa kardus dollar harus disiapkan untuk menjadi ketua umum partai. Hal serupa juga juga terjadi dalam proses rekrutmen calon pegawai negeri sipil, polisi, bahkan TKI. Dengan demikian, logika uang seakan menjadikan fit and proper test sebagai uji kemampuan dan kepatuhan untuk membayar.

5. Transformasi Budaya Malu ke Budaya Pongah

Berkembangnya gaya hidup hedonis menyebabkan banyak orang berlomba memburu kenikmatan dengan segala cara. Budaya malu yang menjadi bagian dari pengendalian diri pun makin tergerus oleh budaya pongah yang cenderung mendahulukan keinginan yang bersumber dari hawa nafsu. Hal tersebut membuat orang tidak perlu lagi merasa malu melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang sebelumnya dianggap tabu dalam masyarakat.

Begitu pula semangat berkorban dan mendahulukan kepentingan umum pun makin tergusur oleh semangat mengorbankan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi. Jika pada masa perjuangan para pahlawan rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk membela bangsa dan tanah air, maka sebaliknya, pasca kemerdekaan banyak pejabat yang dengan pongahnya mengorbankan bangsa dan tanah air demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Gemuruh angin reformasi yang semula diharapkan akan menyapu bersih virus KKN yang selama ini dianggap sebagai “hama dan penyakit politik-birokrasi” di negeri ini ternyata hanya dianggap angin lalu belaka. Akibatnya, proses pematangan politik dan birokrasi menjadi kian panjang, salah-salah malah bisa jadi pembusukan. Praktik-praktik busuk yang semestinya dibabat habis-habisan kini justru disemai dan dibiakkan oleh kalangan elit politik dan birokrasi di tingkat pusat hingga menjalar ke daerah. Ironisnya, sebagian dari mereka yang terlibat kasus KKN justru adalah orang-orang yang pada masa perjuangan reformasi dengan lantang meneriakkan pemberantasan KKN. Belakangan ini sebagian tokoh reformasi yang aktif dalam partai politik tampaknya juga mengalami deviasi moral akibat terjangkit virus KKN.


(9)

7 dengan pongah berupaya membela diri dengan menepis berbagai sangkaan dan tuduhan sambil mencari berbagai alasan pembenaran untuk pantang mundur. Semangat “maju terus

pantang mundur” yang menjiwai perjuangan para pahlawan kemerdekaan kita pada masa lalu

nampaknya kini telah dimaknai sekehendak hati. Sesekali kiranya mereka perlu belajar dari orang Jepang yang dengan kesatria mengundurkan diri jika nyata-nyata bermasalah, atau bila perlu melakukan harakiri atau bunuh diri, bukannya justru bunuh orang. Terkait dengan ini pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti menilai kultur politik di Indonesia sudah mengarah pada kultur korupsi yang ditandai maraknya praktik korupsi baik di tingkat pusat maupun daerah. Menurutnya, pelaku korupsi di negeri ini sudah tidak malu dan tidak takut melakukan korupsi. Begitu pula pejabat dan politisi yang sudah ketahuan melakukan korupsi pantang mudur dari jabatannya.

Pola-pola penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan yang dilakukan secara sistemik dan melibatkan banyak orang atau yang sering disebut dengan korupsi berjemaah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi orang untuk tidak perlu takut dan malu melakukan korupsi, karena mereka yakin bahwa setiap orang melakukan hal yang sama. Lebih parah lagi, di negeri ini para koruptor dapat melakukan pembelaan dan perlawanan melalui rekan-rekan mereka di DPR yang dengan pongahnya menolak kebijakan yang dapat membuat koruptor ditahan lebih lama. Tidak tanggung-tanggung, empat dari delapan fraksi di DPR langsung menyepakati pencabutan SK Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat bagi Koruptor. Terkait fenomena ini, maka tidaklah mengherankan jika sastrawan Taufiq Ismail dalam acara Dialog Kebangsaan Indonesia Emas 2020 yang digelar Komunitas Pengusaha Anti Suap (KUPAS) di Jakarta (26/1/2012), membacakan puisinya yang antara lain berbunyi

”...

di Republik Rakyat Tiongkok, koruptor dipotong kepala. Di Arab Saudi, koruptor dipotong tangan.

Di Indonesia koruptor diipotong masa tahanan ...".

Transformasi budaya malu ke budaya pongah tidak hanya melanda kalangan elite politik dan birokrasi, tetapi juga telah melanda berbagai kalangan. Sejumlah selebritis tanpa malu-malu mempertontonkan kisah-kisah perselingkuhan, perceraian, pornoaksi, dan pornografi sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Di jalanan, petugas polisi tanpa malu-malu melakukan pungli dan menerima suap. Demikian pula di dunia pendidikan, sekolah


(10)

8 yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter anak bangsa pun tanpa malu-malu menugaskan guru untuk memberi jawaban kepada siswa saat ujian berlangsung. Demikianlah kecurangan-kecurangan yang semestinya diberantas malah dipertontonkan tanpa rasa malu. Akibatnya, lama-lama kecurangan dianggap wajar dan kejujuran akan dihancurkan.

6. Penutup

Maraknya kasus korupsi yang melibatkan kalangan elite di negeri ini telah membuat masyarakat kian tidak percaya pada para pemimpinnya. Disadari atau tidak, dramaturgi korupsi yang gemar dimainkan oleh kalangan elite tidak saja mengajarkan kepada rakyat untuk selalu bersikap curiga atau tidak percaya terhadap kebijakan-kebijakan para pemimpinnya. Di satu sisi, sikap seperti ini memang perlu ditumbuhkan untuk mengontrol hegemoni kekuasaan, namun di sisi lain, dapat membuat masyarakat apatis karena menganggap di balik berbagai kebijakan yang mengatasnamakan pembangunan kerap terselip hasrat-hasrat pribadi penguasa. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila berbagai program pembangunan dengan jargon pemberdayaan masyarakat mengalami kegagalan karena rakyat tidak percaya bahwa program tersebut akan benar-benar memberdayakan mereka.

Kini, logika uang telah menjadikan modal finansial sebagai modal paling utama untuk meraih jabatan, menggeser kemampuan kompetensi dan integritas moral. Hal ini membuka ruang yang sangat lebar bagi kaum pemilik modal untuk membeli kekuasaan. Sebagaimana ideologi kapitalisme yang dianutnya, jabatan dan kekuasaan yang dibelinya dianggap investasi untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa peduli amanat penderitaan rakyat. Akhirnya, gaya hidup hedonis menyebabkan tergusurnya budaya malu oleh budaya pongah untuk mengejar kenikmatan yang bersumber dari hawa nafsu. Akibatnya, jabatan dan kekuasaan lebih dimaknai sebagai tahta kenikmatan daripada tugas dan tanggung jawab untuk kesejahteraan rakyat.


(1)

3 3. Logika Uang dalam Hedonisme Penguasa dan Pengusaha

Hal yang menarik untuk dicermati dalam fenomena korupsi dewasa ini adalah mereka yang terlibat korupsi adalah kalangan elite aparatus negara yang terdidik dan memiliki penghasilan yang cukup memadai pula. Motif korupsi pada kelompok elite ini jelas-jelas bukanlah untuk sekadar memenuhi tuntutan kebutuhan hidup melainkan lebih bertujuan untuk memenuhi hasrat keinginan mereka yang tiada batas. Akibatnya, jabatan dan kekuasaan yang semestinya identik dengan tugas dan tanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru dijadikan arena penyemaian gaya hidup hedonis, yakni gaya hidup yang lebih mengedepankan kenikmatan duniawi pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat banyak.

Bagi kaum hedonis, perburuan kedudukan atau jabatan bukanlah terdorong oleh amanat penderitaan rakyat, melainkan untuk melampiaskan hasrat kekuasaan, karena di dalamnya mereka memperoleh kenikmatan sebagai kelas penguasa (the ruling class) yang memiliki kewenangan untuk memerintah atau mengatur kelas yang dikuasainya (the ruled class). Dengan memanfaatkan kekuasaannya mereka dengan mudah melakukan praktik abuse of power, yakni tindakan-tindakan untuk mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan instrumen-instrumen kekuasaan yang melekat padanya termasuk membangun kolaborasi dengan elite pengusaha (korporat) sebagai sponsor politik. Melalui relasi transaksional, kolaborasi antara birokrat dan korporat sangat berpotensi melahirkan kleptokrasi dalam bentuk tindakan korupsi yang dilakukan oleh kalangan birokrat dan tindakan merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh kalangan korporat. Dengan demikian, antara penguasa dan pengusaha akhirnya berbagi kenikmatan dari hasil permufakatan-jahat mereka.

Dari sejumlah kasus korupsi yang melibatkan para elite kekuasaan di negeri ini juga mengindisikasikan bahwa para elite penguasa sejatinya adalah pengusaha yang memanfaatkan kekuasaan untuk melampiaskan libido kapitalisnya guna memaksimalisasi laba. Dengan demikian, logika kekuasaan bukan lagi logika pengabdian, melainkan logika dalam lembaran mata uang, sehingga tidaklah mengherankan jika berbagai kasus penyalahgunaan kekuasaan lebih banyak dideterminasi oleh logika uang.

Berkembangnya logika uang tak terlepas dari pengaruh kapitalisme Global. Ideologi kapitalis yang identik dengan semangat mengejar keuntungan tiada batas tidak hanya dianut oleh kalangan korporat, tapi juga telah menyusup pada kalangan birokrat. Bagi mereka, nikmatnya tahta belum terasa sempurna tanpa dukungan harta yang melimpah. Kesempatan


(2)

4 sebagai penguasa sekaligus juga dimanfaatkan sebagai pengusaha untuk memperkaya diri melalui sejumlah perusahaan yang dibangun dan dijalankan dengan relasi primordial. Akibatnya, berbagai proses tender proyek pembangunan sulit terhindar dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Jika di kalangan elite penguasa terdapat hasrat berusaha, maka di kalangan elite pengusaha pun terdapat hasrat berkuasa. Bagi mereka, kenikmatan hidup bergelimang harta belum terasa lengkap sebelum merasakan nikmatnya tahta. Dengan dukungan dana yang berlimpah mereka dengan mudah dapat ”membeli” kekuasaan. Kekuasaan baik di bidang politik maupun ekonomi telah menjadi bagian dari gaya hidup hedonis kelompok elite yang diraih dengan segala cara. Akibatnya, negeri ini pun dipimpin oleh kelompok oligarki ”pengusaha yang berkusa” dan ”penguasa yang berusaha” yang cenderung mencari kenikmatan pribadi di atas penderitaan rakyatnya.

Libido kapitalisme kini juga telah merambah berbagai bidang melalui komodifikasi berbagai macam objek, seperti pendidikan, kesehatan, peradilan, lingkungan, bahkan juga agama juga dijadikan arena untuk mencari untung. Melalui komodifikasi, berbagai objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas dengan tujuan utaman untuk meraup keuntungan ekonomi yang maksimal. Akibatnya, segala urusan diwarnai logika uang yang pada gilirannya mentransformasikan semangat ”membela yang benar” menjadi ”membela yang bayar”. Komodifikasi di bidang pendidikan, misalnya, telah melahirkan ”rezim pendidikan” yang membuat ”orang miskin dilarang bersekolah” atau komodifikasi di bidang kesehatan telah melahirkan ”rezim medis” yang membuat ”orang miskin dilarang sakit”, serta komodifikasi pada bidang-bidang lainnya yang pada dasarnya dilandasi logika uang.

4. Logika Uang dan Integritas

Maraknya kasus korupsi yang terjadi di sejumlah lembaga negara merupakan potret dari betapa rendahnya integritas para aparatus negara, padahal aspek integritas merupakan salah satu dari tiga komponen kualifikasi yang diharapkan mampu mendorong dan mengembangkan kehidupan demokrasi yang sehat. Ketiga komponen kualifikasi tersebut adalah : (1) kompetensi, yaitu kemampuan dan keahlian dalam bekerja; (2) konstituensi, yaitu jumlah orang-orang yang memilih seseorang yang mewakili mereka; dan (3) integritas, yaitu kesadaran seorang politisi tentang nilai-nilai dan norma-norma yang tidak boleh dilanggar, karena jika dilanggar maka ia akan berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan politiknya sendiri (Kleden, 2004 : 3-4).


(3)

5 Dalam tataran ideal, para aparatus negara, baik di bidang legeslatif, eksekutif, maupun yudikatif, haruslah memenuhi standar dari tiga komponen kualifikasi tersebut. Artinya, seorang legislator, misalnya, di samping harus cerdas dan memiliki kemampuan yang memadai dalam basis kompetensi tertentu, juga merupakan figur pilihan rakyat yang dilegitimasi dengan perolehan dukungan suara yang memadai, serta menunjukkan dedikasi dan moralitas politik yang tinggi. Hal ini menjadi penting terkait tugas legislator dalam menyusun berbagai peraturan kenegaraan, selain dituntut intelegensi, juga harus benar-benar merupakan representasi rakyat, serta memiliki integritas moral yang tinggi. Tanpa semua itu peraturan dan perundang-undangan yang disusunnya dapat diperalat untuk melanggengkan ketidakadilan dan mengotori kesucian tugas yang diembannya.

Berkaitan dengan pentingnya intelegensi dan integritas moral politik, budayawan Mangunwijaya (1999 : 79), menyatakan bahwa demokrasi hanya dapat datang dari bangsa yang memiliki kebiasaan berpikir berdasarkan logika rasional. Menurutnya, suatu nasion demokrasi adalah nasion demokrasi yang cerdas serta mampu berelasi secara fair play. Namun kini, demokrasi telah tercemar oleh logika uang dan kekuasaan yang mengedepankan relasi transaksional.

Meskipun dalam modus vivendi demokrasi mengedepankan aspek kompetensi, konstituensi, dan integritas sebagai modal utama bagi para calon aparatus negara, namun dewasa ini logika uang telah menjadikan modal finansial sebagai modal yang paling utama. Implikasi dari hal ini menyebabkan orang-orang yang cerdas dengan integritas moral yang tinggi, namun tidak didukung modal finansial yang kuat, akan sulit untuk mencapai posisi strategis. Sebaliknya, mereka yang culas dengan integritas moral yang rendah, namun didukung modal finansial yang kuat, memiliki peluang lebih besar untuk mencapai posisi strategis.

Berkembangnya logika uang membuat demokrasi yang kini tengah diterapkan dan diperjuangkan negara-negara di berbagai belahan dunia bukanlah merupakan sistem politik tanpa cela. Jauh sebelumnya Socrates bahkan cenderung menolaknya, karena menurut filosof ini demokrasi memberi peluang bagi orang-orang yang dungu yang secara kebetulan mendapat dukungan suara untuk memerintah (Kleden, 2004). Socrates tentulah memahami dengan baik bahwa rakyat tidaklah selalu memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap paling mampu, tetapi lebih kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya, orang-orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat, bukanlah selalu orang-orang yang


(4)

6 berkompeten untuk membela nasib mereka, melainkan orang-orang yang bersedia membayar suara mereka.

Kini bukan lagi menjadi rahasia umum, jika posisi-posisi strategis bukannya diraih atas dasar kemampuan kompetensi dan integritas moral yang tinggi, melainkan atas dasar tumpukan uang. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika berapa lembar cek pelawat yang harus dibagi-bagikan untuk meraih posisi gubernur bank, berapa kardus dollar harus disiapkan untuk menjadi ketua umum partai. Hal serupa juga juga terjadi dalam proses rekrutmen calon pegawai negeri sipil, polisi, bahkan TKI. Dengan demikian, logika uang seakan menjadikan fit and proper test sebagai uji kemampuan dan kepatuhan untuk membayar.

5. Transformasi Budaya Malu ke Budaya Pongah

Berkembangnya gaya hidup hedonis menyebabkan banyak orang berlomba memburu kenikmatan dengan segala cara. Budaya malu yang menjadi bagian dari pengendalian diri pun makin tergerus oleh budaya pongah yang cenderung mendahulukan keinginan yang bersumber dari hawa nafsu. Hal tersebut membuat orang tidak perlu lagi merasa malu melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang sebelumnya dianggap tabu dalam masyarakat.

Begitu pula semangat berkorban dan mendahulukan kepentingan umum pun makin tergusur oleh semangat mengorbankan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi. Jika pada masa perjuangan para pahlawan rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk membela bangsa dan tanah air, maka sebaliknya, pasca kemerdekaan banyak pejabat yang dengan pongahnya mengorbankan bangsa dan tanah air demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Gemuruh angin reformasi yang semula diharapkan akan menyapu bersih virus KKN yang selama ini dianggap sebagai “hama dan penyakit politik-birokrasi” di negeri ini ternyata hanya dianggap angin lalu belaka. Akibatnya, proses pematangan politik dan birokrasi menjadi kian panjang, salah-salah malah bisa jadi pembusukan. Praktik-praktik busuk yang semestinya dibabat habis-habisan kini justru disemai dan dibiakkan oleh kalangan elit politik dan birokrasi di tingkat pusat hingga menjalar ke daerah. Ironisnya, sebagian dari mereka yang terlibat kasus KKN justru adalah orang-orang yang pada masa perjuangan reformasi dengan lantang meneriakkan pemberantasan KKN. Belakangan ini sebagian tokoh reformasi yang aktif dalam partai politik tampaknya juga mengalami deviasi moral akibat terjangkit virus KKN.


(5)

7 Terkikisnya budaya malu misalnya tercermin dalam sikap elite bermasalah yang dengan pongah berupaya membela diri dengan menepis berbagai sangkaan dan tuduhan sambil mencari berbagai alasan pembenaran untuk pantang mundur. Semangat “maju terus pantang mundur” yang menjiwai perjuangan para pahlawan kemerdekaan kita pada masa lalu nampaknya kini telah dimaknai sekehendak hati. Sesekali kiranya mereka perlu belajar dari orang Jepang yang dengan kesatria mengundurkan diri jika nyata-nyata bermasalah, atau bila perlu melakukan harakiri atau bunuh diri, bukannya justru bunuh orang. Terkait dengan ini pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti menilai kultur politik di Indonesia sudah mengarah pada kultur korupsi yang ditandai maraknya praktik korupsi baik di tingkat pusat maupun daerah. Menurutnya, pelaku korupsi di negeri ini sudah tidak malu dan tidak takut melakukan korupsi. Begitu pula pejabat dan politisi yang sudah ketahuan melakukan korupsi pantang mudur dari jabatannya.

Pola-pola penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan yang dilakukan secara sistemik dan melibatkan banyak orang atau yang sering disebut dengan korupsi berjemaah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi orang untuk tidak perlu takut dan malu melakukan korupsi, karena mereka yakin bahwa setiap orang melakukan hal yang sama. Lebih parah lagi, di negeri ini para koruptor dapat melakukan pembelaan dan perlawanan melalui rekan-rekan mereka di DPR yang dengan pongahnya menolak kebijakan yang dapat membuat koruptor ditahan lebih lama. Tidak tanggung-tanggung, empat dari delapan fraksi di DPR langsung menyepakati pencabutan SK Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat bagi Koruptor. Terkait fenomena ini, maka tidaklah mengherankan jika sastrawan Taufiq Ismail dalam acara Dialog Kebangsaan Indonesia Emas 2020 yang digelar Komunitas Pengusaha Anti Suap (KUPAS) di Jakarta (26/1/2012), membacakan puisinya yang antara lain berbunyi

”...

di Republik Rakyat Tiongkok, koruptor dipotong kepala. Di Arab Saudi, koruptor dipotong tangan.

Di Indonesia koruptor diipotong masa tahanan ...".

Transformasi budaya malu ke budaya pongah tidak hanya melanda kalangan elite politik dan birokrasi, tetapi juga telah melanda berbagai kalangan. Sejumlah selebritis tanpa malu-malu mempertontonkan kisah-kisah perselingkuhan, perceraian, pornoaksi, dan pornografi sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Di jalanan, petugas polisi tanpa malu-malu melakukan pungli dan menerima suap. Demikian pula di dunia pendidikan, sekolah


(6)

8 yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter anak bangsa pun tanpa malu-malu menugaskan guru untuk memberi jawaban kepada siswa saat ujian berlangsung. Demikianlah kecurangan-kecurangan yang semestinya diberantas malah dipertontonkan tanpa rasa malu. Akibatnya, lama-lama kecurangan dianggap wajar dan kejujuran akan dihancurkan.

6. Penutup

Maraknya kasus korupsi yang melibatkan kalangan elite di negeri ini telah membuat masyarakat kian tidak percaya pada para pemimpinnya. Disadari atau tidak, dramaturgi korupsi yang gemar dimainkan oleh kalangan elite tidak saja mengajarkan kepada rakyat untuk selalu bersikap curiga atau tidak percaya terhadap kebijakan-kebijakan para pemimpinnya. Di satu sisi, sikap seperti ini memang perlu ditumbuhkan untuk mengontrol hegemoni kekuasaan, namun di sisi lain, dapat membuat masyarakat apatis karena menganggap di balik berbagai kebijakan yang mengatasnamakan pembangunan kerap terselip hasrat-hasrat pribadi penguasa. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila berbagai program pembangunan dengan jargon pemberdayaan masyarakat mengalami kegagalan karena rakyat tidak percaya bahwa program tersebut akan benar-benar memberdayakan mereka.

Kini, logika uang telah menjadikan modal finansial sebagai modal paling utama untuk meraih jabatan, menggeser kemampuan kompetensi dan integritas moral. Hal ini membuka ruang yang sangat lebar bagi kaum pemilik modal untuk membeli kekuasaan. Sebagaimana ideologi kapitalisme yang dianutnya, jabatan dan kekuasaan yang dibelinya dianggap investasi untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa peduli amanat penderitaan rakyat. Akhirnya, gaya hidup hedonis menyebabkan tergusurnya budaya malu oleh budaya pongah untuk mengejar kenikmatan yang bersumber dari hawa nafsu. Akibatnya, jabatan dan kekuasaan lebih dimaknai sebagai tahta kenikmatan daripada tugas dan tanggung jawab untuk kesejahteraan rakyat.